Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

POLIP NASI DEXTRA SINISTRA e.c. RHINOSINUSITIS

Disusun Oleh :
Yuliana Wahyuni
1102014289

Pembimbing:

dr. Dian Nurul Al Amini, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM YARSI
PERIODE 19 JULI - 7 AGUSTUS 2021

0
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Tn. V
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Melayu
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Bank
Alamat : Senen

II. ANAMNESA
Keluhan Utama:
Hidung tersumbat sejak 1 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli klinik THT dengan keluhan hidung tersumbat
sejak 1 bulan SMRS. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada kedua
hidung, yang membuatnya bernafas dari mulut dan tidur menjadi terganggu.
Pasien mengaku keluhan hidung tersumbat ini sering disertai pilek yang
mengeluarkan lendir bercampur darah yang hilang timbul sejak 5 bulan yang
lalu, mata terasa gatal terkadang dan mengeluarkan air mata. Pasien juga
mengaku penciumannya menurun, nyeri pada pipi dan dahi, batuk dan sakit
kepala terkadang. Pasien mengatakan saat bangun tidur hidungnya tersumbat
dan sering bersin. Keluhan seperti demam, nafas bau, suara serak disangkal.
Pasien tidak memiliki hewan peliharaan di rumahnya, dan tidak ada riwayat
memakan makanan yang dapat memicu alerginya. Pasien sudah mencoba
meminum obat yang dibeli di warung namun belum ada perbaikan.

1
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat penyakit serupa : Disangkal
 Riwayat alergi : (+) udang, debu, coklat
 Riwayat diabetes : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat keganasan : Disangkal
 Riwayat asma : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat alergi : (+) udang
 Riwayat diabetes : Disangkal
 Riwayat hipertensi : (+) Ibu
 Riwayat keganasan : Disangkal
 Riwayat asma : Disangkal

Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat merokok : Disangkal
 Riwayat minum alkohol : Disangkal
 Riwayat narkoba : Disangkal

Riwayat Pengobatan:
 Rawat di RS sebelumnya : Disangkal
 Riwayat pemakaian obat : obat warung

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
o Tensi : 110/80 mmHg
o Nadi : 72 x/menit
o RR : 18 x/menit
o Suhu : afebris

2
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma batas normal, hematoma
(-), nyeri tarik aurikula (-) (-), nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis
furunkel (-), edema (-), (-), furunkel (-), edema
otorhea (-) (-), otorhea (-)

4. Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),


timpani hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),cone of light perforasi (-),cone of light
(+) (+)

Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung kanan Hidung kiri


Hidung
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-), deformitas (-), nyeri tekan (-),
(-) deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+) mukopurulen (+)
Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia Bentuk (normal), hiperemia
(+) (+)
Meatus nasi Mukosa hiperemis, sekret (+), Mukosa hiperemis, sekret
media Massa (+) berwarna (+), Massa (+) berwarna
keputihan memenuhi keputihan memenuhi
rongga hidung rongga hidung
Konka nasi Hipertrofi (+), livid (+) Hipertrofi (+), livid (+)
inferior
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-) ulkus (-)

3
Pemeriksaan Mulut dan Orofaring
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran
(-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
post nasal drip (+)
Tonsila palatine kanan kiri
T1, kripte melebar (+) T1, kripte melebar (+)
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus
Faringeus

Pemeriksaan Maksilofasial dan sinus


 Bentuk : Simetris
 Nyeri tekan : maksila (+), frontal (+)

Pemeriksaan Leher
 Pembesaran KGB : Tidak teraba pembesaran KGB
 Massa : Tidak teraba massa

IV. RESUME
Telah diperiksa pasien dengan keluhan hidung tersumbat sejak 1 bulan SMRS.
Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada kedua hidung, yang membuatnya bernafas
dari mulut dan tidur menjadi terganggu. Pasien mengaku keluhan hidung tersumbat ini
sering disertai pilek yang mengeluarkan lendir bercampur darah yang hilang timbul sejak
5 bulan yang lalu, mata terasa gatal terkadang dan mengeluarkan air mata. Pasien juga
mengaku penciumannya menurun, nyeri pada pipi dan dahi, batuk dan sakit kepala
terkadang. Pasien mengatakan saat bangun tidur hidungnya tersumbat dan sering bersin.
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami penyakit yang serupa, pasien memiliki
riwayat alergi yaitu debu, udang, dan coklat. Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami
penyakit serupa. Pasien tidak memiliki hewan peliharaan di rumahnya, dan tidak ada
riwayat memakan makanan yang dapat memicu alerginya.

4
Pada pemriksaan fisik ditemukan massa pada nasal dextra sinistra, massa berwarna
keputihan, memenuhi nasal dextra sinistra, permukaan halus. Terdapat sekret
mukorpurulen, konka inferior hipertrofi dan livid, post nasal drip, serta nyeri tekan pada
maksila dan frontal. Pasien sudah mencoba meminum obat yang dibeli di warung namun
belum ada perbaikan.

V. RENCANA PEMERIKSAAN
 Biopsy
 CT-Scan

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Polip Nasi
 Angiofibroma
 Inverted papilloma

VII. DIAGNOSIS

Polip nasi dextra sinistra stadium 3 e.c. Rhinosinusitis

VIII. RENCANA TATALAKSANA


Non-medikamentosa

 Menghindari pemicu alergi dan iritasi yang dapat menyebabkan peradangan pada
hidung atau rongga sinus

 Mencuci rongga hidung dengan normal saline

Medikamentosa
 Cetirizine 1x10 mg
 fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray/kavum nasi (selama 4-6 minggu)
 Dexamethason 3x4 mg
 Jika tidak membaik setelah diberikan obat, dilakukan tindakan bedah: polipektomi
+ F.E.S.S (Functional Endoscopic Sinus Surgery)
5
IX. PROGNOSIS

 Ad vitam : Ad Bonam
 Ad functionam : Dubia Ad Bonam
 Ad sanactionam : Dubia Ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang
hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

6
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang
kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.1

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.1
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina prependikularis os etmoid, vomer, Krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Bagian superior dan posterior disusun
oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum
(quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh
vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis.

7
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan
suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum.1
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas
rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis
interna.1

II. FISIOLOGI HIDUNG


Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari
prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional yang
8
merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior (maksila,
etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka seandainya terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan yang
signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang menjadi
salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.2
Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1,2
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh:
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia

9
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah
posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan
kerja silia yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang
terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang
sangat luas antara udara inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan
mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu yang sangat
kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius,
faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta
melembabkan udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai
untuk melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat di rumah-
rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat berakibat
mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan hidung. Derajat
kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar
seromukosa pada submukosa hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih
aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung
menarik lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah
ini. Arah gerakan septum adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju
dasar. Pada dasar hidung, arahnya kebelakang dengan kecenderungan
bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus inferior. Pada sisi medial
konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah, lewat dibawah tepi inferior
dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia pada
sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini merupakan
daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah,
juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi
walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit
untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat
pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri.
Fagositosis aktif dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di
10
bawah permukaan. Membran sel pernapasan juga memberikan imunitas
induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan
fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila
alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen
tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya
dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan
mukosa hidung yang khas.

4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

III. POLIP NASI
A. Definisi
11
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan
licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar
polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian
tumbuh ke arah rongga hidung.1,3
B. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan
1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria
dan wanita 2-4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4
%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%.
Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar
0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di Indonesia
studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan
prevalensi 0,2%-4,3%.1,4,5

C. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat
sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang
berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi
makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.1
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :3
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1,4,5
 Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu
karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan
dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan
tanda alergi. Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam

12
terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa
hidung.2
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung. 6 Akan
tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip
hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan
bahwa asma dengan onset yang telat (late onset asthma) akan berkembang
menjadi nasal polip sekitar 10-15%.

 Ketidak Seimbangan Vasomotor


Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan.
Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada
akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki
vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor.
Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas
dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip.
 Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan
negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena
tekanan negatif ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang
selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
 Teori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi daspat
menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk
polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh
gravitasi atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning
dengan pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang
bermakna pada pasien dengan polip hidung.
 Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis
yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu

13
terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX)
umumnya sangat berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin
dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1
dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu yang akan menstimulasi
cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan
metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi,
yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG
antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan
meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak
terkontrol dan inflamasi kronis.
 Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada
kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen
tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane
regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated
chloride chanel yang menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan
absorpsi natrium. Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi
klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya
menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR
juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
 Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar
dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,
pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas
biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense
system superoxide dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika
radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant,
maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis.
Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan
scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol,
yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
 Infeksi

14
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel
dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis
(semua jenis patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana
granuloma menginduksi terjadinya polip hidung masih belum benar-benar
dipahami.
 Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus
didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus
enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock
syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen,
menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung.
Aktifasi dari limfosit ini, akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-
gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-
eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita
polip hidung.

D. Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus.
Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai
purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah
frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi
bakteri dapat disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.1
Dapat juga menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. Selain itu harus
dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.3

E. Diagnosis
Anamnesis
15
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat,
rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan
aktifitas.1

Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan
mudah digerakkan.1

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund:1


 Stadium 1 : polip masih terbatas pada meatus media
 Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiipada rongga hidung tertapi belum memenuhi
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirongga hidung
 Stadium 3 : polip masif

Pemeriksaan Penunjang
 Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari
rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan
jelas. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang
berasal dari ostium asesorius sinus maksila.1,7
 Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera)
dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara
cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan
di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,
polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah endoskopi.7

16
F. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 5,7
 Memperbaiki keluhan pernafasan pada hidung
 Meminimalisir gelaja
 Meningkatkan kemampuan penghidu
 Menatalaksanai penyakit penyerta
 Meningkatkan kulitas hidup
 Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan
medis dan operatif.

Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara
medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta
tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.1,7

 Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek
langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri
anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis kronis.7
 Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk
polip hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna
pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat
mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini
dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal drop
400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung
ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari polip
hidung dan keluhan hidung tersumbat.5

17
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi
kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560
mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis
perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi
gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran
polip.5
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5
hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain
itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.7
 Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi
menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan
dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient
dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin.5
 Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien
dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu
pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan
yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu
menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi komputer dan
instrumentasi power. 4,7

G. Prognosis
Prognosis umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip
hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan

18
tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih
sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan
obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta
keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip
kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting
dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan
intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip
hidung.1,4,7

IV. RHINOSINUSITIS
A. Definisi
Rinosinusitis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.
 Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip, gangguan
penghidu.
 Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri telinga, batuk, demam, halitosis.
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis maksila,
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang.8

B. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan penyakit fibrosis kistik.9

C. Patofisiologi

19
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan
perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan
manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak
pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung.
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting
dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM. Seperti peradangan,
udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi
sinusitis.
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau
hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya.
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan
satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif
karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan
drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan
terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman
patogen.
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan
infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases,
arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain.10

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen
sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-
gigi ini.11
20
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti
dan udema di ostium sinus dan sekitarnya.
Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda
khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan
dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada
penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya.
Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan
kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat
menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan
pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam
rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.12
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit
di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah.
d. Gangguan penghidu
Indra penghidu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak
tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghidu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghidu.
Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali
normal setelah infeksi hilang.13

2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
21
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah
yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.14

E. Pemeriksaan Rinosinusitis
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.15
2. Transluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia.

3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral.
Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada
infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan
mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel
dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas
cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.15
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT- Scan adalah
cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
22
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem
gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan
secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-
MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik
sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian
Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0: Tidak ada kelainan, Gradasi 1: Opasifikasi
parsial Gradasi 2: Opasifikasi komplit.16
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat
melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal
penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.17

F. Diagnosis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih.
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi skor 2
dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai berikut; Gejala
Mayor: Nyeri sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal
drip = skor 2, Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala = skor
1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam = skor 1,
Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total gejala klinik
dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sedang-berat (skor ≥8), dan ringan (skor <8) dengan
Skor total gejala klinik: skala nominal.16

G. Penatalaksanaan
23
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista,
jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui
dengan kelainan yang ditemukan.
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.

a. Medikamentosa
1. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi
sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,
sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik
diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali
apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan
nasoendoskopi maupun.18
2. Terapi Medik Tambahan
 Dekongestan
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik.
Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung dengan
efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena
efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan
dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka
lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.

24
 Antihistamin
Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus,
karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga
kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang
tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
 Kortikosteroid
Ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral,
kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir,
sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan
besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-
alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan
pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi
singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan.
Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka
sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.18

b. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
dapat dilaksanakan Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.19
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-
Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal
agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase
dapat sembuh kembali.

25
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif
yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat
terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan
patologi dirongga-rongga sinus.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan
kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.17

H. Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
a. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
b. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
c. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
d. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma
bronkial.20

I. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta

26
obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat
memberikan prognosis yang baik.
Paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebab. Secara medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.21

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.


Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta:
FKUI, 2001, h. 88 – 95
2. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme,
2006, h. 2 – 13
3. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai.
2005 : 88 (12) :1966-72
4. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps
that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75
5. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
6. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia. 2007. Hal 25

27
7. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current
Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 : 27-36
8. Benninger, M.S., 2008. Rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. Scott- Brown's
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold,
1439-1445.
9. Fokkens W, et al, 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
Rhinology 45 Supplement 20.
10. Hedayati, et al, 2010. Prevalence of Fungal Rhinosinusitis Among Patients with Chronic
Rhinosinusitis From Iran. Journal de Mycologie Medicale 261.
11. Lane., A.P. and Kennedy, D.W., 2003. Sinusitis and Polyposis. In: Snow.,J.B.
12. Manor, Y. et al., 2010. Late signs and symptoms of maxillary sinusitis after sinus
augmentation, School of Dental Medicine, Tel-Aviv University
13. Triolit Z, 2004. Hubungan Kelainan anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Dengan Gejala
Klinis Rinosinusitis Kronis Berdasarkan Gambaran CT-Scan Sinus Paranasal dan
Temuan Durante Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Dalam: Tesis Bagian THT-KL FK
Universitas Sumatera Utara Medan.
14. BECKER W, at all, Inflamation Of Sinuses Clinical As Pects Of Desease Of Thenose An
Throar, A Pocket Reference Second Edition, Thiem.
15. Hilger, peter. A 1997, Penyakit Sinus Paranasal Boeis Buku Ajar Penyakit THT Jakarta:
EGC.
16. Darmawan, S., dkk, 2005. Gambaran Klinis Pasien Sinusitis di Departemen FKUI
RSCM 1998-2004. Media Medika Indonesia Volume 40 Nomor 3.
17. HTA Indonesia, 2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia.
18. Varonen, H., 2003. Acute rhinosinusitis in primary care: a comparison of symptoms,
signs, ultrasound, and radiography. Rhinology Journal.
19. Lund, V.J. and Jones, J.R., 2008. Surgical management of rhinosinusitis. In: Browning
G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great
Britain: Hodder Arnold, 1481-1495.
20. Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In: Bailey,
B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins, 495-504.
21. Budiman JB, Asyari A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip
Nasi. Diakses dari http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusitis
_dengan_polip_nasi.pdf pada tanggal 30 Juli 2021.
28
29

Anda mungkin juga menyukai