Anda di halaman 1dari 19

KONSEP PERNIKAHAN DAN KHITBAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah: Fiqh Mawaris dan Munakahat

Dosen Pengampu: Widodo Hami, M.Ag.

Oleh:

Kelompok 7

1. Lasta Mursala (2119086)


2. Nur Indah Laely (2119140)
3. Via Fareha Mu’thi (2119182)

Kelas F
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., yang selalu melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“KONSEP PERNIKAHAN DAN KHITBAH”, tepat pada waktunya. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris dan Munakahat. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang konsep
pernikahan dan khitbah.

Terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam membantu
menyusun makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Widodo Hami, M. Ag. selaku dosen mata kuliah Fiqh Mawaris dan Munakahat
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Penulis menyadari karya tulis ini masih banyak kekurangan dan


kelemahannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak. Sebagai akhir kata, penulis berharap
semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis khususnya para pembaca
umumnya.

Pekalongan, 8 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I .......................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2

BAB II ......................................................................................................................3

PEMBAHASAN ......................................................................................................3

A. Definisi Pernikahan .......................................................................................3

B. Tujuan Pernikahan ........................................................................................5

C. Hukum Pernikahan ........................................................................................5

D. Definisi Khitbah ............................................................................................9

BAB III ..................................................................................................................14

PENUTUP ..............................................................................................................14

A. Kesimpulan .................................................................................................14

B. Saran............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad


yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan menurut ilmu fiqih,
di sebut dengan istilah nikah yang mengandung dua arti, yaitu (1) arti
menurut bahasa adalah berkumpul atau besetubuh, dan (2) arti menurut
hukum adalah akad atau perjanjian dengan lafal tertentu antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami
isteri.

Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan


manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi
kapanpun. Adanya syariat menikah bukanlah hanya sebatas sebagai
pelampiasan hawa nafsu belaka. Akan tetapi, pernikahan adalah suatu hal
yang dilakukan anatara Kaum Adam dan Kaum Hawa untuk membentuk
swbuag kehidupan keluarga yang penuh ketenangan, rasa cinta, dan
kelembutan. Dimana puncaknya adalah mencapai kebahagiaan di akhirat
dan bersama-sama memasuki jannah Nya. Selain itu, pernikahan dapat
menumbuhkan rasa tanggung jawab yang dapat mendorong diri seseorang
untuk semakin bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah. Seluruh umat
Islam juga telah mencapai kata sepakat bahwa menikah adalah syariat
yang ditetapkan dalam agama Islam. bahkan banyak ulama’ yang
menyebutkan bahwa syariat pernikahan telah ada sejak zaman Nabi Adam
as. dan tetap harus dijalankan oleh umat manusia meski mereka banyak
mengingkari agama.

Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk


melangsungkan perkawinan. Ulama fiqih mendefinisikannya dengan
menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk

1
mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Dalam Islam mengajarkan sebelum terjadinya akad nikah, mempelai
lakilaki dan perempuan saling mengenal. Mengenal di sini maksudnya
bukan sekedar mengetahui tetapi juga memahami dan mengerti akan
kepribadian masing-masing. Hal ini dipandang penting karena kedua
mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan
membentuk keluarga yang semula di maksudkan tanpa adanya perceraian.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa peminangan adalah langkah
awal untuk menuju sebuah perjodohan antara laki-laki dan perempuan.
Para ulama sebenarnya menyatakan tidak wajib melakukan peminangan.

Berdasarkan uraian diatas tentu saja akan menimbulkan


pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan dan khitbah. Oleh karena itu
penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana konsep
pernikahan dan khitbah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi pernikahan?

2. Apa tujuan pernikahan?

3. Bagaimana hukum pernikahan

4. Bagaimana definisi khitbah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi pernikahan.

2. Untuk mengetahui tujuan pernikahan.

3. Untuk mengetahui hukum pernikahan.

4. Untuk mengetahui definisi khitbah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pernikahan

Diantara sunatullah dan kalamullah yang mudah disaksikan,


dibuktikan, dan dirasakan kebenarannya terkait keberlangsungan hidup
dan kehidupan anak manusia termasuk makhluk-makhluk ciptaan Allah di
muka bumi berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan ialah kehidupannya
secara berpasang-pasangan (al-azwaj). Dengan kalimat lain, kehidupan
berpasang-pasangan bagi makhluk Allah terutama manusia dengan jenis
kelaminnya yang berbeda, laki-laki dan perempuan merupakan sunatullah
yang juga termaktub melalui kalam (firman-Nya). Kehidupan berpasang-
pasangan itu terjadi, selain untuk memenuhi kebutuhan biologis (seks) di
satu sisi juga dalam rangka keberlangsungan dan kelestarian keturunan
(reproduksi) melalui instuisi pernikahan tersebut.1

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi


seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun
redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya
dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami
istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan
ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang
mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang
lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’. 2 Maha benar
Allah dalam firman-Nya:

1
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama Di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati,
2015), hlm. 1-2.

2
Agustina Nurhayati, “Pernikahan Dalam Perspektif AlQuran”, (Lampung: Jurnal Asas,
Vol. 3, no. 1, 2011), hlm. 100.

3
َّ َ‫ي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَّ ْف ٍس َّوا ِحدَةٍ َّو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬
‫ث ِم ْن ُه َما‬ ُ ‫ٰۤيـاَيُّ َها النَّا‬
ْ ‫س اتَّقُ ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ‬
‫سا ٓ َءلُ ْونَ بِ ٖه َوا ًْلَ ْر َحا َم ۚ ا َِّن ه‬
َ‫ّٰللاَ َكا ن‬ ْ ‫ّٰللاَ الَّذ‬
َ َ ‫ِي ت‬ َ ِ‫ِر َجا اًل َكثِي اْرا َّون‬
‫سا ٓ اء ۚ َوا تَّقُوا ه‬
‫ع َل ْي ُك ْم َرقِ ْيباا‬
َ

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan


kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya
(Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu"
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 1).3

Nikah menurut bahasa bermakna penyatuan, perkumpulan, atau


dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Al-fara’ mengatakan
“An-nukh” merupakan sebutan yang digunakan untuk kemaluan. Al-azhari
mengatakan, pengertian nikah dalam akar kata bahasa Arab berarti
hubungan badan dan ia juga mengatakan bahwa berpasangan dapat
diartikan sebagai nikah. Sedangkan Al-farisi mengatakan nikah dapat
berarti akad, karena akan merupakan jalan untuk terjalinnya antara kedua
calon melalui kesepakatan, namun dapat berarti hubungan badan jika
seseorang mengatakan ia menikahi istrinya. Adapun nikah menurut syara’
yaitu akad yang membolehkan laki-laki berhubungan kelamin dengan
dengan perempuan. Pelaksanaan akad nikah akan di anggap sah apabila di
dalamnya menggunakan tuturan, ini merupakan kesepakatan para ulama
madzhab.4

3
QS. An-Nisa’ (4): 1.

4
Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama, (Tangerang:
PT Agromedia Pustaka, 2020), hlm. 21.

4
B. Tujuan Pernikahan
Orang yang hendak menikah seharusnya tidak hanya bertujuan
untuk menunaikan syahwatnya semata. Namun sebaiknya karena tujuan-
tujuan yang baik, sebagai berikut:
Pertama, melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dalam sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda! siapa di antara kalian yang telah
mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah....”
Kedua, memperbanyak keturunan umat Islam, Karena Nabi
Muahmmad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur
karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah
kalian di hadapan umat umat yang lain”
Ketiga, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya,
menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram.
Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan
memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. ‘Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka....’.”(QS. An-Nur ayat 30-31)5

C. Hukum Pernikahan

Hukum pernikahan, yaitu sebuah hukum yang mengatur hubungan


antara manusia dengan sesamannya yang menyangkut adanya penyaluran
kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan
erat dengan akibat dari pernikahan tersebut. Dalam kompilasi hukum islam
juga menjelaskan tentang adanya hukum pernikahan bahwa pernikahan

5
Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”, (Bandung: Jurnal Pendidikan Agama
Islam-Ta’lim, Vol. 1, No.2, Februari 2016), hlm. 191-192.

5
atau akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah
dan dalam melaksanakannya merupakan sebuah ibadah.
Di dalam Al-Qur’an juga telah banyak dijelaskan bab tentang
pernikahan, yang menjelaskan bahwa semua makhluk hidup diciptakan
untuk berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan, termasuk didalamnya
adalah manusia. Pengaturan manusia dalam hidup berpasang-pasangan
tersebut melalui jenjang pernikahan atau perkawinan yang ketentuanya
dirumuskan dalam aturan-aturan tersendiri. Dasar hukum perkawinan ini
disusun berdasarkan sumber hukum Islam, yakni:
Menurut Al-Qur’an:
ْ َ‫ّٰللاُ ِم ْن ف‬
‫ض ِل ٖه‬ ‫َوا َ ْن ِك ُحوا ْاًلَ َيا مى ِم ْن ُك ْم َوا ل ه‬
‫ص ِل ِحيْنَ ِم ْن ِع َبا ِد ُك ْم َواِ َمآئِ ُك ْم ۚ ا ِْن يَّ ُك ْونُ ْوا فُقَ َرآ َء يُ ْغنِ ِه ُم ه‬
‫ۚ َوا هّٰللُ َوا ِس ٌع َع ِل ْي ٌم‬

Artinya: "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara


kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui." (QS. An-Nŭr (24): 32.6
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan
dalam hukum Islam diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadiś.
Perkawinan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung kepada tingkat maslahatnya. Meskipun perkawinan itu asalnya
mubah, namun dapat berubah menurut kondisi dan keadaannya, sbb:
1. Wajib
Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) juga memiliki
nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan
perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan
menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan
kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan
satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu

6
QS. An-Nŭr (24): 32.

6
adalah nikah, menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedang
untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan
nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini.
2. Sunnah (Dianjurkan/al-mustahab)
Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang
mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis,
tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari
kemungkinan melakukan zina memiliki kemampuan dalam bidang
ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat
(tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun
orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara
kehormatan dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual,
khususnya zina.
3. Haram
Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam
rumah tangga. seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri isteri, serta nafsunya pun tidak
mendesak, sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan
terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan
bagi orang tersebut adalah haram. Keharaman nikah ini karena nikah
dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang
menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga.
Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan
menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri,
berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi
haram untuknya.7

7
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakhat
(Khitbah, Nikah, dan Talak), (Jakarta: Amzah,2009).

7
4. Makruh
Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan biaya hidup memberi belanja isteri, meskipun
memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis
(lemah syahwat) meskipun memiliki kemampuan ekonomi (kaya),
walaupun ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai
membahayakan (merugikan) salah satu pihak khususnya istri. Jika
kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan,
maka pernikahannya (tidak disukai) karena pernikahan yang
dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang
disukai oleh salah satu pihak.
5. Mubah (ibahah)
Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang
mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan
ibȃhah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan
oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum
asal dari nikah.8 Menurut Sayyid Sabiq, bagi orang yang tidak
berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum
membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila
tidak nikah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan
istri.9
Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara
pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga
menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan nikah, seperti
mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan,
mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai
kemauan yang kuat. Uraian di atas menggambarkan bahwa dasar
perkawinan menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, sunnah,

8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakhat, (Jakarta: Kencana, 2010).
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, bandung,1980).

8
haram, makruh, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau
mafsadatnya.

D. Definisi Khitbah

1. Pengertian Khitbah
Khitbah dalam bahasa Indonesia berarti peminangan kepada
seorang wanita untuk dijadikan isteri. Kata khitbah berasal dari bahasa
Arab yang merupakan masdar dari kata ‫ خطب‬yang berarti meminang
atau melamar. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan juga
bahwa Khitbah adalah lamaran atau pinangan. Yang dimaksud
meminang tersebut adalah keinginan seorang laki-laki mempersunting
seorang perempuan umtuk dijadikannya isteri, baik perempuan itu
masih gadis ataupun sudah janda. Pinangan dapat dilakukan oleh pihak
laki-laki maupun perempuan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku
atau lingkungan dimana mereka tinggal. Menurut Beni Ahmad Saebani
Meminang juga dapat berarti menyatakan permintaan untuk menikah
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya
dengan perantara seseorang yang di percayai.
Menurut istilah syara’ khitbah adalah tuntutan atau
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan
maksud agar perempuan tersebut mau menikah dengannya, kemudian
laki-laki tersebut datang kepada perempuan yang bersangkutan atau
kepada keluarganya untuk menjelaskan maksud tujuan dan
keadaannya, dilanjutkan dengan berbincang-bincang terkait akad nikah
yang akan dilangsungkan serta segala kebutuhan pelaksanaan akad
nikah dan dari masing-masing pihak.10
Khitbah atau pinangan hanyalah penyampaian keinginan
untuk menikah baik yang dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun dari
pihak perempuan yang dilakukan berdasarkan adat istiadat dan tata
cara yang berlaku dimasyarakat, namun tidak bertentangan dengan

10
Ismail, “Khitbah Menurut Prespektif Hukum Islam”, dalam jurnal Al-Hurriyah, vol.10,
No.2, (juli-Desember,2009).

9
syariat agama Islam itu sendiri. Jika keinginanya disetujui maka
kedudukan persetujuan sama dengan sebuah janji, yaitu janji untuk
melangsungkan pernikahan. Sehingga dapat diambil pemahaman
bahwa laki-laki tersebut belum halal untuk melakukan sesuatu
terhadap perempuan yang dipinangnya, dan status keduanya hanyalah
orang asing (bukan mahram) sampai berlangsungnya akad nikah.11
Khitbah sendiri tidak selesai hanya dengan permintaan
seorang laki-laki kepada wanita yang dipilihnya untuk dijadikan
pasangan hidupnya, dan hatinya tenang karena wanita tersebut akan
menjadi isteri yang cocok untuknya. Akan tetapi, kedua belah pihak
perlu menyempurnakan pinangan dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan, seperti pemberian mahar,
dan hal lain yang sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat tertentu.
2. Tujuan Khitbah
Tujuan dari peminangan memang tidak disebutkan seperti
halnya dalam perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada
peminangan dapat dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam
peminangan. Peminangan itu dilakukan untuk sebagai pemberitahuan
kepada orang lain bahwa laki-laki dan perempuan tersebut telah
melakukan peminangan. Hal ini menandakan bahwa tujuan dari
dilakukannya peminangan itu agar orang lain ataupun masyarakat tahu
telah terjadi peminangan antara laki-laki dan perempuan tersebut,
sehingga apabila ada laki-laki lain yang hendak meminang perempuan
tersebut tahu bahwa si perempuan tersebut sedang dalam pinangan
orang lain.
Tujuan khitbah menurut Slamet abidin adalah memudahkan
jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang serta keluarga
kedua belah pihak. Demi menumbuhkan rasa kasih sayang
(mawaddah) untuk dikemudian hari, momen ini akan digunakan
dengan sebaik mungkin untuk mengenal kedua belah pihak dengan
maksimal. Sehingga akan menimbulkan ketentraman jiwa karena

11
Muhammad Abduh Tuasikal, Siap Naik Pelaminan, (Yogyakarta: Rumaysho,2020).

10
merasa saling cocok satu sama lain dan semakin yakin dengan
pilihannya. Sedangkan menurut Abd. Nashir Taufiq Al-Athar yang
dikutip oleh A. Darussalam bahwa, yang terpenting dari tujuan
peminangan bila ditinjau secara umum adalah:
a. Lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa perkenalan
antara pihak peminang dan yang dipinang beserta dengan kelurga
masing-masing.
b. Supaya di antara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh.
c. Menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi
pihak yang akan menikahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa
adanya pihak-pihak yang mendahului.
3. Syarat-syarat Khitbah
Untuk mengkhitbah seorang wanita, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
a. Bukan perempuan yang haram dinikahi
Ada dua kategori perempuan yang haram dinikahi, yaitu
haram dinikahi selamanya dan sementara. Haram dinikahi
selamanya dikarenakan ada tiga hal yaitu karena nasab, karena
ikatan perkawinan, dan karena sepersusuan. Perempuan yang
termasuk golongan diatas haram untuk dinikahi selamanya.
Sedangkan perempuan yang haram dinikahi sementara ada delapan
yaitu saudara perempuan dari isteri, bibi dari isteri, isteri yang telah
bersuami dan isteri orang kafir jika ia masuk islam, wanita yang
ditalak tiga ia tidak boleh menikah dengan suaminya yang dulu
sebelum menikah dengan laki-laki lain, wanita musyrik sampai ia
masuk islam, wanita pezina sampai ia bertaubat.
b. Bukan perempuan yang menjalani masa iddah
Masa iddah disebabkan suami meninggal, masa iddah
disebabkan talak ba’in dan talak raj’iy, dan masa iddahnya
perempuan disebabkan khulu atau fasakh.
c. Perempuan yang tidak sedang dalam pinangan orang lain

11
Hikmah larangan ini adalah untuk menhindari terjadinya
permusuhan diantara sesama muslim, karna muslim satu dengan
muslim yang lainnya bersaudara. Seperti didalam sebuah hadis
Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abdullah bin Umar berkata
bahwa Rasulullah bersabda: janganlah seseorang meminang
pinangan orang lain sampai peminang pertama meninggalkan atau
ia mengizinkan”.
4. Pelaksanaan Khitbah
Pelaksanaan khitbah biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tidak
menutup kemungkinan pihak perempuan yang melakukan peminangan
terhadap pihak laki-laki. seperti didalam praktik pelaksanaan khitbah
di zaman Rasulullah, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
a. Peminangan (khitbah) yang dilakukan oleh pihak laki-laki
Pihak laki-laki dapat langsung menemui pihak perempuan atau
keluarganya secara langsung, atau juga dengan bantuan seorang
perantara yang dapat dipercaya.
b. Peminanngan (khitbah) yang dilakukan oleh orang tua pihak
perempuan
Meski peminangan yang dilakukan oleh orangtua dari pihak
perempuan terdengar tidak biasa. Namun pelaksanaan khitbah yang
seperti ini telah ada di zaman Rasulullah SAW. Seperti didalam
peristiwa dimana ketika itu Hafsah putri Umar bin Khattab sedang
dalam masa berkabung karena suami Hafsah telah meninggal
dunia. Umar bin Khattab merasa sedih melihat kesedihan yang di
alami putrinya itu. Sehingga Umar Bin Khattab berinisiatif untuk
mencarikan calon suami untuk putrinya. Kemudian Umar Abdullah
bin Umar meminang secara sindiran kepada Utsman bin Affan,
namun Utsman tidak menerimanya. Kemudian Umar bin Khattab
meminang Abu Bakar secara terang-terangan, namun Abu bakar
tidak menjawabnya. Beberapa hari kemudian Rasulullah SAW
meminang Hafsah. Alasan Utsman dan Abu Bakar tidak menerima

12
pinangan Umar dikarenakan mereka tahu bahwa Rasulullah sering
menyebut-nyebut nama Hafsah. Abu bakar berkata “Seandainya
Rasulullah tidak meminang Hafsah tentu aku akan menerimanya”.
Hal ini menandakan bahwa boleh wali atau orangtua dari pihak
perempuan untuk mencari calon laki-laki yang menurutnya adalah
laki-laki yang terbaik.
c. Peminangan (khitbah) yang dilakukan oleh pihak perempuan
Perempuan didalam agama Islam juga memiliki hak dan kedudukan
yang sama. Seperti halnya didalam pelaksanaan khitbah ini,
seorang perempuan boleh melakukan peminangan kepada laki-laki
yang ia inginkan. Tentunya peminangan dilakukan dengan bahasa
yang sopan dan menjaga harga diri.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan adalah salah satu jembatan menuju terbinanya suatu


kehidupan rumah tangga. Pernikahan adalah langkah awal dari rangkaian
proses berumah tangga, melalui pernikahan dua orang yang berbeda dapat
hidup bersama dalam bingkai mahligai rumah tangga. Melalui pernikahan,
dua insan manusia berhak mendapatkan kasih sayang antar keduanya.
Pernikahan menurut hukum adalah akad atau perjanjian dengan lafal
tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup
bersama sebagai suami isteri. Tujuan pernikaha adalah mencapai
kehidupan di dunia dan di akhirat bersama-sama memasuki jannah-Nya.
Hukum pernikahan bermacam-macam tergantung kondisi dan keadaan
serta tujuan diadakannya pernikahan tersebut, hukum pernikahan sendiri
asalnya mubah namun jika dilihat dari tujuan pernikahannya hukum
menikah yaitu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh.
Khitbah adalah tuntutan atau permintaan seorang laki-laki kepada
seorang perempuan dengan maksud agar perempuan tersebut mau menikah
dengannya kemudian laki-laki tersebut datang kepada perempuan yang
bersangkutan atau keluar harganya untuk menjelaskan maksud tujuan dan
keadaannya. Tujuan dari khitbah memang tidak disebutkan seperti halnya
dalam perkawinan, namun secara implisit tujuan daripada hibah dapat
dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam pernikahan. Syarat-syarat khibah
yaitu bukan perempuan yang haram dinikahi, bukan perempuan yang
menjalani masa iddah, dan perempuan yang tidak dak dalam pinangan
orang lain.

B. Saran

Demikian materi yang dapat kami paparkan mengenai konsep


pernikahan dan khitbah. Dalam penulisan makalah ini masih terdapat

14
beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun segi
penyusunan kalimatnya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan
masukan yang bersifat membangun penulis. Bagi para pembaca
diharapkan dapat memahami materi mengenai konsep pernikahan dan
khitbah.

15
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, dan abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh
Munakhat (Khitbah, Nikah, dan Talak). Jakarta: Amzah.

Departemen Agama RI, Al- Qur’an. 2016. Terjemah dan Asbabun Nuzul: QS. An-
Nisa’ (4): 1. Solo: Penerbit Fatwa.

Departemen Agama RI. 2016. Al- Qur’an, Terjemah dan Asbabun Nuzul: QS. An-
Nur’ (24): 32. Solo: Penerbit Fatwa.

Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakhat. Jakarta: Kencana.

Ismail. 2009. “Khitbah Menurut Prespektif Hukum Islam”. Dalam Jurnal Al-
Hurriyah. Vol.10, no.2.

Nurhayati, Agustina. 2011. “Pernikahan Dalam Perspektif AlQuran”. Dalam


Jurnal Asas. Vol. 3, no. 1. Hlm. 100. Lampung: IAIN Raden Intan.

Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah. Bandung: PT.Alma’arif.

Suma, Muhammad Amin. 2015. Kawin Beda Agama Di Indonesia. Tangerang:


Lentera Hati.

Syafi’i, Nasrul Umam dan Ufi Ulfiah. 2020. Ada Apa dengan Nikah Beda Agama.
Tangerang: PT Agromedia Pustaka.

Tuasikal, Muhammad Abdul. 2020. Siap Naik Pelaminan. Yogyakarta:


Rumaysho.

Wibisana, Wahyu. 2016. “Pernikahan Dalam Islam”. Dalam Jurnal Pendidikan


Agama Islam-Ta’lim. Vol. 1, no. 2. Hlm. 191-192.

16

Anda mungkin juga menyukai