Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TEORI – TEORI
2.1 Pengertian
Multipel sklerosis (MS) adalah suatu penyakit neurodegeneratif akibat
proses demielinisasi kronik pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh
peradangan autoimun. Multipel sklerosis merupakan suatu penyakit peradangan
idiopatik yang ditandai dengan adanya demielinisasi dan degenerasi pada sistem
saraf pusat.1 Penyakit ini menyerang jaringan myelin otak dan medula spinalis
yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson. (Sandi, dkk. 2018)
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan
penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan
oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau
sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar
darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang
umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury,
astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang
efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron
yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut,
terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik
tertentu di berbagai bagian tubuh. (Fisher, 2005)
2.2 Teori-Teori
2.2.1 Epidemiologi
Diperkirakan terdapat sekitar 2,2 juta kasus MS diseluruh dunia pada
tahun 2016, yang mana jumlah ini meningkat 10,4% lebih tinggi dibandingkan
tahun 1990. Prevalensi MS semakin meningkat pada daerah yang semakin
menjauhi ekuator, sedangkan Asia merupakan area dengan dengan frekuensi
MS yang rendah, yaitu sekitar 30 kasus per 100.000 populasi. Penyakit ini
umumnya mengenai kelompok pasien usia dewasa muda (antara 30 sampai 40
tahun), dengan prevalensi umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000
populasi; dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18
tahun.3-5 Rerata usia saat munculan onset penyakit MS adalah 14 tahun.
Insidensi tahunan penyakit MS pada populasi anak bervariasi antara 0,07
hingga 2,9 tiap 100.000 anak. Rasio jenis kelamin perempuan berbanding laki
– laki pada pasien MS anak sekitar usia pubertas adalah 4-5 : 1; namun rasio
ini mendekati 1:1 pada populasi anak yang berusia lebih muda (Alroughani,
2018)
MS lebih banyak didapatkan di area Utara, dua kali lebih banyak pada
wanita, dan paling sering muncul pada dekade ketiga dan keempat. Ras
Kaukasia -kulit berwarna- beresiko dua kali lebih besar menderita MS di
United States dan Kanada. Individu yang lahir di area Utara, dengan ras dan
usia yang sesuai, memiliki resiko bawaan yang lebih kecil karena habitat
wilayah jika mereka berpindah ke area Selatan sebelum usia 15 tahun.
Individu lain yang juga berpindah dari Utara ke Selatan, namun setelah usia 15
tahun, memiliki resiko bawaan yang tetap lebih tinggi. Meskipun ada beberapa
predisposisi faktor genetik yang masih perlu diidentifikasi untuk MS, faktor
ini saja bertanggung jawab terhadap variabilitas yang disebutkan
sebelumnya, seperti populasi yang dibandingkan secara genetik bervariasi
dalam prevalensi MS tergantung pada tempat kelahiran dan usia migrasi.
(Aminoff MJ, 2015).

2.2.2 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya penyakit MS masih belum diketahui, namun
sejumlah faktor diduga memiliki peranan penting. Faktor autoimun, genetik
dan lingkungan merupakan sejumlah faktor penting terjadinya kondisi MS.
Meskipun terdapat lebih dari 200 gen yang dapat berperanan terhadap
terjadinya MS, faktor genetik yang paling signifikan berkontribusi terhadap
MS adalah perubahan pada antigen leukosit manusia (human leukocyte
antigen, HLA) DRB 1. Faktor lingkungan yang diperkirakan berperanan
penting adalah infeksi virus Epstein-Barr, rendahnya kadar vitamin D dan
kebiasaan merokok.4 Terjadinya penyakit MS diperkirakan dimulai dengan
adanya kontak dengan faktor pemicu (agen infeksi) yang menyebabkan
sistem imun mengaktivasi kondisi autoreaktifitas melalui aktivasi sel T CD4
(+) di sirkulasi sistemik. Sel T CD4 (+) ini dengan bantuan IL-23 kemudian
berdiferensiasi menjadi sel T helper (Th17) yang selanjutnya memproduksi
IL-17. Sel T yang telah teraktivasi ini selanjutnya melewati sawar darah otak
dan bereaksi dengan autoantigen seperti myelin dan oligodendrosit melalui
mekanisme molekular mimikri. Sel Th17 menyebabkan terjadinya inflamasi
pada sistem saraf pusat yang selanjutnya diikuti dengan migrasi sejumlah sel
T lainnya melewati sawar darah otak dan juga mengaktifkan makrofag.
Produksi sejumlah sitokin proinflamasi pada peradangan ini menyebabkan
kerusakan myelin ( Chou, 2018)
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa
mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu
autoimun, infeksi, dan herediter. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang,
faktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga.
Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan
dari berbagai faktor.
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein
sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Genetika : penurunan kontrol respon immun
e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress
(Simon, 2009)
2.2.3 Klasifikasi Multiple Skeloris
Multiple sclerosis diklasifi kasikan menjadi 4 kelompok :
1. Relapsing Remitting MS (RRMS) Tipe ini ditandai dengan episode
relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan episode remisi (perbaikan).
Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS, 65% di antaranya akan
berkembang menjadi tipe Secondary Progressive MS (SPMS).
2. Secondary Progressive MS (SPMS) Banyak pakar yang menganggap
SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang berkembang
progresif. Pada tipe ini, episode remisi makin berkurang dan gejala
menjadi makin progresif.
3. Primary Progressive MS (PPMS) PPMS diderita oleh 10-15% pasien
MS dengan rasio perempuan: laki-laki=1:1. Gejala yang timbul tidak
pernah mengalami fase remisi.
4. Primary Relapsing MS (PRMS) Bentuk PRMS adalah yang paling
jarang. Pasien terus mengalami perburukan dengan beberapa episode
eksaserbasi di antaranya. Tidak pernah ada fase remisi atau bebas dari
gejala.
(Lalan, 2012)
2.2.4 Tanda dan Gejala
MS pada populasi anak memiliki tiga gejala pokok yang meliputi
gangguan penglihatan, defisit neurologis dan gangguan mental. Terdapat
sejumlah perbedaaan manifestasi klinis MS pada populasi anak
dibandingkan dengan yang terjadi pada populasi dewasa, salah satunya
adalah MS pada popoulasi anak cenderung lebih jarang berkembang
menjadi MS progresif primer atau sekunder; dan juga sekitar 97-99%
kasus multipel sklerosis pada populasi anak bermanifestasi sebagai
episode remisi dan eksaserbasi yang silih berganti, kondisi ini ditandai
dengan adanya serangan atau kekambuhan yang diikuti periode remisi
parsial atau remisi komplit. (Chou, 2018)
Gejala awal MS yang paling sering adalah gangguan penglihatan
yang disertai rasa nyeri (neuritis optika). Pasien akan mengeluhkan
pandangan yang berangsur-angsur atau mendadak menjadi kabur.
Umumnya keluhan ini hanya mengenai satu mata (monokular) disertai
rasa nyeri di bagian belakang mata. Keluhan dapat memberat apabila
pasien terpajan pada suhu panas (fenomena Uthoff ). Pemeriksaan
funduskopi pada fase awal akan memperlihatkan papil edema, sedangkan
pada fase lanjut akan tampak papil yang sudah mengalami atrofi .
Keluhan penglihatan lainnya adalah pandangan ganda (diplopia) akibat
ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus.1 Keluhan neurologis lain
yang cukup sering dapat berupa kesemutan, kelemahan, gangguan
koordinasi, gangguan buang air besar dan air kecil. Pada MS yang
menyerang medulla spinalis bisa ditemukan tanda Lhermitte (sensasi
listrik dari leher ke bawah yang dirasakan pada fl eksi leher). Pasien MS
juga sering merasa fatigue dan nyeri. (Lalan, 2012)
2.2.5 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologi MS, diketahui bahwa karakteristik patologi MS
adalah ditemukannya plak yang merupakan hasil dari demielinisasi, degradasi
neuronal dan aksonal, serta jaringan parut astrosit. Pada seseorang yang
memiliki kerentanan genetik. Grafik Relapsing Remitting Multiple Sclerosis
dan Secondary Progressive Multiple Sclerosis terhadap MS akan terjadi reaksi
silang antara antigen lingkungan dengan komponen mielin dan atau
oligodendrosit atau protein mielin seperti protein S-100, fosfodiesterase, dan
lain-lain. Hal ini memicu sensitisasi limfosit T sehingga bersifat autoreaktif
terhadap mielin dan oligodendrosit yang telah mengalami reaksi silang
tersebut. Jika antigen (yang bereaksi silang dengan mielin) memasuki tubuh,
makrofag akan memfagositosis antigen tersebut. Antigen presenting cells
(APC) seperti sel dendritik mempresentasikan antigen atau protein antigen ini
dengan membentuk kompleks antara antigen dengan major histocompatibility
complex (MHC) pada permukaan sel.
Kompleks antigen dengan MHC akan dikenali oleh reseptor pada
permukaan sel limfosit T-CD4. Akibatnya sel tersebut akan teraktivasi dan
berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th-1). Th-1 akan memicu sitokin
proinflamasi yang selanjutnya akan mengaktivasi reseptor molekul adesi
endotel pembuluh darah sawar darah otak. Akibatnya sawar darah otak menjadi
lebih mudah dilalui oleh sel T.7 Setelah menembus sawar darah otak, Th-1
akan mengalami reaktivasi oleh APC, hanya saja antigen yang dibawa APC
kali ini adalah protein mielin. Reaktivasi akan memicu sitokin proinflamasi,
nitrit oksida, antibodi, komplemen, juga molekul-molekul yang memediasi
apoptosis. Sitokin proinflamasi juga akan menstimulasi mikroglia dan astrosit
sehingga permeabilitas sawar darah otak menjadi semakin meningkat. Molekul
kemotaksis yang memfasilitasi masuknya sel T, antibodi, dan juga makrofag
juga ikut terstimulasi. Kaskade imun akan berakibat pada edema, demielinisasi,
juga kematian akson.7 Pada demielinisasi kronik, mikroglia akan teraktivasi
yang mengakibatkan terbentuknya stress oksidatif. Hal ini akan memicu
kerusakan mitokondria akson dan oligodendrosit. Selain itu aktivasi mikroglia
juga akan mempengaruhi transpor glutamat pada astrosit yang akan berakibat
pada eksitotoksisitas neuronal dan oligodendrosit. Akumulasi lesi yang terjadi
pada progresif MS berhubungan dengan degenerasi retrograd dan anterograd
dari akson yang mengalami demielinisasi.
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan gambaran plak (gambar 2)
yang merupakan lesi demielinisasi. Plak demyelinisasi ini merupakan
gambaran patognomonik MS. Pada fase akut, tampak sebukan sel radang,
hilangnya mielin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase kronik, kehilangan
myelin menjadi lebih jelas, dengan sel-sel makrofag di sekitarnya disertai
kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit. Kerusakan mielin diakibatkan
oleh aktifnya limfosit T. Limfosit T pada MS mengalami autoreaktivitas dan
mampu mengenali protein target pada mielin.

(Alvarez, 2011)

2.2.6 Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki
cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari
5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat
fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah
onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI).
Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif.
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan
cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum
tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam
perkembangan pesat dari kecacatan.
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan
tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya
terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal,
tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan
menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah
bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau
kematian dalam beberapa hari.
(Yeshokumar, 2017)
2.2.7 Diagnosis
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang
merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun
2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut
waktu/disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh
ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda).
Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap
tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).
Diagnosis MS perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala
neurologis dengan episode remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak
ditemukan sebab lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut. Dengan
demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan pemeriksaan
untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak, infeksi otak,
stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik.3,4 Pemeriksaan pungsi
lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi
menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan oligoclonal band tidak
lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS, kecuali pada tipe PPMS—
peran oligoclonal band menjadi lebih besar.
Magnetic resonance imaging (MRI) telah menjadi alat paraklinis inti untuk
mendiagnosis dan memprediksi kecacatan jangka panjang dan respons
pengobatan pada pasien MS. Tindak lanjut MRI otak diperlukan pada pasien
yang belum didiagnosis sebagai pasien MS tetapi yang menunjukkan temuan
klinis dan radiologis sugestif MS. 3-6 bulan disarankan untuk menjadi interval
optimal antara baseline dan pemindaian lanjutan. Pemindaian ketiga dapat
diperoleh 6-12 bulan kemudian jika tidak ada lesi baru yang terlihat pada
pemindaian lanjutan pertama. Beberapa kriteria dan strategi telah diusulkan
untuk identifikasi cepat respon suboptimal pada pasien individu, berdasarkan
kombinasi tindakan klinis dan MRI dinilai selama 6 sampai 12 bulan
pertamasetelah memulai pengobatan.
(Mostafa 2020)
2.3 Tata Laksana
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical
Guideline 8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun
2003. Pola klasifikasi menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS,
HSC).
Tingkatan rekomendasi
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau
C
II
Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II
D
atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004
Kondisi Grade
Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik)
menyebabkan distres atau keterbatasan fisik harus diberikan
kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah muncul relaps :
 intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - A
5 hari
atau
 dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari,
selama 3 - 5 hari.
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan
D
penggunaan kortikosteroid.
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan
D
lebih dari 3 kali setahun harus dihindari
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak
D
digunakan kecuali ada protokol lain
Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-
23 g/hari agar mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber
A
makanan kaya akan asam linoleat termasuk bunga matahari,
jagung, kedelai dan minyak safflower.
Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan khusus:
 setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua D
risiko
 dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain
 dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat
dibawah ini dengan pemantauan ketat untuk efek samping.
pengobatan:
 azathioprine
 mitoxantrone
 intravena imunoglobulin
 plasma exchange
A
 intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program
metilprednisolon dosis tinggi.

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian


tidak menunjukkan efek menguntungkan pada:
 siklofosfamid
 anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
 cladribine
A
 pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
 hiperbarik oksigen
 linomide
 iradiasi seluruh tubuh
 basic protein myelin (tipe apapun).

Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya
adalah :
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan
ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur.
Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen
antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder
atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif
untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi.
Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat
memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten
dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare
cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa
sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi
ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi
suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang
memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat
narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki
efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu
kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada
pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan
pada Oktober hingga Maret.

Terapi relaps
1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam
mengurangi gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek
imunomodulator dan antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan
pengurangi edema. kortikosteroid juga dapat meningkatkan konduksi aksonal.
Terapi kortikosteroid memperpendek durasi relaps akut dan mempercepat
pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa meningkatkan pemulihan
secara keseluruhan MS.
Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter
harus mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon
selama tiga hingga lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g
diberikan secara intravena dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali
sehari di pagi hari.
2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan
untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat
therapy. Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari
sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group
merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam
pengelolaan MS.
Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet
khusus, vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif
efektivitas perawatan ini kurang.

Disease-Modifying Therapies
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi
efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies
untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat:
intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif),
interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima,
mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder progresif MS
yang memburuk.

1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi


sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta
disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi
kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-
remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial,
penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi
inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat
ini meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan
kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan
interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang
dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-
steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis
titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.
Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat
injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar
transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan
penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya
dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin.
Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti
mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga
direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan
Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir
interferon beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses
inflamasi yang terlihat pada MRI.
Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan
influenza-like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan
reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar,
gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan
rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan
glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak
terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah
agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS
sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone
dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan bentuk Progressive MS.
Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga
adanya cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua
sampai tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2).
Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola
oleh para perawat kesehatan profesional yang berpengalaman.

(Loma, 2011)
2.4 Komplikasi

1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih

(Simon, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Sandi D, Berg E, Biernacki T, Vörös E, Klivényi P, Bereczki C. Pediatric multiple
sclerosis and fulminant disease course: Features and approaches to treatment – A
case report and review of the literature. J Clin Neurosci. 2018;53:13-9.
Fisher, Naomi D. L., Williams, Gordon H. Hypertensive Vascular Disease.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill. USA.
2005.
Aminoff MJ, Greenberg DA, Roger PS. 2015. Clinical Neurology. McGraw-Hill
Education / Medical; 9 edition. p232-237.
Alroughani R, Boyko A. Pediatric multiple sclerosis: a review. BMC Neurology.
2018;18:1-8
Chou IJ, Wang HS, Whitehouse WP, Constantinescu CS. Paediatric multiple
sclerosis: update on diagnostic criteria, imaging, histopathology and treatment
choices. Curr Neurol Neurosci Rep. 2016:16:1-12
Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009.
Lalan S, Khan M, Schlakman B, Penman A, Gatlin J, Herndon R. Diff erentiation
of Neuromyelitis Optica from Multiple Sclerosis on Spinal Magnetic Resonance
Imaging. Int J MS Care. 2012;14:209-14
Wu GF, Alvarez E. The immuno-pathophysiology of multiple sclerosis. Neurol
Clin. 2011 May ; 29(2):257-78.
Yeshokumar AK, Narula S, Banwell B. Pediatric multiple sclerosis. Curr Opin
Neurol. 2017;30:216–21
Polman CH et al. Diagnostic criteria for multiple sclerosis : 2010 revisions to the
McDonald criteria. Ann Neurol 2011;69:292-302.
Mostafa Salem, dkk. 2020. ‘A fully convolutional neural network for new T2-w
lesion detection in multiple sclerosis’. NeuroImage: Clinical 25 102149.
Loma I, Heyman R. 2011. Multiple sclerosis: pathogenesis and treatment. Curr
Neuropharmacol. Sep;9(3):409-16

Anda mungkin juga menyukai