Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PUASA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

FIQIH 1 (IBADAH)
Dosen Pengampu : Muhammad Zaki Akhbar Hasan, M.Pd

KELOMPOK 7
Disusun Oleh:

1. MUHAMAD SALMAN PADIL


2. NUNUNG NURHAYATI
3. PRIYATNA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL HUDA

SUBANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia, serta
kasih sayang-NYA. Shalawat serta salam, semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan
kita, yakni Habibana wanabiyyana wamaulana Muhammad SAW, sebagai pembawa syariat yang
diimani, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Atas
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis makalah Fiqih ini mampu membuat makalah Puasa.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dalam isi
maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan masih sedikitnya pengetahuan dan wawasan kami.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun,
guna untuk menyempurnakan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Akhirnya,
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi kami dan
umumnya bagi pembaca.

Subang, 30 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 2
A. Pengertian Puasa................................................................................................................ 2
B. Dasar Hukum Puasa .......................................................................................................... 3
C. Syarat dan Rukun Puasa ................................................................................................... 5
1. Syarat Puasa ..................................................................................................................... 5
2. Rukun Puasa ..................................................................................................................... 5
D. Jenis-Jenis Puasa ................................................................................................................ 7
E. Waktu Puasa....................................................................................................................... 8
F. Keringanan Puasa .............................................................................................................. 9
G. Hikmah Puasa.................................................................................................................. 10
BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan........................................................................................................................ 12
B. Saran .................................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan amalan-amalan ibadah yang tidak hanya oleh umat sekarang tetapi juga
dijalankan pada masa umat-umat terdahulu. Bagi orang yang beriman ibadah puasa merupakan
salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan
ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan pahala kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah telah
menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya diantara amal-amal ibadah lainnya. Puasa
difungsikan sebagai benteng yang kokoh yang dapat menjaga manusia dari bujuk rayu setan.
Allah memerintahkan puasa bukan tanpa sebab. Karena segala sesuatu yang diciptakan tidak
ada yang sia-sia dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti demi kebaikan hambanya. Kalau
kita mengamati lebih lanjut ibadah puasa mempunyai manfaat yang sangat besar karena puasa
tidak hanya bermanfaat dari segi rohani tetapi juga dalam segi jasmani. Barang siapa yang
melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan aturan maka akan diberi ganjaran yang besar oleh
Allah.
Puasa mempunyai pengaruh menyeluruh baik secara individu maupun masyarakat dalam
hadits telah disebutkan hal-hal yang terkait dengan puasa seperti halnya mengenai kesehatan, dan
lain sebagainya. Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah diajarkan perilaku-perilaku
yang baik seperti halnya sabar, bisa mengendalikan diri dan mempunyai tingkah laku yang baik.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat kita ungkapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan Puasa?
2) Sebutkan jenis-jenis Puasa, syarat dan rukun Puasa, dan waktu berpuasa?
3) Apa saja hikmah berpuasa?

C. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui pengertian Puasa, jenis-jenis Puasa, syarat dan rukun Puasa, waktu berpuasa,
dan hikmah berpuasa.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa

1. Pengertian Puasa Secara Etimologi


Kata puasa yang dipergunakan untuk menyebutkan arti dari al-Shaum dalam rukun Islam
keempat ini dalam Bahasa Arab disebut, ‫ صوم صيام‬yang berarti puasa.[1] Menurut L. Mardiwarsito
dalam bahasa kawi disebut “upawasa” yang berarti berpuasa.[2] Dalam Bahasa Arab puasa disebut
shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu atau
mengendalikan diri.[3] Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi’i mengatakan:

)‫طعَ ٍام ا َ ْو ك َََل ٍم ا َ ْو ِسي ٍْر‬ ِ ْ ً‫صا ُم ( َم ْعنَاهُ َما لُغَة‬


َ ‫اْل ْم َساكُ َع ْن‬ َ َ ‫ان) ت‬
ِ ‫صدَ َر‬
ْ ‫ص ْو ُم َم‬
َّ ‫(وه َُو َوال‬
َ

Artinya : "kata shiyam dan shaum keduanya merupakan bentuk masdar dari fi'il madhi
shaama yang secara lughot (bahasa) berarti menahan diri dari makan, berbicara, dan
berjalan." [4]

Secara umum pengertian puasa menurut bahasa adalah menahan diri atau mengendalikan diri
baik dari makan, bicara, maupun berjalan.

2. Pengertian Puasa Secara Terminologi


Secara terminologi, pengertian puasa banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya oleh:

1) Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi'i


Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya
seperti keinginan untuk bersetubuh, dan keinginan perut untuk makan semata-mata karena
taat (patuh) kepada Tuhan dengan niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadhan,
puasa kifarat atau puasa nadzar pada waktu siang hari mulai dari terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada hari raya, hari-hari
tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh seorang muslim yang berakal (tamyiz), suci dari
haid, nifas, suci dari wiladah (melahirkan) serta tidak ayan (kejang) dan mabuk pada siang
hari.[5]

2) Abi Yahya Zakaria al-Anshari


Puasa menurut syara' yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya
sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.[6]

3) Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini


Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari sesuatu yang telah ditentukan bagi seseorang
yang telah ditentukan pula pada waktu tertentu dengan beberapa syarat.[7]

2
4) Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani
Puasa menurut syara’ adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan
lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari padanya sepanjang hari menurut cara
yang telah disyaratkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia (membuat),
perkataan yang merangsang (porno), perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun
yang makruh pada waktu yang telah disyariatkan, disertai pula memohon diri dari
perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang telah
ditetapkan dan menurut syara’ yang telah ditentukan.[8]

5) Fathul Mu’in.
Puasa menurut bahasa, kata ini mempunyai arti “menahan”, sedang menurut syara’ adalah
menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat.[9]

6) Abdur Rahman Shad dalam bukunya yang berjudul The Rights of Allah and Human Rights
mengatakan:
"Fasting is a noble act of high merits because who so ever observes it, suppresses his carnal
lust, abjures his pleasures and abstains from eating and drinking for his sake".[10]

“Puasa adalah perbuatan mulia yang mengandung manfaat besar bagi siapa saja yang
melaksanakannya, yaitu dengan menahan hawa nafsu, meninggalkan kesenangan dan
menahan makan dan minum yang dilakukan semata-mata karena Allah.”

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa puasa (shiyam) adalah
suatu substansi ibadah kepada Allah Swt. yang memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan
menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam
kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya, sejak terbit fajar hingga
terbenam matahari yang dilakukan oleh muslim yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang
dilakukan dengan yakin dan disertai dengan niat.

B. Dasar Hukum Puasa


Allah Swt memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-Nya. Mewajibkan pada umat-
Nya yang beriman untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. Surat
Al-Baqarah ayat 183-184:

‫ت فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم‬ٍ ‫) أَيَّا ًما َم ْعد ُودَا‬381( َ‫ب َعلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ِ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
‫صو ُموا َخي ٌْر‬ ُ َ ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ َوأ َ ْن ت‬ َ َ ‫ين فَ َم ْن ت‬
َ ‫ط َّو‬ َ ٌ‫ضا أ َ ْو َعلَى َسف ٍَر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ ِفدْ َية‬
ٍ ‫ط َعا ُم ِم ْس ِك‬ ً ‫َم ِري‬
)381( َ‫لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka
barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang

3
yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya,
dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah (2): Ayat 183-
381)

Pada awal ayat dipergunakan kata-kata panggilan kepada orang-orang yang beriman (‫ٰ)ا َمنُ ْوا‬
tentu hal ini mempunyai maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Karena puasa itu bukan
suatu ibadah yang ringan, yakni harus menahan makan, minum, bersenggama dan keinginan-
keinginan lainnya. Sudah tentu yang dapat melaksanakan ibadah tersebut hanyalah orang-orang
yang beriman saja. Dalam hal ini Prof. Hamka menjelaskan:

“Abdillah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu ayat telah dimulai dengan
panggilan kepada orang-orang yang percaya sebelum sampai ke akhirnya kita sudah tahu
bahwa ayat ini mengandung suatu perihal yang penting ataupun suatu larangan yang berat.
Sebab Tuhan Yang Maha Tahu telah memperhitungkan terlebih dahulu bahwa yang bersedia
menggalangkan bahu buat memikul perintah Ilahi itu hanya orang yang beriman, Maka
perintah puasa adalah salah satu perintah yang meminta pengorbanan kesenangan dia dan
kebiasaan tiap hari”[11]

Berdasarkan ayat di atas tegas bahwa, Allah Swt mewajibkan puasa kepada hamba-hamba-
Nya yang beriman, sebagaimana Dia telah mewajibkan kepada para pemeluk agama sebelum
mereka. Dia telah menerangkan sebab diperintahkannya puasa dengan menerangkan sebab
diperintahkannya puasa dengan menjelaskan faedah-faedahnya yang besar dan hikmah-hikmahnya
yang tinggi, yaitu mempersiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk mempercayai derajat yang
takwa kepada Allah Swt dengan meninggalkan keinginan-keinginan yang dibolehkan demi
mematuhi perintah-Nya dan demi mengharapkan pahala dari sisi-Nya, supaya orang mukmin
termasuk golongan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yang menjauhi larangan-larangan-
Nya.

Perintah puasa bagi umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT. pada bulan yang mulia yaitu
bulan Ramadhan karena di bulan Ramadhan itulah diturunkan Al-Qur’an kepada umat manusia
melalui Nabi besar Muhammad Saw. Rasulullah memberi petunjuk tentang ketentuan tibanya
waktu kewajiban yaitu datangnya bulan suci Ramadhan, dengan sabdanya:

ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫سو َل اللَّ ِه‬
ُ ‫ي اللَّهُ َع ْن ُه َما أ َ َّن َر‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ ‫ع ْب ِد اللَّ ِه ب ِْن‬
َ ‫ع ْبد ُ اللَّ ِه ْب ُن َم ْسلَ َمةَ َحدَّثَنَا َما ِلكٌ َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه ب ِْن دِين ٍَار َع ْن‬
َ ‫َحدَّثَنَا‬
ْ ُ ْ َ
‫غ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَأك ِملوا ال ِعدَّة َ ث َ ََلثِي َن‬
ُ ‫صو ُموا َحتَّى ت ََر ْوهُ فَإ ِ ْن‬ ً َّ
ُ َ ‫َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل ال َّش ْه ُر تِ ْس ٌع َو ِع ْش ُرونَ لَ ْيلَة فَ ََل ت‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah menceritakan
kepada kami Malik dari 'Abdullah bin Dinar dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Satu bulan itu berjumlah dua puluh
sembilan malam (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya. Apabila

4
kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh". (HR
Bukhari No 1774)

Petunjuk Rasulullah di atas menunjukkan bahwa umat Islam wajib melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan, yakni “apabila telah melihat bulan, atau dengan persaksian seorang yang adil,
apabila tidak terlihat bulan dan tidak ada persaksian tentang telah ada bulan, beliau
menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari”

C. Syarat dan Rukun Puasa


1. Syarat Puasa
Para ulama ahli fiqih membedakan syarat-syarat puasa atas:

1) Syarat wajib puasa yang meliputi [12]


a) Islam
b) Baligh
c) Kuat berpuasa (qadir)
d) Sehat
e) Mukim
2) Syarat syah puasa yang mencakup [13]
a) Islam
b) Berakal (‘aqli)
c) Suci dari pada darah haid, nifas dan wiladah
Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid. Jika mereka sedang haid
tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan mengerjakan qadha sebanyak puasa yang
ditinggalkan setelah selesai bulan puasa.
Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu itu menyusui
anaknya ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak perbedaan antara meninggalkan
shalat dan meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid.
Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban shalat, sedangkan pada
puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk dibayar (diqadha) pada waktu yang lain.
Dikerjakan dalam waktu atau hari yang dibolehkan puasa.

2. Rukun Puasa
1) Niat
Berniat mengerjakan sesuatu dengan sadar dan sengaja mengerjakan sesuatu berarti
sesuatu itu dikerjakan dengan kemampuan kita. Hasil perbuatan itu mungkin baik mungkin
tidak. Nilai tidak dikaitkan dengan hasil itu, tetapi pada nilai perbuatan. Perbuatan khilaf,
tidak mampu, tidak tahu akibatnya karena lupa dan dipaksa oleh keadaan atau oleh orang
(sehingga tidak ada jalan lain) adalah tindakan yang dikerjakan di luar kemampuan.
Dengan demikian perbuatan itu tidak berpangkal dengan niat. Maka betapa buruk atau

5
jahatpun akibat dari perbuatan itu, si pelaku tidak dibebankan dosa, artinya dinilai tidak
bersalah oleh ajaran Islam. [14]
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada malam hari, dengan niat itu
orang mulai mengarahkan hatinya untuk berpuasa esok hari, karena Allah SWT dan
mengharap ridhaNya. Diingatkannya dan bertekad mengerjakan suruhan Agama dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang mesti mengucapkan niat itu hati.
Karena hati itulah memancar kemauan keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits
Rasul:
‫ام لَهُ (رواه الدارقطني‬ ِ َ‫ام قَ ْب َل الفَج ِْر فََل‬
َ َ‫صي‬ َ َ‫الصي‬
ِ ‫ت‬ ِ ‫ َم ْن لَ ْم يُبَ ِي‬: ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صةَ َع ِن النَّ ِب ِى‬
َ ْ‫َع ْن َحف‬
)‫وغيره‬

Artinya: “Dari Hafsah bahwasanya Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang tidak
niat di malam hari untuk puasanya sebelum (keluarnya) fajar maka tiada
puasa baginya,” (HR. al-Daruquthni dan lainnya).[15]

Hadits di atas menyatakan bahwa puasa tidak sah kecuali dengan menetapkan niat pada
waktu malam sebelum terbit fajar dan waktu penetapan niat itu semenjak terbenam
matahari.

Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Subulus Salam:

Dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan, berpuasa tanpa
adanya niat puasa untuk melaksanakan ibadah, tapi semata-mata untuk kesehatannya.
Orang yang demikian akan mendapatkan manfaat jasmaniah saja, tapi tidak mendapatkan
rohaniah. Dengan demikian, niat puasa harus ada pada orang yang berpuasa, karena tanpa
niat berarti tidak ada puasa.

2) Menahan dari segala yang membatalkan puasa


Dengan niat berpuasa sungguh-sungguh maka orang yang berpuasa tidak saja menahan
untuk tidak makan, tidak minum dan tidak pula bersetubuh dengan suami dan istri dari
terbit fajar sampai terbenam matahari. Tetapi juga menjauhkan segala perbuatan kotor dan
jahat. Orang yang berpuasa menahan haus dan lapar sepanjang hari tetapi setelah malam
lalu makan dan minum sebanyak-banyak menghilangkan akan maksud puasa yang
dikehendaki Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-A’raf ayat 31:
‫ٰيبَنِ ْۤ ْي ٰادَ َم ُخذ ُ ْوا ِز ْينَت َ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َّو ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َو ََل تُس ِْرفُ ْوا ۚ اِنَّهٗ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِ ْي َن‬

Artinya: "Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf (7): Ayat 31)

Pada ayat di atas menjelaskan bahwa Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu
yang bagus pada setiap (memasuki) masjid. Dengan menyampaikan seruan kepada seluruh
anak Adam, dapatlah kita pahamkan bahwa agama Islam bukanlah khusus untuk suatu
6
bangsa saja, melainkan benarlah bahwa Nabi Muhammad Saw rahmat bagi seluruh Islam,
laki-laki dan perempuan. Disini diperintahkan kepada mereka tegasnya kepada kita masuk
ke suatu masjid ialah kalau kita hendak bersujud sembahyang, karena arti asal dari masjid
ialah tempat sujud, hendaklah kita upamakan perhiasan artinya hendaklah memakai
pakaianmu yang pantas.[16]

Sedangkan menurut Ibnu Katsir, ayat ini sebagai penolakan atas pendapat kaum
musyakan yang tawaf di Ka’bah dengan telanjang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas. Karena itu maka Allah dalam ayat ini menyuruh berpakaian terutama yang dapat
menutupi aurat dan juga dianjurkan memakai pakaian yang bagus pada tiap ibadah di
masjid untuk shalat dan tawaf.[17]

Ditinjau dari ilmu kesehatan, makan yang berlebih-lebihan membahayakan kesehatan


biarpun tidak dalam puasa, apalagi dalam puasa sesudah perut dalam keadaan kosong.
Orang yang berpuasa pada siang hari sedang dalam malam harinya ia makan dan minum
sepuas-puasnya, bukanlah timbul dari iman dan keinsyafan akan perbaikan dan faedah
puasa yang dikehendaki itu.

D. Jenis-Jenis Puasa
Dilihat dari waktu pelaksanaannya puasa dibagi menjadi dua, yaitu puasa yang dilaksanakan
pada bulan Ramadhan dan puasa yang dilaksanakan diluar bulan Ramadhan, seperti puasa qadha
dan puasa enam hari pada bulan Syawal.[18]

Sedangkan dilihat dari segi pelaksanaannya, hukum puasa dibedakan atas:

1) Puasa wajib: yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat (puasa yang wajib dikerjakan
karena melanggar suatu aturan yang telah ditentukan), puasa nadzar (puasa yang dilakukan
karena mempunyai nadzar/janji kebaikan yang pernah diucapkan) dan puasa qadha (puasa
yang kita niatkan untuk mengganti kewajiban sesudah lewat waktunya).
2) Puasa Sunnah atau puasa tathawwu’: yaitu puasa enam hari bulan Syawal, puasa hari senin
kamis, puasa arafah (9 Dzulhijjah) kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan ibadah
haji tidak disunnahkan, puasa hari A’syura (10 Muharram), puasa bulan Sya’ban dan
puasa tengah bulan (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah).
3) Puasa Makruh: yaitu puasa yang dilakukan terus-menerus sepanjang masa kecuali pada
bulan Haram, disamping itu makruh puasa setiap hari sabtu saja atau tiap jum’at saja.
4) Puasa Haram: yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada Hari Raya
Idul Fitri (1 Syawal), hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), hari-hari tasyrik (11, 12 dan 13
Dzulhijjah).[19]

7
Dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya dipegangkan adalah untuk
mencapai ketaqwaan/la’alakum tattaqun. Taqwa diambil dari kata yang bermakna, menghindar,
menjauhi atau menjaga diri. Kalimat perintah Ittaqullah secara harfiyah berarti hindarilah, jauhilah
atau jagalah dirimu dari Allah Swt.

E. Waktu Puasa
Allah SWT telah memilih bulan Ramadhan, yaitu bulan diturunkannya Al-Qur’an untuk
berpuasa pada bulan itu kaum muslimin diperintahkan berpuasa pada siang hari dan berlaku pada
malam harinya. Untuk mengetahui mulainya puasa atau 1 hari bulan Ramadhan, Allah SWT dan
Rasul menunjukkan jalannya, yaitu melihat bulan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam
QS. Al-Baqarah ayat 185:

َ‫ص ْمه ُ ۚ َو َم ْن کَان‬ ُ ‫ت ِمنَ ْال ُه ٰدى َوا ْلفُ ْرقَا ِن ۚ فَ َم ْن َش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْل َيـ‬ ٍ ‫ِي ا ُ ْن ِز َل ِف ْي ِه ْالقُ ْر ٰا ُن ُهدًى ِلل َّنا ِس َو َب ِي ٰن‬ ْ ْۤ ‫ضا نَ ا َّلذ‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
‫ضا ا َ ْو َع ٰلى َسف ٍَر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن اَيَّا ٍم اُخ ََر ۚ ي ُِر ْيد ُ اللّٰهُ ِب ُک ُم ْاليُس َْر َو ََل ي ُِر ْيد ُ ِب ُک ُم ْالعُس َْر ۚ َو ِلت ُ ْک ِملُوا ْال ِعدَّة َ َو ِلتُک َِب ُروا اللّٰ َه َع ٰلى َما‬ ً ‫َم ِر ْي‬
‫َه ٰدٮ ُك ْم َولَ َعلَّ ُک ْم ت َ ْش ُك ُر ْو َن‬

Artinya: "Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan
itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa),
maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah (2): Ayat 185)

Quraish Shihab berpendapat bahwa uraian Al-Qur'an tentang puasa Ramadhan, ditemukan
dalam surat Al-Baqarah ayat 183, 184, 185 dan 187, ini berarti bahwa puasa Ramadhan itu
diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena Ulama’ Al-Qur'an sepakat bahwa surat Al-
Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa
Ramadhan ditetapkan oleh Allah Swt pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah. Uraian Al-Qur'an
tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong
umat Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kesalahan pun.[20]

Dalam ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa orang mulai berpuasa sesudah melihat bulan
dalam arti sesudah masuk bulan Ramadhan dan bukan dalam arti sesudah tiap-tiap kita melihat
bulan. Begitu juga dengan hendak berhari raya karena dalam melakukan cara ru’yah cukup dengan
satu keterangan satu saksi saja. Saksi seorang muslim telah cukup syarat untuk mulai berpuasa,
tetapi jika ada dua atau lebih saksi yang mengaku melihat bulan itu adalah lebih baik dan afdhol.

Menurut istilah fiqih ru’yah adalah melihat bulan untuk menetapkan satu hari bulan Ramadhan
sebagai tanda mulai puasa, dan satu hari bulan Syawal untuk berhari raya. Sedangkan istilah hisab

8
yaitu menetapkan satu hari bulan Ramadhan dan satu hari bulan Syawal menurut perhitungan ilmu
falak (hisab). Dengan demikian, untuk mengetahui jatuhnya waktu puasa dapat dilakukan dengan
melihat bulan (ru’yah) dan dengan ilmu falak (hisab).[21]

F. Keringanan Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah dapat membedakan
sendiri antara yang baik dan buruk), Baligh (sudah dewasa, qaddir dan sehat jasmani).[22] Wajib
dijalankan selama hayat dikandung badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok
orang-orang benar-benar tidak mampu atau sukar sekali untuk menjalankannya, baru terbuka
kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau diperinci orang-orang yang
diberi kelonggaran adalah sebagai berikut :[23]
1) Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dan wajib puasa
selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi mereka diwajibkan mengganti puasa
sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
2) Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil dan perempuan yang menyusui
anak. Tapi mereka harus mengqadha lain-lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka
membayar fidyah, bagi kedua golongan yang terakhir ini.
3) Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
4) Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya
5) Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa puasa, seperti pekerja-
pekerja tombang, abang-abang becak, buruh-buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-
pelabuhan dan sebagainya.
Jadi bukan keinginan Allah SWT, tetapi keadaan yang benar-benar tidak memungkinkan kita.
Apabila terhalang mengerjakan puasa boleh tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya
sesudah halangan itu lenyap atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan tersebut dengan
hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus sehingga betul-betul tidak mampu
mengganti hari-hari tidak berpuasa itu dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib
puasa dengan memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾ liter beras
satu dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah).

Puasa itu wajib, tetapi Islam tidaklah memberatkan dan menyaksikan penganutnya, tapi untuk
mewujud jalan baginya, di dunia dan di akhirat. Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam
benar-benar tidak terpikat (sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang
kelonggaran. Disebutlah firman Allah SWT. Dalam QS Al-Baqarah ayat 286:

‫طأْنَا ۚ َربَّنَا َو ََل ت َحْ ِم ْل َعلَيْن َْۤا‬


َ ‫اخذْن َْۤا ا ِْن نَّ ِسيْن َْۤا ا َ ْو ا َ ْخ‬
ِ ‫ت ۚ َربَّنَا ََل ت ُ َؤ‬ْ َ‫ت َو َعلَيْ َها َما ا ْكت َ َسب‬
ْ َ‫سب‬َ ‫ف اللّٰهُ نَ ْف ًسا ا ََِّل ُو ْسعَ َها ۚ لَ َها َما َك‬
ُ ‫ََل يُك َِل‬
ٰ
‫ت َم ْولٮنَا‬ َ ‫ْف َعنَّا ۚ َوا ْغ ِف ْر لَنَا ۚ َوا ْر َح ْمنَا ۚ ا َ ْن‬ ُ ‫طا قَة لَنَا بِه ۚ َوا ع‬ َ ْ َّ ْ
َ ‫ص ًرا َك َما َح َملت َهٗ َعلَى ال ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِلنَا ۚ َربَّنَا َو ََل ت ُ َح ِملنَا َما ََل‬ ْ ِ‫ا‬
ٰ ْ ْ َ
َ‫ص ْرنَا َعلى القَ ْو ِم الك ِف ِريْن‬ُ ‫فَا ْن‬

9
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia
mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari
(kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani
kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami
memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung
kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah )2(: Ayat 286)

Pada ayat terakhir QS. Al-Baqarah ialah lanjutan dan gambaran orang yang beriman bersama
Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan atas permohonan ampun mereka jika terdapat
kekurangan pada amal mereka. Allah SWT berfirman: memang tidaklah ada suatu perintah dan
didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat,
apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah sembahyang tidak sanggup berdiri boleh duduk
atau tidak sanggup duduk, boleh tidur. Tidak ada air bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir
dan sakit, boleh diganti di hari yang lain.[24]

Bahwa dengan demikian puasa itu ialah untuk melindungi mu’min dan kejahatan bukan untuk
menyiksa atau memasukkannya. Karena itu anak juga belum diwajibkannya puasa, namun
demikian ia sudah dibiasakan sebagai persiapan dan latihan untuk ketika aqil baligh, yang nantinya
puasa sudah menjadi kebiasaannya.

G. Hikmah Puasa
a. Dapat menghantarkan manusia menjadi insan bertakwa.
b. Dapat menumbuhkan semangat bersyukur terhadap nikmat Allah.
c. Puasa dapat menurunkan daya seksual.
d. Puasa disamping menyehatkan badan sebagaimana yang telah diteliti oleh dokter spesialis,
juga menenangkan aspek kejiwaan atas aspek materil yang ada dalam diri manusia.
e. Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu, membiasakan bersifat sabar,
dan dapat membangkitkan semangat.
f. Puasa mengingatkan orang-orang yang kaya akan penderitaan dan kelaparan yang dialami
oleh orang-orang miskin.
g. Tazkiyat al-Nafsi (membersihkan jiwa), yaitu dengan jalan mematuhi perintah-perintah-Nya,
menjauhi segala larangan-larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan
peribadatan kepada Allah Swt semata.[25]

10
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, hikmah puasa itu telah diterangkan dalam Al-Qur'an yaitu
menjadi orang yang takwa dan menjadi tangga yang menyampaikan kita kepada derajat muttaqin.
Jadi Allah Swt memfardhukan puasa kepada kita agar :[26]

a. Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan
kepada orang melarat hidupnya.
b. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Perlu diketahui bahwa puasa itu suatu
amalan Allah Swt yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah
Swt dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang sempurna yang
dipertaruhkan kepada manusia.
c. Untuk menyuburkan dalam jiwa manusia kekuatan menderita, bila terpaksa menderita dan
untuk menguatkan iradah atau kehendak manusia dan untuk meneguhkan keinginan dan
kemauan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Puasa menurut bahasa adalah menahan diri atau mengendalikan diri baik dari makan,
bicara, maupun berjalan.
 Puasa menurut istilah adalah suatu substansi ibadah kepada Allah Swt. yang memiliki
syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut,
dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan,
minuman, obat dan semacamnya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang
dilakukan oleh muslim yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang dilakukan dengan
yakin dan disertai dengan niat.
 Syarat wajib puasa yang meliputi : Islam, Baligh, Kuat berpuasa (qadir), Sehat, Mukim
 Syarat syah puasa yang mencakup : Islam, Berakal (‘aqli), Suci dari pada darah haid, nifas
dan wiladah.
 Rukun Puasa : Niat dan Menahan dari segala yang membatalkan puasa.
 Jenis-Jenis Puasa :
Puasa wajib : yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat (puasa yang wajib dikerjakan
karena melanggar suatu aturan yang telah ditentukan), puasa nadzar (puasa yang dilakukan
karena mempunyai nadzar/janji kebaikan yang pernah diucapkan) dan puasa qadha (puasa
yang kita niatkan untuk mengganti kewajiban sesudah lewat waktunya).
Puasa Sunnah atau puasa tathawwu’: yaitu puasa enam hari bulan Syawal, puasa hari
senin kamis, puasa arafah (9 Dzulhijjah) kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan
ibadah haji tidak disunnahkan, puasa hari A’syura (10 Muharram), puasa bulan Sya’ban,
puasa tengah bulan (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah).
Puasa Makruh : yaitu puasa yang dilakukan terus-menerus sepanjang masa kecuali pada
bulan Haram, disamping itu makruh puasa setiap hari sabtu saja atau tiap jum’at saja.
Puasa Haram : yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada Hari Raya
Idul Fitri (1 Syawal), hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), hari-hari tasyrik (11, 12 dan 13
Dzulhijjah).

B. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami untuk
mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa dipahami oleh para
pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari Bapak Dosen
yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. K.H. ADIB BISRI DAN K.H. MUNAWAR AL-FATAH, KAMUS INDONESIA ARAB,
ARAB INDONESIA, (SURABAYA: PUSAKA PROGESSIFME, 1999), HLM. 272.
2. L. MARDIWARSITO, KAMUS JAWA KUNO(KAWI), (INDONESIA: NUSA INDAH,
1978), HAL. 380.
3. MOHAMMAD DAUD ALI, S.H., PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, (JAKARTA: PT.
RAJA GRAFINDO PERSADA, 1998), HAL. 276.
4. ABI A'BDILLAH MUHAMMAD BIN QASIM AL-SYAFI`I, TAUSYAH A’'LA FATH
AL- QARIIB AL-MUJIB, (DAR AL-KUTUB AL-ISLAMIAH, T.TH.), HAL.110.
5. Ibid., hal. 110.
6. Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Manhaj al-Thulab,Juz I,
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal, 118.
7. Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hilli Ghayat
al-Ikhtishar, Juz I, (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal. 204.
8. Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Darul al Kitab
al Ilmiyah, t.th.), hlm. 305.
9. Syeikh Zainudin bin Abdul Aziz al-Malyabars, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrot al-A’in,
(Indonesia: Dar al-Ikhya al Kutub al-Arabiyah, t. th), hlm. 54
10. Abdur Rahman Shad, The Right of Allah and Human Right, (Delhi: Shandar Market,
1993), hal. 47
11. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid II, (Jakarta: PT. Pustaka, Panji Mas, 1994), hlm. 90.
12. TEAM PENYUSUN TEXT BOOK ILMU FIQH I, ILMU FIQH, JILID I (JAKARTA:
PROYEK PEMBINAAN PRASARANA DAN SARANA PERGURUAN TINGGI
AGAMA/IAIN JAKARTA, 1983), HLM. 302.
13. Ibid., hlm. 303.
14. SIDI GAZALBA, ASAS-ASAS AGAMA ISLAM, (JAKARTA: BULAN BINTANG,
1975), HLM. 142.
15. AL-HAFID BIN HAJAR AL-ASQOLANI, BULUGHUL MARAM, (AN-NASIR:
SYIRKATUN NUR ASYYAA, T.TH), HLM : 132.
16. Hamka, Tafsir al Azhar, juz VIII, (Jakarta: PT. Pustaka Pandji Mas, 1984), hlm. 210.
17. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahresey, Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III,
(Surabaya; PT. Bina Ilmu, 1986), hlm. 396.
18. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid. IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1993), hlm. 113.
19. Muslich Maruzi, Pedoman Ibadah Puasa, (Jakarta: Pustaka Amani, 1990), hlm. 12-13
20. M. Quraish Shihab, MA, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 523
21. H. Abdullah Siddik, SH. Op.Cit., hlm. 146.
22. Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 149.
23. Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), hlm. 262.
24. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Op. Cit, hlm. 92.
25. Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Inter Media, 2000), hlm. 21-27.
26. TM. HASBY ASH-SHIDDIQIE, PEDOMAN PUASA, (SEMARANG: PT. PUSTAKA
RIZKI PUTRA, 1997), HLM. 44.

13

Anda mungkin juga menyukai