Anda di halaman 1dari 6

KASUS DAN PEMBAHASAN BUNUH DIRI

(SUICIDE)

KEPERAWATAN JIWA

Oleh

Maftuh Ni’am Abastiyar

P1337420618096

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2020
Contoh Kasus

FAJAR.CO.ID, MAROS– Seorang remaja, WL (15) ditemukan dalam kondisi tergantung di


rumahnya. Diduga gantung diri akibat perceraian orang tuanya. Kapolsek Tanralili, Iptu
Wahyudin, mengatakan, pihaknya belum mengetahui secara pasti penyebab warga Kelurahan
Borong, Kecamatan Tanralili itu gantung diri. Namun dugaan sementara akibat perceraian
orang tuanya. “Penyidik masih mendalami penyebabnya,”tuturnya, Kamis, 16 Juli.

Kronologisnya berawal saat seorang pria berinisial SN yang diduga pacar WL, datang ke
rumah nenek korban. Kemudian menanyakan keberadaan korban sekira pukul 11.30.
Kemudian nenek WL menjawab jika korban ada di rumahnya. Nenek WL kemudian
bersama-sama SN masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar korban. Nahasnya
saat membuka kamar, mereka mendapati WL tewas tergantung. “Nenek WL, Hani
selanjutnya keluar menyampaikan kepada saksi Misbah (19) dan Dewi (30) jika cucunya
gantung diri danmeninggal dunia,” katanya.

Sebelum insiden gantung diri ini, kata dia, korban sempat menghubungi pacarnya SN, warga
Tombolo, Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros. Saat ini, kata dia, korban
disemayamkan di rumah neneknya di Lingkungan Amarang, Kelurahan Borong Kecamatan
Tanralili. Dari hasil pemeriksaan tim medis Puskesmas Tanralili tidak di temukan adanya
tanda-tanda kekerasan pada korban. “Tidak ada tanda-tanda kekerasan, hanya saja bekas
jeratan tali pada leher,” katanya.

PEMBAHASAN & INTERVENSI

1. Bunuh Diri pada Anak dan Remaja

Menurut WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia
19 tahun.Remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
ditandai denganpercepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. WHO
mengatakan remaja adalah bilaanak telah mencapai umur 10-19 tahun (Dhamayanti, 2013).

Bunuh diri adalah usaha tindakan atau pikiran yang bertujuan untuk mengakhiri hidup
yangdilakukan dengan sengaja, mulai dari pikiran pasif tentang bunuh diri sampai akhirnya
benar-benar melakukan tindakan yang mematikan. Keparahan tingkat bunuh diri bervariasi,
mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan melakukan bunuh
diri (completed suicide).
2. Faktor Resiko
a. Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada anak dan
remaja adalahgangguan suasana perasaan (depresi dan bipolar), skizofrenia,
penyalahgunaan zat, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan(Apter dan
Freudstein, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Shain dan Care, 2007).
b. Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri yaitu adanya
kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan anak dan orangtua,
perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis(Shafii et al., 1985;
Gould et al., 1996; Pfeffer, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh
dan Kosky, 2005; Gray dan Dihigo, 2015).
c. Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk juga
dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri dijumpai diantara
pasien dengan rangeIQ retardasi mental sedang atau di atasnya dan lebih sering
dijumpai pada remaja dibandingkan anak-anak(Gould dan Kramer, 2001;
Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005).

Diperkirakan bahwa hampir setengah dari remaja berpikir tentang bunuh diri di
beberapa waktu dalam kehidupannya dan sebagian kecil remaja melaporkan telah memiliki
pengalaman pada tahun sebelumnya (Nock, M., Borges, G.,Bromet, E. et al. 2008; dalam
Scanlan,F,.Purcell, R., 2009). Hal ini mejelaskan bahwa meskipun hanya sedikit keinginan
bunuh diri yang diungkapkan dari remaja tetap perlu di perhatikan karena ide bunuh diri biasa
bersifat samar atau tidak jelas, sehingga remaja perlu di jelaskan bahwa perilaku bunuh diri
mulai dari adanya ide bunuh diri hingga percobaan bunuh diri bukanlah sesuatu yang perlu
dirahasiakan dan orang tua seharusnya mengetahui ide bunuh diri pada remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Khan (2011),Low et al (2012) didapatkan hasil depresi
memiliki hubungan dengan ide bunuh diri. Masalah yang tidak terselesaikan akan
menimbulkan stres. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa stres dan kehidupan yang penuh
stres merupakan peristiwa yang sangat terkait dengan gejala depresi, yang kemudian
meningkatkan risiko bunuh diri (Zhang et al,2011, You et al, 2014). Stres berkelanjutan
mengakibatkan kecemasan dan depresi. Kondisi depresi yang dialami juga dapat
menimbulkan rasa ketidakberdayaan. Penelitian Page, dkk. (2006) didapatkan bahwa
kesepian,depresi, maupun ketidakberdayaan merupakan variabel kognitif yang menjadi faktor
resikobunuh diri pada remaja.
3. Pencegahan
a. Pencegahan primer yaitu program dalam latar pendidikan, meliputi Program
Berbasis Sekolah, Krisis Hotline, Pembatasan Metode yang Mematikan, Edukasi
melalui Media serta Mengidentifikasi Anak dan Remaja dengan Faktor Resiko
Tinggi Bunuh Diri.
b. Pencegahan sekunder berkaitan dengan mengidentifikasi dan penatalaksanaan
yang adekuat terhadap mereka yang memilki risiko bunuh diri, berupa
penatalaksanaan psikososial dan penatalaksanaan secara biologi dengan
pemberian antidepresan (AACAP, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
c. Pencegahan tersier bertujuan mengembangkan penatalaksanaan yang tepat untuk
anak dan remaja, khususnya modalitas terapi yang tepat setelah melakukan
percobaan bunuh diri, sehingga dapat mencegah terjadinya bunuh diri(AACAP,
2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
d. Postvention adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan intervensi yang
dilakukan setelah terjadi bunuh diri. Setelah anak atau remaja melakukan bunuh
diri, sangat dianjurkan untuk melakukan krisis intervensi pada orang-orang
terdekatnya karena mereka berisiko menderita depresi, gangguan stres paska
trauma atau reaksi duka cita yang patologis. Bila hal ini tidak dilakukan, maka
jumlah kejadian bunuh diri pada kerabat dan orang terdekat pelaku selama
setahun setelah kejadian bunuh diri akan meningkat(AACAP, 2001; Gould dan
Kramer, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
4. Intervensi

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan


dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapai stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yangtimbul diluar
kekuatan manusia ( Hamid, 2008 ; Fitria. A, 2015). Spiritualitas merupakan bentuk keyakinan
dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pencipta serta sebagai
kekuatan hidup yang berguna bagi masyarakat dan lingkungan majemuk tanpa harus
kehilangan identitas diri.

Mindfulness merupakan salah satu penatalaksanaan non farmakologi yang dapat


menggunakan depresi (Muhit.A, 2015).Mindfulness sebagai latihan menyadari kondisi yang
dialami tubuh, pikiran, perasaan, pada situasi saat ini, dan berfikir secara sadar untuk
membuat perasaan atau situasi yang tenang (Dictoinary & Thesaurus, 2017 ; Kabatt-Zinn. J,
2012).Dapat disimpulkan bahwa mindfulness merupakan latihan seseorang untuk menyadari
tentang kondisi sehingga mampu membuat tujuan dan fokus dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi melalui perubahan perilaku untuk meningkatkan kepasitas dalam menghadapi
masalah. Tujuan intervensi mindfulness memiliki indikasi untuk target sehat mandiri yaitu
pada seseorang yang mengalami masalah kesehatan jiwa seperti kecemasan, stress dan
depresi (Dwidiyanti. M, 2017).

Penelitian Koening(2012) menjelaskan bahwa Religi/spiritualitas melibatkan


keyakinan, praktik dan ritual terkait dengan transenden (Tuhan), atau kebenaran mutlak
/realitas dalam tradisi timur (Koening.H.G, 2012).Dan pada pasien depresi mengalami
kegagalan/disfungsi spiritual, dimana kondisi ini biasanya sulit untuk dijalani, menghasilkan
rasa gagal dan bersalah (Auerbach.R.P, 2010).

Penelitian yang juga dilakukan untuk penarapan mindfulness spiritual islam dalam
jurnal berjudul PENURUNAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN DENGAN INTERVENSI
MINFULNESSSPIRITUAL ISLAM oleh Asiah*, Meidiana Dwidiyanti, Diyan Yuli Wijayanti.
Menyimpulkan bahwa Terdapat perbedaan tingkat depresi sesudah diberikan intervensi pada
kelompok intervensi dan kontrol (p= 0,000 < 0,05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh intervensi Mindfulnessdalam menurunkan depresi pasien. Artinya
intervensi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk menurunkan masalah depresi sehingga
menjadi pencegahan dan pengurangan resiko bunuh diri pada remaja akibat depresi.
DAFTAR PUSTAKA

Asiah, A., Dwidiyanti, M., & Wijayanti, D. Y. (2019). Penurunan Tingkat Depresi pada
Pasien dengan Intervensi Minfulness Spiritual Islam. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(3), 267-
274.

Aulia, N., Yulastri, Y., & Sasmita, H. (2019). Analisis Hubungan Faktor Risiko Bunuh Diri
dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja. Jurnal Keperawatan, 11(4), 307-314.

Litaqia, W., & Permana, I. (2019). Peran Spiritualitas dalam Mempengaruhi Resiko Perilaku
Bunuh Diri: A Literature Review. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(2), 615-624.

Zulaikha, A., & Febriyana, N. (2018). Bunuh Diri pada Anak dan Remaja. Jurnal Psikiatri
Surabaya, 7(2), 11-21.

Anda mungkin juga menyukai