Anda di halaman 1dari 108

PENDAHULUAN

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan ketentuan formal yang
mendasari pelaksanaan perundang-undangan perpajakan, yang di dalamnya tertuang
ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan dan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Ketentuan ini hadir agar hukum pajak material seperti Undang-undang
Pajak Penghasilan dan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dapat diimplementasikan
dengan baik.

Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar KUP tercermin dalam
ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan
mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia
karena kedudukan KUP yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan
perpajakan yang lain.

Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :

a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak
untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan


kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri.
Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan;

c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan


kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana
dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya
pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur
jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi
yang terlalu membebani Wajib Pajak dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan
harapan tersebut wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat
dilimpahkan kepada aparat bawahannya.

1
Dalam UU KUP dinyatakan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan
tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui
berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui
media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.

A. Hukum Pajak Formal

Hukum pajak formal memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan. Maksud hukum, formal ini adalah untuk melindungi, baik fiskus maupun wajib
pajaknya. keberadaan hukum formal ini adalah untuk menjamin bahwa hukum materiil dapat
diimplementasikan setepat-tepatnya. Hukum pajak ini memuat antara lain adalah:

a. Tata cara penetapan utang pajak.


b. Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak, contohnya: penyelenggaraan pembukuan/pencatatan dan
d. Hak-hak wajib pajak mengajukan keberatan dan banding.

Hak dan kewajiban Wajib Pajak dan wewenang fiskus dalam mengawasi pengenaan pajak
secara lengkap dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan (UU KUP). Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (UU KUP) merupakan contoh dari hukum pajak formal yang memuat paparan
tentang formalitas berbagai macam teknis pelaksanaan administrasi perpajakan.

B. HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN


KUP merupakan aturan yang sangat penting dalam mewujudkan kesederhanaan dalam tata
aturan dan penerapan perpajakan. Dengan adanya ketentuan formal dalam pajak, tumpang-
tindih penerapan aturan formal untuk setiap jenis pajak dapat diminimalisir.

Dengan memahami KUP, maka Wajib Pajak bisa mengetahui saat timbulnya kewajiban
pajak, jangka waktu untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

Wajib Pajak juga dapat mengetahui sarana-sarana yang dapat digunakan untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya, di antaranya menyampaikan Surat Pemberitahuan dan menyetor
atau membayar pajak melalui Surat Setoran Pajak. Dengan adanya UU KUP, bisa diketahui
ketentuan tentang kewajiban pembukuan atau pencatatan, pemeriksaan pajak, penyetoran
ketetapan pajak hasil pemeriksaan dan lain sebagainya.

UU KUP akan menginformasikan sanksi-sanksi perpajakan yang dapat dikenakan terhadap


Wajib Pajak apabila kewajiban perpajakan tidak dipenuhi sebagaimana mestinya atau tidak
dipenuhi sama sekali. UU KUP juga menjelaskan hak-hak yang dapat diperoleh Wajib Pajak
atas kewajiban perpajakan yang dijalankannya, misalnya, pengembalian kelebihan

2
pembayaran pajak (restitusi), penundaan/pengangsuran pembayaran pajak, pengajuan
keberatan, banding dan gugatan serta penghapusan NPWP.

Di sisi lain, UU KUP juga informatif bagi aparat pajak. Sebab di dalam UU KUP, telah
ditegaskan hal-hal yang mesti dicermati oleh aparat pajak dalam mengevaluasi praktlk self
assessment yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak, baik evaluasi melalui pemeriksaan
maupun penyidikan pajak. Selain itu, UU KUP juga menjelaskan hak dan kewajiban aparat
pajak/seiring dengan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Sebelum beranjak dalam pemenuhan
kewajiban rutin perpajakan yang bersifat material, Wajib Pajak maupun aparat pajak
sepatutnya memahami klausul-klausul dalam ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
yang beberapa di antaranya telah dijelaskan di atas.

3
PENDAFTARAN NPWP

A. DASAR HUKUM

a. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009;
b. PMK No. 182/PMK.03/2015 stdd PMK No. 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ./2018 sttd PER-04/PJ./2020, tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau
Pengusaha Kena Pajak;
d. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-30/PJ./2006 tentang Pojok Pajak;

B. PENGERTIAN

Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP didefinisikan menurut Pasal 1 UU KUP 2007
yaitu nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
salam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP terdiri dari 15 digit angka,
dimana nomor tersebut dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
yang berfungsi sebagai sarana dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Oleh
karena itu, setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP. Selain itu, NPWP dipergunakan
tuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi
perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan NPWP yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Kewajiban untuk memiliki NPWP merupakan kewajiban bagi setiap WP. Ini tidak bisa ditolak
karena sudah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- undang No. 16 tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UU KUP), yang menyatakan:
"Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak."

C. SUBJEK WAJIB NPWP

Dalam praktiknya tidak semua WP diwajibkan untuk mempunyai NPWP. WP yang tidak
wajib mempunyai NPWP adalah WP orang pribadi yang memiliki penghasilan todak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam satu Tahun Pajak. Berdasarkan YY
Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 tahun 2008 Pasal 7, menyebutkan bahwa besarnya
PTKP terakhir sesuai dengan PMK 010/2016 berlaku 22 Juni 2016 yang bisa didapatkan
oleh WP adalah sebagai berikut:

4
a. Rp 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga.

Subjek pajak yang wajib mendaftarkan diri dan memperoleh NPWP adalah Wajib Pajak
orang pribadi dan wajib pajak Badan. Untuk Wajib pajak Orang pribadi dibedakan mejadi
dua jenis, yaitu orang yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan orang yang
menjalankan usaha dan pekerjaan bebas.

Bagi WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
memperoleh penghasilan diatas PTKP, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah penghasilan WP tersebut telah melebihi
PTKP setahun. Untuk WP orang pribadi yang tidak wajib NPWP dan memerlukan NPWP
dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.

Contoh:
Rizki (K/1), bekerja pada PT.Mexindo sejak tahun 2018. Saat ini Rizki belum memiliki
NPWP. Penghasilannya tiap bulan rata-rata Rp. 6.000.000,-. Pada tahun 2018 penghasilan
kumulatif Rizki sampai dengan bulan Juni adalah Rp 72.000.000,- sedangkan PTKP setahun
untuk status K/1 tahun 2018 Rp.63.000.000,-. Dengan kondisi tersebut, maka paling lambat
akhir bulan Juli 2018 Rizki harus mendaftarkan diri ke KPP Domisili untuk memperoleh
NPWP.

Bagi WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha
atau pekerjaan bebas/ usahanya nyata-nyata mulai dijalankan.

D. NPWP BAGI WANITA

Dalam perpajakan wanita merupakan subjek pajak yang mendapatkan perlakuan istimewa,
karena dalam ketentuan perpajakan wanita diperkenankan untuk tidak memiliki NPWP
sepanjang wanita tersebut telah berstatus kawin dan tidak ada perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan dengan suaminya.

Sejak berlaku efektifnya UU PPh No. 36 tahun 2008, kedudukan wanita semakin
diistimewakan. Dimana, sejak berlakunya UU PPh tersebut menyatakan bahwa wanita boleh
saja menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri. Apabila wanita

5
ingin memilih mandiri dalam menjalankan administrasi perpajakannya, maka PPh-nya
dikenai terpisah dari suaminya dan mempuyai NPWP sendiri.

Ditjen Pajak (Peraturan Dirjen Pajak No. Per-20/PJ/2013) menegaskan bahwa wanita kawin
yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan
terpisah dari suaminya, harus melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
menggunakan NPWP suami atau kepala keluarga. Apabila sebelum menikah istri telah
memiliki NPWP sendiri, maka setelah menikah ia harus segera melapor ke KPP agar
NPWP-nya dihapuskan. Selanjutnya pengenaan pajak atas penghasilannya disatukan
dengan suaminya. Wanita dengan status sebagai istri ini tidak perlu lagi mengisi dan
menyampaikan SPT Tahunan atas nama pribadinya, namun cukup dilakukan atas nama dan
dengan NPWP suaminya. Contoh penerapannya adalah dalam UU PPh yang sistem
pengenaan pajaknya menempatkan keluarga sebagai salah satu kesatuan ekonomis.
Artinya, penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala
keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu ada juga wanita yang menurut ketentuan
perpajakan harus ber-NPWP sehingga kewajiban perpajakannya dilakukan secara terpisah
dengan suaminya, diantaranya adalah:

Wanita Kawin Dengan Perjanjian Pemisahan Harta dan Penghasilan


Dengan Suamin ya

Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU PPh, kewajiban pajak bagi wanita kawin dengan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dilakukan secara terpisah dengan kewajiban
pajak suaminya. Dalam hal ini pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan atas nama dan
dengan NPWP masing-masing.

Dengan demikian, wanita kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
dengan suaminya harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KUP.

Wanita yang Hidup Berp isah Dengan Suamin ya atau Wan ita yan g
Suaminya T elah Men ing gal D un ia

Secara material pengenaan pajak bagi wanita yang hidup berpisah dengan suaminya atau
wanita yang suaminya telah meninggal dunia tentu dilakukan oleh si wanita sendiri. Yang
dimaksud dengan hidup berpisah adalah keadaan secara nyata bahwa antara suami-istri
sudah tidak lagi terikat dalam hubungan perkawinan yang dibuktikan dengan keputusan
hakim. Dengan demikian seperti halnya wanita dewasa yang belum pernah menikah atau
wanita kawin dengan perjanjian pisah harta dan penghasilan, ketentuan formal perpajakan
mewajibkan wanita tersebut untuk mendapatkan NPWP dan menjalankan kewajiban
pajaknya sesuai dengan NPWP-nya sendiri.

6
NPWP Wanita yang Meneruskan Usaha Mendiang Suami

Wanita yang suaminya telah meninggal dunia wajib memiliki NPWP apabila memperoleh
penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Dalam hal suami telah meninggal dunia da
mempunya usaha, usaha tersebut tentunya menjadi hak ahli warisnya. Sepanjang warisan
tersebut sudah dibagikan kepada ahli waris, maka NPWP mendiang suami yang
berkedudukan sebagai subjek pajak dapat dihapuskan. Akan tetapi, apabila warisan tersebut
belum dibagikan karena suatu hal dan istri yang meneruskan usaha tersebut, maka
perlakuan NPWP istri dapat dibedakan sebagai berikut:
 Apabila sebelumnya si istri telah memiliki NPWP sendiri, maka kewajiban pajaknya
tidak berubah. Artinya wanita tersebut tetap menjalankan kewajiban pajaknya sesuai
dengan NPWP yang dimilikinya. Sedangkan penghasilan yang diperoleh dari usaha
mendiang suaminya yang merupakan warisan yang belum dibagikan, akan tetap dapat
diselesaikan dengan NPWP mendiang suami atau warisan dalam kedudukannya
sebagai Subjek Pajak pengganti sampai dengan warisan tersebut dibagikan;
 Apabila si Istri tidak memiliki NPWP sendiri, sepanjang tidak memperoleh penghasilan
lain yang merupakan Objek Pajak, maka tidak wajib baginya mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP. Jadi selama mengurusi usaha itu ia dapat terus memakai NPWP
mendiang suaminya sampai dengan warisan tersebut dibagikan. Dalam hal ini wanita
tersebut bisa diposisikan sebagai salah satu ahli waris atau kuasa yang untuk
sementara waktu mengelola harta warisan suaminya sampai kelak dibagikan kepada
para ahli warisnya.

E. TEMPAT PENDAFTARAN

Sesuai dengan Pasal 2 UU KUP 2007 , WP orang pribadi atau badan mendaftarkan diri
pada kantor Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak. Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) melakukan pendaftaran pada
kantor pajak sesuai dengan tempat tinggal, sedangkan Wajib Pajak Badan berdasarkan
tempat kedudukannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.03/2017, Dirjen Pajak menetapkan


tempat pendaftaran Wajib Pajak dengan ketentuan:
 WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang tersebar dibeberapa tempat,
misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan.
Jadi, selain wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal WP, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kegiatan usaha WP dilakukan.
 Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan WP berada dalam dua atau lebih
wilayah kerja KPP, Dirjen Pajak dapat menetapkan KPP tempat WP terdaftar.

7
F. CARA PENDAFTARAN

Dalam praktiknya NPWP dapat diperoleh dengan tiga cara yaitu:


a. Mendaftar dengan kesadaran diri untuk memperoleh NPWP.
b. Pendaftaran NPWP melalui pemberi kerja; dan
c. Diberikan secara jabatan.

Salah satu prinsip dalam perpajakan adalah kesederhanaan dalam proses administrasi.
Berdasarkan Permenkeu No. 147/PMK.03/2017 menjelaskan bahwa proses penerbitan
NPWP membutuhkan waktu paling lama satu hari kerja setelah permohonan diterima secara
lengkap. Wajib pajak yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri wajib mengajukan
permohonan pendaftaran NPWP dengan menggunakan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.
Pendaftaran dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Secara elektronik dengan mengakses Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman
Direktorat Jendral Pajak di www.pajak.go.id.
b. Dengan menyampaikan permohonan secara tertulis yang disampaikan ke KPP atau
KP2KP yag wilayah kerjanya meiputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak melalui datang langsung ke kantor pajak, pos, atau
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Prosedur tertulis lebih detailnya diatur oleh
Peraturan Dirjen Pajak No. Per-20/PJ/2013; Peraturan Dirjen Pajak No. Per-38/PJ/2013.

Jika WP melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai


PKP, maka Kartu NPWP, Surat Keterangan Terdaftar, dan Surat Pengukuhan PKP akan
diterbitkan bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah permohonan
pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara lengkap.

G. PENDAFTARAN NPWP KARYAWAN

Dalam pelaksanaan pemberian NPWP karyawan melalui pemberi kerja akan melibatkan
beberapa pihak sekaligus yaitu Pemberi Kerja atau Bendaharawan, KPP Lokasi, KPP
Domisili dan Karyawan. Secara Skematis, hubungan keempat pihak tersebut adalah sesuai
dengan gambar berikut:

Gambar 1. Proses Pemberian NPWP Karyawan

8
Penjelasan :
1. KPP Lokasi dapat mengirim Surat Permintaan Bantuan Pendaftaran WPOP yang
Berstatus Sebagai Karyawan kepada Pemberi Kerja atau Bendaharawan, dengan
melampirkan formulir daftar nominatif dan penjelasan mengenai tatacara pengisian e-
NPWP.
2. Bila surat tersebut tidak direspon dalam 14 hari, maka KPP Lokasi juga dapat
mengirimkan Surat Permintaan Keterangan Data WPOP yang Berstatus Sebagai
Karyawan beserta lampiran yang diperlukan.
3. Bila Surat-Permintaan Keterangan tidak dipenuhi dalam waktu 7 hari, maka KPP Lokasi
dapat melakukan pencarian data WPOP yang berstatus sebagai Karyawan.
4. Pemberi Kerja atau Bendaharawan harus merespon permintaan KPP Lokasi dengan
mengisi formulir yang diperlukan serta meneruskannya ke karyawan untuk meminta
fotokopi KTP, Kartu Keluarga, Paspor, Kartu NPWP (bagi yang sudah memiliki NPWP
atau NPWP suami untuk karyawati), dan dokumen lain yang diperlukan. Karyawan wajib
mengisi dan menandatangani formulir Permohonan Pendaftaran dan Perubahan Data
Wajib Pajak.
5. Karyawan wajib menyerahkan data/keterangan, dan formulir yang sudah diisi kepada
Pemberi Kerja atau Bendaharawan untuk diteruskan kepada KPP Lokasi.
6. Pemberi Kerja atau Bendaharawan meneruskan data/keterangan dan formulir yang
diperlukan kepada KPP Lokasi, dalam bentuk daftar nominatif dan e-NPWP dan akan
diproses lebih lanjut.
7. Setelah disortir per KPP Domisili, KPP Lokasi kemudian memproses permohonan daftar
nominatif dan e-NPWP tersebut, mencetak kartu NPWP dan mengirimkannya kepada
Pemberi Kerja atau Bendaharawan.
8. KPP Lokasi mengirimkan daftar penerbitan NPWP per KPP Domisili disertai berkas
NPWP yang bersangkutan kepada KPP Domisili
9. Pemberi Kerja dan Bendaharawan mengirimkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan
Terdaftar kepada Karyawan.
10. Selanjutnya hubungan antara Karyawan dengan KPP Domisili adalah hubungan
sebagaimana layaknya Wajib Pajak yang terdaftar di KPP setempat.

H. PERUBAHAN DATA WAJIB PAJAK

Perubahan data Wajib pajak dapat dilakukan dalam hal data yang terdapat dalam
administrasi perpajakan berbeda dengan data Wajib Pajak dan/atau PKP menurut keadaan
yang sebenarnya. Perubahan tersebut tidak memerlukan pemberian NPWP baru dan/atau
pengukuhan PKP baru. Perubahan dilakukan atas permohonan Wajib Pajak atau secara
jabatan. Perubahan data tersebut mencakup hal-hal berikut ini:
1. Perubahan identitas Wajib pajak orang pribadi;
2. perubahan alamat tempat tinggal Wajib pajak Orang Pribadi atau tempat kedudukan WP
badan masih dalam wilayah kerja KPP yang sama.
3. perubahan kategori WPOP;
4. perubahan sumber penghasilan utama WPOP;
5. Perubahan identitas WP badan tanpa perubahan bentuk badan;

9
6. perubahan permodalan atau kepemilikan WP badan tanpa perubahan bentuk badan.

Permohonan perubahan data tersebut diajukan nelalui permohonan dengan menggunakan


Formulir Perubahan Data Wajib Pajak, dan secara elektronik melalyi aplikasi e-Registration.

I. PEMINDAHAN WAJIB PAJAK

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) PER-41/PJ./2009 ditetapkan bahwa dalam hal Wajib
Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar pindah tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain, Wajib Pajak dan/atau PKP wajib
mengajukan permohonan pindah ke :
a. KPP Lama, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak dan/atau PKP Badan atau Joint
b. Operation atau Wajib Pajak Bendahara; atau
c. KPP Baru, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan mengisi
Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data
dan PKP Pindah

Secara prosedural, permohonan pemindahan dapat dilakukan secara elektronik dengan


mengisi Formulir Pemindahan wajib Pajak pada aplikasi e-Registration. Selanjutnya WP
harus mengunggah salinan digital dokumen melalui aplikasi dan mengirimkannya dengan
menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani KPP lama dalam
jangka waktu 14 hari kerja setelah permohonan pemindahan diajukan. KPP menerbitkan
Bukti Penerimaan Surat jika dokumen yang diisyaratkan lengkap. Setelah itu, KPP lama
memberikan keputusan dengan melakukan verifikasi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
Bukti Penerimaan Surat diterbitkan. Keputusan KPP lama dapat berupa menerima
permohonan WP dengan menerbitkan surat pindah atau menolak permohonan WP dengan
menerbitkan Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Dipindah.

Apabila Surat Pernyataan Pindah diterima, WP segera menyerahkan ke KPP baru. Setelah
menerima Surat Pernyataan Pindah beserta persyaratannya secara lengkap, KPP baru
berkewajiban menerbitkan kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar, paling lama pada
hari kerja berikutnya, dalam hal surat pernyataan pindah beserta persyaratannya secara
lengkap disampaikan ke KPP baru, atau setelah menerima Surat Pindah dari WP yang
berasal dari KPP lama. Lampiran yang harus disertakan:

1) Pindah tempat tinggal


Surat keterangan tempat tinggal baru dari instansi yang berwenang, sekurang-
kurangnya lurah atau kepala desa. Dalam hal WP tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, persyaratan tersebut dapat berupa surat keterangan dari pimpinan
Instansi atau perusahaannya.

2) Pindah tempat kegiatan usaha


Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, adalah surat
keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi

10
yang?berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa. Dengan telah
berpindahnya tempat terdaftar WP, otomatis kewajiban perpajakannya pun
Ikuberpindah. Dalam artian pertanggungjawaban atas segala kewajiban perpajakan
yang dilakukan WP dilaporkan di KPP tempat WP terdaftar. Secara formal, pemenuhan
kewajiban perpajakan semestinya dilakukan di KPP baru setelah KPP baru tersebut
menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar.

J. PENGHAPUSAN NPWP
Dalam UU PPh 2007 Pasal 2 ayat 6 menyebutkan bahwa, Penghapusan NPWO dapat
dilakukan oleh Dirjen Pajak apabila:
a. Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya
karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. WP badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. WP bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari Wajib
Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Selanjutnya dalam PMK No. 147/PMK.03/2017 menjelaskan secara rinci Penghapusan


NPWP hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. WPOP yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. WPOP yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
c. WP yang memiliki lebih dari 1 (satu ) NPWP;
d. WPOP yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham, atau pemilik dan
pegawai yang telah diberikan pemberi kerja/bendahara pemerintah dan penghasilan
nettonya tidak melebihi PTKP;
e. wanita yang sebelumya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan;
f. wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak
dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabung dengan suaminya.

Dalam hal penghapusan NPWP secara jabatan, penghapusan dilakykan berdasarkan data
dan/atau iformasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Ditjen Pajak. Penghapusan NPWP
secara jabatan ini dilakukan melalui pemeriksaan. Penghapusan NPWP atas permohonan
WP dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Selanjutnya, kepala KPP akan melakukan
penghapusan NPWP jika WP tidak sedang mengajukan upaya hukum dan memenuhi
ketentuan antara lain sebagai berikut:
a. tidak mempunyai utang pajak;
b. mempunyai utang pajak namun penagihannya sudah daluwarsa
c. mempunyai utang pajak namun WPOP meninggal dunia degan tidak meninggalkan
warisan dan tidak mempunyai ahli waris;
d. mempunyai utang pajak namun WP tidak mempunyai harta kekayaan. (PMK No.147
/PMK.03/2017)

11
Setelah melakukan pemeriksaan, Dirjen Pajak harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 bulan, untuk WPOP dan waktu 12
(dua belas) bulan untuk WP Badan, sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
Apabila dalam jangka waktu tersebut belum ada keputusan yang dibuat oleh Dirjen Pajak,
maka permohonan penghapusan dianggap diterima.

Penghapusan NPWP hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan, tanpa
menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukannya. Sehingga meskipun NPWP
telah dihapuskan, namun pajak-pajak yang terutang oleh orang pribadi tetap akan ditagih.
Namun dalam prakteknya seringkali WP harus melunasinya terlebih dahulu, baru kemudian
diterbitkan Surat Penghapusan NPWP.

Penghapusan NP WP bagi Wan ita Kawin

Penghapusan NPWP bagi WP wanita kawin, tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa suami telah terdaftar sebagai WP
dan berlaku sejak awal tahun berikutnya setelah tahun perkawinan dilaksanakan.

Berkas WP wanita kawin yang NPWP-nya telah dihapus tersebut:


a. Diserahkan atau dikirimkan oleh KPP tempat wanita tersebut terdaftar ke KPP tempat
suami terdaftar sebagai WP dengan disertai uraian singkat mengenai history
pelaksanaan kewajiban perpajakannya, untuk digabung dengan berkas WP suami.
b. Digabungkan dengan berkas WP suami, dalam hal WP wanita kawin terdaftar pada KPP
yang sama dengan tempat suami terdaftar.

K. KEWAJIBAN PAJAK

Kewajiban perpajakan timbul tentunya karena adanya NPWP, kewajiban WP yaitu


menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak, baik pajak sendiri ataupun
pajak pihak lain yang dipotong ke KPP tempat wajib pajak terdaftar. Bagi WP orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang hanya menerima
penghasilan sebagai karyawan, maka secara umum kewajiban perpajakannya hanya
meliputi kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan saja.

Dalam hal ini WP tersebut tidak perlu melakukan kewajiban pajak yang lain seperti
menghitung dan menyetor pajak sendiri atas gaji yang diperolehnya setiap bulan. Selain itu
WPOP tersebut juga tidak perlu untuk membuat laporan (SPT Masa) ke KPP setiap
bulannya karena penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak atas gaji tersebut dilakukan
oleh perusahaan sebagai pemotong PPh Pasal 21.

Namun demikian, bila orang pribadi tersebut bekerja lebih dari satu pemberi kerja, maka
orang pribadi tersebut harus menghitung kembali penghasilannya dalam SPT Tahunan
orang pribadinya. PPh Pasal 21 yang dipotong dari pemberi kerjanya dapat dijadikan

12
sebagai kredit pajak di SPT Tahunannya. Biasanya di akhir Tahun Pajak bagi WPOP yang
memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja, maka SPT Tahunannya akan
cenderung kurang bayar, sehingga akan menimbulkan angsuran PPh Pasal 25 di tahun
selanjutnya. Dengan demikian akan timbul kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25
setiap bulannya.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas serta
Wajib Pajak badan memiliki kewajiban perpajakan untuk menghitung, memotong, menyetor
dan melaporkan PPh pihak lain yang dipotong (w i t h h o l d i n g t a x ) dan pajaknya sendiri.

L. SANKSI TERKAIT

Setiap kewajiban dalam hukum tentunya diikuti dengan sanksi apabila tidak sesuai dengan
ketentuan dan koridor hukum yang ada. Demikian pula dalam hal kewajiban dalam hal
NPWP, yang apabila tidak dilaksanakan tentunya akan mendapatkan sanksi berupa sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana. Berdasarkan ketentuan dalam UU KUP Pasal 39
diatur bahwa “setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap; atau dan seterusnya.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana denga pidana
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

Selain itu, jika WP sudah memenuhi persyaratan untuk wajib memiliki NPWP namun tidak
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, maka kepada WP yang bersangkutan dapat
diterbitkan NPWP secara jabatan.

13
PENGUSAHA KENA PAJAK

A. DASAR HUKUM

a. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 tahun 2009;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan Nilai.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tata Cara Pendaftaran Dan
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
d. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/_J/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.
e. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-17/PJ.52/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pencabutan Secara Jabatan Pengukuhan Sebagai Pengusaha Kena Pajak yang Tidak
Memenuhi Syarat Lagi Sebagai Pengusaha Kena Pajak.

B. PENGERTIAN

Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang


kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 8 tahun 1984
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.42 tahun 2009. Pengusaha
diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila melakukan
penyerahan BKP/JKP di dalam daerah pabean dan melakukan ekspor BKP/JKP.
Dalam pasal 3A UU PPN, menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP/JKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usahanya
dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU KUP 2007, Surat Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak diberikan kepada pengusaha kena pajak yang telah memenuhi syarat sebagai
PKP untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan NIlai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Surat Pengukuhan PKP tersebut berfungsi
sebagai identitas PKP yang sebenarnya dan untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Identitas sebagai PKP ini ditandai dengan diberikannya Nomor Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak (NPPKP), yaitu nomor yang diberikan kepada PKP untuk memenuhi kewajiban
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sejak tahun 2002, jumlah digit NPPKP sama dengan
jumlah digit NPWP yang terdiri dari 15 (lima belas digit) dimana 9 (sembilan) digit pertama
merupakan Kode WP dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi
Perpajakan.

14
C. FUNGSI NPPKP

NPPKP berfungsi sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan


sebagai tanda pengenal diri atau identitas PKP dalam melaksanakan hak dan kewajiban
PPN dan PPnBM-nya. Pada dasarnya NPPKP yang dimiliki oleh PKP hanya 1 (satu).
Namun jika PKP mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat usaha, dan PKP yang bersangkutan
tidak mendapatkan izin untuk melakukan pemusatan PPN terutang, maka masing-masing
tempat usaha tersebut harus dikukuhkan sebagai PKP. Dalam hal ini, NPPKP tersebut pada
dasarnya hanyalah satu. Yang membedakan NPPKP yang satu dengan yang lainnya
hanyalah perbedaan kode KPP dan kode cabang.

D. WAJIB NPPKP

Berdaarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tanggal 20 Desember


2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai dijelaskan dalam pasal 4
(empat) bahwa pengusaha yang memiliki jumlah peredaran bruto dan/atau peredaran
brutinya melebihi Rp 4.800.000.000,- wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tanggal 20 Desember 2013
tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.03/2013 Tanggal 20 Desember 2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan Nilai.

Pengusaha kecil (omzet setahunnya tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,-) bisa memilih untuk
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tetap sebagai pengusaha yang tidak
melakukan kewajiban PPN. Namun apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku,
jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp 4.800.000.000,-,
maka pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling
lambat pada akhir bulan berikutnya.

Contoh:
PT Mekar Sari yang bergerak di bidang usaha perdagangan elektronik baru memulai
usahanya di bulan Maret 2019. Meskipun belum genap setahun beroperasi, di akhir bulan
Oktober 2019, omzet PT Mekar Sari telah melampaui Rp 4.800.000.000,-. Dengan demikian
paling lambat akhir bulan November 2019, PT Mekar Sari wajib mendaftarkan dirinya untuk
dikukuhkan sebagai PKP.

E. CARA PENDAFTARAN

Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP ditujukan ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha WP. WP atau orang yang diberi kuasa khusus untuk
melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengisi, menandatangani,
dan menyampaikan formulir pendaftaran ke KPP. Formulir tersebut tersedia di KPP dan
formatnya sesuai yang tertera di lampiran II PER-44/PJ./2008 stdd PER-41/PJ./2009.

15
Berdasarkan permohonan PKP yang diajukan oleh pengusaha, Kepala KPP atau KP2KP
meneliti pemenuhan kelengkapan dan kesesuaian dokumen. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan, kepala KPP atau KP2KP akan memberikan putusan paling lama 1(satu) hari
kerja yang terhitung setelah permohonan lengkap diterima, putusan yang diberikan berupa
menerima dan/atau menolak permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Apabila kepala KPP atau KP2KP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu yang
ditentukan, permohonan pengusaha dianggap dikabulkan dan KPP harus menerbitkan Surat
pengukuhan PKP paling lama satu hari kerja.

F. PERUBAHAN DATA

Dalam hal terjadi perubahan alamat maupun status WP, maka dilakukan perubahan data
terhadap WP terdaftar. Jika PKP mengalami perubahan identitas misalnya perubahan
alamat, maka PKP wajib melaporkan perubahan tersebut ke KPP/KPA yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
dan/atau PKP dengan mengisi Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau
Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah.

Berdasarkan pelaporan tersebut, selanjutnya KPP menerbitkan Kartu NPWP dan SKT
dan/atau SPPKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara
lengkap; atau KPP/KPA memberikan Bukti Penerimaan Surat.

G. PENCABUTAN NPPKP

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 menyatakan bahwa Direktur


Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pencabutan pengukuhan PKP dilakukan
terhadap PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan melalui hasil pemeriksaan atau
penelitian administrasi terhadap PKP tettentu yang memenuhi kriteria sbb:
1. PKP yang status Wajib Pajak Non-Efektif;
2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan ke tempat lain;
3. PKP menyalahgunakan pengukuhan PKP
4. PKP yang pindah alamat tempat tinggal , tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha ke wilayah ketja KPP lainnya.
5. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP; atau
6. PKP yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan usahanya.

Untuk mencabut NPPKP, PKP harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pencabutan
pengukuhan sebagai PKP. Selanjutnya, kepala KPP menerbitkan kepuusa atas permohonan
pencabutan pengukuhan PKP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan pencabutan PKP diterima secara legkap. Apabila jangka waktu 6 (eam) bulan
telah terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan[encabutan

16
pengukuhan sebagai PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan Surat
Keputusan Pencabutan Pengukuhan PKP dalam jangka waktu paling lama 2 (satu) bulan
setelah jangka waktu sesuai ketentuan terlewati.

H. KEWAJIBAN PAJAK
Diterbikannya NPPKP tentunya akan menimbulkan kewajiban perpajakan bagi PKP yaitu
menghitung, menyetor, dan melaporkan PPN, memungut PPN, menerbitkan Faktur pajak,
dan menyampaikan PPN dan PPnBM.

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP mempunyai kewajiban dalam memungut
PPN atas setiap penyerahan BKP/JKP yang dilakykannya, kecuali apabila penyerahan
BKP/JKP dilakukan kepada pihak yang ditunjuk menjadi pemungut PPN (WAPU PPN).
Pemungut PPN dalam hal ini wajib memungut PPN atas pembelian atau perolehan BKP dan
atau JKP yang mereka lakukan.

Pengenaan PPN di Indonesia dilakukan berdasarkan sistem faktur, sehigga dalam


implementasinya setiap penyerahan BKP/BKP yag dilakukan PKP harus dibuatkan Faktur
Pajaknya. Faktur pajak merupakan bukti pungutan PPN dan PPnBM yang harus dibuat oleh
PKP setiap melakukan penyerahan BKP/JKP. Faktur pajak disini juga digunakan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai bukti pungutan PPN dan PPnBM karena impor
BKP.

Kewajiban terakhir PKP sehubungan dengan PPN dan PPnBM adalah menyampaikan SPT
Maa PPN, dan khusus bagi PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah dalam
formulie SPT Masa PPN disediakan satu kolom khusus yang wajib diisi untuk
menggambarkan jumlah penyerahan BKP mewah. Tentunya, selain mempunyai keajiban
PKP juga mempunyai hak yang paing utama yaitu hak untuk mengkreditkan PPN Masukan
sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU PPN.

I. SANKSI-SANKSI

Sama halnya dengan WP yang tidak mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP, Pengusaha
yang tidak mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP juga memiliki konsekuensi
pajak antara lain dikenakan sanksi perpajakan dan sanksi pidana. Berdasarkan ketentuan
dalam UU KUP Pasal 39 diatur bahwa “setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP;
c. tidah menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap; atau dan seterusnya.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidanan denga pidana
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

17
1. Pengusaha yang wajib dikukuhkan sebagai PKP namun tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka terhadap pengusaha tersebut akan
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.

Jika WP sudah memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP namun tidak
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP),
maka kepada WP yang bersangkutan dapat diterbitkan NPPKP secara jabatan.

18
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

A. DASAR HUKUM

a. Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009;
b. PMK Nomor 243/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Bentuk dan Isi
Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan Pengisian, Penandatanganan, dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan;
c. PMK Nomor: 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari
Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. KMK Nomor: 537/KMK.04/2000 tentang Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari
Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda karena Tidak Menyampaikan Surat
3
Pemberitahuan Dalam Jangka Waktu yang Ditentukan;
e. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ./2010 stdd Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ./2017 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya;
f. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ./2009 stdd Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-599/PJ./2019 Surat Pemberitahuan Tahunan Masa Final
Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22,
Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya;
g. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-147/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi dan Tata
Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa
PPN) Bagi Pemungut PPN;
h. PER-21/PJ./2009 tentang Tata Cara Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu
Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak.
i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-44/Pj/2010 stdd PER-25/PJ/2014 tentang
Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai (Spt Masa PPN)
j. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-45/Pj/2010 stdd PER-10/PJ/2013 tentang
Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
k. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-9/PJ/2009 tentang Tempat Dan Cara Lain
Pengambilan SPT.

B. PENGERTIAN

Berdasarkan prinsip self-assesment yang dianut di Indonesia, Wajib Pajak harus


menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak yang terutang sendiri ke
KPP tempat wajib pajak terdaftar. Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan
bentuk pertanggungjawaban atas keajiban perpajakan yang telah dipenuhinya dalam suatu
Masa Pajak atau Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dalam sistem tersebut.

19
Pasal 1 UU KUP dan Pasal 1 PMK Nomor 9/PMK.03/2018 mendefinisikan Surat
Pemberitahuan (SPT) sebagai surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan:
a. penghitungan dan/atau pembayaran pajak.
b. objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau
c. harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-udangan perpajakan.

SPT memiliki fungsi yang tergantung pada jenis pajaknya, berikut tabel yang merangkum
fungsi SPT untuk kewajiban PPh dan PPN.
No Jenis WP Penjelasan Fungsi SPT

1. WP PPh sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan


penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan atau untuk
melaporkan tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1
(satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak;
b. Laporan pemenuhan penghasilan yang merupakan objek pajak
dan/atau bukan objek;
c. harta dan Kewajiban;
d. Pembayaran dan pemotong atau pemungut tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1
(satu) masa pajak

2. PKP sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan


penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu
Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;

3. Pemotong/ sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang


Pemungut dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Pajak

C. WAJIB SPT
Setiap pihak yang telah terdaftar di KPP pada dasarnya wajib mengisi SPT dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan

20
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Dirjen Pajak tempat WP terdaftar atau
dikukuhkan. Namun, ada pihak yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT yaitu:
a. WP orang pribadi yang penghasilan nettonya tidak melebihi jumlah PTKP. WP ini
dikecualikan dari penyampaian SPT Tahunan maupun Masa;
b. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas. WP
ini hanya dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT Masa.

D. JENIS SPT
Ketentuan Menkeu (Peraturan Menkeu No. 9/PMK.03/2018) menyebutkan bahwa media
penyampaian SPT terbagi menjadi dua bentuk yaitu dalam bentuk formulir kertas (hardcopy),
dan dokumen elektronik (e-SPT) dalam bentuk aplikasi yang dibuat Dirjen Pajak untuk
digunakan oleh WP demi kemudahan dalam menyampaikan SPT. Kedua media
penyampaian SPT tersebut masing-masing terdiri dari 2 pembagian SPT antara lain:

1. SPT Masa, adalah SPT untuk suatu masa pajak. Adapun yang dimaksud masa pajak
menurut UU KUP pasal 2A adalah jangka waktu yang lamanya sama denga 1 (satu)
bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan keputusan Menteri Keuangan
paling lama 3 (tiga) bulan kalender. SPT Masa terdiri atas:
a. SPT Masa PPh Pasal 21/26;
b. SPT Masa PPh Pasal 22;
c. SPT Masa PPh Pasal 23/26;
d. SPT Masa PPh Pasal 25;
e. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
f. SPT Masa PPh Pasal 15;
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi PKP Non Pemungut maupun Pemungut;

2. SPT Tahunan, adalah SPT untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Adapun yang dimaksud dengan tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender, kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender. Sedangkan pengertian dari bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka
waktu 1 (satu) tahun pajak. SPT Tahuan terdiri atas:
a. SPT Tahunan PPh WP Badan (formulir 1771 dan formulir 1771$)
b. SPT Tahunan WP Orang Pribadi (Formulir 1770)
c. SPT Tahunan WP Orang Pribadi (Formulir 1770S)
d. SPT Tahunan WP Orang Pribadi (Formulir 1770SS)

E. CARA MEMPEROLEH SPT

Untuk bisa memperoleh SPT dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Diambil secara langsung oleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor

21
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Pojok
Pajak, Mobil Pajak.
2. Download dari situs internet atau homepage Ditjen Pajak, yaitu
http://www.paiak.qo.id.
3. Dicetak/digandakan/difotokopi dengan bentuk, ukuran dan isi yang sama dengan
aslinya.

F. TATA CARA PENGISIAN SPT

Sesuai denga Pasal 4 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatanganinya.
Pengertian “mengisi SPT” adalah mengisi formulir SPT dalam bentuk kertas dan/atau dalam
bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yag
diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. WP yang
mengisi SPT dengan tidak benar yang mengakibatkan jumlah pajak yang terutang kurang
dibayar, akan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.

Wajib pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggaraan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan matauang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
mata uang selain Rupiah yang diizinkan. Pelaksanaan hal ini diatur dengan berdasarkan
Peratiran Menkeu No.196/pmk.03/2007 stdd PMK No. 123/PMK.03/2019. Sesuai Pasal 3
ayat (6) UU KUP, bentuk dan isi SPT serta keterangan dan/atau dokumen yang harus
dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk meyampaikan SPT diatur dengan berdasarkan
Peraturan Menkeu No. 9/PMK.03/2018. Jika WP adalah WP badan, SPT yang telah diisi
harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani
oleh orang lain bukan WP sendiri, maka SPT harus dilengkapi Surat Kuasa Khusus.

Yang perlu dicermati oleh WP adalah, SPT yang lengkap tidak hanya terdiri dari SPT Induk
dan Lampirannya saja. SPT yang lengkap adalah SPT yang disertai dengan keterangan dan
atau dokumen yang harus dilampirkan yang telah ditetapkan dengan keputusan Menteri
Keuangan dan telah ditandatangani oleh WP. Khususnya untuk WP yang menyelenggarakan
pembukuan, salah satu dokumen yang harus disertakan adalah laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi.

SPT dapat dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya
dilampiri keterangan dan atau dokumen yang telah ditetapkan. Dengan demikian apabila
SPT tidak ditandatangani, atau disampaikan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri
keterangan dan atau dokumen yang telah ditentukan, maka SPT dapat dianggap tidak
disampaikan.

22
G. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT
Batas waktu dalam penyampaian SPT dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No. Jenis SPT/Dokumen Pelaporan Yang menyampaikan Batas Akhir
Penyampaian
1. SPT Tahunan PPh Orang Wajib Pajak yang paling lambat 3 (tiga)
Pribadi bersangkutan (ybs) bulan setelah akhir tahun
pajak.
2. SPT Tahunan PPh Badan Wajib pajak ybs paling lambat 4 (empat)
bulan setelah akhir tahun
pajak.
3. PPh Pasal 4 ayat (2) yang Pemotong PPh Paling lambat tanggal 20
dipotong setelah akhir masa
4. PPh Pasal 4 ayat (2) yang Wajib Pajak ybs pajak
dibayar sendiri Jika PPh Pasal 21 atau
5. SPT Masa PPh Pasal 21/26 Pemotong PPh PPh 26 nihil, SP tetap
6. SPT Masa PPh Pasal 23/26 Pemotong PPh wajib dilaporkan
7. SPT Masa PPh Pasal 15 yang Pemotong PPh
dipotong
8. SPT Masa PPh Pasal 15 yang Wajib Pajak ybs
dibayar sendiri
9. SPT Masa PPh Pasal 25 yang Wajib Pajak ybs
dibayar
10. SPT Masa PPh Pasal 22 Bendaharawan Paling lambat tanggal 14
setelah akhir masa pajak
11. SPT Masa PPh Pasal 22 Pemungut PPh atas Laporan mingguan
Impor paling lama pada hari
kerja minggu berikutnya
12. SPT Masa PPh Pasal 22 Pemungut lainnya Palinng lambat taggal 20
setelah akhir masa
pajak.
13. SPT Masa PPN dan PPnBM PKP Paling lambat akhirbulan
14. SPT Masa PPN dan PPnBM Pemungut PPN berikutnya setelah akhir
masa pajak

23
15. SSP lembar ketiga atas PPN Orang pribadi atau Paling lambat akhirbulan
yang telah atas kegiatan badan yang non-PKP berikutnya setelah akhir
membangun sendiri masa pajak berakhir ke
KPP yang wilayahnya
meliputi tempat
bangunan tersebut.
16. SSP lembar ketiga atas PPN Orang pribadi atau Paling lama akhir
yang telah disetor atas badan yang non-PKP bilaberikutnya setelah
pemanfaatan BKP tidak saat terutangnya pajak.
berwujud dan/atau JKP dari
luar Daerah pabean.
17. SPT Masa, yang terdiri dari Wajib pajak dengan Paling lambat tanggal 20
beberapa masa pajak kriteria tertentu sesuai setelah akhir masa pajak
Pasal 3 ayatt (2b) UU
KUP
Sumber; Peraturan Menkeu No.9/PMK.03/2018 & Pasal 15A UU PPN 2009

Khusus untuk PPh Pasal 25, diatur ketentuan tambahan sebagai berikut:

1. Wajib pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang telah mendapat validasi
dengan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) dianggap telah menyampaikan
SPT masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi.
2. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsura PPh Pasal 25
dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak
secara online dan tidak mendapat validasi dengan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan
Negara), tetap harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan etentuan
yang berlaku.

H. PERPANJANGAN WAKTU PENYAMPAIAN SPT

Sesuai degan Pasal 3 ayat (4) UU KUP, wajib pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh untuk paling lama 2(dua) bulan. Perpanjangan jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan
perpanjangan SPT Tahunan, baik dalam bentuk formulir kertas (1770-Y/1771-Y/1771-$Y)
atau dalam bentuk dokumen elektronik (e-SPT).

24
Syarat perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah:
1. Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke KPP sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan berakhir dengan menyebutkan alasan perpanjangan
penyampaian SPT.
2. Pemberitahuan dilampiri dengan:
a. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang;
b. laporan keuangan sementara; dan
c. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak.
d. Surat Pernyataan dari Akuntan Publik yang menyatakan audit Laporan Keuangan
belum selesai dalam hal Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik.
3. Pemberitahuanan perpanjangan SPT Tahunan, wajib ditandatangani oleh WP atau kuasa
Wajib Pajak. Dalam hal pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh
kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan wajib dilampiri dengan
Surat Kuasa Khusus
4. Pemberitahuan perpanjangan dapat disampaikan secara langsung, melalui pos dengan
bukti pengiriman surat, atau dengan cara lain dengan perusahaan ekspedisi ataupun jasa
kurir.

Atas permohonan ini, Kepala KPP wajib memberikan keputusan persetujuan/penolakan


atas permohonan WP selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima
secara lengkap. Apabila kepala KPP tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu
tersebut, maka permohonan WP dianggap diterima.

Contoh:
Karena pihak auditor tidak dapat merampungkan tugasnya dalam waktu yang telah
ditentukan, PT Melindo tidak dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh 2018-nya dengan
tepat waktu. Oleh karena itu di awal Februari 2019, PT. Melindo berniat untuk mengajukan
penundaan penyampaian SPT.

Oleh karena SPT Tahunan PPh Tahun 2018 harus disampaikan paling lambat tanggal 30
April 2019, maka untuk dapat diberikan perpanjangan waktu penyampaian SPT, PT
Melindo harus mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan PPh
Tahun 2018 dengan menggunakan Formulir 1771Y. Permohonan harus diajukan sebelum
30 April 2019 dan disertai alasan-alasan yang jelas, perhitungan sementara PPh yang
terutang, melampiri Laporan Keuangan sementara, dan bukti pelunasan pembayaran
pajak.

I. CARA PENYAMPAIAN SPT

Penyampaian SPT oleh Wajib pajak ke KPP atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral pajak, dapat dilakukan:

25
a. Secara langsung
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain:
- melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurs dengan bukti pengiriman surat;
- saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi, seperti melalui e-Filling.
WP juga menyampaikan SPT secara e-Filing, yaitu secara online dan real time.
Penyampaian SPT secara on-line dan real time ini dapat dilakukan karena
digunakannya internet dan juga bantuan perusahaan penyedia jasa aplikasi (
Application Service Provider/ASP). Jadi dalam menyampaikan SPT secara e-Filing, WP
tidak bekerja sendiri melainkan dibantu perusahaan ASP.

J. PEMBETULAN SPT

Berdasarkan Pasal 8 UU KUP, ada 4 (empat) mekanisme pembetulan SPT antara lain
sebagai berikut:
1. Pembetulan SPT Sebelum Pemeriksaan
Pasal 8 ayat (1) UU KUP 2007 menyatakan bahwa WP dengan kemauan sendiri dapat
membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis,
dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan. Pembetulan tersebut dapat
terjadi untuk SPT Tahunan maupun SPT masa. Hasil pembetulan tersebut bisa rugi,
kurang, atau lebih bayar. Berikut konsekuensi pajaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal
8 UU KUP 2007:
a. Dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
b. Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar. dihitung sejak saat penyampaian
SPT Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan. Sedangkan untuk SPT Masa sanksi dihitung sejak jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran

2. Pembetulan SPT Setelah Pemeriksaan, tetapi Sebelum Penyidikan yang Terkait dengan
Indikasi Pidana Fiskal karena kealpaan WP.
Dalam pasal 8 ayat (3) UU KUP dinyatakan bahwa walaupun telah dilakukan tindakan
pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya
ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UU
KUP, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Utang pajak tersebut disertai sanksi

26
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.

3. Pembetulan SPT Saat Pemeriksaan


Pasal 8 ayat (4) UU KUP 2007 mengatur bahwa walaupun Direktur Jenderal Pajak telah
melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam
laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil

Dalam hal ini prose pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dalam pasal 8 ayat (5) UU KUP 2007,
diatur bahwa pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus
dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

4. Pembetulan SPT Karena Ada Perubahan Kompensasi Rugi Fiskal


Di dalam pasal 8 ayat (6) UU KUP 2007, diatur bahwa Wajib Pajak dapat membetulkan
Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang
berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT yang akan
dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat
ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebelum Pembetulan

No. Uraian Rp.


1. Penghasilan Netto 2018 200.000.000
2. Kompensasi kerugian berdasarkan SPT 150.000.000
Tahunan PPh 2017
3. Penghasilan Kena Pajak 2018 [1-2] 50.000.000

PT ABC menyampaikan SPT Tahunan PPh 2018 dengan informasi sesuai dengan tabel
diatas. Terhadap SPT Tahunan PPh tahun 2017 dilakukan pemeriksaan pada tanggal 6
Januari 2020 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp.

27
70.000.000,-. Berdasarkan SKP tersebut, Dirjen pajak akan mengubah perhitungan PKP
tahun 2008 seperti terlihat pada tabel dibawah ini:

Penghasilan Kena Pajak setelah Pembetulan

No. Uraian Rp.


1. Penghasilan Netto 2018 200.000.000
2. Kompensasi kerugian berdasarkan SPT 70.000.000
Tahunan PPh 2017
3. Penghasilan Kena Pajak 2018 [1-2] 130.000.000

Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT, yang semula Rp 50.000.000,-
setelah pembetulan menjadi Rp 130.000.000,-

K. SANKSI-SANKSI TERKAIT SPT

Sanksi berkaitan dengan penyampaian SPT mencakup sanksi administrasi dan sanksi
pidana. Sanksi administrasi yang dikenakan berupa denda terhadap wajib pajak yang tidak
menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang ditentukan (terlambat), yang diatur di dalam
Pasal 7 UU KUP. Jenis sanksi administrasi denda terkait penyampaian SPT sebagai berikut:

No. Denda (Rp) Jenis SPT


1. 500.000 SPT Masa PPN
2. 100.000 - SPT Masa Lainnya
- SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi
3. 1.000.000 SPT Tahunan PPh Badan

Ketentuan Menteri No. 243/PMK.03.2014 Pasal 17 stdd PMK No.9/PMK.03/2018 juga


mengatur terkait sanksi administrasi berupa denda yang tidak perlu dikenakan kepada WP
tertentu antara lain:
1. WP orang pribadi yang telah meninggal dunia
2. WP orang pribadi yang sudah tidak melakukan usaha dan pekerjaan bebas
3. WP orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di
Indonesia
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia.
5. WP Badan yang tidak melakukan kegiatan lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. WP yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan menteri
Keuangan, atau
8. WP lain yang dengan Keputusan Direktur Jendral Pajak tidak dapat menyampaikan SPT
dalam waktu yang telah ditentukan.

28
Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika WP melakukan pembetulan SPT yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka WP yang bersangkutan akan dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang
dibayar. Selain itu, dalam hal WP menunda penyampaian SPT dan ternyata penghitungan
sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas
kekurangan pembayaran tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% sebulan. Bunga tersebut
dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan SPT sampai dengan tanggal
dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat UU KUP.

29
PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

A. DASAR HUKUM

1. Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009;
2. Peraturan -Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 stdd PMK- 242/PMK.03/2014
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pemberian Angsuran atau
Penundaan Pembayaran Pajak;
3. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-325/PJ./2001 stdd PER-38/PJ/2008 tentang Tata
Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 88/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pembayaran
Pajak Melalui Pemindah Bukuan,
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-965/PJ.9/1991 tentang Pelaksanaan
Teknis Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan,
6. Surat Edaran ^Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-26/PJ.9/1991 tentang Petunjuk Teknis
Pemindahbukuan (Pbk).
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-38/PJ/2009 stdd Per- 23/PJ/2010 tentang
Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.

B. PENGERTIAN

Setiap Wajib Pajak, wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan SSP ke kas negara melalui tempat pembayaran. Dalam hal ini WP perlu
membedakan antara penyetoran dan pembayara pajak. Dalam praktiknya antara
pembayaran dan penyetoran sering dicampur adukkan. Penyetoran pajak diartikan sebagai
pembayaran pajak dan begitu pula sebaliknya pembayaran pajak kadang-kadang juga
diartikan sebagai penyetoran pajak.

Pembayaran pajak adalah pembayaran pajak yang wajib dilakukan sendiri oleh yang wajib
membayar pajak. Misalnya pembayaran angsuran Pajak Penghasilan yang dilakukan
seorang pengusaha untuk pajak atas penghasilan yang diterimanya sendiri, dan dia sendiri
pula yang berkewajiban membayarkannya ke kas negara. Penyetoran pajak ialah
pembayaran pajak yang wajib dilakukan oleh pihak ketiga, bukan oleh yang wajib membayar
pajak. Misalnya penyetoran Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja
(majikan). Dalam hal ini karyawan adalah pembayar pajak, dan pemberi kerja berkewajiban
menyetor pajak yang dipotongnya ke kas negara. Pemberi kerja dalam hal ini sebagai
penyetor pajak.

C. TEMPAT DAN SARANA PENYETORAN DAN PEMBAYARAN PAJAK

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui:

30
1. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
2. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya,
pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/ Bank Persepsi Mata Uang Asing.
Pajak yang dicakup meliputi PPh, PPN< PPnBM, Bea Materai, dan PBB. Pembayaran dan
penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan SSP yaitu:

a. BPN (Bukti penerimaan Negara) atas pembayaran da penyetoran pajak melalui sistem
pembayaran pajak secara elektronik atau dengan datag langsung ke Bank Persepsi
b. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) atas pembayaran dan penyetoran
PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri;
c. Bukti Pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui
Pemindahbukuan; atau
d. Bukti penerimaan pajak lainnya sesuai ketentuan yang berlaku yang dinyatakan sah dan
telah divalidasi dengan NTPN

D. JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 242/PMK.03/2014, jatuh tempo


penyetoran/pembayaran pajak terangkum pada tabel berikut:

No. Jenis Pajak Batas Akhir Pembayaran


A. Setoran Masa
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang diporong Paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
oleh Pemotong PPj berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah Masa Pajak berakhir.

3. PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan Sebelum akta, keputusan, perjanjian,
dari pengalihan hak atas tanah kesepakatan atau risalah lelang atas
dan/atau bangunan yang dipotong/ pengalihan hak atas tanah dan/atau
dipungut atau yang harus dibayar bangunan ditandatangani oleh pejabat
sendiri oleh Wajib Pajak yang berwenang.
4. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Pemotong PPh setelah Masa Pajak berakhir.
5. PPh Pasal 15 yang harus dibayar Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
sendiri setelah Masa Pajak berakhir.
6. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Pemotong PPh setelah Masa Pajak berakhir.
7. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dipotong oleh Pemotong PPh setelah Masa Pajak berakhir.

31
8. PPh Pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
9. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan - bersamaan dengan saat pembayaran
PPnBM atas Impor Bea Masuk, atau
- saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor dalam hal
Bea Masuk ditunda atau dibebaskan
10. PPh Pasal 22 PPN atau PPN dan Dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja
PPnBM atas Impor yang dipungut oleh setelah pemungutan pajak
DJBC
11. PPh Pasal 22 yang pemungutannya Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
dilakukan oleh kuasa pengguna pembayaran kepada PKP rekanan
anggaran atau pejabat penandatangan pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Surat Perintah membayar sebagai Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungut
12. PPh Paal 22 yang dipungut oleh Paling lama 7 hari setelah tanggal
Bendahara Pengeluaran pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah,
dengan menggunakan SSP atas nama
rekanan dan ditandatangani oleh
bendahara
13. PPh Pasal 22 yang pemungutannya Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dilakukan oleh Wajib Pajak Badan setelah Masa Pajak berakhir.
tertentu sebagai Pemungut Pajak
14. PPN atau PPN dan PPnBM yang Paling lambat akhir bulan berikutnya
terutang dalam satu masa Pajak setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum
SPM PPN disampaikan
15. PPN yang terutang atas pemanfaatan Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari setelah Masa Pajak berakhir.
luar Daerah Pabean
16. PPN yang terutang ata kegiatan Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
membangun sendiri setelah Masa Pajak berakhir.
17. PPN dan PPnBM yang Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pemungutannya dilakukan oleh Pejabat pembayaran kepada PKP rekanan
Penandatanganan Surat Perintah pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Membayar sebagai Pemungut PPN Perbendaharaan Negara (KPPN)
18. PPN atau PPN dan PPnBM yang Paling lama 7 hari setelah tanggal
dipungut oleh Bendahara Pengeluaran pembayaran kepada PKP rekanan
sebagai Pemungut PPN pemerintah melalui KPPN
19. PPN dan PPnBM yang Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh setelah Masa Pajak berakhir.
Pemungut PPN selain Bendaharawan
Pemerintah

32
20. PPh Pasal 25 bagi WP dengan kriteria Paling lama pada akhir masa pajak
tertentu sesuai Pasal 3 ayat (3b) UU terakhir
KUP
B. Setoran tahunan PPh & Pajak Lainnya
1. PPh Pasal 29 Harus dibayar lunas sebelum SPT
Tahunan PPh disampaikan tetapi tidak
melebihi batas waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh
2. Bea Materai Harus dilunasi pada saat terutang Bea
Materai
3. PBB Menurut SPPT Harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal SPPT diterima oleh WP.

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bulanan dalam tabel
tersebut bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan paling
lambat pada hari kerja berikutnya. Hari libur tersebut terdiri dari hari Sabtu, hari Minggu, hari
libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilu, atau hari cuti bersama
secara nasional.

Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan WP di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan pajak
dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan. Untuk mendapatkan
perpanjangan waktu pelunasan tersebut, WP harus mengajukan permohonan perpanjangan
kepada Dirjen Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran. Selanjutnya, Dirjen Pajak punya waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
diterimanya permohonan untuk memberikan keputusan.

E. MENUNDA DAN MENGANGSUR PEMBAYARAN PAJAK

Pada dasarnya pembayaran pajak memiliki jatuh tempo. Akan tetapi, pada
kenyataannya WP kadangkala tidak memiliki kemampuan untuk melunasinya tepat waktu.
Untuk itu, Pasal 9 ayat (4) UU KUP 2007 menyatakan bahwa atas permohonan WP, Dirjen
pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
termasuk kekurangan pembayarannya paling lama 12 (dua belas) bulan. Pengangsuran
atau penundaan uang pajak dapat diperkenankan dalam hal WP mengalami kesulitan
likuiditas atau mengalami keadaan diluar kekuasaannya sehingga tidak mampu memenuhi
kewajiban pajaknya tepat waktu. Utang pajak dapat diangsur atau ditunda pembayarannya
meliputi:

- kekurangan pembayaran pajak


- pajak yang terutang, atau
- pajak yang masih harus dibayar

Berdasarkan PMK No.242/PMK.03/2014 pasal 21 menjelaskan bahwa, untuk dapat


menunda atau mengangsur pembayaran pajak, WP harus mengajukan permohonan
secara tertulis terlebih dahulu. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 9 (sembilan)

33
hari kerja sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir yang disertai
dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan. Syarat untuk mengajukan
permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak adalah sebagai berikut:
1. Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal tidak ditandatangani oleh
WP harus dilampiri dengan surat kuasa.
2. Surat permohonan mencantumkan jumlah utang pajak yang pembayarannya
dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran dan besaran angsuran, serta
mencantumkan jumlah utang pajak yang dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu
penundaan.
3. untuk permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus
dibayar, wajib pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan
permohonan juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, SKP
PBB, atau STP PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.

WP yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak


harus bersedia memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan oleh Kepala KPP, kecuali
bila Kepala KPP menganggap tidak perlu. Jaminan dapat berupa bank garansi bank,
perhiasan, kendaraan bermotor dan lain-lain.

Jika telah mengajukan permohonan, WP akan diberikan bukti penerimaan dengan


menggunakan formulir Tanda Terima. Setelah mempertimbangkan alasan-alasan yang
diajukan WP, Dirjen Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan yang dapat berupa
menerima seluruhnya, menerima sebagian atau menolak permohonan WP, dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima dengan lengkap.

Apabila jangka waktu batas pemberian keputusan tersebut telah lewat Dirjen Pajak tidak
memberikan suatu keputusan, maka permohonan WP dianggap diterima dan Surat
Keputusan Angsuran atau Penundaan harus diterbitkan paling lama 7 )tujuh) hari setelah
jangka waktu tersebut berakhir.

Jika jawaban dari Dirjen Pajak adalah 'MENYETUJUI' permohonan WP, jangka waktu
pengangsuran atau penundaan termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang
berdasarkan SPT Tahunan paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya
ditetapkan dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-325/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak.

Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusan angsuran atau penundaan
pembayaran, tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran. Masa angsuran atau penundaan diberikan tidak melebihi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.

Dalam hal permohonan WP ditolak, maka Kepala KPP menerbitkan Surat Keputusan
Penolakan Angsuran atau Surat Keputusan Penolakan Penundaan Pembayaran Pajak.

34
F. SURAT SETORAN ELEKTRONIK (SSE)

Sebelum 1 Juli 2016, penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan form Surat Setoran
Pajak (SSP) yang dibuat dalam rangkap 4 (empat). Sejak 1 Juli 2016, Dirjen Pajak mulai
memperkenalkan Surat Setoran Elektronik (SSE) atau lebih dikenal dengan nama e-Billing
sebagai instrumen pengganti SSP manual. Surat Setoran Elektronik (SSE) merupakan bukti
elektronik pembayaran atau penyetoran pajak yang diadministrasikan oleh Biller DJP
dengan menerapkan billing system yang tersedia pada kanal sse.pajak.go.id. Melalui e-
Billing pembayaran pajak dilakukan secara elektronik dengan menggunakan Kode Billing,
berupa 15 digit kode angka, yang diterbitkan melalui sistem billing pajak.

Ada 2 (dua) tahapan yang harus dilalui untuk melakukan pembayaran pajak dengan e-Billing,
yaitu (1) Buat Kode Billing dan (2) Bayar Kode Biliing yang telah dibuat.

Untuk membuat Kode Billing, Wajib Pajak dapat memperolehnya dengan cara:

1. Membuat sendiri pada Aplikasi Billing Dirjen Pajak yang dapat diakses melalui laman
Dirjen Pajak (www.pajak.go.id) dan laman Kementerian Keuangan
(http://kemenkeu.go.id/)
2. Melalui Customer Service/Teller Bank (Untuk saat ini sudah dapat dilayani di Bank BRI,
BNI, Mandiri, BCA dan Citibank. Sedangkan bank lainnya dalam tahap pengembangan
sistem) dan Kantor Pos
3. Melalui Kring Pajak 1 500 200 (untuk saat ini hanya dapat dilayani untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi)
4. Melalui SMS ID Billing *141*500# (untuk saat ini sudah dapat diakses oleh pelanggan
Telkomsel)
5. Melalui Layanan Billing di KPP/KP2KP secara mandiri
6. Melalui Surat Setoran Elektronik dengan alamat htps://sse.pajak.go.id atau
htps://sse2.pajak.go.id
7. Melalui Internet Banking (untuk saat ini sudah dapat diakses oleh nasabah BRI)
8. Melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) - (untuk saat ini sudah dapat diakses di
www.online-pajak.com)

Setelah Kode Billing dibuat, maka pembayaran pajak dapat dilakukan dengan cara:

1. Melalui Teller Bank dan Kantor Pos


2. Melalui ATM
3. Melalui Mini ATM yang terdapat di selurkeberatanuh KPP dan KP2KP (untuk saat ini
sudah dapat dilayani untuk nasabah Bank BRI,BNI, dan Mandiri)
4. Internet Banking
5. Mobile Banking (untuk saat ini sudah dapat dilayani untuk nasabah Bank BPD Bali)
6. Melalui Agen Branchless Banking (untuk saat ini sudah dapat dilayani melalui BRILink)

35
Dalam pembayaran pajak secara elektronik, Bank/Pos Persepsi bertindak sebagai
collecting agent yang menjadi penyedia layanan penerimaan setoran penerimaan negara.
Setelah pembayaran/penyetoran dilakukan, WO menerima BPN sebagai bukti setoran
yang kedudukannya disamakan dengan SSP dan SSP PBB.

G. PEMINDAHBUKUAN

1. Pengertian
Pemindahbukuan adalah pembayaran utang pajak, termasuk bunga, denda administrasi
dan kenaikan yang dilakukan melalui perhitungan dengan kelebihan pembayaran pajak
atau bunga yang diterima atau melalui perhitungan dengan setoran pajak yang lain atas
nama Wajib Pajak yang sama atau Wajib Pajak lain. Pemindahbukuan dapat dilakukan
antar jenis pajak yang sama atau berlainan, dari masa atau tahun pajak yang sama atau
berlainan, untuk wajib pajak yang sama atau berlainan, dalam Kantor Pelayanan Pajak
yang sama atau berlainan.

Sesuai dengan Pasal 16 PMK No. 242/PMK.03/2014 menjelaskan terkait dengan


Pemindahbukuan yang meliputi:
a. Pemindahbukuan karena salah mengisi Surat Setoran Pajak (SSP), SSPCP, baik
menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain.
b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak
yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana
tertera dalam BPN
c. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan perekaman atas SSP, SSPCP, yang
dilakukan Bank Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing;
d. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk oleh
pegawai Ditjen Pajak;
e. Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN,
atau Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa WP, dan/atau
objek pajak PBB;
f. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih
besar daripada pajak yag terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat ketetapan
Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan
Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB;
g. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih
besar daripada pajak yag terutang dalam pemberitahuan pabean impor, dokumen
cukai, atau surat tagihan/surat penetapan; dan
h. pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh Direktur Jendral Pajak.

2. Ketentuan Pemindahbukuan

36
Pemindahbukuan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib pajak mengajukan permohonan ke Direktorat Jendral Pajak tempat pembayaran
diadministrasikan menggunakan surat permohonan pemindahbukuan. Surat
permohonan disampaikan dapat secara langsung ke KPP ataupun melalui pos atau
jasa pengiriman dengan Bukti Pengiriman Surat ke KPP.
b. Permohonan pemindahbukuan karena kesalahan pembayaran atau penyetoran
diajukan oleh WP penyetor.
c. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk, dapat
dilakukan secara jabatan oleh Pejabat yang melaksanakan Pemindahbukuann atau
dilakukan berdasarkan permohonan WP yang semula mengajukan permohonan
Pemindahbukuan.
d. Permohonan pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk
yang mencantumkan NPWP dari WP cabang yang telah dihapus dapat diajukan oleh
WP terpusat.
e. Permohonan pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk
yang mencantumkan NPWP dari WP yang melakukan penggabungan usaha (merger)
diajukan oleh surviving company, entitas baru hasil merger, atau pihak yang menerima
penggabungan.
f. Pembayaran pajak yang tercantum dalam SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk dapat
diajukan permohonan Pemindahbukuan dalam hal pembayaran tersebut belum
diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat
Tagihan Pajak dan/atau surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang,
Surat Tagihan Pajak PBB dan/atau Surat Ketetapan Pajak PBB, Pemberitahuan Impor
Barang (PIB), dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan.
g. Dalam hal penyampaian Surat permohonan Pemindahbukuan harus dilampiri dengan:
- asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1),
dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang
Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan;
- asli surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank Persepsi/Pos
Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing tempat
pembayaran dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan karena kesalahan
perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank
Persepsi Mata Uang Asing;
- asli pemberitahuan pabean impor, asli dokumen cukai, atau asli surat tagihan/surat
penetapan dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan atas SSPCP;
- fotokopi Kartu Tanda Penduduk penyetor atau pihak penerima Pemindahbukuan,
dalam hal permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN,
atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP atau mencantumkan angka 0 (nol)
pada 9 (sembilan) digit pertama NPWP;

37
- fotokopi dokumen identitas penyetor atau dokumen identitas wakil badan dalam hal
penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP; dan
- surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWPnya tercantum dalam
SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak
untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan dalam hal
nama dan NPWP pemegang asli SSP tidak sama dengan nama dan NPWP yang
tercantum dalam SSP.
h. Sebagai bukti telah dilakukan pemindahbukuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan Bukti Pemindahbukuan (Bukti Pbk). Tanggal pembayaran pajak yang
berlaku dalam Bukti Pbk mengacu pada tanggal bayar yang tertera pada BPN atau
tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada Surat Setoran Pajak
i. SSP dan Bukti Pemindahbukuan yang telah dipindahbukukan harus dibubuhi cap dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Direktorat Jendral Pajak yang bersangkutan yang
menunjukkan bahwa atas SSP dan Bukti Pemindahbukuan tersebut telah dilakukan
pemindahbukuan.

Saat berlakunya Bukti Pemindahbukuan karena adanya kelebihan pembayaran pajak


atau pemberian bunga kepada Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal dilakukan perhitungan dengan hutang pajak yang belum dilunasi, yaitu
tanggal yang lebih akhir diantara tanggal timbulnya hak Wajib Pajak atas kelebihan
pembayaran pajak atau atas pemberian bunga dan tanggal saat terhutangnya hutang
pajak dimaksud;
2. Dalam hal dilakukan perhitungan dengan hutang pajak yang akan datang, yaitu
tanggal yang lebih akhir diantara tanggal timbulnya hak Wajib Pajak atas kelebihan
pembayaran pajak atau atas pemberian bunga dan tanggal permohonan Wajib
Pajak;

Saat berlakunya Bukti Pemindahbukuan karena hal-hal yang lainnya adalah tanggal
penyetoran pajak yang dipindahbukukan. Yang dimaksud dengan tanggal timbulnya hak
Wajib Pajak adalah :

1. Tanggal Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak untuk kelebihan pembayaran


pajak yang diputuskan dengan SKKPP atau tanggal Surat Keputusan Pemberian
Bunga atas Kelambatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPB) untuk
pemberian bunga kepada Wajib Pajak; atau

2. Tanggal yang lebih akhir diantara tanggal keputusan keberatan/banding/peninjauan


kembali dan tanggal-tanggal setoran pajak yang melebihi pajak terhutang, untuk
kelebihan pembayaran pajak yang timbul karena adanya keputusan
keberatan/banding/peninjauan kembali.

38
H. SANKSI ADMINISTRASI

39
40
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

A. DASAR HUKUM

1. Pasal 1 angka 14, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 36 Undang- undang Nomor 6
Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 16 tahun 2009;
2. Pasal 1 angka 19 dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009;
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/Pmk.03/2008 stdd PMK No.
183/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat
Tagihan Pajak.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-17/Pj/2018 tentang Bentuk dan Isi Surat
Ketetapan Pajak Serta Bentuk dan Isi Surat Tagihan Pajak.
5. Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengurangan atau
Pengahapusan Sanksi administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan
Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-48/PJ/2009 dan PMK No. 11/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung,Dan/Atau Kekeliruan
Penerapan Ketentuan Tertentu Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan,
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-84/PJ/2009 tentang Pengantar
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 48/Pj/2009 Tentang Tata Cara
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, Dan/Atau Kekeliruan Penerapan
Ketentuan Tertentu Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.

B. SURAT KET ET APAN PAJ AK

1. P engertian

Berdasarkan metode self assessment, WP telah diberikan kepercayaan untuk


menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Pada saat-saat tertentu, Dirjen Pajak melalui para aparatnya akan mengevaluasi
penghitungan, perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak yang telah dilakukan WP
dengan melakukan pemeriksaan.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain didapatkan


bukti bahwa jumlah pajak yang terutang yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT tidak
benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Dirjen
Pajak akan menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya menurut ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan. Penetapan pajak itu akan dituangkan dalam
Surat Ketetapan Pajak (SKP).

2. Jenis SKP
Jenis-jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP) meliputi:

41
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi, da jumlah pajak yang masih harus dibayar. Ketentuan Pasal 13
UU KUP memberikan wewenang kepada Dirjen Pajak untuk dapat menerbitkan
SKPKB. SKPKB diterbitkan dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang bayar
berdasarkan hasil pemeriksaan..

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dirjen
Pajak sesuai Pasal 15 UU KUP diberi kewenangan untuk menerbitkan SKPKBT
karena untuk menampung beberapa kemungkinan sbb:
- suatu SKPKB yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah; atau
- pajak yang terutang pada suatu SKPN ditetapkan lebih rendah; atau
- telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah
ditetapkan dalam SKPLB.
Dasar penerbitan SKPKBT yaitu pemeriksaan dalam hal SKP sebelumnya diterbitkan
tidak berdasarkan hasil pemeriksaan atau pemeriksaan ulang dallam hal SKP
sebelumnya diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan.

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Berdasarkan
pasal 17 UU KUP menjelaskan terkait degan pemeriksaan pajak karena WP
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Permohonan
restitusi oleh WP secara sederhananya memilki dua skema yakni “Diperiksa dulu, baru
restitusi” dan “Restitusi dulu, baru diperiksa” Untuk SKPLB dapat diterbitkan
berdasarkan skema “Diperiksa dulu, baru restitusi”. Dasar diterbitkannya SKPLB
didasarkan dengan:
- Hasil penelitian kebenaran pembayaran pajak terhadap permohonan pengembalian
kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai pasal 17 ayat (2) UU KUP,
terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak teritang; atau
- Hasil pemeriksaan terhadap SPT yang terdapat jumlah kredit pajaknya lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang sesuai pasal 17 ayat (1) UU KUP; atau
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai pasal 17B UU
KUP.

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak. Cakupan SKPN terdiri dari PPh, PPN, dan/atau
PPnBM. Jenis pajak yang dapat diterbitkan SKPN diuraikan dalam penjelasan Pasal
17A UU KUP. Dasar diterbitkannya SKPN adalah berdasarkan hasil pemeriksaan
terhadap SPT apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama

42
dengan jumlah pajak yang terutang; atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
Jatuh tempo pembayaran jumlah pajak terutang yang tercantum dalam SKPKB dan
SKPKBT sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU KUP adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkan.
Jadi bila setelah jangka waktu satu bulan sejak penerbitan ketetapan pajak di atas WP tidak
juga membayar utang pajaknya, otoritas pajak akan memulai tindak penagihan dengan
menerbitkan surat teguran. Sementara untuk SKPLB bisa dimintai pengembaliannya dengan
mengajukan restitusi.

C. SURAT T AGIHAN PAJ AK

1. Pengertian
Sesuai namanya, Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan surat yang digunakan aparat
pajak untuk melakukan penagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan
atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP, sehingga
penagihannya pun bisa dilakukan melalui Surat Paksa.

2. Alasan Penerbitan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
c. WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
Pajak Masukan.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak pada point a dan b,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak pada point d, point e, dan point f
masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

43
Terhadap Pengusaha Kena Pajak pada point g dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.

Penerbitan STP karena PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar bisa diketahui
dari tidak adanya pelaporan dari Wajib Pajak sendiri, misal tidak menyetor angsuran PPh
Pasal 25. Hal yang sama bisa juga terjadi karena adanya penelitian Surat Pemberitahuan
yang menghasilkan pajak kurang bayar karena terdapat salah tulis dan salah hitung.

Di samping itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan


ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan
membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi
pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya
dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap Pengusaha Kena
Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tatapi tidak melaksanakan, tidak selengkapnya
mengisi Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan
sanksi yang sama.

Jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam STP sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (3)
UU KUP adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jadi bila setelah jangka waktu satu bulan
sejak penerbitan ketetapan pajak di atas WP tidak juga membayar utang pajaknya,
otoritas pajak akan memulai tindak penagihan.

D. PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI KE DIREKTUR JENDERAL PAJAK

PK yang dimaksud di bagian ini adalah sebuah istilah yang biasa dipergunakan WP dalam
menyebut proses penyelesaian perselisihan pajak yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 36
UU KUP. Padahal istilah resmi yang dipergunakan dalam kedua pasal UU KUP tersebut
bukanlah istilah PK melainkan:

Pasal 16 UU KUP, merupakan permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur
Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.

44
Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, menjelaskan terkait permohonan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, menjelaskan terkait permohonan pengurangan atau
pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP, menjelaskan terkait permohonan pengurangan atau
pembatalan Surat Tagihan Pajak sesuai dengan Pasal 14 yang tidak benar;

Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, menjelaskan terkait permohonan pembatalan haris
pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dan hasil pemeriksaan yang dilaksanakan
tanpa: (i) penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau (ii) pembahasan akhir
hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

1. Permohonan Pembetulan Pasal 16 UU KUP

Menurut Pasal 16 UU KUP dan PMK Nomor 11/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, Dan/Atau Kekeliruan Penerapan
Ketentuan Tertentu Dalam Peraturan Perundang- Undangan Perpajakan, Pembetulan
adalah pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam SKP, STP, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga, yang bersifat manusiawi serta tidak mengandung persengketaan antara fiskus
dan WP.

Dengan demikian, ruang lingkup pembetulan yang diatur pada pasal ini hanya terbatas
pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. Kesalahan tulis, antara lain kesalahan pencantuman nama, alamat NPWP, nomor
surat ketetapan pajak, jenis pajak, masa atau tahun pajak dan tanggal jatuh tempo,
atau kesalahan tulis lainnya yang tidak mempengaruhi jumlah pajak terutang
b. Kesalahan hitung, antara lain kesalahan dalam penjumlahan, pengurangan,
perkalian atau pembagian suatu bilangan; atau kesalahan hitung yang diakibatkan
oleh adanya penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan
yang terkait dengan bidang perpajakan, putusan banding dan putusan peninjauan
kembali.
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dari peraturan perundang-undangan
perpajakan, misalnya kekeliruan penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi,
kekeliruan Penghasilan Kena Pajak, kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun
berjalan, dn kekeliruan dalam pengkreditan pajak.

45
Pembetulan terhadap kesalahan atau kekeliruan tersebut dapat dilakukan secara
jabatan (atas inisiatif DJP sendiri) atau karena adanya permohonan dari WP. Dalam hal
ini, pembetulan dapat berupa menambah, mengurangkan, atau menghapuskan,
tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruan yang terjadi. Selain itu, pembetulan
kesalahan atau kekeliruan Pasal 16 UU KUP ini dapat dilakukan berkali-kali. Jadi WP
dapat mengajukan permohonan pembetulan (PK) ini lagi dan lagi dan lagi, sepanjang
masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dari peraturan perpajakan.

Dalam hal WP mengajukan permohonan pembetulan, Direktur Jenderal Pajak harus


memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
Apabila jangka waktu 6 bulan terlampaui, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

2. Permohonan PK Pasal 36 UU KUP

Hal utama yang diatur dalam Pasal 36 UU KUP ini adalah masalah pengurangan,
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang,
yang mana sanksi tersebut sebelumnya dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan
karena kesalahannya. Misalnya karena ketidaktelitian petugas pajak sehingga
mengakibatkan membebani WP yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan
perpajakan.

Selain itu, dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak WP, Dirjen Pajak,
secara jabatan atau atas permohonan WP dapat pula mengurangkan atau membatalkan
surat ketetapan pajak yang tidak benar; mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau membatalkan hasil
pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan apabila diketahui
dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa
melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP.

Akan tetapi jika ketidakhadiran WP dalam proses pembahasan akhir hasil pemeriksaan
terjadi karena WP terlambat merespon surat undangan dari fiskus, maka permohonan
WP tidak dapat dipertimbangkan.

Syarat dan Tata Cara Pengajuan PK Pasal 36 UU KUP

Juklak lebih lanjut dari Pasal 36 UU KUP adalah PMK Nomor 08/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi,
Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan
Pajak. Ketentuan yrang diatur dalam PMK tersebut adalah sebagai berikut:

46
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.
Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan
permohonan WP, meliputi:
a. Sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP, yang meliputi sanksi administrasi
berupa bunga, denda, maupun kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan WP atau
bukan karena kesalahan WP,
b. Sanksi administrasi yang tercantum, dalam STP yang terkait dengan penerbitan SKP,
kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam STP berdasarkan pasal 25 (9) dan
pasal 27 (5d) UU KUP.
c. Sanksi administrasi yang tercantum dalam STP lainnya selain yang dimaksud pada
point b.

Sanksi administrasi yang tercantum dalam STP, SKPKB maupun SKPKBT, yang meliputi
sanksi administrasi berupa bunga, denda, maupun kenaikan yang dikenakan karena
kekhilafan WP atau bukan karena kesalahan WP. Khusus untuk sanksi administrasi yang
tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT, pengurangan atau penghapusannya hanya
dapat dilakukan apabila SKP tersebut:
a. tidak sedang diajukan keberatan;
b. pernah diajukan keberatan, tetapi telah dicabut oleh WP;
c. telah diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi syarat
Pasal 25 UU KUP;

Syarat permohonan PK:


1. Satu permohonan PK untuk satu STP, SKPKB atau SKPKBT;
2. Harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan
yang mendukung permohonannya;
3. Permohonan diajukan kepada KPP tempat WP terdaftar;
4. WP telah melunasi pajak yang terutang; dan
5. Surat permohonan ditandatangani oleh WP (atau wakilnya untuk WP Badan), dan
apabila surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus.
6. Permohonan PK hanya dapat diajukan sebanyak 2 (dua) kali. Dan untuk permohonan
yang kedua, permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal keputusan Kepala KPP atas permohonan yang pertama.

Pengurangan atau Pembatalan SKP atau STP yang T idak Benar dan
atau Pembatalan hasil pe merik saan atau SKP hasil pe merik saan yang
penerbitann ya tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasi l
pemerik saan atau tanpa d ilakukan pembahasan akh ir hasi l
pemerik saan dengan WP.

Surat ketetapan pajak, STP dan hasil pemeriksaan yang dapat


dikurangkan atau dibatalkan oleh Dirjen Pajak, baik secara jabatan atau
atas dasar permohonan W P, meliputi:

47
a. Pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar. Permohonan PK untuk ini
hanya dapat diajukan WP sebanyak 2 (dua) kali. Untuk permohonan yang kedua,
surat permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal keputusan Kepala KPP atas permohonan yang pertama dikirim,
kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan WP.
b. Pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar. Permohonan PK untuk ini
hanya dapat diajukan WP sebanyak 2 (dua) kali. Untuk permohonan yang kedua,
surat permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal keputusan Kepala KPP atas permohonan yang pertama; atau
c. Pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan: (i)
tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau (ii) tanpa
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kecuali jika pemeriksa telah memberikan
kepada WP kesempatan untuk hadir dalam pembahasan namun WP tidak
menggunakan (tidak hadir) sesuai batas waktu yang ditentukan. Permohonan PK
untuk ini hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

Permohonan PK untuk poin a dan poin c dapat diajukan WP apabila: (i) WP tidak
mengajukan keberatan; (ii) WP mengajukan keberatan, tetapi kemudian mencabut
pengajuan keberatan tersebut; atau (iii) WP mengajukan keberatan tetapi tidak
dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan Pasal 25 UU KUP.

Syarat permohonan PK:

1. Satu permohonan untuk satu STP atau surat ketetapan pajak, termasuk surat
ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaaan;
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan mencantumkan jumlah pajak
yang seharusnya terutang menurut perhitungan WP disertai dengan alasan yang
mendukung permohonannya;
3. Diajukan kepada KPP tempat WP terdaftar;
4. Apabila surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP (atau wakilnya untuk WP
Badan), maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Kepala KPP harus memberikan keputusan atas permohonan PK WP dalam jangka


waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima. Keputusan tersebut
dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan PK
WP.

Jika diminta secara tertulis oleh WP, Kepala KPP harus memberikan penjelasan secara
tertulis mengenai alasan penolakan atau pengabulan permohonan PK tersebut. Apabila
setelah jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah lewat dan Kepala KPP tidak
memberikan keputusan, maka permohonan PK WP dianggap diterima dan Kepala KPP
harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan PK yang diajukan WP.

48
Di samping itu, khusus untuk sanksi administrasi yang tercantum dalam STP yang
diterbitkan sebagai akibat dari: (a) diterbitkannya surat ketetapan pajak karena PKP
tidak membuat Faktur Pajak; dan (b) adanya pengenaan sanksi bunga Pasal 19 ayat (1)
UU KP, Kepala KPP (atas nama Dirjen Pajak) secara jabatan dapat melakukan
penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi STP tersebut apabila diterbitkan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan
Pajak Yang Tidak Benar, atau Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar
berkurang atau dibatalkan.

3. Imbalan Bunga Terkait PK ke DJP

Seperti disebutkan dalam Pasal 27A ayat (1a) UU KUP, apabila permohonan PK WP
dikabulkan dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Untuk permohonan PK terhadap SKPKB atau SKPKBT, imbalan bunga dihitung sejak
tanggal pembayaran SKPKB dan SKPKBT yang menyebabkan terjadinya LB, sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
b. Untuk permohonan PK terhadap SKPN dan SKPLB, imbalan bunga dihitung sejak k
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. Untuk permohonan PK terhadap STP, imbalan bunga dihitung sejak tanggal
pembayaran STP yang menyebabkan terjadinya LB, sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

4. WP yang Dilarang Mengajukan Keberatan dan PK ke DJP

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, ada
WP yang secara prinsip tidak diperkenalkan untuk mengajukan keberatan dan PK ke
kantor pajak, yaitu WP yang disebut dalam Pasal 13A UU KUP.
Menurut Pasal 19 PP tersebut, WP yang karena kealpaannya:
i.tidak menyampaikan SPT;
ii.menyampaikan SPT tetapi isi tidak benar atau tidak lengkap; atau
iii.dalam SPT-nya melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat
menimbulkan kerugian bagi negara,

49
tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut baru pertama kali
dilakukan oleh WP. Akan tetapi WP wajib melunasi kekurangan pembayaran pajak
yang terutang beserta sanksi administrasi kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak
yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui SKPKB. Terhadap SKPKB tersebut, WP
tidak boleh mengajukan:
(i) keberatan Pasal 25 UU KUP,
(ii) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 16 UU KUP, dan
(iii) pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar Pasal 36 UU KUP.

E. IMBALAN BUNGA

Sesuai dengan Pasal 27A KUP, Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang
masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau

b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak (STP) yang
telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) UU KUP sehubungan
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi berupa denda atau bunga. Pengurangan atau penghapusan dimaksud
merupakan akibat dari adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
tersebut, yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Tentang Ketentuan Umum Perpajakan


(KUP) Wajib Pajak berhak atas imbalan bunga dalam hal-hal tertentu yaitu dalam hal
terdapat:

50
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang KUP;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang KUP;
c. kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (4)
Undang- Undang KUP;
d. kelebihan pembayaran pajak karena, pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang KUP;
e. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak mengabulkan sebagian atau
seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (la) Undang-Undang KUP;
atau
f. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan/atau
bunga Pasal 19 ayat (1) karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi
atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat
(2) Undang-Undang KUP.

F. TATA CARA PEMBERIAN IMBALAN BUNGA

Tata cara pemberian imbalan bunga kepada wajib pajak ini dituangkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan NOMOR : 226/PMK.03/2013; stdd PMK Nomor: 186/PMK.03/2015
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK Nomor: 65/PMK.03/2018 tentang Tata Cara
Penghitungan Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak. Tata cara pemberian imbalan
bungan antara lain:

1. Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar menerbitkan Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga (SKPIB) atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan
keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. SKPIB diterbitkan dalam hal terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan
permohonan banding ke Pengadilan Pajak;
b. SKPIB diterbitkan dalam hal Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak; atau
c. SKPIB diterbitkan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur
Jenderal Pajak.
d. SKPIB diterbitkan berdasarkan nota penghitungan dan dibuat dalam ragkap 3 (tiga)
yang diperuntukkan untuk WP, KPPN, dan arsip KPP.

51
2. Atas dasar SKPPIB, Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPMIB.
SPMIB dibuat dalam rangkap 4 yang diperuntukkan lembar ke-1 dan ke-2 untuk Bank
Operasional 1, lembar kedua untuk KPPNt, dan lembar ketiga untuk KPP/
3. SKPPIB dan SPMIB beserta Arsip Data Komputer, dilampiri dengan surat setoran dan
disampaikan ke KPPN secara langsung oleh petugas yang ditunjuk.
4. Berdasarkan SPMIB, Kepala KPPN atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SP2D
dengan ketentuan:
a. dalam hal seluruh imbalan bunga dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan
SPMIB, Kepala KPPN menerbitkan SP2D Nihil;
b. dalam hal masih terdapat sisa imbalan bunga yang harus diberikan kepada Wajib
Pajak setelah dikompensasikan dengan Utang Pajak melalui potongan SPMIB, Kepala
KPPN menerbitkan SP2D dilampiri dengan daftar rekening tujuan termasuk rekening
Wajib Pajak.
c. dalam hal seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak, Kepala KPPN
menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak bersangkutan.
5. Dalam hal imbalan bunga dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan SPMIB,
Kepala KPPN menerbitkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Penerimaan Potongan (NPP) sesuai
dengan tanggal SP2D.
6. KPPN menyampaikan daftar SP2D, SPMIB lembar ke-2, bukti penerimaan negara dalam
hal terdapat imbalan bunga yang dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang
akan terutang melalui potongan SPMIB ke KPP penerbit SPMIB.
7. Bukti penerimaan negara atas potongan SPMIB disampaikan oleh KPP penerbit SPMIB
kepada Wajib Pajak.

Bentuk formulir SPMIB adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK.03/2018

G. PERHITUNGAN BESARNYA IMBALAN BUNGA

- 2% per bulan dengan masa imbalan bunga mulai dari akhir jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP), sampai dengan diterbitkannya
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP), dengan dasar perhitungan imbalan
bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran pajak.

- 2% sebulan dengan masa imbalan bunga dihitung sejak berakhirnya jangka waktu satu
bulan, jangka waktu du belas bulan sejak permohonan diterima atau jangka waktu lain yang
ditetapkan untuk kegiatan tertentu, sampai saat diterbitkannya SKPLB, dengan dasar
perhitungan imbalan bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran pajak yang tercantum
dalam SKPLB. 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding.

52
- 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran sanksi administrasi sampai dengan diterbitkannya Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Ketentuan lebih lanjut terkait perhitungan imbalan bunga dijelaskan dalam pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, dan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan NOMOR : 226/PMK.03/2013.

53
RESTITUSI

A. DASAR HUKUM

1. Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, Pasal 27A, dan Pasal 36 Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 tahun 2009;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang,
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 stdd 184/PMK.03/2015 tentang
tata Cara Pemeriksaan.
4. Peraturan Menteri Keuangan(PMK) Nomor: 39/PMK.03/2018 stdd (PMK) Nomor:
117/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Penghitungan dan pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-40/PJ/2010 Tanggal 9 Agustus 2010
tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang
Bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan
Dan Penelitian Permohonan Pengembalian pembayaran Pajak Penghasilan Yang
Seharusnya Tidak Terutang Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri.

B. PENGERTIAN

Restitusi merupakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Adanya kelebihan


pembayaran pajak terjadi jika telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang atau jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari kredit pajak yang ada.
Secara sederhana dalam restitusi pajak, negara membayarkan kembali atau
mengembalikan pajak yang telah dibayar wajib pajak.

Pajak yang dapat dimintakan kembali adalah pajak yang lebih bayar
berdasarkan:
 SKPLB (Pasal 17 dan 17B UU KUP);
 Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak atau SKPPKP (Pasal
17C UU KUP);
 Keputusan Keberatan atau Putusan Banding (Pasal 26 dan Pasal 27 UU KUP);
 SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi (Pasal 36 ayat (1) a UU KUP)
sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
menerima sebagian atau seluruh permohonan WP.

54
tahun lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan memperketat prosedur restitusi. Hal ini
ditandai dengan semakin kompleksnya dokumen/bukti yang harus dilampirkan WP dalam
permohonan restitusi.

C. WAJIB PAJAK SELAIN WAJIB PAJAK KRITERIA TERTENTU DAN WAJIB


PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian


kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak Kriteria Tertentu dan Wajib Pajak yang memenuhi syarat tertentu,
harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat
permohonan diterima secara lengkap. Apabila setelah melampaui jangka waktu tersebut
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. Apabila
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan , kepada Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
tersebut sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam hal ini penerbitan surat ketetapan
pajak tertangguh sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan
kepada Wajib Pajak, wakil kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak.

Surat ketetapan pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembakaran pajak


terhadap Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan di bidang perpajakan
diterbitkan dalam hal :
8. Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
9. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan
dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
10. Pemeriksaan Bukti permulaan dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Surat ketetapan pajak ini diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang semula
tertangguh karena dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Jika kepada Wajib Pajak
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut di atas sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung

55
penuh 1 (satu) bulan.harus dilampirkan WP dalam permohonan restitusi. Selengkapnya
mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-48/PJ./2008.

D. REST IT USI WAJ IB PAJ AK PAT U H DAN WAJ IB PAJ AK YANG


MEMENUHI KRIT ERIA T ERT ENT U

Kebanyakan Wajib Pajak mendengar kata "restitusi" selalu dikaitkan dengan kata
"pemeriksaan". Meminta restitusi berarti harus bersiap-siap menghadapi pemeriksa pajak.
Dengan " m i n d s e t " seperti itu tak jarang wajib pajak mengurungkan niat untuk meminta
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang menjadi haknya. Benarkah demikian?

Barangkali benar -bahwa sebagian besar proses restitusi diselesaikan dengan melalui
proses pemeriksaan tetapi peraturan perpajakan memungkinkan adanya pengembalian
pajak tanpa melalui proses pemeriksaan. Tulisan ini akan membahas topik mengenai,
kemudahan restitusi yang diberikan kepada wajib pajak patuh dan wajib pajak yang
memenuhi persyaratan tertentu, salah satu contoh restitusi yang diproses tanpa melalui
proses pemeriksaan

Kemudahan restitusi bagi wajib pajak patuh dan wajib pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu diatur dalam Pasal 17C dan 17D Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdtd Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009
(UU KUP). Sebagai tindak lanjut atas kedua pasal tersebut telah dikeluarkan beberapa
peraturan pelaksanaannya yang terdiri dari:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 stdd PMK No. 117/PMK.03/2019


tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-2/Pj/2008 tentang Tata Cara
Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu

Wajib Pajak Patuh

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak
menetapkan Wajib Pajak Patuh paling lambat tanggal 20 Januari berdasarkan hasil
penelitian terhadap pemenuhan persyaratan yang diperlukan sebagai wajib pajak patuh.
Penetapan tersebut berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender. Penetapan Wajib
Pajak Patuh dari Kepala Kanwil Ditjen Pajak, akan diumumkan dengan cara
menempatkannya pada papan pengumuman di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Di samping
itu Kepala KPP akan menyampaikan surat pemberitahuan penetapan Wajib Pajak Patuh
kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

Wajib pajak patuh atau wajib pajak dengan kriteria tertentu adalah wajib pajak yang
memenuhi persyaratan berikut:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, yang meliputi:

56
a. Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan dalam 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir
yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum penetapan Wajib Pajak
Kriteria Tertentu, dengan tepat waktu;
b. Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa atas Masa Pajak Januari sampai dengan
November dalam Tahun Pajak terakhir sebelum penetapan Wajib Pajak Kriteria
Tertentu; dan
c. dalam hal terdapat keterlambatan penyampaian SPT Masa sebagaimana dimaksud
dalam huruf b, keterlambatan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak serta tidak berturut-turut;
2. tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pada Masa Pajak berikutnya.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, yaitu keadaan Wajib Pajak
pada tanggal 31 Desember tahun terakhir sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak
Kriteria Tertentu tidak memiliki utang pajak yang melewati batas akhir pelunasan, kecuali
terhadap tunggakan pajak yang pembayarannya telah memperoleh izin penundaan atau
pengangsuran.

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut. Laporan Keuangan harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan
menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Pendapat Akuntan atas Laporan
Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang
tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik.

4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan


berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Berdasarkan permohonan Pengembalian Pendahuluan Direktur Jenderal Pajak terlebih


dahulu melakukan penelitian kewajiban formal Pengembalian Pendahuluan, yaitu meliputi:
a. penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu masih berlaku;
b. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atau
tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 2
(dua) Masa Pajak berturut-turut;
d. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 3
(tiga) Masa Pajak dalam 1(satu) tahun kalender; dan
e. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Tahunan.

Penelitian atas Permohonan WP Patuh

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak Patuh
dilakukan penelitian atas:

57
a. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, penelitian dilakukan dengan memastikan
kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan
dalam penghitungan pajak.
b. bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan Wajib
Pajak pemohon, dilakukan penelitian dengan cara memastikan bukti pemotongan atau
bukti pemungutan Pajak Penghasilan telah dilaporkan dalam SPT Wajib Pajak pemohon
dan SPT pemotong atau pemungut pajak.
c. Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon,
penelitian dilakukan dengan cara memastikan:
1. Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Wajib Pajak Kriteria Tertentu telah dilaporkan
dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat
Faktur Pajak; dan/atau
2. Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Kriteria Tertentu telah divalidasi
dengan NTPN.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Direktorat Jendral Pajak dapat:


a. menerbitkan SKPPKP, dalam hal:
 hasil penelitian kewajiban formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) menunjukkan Wajib Pajak memenuhi ketentuan kewajiban formal
dimaksud; dan
 hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (11) menunjukkan
terdapat kelebihan pembayaran pajak; atau

b. tidak menerbitkan SKPPKP dan memberitahukan kepada Wajib Pajak, dalam


hal:
 hasil penelitian kewajiban formal menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak, dapat
diberikan Pengembalian Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4);
atau
 hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (11) menunjukkan tidak
terdapat kelebihan pembayaran pajak

SKPPKP diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan, untuk Pajak Penghasilan; atau1 (satu)
bulan, untuk Pajak Pertambahan Nilai sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu
terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan,
permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
SKPPKP setelah jangka waktu yang ditentukan berakhir.

Sanksi

Meskipun restitusi diberikan hanya dengan melalui proses penelitian namun Direktur
Jenderal Pajak masih memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib
pajak patuh dan wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menerbitkan surat
ketetapan pajak (SKP). Jika berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah pajak yang kurang

58
dibayar akan ditagih dengan disertai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi salah
satu dari empat persyaratan berikut:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;;

2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyelenggarakan pembukuan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sbb:
a. Jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan paling banyak sama dengan batasan peredaran usaha Wajib Pajak
orang pribadi yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yaitu peredaran bruto kurang
dari Rp 4.800.000.000,00 (Pasal 14 ayat (2) UU PPh).
b. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
kurang dari Rp 1.000.000,00; atau
c. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan paling
banyak 0,5% dari jumlah peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a.

3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar restitusi
dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Proses Restitusi

Proses restitusi untuk WP dengan persyaratan tertentu, diawali dengan penyampaian surat
permohonan dari wajib pajak ke KPP.
1. Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam surat pemberitahuan
atau dengan surat tersendiri.
2. Atas permohonan tersebut KPP melakukan penelitian terhadap:
a. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, dilakukan dengan memastikan
kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan
dalam penghitungan pajak.
b. bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan Wajib
Pajak pemohon, dilakukan penelitian dengan cara memastikan bukti pemotongan atau
bukti pemungutan Pajak Penghasilan telah dilaporkan dalam SPT Wajib Pajak
pemohon dan SPT pemotong atau pemungut pajak.

59
c. Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon,
dilakukan penelitian dengan cara memastikan: Pajak Masukan yang dikreditkan oleh
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu telah dilaporkan dalam SPT Masa Pajak
Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak; dan/atau
Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Persyaratan Tertentu telah
divalidasi dengan NTPN.

Berdasarkan hasil penelitian Direktur Jenderal Pajak menyatakan:


a. menerbitkan SKPPKP, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (8) menunjukkan terdapat kelebihan pembayaran pajak; atau
b. tidak menerbitkan SKPPKP dan memberitahukan kepada Wajib Pajak, dalam hal hasil
penelitian yang menunjukkan tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak.

SKPPKP diterbitkan paling lama:15 (lima belas) hari kerja, untuk permohonan
Pengembalian Pendahuluan Pajak Penghasilan orang pribadi; 1 (satu) bulan,
untuk permohonan Pengembalian Pendahuluan Pajak Penghasilan Badan; atau 1 (satu)
bulan, untuk permohonan Pengembalian Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai sejak
permohonan diterima. Apabila jangka waktu terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPPKP setelah jangka waktu) berakhir.

Sanksi

Meskipun restitusi diberikan hanya dengan melalui proses penelitian namun Direktur
Jenderal Pajak masih memliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib
pajak patuh dan wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menerbitkan surat
ketetapan pajak (SKP). Jika berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah pajak
yang kurang dibayar akan ditagih dengan disertai sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100%.

E. REST IT USI KEL EBIHAN PEMBAYARAN PPN DAN PPnBM

Sejalan dengan diberlakukannya perubahan UU PPN terbaru (UU no.42/2009) per 1 April
2010 lalu, banyak perubahan yang harus dicermati oleh wajib pajak termasuk di antaranya
perubahan mengenai tatacara restitusi PPN. Tepat sehari sebelum diberlakukannya UU
nomor 42/2009 diterbitkan dua peraturan terkait dengan restitusi PPN yaitu Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 dan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
72/PMK.03/2010 stdd PMK No. 117/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.

60
Klasifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Dalam kaitannya dengan restitusi PPN, PKP diklasifikasikan menjadi empat jenis PKP
yaitu:
a. PKP kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C UU KUP;
b. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17D UU
KUP;
c. PKP berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN.
d. PKP lainnya yang tidak termasuk dalam ketiga kategori di atas.

Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 adalah Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah;
c. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra
Utama Kepabeanan;
d. PKP yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized
Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized
Economic Operator);
e. pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak
f. Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang menyampaikan SPT
masa PPN lebih bayar restitusi paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
g. Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
1. Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar
farmasi; dan
2. Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik;
h. Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
1. Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat
kesehatan; dan
2. Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat
kesehatan yang baik;
i. perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan
kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) yang laporan keuangannya
dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara induk sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

61
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha
Kena Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
b. Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
c. Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Permohonan Restitusi

Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak. Dalam
kaitannya dengafi PPN, restitusi terjadi apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari
jumlah Pajak Keluaran. Berdasarkan UU PPN No. 42/2009 (UU PPN terbaru) jo PMK-
117/PMK.03/2019, secara umum restitusi hanya boleh dilakukan pada akhir tahun buku,
kecuali untuk PKP tertentu dibolehkan untuk melakukan restitusi pada tiap masa pajak,
yaitu:

a. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;


b. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut
PPN;
c. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak
dipungut;
d. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
e. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/ atau
f. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN.

Permohonan diajukan kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan. Permohonan


pengembalian ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak. Pengajuan
permohonan restitusi dapat dilakukan dengan menggunakan:
a. Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN yang mencantumkan tanda permohonan
pengembalian kelebihan Pajak dengan cara mengisi kolom "Dikembalikan (restitusi)";
atau
b. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak diisi atau tidak mencantumkan
tanda permohonan pengembalian kelebihan Pajak.

Permohonan pengembalian kelebihan Pajak dapat diproses melalui penelitian atau


pemeriksaan. Permohonan yang diajukan oleh PKP kriteria tertentu, PKP yang memenuhi
persyaratan tertentu dan PKP berisiko rendah akan diproses melalui penelitian dan dalam
jangka waktu paling lambat 1 bulan Dirjen Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP). Dalam hal Dirjen Pajak tidak dapat

62
menerbitkan SKPPKP maka Dirjen Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada PKP
ybs. dan restitusi akan diproses melalui pemeriksaan. Permohonan yang diajukan oleh PKP
lainnya akan diproses melalui pemeriksaan dan dalam jangka waktu paling lambat 12 bulan
Dirjen Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Penelitian

Seperti telah dikemukakan di atas Permohonan restitusi yang diajukan oleh PKP
yang memenuhi kriteria Pasal 9 ayat 4c UU PPN, Pasal 17C UU KUP atau Pasal
17D UU KUP, akan diproses hanya dengan melalui penelitian.

Penelitian dilaksanakan dengan ketentuan sbb:


a. Dalam hal permohonan retitusi disampaikan oleh PKP kriteria tertentu penelitian
dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17C UU
KUP;
b. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan Pajak disampaikan oleh PKP
yang memenuhi persyaratan tertentu, penelitian dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17D UU KUP;
c. Dalam hal permohonan retitusi disampaikan oleh PKP berisiko rendah
sebagaimana dimaksud dengan Pasal 9 ayat (4c) UU PPN jo PMK -
71/PMK.03/2010, penelitian dilakukan terhadap:
1. kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
2. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
3. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
4. kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.

Dirjen Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan restitusi yang diajukan
oleh PKP harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan Pajak. Apabila jangka waktu penerbitan
SKPPKP telah lewat dan Dirjen Pajak tidak menerbitkan SKPPKP, permohonan
pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan SKPPKP
harus diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu berakhir.

SKPPKP tidak diterbitkan kepada PKP berisiko rendah apabila:


a. hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 9
ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
b. hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
c. lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
d. pembayaran Pajak tidak benar.

63
Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, kepada PKP berisiko rendah harus diberikan
pemberitahuan secara tertulis dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak diproses
berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP (melalui pemeriksaan).
Dalam hal permohonan restitusi yang disampaikan oleh:
a. PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN jo PMK-
71/PMK.03/2010;
b. PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang- Undang KUP;
atau
c. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
Undang-Undang KUP.

meliputi kelebihan pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelum PKP menjadi PKP
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, Dirjen Pajak wajib melakukan
pemeriksaan Pajak atas Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN yang menyatakan
kelebihan pembayaran yang dikompensasikan tersebut.

Pemeriksaan

Untuk PKP lainnya atau yang tidak memenuhi syarat tersebut, menurut Pasal 17B ayat (2)
UU KUP penyelesaiannya dilakukan melalui proses pemeriksaan.
 Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan restitusi harus
menerbitkan Surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan
restitusi diterima secara lengkap.
 Jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut tidak berlaku dalam hal terhadap PKP
sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan setelah Pengembalian Pendahuluan

Dirjen Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak dapat


melakukan pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah (sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (4c) UU PPN jo PMK-71/PMK.03/2010, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP, atau Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP).

Apabila hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) maka akan diberlakukan sanksi sbb:

 Untuk PKP beresiko rendah, sebagaimana dimaksud dengan Pasal 9 ayat (4c) UU
PPN, wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) Undang- Undang KUP.

64
 Untuk PKP kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib
membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) atau Pasal 17D ayat (5) Undang-
Undang KUP.

F. PENG EMBAL IAN AT AS KEPUT USAN KEBERAT AN DAN PUT USAN


BANDING

Pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak bisa juga terjadi karena dikabulkannya
pengajuan keberatan atau banding Wajib Pajak, baik diterima sebagian maupun
seluruhnya. Pengembalian ini dilakukan sepanjang utang pajak yang dimaksud dalam
SKPKB dan atau SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Bila demikian maka kelebihan pembayaran dikembalikan tanpa perlu mengajukan
permohonan terlebih dahulu. Permohonan restitusi dalam konteks ini dianggap telah
tercermin dalam surat pengajuan keberatan atau permohonan banding pada saat pertama
kali disampaikan WP.

Dalam hal ini selain mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, WP juga
akan mendapatkan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan, dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding.

G. PENG EMBAL IAN PAJ AK YANG SEHARUSNYA T IDAK T ERUT ANG

Jika ditanya apa yang harus dilakukan apabila kita mengalami salah potong etau salah
pungut yang dilakukan oleh pihak lain, mungkin sebagian besar akan menjawab "ajukan
keberatan". Jawaban itu tidak salah memang karena sebagaimana diatur dalam Pasal 25
ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sttd Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (UU KUP), wajib pajak dapat
mengajukan keberatan atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Adakah
solusi lain menghadapi kasus salah potong atau salah pungut selain dengan mengajukan
keberatan? Bagaimana pula jika kita terlanjur membayar pajak yang ternyata bukan objek
pajak? Dalam tulisan ini akan dikupas solusi alternatif menghadapi kasus salah potong atau
salah pungut dan solusi untuk kasus salah bayar.

Dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP diatur ketentuan mengenai restitusi pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang. Dalam rangka melaksanakan ketentuan tersebut diterbitkan
tiga peraturan pelaksanaannya, yaitu;

1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara


Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

65
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-40/PJ/2010 Tanggal 9 Agustus 2010
tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang
Bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata
Cara Pengajuan Dan Penelitian Permohonan Pengembalian pembayaran Pajak
Penghasilan Yang Seharusnya Tidak Terutang Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri

Definisi

PMK No. 187/PMK.03/2015 memberikan definisi bahwa yang dimaksud pajak yang
seharusnya tidak terutang adalah:
a. Pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang
terutang;
b. Kelebihan pembayaran pajak oleh WP terkait dengan pajak dalam rangka impor;
c. Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong
atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
d. Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak;
e. Kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B
bagi Subjek Pajak Luar Negeri.

Wajib Pajak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pengembalian

Wajib Pajak yang dapat meminta kembali pajak yang seharusnya tidak terutang meliputi
Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi termasuk orang pribadi yang belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Jika terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya tidak
terutang, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan surat permohonan. Sedangkan dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau
pemungutan pajak dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan
dan dilaporkan, maka:

1. Atas kesalahan pemotongan atau pemungutan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang
salah dipotong atau dipungut tersebut i^apat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang
dipotong atau dipungut melalui pemotong/pemungut dengan surat permohonan,
sepanjang belum dikreditkan.

2. Atas kesalahan pemungutan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak


Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dipungut dengan surat permohonan,
sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.

66
Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau PKP yang melakukan
pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.

Pada kasus tertentu pengembalian pajak akibat salah potong atau salah pungut dapat
dilakukan melalui pemotong/pemungut atau PKP yang melakukan pemungutan, yaitu dalam
hal:
1. pihak yang dipotong atau dipungut orang pribadi yang tidak memiliki NPWP;
2. pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan
kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia; atau
3. terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut,

Proses Pengembalian

Proses pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang dimulai dari permohonan wajib
pajak yang disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Selanjutnya KPP akan
melakukan penelitian. KPP harus menyelesaikan penelitian dalam waktu paling lama tiga
bulan. Jika dari hasil penelitian memang benar terdapat kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang maka KPP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) yang ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat" Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak (SKPKPP) dan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran Pajak
(SPMKPP). Jika hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang maka KPP wajib memberikan pemberitahuan secara
tertulis kepada pemohon.

Tempat Pengajuan Permohonan

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang


diajukan oleh Wajib Pajak disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak yang mengajukan permohonan terdaftar atau berdomisili.

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang


karena salah bayar atau salah potong atau salah pungut harus dilampiri dengan, antara lain:
1. asli bukti pembayaran pajak;
2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
3. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak karena salah potong atau salah
pungut yang diajukan oleh pemotong/pemungut pajak atau PKP yang melakukan
pemungutan harus dilampiri dengan, antara lain:
1. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

67
3. surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang dipotong/dipungut kepada
pemotong/pemungut pajak atau PKP yang melakukan pemungutan; dan
4. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Pengembalian untuk Subjek Pajak Luar Negeri

Pengemblian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang bagi wajib pajak
luar negeri (WPLN) diatur secara khusus dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Per-40/Pj/2010 Tanggal 9 Agustus 2010. Secara garis besar proses pengembalian kelebihan
yang seharusnya tidak terutang bagi WPLN sama dengan wajib pajak dalam negeri. Ada
beberapa hal yang bersifat khusus terutama terkait dengan kelengkapan dokumen
permohonan seperti diuraikan di bawah ini.

Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
WPLN meliputi:
a. kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang mengakibatkan pajak yang
dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak „yang seharusnya dipotong atau
dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk Perjanjian Penghindaraan
Pajak Berganda (P3B);
b. pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak; atau
c. pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih besar daripada yang seharusnya
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan kesepakatan dalam
rangka Mutual Agreement Procedures (MAP).

Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan pembayaran


pajak yang seharusnya tidak terutang adalah WPLM yang tidak menjalankan kegiatan atau
usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. WPLN menyampaikan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui pemotong/pemungut pajak. Pemotong/Pemungut Pajak
harus menyampaikan permohonan WPLN yang telah memenuhi persyaratan kepada Kepala
KPP tempat Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut
Pajak.

Permohonan WPLN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP dengan
menggunakan Form-DGT 3.
2. Form-DGT 3 harus:
a. diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
b. diisi dalam bahasa Inggris;
c. ditandatangani oleh WPLN;
d. mencantumkan alasan permohonan WPLN secara jelas; dan
e. mencantumkan jumlah pajak yang diminta untuk dikembalikan;
3. dilampiri dengan surat kuasa, dan

68
4. dilengkapi dengan dokumen pendukung.

Surat Kuasa

Surat kuasa harus dibuat oleh WPLN dengan menggunakan Form-DGT 4 dan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;


2. diisi dalam bahasa Inggris;
3. ditandatangani oleh WPLN; dan
4. dilunasi bea meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
5. mencantumkan pernyataan pemberian kuasa kepada pemotong/pemungut pajak untuk
menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang beserta kelengkapannya ke KPP dan bertindak mewakili
WPLN untuk menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.

Dokumen Pendukung

Dokumen pendukung yang harus dilampirkan terdiri dari:

1. Surat Keterangan Domisili (SKD) dengan menggunakan Form-DGT 5.;


2. bukti pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
3. surat pernyataan WPLN bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum
diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri dan/atau belum
dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar
negeri;
4. dalam hal WPLN adalah subjek pajak dalam negeri dari negara/jurisdiksi mitra P3B
Indonesia dan menerima atau memperoleh penghasilan yang terkait pasal dalam P3B
yang memuat klausul b e n e f i c i a l o w n e r , yaitu:
a. nama, alamat, kewarganegaraan, dan informasi rinci mengenai dewan direksi;
b. identitas dan informasi rinci mengenai pemegang saham;
c. jumlah pegawai dan informasi rinci mengenai tugasnya;
d. penjelasan atas investasi yang menimbulkan penghasilan;
e. sumber pendanaan investasi;
f. penggunaan atau rencana penggunaan penghasilan yang bersumber dari Indonesia;
dan
g. laporan keuangan dan surat pemberitahuan pajak untuk tahun yang mencakup saat
terjadinya transaksi dan 2 (dua) tahun sebelumnya;

69
5. dokumen yang berkaitan dengan jenis penghasilan:
1) bunga:
a) perjanjian pemberian atau penyediaan pinjaman/utang;
b) jurnal pencatatan penerimaan bunga,
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan, dan
d) notice of interest computation;

2) dividen :
a) dividend declaration dari perusahaan yang membayar dividen;
b) rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan, dan
c) surat keterangan dari pembayar dividen yang menyatakan bahwa pemohon
adalah pemegang saham yang berhak menerima dividen;

3) royalti, sewa, dan penghasilan lain dari penggunaan harta :


a) perjanjian yang terkait dengan penyediaan harta;
b) jurnal pencatatan penerimaan penghasilan,
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan, dan
d) notice of income computation;

4) imbalan jasa, baik yang dilakukan oleh individu maupun badan :


a) perjanjian pemberian/penyediaan jasa;
b) pernyataan WPLN bahwa WPLN tidak menjalankan kegiatan atau usaha di
Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap; dan
c) surat keterangan dari Pemotong/Pemungut Pajak mengenai lamanya
pelaksanaan pemberian/penyediaan jasa di Indonesia;

5) penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan di Indonesia :


a) perjanjian penjualan atau pengalihan saham; dan
b) akta pemindahan hak atas saham yang dijual atau dialihkan dari perusahaan di
Indonesia yang sahamnya dijual atau dialihkan;

6) premi asuransi dan premi reasuransi :


a) polis asuransi/reasuransi; dan
b) notice of premium computation;

7) branch profit bentuk usaha tetap :


a) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bentuk usaha tetap ; dan
b) surat keterangan Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menerangkan alasan
pemotongan pajak atas branch profit ;

8) penghasilan Iainnya :
a) pernyataan Pemotong/Pemungut Pajak bahwa WPLN adalah pemilik sah atas
penghasilan ; dan

70
b) penjelasan WPLN mengenai substansi penghasilan ; dan

6. dokumen lain yang menurut WPLN atau Pemotong/Pemungut Pajak perlu disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak.

Dokumen Pendukung Berupa SKD

Dokumen pendukung berupa SKD (Form DGT- 5) hanya dipersyaratkan bagi WPLN yang
merupakan subjek pajak dalam negeri di negara/jurisdiksi mitra P3B dan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :

1. diisi oleh WPLN dengan benar, lengkap, dan jelas;


2. ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai
dengan kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B
3. telah disahkan oleh Pejabat Yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor
pafak yang berwenang di negara/jurisdiksi mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan
atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di
negara/jurisdiksi mitra P3B; dan
4. dalam hal WPLN tidak dapat memperoleh pengesahan Pejabat Yang Berwenang di
negara/jurisdiksi mitra P3B pada Form-DGT 5, pengesahan dimaksud dapat digantikan
dengan surat keterangan domisili asli yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh
negara/jurisdiksi mitra P3B depgan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. menggunakan bahasa inggris;
b. sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN;
c. menyebutkan tahun pajak yang mencakup penghasilan yang terkait dengan Pajak
Yang Seharus Tidak Terutang; dan
d. mencantumkan tanda tangan Pejabat Yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau
pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda yang setara
dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B dan
nama pejabat dimaksud.

Dalam hal permohonan WPLN terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka
M A P , dokumen pendukung yang harus dilampirkan terdiri dari:

a. bukti pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan


pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; dan
b . fotokopi surat kesepakatan dalam rangka M A P .

Penelitian

Dalam rangka menyelesaikan permohonan WPLN, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala
KPP:

71
1. melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak
Yang Seharusnya Tidak Terutang ;
2. dapat meminta keterangan dari Pemotong/Pemungut Pajak, WPLN, Pejabat Yang
Berwenang di negara mitra P3B, dan/atau pihak lain .

 Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak


Terutang ditolak dalam hal hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. WPLN merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
2. pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
3. pajak yang dipotong atau dipungut telah:
a. diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri,
b. telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak
WPLN di luar negeri, atau
c. ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak;
4. permohonan WPLN tidak sesuai dengan ruang lingkup P3B;
5. terjadinya penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai
penceglhan penyalahgunaan P3B; atau
6. pajak yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.

 Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak


Terutang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP ditolak dalam
hal hasil penelitian menunjukan bahwa:
1. pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
atau
2. jumlah kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang menurut
permohonan WPLN lebih besar daripada jumlah kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang berdasarkan kesepakatan dalam rangka MAP.

 Permohonan WPLN yang bukan berasal dari negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia
ditolak dalam hal berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa:
a. WPLN merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
b. pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh pemotong/pemungut pajak;
c. pajak yang dipotong atau dipungut telah:
1) diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri,
2) dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di
luar negeri, atau
3) ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak; atau
d. pajak yang dipotong atau dipungut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Apabila dari hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pajak yang seharusnya tidak
terutang SKPLB, SKPKPP dan SPMKPP diterbitkan atas namaPemotong/Pemungut Pajak
q.q. WPLN. Jika permohonan WPLN ditolak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP harus
memberitahukan secara tertulis kepada WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak.

72
Tindak Lanjut terhadap Pemotong/Pemungut

Jika terdapat pajak yang dipotong atau dipungut, namun belum disetor oleh
Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP akan menagih pajak yang terutang kepada
pemotong/pemungut sesuai ketentuan yang berlaku. Demikian juga dalam hal SPT Mdsa
belum dilaporkan oleh pemotong/pemungut, maka Kepala KPP harus menindaklanjutinya
sesuai ketentuan yang berlaku.

Ketentuan Peralihan

Permohonan pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam rangka penerapan ketentuan


P3B yang telah diajukan oleh WPLN sebelum tanggal 9 Agustus 2010, diberlakukan
ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 09/PJ.10/1994 tentang Restitusi
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Ketentuan Dalam PPPB.

H. PENGEMBALIAN KARENA PENGURANGAN/ PENGHAPUSAN SANKSI


ADMINISTRASI

Tidak berbeda dari kelebihan pembayaran paja karena adanya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding, dalam hal Dirjen Pajak menerbitkan SK Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, WP tidak
perlu mengajukan permohonan restitusi. Permohonan restitusi dalam hal ini dianggap telah
tercermin dalam surat pengajuan keberatan atau permohonan banding pada saat pertama
kali disampaikan WP.

Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
diterbitkan.

I. SKPKPP DAN SPMKP

Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa (setelah memperhitungkan utang pajak WP
bila ada) dikembalikan oleh Kepala KPP atas nama Dirjen Pajak dengan menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP). Atas dasar SKPKPP,
Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan
Pajak (SPMKP) per jenis pajak dan per masa/tahun pajak.

73
KEBERATAN

A. DASAR HUKUM

a. Pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP);
b. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 9/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor:
202/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan;
c. SE-05/PJ.3/1995 tentang Penegasan Ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 6 Tahun
1983;
d. SE-15/PJ.45/1996 tentang Prosedur Penyelesaian Keberatan atas Ketetapan Pajak Hasil
Pemeriksaan;
e. SE-68/PJ./1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Pasal 16, 26, dan 36 UU KUP.

B . P E N G E R T I AN

Pengajuan keberatan merupakan salah satu hak yang diberikan UU Perpajakan (KUP)
kepada WP dalam hal tidak menyetujui hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan Fiskus atau
pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Pengajuan keberatan merupakan
tindakan favorit yang dipilih Wajib Pajak (WP) ketika menerima penetapan pajak hasil
pemeriksaan yang tidak diinginkan. Dalam praktik, penerbitan Surat Ketetapan Pajak ini
potensial untuk menciptakan perbedaan antara Wajib Pajak dan Fiskus.

Beberapa bentuk yang bisa menimbulkan perbedaan pendapat antara lain adalah:

1. Perbedaan pendapat atas surat ketetapan pajak karena adanya kesalahan tulis,
kesalahan hitung dan kesalahan didalam penerapan peraturan perundang-undangan;
2. Perbedaan pendapat atas surat ketetapan pajak karena jumlah pajak yang terutang dan
atau sanksi administrasi yang ditetapkan dirasakan tidak memenuhi syarat-syarat
keadilan;
3. Perbedaan pendapat atas materi jumlah pajak terutang yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
4. Perbedaan pendapat atas materi jumlah kerugian yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
5. Perbedaan pendapat atas pemotongan dan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Perbedaan pendapat atas dasar hukum dari timbulnya surat ketetapan pajak, yakni
meliputi dasar hukum formal (dasar hukum penebitannya) dan dasar hukum material
(dasar hukum penghitungan besarnya pajak yang terutang .

74
Penyelesaian perbedaan pendapat pada poin a dan poin b pada dasarnya tidak bisa
dilakukan melalui mekanisme pengajuan keberatan. Penyelesaian kedua poin itu bisa
dilakukan melalui mekanisme pembetulan Surat Ketetapan Pajak.

C. SYARAT PENG AJUAN KEBERAT AN

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (1) KUP, surat ketetapan yang dapat diajukan
keberatan adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) serta pemotongan dari pihak pemotong/pemungut
pajak.

Untuk bisa mengajukan keberatan, Wajib Pajak harus mengikuti patokan yang digariskan
dalam Undang-undang. Syarat mengajukan surat keberatan di bawah ini berlaku mutlak.
Jadi apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka surat yang dikirim oleh WP tidak akan
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan. Adapun syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut:

1. Diajukan kepada Kepala KPP dimana WP terdaftar (KPP yang menerbitkan SKP);
2. Diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia. Syarat ini diwajibkan juga bagi Wajib Pajak
yang melakukan pembukuan dalam bahasa asing. Diajukan dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
penghitungan.
3. Satu surat keberatan untuk satu Surat Ketetapan Pajak atau Bukti potongan/pungutan
4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak
atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
5. Wajib dilunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebelum surat keberatan disampaikan,
dalam WP mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak.
6. Surat keberatan ditandatangani oleh WO atau kuasa wajib pajak sesuai demham kuasa
khusus yang dilampirkan di dalam surat keberatan.

Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan tidak memenuhi persyaratan formal, Wajib
Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut.Selanjutnya, WP dapat
menyampaikan kembali Surat Keberatan sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui.
tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki merupakan tanggal Surat
Keberatan diterima. Sedangkan pengajuan keberatan itu sendiri tidak boleh menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan Pajak

Atas surat keberatan yang tidak memenuhi syarat, maka:

75
- Kepada WP akan diberi penolakan secara formal melalui surat biasa paling lambat 1 (satu)
bulan sejak surat keberatan diterima.
- Atas surat yang tidak memenuhi syarat poin 1 sampai dengan 4 tetapi belum melampaui
jangka waktu 3 bulan, masih diberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk memperbaiki
Surat Keberatannya dan dapat diajukan kembali dalam jangka waktu 3 bulan sejak tgl
Surat Ketetapan Pajak atau bukti potong/pungut.
- Surat yang tidak memenuhi poin 5, tidak dapat diperbaiki kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa keterlambatannya terjadi karena force majeur,
- Bila pengajuan keberatan ini tidak bisa lagi dilakukan karena tidak memenuhi syarat maka
alternatif yang dapat ditempuh Wajib Pajak adalah dengan mengajukan permohonan untuk
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar sesuai ketentuan
Pasal 36 ayat (1) b UU KUP

Batas waktu penyelesaian keberatan akan dihitung sejak tanggal diterimanya surat
permohonan keberatan WP secara lengkap. Dan penerimaan surat keberatan itu sendiri
akan dianggap diterima apabila telah memenuhi baik secara fisik atau yuridis. Artinya
adalah, apabila surat keberatan disampaikan langsung oleh WP, sehingga tanggal terima
adalah tanggal saat Surat Keberatan diterima di Tempat Pelayanan Terpadu KPP.

Sedangkan diterima secara yuridis maksudnya adalah apabila surat keberatan dikirimkan
melalui pos tercatat. Bila seperti ini maka tanggal terima adalah sesuai cap pos atau
bukti/resi pengiriman dari kantor pos. Pengertian pos tercatat adalah tertulis dalam bukti
pengiriman surat hal-hal sebagai berikut : tanggal kirim, Nama dan alamt pengirim, Nama
dan alamat yang dituju, Isi atau jenis surat yang dikirim.

D. PENCABUT AN PENG AJ UAN SURAT KEBERAT AN

W ajib Pajak bisa saja mencabut Surat Keberatan yang sudah disampaikan ke
KPP. W P mencabut p engajuan keberatan sebelum tanggal diterima SPUH
oleh W P. Pencabutan tersebut dilakukan melalui penyampaian permohonan
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan
dapat mencantumkan alasan pencabutan dengan menggunakan f ormat
sesuai yang tercantum, dalam PMK No.9/PMK.03/2013;
2. surat permohonan ditandatangani oleh WP atau kuasa W P sesuai dengan
surat kuasa khusus yang mengacu pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP; dan
3. surat permohonan harus dis ampaikan ke KPP tempat W P terdaf tar dengan
tembusan kepada Dirjen Pajak dan Kepala Kantor W ilayah Ditjen Pajak
yang merupakan atasan kepala KPP.
Dirjem Pajik wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan W P
berupa surat persetujuan atau surat penolakan dengan mengacu pada
Lampiran IV PMK No.9/PMK.03/2013.

76
E. HAK-HAK WP DAL AM PENG AJ UAN KEBERAT AN

Dalam mengajukan keberatan WP juga mempunyai hak yaitu hak untuk meminta Dasar
Pengenaan Pajak (DPP), Dasar Penghitungan Rugi, Dasar Pemotongan atau Pemungutan
Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar dan/atau tempat
PKP dikukuhkan. Direktur Jenderal Pajak berkewajiban memenuhi permintaaan tersebut
secara tertulis. Hal ini berguna agar WP dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan
yang kuat.

F. KEPUT USAN KEBERAT AN

Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Jika tidak,
permohonan keberatan dianggap diterima dan harus diterbitkan surat keputusan dalam
waktu 3 (tiga) bulan setelah masa 12 (dua belas) bulan tersebut.

WP dapat menggunakan tanda bukti atau resi pengiriman surat keberatan sebagai alat
kontrol untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12 bulan berakhir. Karena itu sangat
penting untuk menyimpan tanda bukti atau resi ini dengan baik. Selain itu tanda bukti atau
resi ini juga diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan apabila dalam
jangka waktu 12 bulan WP tidak menerima surat balasan dari fiskus atas keberatan yang
diajukan

Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis. Jenis Keputusan dapat berupa :

• Menerima seluruhnya permohonan WP


• Menerima sebagian permohonan WP
• Menolak permohonan WP
• Menambah jumlah pajak yang terutang

Apabila jangka waktu 12 bulan telah terlampaui dan Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

77
BANDING

A. DASAR HUKUM

1. Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP);
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 stdd PMK No. 229/PMK.03/2014
tentang Persyaratan Seorang Kuasa Untuk Menjalankan Hak Dan Memenuhi Kewajiban
Menurut Ketentuan Perundang- Undangan Perpajakan;
4. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-16/PJ./2008 tentang Penegasan Sehubungan
Dengan Penunjukan Seorang Kuasa Dengan Surat Kuasa Khusus.

B. PENGERTIAN

Me n ur ut k e te n tua n P a sa l 1 a ya t ( 6 ) UU No mor 1 4 T a hun 2 0 0 2


t e n t a n g P e n g a d i l a n P a j a k , "Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku."

Dari pengertian tersebut bisa dijelaskan beberapa hal pokok. Pertama, banding merupakan
suatu proses tindakan hukum yang dapat ditempuh oleh WP atau Penanggung Pajak. Hal itu
berarti bahwa upaya banding harus memenuhi kaidah hukum yang berlak yaitu hukum pajak
baik kaidah formal maupun kaidah material. Di sini tersirat pula, bahwa banding hanya dapat
diajukan oleh WP atau Penanggung Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat diwakilkan,
kecuali dengan menunjuk Kuasa Hukum (yang memenuhi kriteria undang- undang) dengan
Surat Kuasa Khusus. Kedua, upaya banding hanya dapat dilakukan atas suatu keputusan
yang dapat diajukan banding (menurut UU Perpajakan). Secara umum, banding hanya dapat
diajukan atas Keputusan Keberatan yang diterbitkan oleh fiskus, yang masih mengandung
sengketa antara WP dengan fiskus. Beberapa hal pokok tersebut di atas cukup
menunjukkan hubungan erat antara proses banding dengan keberatan. Bahkan, lebih jauh
lagi akan tampak kaitan erat antara proses banding dengan pemeriksaan. Sebab,
bagaimanapun sengketa pajak yang diajukan bandingnya oleh WP timbul dari hasil
pemeriksaan pajak oleh fiskus.

C. KRONOLOGI PEMERIKSAAN PAJAK SAMPAI PROSES BANDING

Banding diawali dengan adanya sengketa atau ketidaksetujuan WP atas ketetapan pajak
yang diterbitkan oleh fiskus. Sebagaimana kita ketahui, ketetapan pajak terbit atas dasar
hasil pemeriksaan fiskus yang disertai koreksi fiskal. Hasil koreksi ini umumnya

78
menyebabkan jumlah pajak yang terutang menurut fiskus menjadi lebih besar daripada
jumlah yang telah dihitung, disetor, dan dilaporkan oleh WP dalam Surat Pemberitahuan.

Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, WP berhak mengajukan permohonan kepada


Dirjen Pajak atas ketetapan pajak yang tidak disetujuinya. Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU
KUP, keberatan dapat diajukan atas ketetapan pajak berupa:

• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);


• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
• Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); dan
• Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang-
undangan perpajakan.

Ketetapan pajak tersebut di atas bisa dikenakan untuk jenis pajak PPh (Pajak Penghasilan),
PPN (Pajak Pertambahan Nilai), PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah), PBB (Pajak
Bumi dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan), Bea
dan Cukai, serta Pajak Daerah dan Retribusi - satu ketetapan pajak dibuat untuk satu jenis
pajak tertentu dan tahun/masa pajak tertentu. Untuk pengajuan keberatan, WP harus
membuat satu surat keberatan untuk satu ketetapan pajak.

Apabila keputusan keberatan menyatakan menerima seluruh keberatan Wajib Pajak, maka
sengketa telah terselesaikan pada proses itu. Tetapi, apabila keputusan keberaratan
menyatakan menolak atau menerima sebagian, sangat mungkin WP menyetujui keputusan
tersebut. Jika kemudian WP mengajukan banding atas keputusan keberatan yang tidak
disetujuinya, maka terjadilah sengketa banding.

Gambar 2. Alur Sengketa Banding

D. SENGKETA DALAM PROSES BANDING

Sengketa pajak dalam proses banding atau sering disebut sengketa banding adalah
sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP dengan fiskus, mengenai
keputusan keberatan yang tidak disetujui oleh WP.

79
Jadi, sebagaimana halnya keberatan, WP atau Penanggung Pajak yang harus mengajukan
banding. Sengketa banding bisa menyangkut menyangkut masalah formal maupun material.
Namun kebanyakan WP menyangka sengketa banding hanya menyangkut sengketa
material, sehingga seringkali tidak disadari bahwa sengketa mungkin sudah berawal saat
fiskus mulai melaksanakan pemeriksaan terhadap WP yang bersangkutan.

 Sengketa Formal

Sengketa formal timbul apabila WP atau fiskus atau keduanya tidak mematuhi prosedur
dan tata cara yang telah ditetapkan oleh UU Perpajakan, khususnya UU KUP, dan UU
Pengadilan Pajak. Bagi fiskus, UU KUP telah menetapkan prosedur dan tata cara
pemeriksaan pajak, penerbitan ketetapan pajak, sampai penerbitan keputusan keberatan.
Apabila fiskus melanggar ketentuan tersebut, maka pelanggaran itulah yang menimbulkan
sengketa formal dari pihak fiskus. Contohnya, fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) atau Surat Keputusan Keberatan setelah melampaui jangka waktu yang ditetapkan.

Di lain pihak, sengketa formal dari pihak WP bisa terjadi apabila WP tidak melaksanakan
prosedur dan tata cara yang ditetapkan dalam UU KUP maupun UU Pengadilan Pajak.
Contohnya, WP tidak mengajukan keberatan atau banding dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan. Di luar contoh tersebut masih banyak lagi kasus lainnya, tetapi seringkali WP
maupun fiskus menyepelekan hal-hal bersifat formal tersebut.

 Sengketa Materia l

Sengketa material atau lazim disebut materi sengketa yang terjadi apabila terdapat
perbedaan jumlah pajak yang terutang menurut fiskus dan yang tercantum pada ketetapan
pajak dengan jumlah menurut perhitungan WP. Perbedaan tersebut bisa timbul karena
adanya beda pendapat mengenai dasar hukum yang seharusnya digunakan, beda persepsi
atas ketentuan peraturan pajak, perselisihan atas suatu transaksi tertentu, atau bisa juga
disebabkan oleh hal-hal lainnya.

Kesemuanya itu dapat mengakibatkan jumlah pajak yang ditetapkan oleh fiskus menjadi
berbeda - umumnya lebih besar - dibandingkan dengan jumlah pajak menurut perhitungan
WP. Dan perbedaan jumlah pajak yang terutang menurut fiskus dengan WP itulah yang
merupakan sengketa material.

Baik sengketa masalah formal maupun sengketa material sangat menentukan hasil akhir
putusan banding. Dalam proses banding, hakim yang bertugas di Pengadilan Pajak akan
melakukan pemeriksaan formal terlebih dahulu sebelum mulai memeriksa materi sengketa.
Dan hal itu dilakukan sesuai prosedur dan tata cara hukum acara yang sudah ditetapkan UU
Pengadilan Pajak, tanpa harus ada permohonan dari pihak-pihak yang bersengketa.

Singkatnya, permohonan banding WP tidak akan diproses lebih lanjut (ditolak) oleh
Pengadilan Pajak tanpa pemeriksaan materi sengketa apabila banding WP tidak memenuhi
ketentuan formal yang telah ditetapkan. Sebaliknya, apabila ketetapan pajak atau keputusan

80
keberatan tidak memenuhi ketentuan formal, maka Pengadilan Pajak dapat menyatakan
ketetapan pajak ataupun keputusan keberatan harus batal demi hukum. Dalam hal ini,
permohonan banding WP dapat diterima seluruhnya atau diterima sebagian, tergantung
hasil pemeriksaan keseluruhan oleh hakim Pengadilan Pajak.

E. FORMAL IT AS PENG AJUAN BANDING

Ketentuan formal mengenai pelaksanaan banding diatur dalam ketentuan Pasal 27 UU KUP
jo. UU Pengadilan Pajak, yang bisa diuraikan sebagai berikut:

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan


peradilan pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Ketentuan ini menegaskan bahwa banding hanya dapat diajukan atas keputusan keberatan
yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak (fiskus). Artinya, banding tidak dapat diajukan atas
ketetapan pajak yang keberatannya belum diputus oleh Dirjen Pajak atau dalam hal WP
tidak mengajukan keberatannya. Dan, banding hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak (Pengadilan Pajak). Dengan kata lain, WP tidak bisa mengajukan banding
ke badan peradilan lain, selain Pengadilan Pajak.

2. P u t u s a n b a d a n p e r a d i l a n p a j a k b u k a n m e r u p a k a n k e p u t u s a n t a t a
usaha negara.

Dengan adanya ketentuan ini, WP tidak diberi peluang untuk mengadukan putusan
banding ke peradilan tata usaha negara. Sejauh ini Dirjen Pajak q.q. Menteri Keuangan
bersikukuh tidak mau menerima dan melaksanakan apapun hasil putusan peradilan tata
usaha negara terkait dengan ketetapan atau keputusan Dirjen Pajak di bidang perpajakan
maupun putusan banding. Namun sekarang, WP maupun fiskus mempunyai peluang yang
sama untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan banding ke Mahkamah Agung,
dengan syarat-syarat tertentu.

3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan


pelaksanaan penagihan pajak.

Proses banding - sebagaimana halnya keberatan - tidak menunda kewajiban membayar


pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Ketentuan ini menuntut WP untuk segera
melunasi utang pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, meskipun ketetapan
pajaknya masih dalam sengketa.

Memang ironis, dalam praktek masih banyak ditemukan kasus penetapan pajak yang tidak
benar dan WP tengah berjuang mencari kebenaran dan keadilan melalui pengajuan
keberatan sampai banding, namun WP sudah 'dipaksa' untuk melunasi pajak yang tidak
benar tersebut. Jika WP bersikeras tidak bersedia membayar sebelum ada keputusan
keberatan atau Putusan Banding maka tindakan penagihan pajak akan dilakukan oleh
fiskus sampai pada tindakan surat paksa, sita, dan lelang.

81
Untuk mengantisipasi hal tersebut, mengacu pada ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU
Pengadilan Pajak, WP dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajaK
ditujukan ke Pengadilan Pajak - yang dibarengi permohonan agar tindak tindak lanjut
pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang
berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.

F. SYARAT PENG AJUAN BANDING

Syarat-syarat pengajuan banding ditetapkan dalam ketentuan Pasal 27 UU KUP dan


diperjelas lagi dalam hukum acara banding yang tercantum pada Pasal 35 s/d Pasal 39 UU
Pengadilan Pajak (UU No.14 Tahun 2002). Berdasarkan Pasal 37 UU Pengadilan Pajak,
banding dapat diajukan oleh:
- Wajib Pajak
- ahli waris wajib pajak
- seorang pengurus (WP Badan), atau
- kuasa hukum wajib pajak

a. Banding kepada Pengadilan Pajak diaj ukan secara tertulis – dengan


Surat Banding - dala m bahasa Indonesia

Pengajuan banding kepada Pengadilan Pajak dilakukan melalui surat tertulis - disebut
Surat Banding - dan harus menggunakan bahasa Indonesia.

b. Banding dapat diajukan o leh Wajib Pajak, ahli warisn ya, seoran g
pengurus, atau kuasa hukumnya

Pengajuan banding pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh WP yang bersangkutan -
disebut Pemohon Banding - dan tidak dapat diwakilkan, kecuali oleh kuasa hukum dengan
Surat Kuasa Khusus. Perlu diperhatikan, dalam hal pengajuan banding dilakukan oleh
kuasa hukum, maka kuasa hukum yang ditunjuk harus memenuhi kriteria atau syarat yang
ditetapkan oleh UU KUP maupun UU Pengadilan Pajak. Selain itu, penunjukan dengan
Surat Kuasa Khusus harus dibuat terlebih dahulu sebelum pengajuan banding oleh kuasa
hukum yang bersangkutan.

Bagi WP badan, banding dapat diajukan oleh salah seorang pengurus yang namanya
tercantum pada akte notaris, termasuk dalam hal penunjukan kuasa hukum untuk
mengajukan banding. Apabila selama proses banding, WP Pemohon Banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, maka
permohonan dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi.

Bagi WP orang pribadi, apabila selama proses banding WP Pemohon Banding meninggal
dunia, maka banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya atau kuasa hukum dari ahli
warisnya.

82
Dalam hal WP Pemohon Banding pailit, banding dapat dilanjutkan oleh pengampunya.
Pemeriksaan formal dalam hal ini menyangkut beberapa hal, yaitu:

• Nama WP Pemohon Banding;


• NPWP Pemohon Banding;
• Alamat WP Pemohon Banding;
Nama, NPWP, dan alamat WP Pemohon Banding akan dicocokkan dengan data yang
tercantum pada kartu NPWP atau administrasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di
mana WP tersebut terdaftar. Jika terdapat perbedaan, WP Pemohon Banding harus
dapat menjelaskan alasan-alasannya.
• Nama penandatangan Surat Banding dan Surat Kuasa Khusus;
Apabila nama penandatangan Surat Banding berbeda dengan nama WP orang
pribadi yang mengajukan banding, atau dalam hal nama penandatangan Surat
Banding tidak tercantum dalam daftar pengurus WP badan yang mengajukan
banding, maka Surat Banding harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus bermeterai
yang dibuat oleh WP Pemohon Banding kepada pihak yang menandatangani Surat
Banding

c. Banding d iajukan daiam jangka wakt u 3 (t iga) b ulan sejak tangga i


diter ima keputusan yang d iband in g , kecuali d iatur lain daia m
peraturan perundang -undangan perpajakan

Jangka waktu pengajuan banding dibatasi 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Surat
Keputusan Keberatan yang dibanding (bukan tanggal yang tercantum pada Surat
Keputusan Keberatan).

Contoh:
Fiskus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tanggal 7 Januari 2019 dan dikirimkan ke
WP yang bersangkutan pada hari itu juga. WP menerima Surat Keputusan Keberatan
tanggal 9 Januari 2019. Maka, jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal 9 Januari 2019
(tanggal diterimanya Surat Keputusan Keberatan oleh WP).

Oleh sebab itu, dalam persidangan di Pengadilan Pajak - apabila terdapat sengketa formal -
kadangkala dibutuhkan bukti pengiriman surat dari pihak fiskus dan dari pihak WP
dibutuhkan bukti tanda terima surat. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila WP tidak
dapat memenuhi ketentuan tersebut karena keadaan di luar kekuasaan (force majeure).
Misalnya, bencana alam, musibah kebakaran, huru-hara, atau hal-hal lainnya yang tidak
bisa dihindari oleh WP Pemohon Banding dan menyebabkan terjadinya keterlambatan
pengajuan banding.

d. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Pengajuan banding tidak dapat dilakukan sekaligus atas beberapa keputusan keberatan,
meskipun menyangkut jenis pajak yang sama atau tahun/masa pajak yang sama.

83
Klausul ini kurang lebih sama dengan ketentuan pengajuan keberatannya, hal mana 1
(satu) Surat Ketetapan Pajak harus dibuatkan 1 (satu) Surat Keberatan.

Contoh:

Fiskus telah melakukan pemeriksaan atas pajak-pajak yang terutang oleh PT Abadi (a//
taxes) dalam tahun pajak 2019 dan telah diterbitkan SKP-nya. PT ABC mengajukan
keberatan atas SKPKB PPh Badan tahun pajak 2019 dan SKPKB PPh Pasal 23 masa
pajak Desember 2019 - masing-masing satu Surat Keberatan.
Pengajuan keberatan atas kedua SKP PT Abadi telah diputus oleh fiskus, tetapi PT Abadi
masih belum menyetujui kedua Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan fiskus.

Apabila PT Abadi hendak mengajukan banding atas kedua Surat Keputusan Keberatan
tersebut, PT Abadi harus membuat 2 Surat Banding, satu Surat Banding untuk keputusan
keberatan menyangkut PPh Badan tahun pajak 2019 dan satu Surat Banding untuk
keputusan keberatan menyangkut PPh Pasal 23 tahun pajak 2019.

e. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan


tanggai diterima surat keputusan yang dibanding.

Banding hanya dapat diproses lebih lanjut apabila WP Pemohon Banding menyebutkan
alasan-alasan bandingnya. Alasan banding harus dibuat dengan jelas, dengan
menyebutkan dasar hukum yang melandasi alasan bandingnya dan mencantumkan
perhitungan menurut WP. Bila perlu, lampirkan salinan/fotokopi dokumen atau bukti
pendukung alasan bandingnya.

Dalam Surat Banding juga harus dicantumkan tanggal diterima Surat Keputusan Keberatan
yang diajukan bandingnya. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa formal jangka waktu
pengajuan banding telah terpenuhi oleh WP Pemohon Banding. Dalam hal pengajuan
banding sudah melampaui jangka waktu yang ditetapkan, WP Pemohon Banding harus
menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya keterlambatan atau tidak terpenuhinya
jangka waktu tersebut. Apabila sebab-sebab keterlambatan termasuk keadaan di luar
kekuasaan {force majeuT), maka proses banding dapat dilanjutkan. Jika tidak, maka
pengajuan banding dapat ditolak karena tidak memenuhi ketentuan formal.

Dalam Surat Banding bisa ditambahkan pernyataan, bahwa WP Pemohon Banding


bersedia hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan secara lisan maupun
menyampaikan bukti-bukti pendukung alasan bandingnya.

f. Surat Banding dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding

Pengajuan Surat Banding yang tidak dilampiri dengan salinan atau fotokopi Surat
Keputusan Keberatan yang dibanding, dianggap tidak memenuhi ketentuan formal
sehingga permohonna banding tidak dapat diproses lebih lanjut (ditolak).

84
Jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak
termasuk sebagai utang pajak. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan
Banding diterbitkan.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajakdikenal
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

g. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan


yang berlaku, sepanjang masih dalam jangka waktu yang ditetapkan

Apabila WP sudah mengajukan Surat Banding ke Pengadilan Pajak tetapi masih ada
syarat formal yang belum terpenuhi - misalnya belum melampirkan salinan Surat
Keputusan Keberatan yang dibanding - maka WP Pemohon Banding masih diberi
kesempatan untuk melengkapi persyaratan formal yang ditetapkan, sepanjang masih
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan yang
dibanding.

G. PENCABUT AN BANDING

Dalam hal Banding, WP dapat mengajukan pencabutan kepada Pengadilan Pajak dengan
mengajukan surat pernyataan pencabutan. Banding yang dicabut akan dihapus dari daftar
sengketa dengan:

1. Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
dilaksanakan;
2. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Perlu diperhatikan, bahwa banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak
dapat diajukan kembali.

H. PROSES PELAKSANAAN BANDING

Prosedur dan tata cara banding, termasuk batasan jangka waktunya, telah ditetapkan di
dalam ketentuan UU Pengadilan Pajak. Bagan di bawah ini mengilustrasikan proses
pelaksanaan banding, dimulai dari adanya Surat Keputusan (SK) Keberatan yang diterbitkan
oleh Ditjen Pajak sampai dengan pelaksanaan Putusan Banding

85
SK Surat
Keberatan Banding

Paling lama 3 bulan Paling lama 14 hari


Srt Permintaan
sejak tanggal diterima sejak tanggal diterima
Uraian Banding
SK Keberatan surat banding
Surat Uraian
Banding
Surat Uraian Paling lama 14 hari Paling lama 3 bulan
sejak diterima surat sejak tanggal kirim surat
Banding
uraian banding permintaan uraian banding

Surat
Bantahann
Paling lama 30 hari Paling lama 14hari
Surat
sejak diterima salinan sejak diterima surat
surat uraian banding bantahan Bantahan
Menunjuk majlis n
yg terdiri dari 3
hakim atau
hakim tungga&
Paling lama 6 bulan
mulai sidang sejak tanggal diterima
Surat Banding

Pembuktian
Paling lama 12 bulan sejak
tan
Putusan tanggal diterima surat banding

Dikabulkan
sebagian/
seluruhnya?

Tidak Ya

Kelebihan
dikembalikan +
imbalan bunga
2% per bulan Paling lama 30 hari sejak tanggal
Putusan Banding

Pelaksanaan Putusan

Sumber: Diolah dari UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak

86
PENGADILAN PAJAK

Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak,
sesuai dengan bunyi ketetapan Pasal 31 UU Pengadilan Pajak:

 Dalam hal banding, Pengadilan Pajak hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
penagihan Pajak atau Keputusan Pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan peraturan perundang- undangan perpajakan
yang berlaku.

Selain tugas dan wewenang tersebut, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang
memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang
Pengadilan Pajak. Pengawasan yang dimaksud diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua
Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak. Untuk keperluan pemeriksaan Sengketa Pajak, Pengadilan Pajak
dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak
dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak Untuk keperluan pemeriksaaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak
bisa memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan sengketa pajak
dari pihak ketiga sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002) Pasal 77, menjelaskan bahwa
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Putusan pengadilan pajak diambil nerdasarkan hasil penilaian pembuktian dan
berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan berdasarkan keyakinan
hakim, keputusan pengadilan pajak ini dapat berupa:

a. menolak;
b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c. menambah Pajak yang harus dibayar;
d. tidak dapat diterima;
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau
f. membatalkan.

Terhadap putusan diatas tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi.

87
K UAS A HUK UM

WP Pemohon Banding dapat menunjuk satu atau lebih kuasa hukum—dengan surat kuasa
khusus untuk mendampingi atau mewakilinya dalam proses banding. Di lain pihak, fiskus juga
dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 34
ayat (2) UU Pengadilan Pajak, untuk menjadi kuasa hukum yang dapat mendampingi atau
mewakili WP, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Warga negara Indonesia;


2. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan
perpajakan;
3. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (PMK No.184/PMK.01/2017)

Ketiga persyaratan tersebut tidak berlaku jika yang mendampingi atau mewakili Pemohon
Banding adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pengurus,
pegawai, atau pengampu.

Dengan kata lain, WP dapat menunjuk seorang kuasa yang bukan pegawainya dengan suatu
Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannyamenurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk pengajuan banding sepanjang
penerima kuasa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a . Me me nu h i pe r s ya r a ta n k hu su s u ntuk me nj a d i k ua sa h uk um

1. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak;


2. mempunyai bukti tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi untuk 2 (dua) tahun terakhir;
3. memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
4. tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pej a bat negara;
5. menandatangani pakta integritas;
6. telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah diberhentikan dengan hormat sebagai
Hakim Pengadilan Pajak untuk orang yang pernah mengabdikan diri sebagai Hakim
Pengadilan Pajak; dan
7. memiliki izin kuasa hukum.

b. Mengua sai ketentuan -ketentuan di bidang perpajakan

Persyaratan ini dianggap terpenuhi apabila telah memperoleh pendidikan di bidang


perpajakan yang dibuktikan dengan memiliki:

1. ijazah SarjanajDiploma IV di bidang administrasi fiskal, akuntansi, perpajakan, dan/ a


tau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi; atau
2. ijazah Sarjana/Diploma IV dari perguruan tinggi yang terakredi tasi selain dalam bidang
se bagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilengkapi dengan salah satu bukti
tambahan sebagai berikut:

88
a. ijazah Diploma III perpajakan dan/ a tau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi
yang terakreditasi;
b. brevet perpajakan dari instansi atau lembaga penyelenggara brevet perpajakan;
c. sertifikat keahlian kepabeanan dan cukai dari instansi atau lembaga pendidikan dan
pelatihan kepabeanan dan cukai; atau
d. surat atau dokumen yang menunjukkan pengalaman pernah bekerja pada instansi
pemerin tah di bidang teknis perpajakan dan/ a tau kepabeanan dan cukai.

c. T idak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidan g


perpajakan atau tindak pidana l ain d ib idang keuangan negara

Apabila penerima kuasa tidak memenuhi syarat ini, Dirjen Pajak dapat melarang yang
bersangkutan untuk melaksanakan hak dan kewajiban WP pemberi kuasa termasuk untuk
mendampingi dan mewakili WP dalam pengajuan banding.

Hakim Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk menanyakan pemenuhan syarat-


syarat seorang kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili WP Pemohon Banding. Jika
penerima kuasa tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka pengajuan banding
yang diajukan oleh kuasa hukum WP Pemohon Banding dianggap tidak memenuhi
ketentuan formal dan tidak dapat diproses lebih lanjut (ditolak)

89
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

A. DASAR HUKUM

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang KUP Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP);
2. Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(UU PPSP);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang
Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 24/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor:
85/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan
Pelaksanaan Surat Paksa;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 68/PMK.03/2012 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Nomor 539/KMK.03./2002 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan;
6. SE-21/PJ.7/1996 tanggal 30 Desember 1996 tentang Penagihan dan Pencegahan
Daluwarsa;
7. Surat Edaran Bersama Dirjen Nomor SE-214/PJ./1999 tentang Lelang Eksekusi Pajak.

B. PENG ERT IAN

Dalam Pasal 1 angka 9 UU PPSP jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.
24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar
Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atay
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat
Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita.

Dengan dilakukannya tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa, maka kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak berada posisi strategis
yang akan meningkatkan penerimaan pajak. Jadi Wajib Pajak sebenarnya memiliki pilihan,
membayar hutang pajaknya atau ditagih secara paksa. Ini pun kalau Ditjen Pajak mau
melakukannya.

Terlepas dari sistem se/f assessment yang berlaku sekarang ini, maka dengan dilakukannya
penagihan pajak secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud /law
enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang dapat menimbulkan aspek psikologis bagi
Wajib Pajak. Artinya penagihan pajak merupakan pengingat bagi Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak agar segera melunasi utang pajaknya.

90
Pajak yang masih harus dibayar oleh Penanggung Pajak termasuk sanksi administrasi
berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau
surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat
Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT), Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKT), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding,

C. PELAKSANAAN PENAGIHAN

Batas waktu pembayaran pajak terhutang berikut denda dan administrasi berupa bunga
yang ditetapkan dalam SKPKB, SKPKBT, STP, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding adalah satu bulan sejak terbitnya surat tersebut Bila sampai dengan satu bulan
sejak terbitnya surat-surat tersebut Wajib Pajak belum melunasi hutang pajaknya, maka DJP
akan memulai proses penagihan pajak.

Berdasarkan UU PPSP , terdapat dua cara penagihan pajak yang berhubungan dengan
tenggang waktu penagihan. Cara pertama adalah penagihan pajak yang dilakukan dengan
Penagihan Seketika dan Sekaligus. Cara yang kedua adalah dengan melakukan penagihan
pajak yang diberikan tenggang waktu tertentu. Meski demikian, kedua cara penagihan
tersebut mempunyai kesamaan sifat, yaitu dapat memaksa Penanggung Pajak untuk
melunasi pajak yang terhutang.

D. PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS

Penagihan Seketika dan Sekaligus merupakan tindakan Penagihan Pajak yang


dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak,
dan Tahun Pajak. Penagihan tersebut dilakukan oleh Pejabat apabila:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat


untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya,
atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

91
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
tanda kepailitan.

Penagihan Seketika dan Sekaligus dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus yang sekurang-kurangnya memuat:

 nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
 besarnya utang pajak;
 perintah untuk membayar; dan
 saat pelunasan pajak (lihat Pasal 6 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2000).

Jangka waktu penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran, tanpa didahului Surat Teguran, sebelum jangka waktu 21
(dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan, atau sebelum penerbitan Surat Paksa.

Implikasi dari Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah adanya tindakan pencegahan
terhadap Penanggung Pajak. Pencegahan tersebut berupa larangan yang bersifat
sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik
Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku

E. PENAGIHAN PAJAK DENGAN TENGGANG WAKTU TERTENTU

Penagihan Pajak yang diberikan tenggang waktu tertentu dilakukan melalui beberapa
tahapan. Tahapan tersebut dimulai dari teguran atau peringatan yang diterbitkan melalui
Surat Teguran, melakukan tindakan memaksa dengan menerbitkan Surat Paksa yang
kemudian akan berlanjut kepada penyitaan yang pelaksanaannya dilakukan melalui
penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Bila ternyata Penaggung Pajak
belum juga melunasi hutang pajaknya, maka harta yang disita tersebut akan didaftarkan
untuk dijual dengan cara dilelang dalam Pengumuman Lelang.

Penanggung Pajak dalam pengertian tersebut adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan.

F. SURAT TEGURAN

Surat Teguran merupakan salah satu produk hukum penagihan pajak. Artinya Surat Teguran
merupakan surat peringatan yang fungsinya mengingatkan Penanggung Pajak agar segera
melunasi pajak yang terhutang dalam dalam SKPKB, SKPKBT, atau STP.

Surat ini diterbitkan oleh Pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh Pejabat tersebut setelah 7
(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran seperti tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,

92
atau STP tersebut Pengecualian penerbitan Surat Teguran diberikan kepada Penanggung
Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.

Apabila Utang Pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak telah lewat waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran, maka Pejabat segera menerbitkan Surat
Paksa (SP);

Namun Penanggung Pajak masih mempunyai hak atas penerbitan Surat Teguran yang
dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. Caranya adalah dengan
mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat
Teguran atau Surat Peringatan tersebut

Setelah itu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya
permohonan tersebut, Pejabat harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
Apabila dalam jangka waktu tersebut Pejabat tidak memberikan keputusan, maka
permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk
sementara waktu.

G. SURAT PAKSA

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak (lihat
Pasal 1 angka 12 UU PPSP). Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang
dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus;
atau
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan
Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan tersebut dituangkan dalam Berita
Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa,
nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.

Terhadap orang pribadi, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada:


 Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan
 orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai;

93
 salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi; atau
 para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi.

Untuk Penanggung Pajak yang berbentuk badan Surat Paksa diberitahukan kepada:
 pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di
tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain yang memungkinkan; atau
 pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan
apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang di atas.

Bila Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim
Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau
dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan, atau likuidator. Bila Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan
surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, maka Surat
Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa tersebut

Jangka waktu Surat Paksa adalah 2 x 24 jam, jika dalam jangka waktu tersebut sudah lewat
dan Penanggung Pajak tetap tidak melunasi utang pajaknya, maka Pejabat segera
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).

H. SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN PENYITAAN (SPMP)

Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undartgan yang berlaku (lihat Pasal 1 angka 14 UU PPSP). Penyitaan dilakukan terhadap
Objek Sita yaitu barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah
relai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak.

Barang tersebut berbentuk benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita baik yang
tersimpan di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk
yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan
utang tertentu berupa (fihat Pasal 14 ayat 1 UU PPSP):

a. Barang bergerak, Barang bergerak tersebut termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang

94
dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan
penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atauBarang tidak bergerak
b. Barang tidak bergerak, barang tidak bergerak tersebut termasuk tanah, bangunan, dan
kapal dengan isi kotor tertentu. Dalam Surat Edaran Bersama Dirjen Nomor SE-
214/PJ./1999 tentang Lelang Eksekusi Pajak dinyatakan bahwa kapal dengan isi kotor 20
meter kubik atau lebih termasuk kategori barang tidak tidak bergerak.

Terhadap Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik
pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali
dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan. Untuk Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas
barang mtiSc perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung
jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal
mereka maupun di tempat lain. Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang
bergerak kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang
tidak bergerak. Urutan barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita
ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya
penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya.

Selain itu, Jurusita Pajak juga mempunyai wewenang untuk melaksanakan penyitaan
terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. Penyitaan terhadap
harta kekayaan tersebut dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.

Jangka waktu Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) adalah 14 (empat belas) hari
sejak tanggal pelaksanaan penyitaan. Apabila Utang Pajak dan biaya penagihan yang tidak
dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat jangka waktu yang ditentukan, maka Pejabat
akan segera melaksanakan pengumuman lelang atas objek sita. Bila objek sita tersebut
tersimpan pada bank maka Pejabat akan segera meminta kepada pimpinan untuk
memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas
negara atau kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.

I. LELANG

Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga
secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli
(lihat Pasal 1 angka 17 UU PPSP). Lelang merupakan implikasi apabila penanggung
Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan sampai dengan 14 (empat belas)
hari sejak pelaksanaan penyitaan. Namun Penanggung Pajak masih diberikan
kesempatan untuk melakukan pelunasan atas utang pajak dan biaya penagihan sampai
dengan 14 (empat belas) hari lagi dalam pengumuman lelang. Akan tetapi bila jangka
waktu pengumuman lelang tersebut telah lewat, maka Pejabat dapat melakukan
penjualan barang yang telah disita melalui kantor lelang.

95
Umumnya barang sitaan dari Penggung Pajak dapat dilelang kecuali (lihat Pasal 2 PP
No. 136 Tahun 2000):

1. uang tunai;
2. surat-surat berharga seperti kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu; obligasi; saham; piutang; penyertaan modal; dan surat
berharga lainnya;
3. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.

Tabel 1

Cara Penagihan, Waktu Penerbitan, dan Impllikasi

No Cara Penagihan Waktu Penerbitan Implikasi

1 Penagihan Seketika dan Sebelum tanggal jatuh Memaksa Penanggung


sekaligus yang dilakukan tempo pembayaran; tanpa Pajak untuk segera
dengan menerbitkan Surat (Sdahuki Surat Teguran; melunasi pajak yang
Perintah Penagihan sebelum jangka waktu 21 terutang dan dilakukan
Seketika dan Sekaligus (dua puluh satu) hari sejak Tindakan pencegahan
Suat Teguran dfterbitkan;
atau sebelum penerbitan
Surat Paksa

2 Penagihan dengan Jangka Dilakukan melalui tahapan Memaksa Penanggung


Waktu Tertentu tahap»i tertentu dengan Pajak untuk segera
surat penagihan melunasi pajak yang
terutang

A Surat Teguran 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh Diberikan jangka waktu 21
tempo pembayaran seperd (dua puluh satu) hari
tercantum dalam SKPKB, kepada Penanggung
SKPKBT, atau STP telah Pajak untuk segera
lewat melunasi Utanq Pajaknya

B Surat Paksa 21 (dua puluh satu) hari Dftierton jangka waktu 2 X


sejak diterbitkannya Surat 24 jam kepada
Teguran telah lewat Penanggung Bajak untuk
segera melunasi Utang
Pajak dan biaya

96
penagihan pajak

C Surat Perintah 2 X 24 jam sejak Diberikan jangka waktu 14


diterbitkannya Surat Paksa (empat belas) hari kepada
Melaksanakan telah lewat Penanggung Pajak untuk
segera melunasi Utang
Penyitaan Pajaknya dan biaya
penagihan pajak

d Pengumuman Lelang 14 (empat belas) hari sejak Diberikan jangka waktu 14


diterbitkannya Surat Perintah (empat belas) hari kepada
Melaksanakan Penyitaan Penanggung Pajak untuk
telah segera melunasi Utang
Pajaknya dan biaya
penagihan pajak

e Lelang 14 (empat belas) hari sejak Pejabat dapat segera


diterbitkannya Pengumuman menggunakan, menjual
Lelang telah lewat dan atau
memindahbukukan
barang-barang
Penanggung Pajak yang
disita sebagai pelunasan
biaya penagihan pajak dan
utang pajak

J. TINDAK PENCEGAHAN

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak


tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan hanya dapat
dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-
kurangnya sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya
dalam melunasi utang pajak.

Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penagihan pajak. Namun, agar
pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan pencegahan
sebagai upaya penagihan pajak diberikan syarat-syarat, baik yang bersifat kuantitatif,
yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun yang bersifat kualitatif,
yakni diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak sehingga pencegahan hanya
dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati.

97
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan
oleh Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan Menteri
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian yang, antara lain, menentukan bahwa yang berwenang dan
bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri sepanjang menyangkut urusan
piutang negara.

Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk
selama-lamanya 6 (enam) bidan. Keputusan pencegahan disampaikan kepada
Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri Kehakiman, Pejabat yang
memohon pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan, dan Kepala Daerah
setempat. Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai
Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris.

Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak


dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena
kedaluwarsa. Dengan demikian, pencegahan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan
hapusnya utang pajak. Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah
dilakukan pencegahan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dapat
dilaksanakan.

K. TINDAK PENYANDERAAN (G I J Z E L I N G )

Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak


dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan
terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi
utang pajak. Singkatnya, Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak
yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung
Pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu.

Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan


dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang
bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun
syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam
melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat
Paksa. Jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,- merupakan
syarat kuantitatif dan sekaligus menunjukkan bahwa penyanderaan tidak ditujukan
kepada Penanggung Pajak yang berpenghasilan kecil.

98
Diragukan itikad baiknya untuk melunasi utang pajaknya, misalnya adalah bila
Penanggung Pajak diduga menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak ada atau
tidak cukup barang yang disita untuk jaminan pelunasan utang pajak, atau terdapat
dugaan yang kuat bahwa Penanggung Pajak akan melarikan diri.

Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan


yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I. Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri atau Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangat
selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, Pejabat tidak boleh menerbitkan surat Perintah
Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I.

Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-
lamanya 6 (enam) bulan. Suat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:

a. identitas Penanggung Pajak;


b. alasan penyanderaan;
c. izin penyanderaan;
d. lamanya penyanderaan; dan
e. tempat penyanderaan.

Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah,
atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum. Besarnya
jumlah utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 29 dapat diubah
dengan Peraturan Pemerintah.

Penanggung Pajak yang disandera dilepas:

a. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah
terpenuhi;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Sebelum Penanggung Pajak dilepas, Pejabat segera memberitahukan secara tertulis


kepada kepala tempat penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah
Penyanderaan.

Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa.
Dengan demikian, penyanderaan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang
pajak. Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan
penyanderaan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dilaksanakan.

99
Ketentuan mengenai tempat penyanderaan, tata cara penyanderaan, rehabilitasi nama baik
Penanggung Pajak, dan pemberian ganti rugi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelum
tempat penyanderaan ditentukan dengan Peraturan Pemerintah, Penanggung Pajak yang
disandera dititipkan sementara di rumah tahanan negara.

L. BIAYA PENAGIHAN

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, biaya penagihan merupakan salah satu komponen
yang harus dilunasi WP atas tindak penagihan yang dilakukan otoritas pajak. Dalam
ketentuan Pasal 1 angka 13 UU PPSP, biaya penagihan pajak didefinisikan sebagai "biaya
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang,
Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak."

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui biaya penagihan mulai diperhitungkan saat WP
menerima surat paksa. Sehingga, sejak surat tersebut diterbitkan sampai pelaksanaan
lelang, tindak penagihan dilakukan untuk menagih utang pajak dan biaya penagihan.

Namun, walaupun baru ditagih sejak surat paksa diterbitkan, biaya penagihan tidak bisa
diremehkan begitu saja oleh WP. Sekalipun WP telah melunasi utang pajaknya pada saat
barang sitaan akan dilelang, namun ternyata tidak diikuti oleh pelunasan biaya penagihan,
mengacu pada memori penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU PPSP penjualan secara lelang atas
objek sita tetap dapat dilakukan. Pentingnya pelunasan biaya penagihan disebutkan pula
dalam Pasal 28 ayat (1) UU PPSP yang menegaskan bahwa :

"Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya


penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar
utang pajak."

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2003, biaya penagihan merupakan
salah satu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diijinkan untuk dipungut
Direktorat Jenderal Pajak. PP tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan
Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 (UU PNBP) yang menyatakan
bahwa: "Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah."

Besaran tarif PNBP dalam ketentuan PP Nomor 44 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

1. Biaya penagihan pada setiap penyampaian surat paksa adalah sebesar Rp 50.000,-;
2. Biaya penagihan pada setiap penyampaian SPMP adalah sebesar Rp 100.000,-;
3. Penerimaan dari pengumuman lelang, pengumuman pembatalan lelang dan jasa penilai
dalam rangka penagihan dengan surat paksa ditetapkan sesuai dengan tarif yang
berlaku pada media setempat dan biaya jasa penilai yang bedaku;

100
4. Penerimaan dari penjualan barang sitaan melalui lelang dalam rangka tambahan biaya
penagihan pajak dtetapkan sebesar 1% dari pokok lelang penjualan;
5. Penerimaan dari penjualan barang sitaan tidak melalui lelang dalam rangka tambahan
biaya penagihan pajak dtetapkan sebesar 1% dari penjualan.

M. HAK MENDAHULU

Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak. Hak mendahulu ini meliputi:

• Pokok pajak
• Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan
• Biaya penagihan pajak.

Berdasarkan pasal 1 angka 25 dan Pasal 32 (ayat 4) UU KUP penanggung pajak adalah
orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penanggung pajak ini juga termasuk wakil yang
menjalankan hak dan kewajiban WP menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan orang-orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang menentukan kebijaksanaan dan
atau mengambil keperluan dalam kegiatan perusahaan, walau tidak tercantum dalam
susunan pengurus dalam akte perusahaan, termasuk komisaris dan pemegang saham.

Sedangkan yang dikecualikan dari hak mendahulu ialah:

a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang


suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud
c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.

Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan STP,
SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan
secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.

N. HAK-HAK WP DALAM TINDAK PENAGIHAN

Demi penegakkan keadilan dan memberi perlindungan hukum kepada WP, ketentuan
perpajakan di negara kita mengakomodir hak-hak dalam tindak penagihan pajak. Tentunya
pemberian hak tersebut semestinya diberikan kepada WP yang beritikad baik untuk secara

101
responsif mengakui utang pajak tersebut. Hak-hak WP dalam tindak penagihan pajak adalah
sebagai berikut:

1. Penangguhan Tindak Penagihan Pajak

Penangguhan tindak penagihan pajak merupakan salah satu hak WP agar otoritas pajak
untuk sementara waktu menunda tindak penagihan sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (4) UU KUP yang menyatakan bahwa:

"Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan


persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk
kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12
(dua belas) buian, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak."

Walaupun ketentuan di atas tidak secara langsung menyebutkan utang pajak yang
ditagih dengan ketetapan pajak, dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
80/KMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
Nomor: 242/PMK.03/2014, dinyatakan bahwa apabila WP mengalami kesulitan likuiditas
atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga tidak dapat memenuhi
kewajiban pajak pada waktunya, maka WP tersebut dapat mengajukan permohonan
secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dalam
STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
serta Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah serta
PPh Pasal 29, kepada Dirjen Pajak (dalam hal ini Kepala KPP tempat WP terdaftar).

Permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, harus diajukan


secara tertulis paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum saat jatuh tempo pembayaran
utang pajak berakhir. Kecuali bila WP mengalami keadaan di luar kekuasaannya
sehingga dapat diajukan setelah batas waktu tersebut, disertai alasan dan jumlah
pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda dan dilampiri dengan bukti-bukti
untuk menguatkan alasan permohonannya.

Selain membuat permohonan, WP yang ingin mengangsur atau menunda pembayaran


pajak harus bersedia memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan
pertimbangan Kepala KPP, kecuali apabila pejabat tersebut menganggapnya tidak perlu
dan WP tidak mempunyai tunggakan pajak yang telah jatuh tempo (lihat Pasal 22 PMK
No.242/PMK.03/2014

Bentuk jaminan bisa berupa bank garansi, perhiasan, kendaraan bermotor, gadai dari
barang bergerak lainnya, penyerahan hak milik secara kepercayaan, hipotik,
penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposito.

Pemberian jaminan dari WP tersebut merupakan cerminan dari prinsip kehati-hatian.


Sehingga persetujuan untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak yang

102
diberikan maksimal 12 bulan tersebut, benar-benar ditujukan kepada WP yang memang
mengalami kesulitan likuiditas.

2. Penghapusan Piutang Pajak

Selain memberikan fasilitas penangguhan penagihan pajak untuk sementara waktu,


undang- undang perpajakan di negara kita pun memberikan fasilitas untuk tidak
melakukan tindak penagihan yang diberikan secara spesifik kepada WP dengan kondisi
tertentu. Dengan kata lain, negara bisa menghapuskan piutang pajak tersebut sesuai
ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UU KUP yang menyatakan bahwa:

"Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan


diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

Dalam penjelasan ketentuan di atas disebutkan bahwa Menteri Keuangan akan mengatur
tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat
ditagih lagi antara lain karena:

1. WP telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
2. WP badan yang telah selesai proses pailitnya;
3. Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Subjek Pajak; dan
4. Hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa.

Selanjutnya, penghapusan piutang pajak menurut ketentuan di atas diatur juga dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 539/KMK.03./2002. Dalam pasal 1 ketentuan
tersebut dinyatakan bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan adalah:

1. Piutang Pajak yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT),
Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT), STP,
SKPKB, SKPKBT, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (STB) dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah; atau

2. Piutang pajak WP orang pribadi yang menurut data administrasi KPP atau KPP PBB
yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
a. WP dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia
dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli
waris tidak dapat ditemukan;
b. WP dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan surat
paksa kepada Penanggung Pajak melalui pemerintah daerah setempat;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau

103
e. Sebab lain sesuai hasil penelitian yang menggambarkan keadaan WP atau piutang
pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besaran piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapus

3. Piutang pajak Wajib Pajak badan yang menurut data administrasi KPP atau KPP PBB
tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
a. WP badan bubar, likuidasi atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang
saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan
atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan lagi;
b. WP badan dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan surat
paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan
niaga atau pemerintah daerah setempat, baik secara langsung maupun dengan
menempelkan pada papan pengumuman atau media massa;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
e. Sebab lain sesuai hasil penelitian yang menggambarkan keadaan WP atau piutang
pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besaran piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapus.

3. Penagihan Pajak Sudah Daluwarsa


Berdasarkan penjelasan Pasal 24 UU KUP dan peraturan pelaksananya di atas, dengan
jelas dinyatakan bahwa daluwarsanya penagihan pajak merupakan salah satu alasan
dihapuskannya piutang pajak oleh negara. Dengan daluwarsanya penagihan pajak
tersebut, maka berwenang otoritas pajak untuk melaksanakan penagihan menjadi gugur,
seperti dinyatakan dalam Pasal 22 UU KUP dan Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun
2000 (selanjutnya disebut UU Penagihan dengan Surat Paksa).
Dala m Pa sal 41 ayat (1 ) UU Pen agihan Dengan Surat Pak sa
d i n y a t a k a n b a h w a : "Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah daiuwarsa
sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah."

Kemudian, dalam ketentuan Pasal 22 KUP, dinyatakan bahwa:

" Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.”

Namun dalam memori penjelasan ketentuan di atas, daluwarsa penagihan tersebut


ternyata tidak otomatis terjadi. Dengan beberapa kondisi, daluwarsa penagihan pajak
menurut ketentuan Pasal 22 UU KUP tersebut bisa tertangguh. Daluwarsa penagihan
pajak bisa melampaui jangka waktu 5 tahun bila WP mengalami kondisi sebagai berikut:

104
1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa

Bila dalam perkembangannya WP menerima dua surat tersebut, maka daluwarsa


penagihan tidak lagi dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, melainkan dihitung sejak tanggal
penyampaian surat paksa tersebut;

2. Mengakui utang pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung

Yang dimaksud dengan pengakuan secara langsung menurut Drs. Moedjiono


Kartoprandjono adalah pengakuan "yang dilakukan dengan kata-kata". Dalam hal ini
WP mengakui utang pajaknya dengan suatu pernyataan. Pernyataan pengakuan yang
kuat adalah dalam bentuk tertulis karena lebih mudah (kuat) dalam pembuktiannya.
Sementara itu, penangguhan daiuwarsa penagihan secara tidak langsung adalah, WP
telah mengakui utang pajak dengan cara:

a. Mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak


sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Daiuwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak
diterima oleh Dirjen Pajak.
b. Mengajukan permohonan keberatan. Daiuwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
surat keberatan diterima Dirjen Pajak.
c. Melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Daiuwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

3. Diterbitkan SKPKB atau SKPKBT

Yang dimaksud dengan penerbitan SKPKB atau SKPKBT adalah SKP yang diterbitkan
terhadap WP yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Daiuwarsa
penagihan tidak lagi dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, melainkan sejak tanggal penerbitan
ketetapan pajak tersebuti

Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU KUP di atas dapat disimpulkan bahwa tindak


penagihan dapat dilakukan melampaui jangka waktu 5 tahun. Namun, bila dalam
jangka waktu 5 tahun tersebut kepada WP tidak pernah diterbitkan surat teguran dan
surat paksa, WP tidak pernah mengakui adanya utang pajak baik secara langsung
maupun tidak langsung serta kepada WP tidak pernah diterbitkan SKPKB atau
SKPKBT, maka penagihan pajak atas WP tersebut semestinya tidak bisa dilanjutkan.

4. Jangka Waktu Tindak Penagihan

Walaupun tidak begitu panjang, jangka waktu tindak penagihan disadari atau tidak
sebenarnya merupakan salah satu hak WP untuk menyikapi tindak penagihan yang
dilakukan otoritas pajak.

105
5. Mengajukan Permohonan Pembetulan atau Penggantian

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, WP
dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada pejabat terhadap:

1. Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis,
2. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
3. Surat Paksa,
4. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
5. Surat Perintah Penyanderaan,
6. Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan atau kekeliruan.

Yang dimaksud dengan pembetulan menurut penjelasan pasal tersebut adalah,


pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, NPWP,
jumlah utang pajak atau keterangan lainnya yang tercantum dalam surat-surat di atas.
Sementara itu, yang dimaksud dengan pengajuan permohonan penggantian surat-surat
tersebut adalah, adanya kehilangan maupun kerusakan atau karena alasan lain.
Penggantian surat-surat di atas diberikan dalam bentuk salinan atau turunan yang
ditandatangani oleh pejabat.

Atas pengajuan pembetulan dan penggantian tersebut, pejabat dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan harus memberi keputusan.
Bila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut pejabat tidak memberikan keputusan,
permohonan WP dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu.

Pengertian ditunda untuk sementara waktu adalah, ditunda hingga pejabat membetulkan
kesalahannya atau mengganti dokumen penagihan yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan atau kekeliruan.

6. Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak

Pengajuan gugatan merupakan salah satu hak WP yang tidak menyetujui tindak
penagihan. Mengacu pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU KUP, WP dapat
mengajukan gugatan kepada badan peradilan pajak terhadap pelaksanaan surat paksa,
surat perintah melaksanakan penyitaan atau pengumuman lelang.

Untuk melakukan gugatan, WP diwajibkan untuk mengajukan permohonan dalam jangka


waktu 14 (empat belas) hari sejak surat paksa, Surat Perintah Menyatakan Penyitaan,
atau Pengumuman lelang dilaksanakan.. Dengan demikian, bila dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari tersebut WP tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat
dinyatakan gugur (lihat memori penjelasan Pasal 37 ayat (2) UU Penagihan dengan Surat
Paksa).

Namun, walaupun WP dapat memenuhi jangka waktu 14 (empat belas) hari tersebut,
menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

106
Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) dan Pasal 41 ayat (3) UU
Penagihan dengan Surat Paksa, proses gugatan yang diajukan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan lainnya.
Dengan demikian, bila WP mengajukan gugatan karena tidak menyetujui penerbitan surat
paksa, tindak penagihan berupa penyitaan sampai dengan lelang tetap dilanjutkan.

Tindak penagihan bisa dihentikan untuk sementara bila dalam pengajuan gugatan WP
sekaligus mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak
ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak berjalan, sampai ada putusan Pengadilan
Pajak. Permohonan tersebut dapat diputus terlebih dahulu (putusan seia) dari pokok
sengketanya. Namun, putusan sela yang dapat dikabulkan Majelis hanya apabila terdapat
keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan (lihat Pasal 43
ayat (4) UU Pengadilan Pajak). Bila gugatan dikabulkan, maka WP yang mengajukan
berhak atas pemulihan nama baik dan ganti rugi maksimal Rp 5.000.000,-.

7. Gugatan ke Pengadilan Negeri

Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri hanya dilakukan terhadap WP yang disandera,


yaitu WP yang yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp
100.000.000,- dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Pengajuan gugatan oleh WP tersebut hanya dapat dilakukan selama masa penyanderaan
masih berjalan. Bila WP tidak mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
setelah masa penyanderaan berakhir, maka hak WP menjadi gugur.Namun, sama halnya
dengan gugatan ke Pengadilan Pajak, atas gugatan yang dilakukan oleh WP yang
disandera tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan menghentikan tindak
penagihan pajak (lihat Pasal 35 UU Penagihan dengan Surat Paksa).

Bila gugatan WP yang disandera tersebut dikabulkan dan putusan pengadilan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, WP yang disandera dapat memohon rehabilitasi
nama baik dan ganti rugi sebesar Rp 100.000,- setiap hari selama masa penyanderaan
yang telah dijalaninya.

107
Skema Penagihan Pajak dan Tindakan yang dilakukan WP atas hasil pemeriksaan

Gambar 4. Skema Penagihan Pajak dan Tindakan yang dilakukan WP atas hasil pemeriksaan

Keterangan:

• Gambar di atas disarikan dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
19/2000 beserta peraturan pelaksanaannya.
• Jangka waktu yang tercantum dalam gambar ini adalah jangka waktu maksimal (paling
lambat).

108

Anda mungkin juga menyukai