Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Karakteristik Perawat

2.1.1 Pengertian Karakteristik

Karakteristik adalah kemampuan untuk memadukan nilai-nilai yang menjadi


filosofi atau pandangan dunia yang utuh, memperhatikan komitmen yang teguh dan
responden yang konsisten terhadap nilai-nilai tersebut dengan mengenerasikan
pengalaman tertentu menjadi satu sistem nilai (Notoatmodjo, 2000 dalam Ismael,
2009).
Secara teori, karakteristik perawat mempengaruhi motivasi dalam melakukan
suatu pekerjan. (Sitepu, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Muksydayan (2012),
karakteristik dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, pengalaman bekerja,
pengetahuan, sikap, dan perilaku. Sejalan dengan penelitian Ismael (2009),
karakteristik dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, lama kerja, dan lingkungan.
Dalam penelitian ini, karakteristik yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan lama bekerja.
a. Usia
Usia perawat secara garis besar menjadi indikator dalam kedewasaan dalam
setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya.
Karakteristik seorang perawat berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap
kinerja dalam praktik keperawatan, dimana semakin tua umur perawat maka
dalam menerima sebuah pekerjaan akan semakin bertanggung jawab dan
berpengalaman. Hal ini akan berdampak pada kinerja perawat dalam praktik
keperawatan pada pasien semakin baik pula (Smet, 2004 dalam Nurniningsih,
2012).
Usia merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan akan
terjadi. Usia menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat
keragaman tindakan berdasarkan usia yang dimiliki (Sujarwo, 2004). Menurut
penelitian Ismael (2009), usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau
maturitas perawat. Kedewasaan adalah tingkat kemampuan teknis dalam
melakukan tugas maupun kedewasaan psikologis, semakin bertambah lanjut usia
seseorang semakin meningkat pula kedewasaan seseorang, demikian juga
psikologisnya akan menunjukkan kematangan jiwa. Meningkatnya usia seseorang,
akan meningkat pula kebijaksaan dan kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan dan berpikir rasional.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin umumnya digunakan untuk membedakan seks seseorang, yaitu
laki-laki atau perempuan. Penelitian psikologis telah menemukan bahwa laki-laki
lebih agresif dan lebih besar kemungkinan dalam memiliki pengharapan untuk
sukses, sehingga laki-laki lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan perempuan.
Penjelasan yang paling logis adalah bahwa secara historis perempuan bertanggung
jawab terhadap rumah tangga dan keluarga (Robbins & Judge, 2001 dalam
Elvarida, 2010).
Bekerja sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Pada
pekerjaan yang bersifat khusus, misalnya pekerjaan yang berat maka jenis
kelamin sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja, akan tetapi pada
pekerjaan yang pada umumnya lebih baik dikerjakan oleh laki-laki akan tetapi
pemberian ketrampilan yang cukup memadai pada wanitapun mendapatkan hasil
pekerjaan yang cukup memuaskan. Ada sisi lain yang positif dalam karakter
wanita yaitu ketaatan dan kepatuhan dalam bekerja, hal ini akan mempengaruhi
kinerja secara personal (Smet, 2004 dalam Nurniningsih, 2012).
c. Tingkat pendidikan
Perawat sebagai bagian penting dari rumah sakit dituntut memberikan

perilaku yang baik dalam rangka membantu pasien dalam mencapai

kesembuhan. Pendidikan seorang perawat yang tinggi akan memberikan

pelayanan kesehatan yang optimal. Bagi seorang perawat yang menjalankan

profesinya sebagai perawat, saat menjalankan profesinya harus memiliki

pengetahuan dan pendidikan dalam bidang-bidang tertentu, untuk itu

dibutuhkan pendidikan yang sesuai agar dapat berjalan dengan baik dan

professional. Karaktersitik keperawatan sebagai profesi antara lain memiliki

pengetahuan yang melandasi keterampilan dan pelayanan serta pendidikan

yang memenuhi standar. Pelayanan keperawatan yang profesional haruslah

dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Perawat dengan pendidikan yang cukup baik

akan melakukan praktik keperawatan yang efektif dan efisien yang selanjutnya

akan menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Tingkat


pendidikan yang cukup akan memberikan kontribusi terhadap praktik

keperawatan. Tingkat pendidikan seorang perawat akan mempengaruhi dasar

pemikiran dibalik penetapan standar keperawatan (Smet, 2004 dalam

Nurniningsih, 2012).

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan

daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin

luas pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan

dalam mendapatkan pengetahuan. Nasution (1987) yang dikutip oleh Garnadi

(2004) mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan diri

kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung

jawab untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai

sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

d. Lama bekerja

Lama bekerja adalah lama seorang perawat yang bekerja di rumah sakit dari

mulai awal bekerja sampai saat selesai seorang perawat berhenti bekerja.

Semakin lama masa kerja seseorang dalam bekerja maka semakin banyak

pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, hal ini dapat membantu dalam

meningkatkan kinerja seorang perawat. Lama bekerja seseorang dapat

diketahui dari mulai awal perawat bekerja sampai saat berhenti atau masa

sekarang saat masih bekerja di rumah sakit (Smet, 2004 dalam Nurniningsih,

2012).

Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang

dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis

seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan

pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab tindakan tapi oleh

penyebab masa lalu (Rakhmat, 2001 dalam Muksydayan, 2012). Apa yang

dialami seseorang akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan


terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar

terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan,

seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek

psikologis (Azwar, 2003 dalam Muksydayan, 2012).

Siagian, (2000) dalam Ismael (2009) menyimpulkan bahwa makin lama

kinerja kerja seseorang maka akan semakin terampil dan pengalaman

menghadapi masalah dalam pekerjaannya. Lama kerja seseorang perawat pada

instalasi yaitu dari mulai perawat resmi sebagai karyawan rumah sakit tersebut.

Maryoto, (1990 ) dalam Ismael (2009) berpendapat bahwa apabila seseorang

bekerja belum cukup lama, sedikit banyaknya akan mengakibatkan hal–hal

yang kurang baik antara lain belum menghayati pekerjaan yang menjadi

tanggung jawabnya. Masa kerja seseorang yang terlalu lama dalam suatu

organisasi juga merupakan gejala yang tidak sehat. Akibat yang mungkin

timbul antara lain adalah rasa bosan karena pekerjaan sama dalam waktu yang

lama, sifat pasif dan mundurnya motivasi dan inisiatif dalam bekerja serta

mempengaruhi kreativitas seseorang karena tidak ada tantangan yang berarti.

Kepuasan kerja relatif tinggi pada waktu permulaan bekerja menurun secara

berangsur-angsur selama 5-6 tahun dan selanjutnya kepuasan meningkat.


2.2 Konsep Dasar Pengetahuan

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior) (A. Wawan & Dewi M, 2018).

Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menukar apabila seseorang

mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri

atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang

ingin diketahuinya itu (Suryani & Hendryadi, 2015).

Pengetahuan adalah hasil pengideraan manusia, atau hasil tau seseorang terhadap

suatu objek dari indra yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra

penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecapan. Pengetahuan akan memberikan

penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan dalam berperilaku

(Setiawati, 2009).

2.2.2 Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Pengetahuan yang cukup didalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu :
1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dimana dapat menginterpretasikan secara tepat.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi terus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh dan menyimpulkan.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Hal ini ditandai dengan seseorang dapat

menggunakan prinsip, hukum-hukum, rumus metode yang telah diketahui tersebut

pada situasi yang lain.

4. Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut,

dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

suatu materi atau objek penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri (Notoatmodjo, 2012).

2.2.3 Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan


1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha mengembangkan suatu kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin mudah orang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun
dari media massa
2. Umur
Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.
Semakin tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau
pengetahuan yang dimiliki.
3. Lama Kerja
Pekerjaan adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sehingga
memperoleh penghasilan.
4. Pelatihan
adalah bagian dari proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemapuan dan keterampilan khusus seseorang atau sekelompok orang
(Notoatmodjo, 2014)

2.2.4 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang

bersifat kualitatif, yaitu :

a. Baik : Hasil Persentase 76%-100%


b. Cukup : Hasil Persentase 56%-75%
c. Kurang : Hasil Persentase < 56%
(Arikunto, 2010).

Tingkat pengetahuan dikelompokkan menjadi dua kelompok apabila respondennya


adalah masyarakat umum, yaitu :
1) Tingkat pengetahuan kategori Baik nilainya > 50%
2) Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik nilainya ≤ 50%
(Budiman & Riyanto A, 2013).

2.2.5 Cara Memperoleh Pengetahuan


Berbagai cara yang telah digunakan untuk memperoleh pengetahuan sepanjang sejarah,
dapat dikelompokkan yaitu:
a. Cara Kuno Untuk Memeperoleh Pengetahuan

1. Coba Cara Salah (Trial And Error)


Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan
masalah dan jika kemungkinan tersebut tidak dapat berhasil maka dicoba
kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat terselesaikan.
2. Cara Kekuasaaan (Otoritas)
Sumber pengetahuan cara ini dapat dikemukakan oleh orang yang
mempunyai otoritas baik berupa pimpinan-pimpinan masyarakat formal
maupun informal, ahli agama, pemegang perintah tanpa menguji terlebih
dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta yang empiris
maupun dengan pendapat sendiri.
3. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman
yang pernah di peroleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa
lalu.
4. Melalui Jalan Pikiran
Dengan adanya perkembangan kebudayaan umat manusia, maka manusia juga
ikut berkembang melalui jalan pikirannya. Manusia mampu menggunakan
penalaran dalam mendapatkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).

b. Cara Modern Untuk Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih

sintesis, logis dan alamiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih

popular disebut metode penelitian (Notoatmodjo, 2012).


3.2 Konsep Dasar VAP

3.3.1 Pengertian Ventilator Associated Pneumonia

Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia nosokomial yang

terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui

pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi (Hunter, 2006). VAP didefinisikan sebagai

pneumonia yang didapat oleh pasien-pasien yang memakai ventilator mekanik selama

> 2 hari terhitung sejak hari pertama pemasangan ventilator, dimana ventilator tersebut

masih dalam keadaan terpasang sehari sebelum atau tepat pada hari pasien tersebut

mendapat pneumonia. Jika pasien tersebut dirujuk ke fasilitas lain untuk mendapat

ventilator, hari penerimaan pasien tersebut terhitung sebagai hari pertama (CDC, 2014).

American College of Chest Physicians (2006) mendefinisikan VAP sebagai

pneumonia yang terjadi 48-72 jam setelah pemasangan ventilator yang ditandai dengan

adanya infiltrat baru atau infiltrat yang progresif, tanda-tanda infeksi sistemik (demam

dan tingginya white blood cell count), perubahan karakteristik sputum dan adanya agen

penyebab yang dapat terdeteksi.

VAP dibagi menjadi early onset (awitan dini) yang terjadi dalam 96 jam pertama

setelah pemasangan ventilasi mekanis dan late onset (awitan lambat) yang terjadi lebih

dari 96 jam setelah pemasangan ventilasi mekanis.(Hunter, 2006).


2.3.2 Etiologi

Sebagian besar kasus VAP disebabkan oleh patogen yang normalnya terdapat di

orofaring dan saluran cerna, atau yang didapat dari petugas medis yang berasal dari

lingkungan atau dari pasien-pasien lain (Park, 2005).

Beberapa mikroorganisme penyebab VAP yang umum diketahui adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae

Escherechia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter

calcoaceticus, dan Acinetobacter baumannii.(Park, 2005).

Bakteri-bakteri penyebab early onset VAP biasanya merupakan bakteri yang relatif

lebih peka terhadap antibiotik, sedangkan late onset VAP biasanya disebabkan oleh

bakteri-bakteri multi drug resistant (MDR) sehingga early onset VAP biasanya

memiliki prognosis yang lebih baik daripada late onset VAP(American Thoracic

Society, 2005).Walau demikian, pasien VAP awitan dini yang sebelumnya telah

memperoleh antibiotika atau yang pernah mempunyai riwayat rawat inap dalam 90 hari

sebelumnya berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi patogen MDR dan harus dikelola

sebagai VAP awitan lambat (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

(PERDICI), 2009).

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi mengenai bakteri penyebab

VAP. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Anandita (2009) di ICU

RSUPNCM tahun 2005-2006 yang menunjukkan penyebab terbanyak VAP adalah

Acinetobacter anitratus yang disusul oleh Klebsiella pneumonia, Pseudomonas

aeroginosa, Staphylococcus aureus, Enterobacter aerogenes, Staphylococcus

epidermidis, Proteus mirabilis, dan beberapa mikroorganisme lain.


2.3.3 Epidieomologi

VAP merupakan infeksi nosokomial tersering kedua di ICU dan merupakan infeksi

tersering pertama pada pasien-pasien yang menggunakan ventilator (Hunter, 2012).

Sekitar 86% pneumonia nosokomial berkaitan dengan penggunaan ventilator, yang

sering disebut sebagai VAP (Koenig and Truwit, 2006). Berdasarkan penelitian

Eggimann (2010), prevalensi VAP di dunia adalah 22,8% dengan 20% diantaranya

meninggal di rumah sakit. Prevalensi infeksi nosokomial ini lebih tinggi pada negara-

negara sedang berkembang dari pada negara-negara industri maju (Ulu-kilic et al,

2013). Prevalensi VAP di Indonesia belum diketahui secara pasti karena minimnya

penelitian yang dilakukan, namun data dari penelitian Rosa (2007) menunjukkan

prevalensi VAP di RSUPNCM adalah 39%.

Berdasarkan data yang diperoleh dari American Thoracic Society (2005),

early onset VAP lebih sering terjadi dibandingkan late onset VAP. Hal ini

disebabkan karena pemakaian ventilator umumnya adalah pemakaian jangka pendek

Pasien yang menderita VAP pada umumnya cenderung lebih lama di rawat di ICU.

Pasien yang tidak menderita VAP rata-rata bertahan di ICU sekitar 1-11 hari sedangkan

pasien yang menderita VAP rata-rata 1-23 hari dirawat di ICU. VAP juga dapat

memperpanjang masa pemakaian ventilator mekanis dari 4-7 hari menjadi 14-15 hari

karena pasien yang terkena VAP akan semakin bergantung terhadap alat bantu napas

tersebut. Lamanya masa rawat dan pemakaian ventilator meningkatkan biaya

pengobatan rata-rata > $40.000 (Rello, 2002).


Angka mortalitas penderita VAP bervariasi di setiap institusi tergantung pada

beratnya underlying disease dan penanganan yang dilakukan terhadap pasien tersebut.

Sebagian besar pasien yang menderita VAP merupakan pasien yang mengalami

gangguan neurologis (Walkey, 2009). Data dari American Thoracic Society (2005)

menunjukkan angka mortalitas VAP adalah sebesar 33-50% dan setiap tahunnya

menurun sekitar 9-13% karena penerapan pencegahan yang telah dilakukan. Angka

mortalitas VAP dapat meningkat pada keadaan bakteremia, terutama pada infeksi

Pseudomonas aeruinosa dan Acinobacter sp., post-operatif, dan pemberian antibiotik

yang tidak tepat.


2.3.4 Faktor risiko

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan VAP antara lain merokok, PPOK,

keparahan penyakit penyerta, terapi steroid, trauma kepala dan post operatif (Park,

2005). Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) (2009)

mengemukakan faktor risiko terjadinya infeksi patogen multiresisten yang

menyebabkan VAP adalah sebagai berikut:

1. Terapi antimicrobial dalam waktu 90 hari sebelumnya

2. Perawatan di RS selama 5 hari atau lebih

3. Prevalensi kuman yang resisten terhadap antibiotika di masyarakat atau pada unit

rumah sakit spesifik yang tinggi

4. Adanya faktor risiko HCAP :

- Riwayat rawat inap selama 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir

- Tinggal di panti wreda atau fasilitas perawatan jangka lama lainnya

- Terapi itravena di rumah (termasuk antibiotika)

- Dialysis kronik dalam 30 hari

- Perawatan luka di rumah

- Anggota keluarga ada yang terinfeksi patogen multiresisten

5. Penyakit imunosupresif dengan atau tanpa terapi immunosupresif.


.
2.3.5 Patogenesis

Ada empat rute masuknya patogen tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu:

(PDPI, 2003)

1. Aspirasi patogen orofaring atau tumpahnya sekret yang mengandung bakteri di

sekitar cuff pipa endotrakeal, merupakan rute utama masuknya bakteri ke dalam

saluran napas bawah dan didapati terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti

kasus neurologis dan usia lanjut (PDPI, 2003 dan PERDICI, 2009).

2. Inhalasi atau inokulasi patogen langsung ke dalam saluran napas bawah, misalnya

kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien

3. Hematogenik, misalnya melalui kateter intravena yang terinfeksi

4. Penyebaran langsung melalui lumen traktus gastrointestinalis, namun ini jarang

terjadi.
2.3.6 Penatalaksanaan

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah : (PDPI, 2003)

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus

mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai

penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat

2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan

cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.

Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang

terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.

3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil

kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.

4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman

MDR

5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis

memburuk

6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik

apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik

berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortalitas

apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

Prinsip pemilihan terapi VAP yang tepat adalah pengetahuan tentang organisme

yang mungkin menyebabkan VAP, pola kepekaan lokal pada ICU, rejimen

antibiotik yang rasional, dan kemampuan untuk menentukan kapan antibiotik harus

dilanjutkan atau dihentikan. Terapi efektif yang dilakukan secara cepat(awal) dapat

menurunkan angka mortalitas (Koenig, 2006).


4.2 Kerangka Konsep Penelitian

Adapun kerangka konsep penelitian yang berjudul Hubungan Karakteristik Perawat


Dengan Tingkat Pengetahuan Mengenai Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Di
ICU berdasarkan literature review adalah sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependen

Karakteristik Perawat :
Pengetahuan Mengenai
1. Usia
Ventilator Associated
2. Jenis Kelamin
Pneumonia (VAP)
3. Tingkat Pendidikan
4. Lama Bekerja

Gambar 4.2 Kerangka Konsep Penelitian

4.3 Variabel Penelitian


1. Variabel Independen
Variabel Independen penelitian ini adalah Karakteristik Perawat yang terdiri dari
Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Lama Bekerja
2. Variabel Dependen
Variabel Dependen penelitian ini adalah Pengetahuan Mengenai Ventilator
Associated Pneumonia (VAP)

4.4 Definisi Operasional

1. Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat responden melakukan penelitian
di hitung dengan satuan tahun
2. Jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada responen
3. Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

kebiasaan responden

4. Lama kerja adalah jangka waktu yang telah dilalui responden sejak menekuni
pekerjaan mulai dari awal hingga saat ini.

16

Anda mungkin juga menyukai