Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi 

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia
tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch.

Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi dalam
dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan
usus di dalam perut. Penyakit tifoid perut (Thypus abdomalis) merupakan penyakit yang
ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhi, (food
and water disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tifoid menandakan bahwa ia
sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Jika tidak
diobati dengan tepat, demam tifoid dapat bersifat fatal (menimbulkan kematian) (Munaf, 2009).

II.2 Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini terkenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun
mencapai 91% kasus karena pada usia tersebut orang- orang cenderung memiliki aktivitas fisik
yang banyak, sehingga kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung
lebih memilih makan di luar rumah, yang sebagian besar kurang memperhatikan higienitas.
Insidensi demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia sekolah. Frekuensi sering jajan
sembarangan yang tingkat kebersihannya masih kurang, merupakan faktor penularan penyakit

1
demam tifoid. Bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak dalam makanan yang kurang
dijaga higienitasnya.

Kasus demam tifoid di Indonesia tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian demam tifoid antara lain jenis kelamin, usia, status gizi, kebiasaan jajan,
kebiasaan cuci tangan, pendidikan orang tua, tingkat penghasilan orang tua, pekerjaan orang tua,
dan sumber air. (Soedomo dkk. 2010; Anonim. 2009; Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2008).

II.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini

dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella
bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam subspecies yang
dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur lipopolisakarida. Subspecies
dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp.
Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.

2
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, Flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin.
Gambar 1.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

Faktor lain yang mempengaruhi kejadian demam tifoid yaitu status gizi. Status gizi yang
kurang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak, sehingga anak mudah terserang penyakit,
bahkan status gizi buruk dapat menyebabkan angka mortilitas demam tifoid semakin tinggi.
Penurunan status gizi pada penderita demam tifoid akibat kurangnya nafsu makan (anoreksia),
menurunnya absorbsi zat-zat gizi karena terjadi luka pada saluran pencernaan dan kebiasaan
penderita mengurangi makan pada saat sakit. Peningkatan kekurangan cairan atau zat gizi pada
penderita demam tifoid akibat adanya diare, mual atau muntah dan perdarahan terus menerus
yang diakibatkan kurangnya trombosit dalam darah sehingga pembekuan luka menjadi menurun.

II.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,


yaitu : 

1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch


2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dimakrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesentrikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial

3
3. Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah
4. Produksi enteretoksin yang meningkatkan kadar cAMP didalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal 

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam tubuh melalui


mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat
internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES
diorgan hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesentrika, hati dan limfe. 

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.
Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrogard
dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat mengivasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.

4
II.5 Manifestasi Klinis

Pada anak periode inkubasi demam tifoid rata-rata antara 10-14 hari. Semua pasien
demam tifoid selalu menderita demam diawal penyakit. Banyak orang tua pasien demam tifoid
melaporkan bahwa demam tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah . Disamping – gejala – gejala yang biasa
ditemukan , mungkin juga dapat ditemukan gejala lain seperti rose spot, suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1,5 mm, terbentuk karena emboli basil
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam dan dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas, dan punggung pada orang kulit putih. Bradikardi relatif adalah
peningkatan suhu 10C yang tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit. Bradikardi
relatif jarang dijumpai pada anak.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksi, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan
klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai

5
penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan
cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien
dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan dan
dijumpai juga hepatomegali. 

1. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar
saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam
lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai
dengan banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing), nyeri otot, pegal-pegal,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang
terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Tipe demam menjadi tidak
beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi
lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Menkes,
2006).

2. Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan
kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selapu putih. Ujung dan tepi
lidah kemerahan dan tremor, dan penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual
dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya
kadang- kadang timbul diare (Menkes, 2006).

3. Gangguan Kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran


ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis dengan kesadaran separti berkabut (tifoid). Bila klinis
berat bias sampai koma (Menkes, 2006).

6
4. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan
(Menkes, 2006).

5. Bradikardia Relatif

Bradikari relatif sering tidak ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit
dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 malam (Menkes, 2006).

a. Akut non-komplikasi
Demam tifoid akut ditandai dengan demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus
(sembelit pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise dan
anoreksia. Batuk bronkitis adalah gejala umum dalam tahap awal penyakit. Selama
periode demam, hingga 25% dari pasien menunjukkan exanthem (mawar bintik-
bintik), di dada, perut dan punggung.

b. Dengan Komplikasi
Demam tifoid akut bisa berat. Tergantung pada pengaturan klinis dan kualitas
perawatan medis yang tersedia, hingga 10% dari pasien tifoid dapat berkembang ke
komplikasi yang serius. Karena jaringan limfoid usus terkait
menunjukkan kelainan yg menonjol, pada 10-20% pasien ditemukan adanya darah
mikroskopis pada tinja dan hingga 3% pasien mungkin memiliki melena. Perforasi
usus juga telah dilaporkan hingga 3% dari kasus dirawat di rumah sakit. Rasa tidak
nyaman pada perut akan berkembang dan meningkat. Hal ini sering terbatas pada
kuadran kanan bawah tetapi bisa juga menyebar. Gejala dan tanda-tanda perforasi
usus dan peritonitis kadang-kadang mengikuti, disertai dengan kenaikan tiba-tiba
denyut nadi, hipotensi, ditandai dengan nyeri perut, nyeri lepas, dan selanjutnya
kekakuan perut. Peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran kiri dan udara
bebas pada radiografi abdomen biasanya terlihat.

7
II.6 Diagnosis 

II.6.1 Anamnesis

a) Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
b) Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan icterus.

II.6.2 Pemeriksaan Fisik


Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis pasti demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari
darah, sumsum tulang atau lesi anatomis tertentu. Adanya gejala klinis demam tifoid atau
deteksi respon antibodi spesifik sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah
adalah gold standart diagnosis penyakit ini.
Darah tepi perifer:
a) Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus
b) Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
c) Limfositosis relative
d) Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

e) LED (LajuEndapDarah): Meningkat.

8
Pemeriksaan serologi:
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran
yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
9
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan
darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.

Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu


1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.

10
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering
di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –>
tes Widal) menghalangi respon antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim
dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian
lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini
dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

11
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
12
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
13
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan
dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. 22 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
14
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/
Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena
hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah
terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam media Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika dan
sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari,bila belum ada pertumbuhan koloni
ditunggu sampai 7hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

Pemeriksaan radiologik:
a) Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b) Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna.
Pada perforasi usus tampak:
a) distribusi udara tak merata
b) airfluid level
c) bayangan radiolusen di daerah hepar
d) udara bebas pada abdomen

II.6.4 Diagnosis Banding


a) Infeksi kerana virus (Dengue, influenza)
b) Malaria
c) Bronkopneumonia

15
II.7 Komplikasi 

Komplikasi Intestinal

Perdarahan Intestinal 

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat membentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdaraha. Selanjutnya bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Selain faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID)  atau gabungan kedua faktor. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi
perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan. 

Perforasi Usus

Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Selain  gejala umum demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama didaerah kuadran kanan bawah yang
kemudia menyebar ke seluruh perut disertai tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas diabdomen.
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran
foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma
kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada
demam tifoid.

Komplikasi Ekstra-Intestinal
Komplikasi Hematologik 

Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothombin


time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai
koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan demam tifoid.
Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit

16
disumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem
retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peran. 

Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid. Pada
demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin
(untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada
pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. 

Pankreatitis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjai pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-scan dapat membantu diagnosis
penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis 

Pasien miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan
miokardium oleh kuman S.typhi.

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik 

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau
koma, skizofrenia, meningitis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis
berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,
somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa
peneliti disebut sebagai tifoid toksik. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang renda, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan kepercayaan (adat) yang

17
masih terbelakang mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian.

II.8 Tatalaksana

Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta
asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain
pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,yaitu:
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan yang dipakai. Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit
untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring
adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga

18
dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian
bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan
toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan
berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu
panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet
perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau
makanan parenteral.

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi yang
memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan unutk
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama. Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih
dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng anglistering. Obat bentuk laksan
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi
intestinal.

Antibiotik 
19
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis
selama 10-14 hari.
Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi dengan
kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit, menurunkan angka
mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari. Dosis untuk orang
dewasa adalah 4kali 500mg perhari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam.
Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik hingga
munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit
yang memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka
mortalitas yang tinggi di beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap
kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi
rata-rata pada hari ke-5.

Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari


Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Ampicilin
dan Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang utama. Munculnya
strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan kotrimoksazol telah mengurangi
kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap
kloramfenikol, ampicilin, Trimetoprim-Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid
dan tertacyklin. Di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara,
dan Afrika), seluruh pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin
generasi III hingga hasil kultur dan tersensitive aster sedia.

Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari.


Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid, dengan
pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-
14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7hari, tetapi
laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk
kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 10-14hari.
20
Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan
cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

2. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

II.9 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
,biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi,
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi.

II.10 Pencegahan

Pencegahan Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola
hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak
dini oleh setiap orang untuk menjaga higienitas pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan
cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi
makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang , untuk memperkecil kemungkinan
tercemar s.thypi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman
yang mereka konsumsi. Menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau
terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai,
membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak
mencemari lingkungan. Salmonella tyhphi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ 16 klorinasi. Untuk makanan, pemanasan
sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella
typhi . penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan

21
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin demam tifoid Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam
tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella
typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B yang dimatikan
(TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara peberian subkutan; namun vaksin ini
hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat
suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan
(Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya
perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada
penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat
transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara
suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama tiga tahun

DAFTAR PUSTAKA

22
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2009). Pedoman Pelayanan Medis IDAI

Munaf, S., 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi II, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Nelwan, RHH. 2012. “Tata Laksana Terkini Demam Tifoid”. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012.
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga

23

Anda mungkin juga menyukai