Anda di halaman 1dari 15

Atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dapat dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. "Definisi menurut WHO
ARIA (Alergi Rhinitis dan Dampak 1i pada Asma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore , rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. '

2.3 Epidemiologi

Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis
dan usia. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada
anak lebih sering terjadi pada anak laki- Laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan Sekitar 80% kasus radang alergi berkembang
mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia. ' Di
Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%)

2.4. Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan Misalnya tungau debu rumah,
kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, dan jamur

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat,
ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah,

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.

2.5. Patogenesis

alergi menupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan
tahap provokasi / reaksi reaksi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau reaksi reaksi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi reaksi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen Presenting CellAPC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan
mukosa hidung. Setelah antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin I (ILI) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Thl dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka rantai IgE kedua akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed
Mediator antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi reaksi fase cepat
(RAFC).

Histamin akan membentuk reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal
pada hidung dan bersin-bersin Histamin juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel piala megalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule (ICAMI). "

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepas kan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eusinofil dan noutrofil di jaringan target. atau hiper responsif penyakit akibat dari peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan Cuaca, lingkungan udara yang tinggi

2.6 Gambaran Histologik


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus terdapat juga ruang pembesaran antar seluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telonga
Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007: 128-134.

2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik
Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.

3. Syekh, J. Rinitis Alergi. Tersedia dari: http: //emedicine.medscape. com / article / 134825. [Diakses 11
Oktober 2011].

4. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.

5. Salju, J B., Ballenger, J J. Rhinitis Alergi. Dalam: Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery Edition 9 ". Spanyol: BC Decker; 2003; 708-731.

6. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat edisi keempat. Elsevier. 157-159.

7. Mabry, R., Marple, B. Alergi Rhinitis. Dalam: Bedah Otolaryngologi Kepala Leher Cumming Edisi
Keempat. USA: Elsevier. 2005; 982-988.

8. Pasha, R. Alergi dan Rinitis. Dalam: Otolaryngolongy Head and Neck Referensi Klinis Bedah Giude.
Singular Thomson Learning: 28-33.

9. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, NI. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap
Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-
410.

10. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006; 803-805.

11.ARIA. Sekilas Tentang ARIA Pocket Referensi 2007 1 Edisi 2007.

12. Plaut, M., Valentine, M D. Alergi Rhinitis. The New England Journal of Medicine 353: 18. 2005; 1934-
1943.
13. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. R initis Alergika. Diunduh dari:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?

2.1. DEFINISI

RDS adalah gangguan napas pada bayi baru lahir yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir
dan menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. RDS ini hampir sebagian
besar terjadi pada Bayi Kurang Bulan, yang masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat kurang dari
2500 gram. Pada pemeriksaan radiologik ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang seragam
dengan air bronchogram.

2.2. etiologi

Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang
mencegah kolaps paru. RDS terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan yang dimulai sejak
kehar minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang. Makin muda kehamilan, semakin besar
pula kemungkinan terjadinya RDS.

2.3. PATOFISIOLOGI

Perkembangan paru normal

Paru berasal dari pengembangan "embrionik foregut" dimulai dengan perkembangan bronkhi utama
pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh
darah, otot halus, tulang rawan dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal
epitelium mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada 4
stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium, saluran pernapasan, saluran
darah dan proses diferensiasi secara bersamaan. '

-Pseudoglandular (5-17 minggu) Terjadi percabangankhius perkembangan dan tubulus asiner

-Kanalikuler (16-26 minggu) Terjadi kapiler dan penipisan mesenkhim

- Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu

-Sakuler (24-38 erjadi perkembangan dan rongga udaraAwal, septum alveolar

-Alveolar (36 minggu - lebih 2 tahun setelah lahir) Penipisan septum alveolar dan pesanan kapiler baru.

Faktor-faktor yang memudahkan pelaksanaan RDS pada bayi prematur yang disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempuma kerana dinding thorax
masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik.

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein lipoprotein yang
berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara
makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab
itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi,
adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal penyebab edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epitel sel alveoli tipe II. Dilatasi duktus alveoli,
tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen,
menyebabkan kerosakan pada endotel dan epitel sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang termasuk alveoli
yang dibentuk dalam satu jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang belum dewasa
dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang berasal dari ibu dengan chorioamnionitis sering menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).

2.4. MANIFESTASI KLINIK

Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui
beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x menit). Bila didapatkan
onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi
saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat.

Biasanya ditemukan takipnea, dengkuran, retraksi interkostal dan subkostal, dan pernafasan cuping
hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal
atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dapat terdengar ronkhi basah halus,
terutama pada dasar paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dispnea.

Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, peningkatan peningkatan
sianosis, lemah dan pucat, penurunan atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apneu dan
pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.

Dapat juga ditemukan bersama asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder
dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang
menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. TAPI pada kasus ringan, tanda dan gejala
mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi
mulai membaik. Bayi yanglahir pada 32 - 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali nomal dalam 1
minggukehidupan. Pada bayi lebih kecil (kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukanventilasi
mekanik.

Perbaikan dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah.
Kematian jarang terjadi pada I hari pertama, biasanya terjadi pada harikedua sampai ketujuh,
sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisemainterstitial, pneumothorax) perdarahan
paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita ventilasi mekanik (RDS berat).

2.4. KLASIFIKASI
4-5 Sesak nafas sedang 26 Sesak nafas berat

2.5. FAKTOR RESIKO

Faktor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome:

1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, ruang bayi secara biokimiawi masih tersedia dengan
kekurangan surfaktan yang dilapisi ronggaparu.

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium,
pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang
membawa darah keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes meilitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi keterlambatn pematangan
paru sehingga terjadi kesusahan respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar, usia gestasinya dapat
terlambatnya terlambatnya absorpsi cairan paru (Tachypnea Transient of Newborn).

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi pneumonia
bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwama seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi mekonium.
2.6. DIAGNOSA

1. Anamnesis

'Anamnesis tentang:

-Riwayat kelahiran kurang bulan. Riwayat ibu dengan diabetes melitus.

- persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin), atau partus tindakan dengan bedah sesar.

-Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS.

2. Pemeriksaan Fisik

-Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.

-Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan

_gejala Sesak napas, frekuensi napas> 60 kali / menit atau kali / menit

_Grunting atau merintih

_Retraksi dinding dada

_Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar

-Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dengan skor APGAR (derajat asfiksia) dan Silverman
Score. Bila nilai Silverman score> 7 berarti ada tekanan nafas, namun ada juga yang menyatakan bila
nilai> 2selama> 24 jam.

-Perhatikan tanda prematuritas,

-Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-paru.

-Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besamya bayi, adanya infeksi dan derajat
dari pirau PDA.
3. Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks

Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat memberi gambaran gambaran
penyakit membran yang menunjukkan gambaran retikulogranular yangdifus bilateral atau gambaran
bronkhogram udara (air bronchogram) dan paru yang tidak berkembang.

Ada 4 Derajat:

-Derajat 1 (ringan): kadang normal atau gambaran retikulogranuler, homogen, tidak ada air
bronchogram.

- Derajat 2 (ringan-sedang): 1 + bronkogram udara. Gambaran air bronchogram (gambaran bronko yang
seharusnya terisi udara) yang menonjol menunjukkan bronkiolus yang menutup latar belakang alveoli
yang kolaps.

-Darah: Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda infeksi. Menunjukkan pada
kecurigaan pneumonia. Kultur streptokokus (-).

-Analisis gas biasanya memberikan hasil: hipoksemia, asidemia yang berupa metabolik, respiratorik atau
kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal (Pa02 kurang dari 50 mmHg, PACO2 kurang dari 60
mmHg, saturasi oksigen 92% 94%, pH 7,31 - 7, 45)

-Rasio lesitin / sfingomielin (L / S ratio <2: 1).

-Uji goyang (tes kocok), jika tidak ada membual, risiko tinggi untuk melaksanakan PMH 60%.

2.7. TATALAKSANA

Manajemen Spesifik Untuk Gangguan Nafas "

-Gangguan Napas Sedang

1. Memberian 02 2-3 liter / menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan 02 4-5 liter /
menit dengan sungkup

2. Bayi jangan diberikan minum (di puasakan).

3 Berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis

-Gangguan Napas ringan


Tachypnea Ringan Transien Bayi Baru Lahir (TTN), terutama terjadi pada bayi aterm setelah bedah sesar.
Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. 1. Amati pernapasan
bayi setiap 2 jam selama 6 jam. Bila dalam gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis.

2. Berikan ASI bila bayi mampu. Bila tidak, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara
alternatif pemberian minum

3. Kurangi pemberian 02 secara bertahap jika ada gangguan napas. Hentikan mempersembahkan 02 jika
frekuensi napas antara 30 - 60 kali / m enit.

4. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap antara 30-60 kali / menit, tidak
ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang

menggunakan salah satu cara alternatif mempersembahkan minum.

3. Kurangi pemberian 02 secara bertahap, bila ada gangguan napas. Hentikan mempersembahkan 02
jika frekuensi napas antara 30 - 60 kali / menit.

4. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap antara 30-60 kali / menit, tidak
ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat
dipulangkan.

Gangguan Napas Berat:

1. Siapkan rujukan ke RS Rujukan

2. Stabilisasi sebelum

3. Rujukan dengan petugas yang mahir resusitasi

4. Perhatikan Jalan napas dan Oksigenasi selama transportasi


TERAPI

1. Ventilasi Manajemen ventilator mekanik Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan
meningkatkan oksigenasi dan kelangsungan hidup. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm
H20 melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi dengan derajat
sakit sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk pemakaian ventilator mekanik (VM).

CPAP untuk oksigenasi dengan meningkatkan kapasitas residual fungsional (FRC) melalui perbaikan
alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara,mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP
diindikasikan untuk bayi dengan RDS Pa02> 50%. Penggunaan nasofaring atau endotrakeal saja tidak
cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan.
Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau kehamilan kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal
selama beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus
tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha yangadekuat, dengan
analisa gas darah yang memuaskan.

CPAP yang diberikan pada tekanan 6-10 cm H20 melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan tekanan
oksigen meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan
akibat berkurangnya usia sekitar 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi setelah
sesudahnya sesudahnya. Bila denganCPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50
mmHg (sudah menghirupoksigen 100%), diperlukan ventilasi buatan.

Ventilasi Mekanik

Bayi dengan RDS berat atau rumit komplikasi, yang berakibatnya timbulnya apnea persisten
membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaan antara lain:

1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk

-pH darah arterio

-PCO2 arteri> 60 mmHg

-pO2 arteri <50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 100%

2. Kolaps kardiorespirasi

3. Apnea persisten dan bradikardi

Memilih ventilator mekanik


Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator konvensional atau
ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit). Ventilator konvensional dapat berupa "volume" atau
"tekanan", dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan mode siklus dasar - biasanya siklus inspirasi
diterminasi. Pada modus tekanan ventilasi waktu terbatas, tekanan puncak diatur dan selama inspirasi
udara dihantarkanuntuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai, volume gas yang
tersisadilepaskan ke atmosfer. Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabelmeski
tekanan puncak yang konstan. Pada modus volume terbatas, volume yang ditentukan sebelumnya
dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapaventi lator
menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi berakhir bila aliran telah
mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga ventilator yang mampu
menggunakan volume yang baik atau ventilasi terkontrol tekanan pada keinginan operator.

Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan ventilator osilasi frekuensi tinggi (HFOV).
Terdapat pompa piston atau diafragma getar yang beroperasi pada frekuensi sekitar 10 Hz (1 Hz = 1
siklus per detik, 60 siklus per menit). Selama HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif.
Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata
jalan udara tetap konstan, mempertahankan volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan
level yang sangat tinggi. Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo
tekanan jalan udara oscillator (P). Ventilator konvensional

Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (VQ) atau pirau
dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan faktor tambahan. Oksigenasi terkait
langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (meanairway pressure - MAP). MAP dapat
ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak inspirasi (peak inspiratory pressure PIP), positive end
expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi: ekspirasi (I: E) dengan menambah
waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan
distensi berlebihan, meski oksigenasi adekuat, transportasi oksigen berkurang karena penurunan curah
jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan ventilasi menit, ditentukan oleh produk volume
tidal

transportasi oksigen berkurang karena penurunan curah jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus
dengan ventilasi menit, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan
kecepatan pernafasan. Untuk ventilasi menit yang sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih
efektif untuk menubah eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang
mati tetapkonstan. Sebuah.

a.Peak Inspiratory Pressure (PIP)

Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2dengan efek pada
volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi
(Pa02 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh sistem kepatuhan pernafasan dan bukan oleh
ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan ventilasi berdasarkan pemeriksaan
pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suaranafas) dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat
menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan risiko baro / volutrauma dan
menimbulkan kebocoran udara.

b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)

PEEP yng adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan volume paru saat akhir
respirasi, memperbaiki keseimbangan V / Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAPdan memperbaiki
oksigenasi. Malah, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan memperburuk kepatuhan
paru dan mengurangi hantaran volume pasang surut karenaalveoli terisi berlebihan (P = PIP PEEP). PEEP
berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena paru mengalami distensi
berlebih, menyebabkan penurunan aliran balik vena, yang menurunkan curah jantung. Tekanan 3– 6 cm
H2Omemperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS yang mengganggu paru-paru,
penghapusan CO2 atau gangguan hemodinamik.

c. Frekuensi

terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah dimulai pada
kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapatditingkatkan hingga 120
bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari ventilator, Waktu ekspirasiharus lebih panjang dari inspirasi
untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus maksimal 0,5 detik selama
ventilasi mekanik kamar dalamkeadaan khusus. Pada frekuensi tinggi terjadi penurunan insidensi
pneumotoraks, mungkin karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi
memanjang akan meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternatif dari
peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi dari distensi berlebihan pada paru serta udara
yang terjebak karena waktu ekspirasi berkurang.

d. Kecepatan Aliran Aliran minimal 2 kali menit ventilasi bayi (normal: 0,2 - 1L / menit) cukup adekuat,
tapi dalam prakteknya digunakan 4 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan
waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin
penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya pada
MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5 L / menit.

2. Sirkulasi Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan periksa hematokrit

3. Koreksi asidosis metabolik Asidosis metabolik berat (pH <7,2) dengan kadar bikarbonat serum (<15-16
mEg'L) atau defisit basa menunjukkan penyakit beratnya. Penyebab harus ditentukan danditangani.

4. Jaga kehangat an suhu bayi sekitar 36,5 ° C 36,8 ° C (suhu aksiler) untuk mencegah vasokonstriksi
perifer

5. Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi 6. Terapi pemberian surfaktan
Surfaktan dapat diberikan pada
6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabilabayi mengalami sindrom gangguan pernapasan yang berat.
Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal sesak menetap dan
bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih.

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian
langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian
perifer paru-paru, memiliki lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit.
Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer yang dilengkapi dengan
ventilasi mekanis (2-3 menit), dengan drainase postural, tetapi hasilpenelitian menunjukkan bahwa
memberikan surfaktan dengan cara yang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-
paru lebih sedikit.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada mempersembahkan surfaktan antara lain, bradikardi, hipoksemia,
hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dansumbatan pada endotracheal tube (ETT)
dapat terjadi pada saat mempersembahkan surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat
terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari aliran darah panu ke
dalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat diatasi dengan menghentikan penggunaan
data dan meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi.

7. Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rum ah sakit yang tersedia NICU Pemantauan
Dipantau efektivitas terapi dengan perubahan gejala klinis yang terjadi. Setelah BKB / BBLR melewati
masa kritis yaitu kebutuhan oksigen sudah terpenuhi dengan oksigen ruangan atau atmosfer, suhu
tubuh bayi sudah stabil diluar inkubator, bayi dapat menetek, ibu bisa merawat dan tanda-tanda sakit
pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.

2.8. KOMPLIKASI

1. Patent Ductus Arteriosus Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan angka
bertahan hidup bayi sangat kecil menggunakan penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi
RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan. PDA diasosiasikan dengan pirau
dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran darah paru dantekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran
darah yang menyebabkan berkurangnya kepatuhan paru yang akan membaik setelah ligasi PDA.
Peningkatan aliran darah paru akan menyebabkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta
mempengaruhi keseimbangancairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli menghambat
fungsi surfaktan. Halini akan meningkatkan kebutuhan oksigen serta ventilasi mekanik.
2. Edema Paru Hemoragik Perdarahan paru terjadi akibat edema paru berat yang merupakan komplikasi
dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1% namun pada otopsi ditemukan sekitar
55%. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial
atau perdarahan alveoli.

Anda mungkin juga menyukai