Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sampah


Sampah adalah materi buangan padat atau semi padat yang dihasilkan dari
aktifitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau tidak
digunakan lagi (Tchobanoglous dkk, 1993). Berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun
2008 pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat, serta menurut SNI 19-2452-2002 sampah adalah
limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang
dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan
lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut sampah dapat dibedakan atas dasar
sifat-sifat biologis dan kimianya sehingga mempermudah pengelolaannya sebagai
berikut :
1. Sampah yang dapat membusuk (garbage), menghendaki pengelolaan yang
cepat. Gas-gas yang dihasilkan dari pembusukan sampah berupa gas metan
dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh.
2. Sampah yang tidak dapat membusuk (refuse), terdiri dari sampah plastik,
logam, gelas, karet dan lain-lain.Sampah yang berupa debu/abu sisa hasil
pembakaran bahan bakar atau sampah.
3. Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, yakni sampah B3 adalah
sampah yang karena sifatnya, jumlahnya, konsentrasinya atau karena sifat
kimia, fisika dan mikrobologinya dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas secara bermakna atau menyebabkan penyakit yang irreversibell
ataupun sakit berat yang pulih (tidak berbalik) atau reversibell (berbalik)
atau berpotensi menimbulkan bahaya sekarang maupun dimasa yang akan
datang terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah, disimpan
atau dibuang dengan baik (Indra Yones, 2007).

5
2.2 Sumber – Sumber Sampah
Menurut Tchobanoglous dkk., 1993 sumber-sumber sampah dibedakan
berdasarkan jenis kegiatan yang menghasilkan sampah.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi :
a. Sampah residential, merupakan sampah yang berasal dari rumah tangga.
b. Sampah komersial, merupakan sampah yang berasal dari perkantoran,
restoran dan pasar (tempat perdagangan).
c. Sampah industri, adalah sampah yang dihasilkan dari aktivitas industri.
d. Sampah jalanan, adalah sampah yang berada di jalan-jalan umum.
e. Sampah pertanian, adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.
f. Sampah konstruksi pembangunan, adalah sampah yang dihasilkan dari
pembangunan gedung baru, perbaikan jalan, peruntuhan bangunan, dan
trotoar rusak.
g. Sampah pelayanan masyarakat, merupakan sampah dari air minum, air
limbah maupun proses industri.
2.3 Timbulan Sampah
Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat
dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan,
atau perpanjang jalan (SNI 19-2454-2002). Data timbulan sampah sangat penting
diketahui untuk menentukan fasilitas setiap unit pengelolaan sampah dan
kapasitasnya misalnya fasilitas peralatan, kendaraan pengangkut dan rute
angkutan, fasilitas daur ulang, luas dan jenis TPA. Besaran timbulan sampah
berdasarkan besaran timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota dapat dilihat
pada tabel 2.1, sementara komponen-komponen sumber sampah dapat dilihat pada
tabel 2.2.
Tabel 2.1 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota
N Klasifikasi kota Volume (l/orang.hari) Berat (kg/orang.hari)
o
1 Kota sedang 2,75-3,25 0,70-0,80
2 Kota kecil 2,50-2,75 0,625-0,70
Sumber: SNI 10-3983-1995

6
Tabel 2.2 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Sumber
Sampah
N Komponen sumber satuan Volume Berat (kg)
o sampah (liter)
1 Rumah permanen Per orang/hari 2,25– 2,50 0,35-0,40
2 Rumah semi permanen Per orang/hari 2,00-2,25 0,30-0,35
3 Rumah non permanen Per orang/hari 1,75-2,00 0,25-0,30
4 Kantor Per orang/hari 0,50-0,75 0,025-0,10
5 Toko/Ruko Per orang/hari 2,50-3,00 0,15-0,35
6 Sekolah Per orang/hari 0,10-0,15 0,01-0,02
7 Jalan arteri sekunder Per orang/hari 0,10-0,15 0,02-0,10
8 Jalan kolektor sekunder Per orang/hari 0,10-0,15 0,01-0,05
9 Jalan local Per orang/hari 0,05-0,10 0,005-0,025
10 Pasar Per orang/hari 0,20-0,60 0,10-0,300
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2004

2.3.1 Metode Pengukuran Timbulan


Metode pengukuran timbulan sampah ada beberapa cara, antara lain:
1. Mengukur langsung satuan timbulan sampah dari sejumlah sampel (rumah
tangga dan non rumah tangga) yang ditentukan secara random-
proporsional di sumber selama 8 hari berturut-turut (SNI 19-3964-1995
dan SNI M 36-1991-03)
2. Load-count analysis/analisis perhitungan beban, yaitu jumlah masing-
masing volume sampah yang masuk ke TPA dihitung dengan mencatat:
volume, berat, jenis angkutan dan sumber sampah, kemudian dihitung
jumlah timbulan sampah kota selama periode tertentu (Tchobanoglous
dkk, 1993).
3. Weight-volume analysis/analisis berat-volume, yaitu jumlah masing-
masing volume sampah yang masuk ke TPA dihitung dengan mencatat
volume dan berat sampah, kemudian dihitung jumlah timbulan sampah
kota selama periode tertentu.
4. Material-balance analysis/analisis kesetimbangan bahan, material-
balance analysis menghasilkan data lebih lengkap untuk sampah rumah

7
tangga, industri dan lainnya dan juga diperlukan untuk program daur
ulang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah :
a. Jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk meningkat timbulan
sampah meningkat.
b. Keadan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi
seseorang akan semakin banyak timbulan sampah perkapita yang
dihasilkan.
c. Kemajuan teknologi, akan menambah jumlah dan kualitas sampahnya
(Yones,2007).
Timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah
tangga, maka untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut
dapat dianggap sudah meliputi sampah yang di timbulkan oleh setiap orang dalam
berbagai kegiatan dan berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel,
taman dan kantor. Perhitungan yang baik hendaknya didasarkan dengan
pengambilan sampling.

2.4 Komposisi Sampah


Komponen komposisi sampah berdasarkan SNI 19-3964-1995 adalah
komponen fisik sampah seperti, sisa-sisa makanan, kertas-karton, kayu, kain-
tekstil, karet-kulit, plastik, logam besi-non besi, kaca dan lain-lain (misalnya
tanah, pasir, batu dan keramik).
Pengelompokan sampah yang sering dilakukan adalah berdasarkan
komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat atau % volume dari kertas,
kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan dan lain-lain. Dalam
(Damanhuri dan Padmi, 2004) menggambarkan tipikal komposisi sampah
pemukiman atau sampah domestik di kota Negara maju, dapat dilihat pada tabel
2.3.

Tabel 2.3 Komposisi Sampah Domestik


Kategori sampah % berat % volume

8
Kertas dan bahan-bahan kertas 32,98 62,61
Kayu/produk dari kayu 0,38 0,15
Plastik, kulit dan produk karet 6,84 9,06
Kain dan produk tekstil 6,36 5,1
Gelas 16,06 5,31
Logam 10,74 9,12
Bahan batu, pasir 0,26 0,07
Sampah organik 26,38 8,58
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2004.
Pengelompokan yang juga sering dilakukan adalah berdasarkan
komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau
% volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain,
makanan, dan lain-lain. Komposisi dan sifat-sifat sampah menggambarkan
keanekaragaman aktifitas manusia.
Menurut (Damanhuri dan Padmi, 2004). komposisi sampah dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain :
- Cuaca: di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban
sampah juga akan cukup tinggi.
- Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah dikumpulkan maka
semakin tinggi tumpukan sampah terbentuk. Tetapi sampah basah akan
berkurang karena membusuk, dan yang akan terus bertambah adalah kertas
dan sampah kering lainnya yang sulit terdegradasi.
- Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang
sedang berlangsung.
- Tingkat sosial ekonomi: daerah ekonomi tinggi pada umumnya
menghasilkan sampah yang terdiri atas bahan kaleng, kertas, dan
sebagainya.
- Pendapatan per kapita: masyarakat dari tingkat ekonomi lemah
akan menghasilkan total sampah yang lebih sedikit dan homogen.
- Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari
akan mempengaruhi. Negara maju seperti Amerika tambah banyak yang
menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan Negara berkembang
seperti Indonesia banyak menggunakan plastik sebagai pengemas.

9
Dengan mengetahui komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan
yang tepat dan yang paling efesien sehingga dapat diterapkan proses
pengolahannya.
Tipikal komposisi sampah berdasarkan atas tingkat pendapatan
digambarkan pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Tipikal Komposisi Sampah Pemukiman ( % Berat Basah)
Komposisi Pemukiman Pemukiman Pemukiman
(Law income) (Midle income) (hightincom)
Kertas 1-10 15-40 15-40
Kaca, keramik 1-10 1-10 4-10
Logam 1-5 1-5 3-13
Plastik 1-5 2-6 2-10
Kulit, karet 1-5 - -
Kayu 1-5 - -
Tekstil 1-5 2-10 2-10
Sisa makanan 40-85 20-65 20-50
Lain-lain 1-40 1-30 1-20
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2004

2.5 Karakteristik Sampah


Sampah mempunyai sifat fisik, kimia, dan biologis. Pengetahuan akan
sifat-sifat ini sangat penting untuk perencanaan dan pengelolaan sampah secara
terpadu. Sampah diklasifikasikan dalam karakteristiknya sebagai berikut
(Tchobanoglous dkk., 1993) yaitu:
1.Karakteristik fisik.
a. Berat spesifik sampah.
Dinyatakan sebagai berat per unit (kg/m 3). Dalam pengukuran berat
spesifik sampah, harus disebutkan dimana dan dalam kondisi bagaimana
sampah diambil sebagai sampling untuk menghitung berat spesifik
sampah. Berat spesifik sampah dipengaruhi oleh letak geografis, lokasi,
jumlah musim, dan lama waktu penyimpanan, hal ini sangat penting untuk
mengetahui volume sampah yang diolah. Sebagai gambaran berat spesifik
masing-masing karakteristik sampah dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Berat spesifik masing-masing karakteristik sampah

10
Berat spesifik (kg/m3).
No Karakteristik sampah
Rentang Tipikal
1 Sisa makanan 130,53 - 480,57 290,72
2 Kertas 41,53 – 130,53 89,0
3 Karton 41,53 – 80,10 50,43
4 Plastik 41,53 – 130,53 65,26
5 Kain 41,53 – 100,86 65,26
6 Karet 100,86 – 201,72 130,53
7 kulit 100,86 – 261,05 160,19
8 Sampah taman 59,33 – 225,45 100,86
9 Kayu 130,53 – 320,38 237,32
10 Gelas 160,19 – 480,57 195,79
11 kaleng 50,43 – 160,19 89,00
12 Alumunium 65,26 – 240,29 160,19
13 Logan lain 130,53 – 1151,0 320,38
14 Debu/abu 320,38 – 999,71 480,57
Sumber: Tchobonaglus dkk., 1993

b. Kelembaban.
Kelembaban sampah dapat dinyatakan dengan dua cara, yaitu dengan
metode berat basah dan metode berat kering. Metode basah dinyatakan
dalam persen berat basah bahan, dan metode kering dinyatakan sebagai
persen berat kering bahan. Secara umum metode berat basah sering
digunakan.

Rumus Kelembaban dari berat basah adalah :

M= ( w−d
w )
x 100

Dimana: M: Kelembaban (%).


W: Berat sampah basah (kg).
d: Berat sampah setelah dikeringkan pada suhu 105 oC (kg).
c. Ukuran partikel.
Adalah besar kecilnya bentuk fisik kandungan komposisi sampah
tersebut,sangat penting untuk pengolahan akhir sampah, terutama pada

11
tahap mekanis, untuk mengetahui ukuran penyaringan dan pemisahan
mekanik.
d. Field Capacity.
Adalah jumlah air yang dapat tertahan dalam sampah, dan dapat keluar
dari sampah akibat daya grafitasi. Field Capacity sangat penting untuk
mengetahui komponen lindi dalam landfill. Field Capacity bervariasi
tergantung dari perbedaan tekanan dan dekomposisi sampah. Sampah dari
daerah permukiman dan komersial yang tanpa pemadatan Field Capacity
sebesar 50 % sampai 60 %.
e. Kepadatan sampah.
Adalah jumlah sampah yang berada dalam area tersebut,Kepadatan
sampah sangat penting untuk mengetahui pergerakan dari cairan dan gas
dalam landfill.
2.Karakteristik Kimia
Karakteristik kimia sampah sangat penting dalam mengevaluasi proses
alternatif dan pilihan pemulihan energi. Apabila sampah digunakan sebagai energi
bahan bakar, maka komponen yang harus diketahui adalah analisis proksimasi
(kandungan air, kandungan abu dan kandungan karbon tetap), titik abu sampah,
analisis ultimasi (persentase C, H, O, N, S, dan abu) dan besarnya energi.
a. Analisis proksimasi.
Bertujuan mengetahui bahan-bahan yang mudah terbakar dan tak mudah
terbakar. Biasanya dilakukan tes untuk komponen yang mudah terbakar
supaya mengetahui kandungan volatil, kandungan abu, kandungan karbon
tetap dan kandungan air.
b. Titik abu sampah.
Adalah temperatur dimana dihasilkan abu dari pembakaran sampah, yang
berbentuk padatan dengan peleburan atau penggumpalan. Temperatur
berkisar antara 1100 oC sampai 1200 oC.
c. Analisis ultimasi.
Adalah penentuan persentase komponen yang ada dalam sampah seperti
persentase C, H, N, S dan abu. Analisis ultimasi ini bertujuan menentukan

12
karakteristik kimia dan bahan organik sampah secara biologis. Misalkan
pada komposting perlu diketahui rasio C/N sampah, supaya dapat
berlangsung baik. (Tchobonaglus dkk., 1993).
d. Kandungan energi.
Kandungan energi dari komponen organik dari sampah, dapat ditentukan
dengan Bomb Calorimeter.
e. Protein
Protein yang terdiri dari rantai asam amino.
3. Karakteristik Biologi
Penentuan karakteristik biologi digunakan untuk menentukan karakteristik
sampah organik di luar plastik, karet dan kulit. Parameter-parameter yang
umumnya dianalisis untuk menentukan karakteristik biologi sampah organik
terdiri atas (Tchobanoglous dkk, 1993):
1. Parameter yang larut dalam air terdiri atas gula, zat tepung, asam
amino, dan lain-lain;
2. Hemiselulosa yaitu hasil kondensasi gula dan karbon;
3. Selulosa yaitu hasil kondensasi gula dan karbon;
4. Lemak, minyak, lilin;
5. Lignin yaitu senyawa polimer dengan cincin aromatik;
6. Lignoselulosa merupakan kombinasi lignin dengan selulosa; dan
7. Protein terbentuk atas rantai asam amino.

2.6 Pengelolaan Sampah


Menurut PP RI No.81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, pengelolaan sampah adalah
kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah bertujuan untuk:
a. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat
b. Menjadikan sampah sebagai sumber daya.
Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah meliputi pengurangan
sampah di sumber dan penanganan sampah ketika masuk ke tempat pemrosesan.

13
Menurut Winarta dkk., (2005), kegiatan pencegahan dan pengurangan sampah
yang dilakukan di sumber sampah dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
reduksi sampah, pemakaian kembali dan daur ulang.
Berdasarkan definisi dari Tchobanoglous dkk. (1993), pengelolaan sampah
merupakan teknik pengendalian terhadap timbulan sampah, penyimpanan,
pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan
sampah dengan cara dan prinsip yang memperhatikan aspek kesehatan, ekonomi,
konservasi, estetika, pertimbangan lingkungan lainnya dan juga responsif terhadap
perilaku masyarakat. Adapun skema teknik pengelolaan sampah dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

TIMBULAN SAMPAH

PEWADAHAN
PEMILAHAN

PENGUMPULAN

PENGANGKUTAN PENGOLAHAN

TPA
Gambar 2.1 Skema Teknik Operasional Pengelolaan Sampah. (Tchobonaglus
dkk., 1993).

Menurut SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional


Pengelolaan Sampah Perkotaan, teknik pengolahan sampah juga meliputi:
1. Pengomposan:
a. Berdasarkan kapasitas (invidual, komunal, skala lingkungan)
b. Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan
mikroorganisme tambahan).
2. Insinerasi berwawasan lingkungan
3. Daur ulang

14
a. Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah
b. Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak.
4. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan
5. Biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah).

2.6.1 Pengolahan Sampah


Pengolahan sampah merupakan salah satu rangkaian dari pengelolaan
sampah telah dijelaskan bahwa pola pengelolaan sampah meliputi pewadahan,
pemilahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan, serta pembuangan ke
TPA. Menurut Riyanto, 2008 pengolahan sampah sangat beragam. Pengolahan
sampah dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu :
a) Pengolahan Sampah dengan Reduce, Reuse, Recycle (3R) :
 Reduce (mengurangi timbulan sampah di sumber), merupakan upaya
untuk mengurangi timbulan sampah dengan meminimalisasi barang atau
material yang digunakan. Hal ini dikarenakan semakin banyak material
yang digunakan, sampah yang dihasilkan semakin banyak.
 Reuse (pakai ulang), merupakan prinsip menghindari pemakaian barang
yang hanya sekali pakai. Dengan menggunakan barang-barang yang bisa
dipakai kembali sehingga dapat memperpanjang umur suatu produk
sebelum akhirnya menjadi sampah.
 Recycle (mendaur ulang sampah), prinsip ini dengan mendaur ulang benda
yang sudah tidak dapat digunakan kembali. Memproduksi barang hasil
recycle dapat mengurangi pemanasan global dan energi. Benda hasil
recycle biasanya dapat dijual untuk bahan baku industri (Zubair dan
Haeruddin, 2011)
Pengolahan sampah seharusnya dilakukan dengan hirarki memperbanyak
pengolahan sampah dengan prinsip mereduksi dan mendaur ulang sampah
sebelum dibuang ke TPA. Sampah yang tidak dapat diolah kembali akan menjadi
residu dan residu tersebut yang akan dibuang ke TPA.
b) Pengolahan sampah dengan mengomposkan sampah:

15
 Menurut Sahwan dkk,, (2004), pengomposan dalam pengertian modern
merupakan proses dekomposisi materi organik secara biologis menjadi
material seperti humus dalam kondisi aerobik yang terkendali. Kecepatan
proses ini bergantung pada kecepatan dan aktivitas mikroba dalam
mendekomposisi sampah bahan organik. Kecepatan dan aktivitas mikroba
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung
kehidupannya. Faktor lingkungan tersebut antara lain kadar sampah,
konsentrasi oksigen, kondisi ketersediaan bahan makanan (rasio C dan N)
dan ketersediaan mikroba itu sendiri. Kadar air suatu bahan untuk
pemgomposan yang optimal berkisar 50%-60%. Sedangkan kadar air
sampah kota umumnya berkisar 40%-60%. Hal ini menandakan bahwa
kadar air sampah kota cukup optimal untuk proses pengomposan.
 Menurut Tchobanoglous dkk, (1993), pengomposan terdiri atas
bermacam-macam cara seperti windrow, aeratic static pile, in vessel, dan
sebagainya. Masing-masing cara pengomposan ini memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Namun, mudah diaplikasikan dan cocok
untuk pengelolaan sampah skala perkotaan.
 Secara ekonomis, proses pemgomposan merupakan salah satu metode
yang paling cocok digunakan di Indonesia. Menurut penelitian yang
dilakukan Fernando (2011), teknologi pengomposan dengan windrow
sangat cocok diaplikasikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan untuk metode
aeratic dan in vessel membutuhkan biaya yang sangat besar dan susah
diaplikasikan di Indonesia. Karena belum tersedianya biaya dan operator
yang lebih memadai maka teknologi pengomposan yang sangat
direkomendasikan oleh pemerintah di lapangan adalah windrow.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chaerul dan Susangka (2011),
bahwa penggunaan windrow memiliki potensi yang besar digunakan di
Indonesia.
Pengolahan sampah memiliki skala tertentu. Berdasarkan Direktorat
Jenderal Cipta Karya Kementrian PU (2012), bahwa skala pengolahan sampah
dapat dibedakan atas beberapa skala, yaitu :

16
1. Skala Individu
Merupakan pengolahan yang dilakukan oleh penghasil sampah secara
langsung di sumbernya (rumah tangga/kantor). Contoh pengolahan
sampah pada skala individu adalah pemilahan sampah atau komposting
dalam skala individu.
2. Skala Kawasan
Merupakan pengolahan yang dilakukan untuk melayani suatu
lingkungan/kawasan (perumahan, perkantoran, pasar, dll). Lokasi
pengolahan kawasan dapat dilakukan pada TPST (Tempat pengolahan
sampah terpadu). Proses yang dilakukan di TPST pada umumnya berupa
pemilahan, pencacahan sampah organik, pengomposan, penyaringan
kompos, pengepakan, kompos, dan pencacahan plastik untuk daur ulang.
3. Skala Kota
Pengolahan pada skala ini dilakukan untuk melayani sebagian atau seluruh
wilayah kota dan dikelola oleh pengelola kebersihan kota. Lokasi
pengolahan dilakukan di TPST yang umumnya menggunakan bantuan
peralatan mekanis.

2.6.2 TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu)


Menurut Wibowo dan Darwin, 2007; dalam Syamrizal (2003), MRF
(Material Recovery Facilities) atau TPST merupakan fasilitas mengenai
pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mengolah sampah dan
memanfaatkannya kembali sehingga dapat mereduksi sampah yang dihasilkan.
Sedangkan menurut Dubanowitz, 2000: dalam Hardianto dan
Trihadiningrum (2014), TPST didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan pemisahan dan pengolahan sampah secara terpusat. TPST bisa menjadi
metode yang layak untuk mencapai tujuan materi daur ulang di kota-kota. Sebuah
TPST adalah tempat dimana limbah padat dipisahkan , diproses dan disimpan
untuk digunakan sebagai bahan baku untuk diproduksi dan diolah kembali.

17
Menurut Direkrorat Jenderal Cipta Karya Kementrian PU (2012), TPST
atau MRF didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemisahan dan
pengolahan sampah secara terpusat. Kegiatan pokok MRF ini adalah:
 Pengolahan lebih lanjut sampah yang telah dipilah di sumber
 Pemisahan dan pengolahan langsung komponen sampah kota
 Peningkatan mutu produk recovery/recycling
Dapat dikatakan bahwa fungsi TPST adalah tempat berlangsungnya
pemisahan, pencucian/pembersihan, pengemasan dan pengiriman produk daur
ulang sampah.
Sistem pengolahan sampah terpadu mengkombinasikan pendekatan
pengurangan sumber sampah, daur ulang dan guna ulang, pengomposan,
insenerasi, dan pembuangan akhir. Pengurangan sumber sampah dalam skala
rumah tangga dapat dillakukan dengan menanamkan kebiasaan untuk tidak boros
dalam penggunaan barang-barang keseharian. Pendekatan daur ulang dan guna
ulang dapat diterapkan khususnya pada sampah non organik seperti kertas, plastik
aluminium, gelas, logam dan lain-lain. Sedangkan untuk sampah organik dapat
diolah dengan mengomposkan sampah basah (Santoso, 2008).
TPST sebagai tempat daur ulang sampah, memerlukan fasilitas
berdasarkan komponen sampah yang masuk dan yang akan dikelola. Menurut
Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU (2012), secara umum dibedakan
atas:
1. Fasilitas pre-processing, merupakan tahap awal pemisahan sampah untuk
mengetahui jenis sampah untuk mengetahui jenis sampah yang masuk,
dimana meliputi proses sebagai berikut:

 Penimbangan, mengetahui jumlah sampah yang masuk


 Penerimaan dan penyimpanan, menentukan area untuk mengantisipasi
jika sampah yang terolah tidak secepat sampah yang datang ke lokasi.
2. Fasilitas pemilahan, bisa secara manual maupun mekanis. Secara manual
akan membutuhkan tenaga kerja. Secara mekanis membutuhkan peralatan

18
mekanis yaitu alat-alat pemilahan sampah (disc screen, reciprocating
screen, dll).
3. Fasilitas pengolahan sampah secara fisik, stelah dipilah sampah akan
ditangani menurut jenis dan ukuran material tersebut.
4. Fasilitas pengolahan yang lain seperti komposting atau RDF.
Proses-proses yang berlangsung di TPST terdiri dari tiga proses
(Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementrian PU, 2012), antara lain:
a) Transformasi fisik, merupakan pemisahan sampah dengan berbagai
metode seperti pemisahan secara manual maupun pemisahan secara
mekanik menggunakan beberapa peralatan, seperti rotating screen,
magnetic separation, dan lain-lain. Selain itu, sampah kering seperti
plastik, kardus, dan lain-lain mengalami proses pemisahan dan
pencacahan. Selain itu, proses kompaksi juga dapat terjadi di lokasi ini
dengan penerapan dari baling.
b) Transformasi biologi, yaitu proses pengomposan yang bisa diterapkan
dalam skala TPST. Proses pengomposan ini bisa menggunakan beberapa
metode windrow composting atau komposter angin dan proses
pengomposan yang lain.
c) Transformasi kimia, dengan mengubah sampah menjadi briket sampah.

2.7 Life Cycle Assessment (LCA)


Life Cycle Assessment (LCA) adalah metode untuk menganalisis beban
atau dampak lingkungan di semua tahapan dalam suatu siklus hidup suatu sumber
daya, baik dari proses awal ekstraksi hingga tidak dapat digunakan kembali
(dibuang) (Palupi dkk., 2014) dan menurut Cherubini et al (2008) LCA dapat
digunakan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan mengenai pilihan
sistem pengelolaan sampah atau keputusan strategis tentang prioritas sumber daya
yang digunakan.
ISO-14040 mendefinisikan LCA sebagai "LCA adalah salah satu teknik
yang dikembangkan untuk lebih memahami dan menangani dampak dari produk,
baik saat diproduksi maupun dikonsumsi, termasuk dampak yang mungkin terkait

19
dengannya". ISO-14040 juga secara jelas menunjukkan empat tahap untuk
melakukan LCA, yaitu tujuan dan definisi ruang lingkup, analisis persediaan,
penilaian dampak, dan interpretasi.
Tahap pertama pada LCA adalah menyususun dan menginventarisasi
masukan dan keluaran yang berhubungan dengan produk yang akan dihasilkan.
Kemudian melakukan evaluasi terhadap potensi dampak lingkungan yang
berhubungan dengan masukan atau keluaran dari produk tersebut; serta
menginterprestasikan hasil analisis dan penafsiran dampak dari setiap tahapan
yang berhubungan dengan objek studi. LCA dapat memberikan informasi dampak
lingkungan dari siklus produk, dari ekstraksi bahan mentah, proses produksi,
penggunaan produk dan waste dari produk yang dihasilkan dari sebuah kegiatan
produksi.

Gambar 2.2. Tahapan-tahapan LCA (ISO 14040.,1997)

2.7.1 Tahapan-tahapan Life Cycle Assessment (LCA)


Empat tahapan pada LCA adalah sebagai berikut:
1. Definisi Tujuan dan Ruang Lingkup (Goal and Scope Definition)
Fase ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan tujuan, sistem
yang akan dievaluasi, batasan-batasan, dan asumsi-asumsi yang

20
berhubungan dengan dampak di sepanjang siklus hidup dari sistem yang
sedang dievaluasi.
2. Analisis inventori siklus hidup (Life cycle inventory)
LCI mencakup pengumpulan data dan perhitungan input dan output ke
lingkungan dari sistem yang sedang dievaluasi. Fungsinya adalah
menginventarisasi penggunaan sumber daya, penggunaan energi dan
pelepasan ke lingkungan terkait dengan sistem yang sedang dievaluasi.
3. Penilaian Dampak (Life Cycle Impact Assessment)
LCIA adalah fase LCA yang bertujuan untuk memahami dan
mengevaluasi besarnya dan signifikansi dari potensi dampak lingkungan
dari sistem produk. Penilaian dampak pada LCA terdiri dari beberapa
bagian yaitu:
 Klasifikasi dan Karakterisasi (Classification and characterization)
Klasifikasi adalah langkah mengidentifikasi dan mengelompokkan data
kategori dampak yang dirumuskan pada LCI. Pelaksanaan tahap ini
digunakan untuk mengetahui besarnya nilai pencemaran dari masing-
masing kategori dampak.
Karakterisasi merupakan tahap kuantifikasi kontribusi dampak dari
kategori dampak yang dipilih dari sistem produk.
 Normalisasi (Normalization)
Normalisasi adalah prosedur yang diperlukan untuk menunjukkan
kontribusi relatif dari semua kategori dampak pada seluruh masalah
lingkungan di suatu daerah dan dimaksudkan untuk menciptakan satuan
yang seragam untuk semua kategori dampak. Nilai normalisasi dapat
diketahui dengan mengalikan nilai karakterisasi dengan nilai “normal”,
sehingga semua kategori dampak sudah memakai unit yang sama dan bisa
dibandingkan.
 Pembobotan (Weighting)
Pembobotan dapat dilakukan dengan mengalikan hasil normalisasi atau
dampak normalisasi nilai potensial oleh faktor bobot. Setelah langkah

21
pembobotan, semua potensi dampak lingkungan dikonversi ke single
score/nilai tunggal.
 Nilai tunggal (Single score)
Nilai tunggal digunakan untuk mengklasifikasikan nilai kategori dampak
berdasarkan aktivitas atau proses. Dari nilai tunggal akan terlihat aktivitas
mana yang berkontribusi terhadap dampak lingkungan. Tabel 2.6
menyajikan daftar kategori dampak lingkungan dari Masyarakat
Toksikologi Lingkungan dan Kimia (SETAC)-Eropa di LCIA.

Tabel 2.6 Daftar kategori dampak SETAC-Eropa


Input related categories
1. Abiotic resources (deposits, funds, flows)
2. Biotic resources (funds)
3. Land
Output related categories
4. Global warming
5. Depletion of stratospheric ozone
6. Human toxicological impacts
7. Ecotoxicological impacts
8. Photo-oxidant formation
9. Acidification
10. Eutrophication (incl. BOD and heat)
11. Odour
12. Noise
13. Radiation
14. Casualities
Pro memoria: Flows not followed to the system boundary
Input related
Output related
Sumber: Haes, 1996 dalam Finnveden dkk., (2005).

4. Penentuan Perbaikan atau Interpretasi (Interpretation)


Penentuan perbaikan merupakan tahapan intepretasi dari keseluruhan
tahap sebelumnya. Intepretasi ini nantinya akan mengarah pada perbaikan
untuk menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari system
produk atau proses yang diamati. Pada tahapan ini hasil dari fase LCA

22
sebelumnya dibandingkan dengan tujuan penelitian yang disebutkan pada
definisi tujuan dan ruang lingkup.
Pada tahap interpretasi LCA temuan dari analisis inventori dan penilaian
dampak digabungkan bersama-sama untuk menghasilkan kesimpulan dan
rekomendasi, konsisten dengan tujuan dan ruang lingkup penelitian.

2.8. SimaPro
Software SimaPro ini merupakan salah satu software generasi terbaru dan
biasanya digunakan dalam membantu analisa Life Cycle Assessment (LCA).
Dimana software ini membantu menganalisis aspek-aspek lingkungan dari produk
maupun jasa secara sistematis dan konsisten.
SimaPro ini dikembangkan dan dipasarkan oleh Pre Consultants, didirikan
pada tahun 1990, di Belanda. Pré Consultants spesialisasi dalam solusi
lingkungan Life Cycle Assessment. PRé Consultants menawarkan konsultasi
global dan membantu dalam menilai, memperbaiki dan mengelola lingkungan
kinerja produk dan jasa dengan bantuan alat profesional seperti SimaPro
menyusul rekomendasi ISO 14040 series, perangkat lunak memungkinkan
pengguna untuk memodelkan dan menganalisa siklus kehidupan yang kompleks
secara sistematis dan transparan. Adapun beberapa cakupan fitur sebagai berikut:
1. Pemodelan siklus hidup yang kompleks dan produk yang kompleks.
2. Fitur analisis lanjutan.
3. Termasuk metode penilaian persediaan (LCI) database dan dampaknya.
4. Ecoinvent database yang disertakan, opsional untuk versi pendidikan.
5. Tersedia dalam berbagai versi (single/multi user) dan dalam berbagai
bahasa seperti Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Jepang, Swedia, Korea,
Belanda dan Inggris.
Adapun metode yang digunakan dalam penilaian dampak yang terdapat
pada software SimaPro seperti ReCiPe, Eco-indicator 99, USEtox, IPCC 2007,
EPD, Impact 2002+, CML-IA, Traci 2, BEES, Ecological Footprint EDIP
2003, Ecological scarcity 2006, EPS 2000, Greenhouse Gas Protocol dan lainnya
(Broca, 2008).

23
SimaPro menggunakan berbagai metode evaluasi yang akan
mengklasifikasikan zat menurut efeknya terhadap dampak lingkungan seperti
perubahan iklim, asidifikasi, eutrofikasi dan penipisan lapisan ozon. SimaPro
menggunakan Eco Indikator 99 menunjukkan kontribusi relatif dari setiap
proses dihitung dengan lingkungan.

2.9 Eco-Indikator
Standar Eco-indikator adalah angka yang menujukan total beban
lingkungan dari produk atau prosses dengan menggunakan perangkat lunak LCA
yang sesuai untuk menghitung indicator tambahan. Dengan desain standar eco-
indikator dapat menganalisis beban lingungan produk selama siklus hidup. Setiap
alternative desain yang berbeda dapat dibandingkan. Laporan ini menjelaskan
standar indicator serta keterbatasan.
Eko-indikator bahan atau proses adalah bilangan yang menandakan
dampak lingkungan dari bahan atau proses, berdasarkan data dari penilaian siklus
hidup. Semakin tinggi indikator, semakin besar dampak lingkungan. Dalam eco-
indikator 99, istilah “lingkungan” didefinisikan menjadi tiga jenis kerusakan,
yaitu:
1. Kesehatan manusia: Dalam kategori ini mencantumkan jumlah, durasi
penyakit dan tahun hidup yang hilang karena kematian dini dari dampak
lingkungan. Dimana dampak yang dimaksud meliputi perubahan iklim,
penipisan lapisan ozon, dampak karsinogenik, infeksi saluran pernafasan
dan radiasi ion (nuklir).
2. Ekosistem: Dalam kategori ini mencantumkan dampak pada keragaman
spesies, terutama pada tumbuhan berpembuluh dan organisme yang lebih
rendah. Dampak tersebut meliputi ekotoksisitas, pengasaman, eutrofikasi,
dan penggunaan tanah.
3. Sumber daya: Dalam kategori ini mencantumkan energi surplus yang
diperlukan di masa depan untuk menghasilkan kualitas mineral dan
sumber daya fosil yang rendah.

24
Nilai- nilai standar eco-indikator telah dikembangkan sebagai alat penilaian:
eco-indikator diperuntukan untuk mendesain. Eco-indikator adalah alat yang
digunakan dalam pencarian desain alternatif ramah lingkungan dan ditujukan
untuk penggunaan internal.
 Nilai standar eco-indikator tidak diperuntukan dalam bidang
pemasaran, untuk bidang pelabelan atau untuk membandingkan bahwa
produk A lebih baik dari pada produk B.
 Nillai standar indicator juga tidak diperuntukan sebagai instrument
bagi pemerintah untuk penetapan standard an penyusunan pedoman.

Hal ini dihelaskan dalam susunan kebiijakan “Produk dan lingkungan”


dimana pemerintah Bellanda merancangkan perkembangan indikator,
pemanfaatan eco-indikator hanya memiliki satu tujuan yaitu menghasilkan produk
yang ramah lingkangan. Oleh karena itu, eco-indikator dapat digunakan pada
perusaan atu sector (Baayen, 2000)

2.10. Dampak Terhadap Lingkungan


Dampak lingkungan terdiri dari beberapa macam, yakni Climate Change,
Acidification, Eutrophication, Ozone Layer Depletion dapat dijelaskan sebagai
berikut:
2.10.1. Perubahan Iklim (Climate Change)
Perubahan iklim terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer, sebagai akibat dari transportasi, industri, tumpukan sampah perkotaan,
peternakan, pertanian, perubahan tata guna lahan, konversi hutan, dan sebagainya.
Gas rumah kaca yang dimaksud adalah CO2, CO, H2O, N2, H2, OH, NO, H, O, C
dan CH4. Gas-gas ini terperangkap di atmosfer, menyerap dan memantul kembali.
Akibatnya, panas tersimpan di permukaan bumi, terjadi ketidakstabilan dalam
lapisan troposfer, dan akhirnya terjadi perubahan iklim. Salah satu gas rumah kaca
penyebab perubahan iklim adalah gas metana (CH4), yang dihasilkan oleh
timbunan sampah. Timbunan sampah yang semakin tinggi dan tidak adanya
pengolahan lebih lanjut menimbulkan emisi gas metana yang semakin besar.

25
Peningkatan emisi CH4 mengakibatkan dampak perubahan iklim semakin luas.
Hal ini disebabkan karena gas metana mempunyai daya rusak 20-30 kali lebih
kuat dari CO2. Bahkan, konsentrasi CH4 yang bertahan di atmosfer selama 7-10
tahun dapat meningkatkan suhu bumi sebesar 1,30 0C.
2.10.2. Asidifikasi (Acidification)
Asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana (Pambudi,
2008). Definisi lainnya, asidifikasi mengacu pada proses peningkatan keasaman
pada sistem air dan tanah (Arena dkk., 2003). Polutan utama penyebab asidifikasi
adalah SOx, NOx, HCl dan NH3. Polutan asidifikasi memiliki keasaman yaitu
membentuk ion H+ . Polutan yang berpotensial meningkatkan keasaman dapat
diukur kapasitas untuk membentuk ion H+ (Banar dkk., 2009). Hasil polutan dari
gas-gas asidifikasi dapat merusak kualitas lingkungan apabila terlepas ke udara
(van Hareen dkk., 2010).
2.10.3. Eutrofikasi (Eutrophication)
Eutrofikasi adalah sebuah fenomena yang dapat mempengaruhi ekosistem
air atau pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan
ke dalam ekosistem air. Eutrofikasi disebabkan karena adanya peningkatan nutrisi
kimia dalam suatu ekosistem, yang lazimnya nutrisi tersebut mengandung
senyawa nitrogen atau fosfor. Menurut Barus (1986) bahwa nitrogen sangat
berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi, fitoplankton, dan tumbuhan air
membutuhkan nitrogen sebagai sumber nutrien utama bagi pertumbuhannya.
Maka, semakin tinggi kandungan nitrogen, semakin meningkat pula populasi alga
sehingga dapat menyebabkan eutrofikasi pada ekosistem air.
Eutrofikasi dapat terjadi di darat maupun di air. Eutrofikasi merupakan
suatu hasil dari pencemaran, seperti pembuangan limbah domestik ke dalam
badan air alami (sungai atau danau) walaupun eutrofikasi sering ditemukan terjadi
secara alami di alam dengan kondisi di mana nutrisi-nutrisi kimia terakumulasi
atau terbawa masuk ke dalam sistem lingkungan.
2.10.4. Penipisan Lapisan Ozon (Ozone Layer Depletion)
Kerusakan lapisan ozon adalah istilah yang sering digunakan untuk
mendeskripsikan berkurangnya atau hilangnya lapisan ozon yang terdapat pada

26
lapisan atmosfir. Salah satu penyebab rusaknya atau menipisnya lapisan ozon
yaitu oleh pembakaran limbah jenis plastik menghasilkan berbagai senyawa yang
berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Selain itu, pembakaran limbah jenis ini
juga hanya akan menambah jenis pencemaran yang ada. Jumlah satu ton sampah
plastik sekali pakai yang dibakar akan menghasilkan jumlah karbon dioksida yang
sama dengan 1 ton. Pembakaran limbah jenis plastik akan menghasilkan gas
buang dan residu yang justru menambah jenis pencemaran yang terjadi di
lingkungan. Bahaya tersebut biasanya diitimbulkan oleh adanya emisi gas dan
partikel debu. Gas-gas berbahaya yang ditimbulkan oleh pembakaran sampah
antara lain adalah gas karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur
dioksida (SO2), Dioxin dan Furan.
Salah satu jenis zat yang sangat berbahaya dalam kandungan gas sisa
pembakaran plastik adalah dioksin yang bersifat karsinogen atau menimbulkan
kanker. Efek samping dioksin terhadap binatang adalah perubahan sistim hormon,
perubahan pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan penekanan
terhadap sistim kekebalan tubuh. Efek samping dioksin terhadap manusia adalah
perubahan kode keturunan (marker) dari tingkat pertumbuhan awal dari hormon.
Gas karbondioksida yang tercipta ketika adanya proses pembakaran dapat
memperbesar kemungkinan penipisan lapisan ozon dan meningkatkan pengaruh
rumah kaca di permukaan bumi. Asap hasil pembakaran juga meningkatan resiko
masyarakat terkena kanker paru-paru karena di dalam kandungan asap hasil
pembakaran tersebut terdapat berbagai senyawa-senyawa yang berbahaya bagi
kesehatan.

Tabel 2.7 Critical Review Penelitian Dampak Lingkungan Pengelolaan


Sampah Dengan Metode LCA
Metode
Penulis
Tujuan Penelitian Indikator Lingkungan yang
(Tahun)
digunakan
Banar Memilih pengelolaan Abiotic resources, LCA
dkk., sampah yang optimal global warming, dengan
(2009) dengan mengevaluasi dari acidification, software

27
sudut pandang lingkungan, eutrophication, SimaPro 7
serta alternatif sistem photochemical oxidant,
toksisitas manusia
Bovea Membandingkan dari sudut Global warming, LCA
dkk., pandang lingkungan, acidification, dengan
(2010) alternatif yang berbeda eutrophication, software
untuk pengelolaan sampah photochemical oxidant SimaPro 7
van Membandingkan dampak Efek kesehatan, LCA
Haaren lingkungan pada metode penipisan sumber daya, dengan
dkk. kompos sistem windrow eutrophication, software
(2010) sebagai pupuk dan sebagai perubahan iklim SimaPro
alternatif penutup harian di
TPA
Blengini Mengukur potensi dan Global warming, LCA
dkk., dampak lingkungan serta acidification, dengan
(2012) energi, meningkatkan eko- eutrophication, software
efisiensi, meningkatkan photochemical oxidant, SimaPro
program keberlanjutan dan penggunaan energi
Habib Mengukur dan Global warming LCA
dkk., membandingkan emisi gas dengan
(2013) rumah kaca yang timbul dari software
berbagai skenario SimaPro 7.3
pengelolaan sampah yang
pada akhirnya memberikan
kontribusi global warming
Auvaria, Mengkaji dampak Global warming, LCA
Shinfi pengelolaan sampah acidification, dengan
Wazna eksisting di TPA terhadap eutrophication software
(2013) emisi GRK, asidifikasi dan SimaPro
eutrofikasi .
Hardianto, Menganalisis tipologi secara Global warming, LCA
(2016) teknis-non teknis acidification, dengan
operasional dan dampak eutrophication, ozon software
lingkungan fasilitas daur layer depletion SimaPro
ulang di Malang Raya

28

Anda mungkin juga menyukai