Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Wasisto Utomo, M. Kep., Sp. KMB

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

2011165358 Hilda Pratiwi


2011165355 Laras Sati
2011165348 Patri Cia Yeremia
2011165348 Pintha Ulina Damanik
2011165351 T. Hidayu Marizal

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
karunianya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Tugas ini di ajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2.

Makalah ini berisi tentang “Asuhan Keperawatan dengan Benigna


Prostat Hiperplasia”. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan makalah ini.

Penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan


makalah ini, untuk itu kritik dan saran akan sangat berharga untuk penulis dalam
memperbaiki penulisan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi
setiap usaha kita, Amin.

Pekanbaru, 1 April 2021

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan Pembelajaran.................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan.....................................................................................4
BAB 2 ISI
2.1 Konsep Dasar Penyakit.............................................................................5
2.1.1 Definisi..................................................................................................5
2.1.2 Anatomi Fisiologi Prostat......................................................................6
2.1.3 Etiologi..................................................................................................7
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................8
2.1.5 Manifestasi Klinis..................................................................................9
2.1.6 Patofisiologi.........................................................................................11
2.1.7 Pathway................................................................................................13
2.1.8 Komplikasi...........................................................................................13
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................14
2.1.10 Penatalaksanaan...................................................................................17
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan dengan Benigna Prostat..........................24
2.2.1 Pengkajian............................................................................................24
2.2.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................29
2.2.3 Intervensi Keperawatan.......................................................................29
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................33
3.2 Saran........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34
iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran progresif


kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan
pembatasan aliran urin (Nurmariana, 2014 dalam Warsiki, 2020). BPH
merupakan pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara
bertahap.

Penyebab BPH ini secara pasti belum diketahui namun jika tidak ditangani
dapat menyebabkan gagal ginjal dan dapat dipercepat apabila terdapat infeksi.
Oleh karna itu kami tertarik membahas topic terkait asuhan keperawatan pada
pasien dengan benigna prostat hyperplasia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan benigna prostat hyperplasia?
2. Bagaiamanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hyperplasia?

1.3 Tujuan Pembelajaran


1. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan benigna prostat hyperplasia
2. Tujuan khusus
1. Memahami konsep medis benigna prostat hyperplasia
2. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hyperplasia
5

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi mahasiswa/i
Mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan dan
pembelajaran tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna
prostat hyperplasia.
2. Bagi institusi
Sebagai sarana pengembangan dan pemahaman ilmu pengetahuan
untuk menunjang proses pembelajaran.
6
BAB 2
ISI

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Definisi

Gambar 2.1 Pembesaran prostat

Benign prostatic hyperplasia atau benigna prostat hyperplasia (BPH)


disebut juga Nodular hyperplasia, benign prostatic hypertrophy atau Benign
enlargement of the prostate (BEP) yang merujuk kepada peningkatan ukuran
prostat pada laki-laki usia pertengahan dan usia lanjut. Benigna prostat
hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan seluler kelenjar
prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan
proses penuaan (Ivanka, 2020).

Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran progresif


kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan
pembatasan aliran urin (Nurmariana, 2014 dalam Warsiki, 2020). BPH
merupakan pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium
uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Febrianto & Ismonah, 2015 dalam Warsiki,
2020).
8

Menurut Taufan (2011) dalam Wulandari (2019) pembesaran jinak


kelenjar prostat yang disebabkan karena hyperplasia beberapa/semua
komponen prostat. Menurut Tanto (2014) Warsiki (2020 )hiperplasia prostat
jinak (benign prostate hyperplasia-BPH) merupakan tumor jinak yang
paling sering terjadi pada laki-laki. Insidennya terkait pertambahan usia,
prevelensi yang meningkat dari 20 % pada laki-laki berusia 41-50 tahun
menjadi lebih dari 90% pada laki-laki berusia lebih dari 80 tahun.

2.1.2 Anatomi Fisiologi Prostat

Gambar 2.2 Anatomi prostat

Menurut Wibowo dan Paryana (2009) dalam Nurfajri (2017) kelenjar


prostat terletak di bawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior
dan di sebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital
yang sering di sebut sebagai otot dasar panggul.
Menurut Purnomo (2011) dalam Nurfajri (2017) fisiologi prostat adalah
suatu alat yang tumbuh tergantung pada pengaruh endokrin. Pengetahuan
mengenai endokrin ini masih belum pasti, bagian yang peka terhadap
esterogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap
androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar esterogen
relative bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam
fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
9

Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelkus santorini.


Persyarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglatikus dan
serabut dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis.
Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka eksterna dan pre
sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit
prostat (Andra Yessie, 2013 dalam Nurfajri, 2017). Sedangkan menurut
Smeltzer (2005 dalam Nurfajri (2017), waktu pemasangan seksual, prostat
mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim
dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan
vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifat basa (alkalis).
Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama ejakulat yang lain,
cairan ini di butuhkan karena motilitas sperma akan berkurang
dalam lingkungan pH rendah.

2.1.3 Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain
(Kemenkes RI, 2019 dalam Ivanka, 2020) :

1. Peningkatan kadar Dihydrotestosteron


2. Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi
3. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
4. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
5. Interaksi stroma – epitel
6. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
7. Berkurangnya sel yang mati (apoptosis)
10

8. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma


dan epitel dari kelenjar prostat.
9. Teori sel stem
10. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia


prostat adalah teori dihidrotestosteron, adanya ketidakseimbangan antara
estrogen-testosteron, ketidakseimbangan ini terjadi karena proses
degeneratif. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
testosterone. Hal ini memicu terjadi hiperplasia stroma pada prostat.
Hipotesis selanjutnya yaitu interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat.
Pada hal ini peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblash
growth factor dan penurunan transforming growth factors beta
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel sehingga akan terjadi BPH.
Selanjutnya berkurangnya kematian sel (apoptosis), dimana saat estrogen
yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat. Terakhir teori stem sel yaitu saat sel stem
meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadinya
BPH (Purnomo, 2003 dalam Warsiki, 2020)

Menurut Tanto (2014) dalam Wulandari (2019) teori yang umum


digunakan adalah bahwa BPH bersifat multifactorial dan pengaruh oleh
sistem endokrin, selain itu ada pula yang menyatakan bahwa penuaan
menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang menginduksi reseptor
adrogen sehingga meningkat sensitivitas prostat terhadap testosteron bebas,
secara patologis, pada BPH terjadi proses hiperplasia sejati disertai
peningkatan jumlah sel. Pemeriksaan micropis menunjukan bahwa BPH
tersusun atas stroma dan epitel dengan rasio yang bervariasi.
11

2.1.4 Klasifikasi

Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) dalam Wulandari (2019) adalah
sebagai berikut :
1. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa tidak enak saat BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan. Urine
menetes secara periodik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong,


2005 dalam Ivanka, 2020).
b. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing
tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari.
c. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
d. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

2.1.5 Manifestasi Klinis


1. Gejala iritatif meliputi (Kemenkes RI, 2019 dalam Ivanka, 2020) :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
12

b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)


c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :


a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkalidisertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
f. Urin terus menetes setelah berkemih
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Menurut Harmilah (2020), keluhan yang disampaikan oleh pasien


BPH seringkali berupa lower urinary track symptoms (LUTS) yang
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala iritasi (storage
symptoms) dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi) dan merasa tidak
puas sehabis berkemih. Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia. Gejala pasca berkemih berupa urine
menetes (dribbling), hingga gejala yang paling berat ialah retensi urine.
13

Hubungan BPH dengan LUTS sangat kompleks.tidak semua pasien


BPH mengeluhkan gangguan berkemih atau sebaliknya. Sebagai contoh
penggunaan obat harian seperti antidepresan, antihistamin atau
bronkodilator terbukti dapat menyebabkan peningkatan 2-3 skor
International Prostate Syndrome Score (IPSS).

2.1.6 Patofisiologi
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan
respon sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi
dihidrotestosteron (DHT), DHT merupakan androgen dianggap sebagai
mediator utama munculnya BPH ini. Pada penderita ini hormon DHT sangat
tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh pada pembesaran prostat
dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel. Prostat
membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif
kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016 dalam
Ivanka, 2020). Gejala klinis yang timbul terbagi atas dua jenis yaitu gejala
obstruksi dan gejala iritasi, gejala obstruksi timbul akibat sumbatan secara
langsung akibat uretra, gejala iritatif terjadi sekunder pada kandung kemih
sebagai respon meningkatkan resitensi pengeluaran dan pengosongan yang
tidak sempurna menyebakan ransangan pada kandung kemih berkontraksi
pada kondisi belum penuh (Wulandari, 2019).

Menurut Purnomo (2003) dalam Warsiki (2020) pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :


14

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak
dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah
residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4. Nokturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar
miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
8. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
9. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesika atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit
atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan
ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
10. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian
urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media
15

untuk organisme infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat


terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.

2.1.7 Pathway

Sumber : Wulandari (2019)

2.1.8 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) dalam Ivanka (2020)
komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.


2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
16

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus


berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagimenampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Urinalisis / Sedimen Urin
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan
adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih.
Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam mencari jenis kuman
yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas
kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan dapat
mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada
kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya
karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.
Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya
karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat
pemasangan kateter (Purnomo, 2014 dalam Ivanka, 2020).
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan
pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan
bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan
rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya
komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan
17

tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali
lebih banyak. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Purnomo, 2014 dalam
Ivanka, 2020).
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ
specific tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai
untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini
jika kadar PSA tinggi berarti:
1) pertumbuhan volume prostat lebih cepat.
2) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek.
3) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.

Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan


pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsy prostat
atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang
dianggap normal berdasarkan usia adalah:

1) 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml;


2) 50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml;
3) 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml;
4) 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml.

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya


karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko
terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan
colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada
usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian besar guidelines
yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan
18

PSA sebagai salah satu pemeriksaan BPH (Ikatan Ahli Urologi


Indonesia (IAUI), 2015 dalam Ivanka, 2020).

2. Pencitraan
a. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV
(Pielografi Intravena) dapat menerangkan kemungkinan adanya:
kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli
oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal, dan penyulit
yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli. Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH
dengan memakai PIV atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak
menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;
sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja
(10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika
pada pemeriksaan awal ditemukan adanya:
1) Hematuria.
2) infeksi saluran kemih.
3) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG).
4) riwayat urolitiasis.
5) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia (IAUI, dalam Ivanka, 2020)
b. Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
19

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui besar atau


volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat
maligna, sebagai guideline (petunjuk) untuk melakukan biopsi
aspirasi prostat, menetukan jumlah residual urine, dan mencari
kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli-buli. Disamping itu
ultrasonografi transrectal mampu untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama (Purnomo, 2014 dalam Ivanka, 2020).
3. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan Derajat Obstruksi (IAUI,dalam,Purnomo, 2014);
a. Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi yang dapat
dihitung dengan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL.
Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual
urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu
urine tidak lebih dari 12 mL.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin yang meliputi lama
waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum
pancaran, dan volume urin yang dikemihkan. Pemeriksaan yang
lebih teliti lagi yaitu urodinamika.

2.1.10 Penatalaksanaan
Menurut Purnomo (2012) dalam Azizah (2015) penatalaksanaan BPH
dibagi menjadi beberapa macam diantaranya :

1. Watchful waiting/observasi
Terapi ini ditujukan pada pasien BPH yang keluhanya ringan dan
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan
20

terapi apapun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang


dapat memperburuk keluhanya. Penjelasan yang diberikan yaitu
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alcohol
supaya tidak terlalu sering berkemih, kurangi konsumsi makanan yang
dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau coklat), kurangi makan-
makanan pedas dan asin, batasi penggunaan obat-obat influenzayang
mengandung fenilpropanolamin, jangan menahan kencing terlalu lama
untuk mengurangi distensi kandung kemih, serta setiap tiga bulan
dilakukan kontrol keluhan; pemeriksaan laboratorium; dan
colok dubur (Wijaya, 2013 dalam Azizah, 2015).
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
retensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi intravesika dengan obat-obatan adrenergik α (adrenergic
α blocker), serta mengurangi volume prostat sebagai komponen
static dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone
atau dehidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α reduktase.
Selain kedua cara tersebut sekarang banyak dipakai obat
golongan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
a. Penghambat reseptor adrenergik α
Penghambat reseptor adrenergik α yang dipakai dahulu
adalah fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak
selektif yang mampu memperbaiki pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini dapat menimbulkan
komplikasi sistemik diantaranya adalah hipotensi
postural, serta kelainan kardiovaskular lain.
b. Penghambat 5α reduktase
Obat yang sering dipakai adalah Finasteride dengan dosis 1
x 5 mg, obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan dehidrotestosteron yang dikatalisis oleh enzim
5α-reduktase didalam sel prostat. Menurunya kadar prostat
21

menyebabkan sistesis protein dan replikasi sel prostat menurun.


Pemberian obat tersebut diberikan selama enam bulan dan
dapat menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi (Purnomo,
2012). Namun, obat tersebut juga dapat menimbulkan efek
samping, salah satunya adalah melemahkan libido,
ginekomastia dan dapat menurunkan nilai PSA atau Prostatic
Spesific Antigen (Wijaya, 2013 dalam Azizah, 2015).
c. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat
dipakai untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat,
tetapi data farmakologis tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitofarmaka sampai saat
ini bekum diketahui secara pasti. Kemungkinan fitofarmaka
bekerja sebagai anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG),
mengacaukan metabolism prostaglandin, efek anti inflamasi,
menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat.
Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah Pyageum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dan
masih banyak lainya.
3. Operasi/Pembedahan
Smeltzer (2002) dalam Azizah (2015) menyatakan ada
beberapa prosedur yang digunakan untuk mengangkat kelenjar
bagian prostat yang mengalami hipertropi diantaranya reseksi
transurethral prostat, prostatektomi suprapubis, prostatektomi
retropubik, prostatektomi perineal. Pendekatan transurethral ada
prosedur tertutup sedangkan tiga lainya adalah prosedr terbuka.
a. Prosedur terbuka
1) Prostatektomi suprapubis
Prostatektomi suprapubis merupakan salah satu metode
pembedahan dengan melakukan insisi di daerah perut
22

bagian bawah. Insisi tersebut tepatnya berada di kandung


kemih. Metode ini dapat menjadi pilihan untuk kelenjar dengan
segala ukuran.
2) Prostatektomi retropubik
Prostatektomi retropubik adalah teknik lain yang sering
digunakan selain prostatektomi suprapubik. Metode tersebut
dilakukan dengan cara membuat insisi di perut bagian
bawah mendekati kelenjar prostat tanpa melalui kandung
kemih. Operasi ini dapat menjadi pilihan jika volumekelenjar
terlalu besar.
3) Prostatektomi perineal
Sebuah insisi dibuat di perinium yang berada diantara
anus dan skortum. Namun, metode ini jarang digunakan untuk
terapi BPH karena dapat berpotensi mengakibatkan
disfungsi ereksi.
b. Prosedur tertutup
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Prosedur ini masih umum digunakan untuk terapi BPH.
Sebuah resektoskop dimasukaqn ke dalam uretra. Pembedahan
ini menggambarkan bagian dalam kandung kemih dengan
memasukkan sistoskop (lensa teleskopik) melalui resektoskop.
Kemudian kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prosedur ini tidak memerlukan insisi dan
digunakan untuk kelenjar yang berukuran beragam dan
ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil serta
yang dipertimbangkan mempunyairisiko bedah yang buruk
(Black, 2009 dalam Azizah, 2015).
2) Transurethral Incision of The Prostate (TUIP)
Merupakan salah satu prosedur untuk menangani BPH
dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada kapsul prostat dan prostat
untuk mengurangi konstriksi uretral. TUIP diindikasikan
23

ketika kelenjar prostat berukuran kecil (Black, 2009 dalam


Azizah, 2015).
3) Elektrovaporasi prostat
Prosedur elektrovaporasi prostat menggunakan cara
yang sama denga TURP, namun bedanya teknik ini
menggunakan roller ballyang spesifik dan dengan mesin
diatermi yang cukup kuat sehingga mampu membuat
vaporasi kelenjar prostat. Vaporasi prostat memberikan
mafaat yaitu dapat mengurangi perdarahan (Black, 2009
dalam Azizah, 2015)
4) Transurthral Ultrasound Laser Incision of the Prostate
(TULIP)
Merupakan suatu prosedur yang menggunakan laser
untuk membuat insisi di dalam prostat. Prosedur ini dapat
meminimalkan terjadinya perdarahan, tidak membutuhkan
irigasi, dan pasien tidak perlu menggunakan kateter setelah
operasi (Black, 2009 dalam Azizah, 2015)
4. Tindakan invasive minimal
Purnomo (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa terapi
invasif minimal diantaranya :
a. Hipertermia dan Termo Terapi
Hipertermia dan termo terapi merupakan prosedur yang
baru untuk terapi BPH. Hipertermia mengacu pada suhu di
bawah 45oC, sedangkan termo terapi mengacu pada suhu
yang lebih tinggi. Terapi ini menggunakan tiga teknik
diantaranya menggunakan gelombang mikro, radiofrekuensi,
serta gelombang ultrasonik dengan intensitas tinggi. Ketiganya
digunakan untuk memanaskan kelenjar prostat dan merusak
jaringan prostat. Termo terapi dengan gelombang mikro
memerluka pemasangan kateter agar gelombang mikro dapat
menyalurkan energinya melalui uretra. TUNA (Transurethral
Needle Ablation) adalah terapi yang menggunakan energi
24

frekuensi radio untuk merusak jaringan prostat. Jarum


khusus dimasukkan kedalam prostat, dan energi frekuensi radio
ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
b. Stent Prostat
Stent prostat digunakan untuk pasien yang berisiko
tinggi untuk dilakukan operasi. Stent prostat dipasang pada
uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran
prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa
melewati lumen uretra prostatika
c. High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)
Energi panas yang ditujuksn untuk menimbulkan
nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi
dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0.5-10
MHz. energy yang dipancarkan melalui alat yang diletakkan
transrektal dan difokuskan pada kelenjar prostat. Teknik ini
memerlukan anastesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi
perbaikan gejala klinis 50-60% dan Qmaxrata-rata meningkat
40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakanbelum diketahui, dan
sementara tercatat bahwa kegagalan terapi sebanyak 10% setiap
tahun (Purnomo, 2012; Wijaya, 2013 dalam Azizah, 2015).
d. Transuretrhal Needle Ablation of The Prostate (TUNA)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio
yang menimbulkan panas sampai 100oC, sehingga
menyebabkan nekrosis jaringan prostat. System ini terdiri atas
kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio. Kateter
dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan
pemberian anastesi topikal xylocaine sehingga jarum yang
terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien seringkali masih mengeluh hematuria, disuria, dan
25

kadang-kadang mengeluh retensi urin (Purnomo, 2012; Wijaya,


2013 dalam Azizah, 2015).

Menurut Harlilah (2020) dua perawatan umum untuk BPH antara


lain, pilihan medis dan bedah.
1. Perawatan Medis
Perawatan medis biasanya dilakukan untuk yang memiliki gejala
signifikan. Obat-obatannya termasuk :
a. Terasozin, termasuk golongan obat yang mengendurkan otot
polos arteri, prostat dan leher kandung kemih. Ini membantu
meredakan obstruksi kandung kemih yang disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH. Efek sampingnya termasuk sakit
kepala dan mudah lelah.
b. Finasteride, obat yang menghambat kerja hormone testosterone
pria dan membantu mengecilkan prostat. Efek samping dari obat
ini termasuk menurunkan gairah seks, masalah ereksi dan
ejakulasi.
2. Operasi
Pembedahan adalah pengobatan yang paling mungkin untuk
meredakan gejala-gejala BPH. Namun, pengobatan ini juga memiliki
komplikasi. Ada dua jenis pembedahan untuk BPH, antara lain :
a. Transurethral resection of the prostate (TURP) adalah prosedur
bedah yang paling umum. Pasien dioperasi dibawah anestesi umum
dan kelenjar prostat dihilangkan dari dalam kandung kemih.
Tindakan ini dapat meringankan gejala obstruktif di BPH. Namun,
TURP hanya dapat digunakan jika prostat tidak terlalu besar.
b. Operasi terbuka digunakan ketika prostat sangat membesar. Dalam
operasi terbuka, ahli bedah membuat sayatan di perut atau antara
skrotum dan anus untuk mengankat jaringan prostat.
26

Penatalaksanaan BPH Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS


Cipto Mangun Kusumo (RSCM) sebagai berikut :

Parameter Terapi Medik Operasi


Medsen Score < 10 >10
Flowrate < 10 ml/dtk

> 10 ml/dtk

Residu < 10 ml > 10 ml

Pengelolaan Pasien Post Operasi BPH

Williams (2012) dalam Azizah (2015) menerangkan ada


beberapa macam pengelolaan pasien post operasi BPH diantaranya
adalah :
1. Beri obat yang diprogramkan
2. Hindari memberikan sedative, alcohol, antidepresan, atau
antikolinergik karena dapat memperparah obstruksi.
3. Beri terapi IV yang diprogramkand.Lakukan irigasi kandung kemih
secara kontinu sesuai instruksi
4. Pertahankan elevasi kepala tempat tidur minimal 30 derajat untuk
mencegah pneumonia.
5. Anjurkan batuk, napas dalam, dan penggunaan spirometer insentif.
27

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan dengan Benigna Prostat

2.2.1 Pengkajian

Menurut Harmilah (2020),pengkajian yang dilakukan pada pasien BPH


yaitu :

1. Identitas klien

Terdiri dari nama, no.rekam medis, tanggal lahir, umur, agama,


jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk,
diagnosa medis dan nama identitas penanggung jawab meliputi : nama,
umur, hubungan dengan pasien, pekerjaan dan alamat.

2. Sirkulasi

Tanda : peningkatan tekanan darah ( efek pembesaran ginjal)

3. Eliminasi

Gejala : penurunan kekuatan atau dorongan aliran urine; tetesan, keragu-


raguan pada perkemihan awal, ketidakmampuan untuk menggosongkan
kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih,
nokturia, disuria, hematuria, riwayat batu (statis Urinaria), konstipasi
(prostrusi prostat ke dalam rektum)

Tanda : masa padat dibawah abdomen bawah ( distensi kandung kemih),


nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid
(mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan
pengosongam kandung kemih mengatasi tahanan)

4. Makanan/cairan
28

Gejala : anoreksia: mual, muntah, penurunan berat badan

5. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri suprapubis, nyeri punggung bawah

6. Keamanan

Gejala : demam

7. Seksualitas

Gejala : efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan


kontraksi ejakulasi

Tanda : pembesaran, nyeri tekan prostat

POST OP

Menurut Prameswary (2020) pengkajian pasien BPH yaitu :

1. Identitas
BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) yang menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Muttaqin,
2012).
2. Keluhan utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien pada umumnya adalah
nyeri pada saat kencing atau disebut dengan disuria , hesistensi yaitu
memulai kencing dalam waktu yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan disebabkan karena otot detrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
29

adanya tekanan dalam uretra prostatika dan setelah post operasi TURP
klien biasanya mengalami nyeri di bagian genetalianya . Untuk penilaian
nyeri berdasarkan PQRST yaitu P = oleh luka insisi Q = seperti ditusuk-
tusuk/ disayat-sayat pisau/terbakar panas, R = di daerah genetalia bekas
insisi S = dari kategori 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan,4-6 = nyeri
sedang, 7-9 = nyeri berat, 10 = sangat berat tidak bias ditoleransi. T =
Sering timbul/tidak sering/sangat sering. (Muttaqin, 2012).
3. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan keluhan adanya nyeri tekan pada kandung
kemih, terdapat benjolan massa otot yang padat dibawah abdomen
bawah (distensi kandung kemih), adanya hernia inguinalis atau
hemoroid yang menyebabkan peningkatan tekanan abdominal yang
memerlukan pengosongan kandung kemih dalam mengatasi tahanan
(Dongoes, 2012).
4. Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan BPH biasanya sering mengkonsumsi obat-obatan
seperti antihipetensif atau antidepresan, obat antibiotic urinaria atau
agen antibiotik, obat yang dijual bebas untuk flu/alergi serta obat yang
mengandung simpatomimetik (Dongoes, 2012).
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami kanker prostat,
hipertensi dan penyakit ginjal ( Doengoes, 2012).
6. Keadaan umum
Keadaan klien BPH biasanya mengalami kelemahan setelah
dilakukan tindakan post operasi prostatektomi, untuk tingkat kesadaran
composmentis tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, nadi
meningkat akibat nyeri yang dirasakan oleh klien , RR umumnya dalam
batas normal 18-20x/ menit .

7. Pemeriksaan fisik (Mustika,dkk, 2012)


c. B1 (Breathing)
30

1) Inspeksi: Bentuk hidung simetris keadaan bersih dan tidak ada


secret, pergerakan dada simetris, irama nafas regular tetapi
ketika nyeri timbul kemungkinan dapat terjadi nafas pendek
dan cepat dan tidak ada retraksi otot bantu nafas, tidak ada
nafas cuping hidung,frekuensi pernfasan dalam batas normal
18-20x/menit.
2) Palpasi : Taktil fermitus antara kanan dan kiri simetris.
3) Perkusi : Pada thoraks didapatkan hasil sonor.
4) Auskultasi: Suara nafas paru vesikuler.
d. B2 (Blood)
1) Inspeksi : Tidak terdapat sianosis , tekanan darah meningkat,
tidak ada varises, phelbritis maupun oedem pada ekstremitas.
2) Palpasi : Denyut nadi meningkat akibat nyeri setelah
pembedahan, akral hangat,CRT < 3 detik, tidak ada vena
jugularis dan tidak ada clubbing finger pada kuku.
3) Perkusi : Terdengar dullness
4) Auskultasi : BJ 1tunggal terdengar di ICS 2Mid klavikula kiri
dan mid sternalis kiri , BJ 2 tunggal terdengar di ICS 5
sternaliskiri dan sternalis kanan.
e. B3 (Brain)
1) Inspeksi : Kesadaran composmentis, GCS 4-5-6 ,bentuk wajah
simetris, pupil isokor.
2) Palpasi : Tidak ada nyeri kepala.
f. B4 (Bladder)
1) Inspeksi : Terdapat bekas luka post operasi TURP di daerah
genetalia,bisa terjadi retensi urin karena adanya kloting (post-
op), terpasang kateter DC yang terhubung urin bag, warna urin
bisa kemerahan akibat bercampur dengan darah ( hematuria),
umumnya klien juga terpasang drainase dibawah umbilicus
sebelah kanan.
2) Palpasi : Terdapat nyeri tekan di bagian genetalia.
g. B5 (Bowel)
31

1) Inspeksi : Nafsu makan klien baik,bentuk abdomen simetris,


tidak ada asites,terdapat luka jahit di area supra pubic (kuadran
VIII), tidak mual muntah, tonsil tidak oedem dan mukosa bibir
lembab, anus tidak terdapat hemoroid. 24
2) Palpasi : Tidak terdapat massa dan benjolan, tidak ada nyeri
tekan pada abdomen dan tidak ada pembesaran organ.
3) Perkusi : Terdengar suara tympani.
4) Auskultasi: Bising usus normal 15- 35x/menit.
h. B6 (Bone)
1) Inspeksi : Terdapat luka insisi di bagian supra pubis akibat
operasi prostat klien umumnya tidak memiliki gangguan pada
system musculoskeletal tetapi tetap perlu dikaji kekuatan otot
ekstremitas atas dan bawah dengan berdasarkan pada nilai
kekuatan otot 0-5, di kaji juga adanya kekuatan otot atau
keterbatasan gerak, warna kulit normal,rambut warna hitam
keturanan asia, kaji keadaan luka apa terdapat pus atau tidak,
kaji ada tidaknya infeksi, dan kaji keadaan luka bersih atau
tidak.
2) Palpasi : Turgor kulit elastis, akral teraba hangat.
i. B7 ( Indera)
1) Inspeksi : Kelima panca indera yaitu penglihatan hanya terjadi
sedikit berkurang dalam sistem penglihatan karena faktor usia,
pendengaran juga mulai berkurang karena faktor usia, perasa
dalam keadaan normal, peraba juga dalam keadaan normal dan
penciuman juga dalam keadaan batas normal.
2) Palpasi : Pada telinga tidak ditemukan nyeri tekan dan tidak
terdapat luka serta pada hidung tidak ada nyeri tekan maupun
luka.
j. B8 ( Endokrin)
1) Inspeksi : Terlihat dari postur tubuh klien proposional sesuai
jenis kelamin dan usianya, tidak terlihat hiperpigmentasi kulit,
terdapat jakun pada klien, tidak ada pembesaran payudara klien,
32

tidak terdapat pembesaran abdomen karena lemak, tidak ada


pembesaran kelenjar tiroid, GDS dalam batas normal.
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan kecuali pada supra pubis akibat
insisi.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Harmilah (2020), diagnose keperawatan yang dapat muncul


pada penderita BPH yaitu :

1. Retensi urine ( akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik


pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.

2. Nyeri ( akut) berhubungan dengan iritasi mukosa: distensi kandung


kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria, terapi radiasi.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi


diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara
kronis
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan atau
mengingat, salah interpretasi informasi tidak mengenal sumber
informasi.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Menurut , Harmilah (2020), intervensi yang dapat dilakukan pada


penderita BPH yaitu :
33

1. Retensi urine ( akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik


pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : pasien menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari
50 ml dengan tak adanyanya teteasn / kelebihan cairan
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan
b. Informasikan pada pasien efek dari terapi, operasi prostat,
radiasi ,Hormonal dan terapi lain yang mempengaruhi peran
seksual
c. Ikut sertakan pasangan atau orang-orang terdekatnya dalam
pengetahuannya menggunakan metode hubungan intim sehingga
terjadi saling percaya.

2. Nyeri ( akut) berhubungan dengan iritasi mukosa: distensi kandung


kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria, terapi radiasi.
Tujuan : nyeri hilang / terkontrol
Kriteria hasil : pasien menunjukkan rasa nyaman dan dapat beristirahat
dengan tepat
Intervensi :
a. Kaji nyeri, perhatikan lokasi nyeri dan intensitas nyeri ( skala
nyeri)
b. Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen ( bila
traksi tidak diperlukan)
c. Pertahankan tirah baring
d. Berikan tindakan kenyamanan contoh: pijitan punggung,
membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, mendorong
penggunaan relaksasi/ latihan napas dalam .
e. Masukan kateter dan lakukan masase prostat
f. Berikan obat sesuai indikasi
34

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi


diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara
kronis
Tujuan: volume cairan tubuh seimbang
Kriteria hasil :
a. TTV stabil
b. Nadi perifer teraba
c. Pengisian kapiler baik
d. Membran mukosa lembap

Intervensi :

a. Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan.


Perhatikan keluaran 100/200 ml/jam
b. Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan
individu
c. Awasi TD, nadi dengan sering.
d. Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
e. Awassi elektrolit, khususnya natrium dan berikan cairan IV ( cairan
fall hipertonik) sesuai kebutuhan

4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Tujuan : tidak mengalami ansietas
Kriteria hasil :
a. Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
b. Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa
takut
c. Melaporkan ansietas menurun

Intervensi :

a. Buat hubungan saling percaya dengan pasien atau orng terdekat


35

b. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang
akan terjadi.
c. Lindungi privasi pasien
d. Dorong pasien atau orng terdekat intuk menyatakan masalah/
perasaan.
e. Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan atau
mengingat, salah interpretasi informasi tidak mengenal sumber
informasi.
Tujuan : pasien dan keluarga memahami penyakit dan proses
penanganannya.
Kriteria hasil :
a. Menyatakan pemahaman proses penyakit.
b. Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala proses penyakit.
c. Melakukan perubahan pola hidup/ perilaku yang perlu
d. Berpartisipasi dalam program pengobatan

Intervensi :

a. Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien


b. Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian
c. Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual
d. Berikan informasi tentang anatomi dasar reproduksi.
36
BAB 3
PENUTUP

.1 Kesimpulan

Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran progresif


kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan
pembatasan aliran urin. Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan
pembesaran progresif kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan
saluran kemih dan pembatasan aliran urin. BPH terdiri dari empat stadium dan
tiga dearat berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien. BPH seringkali berupa
lower urinary track symptoms (LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms), gejala iritasi (storage symptoms) dan gejala pasca
berkemih. Ketika gejala tersebut tidak tertangani segera dapat menimbulkan
komplikasi gagal ginjal, ISK, hematuria, dll. Penatalaksaan BPH terdiri dari
perawatan medic dan bedah yang tentukan berdasarakan parameter Medsen
score, flowrate dan residu.

3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa mencari jurnal maupun penelitian terbaru terkait
BPH agar dapat mengoptimalkan tindakan maupun pendidikan kesehatan
yang akan diterapkan pada pasien BPH nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah N.N. (2015). Asuhan keperawatanpost operasi benigna prostat hiperplasia


pada tn h di bangsal c rst dr. Soedjono magelang. Diakses pada 26 Februari
2021, terdapat di situs : http://repository.poltekkes-smg.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=14544&keywords=

Harmilah. 2020. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem


perkemihan. Yogyakarta. Pustaka Baru

Ivanka N. (2020). Asuhan keperawatan pada pasien pre operasi dengan benigna
prostat hyperplasia. Diakses pada 26 Februari 2021, terdapat di situs :
http://repository.poltekkeskaltim.ac.id/1067/1/KTI%20NELVIA
%20IVANKA.pdf

Nurfajri A. (2017). Asuhan keperawatan pada tn. m dengan benigna prostat


hiperplasia (bph) post op hari ke 1 di ruang dahlia rsud dr. r. goeteng
taroenadibrata purbalingga. . Diakses pada 26 Februari 2021, terdapat di
situs : http://repository.ump.ac.id/3990/3/Achmad%20Nurfajri%20BAB
%20II.pdfWulandari T. (2019). Asuhan keperawatan pada tn.m dengan
benight prostatic hyperplasia (bph) di ruang kelas utama dahlia rsud h.
hanafie muara bungo tahun 2019. Diakses pada 26 Februari 2021, terdapat
di situs : http://repo.stikesperintis.ac.id/960/1/64%20TRESNA
%20WULANDARI.pdf

Prameswary F.C. (2020). Asuhan keperawatan pada tn. S dengan diagnosa medis
post operasi (trans urethral resection prostat) di ruang mawar kuning rsud
sidoarjo. Diakses pada 26 Februari 2021, terdapat di situs :
http://eprints.kertacendekia.ac.id/id/eprint/164/2/KTI%20CARLA
%20PDF.pdf

Warsiki N.M.N. (2020). Gambaran asuhan keperawatan pada pasien pre operasi
benigna prostat hiperplasia dengan retensi urine di ruang sandat brsu
tabanan tahun 2020. Diakses pada 26 Februari 2021, terdapat di situs :
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4436/1/Halaman%20Depan.pdf

Anda mungkin juga menyukai