Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pemahaman Makna dan Pengertian Korupsi secara Konseptual

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI”


Dosen Pengampu : Jemiran. SH., MH.

Disusun oleh :
RYO GIBRAN SUSANTO
21.21.1.0083

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAJALENGKA
MAJALENGKA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat, nikmat dan
karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini merupakan
syarat untuk melengkapi nilai tugas Mata Kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”.
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan baik
dalam penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan
makalah ini dimaksudkan untuk menambah wawasan mengenai materi ini.
Sehingga kritik dan saran yang membangun yang sangat diharapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Majalengka, 04 Oktober 2021

Penyusun,

Ryo Gibran Susanto

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Identifikasi Masalah...........................................................................2
C. Maksud dan Tujuan............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
A. Pemahaman dan Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi.........................3
B. Ruang Lingkup Masalah Korupsi dalam Dinamika Hukum
Pidana.................................................................................................7
C. Kelemahan Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi...................................................................................8
BAB III PENUTUP........................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang lahir bersamaan dengan
sejak manusia dilahirkan melalui rahim ibunya, selama satu tahun manusia hidup
ketergantungan dari ibu maupun lingkungannya, kemudian dalam
perkembangannya manusia membentuk karakter yang baik dari Allah swt sebagai
kodrat hak azasi dan diperoleh dari dirinya sendiri melalui cara melihat,
mendengar dan merasakan apa yang dirasakan sebagai perubahan dalam dirinya.
Perubahan ini menjadi manusia membangun kecerdasan logika yang tidak
lepas dari campur tangan, serta tuntutan kehidupan, budaya dan keadaan
lingkungannya sehingga dapat membangun karakter mempunyai rasa ingin tahu
terhadap suatu hal.
Perilaku koruptif yang berkembang dalam diri manusia ditinjau dari
perspektif kenyataan serta pendekatan sosiologis, kriminologi, dan politis. Hal ini
membutuhkan pendidikan edukasi sebagai modal untuk manusia menjadi berakal
sehingga mampu menilai tindakan perbuatan baik atau buruk yang masuk pada
dirinya.
Sebagai orang yang akan belajar mengenai hukum tentunya tidak harus naif
untuk memahami perubahan yang ada dengan penggunaan pendekatan-
pendekatan bersifat multidisplier akan bermanfaat untuk menelaah dan memahami
makna korupsi sebenarnya. Dalam rangka membangun kerangka hukum ius
contituendum politik hukum pidana harus mampu berkolaborasi dengan aspek
yang timbul secara sosiologis dan kriminologis yang bersifat koruptif.
Dilihat dari sudut terminologi istilah korupsi berasal dari kata corruptio
yang berarti kerusakan atau kebobrokan kemudian disepakati perbuatan yang
menunjukkan sebagai perbuatan yang busuk. Sehingga korupsi dapat diartikan
seseorang melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan.
Oleh karenanya kejahatan korupsi dinyatakan kejahatan yang luar biasa
extraordinery crime.

1
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut:
a. Rendahnya pemahaman manusia terhadap permasalahan kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia.
b. Mengapa kasus korupsi sulit untuk dicegah dan diberantas oleh bangsa
Indonesia?
c. Pendidikan Kewarganegaraan menjadi salah satu mata pelajaran yang
diintegrasikan dengan pendidikan antikorupsi.

C. Maksud dan Tujuan


 Membangun budaya anti korupsi
- Memberikan pengetahuan tentang korupsi dan pembahasannya.
- Menanamkan nilai- nilai anti korupsi.
 Menyiapkan Mahasiswa sebagai agent of change bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari korupsi.
 Memberikan pemahaman yang luas terhadap makna korupsi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemahaman dan Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana korupsi terdiri dari dua kalimat antara tindak pidana dan
korupsi sebagai objek dari perbuatan pidana. Tindak pidana sebagai delic
yaitu perbuatan pidana atau peristiwa pidana namun lebih lazim digunakan
dalam KUHAP adalah Tindak Pidana, sedangkan korupsi sebagai objek yaitu
perbuatan melawan hukum yang dilarang kemudian dikenakan sanksi berupa
pidana sebagai sifat perbuatan melawan hukumnya.
Korupsi merupakan perilaku manusia dalam interaksi sosial yang
dianggap menyimpang serta membahayakan masyarakat dan negara.
Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis
dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai bentuk tindak pidana.
Tidak mudah memberikan batasan konseptual dalam memahami makna
korupsi disebabkan oleh faktor perilaku korupsi itu sendiri, sehingga sulit
menarik suatu pengertian yang serba mencakup, untuk itu korupsi yang
sesungguhnya bergantung dari cara orang memandang, melalui pendekatan
yuridis makna korupsi secara konseptual menghasilkan pengertian yang
berbeda dengan pendekatan yang lahir dari sosiologis, kriminologi dan
politis.
Penggunaan pendekatan bersifat multidisplier diperlukan guna
memahami makna korupsi secara komprehensif, untuk itu diperlukan politik
hukum pidana dalam kerangka ius contituendum, guna untuk menemukan
cara penanggulangannya dari segi hukum pidana, dan politik kriminal
membantu mendapat kejelasan tentang segi- segi yang belum diungkapkan
dalam rumusan hukum pidana.
 Pengertian korupsi menurut para ahli
1. Henry Campbell Black “an act done with an intent to give some
advantage inconsisten with official duty and the right of others”
(Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan

3
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak- hak dari pihak lain).
2. Webster’s New American Dictionary kata corruption = Decay
(lapuk), contamination (kemasukan suatu yang merusak) dan
impurity (tidak murni), sedangkan corrupt dijelaskan sebagai “to
become rontten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga
“to induce decay in something originally clean and sound”
(memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam suatu
yang semula bersih dan bagus).
3. Dalam kamus bahasa indonesia korupsi diartikan sebagai perbuatan
buruk seperti penggelapan uang dan penerimaan uang sogok dan
sebagainya.
4. A.S Hornby, Korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan
penerimaan hadiah berupa suap, serta kebusukan atau keburukan.
5. David M. Chalmer, Korupsi dalam berbagai bidang menyangkut
penyuapan yang memanipulasi bidang ekonomi dan menyangkut
bidang kepentingan umum.
6. Robert Klitgaard, Korupsi adalah suatu yang membuang- buang
waktu, dan lebih baik membahas cara- cara untuk memberantas
korupsi itu sendiri.
7. Wertheim, Korupsi adalah apabila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan menguntungkan kepentingan si pemberi
hadiah.
8. David H. Baley, memberikan pengertian yang lebih luas bahwasanya
penyuapan meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat
pertimbangan keuntungan pribadi , pemerasan, penggelapan,
pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk
mencapai tujuan pribadi.
9. Syeid Hussein Alatas, istilah korupsi mempunyai empat fenomena
yakni penyuapan, pemerasan, penggelapan dan Nepotisme. Terdapat
benang merah yang menghubungkan ketiga tipe fenomena tersebut
yaitu penempatan kepentingan publik di bawah tujuan- tujuan privat

4
dengan melanggar norma- norma tugas dan kesejahteraan, yang
dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan
pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh
publik.
Negara Indonesia istilah korupsi dikenal pertama kali digunakan di dalam
Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 sebagai istilah hukum
“bahwa perbuatan- perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan Korupsi.
 Ciri perbuatan korupsi :
1. Korupsi melibatkan lebih dari satu orang.
2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
3. Korupsi melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4. Mereka yang mempraktekan cara korupsi berusaha berlindung
dibalik pembenaran hukum.
5. Mereka yang menginginkan dan mempengaruhi keputusan-
keputusan yang tegas.
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, pengkhianatan.
7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda kontradiktif.
8. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma- norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
 John A. Gardiner dan David J. Olson menguraikan makna korupsi
dalam bukunya Theft of thr City, Reading on Corruption in Urban
America yang kemudian dikutip oleh Soejono Dirdjosiworo, secara
umum sumber- sumber pengertian korupsi dapat dikelompokkan :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English
Dictionary.
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu- ilmu sosial.
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan dalam
pemerintah.
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar.
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan umum.

5
Sehingga pada kesimpulannya, korupsi menyangkut segi- segi moral,
sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dan
klik, golongan kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
 Piers Beirne dan James Messerschmidt, bahwa korupsi sebagai suatu
yang erat kaitannya dengan kekuasaan.
a. Political bribery, berkaitan kekuasaan bidang legislatif sebagai badan
pembentuk undang- undang, berharap agar anggota parlemen yang
telah menerima dukungan dana saat pemilu dapat membuat
peraturan per undang- undangan yang menguntungkan usaha atau
bisnis dirinya.
b. Political kickbacks, korupsi yang berkaitan dengan kontrak
pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana atau pengusaha yang
memberikan peluang untuk mendapatkan banyak uang.
c. Election fraud, berkaitan dengan kecurangan saat pemilu, baik yang
dilakukan calon pengusaha atau calon anggota parlemen, ataupun
lembaga pelaksana pemilu.
d. Corrupt campaign practice, berkaitan dengan kampanye
menggunakan fasilitas negara bahkan menggunakan uang negara.
Benveniste memandang korupsi dari berbagai aspek:
a. Discretionery corruption, korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan menentukan kebijaksanaan. Contohnya seorang pelayan
perizinan TKA memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada
“calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para
pemohon yang biasa- biasa saja.
b. Illegal corruption, jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud- maksud hukum, peraturan dan regulasi
tertentu, contohnya peraturan lelang untuk pengadaan barang harus
melalui proses pelelangan atau tender, karena waktunya mendesak
dan anggaran turunnya terlambat, maka proses tender itu tidak
dilaksanakan, untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum

6
yang bisa mendukung atau memperkuat pelelangan. (Permufakatan
jahat).
c. Mercenery corruption, jenis tindakan pidana korupsi yang
dimaksudkan memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan dan kekuasaan. Contohnya dalam sebuah
persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan
untuk meluluskan peserta tender tetapi untuk memenangkan tender
tersebut peserta harus memberikan uang “sogok” dalam jumlah
tertentu.
d. Ideologi corruption, jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang
bertujuan kelompok. Contohnya kasus skandal watergate,
penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan Pemilu dari
partai politik tertentu, memberikan komitmen kepada presiden
Nixon ketimbang Undang- Undang atau Hukum (Ketua DPR RI
dalam kasus ijin perpanjangan Freevot).

B. Ruang Lingkup Masalah Korupsi dalam Dinamika Hukum Pidana


Perkembangan peraturan per undang- undangan pidana dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia, tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana pada umumnya.
Orang pada mulanya dengan mudah memperkirakan bahwa kejahatan
akan dapat dilenyapkan atau berkurang dengan sendirinya, akan tetapi
kenyataannya tidaklah selalu demikian, karena kemajuan yang sudah maju
maka diikuti secara signifikan kemajuan aktvitas berbagai bentuk kejahatan.
Untuk menggali nilai- nilai intropektif dan prospektif, mencoba untuk
meninjau beberapa masalah antara lain:
a. Apakah hukum pidana mampu atau efektif untuk memberantas korupsi?
b. Apakah masalah atau kelemahan penegakan hukum pidana selama ini
dalam memberantas korupsi?
c. Bagaimana mengatasi kelemahan penegakan hukum pidana dalam
pemberantasan korupsi?

7
C. Kelemahan Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Berbagai masalah/kelemahan itu dapat dikategorikan dalam faktor
juridis dan faktor non juridis
a. Faktor juridis
1. Masalah kualifikasi juridis dari tindak pidana korupsi
 UU No.31 /1999 jo UU No.20/2001, tidak ada ketentuan
formal(pasal) yang menyatakan kualifikasi juridis dari tindak
pidana korupsi, apakah sebagai kejahatan atau pelanggaran.
UU No.3/1971(UU lama) yang menyatakan secara tegas,
bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan (pasal 33).
 Dengan tidak adanya juridis dapat timbul masalah menetapkan
ketentuan umum Buku I KUHP terhadap kasus korupsi, karena
KUHP dapat membedakan kejahatan dan pelanggaran.
2. Masalah penerapan Pidana minimal khusus.
 Berbeda dengan UU lama (UU No.3/1971), di dalam UU
No.31/1999 jo UU No.20/2001, ada ancaman pidana minimal
khusus di dalam perumusan delic, Namun tidak disertai dengan
ketentuan khusus untuk menerapkan pidana minimal khusus
itu.
 Pencantuman pidana minimal khusus dalam perumusan delic
merupakan suatu penyimpangan dari sistem pemindahan
induk.
 Tidak adanya aruran pemindanaan untuk menerapkan sistem
minimal khusus itu, dapat menimbulkan masalah juridis dalam
praktek.
 Dalam KUHP, penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun
tidak seharusnya disertai dengan aturan penerapannya secara
khusus karena:
- Suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja
dioperasionalkan hanya dengan perumusan delic.

8
- Untuk diterapkan, harus ada aturan pemindanaan (Straf
toemetingsregel)
- Aturan penerapan pidana yang ada diatur dalam KUHP
- Aturan pemindanaan umun dalam KUHP berorientasi
pada sistem maksimal bukan minimal.
- Apabila UU di luar KUHP akan menyimpang dari sistem
KUHP, maka UU di luar KUHP seharusnya membuat
aturan pemindanaan khusus sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 103 KUHP.
3. Masalah pelaksanaan Pidana Denda terhadap korporasi.
4. Masalah Permufakatan Jahat
5. Masalah Penerapan Ancaman Pidana Mati
b. Faktor non juridis
Faktor non juridis yang dapat menghambat upaya pemberantasan
korupsi juga banyak, Namun yang berkaitan erat di bidang korupsi
adalah adanya “dua fenomena kembar” yakni masalah “Penalisasi
Politik” dan “Politisasi proses peradilan pidana”.
Di samping itubl, masalah lain yang sangat memperhatikan
adanya fenomena menurutnya atau tergesernya budaya/orientasi,
keilmuan(hati nurani) dengan budaya/berorientasi materi (di
masyarakat, populer dengan istilah budaya amplop). Berkembangnya
budaya amplop bukannya budaya keilmuan, sangat menghambat dan
merendahkan kualitas penegakan hukum.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi diartikan sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa
pemberian sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan kelalaian dan
pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan
keuntungan kepada pelakunya, problematika korupsi merupakan probelem
nilai yang harus di berantas oleh semua pihak, Problematika korupsi yang
sudah mengakar, membudaya serta sudah menjadi cara pikir, dan mental.
Penanganan problematika korupsi harus dilakukan dengan cara yang
lebih komprehensif dan pencegahan (preventif) sejak dini, karena salah satu
sebab terjadinya korupsi adalah sudah mengakarnya mental korupsi di
kalangan masyarakat indonesia. Dan salah satu cara Untuk melakukan
pencegahan mental korupsi sejak dini adalah lewat jalur pendidikan

10

Anda mungkin juga menyukai