Disusun Oleh :
SUNANTA
NIM. 20086040039
PROGRAM PASCASARJANA
HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2021
1. KAIDAH FIQIH AL-UMURU BI MAQASIDIHA
1.2. Hadist
Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran maksud dan tujuan
seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seperti berikut:
إِنا َما اْۡل َ ْع َما ُل: س ْو َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَقُ ْو ُل َ : ع ْنهُ قَا َل
ُ سمِ ْعتُ َر َ ُي هللا
َ ض
ِ ب َر ع َم َر ب ِْن ْال َخ ا
ِ طا ٍ ع ْن أَمِ ي ِْر ْال ُمؤْ مِ نِيْنَ أَبِ ْي َح ْف
ُ ص َ
ِ َت ِه ْج َرتُهُ ِلدُ ْنيَا ي
ُص ْيبُ َها ُ س ْو ِل ِه فَ ِه ْج َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َر
ْ َو َم ْن كَان،ِس ْو ِله ُ َت ِه ْج َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َر ٍ ت َوإِنا َما ِل ُك ِل ا ْم ِر
ْ فَ َم ْن كَان. ئ َما ن ََوى ِ بِالنِياا
رواه إماما المحدثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن. )أَ ْو ا ْم َرأَةٍ يَ ْن ِك ُح َها فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما هَا َج َر إِلَ ْي ِه
بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan itu (tergantung)
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim
Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya )
Dalam hadis lain di sebutkan:
ُصيبُ َهاأ َ ْو ْام َرأَةٍيَ ْن ِك ُح َها
ِ و َم ْنكَانَتْ ِه ْج َرت ُ ُه ِلدُ ْنيَاي، ُ سو ِل ِهفَ ِهجْ َرت ُ ُهإلَىاللا ِه َو َر
َ سو ِل ِه ُ فَ َم ْنكَانَتْ ِه ْج َرت ُ ُهإلَىاللا ِه َو َر،و ِإنا َما ِل ُك ِٗل ْم ِرئٍ َمان ََوى،ِ
َ ااۡل َ ْع َمالُ ِبالنِياات
ْ إنا َم
فَ ِه ْج َرت ُ ُهإلَى َماهَا َج َرإلَيه
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap
orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka
hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim ra.).
انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه هللا اَّل أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك
Artinya: "Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan
Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari).
من قتل لتكون كلمة هللا هي العليا فهو فى سبيل هللا عزوجل
Artinya; "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di
jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-
hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan
dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau
niat orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan
memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu
perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian
pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah,
maka ibadahnya tidak sah.
Di antara sumber-sumber qaidah di atas, yang langsung menunjuk kepada peranan niat
dalam semua perkara adalah hadis “ "تاينٗلب َّلمعٗلا امنا. Hadis itu satu pokok penting dalam ajaran
Islam. Imam Syafi’i dan Ahmad berkata : “Hadis tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.”
Begitu pula kata al-Baihaqi. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat, ucapan dan
tindakan.
Cabang kaidah al umuru bimaqashidiha.
Dari qaidah tersebut terdapat beberapa qaidah lain dibawahnya antaralain sebagai
berikut;
a. pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannya () العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمبان
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi
saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang,
maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
a. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidah (َّلثواب اَّلبالنيةtidak ada pahala kecuali dengan niat).
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawaid al-kuliyyahyang pertama sebelum al-umur
bimaqasidiha. Seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki. Tampaknya
Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya َّلثواب وَّلعقـاب
(اَّلبالنيةtidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya).
b. Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati atau diniatkan,
maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati ()لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب.
Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota
badan, maka wudûnya tetap sah.
c. (َّليلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعلهtidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi
wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak
berniat setiap perubahan rukunnya.
d. ( كل مفرضين فٗلتجزيهنانية واحدة اَّل الحج والعمرةsetiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat,
kecuali ibadah haji dan 'umrah). Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini
wajib membayar dam.
Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam.
Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan
sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan
oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-
masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.
e. ( كــل ماكان له أصل فٗلينتقل عن أصله بمجرد النيةsetiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa
bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian
setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda
dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat
saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.
f. مقاصد اللفظ على نية الٗلفظ اَّل فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan).
Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka
maksud lafaz adalah menurut niat qadi".
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan
seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang
dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu
maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
g. ( اۡليمان مبنية على اۡللفاظ والمقاصدsumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus
untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah saya
bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud
dengan sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis
lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia
untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
h. ( النية فى اليمين تخصص اللفظ العام وَّل تعمم الخاصniat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm,
tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas). Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan
kasus orang yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan
manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu Umar, maka
sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula pada orang yang
menerima minuman dari orang lain. Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan
memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai
melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian
memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
i. ماَّليشترط التعرض له جملة وتفصيٗلاذاعينه وأخطأ لم يضر
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat- nya. Qiyas dari segi ini terbagi dua
macam, yaitu : qiyas Jali dan qiyas Khafi
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illat- nya dengan hukum qiyas ini terbagi
kepada dua macam, yaitu : qiyas Muatasir dan qiyas Mulaain
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu. Qiyas ini
terbagi tiga macam, yaitu : qiyas Ma’na, qiyas ‘illat dan qiyas Dilalah.
5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan
dalam furu’. Qiyas ini terbagi empat macam yaitu : qiyas al-Ikhalah, qiyas al-Syaah, qiyas
al-Sabru dan qiyas al-Thardu.1
Menurut Imam Syafi’i qiyas merupakan salah satu diantara sumber hukum setelah al-
Qur’an, al- Sunnah dan Ijma’ sebagaimana ungkapan beliau:
يحكم بالكتاب والسنة المجتمع عليها الذى َّلختٗلف فيها فنقول لهذا حكمنا بالحق فى الظاهر والباطن ويحكم بالسنة قد
رويت من طريق اَّلنفراد َّليجتمع الناس عليها فنقول حكمنا بالحق فى الظاهر ۡلنه قد يمكن الغلط فيمن روى الحديث
ونحكم باإلجماع ثم القياس وهو أضعف من هذا ولكنها منزلة ضرورة ۡلنه َّليحل القياس والخبر موجود كما يكون التيمم
وكذ لك يكون ما.طهارة فى السفرعند اإلعواز من الماء وَّليكون طهارة إذا وجد الماء إنما يكون طهارة فى اإلعواز
.بعدالسنة حجة إذا أعوز من السنة
Artinya: Hukum ditetapkan dengan al-Kitab dan al-Sunnah yang telah disepakati tanpa
khilaf. Dalam hal ini saya mengatakan, bahwa keputusan ini saya yakini benar lahir dan
batin. Dapat juga ditetapkan berdasarkan al-Sunnah yang diriwayatkan melalui orang
seorang dan tidak mendapakan kesepakatan. Maka saya mengatakan bahwa saya telah
membuat keputusan hukum berdasarkan ijma’, kemudian berdasarkan qiyas., tetapi (qiyas)
itu lebih lemah adanya, namun (tindakan tersebut harus diambil mengingat bahwa) ini
adalah keadaan darurat. Qiyas tidak dibenarkan selama ada Sunnah, seperti halnya tayamum
hanya sah sebagai thaharah, dalam perjalanan, bila air tidak ditemukan, artinya jika air bisa
didapat, maka tayamumpun harus ditinggalkan. Ia menemukan kesucian (dengan tayamum)
hanya apabila tidak ada air. Demikianlah, dalil berikutnya hanya digunakan sebagai hujjah
bila al-Sunnah tidak ditemukan.
Sedangkan para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas
dalam hukum-hukum syariat. Dalam hal ini ada beberapa pendapat di antaranya :
1. Jumhur ulama’ ushul, mereka menganggap qiyas sebagai dalil Istinbath hukum-hukum
syariah . Alasan mereka adalah :
صونُ ُهم ُ ظنُّ ٓو ۟ا أَنا ُهم امانِ َعت ُ ُه ْم ُح ۟ ظنَنت ُ ْم أَن يَ ْخ ُر ُج
َ وا ِۖ َو َ ش ِر َۚ َماْ ب ِمن ِد ٰيَ ِر ِه ْم ِۡل َ او ِل ْٱل َحِ َ وا ِم ْن أ َ ْه ِل ْٱل ِك ٰت
۟ ج ٱلاذِينَ َكف َُر
َ ِى أ َ ْخ َر ٓ ه َُو ٱلاذ
ُ ٓ ۟ ْ
ْب َۚ ي ُْخ ِربُونَ بُيُوت َ ُهم بِأ َ ْيدِي ِه ْم َوأ َ ْيدِى ٱل ُمؤْ ِمنِينَ فَٱ ْعتَبِ ُروا ٰيَأ ۟و ِلى
َ ٱلرع ُّ ف فِى قُلُوبِ ِه ُم ۟
َ َْث لَ ْم يَحْ ت َ ِسبُوا ِۖ َوقَذ ٱَّلل فَأَت َ ٰى ُه ُم ا
ُ ٱَّللُ ِم ْن َحي ِ ِمنَ ا
ص ِر َ ٰ ْٱۡل َ ْب
Artinya : “ Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir diantara ahli kitab dari kampung
halamannya pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan
mereka dari (siksaan) Allah, maka Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari arah
yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah SWT menanamkan rasa takut kedalam hati
mereka, sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (al-Hasyri : 2).
I’tibar (pelajaran) dari ayat ini adalah siksaan yang ditimpakan kepada Bani Nadhir
yang berupa penghancuran rumah-rumah mereka dan pengusiran dari kampung halamannya,
yang merupakan balasan terhadap pelanggaran perjanjian mereka dan tipu dayanya terhadap
Rasullullah SAW. Ini menjadi pelajaran bagi orang lain dalam menerima siksaan, jika
mereka berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Bani Nadhir diatas. Dalam hal ini terdapat
satu i’tibar qiyas.
b. Bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau (Rasulullah SAW)
bertanya kepadanya? ”Bagaimana engkau menghukumi perkara, jika dihadapkan kepadamu
suatu perkara?” Muadz menjawab : “Saya hukumi dengan Kitabullah”. Lalu Nabi bertanya
lagi : “Bila tidak ada dalam kitabullah”, Mu’adz menjawab : “Akan aku hukumi dengan
sunnah Rasul". Nabi bertanya lagi :”Bila tidak ada dalam kitabullah dan sunnah Rasul ?
”Mu’adz menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pendapatku, dan tidak berlebihan”.
Berkata Mu’adz : maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan berkata : “Alhamdulillah
atas Dzat yang menyepakati utusan Rasulullah SAW atas apa yang diridhoi oleh Rasulullah
SAW. (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan lainnya).
2. Sebagian ulama’ Syiah dan segolongan dari ulama’ Mu’tazilah seperti al-Nadham juga
ulama’-ulama’ Dhahiriyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
Alasan mereka adalah semua peristiwa (perkara) sudah ada ketentuannya dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah baik yang ditujukan nash dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarat nash
(hukum yang tersirat) atau yang menunjukkan nash. Karena itu, tidak memerlukan qiyas
sebagai hujjah.
3. Al-Quffalusy Syasyi dari golongan Syafi’iyah dan Abu Hasan al-Basri dari golongan
Mu’tazilah. Keduannya berpendapat, bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita
lakukan baik secara agama maupun secara syariat.
Dalam kondisi yang seperti ini, jika hukum yang berlaku (ius constitutum) tidak bisa
memberikan jawaban dari setiap masalah-masalah yang terjadi, selanjutnya akan menimbulkan
kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena
itu, hukum dituntut adaptip untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada, begitu juga seorang
hakim dalam kondisi yang seperti ini ditantang untuk mengali hukum baru yang relevan dengan
perkembangan jawab untuk mengisi kekosongan tersebut, sehingga dirasa hukum itu bersifat
dinamika. Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam
dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia
suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.
Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi
hadits tersebut; Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika
mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan
kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan
kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz
menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu
tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan
pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan. Rasulullah (muadz) dalam hal
yang diridhoi oleh Rasulullah. Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan
eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber
hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.
Materi hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah adalah bersifat umum
dan Universal. Hukum yang demikian dapat diserap untuk memperkaya dan menyempurnakan
hukum nasional. Akan tetapi, untuk mempermudah penyerapan tersebut diperlukan rumusan-
rumusan yang jelas dan rasional, sehingga dapat diterapkan secara real. Dengan demikian, untuk
mengembangkan upaya kontribusi hukum Islam terhadap hukum nasional diperlukan pemikiran
kembali ajaran hukum al-Qur’an dan sunnah. Atau tegasnya, perlu adanya pembaharuan dibidang
hukum Islam, guna menjawab tantangan zaman.
Untuk menjawab persoalan, kita tidak mungkin lepas dari pembaharuan pemikiran Islam
secara umum. Dan dalam hal ini ditemukan dua pendekatan oleh para pakar, yakni: pendekatan
melalui analisis tekstual dan pendekatan sosio- historis. Pendekatan model pertama, melalui
analisis kebahasaan dan interpretasi dari ulama salaf, akhirnya didapat sebuah kesimpulan bahwa
kata pembaharuan (tajdid) dalam Islam mengandung enam elemen, diantaranya:
Sementara itu, Harun Nasution melihat pembaharuan dari konteks sosio- historis.
Menurutnya, wacana “pembaharuan” dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan
“modernisasi”. Ia menyebutkan bahwa istilah modernisasi dan modernisme berasal dari barat.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung pengertian pikiran, aliran, gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi modern.
Menurut Harun Nasution, pikiran dan aliran demikian segera memasuki lapangan hidup
keagamaan di Barat, yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaran- ajaran yang terdapat dalam
agama khatolik dan protestan dengan ilmu pengetahuan dan falasafah modern, yang berakhir
dengan munculnya sekularisme di Barat. Lalu, dengan adanya kontak dunia Islam dengan barat di
awal abad ke-19, ide-ide demikian masuk pula ke dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran
dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan pengembangan baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.
Dari dua paradigma diatas terlihat bahwa paradigma pertama meninjau pembahruan
secara umum, yakni berupa ijtihad untuk mendapatkan solusi atas permasalahan-permasalahan
baru yang muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul dalam
setiap generasi ummat. Sementara paradigma kedua melihat pembaharuan dari konteks sejarah,
di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan kebudayaan manusia yang sangat
mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan agraris menjadi industrialis, yang menandai
perlalihan dari abad pertengan ke abad modern. Kemudian, jika pembaharuan tersebut ditarik
dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam adalah upaya
melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan moden,
sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang
ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.
Amir Syarifuddin, pakar Ushul Fiqh IAIN Imam Bonjol Padang, cenderung melihat upaya
pembaharuan hukum Islam itu pada terwujudnya reformulasi Fiqih, yakni perumusan ulang atas
rumusan yang telah dibuat oleh para mujtahid terdahulu yang pada era sekarang sulit diterapkan
dalam kehidupan nyata. Menurut Amir Syarifuddin, hasil rumusan fiqih ulama terdahulu
bukanlah suatu hal yang dianggap finish, akan tetapi pada dasarnya rumusan tersebut boleh
dikritisi, dikaji kembali, dan diadakan rumusan ulang terhadapnya bila keadaannya
menghendaki. Dan di Indonesia, upaya demikian sudah dilakukan dan terus berlanjut, baik
dilakukan oleh individual para ulama maupun oleh organisasi-organisasi Islam. Dari kajian
diatas, dapat ditegaskan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, baik oleh perorangan, lembaga-
lembaga yang ada dalam masyarakat, maupun oleh pemerintah, jika upaya tersebut mengacu
kepada penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan modern, sehingga hukum
Islam dapat memberikan solusi hukum yang adil dan maslahat dalam berbagai masalah yang
muncul dalam masyarakat sebagai akses dari perubahan sosial dewasa ini, semua upaya tersebut
dapat sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam.