Anda di halaman 1dari 2

ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬ َّ ‫ال‬

Saya akan mencoba membuat opini tentang “Hisab dan Rukyat” dengan berlandaskan dalil-
dalil hadist dibawah ini :
1. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َ‫ َوالَ تُ ْف ِطرُوا َحتَّى ت ََروْ هُ فَإ ِ ْن أُ ْغ ِم َى َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُوا لَهُ فِي ِر َوايَ ٍة فَأ َ ْق ِدرُوا ثَالَثِين‬، ‫الَ تَصُو ُموا َحتَّى تَ َر ُوا ْال ِهالَ َل‬
” Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai
melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut
sampai tiga-puluh.” (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
 ‫صُو ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوا لِر ُْؤيَتِ ِه‬
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat
bulan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َوإِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ فَأ َ ْف ِطرُو‬، ‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ُم ْال ِهالَ َل فَصُو ُموا‬
” Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat
hilal  ( Syawal ), maka berbukalah.” (HR Muslim).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan
adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan,
hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh
“faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Pendapat Kedua, ada yang mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan
Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu
Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits
no 1 ), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh “faqduru lahu” dengan ilmu hisab. Yaitu
jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang lebih kuat dan lebih banyak di ikuti
oleh mayoritas ulama adalah yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan
Ramadhan dan Syawal dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat), tetapi dibolehkan
menggunakan alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan
menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.

Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan
pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َ‫ َو َمرَّة ثَالَثِين‬، َ‫ ال َّش ْه ُر ه َك َذا َوه َك َذا يَ ْعنِي َم َّرةً تِ ْس َعةً َو ِع ْش ِرين‬، ُ‫ الَ نَ ْكتُبُ َوالَ نَحْ سُب‬،ٌ‫إِنَّا أُ َّمةٌ أُ ِّميَّة‬
“Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung,
bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari.”(HR Bukhari dan Muslim)
Artinya hadits di atas adalah  untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak
diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih
mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat.  
Ini  bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala  telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut
ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini.  Akan
tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan
bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang
sangat banyak. Ada yang menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam
matahari  setelah terjadi ijtima’.  Sebagian yang lain menetapkan  bahwa awal bulan dimulai
pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam
matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan  model
“wujudul hilal.”
Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut
dengan  imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok
yang menggunakan model  “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan
batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan
banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan
awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak)
memegang prinsipnya masing-masing, dan tidak mau mengalah sehingga persatuan Islam
sulit terwujud.
Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi
perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya
umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh
pemerintah di negara  masing-masing. Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya
seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah melalui sidang itsbat yang
dihadiri seluruh ormas Islam. Itu semua demi maslahat persatuan. Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai