Anda di halaman 1dari 2

29

Materi Pertemuan Ke-9


ALIRAN / SEKTE KALAM JABARIYAH

p
A. Sejarahnya
Kaum Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum
Qadariyah, karena Jabariyah nampaknya sudah dapat diketahui secara jelas ketika
Mu’awiyah Ibn Ali Sofyan (621 H) menulis surat kepada al Mughirah ibn Syu’bah
(salah seorang sahabat Nabi) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu’bah
menjawab bahwa doa yang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya
sebagai berikut :

“Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak ada sesuatu yang
dapat menahan apa-apa yang Engkau telah berikan, tidak berguna kesungguhan
semuanya bersumber dariMu ”[1] (H.R Bukahri)

Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’ ,


artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar.[2] Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan)
[3]
Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi
manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula
oleh Tuhan.
Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran
ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham
Jabariyah.[4] Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang
dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di
merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz
(Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara
sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.
 Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan
al Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani
Umayyah di Khurasan
Perlawanan al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman
mati pada tahun 128 H/ 745 M.[5] Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang
pada akhirnya juga dibunuh.
Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham
Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan pemerintahan
Bani Umayyah bersama dengan al Harits.
30

Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al
Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh
Khalifah Marwan bin Muhammad (744 – 750 M).[6] 

A. Pokok- pokok paham Jabariyah


Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya,
dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang
dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian,
manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang
dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya
perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat.
Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain
adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan
tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh
dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.[7] Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam
al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya :

“Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di
dalam buku sebelum kamu wujud”

Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada
kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat,
sehingga tetap terbelakang.           

[1] Al Islam., h. 203


[2] Al Munawir., h. 177.
[3] Al Mored., Cet. XX., h. 369.
[4] Ensiklopedi Islam, Jilid II., h. 499.
[5] Ibid., h. 499
[6] Ahmad Amin. op cit., h. 286-287.
[7] Ilmu Tauhid., h. 110.
[8] Ibid., h. 104.
[9] Ibid., h. 110.
[10] Tarikh al Firaq., h. 33.

Anda mungkin juga menyukai