Anda di halaman 1dari 27

178

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DISLIPIDEMIA
Kode : ICD.E34

1. Pengertian Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan


(definisi) (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol LDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis
ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga
dikenal sebagai triad lipid.
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Pemeriksaan antropometri dan tekanan darah
Fisik
4. Kriteria Kolesterol LDL Klasifikasi
Diagnosis < 100 mg/dl Optimal
100 – 129 mg/dl Hampir optimal
130 – 159 mg/dl Borderline tinggi
160 – 189 mg/dl Tinggi
> 190 mg/dl Sangat tinggi
Kolesterol total
< 200 mg/dl Idaman
200 – 239 mg/dl Borderline tinggi
> 240 mg/dl Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dl Rendah
> 50 mg/dl Tinggi
5. Diagnosis Klasifikasi kadar kolesterol
6. Diagnosis Hiperkolesterolemia sekunder, karena
Banding  Hipotiroidisme
 Penyakit hati obstruksi
 Sindrom nefrotik
 Anoreksia nervosa
 Porfiria intermiten akut
 Obat : progestin, siklosporin, thiazide

Hipertrigliseridemia sekunder, karena


 Obesitas
 DM
 Gagal ginjal kronik
 Lipodistrufi
 Glycogen strorage disease
 Alkohol
 Bedah bypass ileal
 Stress
 Sepsis
 Kehamilan
 Obat : estrogen, isotretinoin, penghambat beta,
glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide
 Hepatitis akut
 Lupus eritematosus sistemik
 Gammopati monoklonal : myloma multipel, limfoma
 AIDS ; inhibitor protease
179

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HDL rendah sekunder, karena :


 Malnutrisi
 Obesitas
 Merokok
 Penghambat beta
 Steroid anabolic
7. Pemeriksaan Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia > 20 tahun
Penunjang setiap 5 tahun sekali
 Kadar kolesterol total
 Kadar kolesterol LDL
 Kadar kolesterol HDL
 Kadar trigliserida
Kadar glukosa darah
Tes fungsi hati
Urine lengkap
Tes fungsi ginjal
TSH
EKG
8. Terapi Untuk hiperkolesterolemia
Penatalaksanaan non farmakologis (Perubahan gaya hidup)
 Diet, dengan komposisi
o Lemak jenuh < 7% kalori total
o PUFA hingga 10% kalori total
o MUFA hingga 10% kalori total
o Lemak total 25-35% kalori total
o Karbohidrat 50 – 60% kalori total
o Protein hingga 15% kalori total
o Serat 20 – 30 g/hari
o Kolesterol < 200 mg/hari
 Latihan jasmani
 Penurunan berat badan bagi yang gemuk
 Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target


pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai, intensifkan
penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan
stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan
kerjasama dengan dietisien
Bila 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis
mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan
dan latihan jasmani
180

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Terapi farmakologis
o Golongan statin
 Simvastatin 5 – 40 mg
 Lovastatin 10 – 80 mg
 Pravastatin 10 – 40 mg
 Fluvastatin 20 – 80 mg
 Atorvastatin 10 – 80 mg
o Golongan bile acid sequestrant
 Cholestyramine 4-16 g
o Golongan nicotinic acid
 Nicotinic acid (immediate realese) 2 x 100 mg s/d
1,5 – 3 g
Target kolesterol LDL (mg/dl)
Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL
Resiko LDL untuk mulai untuk mulai
PGH terapi farmakologis

PJK atau < 100 > 100 > 130


Ekivalen PJK
(FRS > 20%)

Faltor resiko > 2 < 130 > 130 > 130 (FRS 10-20%)
(FRS < 20%) > 160 (FRS < 10%)

Faktor resiko 0-1 < 160 >160 > 190


(160-189 : Opsional)
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai
dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target
sudah tercapai (lihat tabel terget di atas), pemantauan setiap
4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu berikut terapi non-farmakologis tidak
berhasil menurunkan
kadar kolestrol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan.
Pasien dengan PJK kejadian koroner mayor atau dirawat untuk
prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika
kolestrol LDL > 100 mg/dl
Pasien dengan hipertriglisesidemia
Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas
Penatalaksaan farmakologis :

TARGET TERAPI
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi : tujuan
utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL
Pasien dengan trigliserida tinggi : target sekunder adalah kadar
kolestrol non-HDL yakni sebesar 30 mg/dl lebih tinggi dari
target kadar kolestrol LDL
Pendekatan terapi obat :
1. obat penurun kadar kolestrol LDL atau
2. ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid
Golongan fibrat terdiri dari :
 Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
 Fenofibrat 1 x 200 mg

Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditata


laksana
181

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

9. Edukasi

10. Prognosis
11. Tingkat I A/ I B
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. PERKENI
14. Indikator
Medis
15. Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada
Diabetes Melaus di Indonesia. 1995.
2. Expert Panel on Detection, EvaluatioD, and Treatment of
High blood Cholesterol in, Adults. Executive Summary of the
Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panei !If). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G. National Cholesteroi Education Program - Adult
Treatment Pane! III (NCEPATP III): Adakah hal yang baru?
Makalah Siang' Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN, GoldSerg IJ. Disorders of Lipcpfotein
Metabolism. In Braunwald E, Fauci AS. Kasper DL, Hauser
SL, Longc DL. Jameson JL. Harrison's Principles of Internal
Medicine.15th ed. New York: Mg Graw-Hill, 2001:2245-57
5. Suyono S. Terapi Gislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan
Sampai Kapan? Prosidiny Simposium Current Treatment in
-Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-
99:

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
182

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DIABETES MELITUS TIPE 2


ICD.E10 – E11

1. Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh


(definisi) hiperglikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan
produksi glukosa hepatik) dan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya

2. Anamnesa Keluhan khas (gejala klasik) DM: Poliuria, Polidipsia, Polifagia,


Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan tidak khas DM: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi, pruritus vulva

3. Pemeriksaan TB, BB, TD, lingkar pinggang


Fisik Tanda neuropati
Mata (visus, lensa mata dan retina)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku

4. Kriteria 1. Gejala klasik DM / krisis hiperglikemia + kadar


Diagnosis glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl (11,1
mmol/l) atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) >
126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.* atau
3. Kadar glukosa darah plasma > 200 mg/dl (11,1
mmol/l) 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram.* atau
4. Pemeriksaan HbA1c > 6.5 % dengan
menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).*

*Jika tidak adanya hasil yang unequivocal hiperglikemia, maka


pemeriksaan ulang harus dilakukan sebagai konfirmasi

5. Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2

6. Diagnosis Hiperglikemia reaktif


Banding Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT = IFG)

7. Pemeriksaan Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED


Penunjang Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
Urinalisis rutin, mikroalbuminuria
Kreatinin, SGPT, albumin/globulin, Faal hemostasis
Funduscopy (retinopati DM)
Pemeriksaan ABI : echo Doppler
ENMG (neuropati DM)

8. Terapi Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):


- Sulfonilurea
- Glinid
Penambah sensitivitas terhadap insulin:
- Biguanide: Metformin
- Tiazolidindion
Penghambat glukosidase alfa: Acarbose
Amylin analog: Pramlintide
183

Bile acid sequestrant: Colesevelam


Penghambat DPP-4: Linagliptin
GLP-1 reseptor agonis: Liraglutide
Dopamin 2 agonis: Bromokriptin
Penghambat SGLT-2: Empagliflozin
Insulin Basal, Insulin Pradial

9. Edukasi 1. Pasien dengan diabetes harus berpartisipasi dalam


Diabetes Self- Management Education (DSME) &
Diabetes Self-Management Support (DSMS).
2. Modifikasi gaya hidup
a. Diet DM berdasarkan 3J (jumlah, jenis, jam) 
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri. Jumlah kalori dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/KgBB
ideal. Yang ditambah atau dikurangi beberapa factor:
jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dll.
b. Latihan jasmani berdasarkan metode CRIPE
(Continious, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance). Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan
jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5x
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total
150 menit per minggu. Latihan jasmani dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal),
dengan kadar glukosa darah 100-250 mg/dL.
c. Hindari faktor2 yang memperberat. Misalnya: berhenti
merokok, penurunan BB, hindari alcohol, pemakaian
alas kaki yang baik, istirahat yang cukup dan teratur
d. Farmakologis. Edukasi cara makan obat OHO dan
pemberian insulin (cara, tempat, waktu dan
penyimpanan) serta efek samping obat.
~ Biguanid : sebelum makan (note: tidak boleh
digunakan pada keadaan GFR < 30 ml/min/1.73 m2
serta gangguan hati berat), bila mual boleh diberikan
sesudah makan. Efek samping: dyspepsia, diare.
~ Sulfonilurea : sebelum makan. Efek samping :
hipoglikemia, peningkatan berat badan.
~ Acarbose : saat suapan makan pertama. Efek
samping : flatulen, tinja lembek
~ Insulin : short acting 10-15 menit sebelum makan,
long acting Jam 22.00 sebelum tidur. Efek samping :
hipoglikemia, peningkatan berat badan.
e. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia,
khususnya pasien yang di terapi dengan sulfonylurea
dan injeksi insulin
3. Pendekatan psikososial

10. Prognosis Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah
penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad
bonam, namum qua ad fungsionam dan sanationannya adalah
dubia ad malam
11. Tingkat IA / I B
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah 1. PERKENI
Kritis 2. ADA 2017
14. Indikator
Medis
15. Lama 7-30 hari tergantung komplikasi yang menyertai
Perawatan
184

16. Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan


pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2015
2. American Diabetes Association Standards of
Medical Care in Diabetes. 2017.
3. The Expert Committee on The Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus Report of The Expert
Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus Care, Jan 2003; 26 (Suppl.1) 55-20
4. Suyono S. Type 2 diabetes mellitus is a B cell
dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002. The
Recent Management in Diabetes and its Complications :
From Molecular to Clinic. Jakarta 2-3 Nov 2002.
Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000.
Jakarta, 11-12 November 2000 : 185-99

Mengetahui / Menyetujui Palembang, 8 Maret 2018


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Metabolik

Dr. Norman Djamaludin, SpPD, K-HOM Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. NIP. 195501081983031001
185

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HIPOGLIKEMIA
ICD 10. E.16.2

1. Pengertian Kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah <
(definisi) 80 mg/dl dengan gejala klinis
Hipoglikemia pada DM terjadi karena :
 Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat
hipoglikemik oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal
ginjal kronik, pasca persalinan
 Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu
makan tidak tepat
 Kegiatan jasmani berlebihan
2. Anamnesa  Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral :
dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta; ginjal, hati, dll
 Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat
adrenergik  dll
3. Pemeriksaan  Pucat, diaphresis
Fisik  Tekanan darah
 Frekuensi denyut jantung
 Penurunan kesadaran
 Defisit neurologik fokal transien
4. Kriteria Pada pemeriksaan kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar
Diagnosis glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis sebagai berikut:
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara,
kesulitan menghitung sementara
 Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau
tangan gemetar
 Stadium ganguan otak berat ; tidak sadar, dengan atau
tanpa kejang
5. Diagnosis Hipoglikemia

6. Diagnosis Hipoglikemia karena


Banding  Obat
 (Sering) : insulin, sulfonilurea,alkohol
 (kadang) : kinin, pentamidine
186

 (jarang) : salisilat, sulfonamid


 Hiperinsulinisme endogen
 Insulinoma
 Kelainan sel  jenis lain
 Sekretagogue : sulfonilurea
 Autoimun
 Sekresi insulin ektopik

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

 Penyakit kritis
 Gagal hati
 Gagal ginjal
 Gagal jantung
 Sepsis
 Starvasi dan inanisi
 Defisiensi endokrin
 Kortisol, growth hormone
 Glukagon, epinefrin
 Tumor non –sel 
 Sarkoma
 Tumor adrenokortikal, hepatoma
 Leukemia, limfoma, melanoma
 Pasca-prandial:
 Reaktif (setelah operasi gaster)
 Diinduksi alcohol
7. Pemeriksaan  Kadar glukosa darah (GD)
Penunjang  Tes fungsi ginjal
 Tes fungsi hati
8. Terapi Stadium permulaan (sadar)
 Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau
sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula
atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
 Stop obat hipoglikemik sementara
 Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
 Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak
sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga
hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50
ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan
glukometer
 Bila GDS < 50 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 50 ml
IV
 Bila GDS < 100 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 25 ml
IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa
40%
 Bila GDS < 50 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 50 ml
187

IV
 Bila GDS < 100 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40% 25 ml
IV
 Bila GDS < 100-200 mg/dl  + bolus Dekstrosa 40%
ml IV
 Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut
pemantauan GDS setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di
atas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut


pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di
atas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut sliding
scale setiap 6 jam :
GD  RI
(mg/dl) (Unit subkutan)
< 200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian
antagonis insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau
glukagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebab insulin) Bila pasien
belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dl Hidrokortison 100 mg per
4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus
dianjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 – 2 g/kgBB IV
setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun

9. Edukasi

10. Prognosis Prognosis pad aumumnya baik bila penanganan cepat dan
tepat

11. Tingkat IA
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah 1. PERKENI
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Lama 3.5 Hari
Perawatan
16. Kepustakaan 1. PERKENI, Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus
Tipe 2006. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus.
Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan
2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakti Dalam. Jakarta, 15-16
April 2000 : 83-8
3. Cryer PE Hypoglycemia. In Brauwald E, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, James JL. Horrison’s Principles
188

of Internal Medicine. 15th ed New York McGraw-Hill,


2001:2138-43

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

KETO-ASIDOSIS DIABETIK (KAD)


Kode ICD. E15

1. Pengertian Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin


(definisi) absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes
melitus yang serius. Gambaran klinis utama KAD adalah
hiperglikemia, ketosis dan asidosis metabolic
2. Anamnesa  Keluhan poliuri, polidipsi
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam/infeksi
 Muntah
 Nyeri perut
 Penurunan kesadaran
3. Pemeriksaan  Kesadaran : CM – delirium-koma
Fisik  Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
 Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
 Dapat disertai syok hipovolemik
4. Kriteria Kadar glukosa > 250 mg/dl
Diagnosis PH < 7,35
HCO3 : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria
5. Diagnosis Ketoasidosis Diabetik

6. Diagnosis Ketosis diabetik


Banding Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik/hyperglycemic
hyperosmolar state
Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum
Minum alkohol, ketosis alkoholik
Ketosis hipoglikemia
Ketosis starvasi
Asidosis laktat
Asidosis hiperkloremik
Kelebihan salisilat
Drug-induced acidosis
Ensefalopati karena infeksi
7. Pemeriksaan  Gula darah
Penunjang  Elektrolit
 Ureum, kreatinin
 Aseton darah
 Urine rutin
189

 Analisa gas darah


 EKG
8. Terapi Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :
 NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu
± 1 L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga
dan kempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5
liter
 Jika Na+ > 155 mEq/L  ganti cairan dengan NaCl
0,45%.
 Jika GD < 200 mg/dl  ganti cairan dengan
dekstrosa 5%

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

II. Insulin (Regular insulin = RI)


 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB IV dilanjutkan
 RI drip 90 mU/kgBB /jam dalam NaCl 0,9%
 Jika GD < 200 mg/dl kecepatan dikurangi  RI drip 45
mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
 Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12jam  drip 1-
2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam

GD  RI
(mg/dl) (Unit, subkutan)
< 200 0
200-250 8
250-300 12
300-350 16
> 350 20
 Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dl : drip RI
dihentikan
 Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan
kebutuhan insulin ehari  dibagi 3 dosis sehari
subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium
 Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl
dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada gagal
ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan
tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat
 Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5  drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5 drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5-6,0 drip KCl 25 mEq/6 jam
> 6,0 drip stop
+
 Bila sudah sadar, diberikan K oral selama seminggu

IV. Bicarbonat
Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13 mEq drip
juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang
mengancam
V. Tatalaksana Umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar ( > 380 mOsml)
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
190

 Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan


temperatur setiap jam,
 Kesadaran setiap jam
 Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
 Produksi urin setiap jam
 Cairan infus yang masuk setiap jam
 Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan
penunjang)

9. Edukasi f.
10. Prognosis

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

11. Tingkat IA
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah 1. PERKENI
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Lama 7-10 hari
Perawatan
16. Kepustakaan 1. PERKENI. PETUNJUK Praktis Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2. 2006
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam
Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-
8
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding
Simposium panatalaksaan Kedaruratan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000 : 89-96.
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ.
Kreisberg RA, Malone Jl. Et.al. management of
Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes. Diabetes
Care, Jan 2001:24 (1) : 121-51.

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
191

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

KISTA TIROID
Kode : ICD.E07

1. Pengertian Nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari


(definisi) seluruh nodul tiroid
Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan
nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin
merupakan suatu keganasan
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid

2. Anamnesa  Sejak kapan benjolan timbul


 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau
tetap
 Cara membesarnya : cepat atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak nafas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Anamnesis yang mengarahkan diagnosa penyakit tiroid jinak,


tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker
tiroid.
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau
penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroidisme
 Nyeri berhubungan dengan nodul

Anamnesis yang meningkatkan kecurigaan ke arah


keganasan tiroid :
 Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau
dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid
jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
3. Pemeriksaan Lokal
192

Fisik  Nodus tunggal atau majemuk atau difus


 Nyeri tekan
 Konsistensi
 Permukaan
 Perlekatan pada jaringan sekitarnya
 Pendesakan atau pendorongan trakea
 Pembesaran kelenjar getah bening regional
 Pemberton’s sign

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosa penyakit tiroid


jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan
kanker tiroid.
 Nodul lunak mudah digerakkan
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi
sama

Pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah


keganasan tiroid :
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan
sulit digerakkan
 Paralisis pita suara
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dll)

Langkah diagnostik I : TSHs, FT4


Bila hasil Non-toksik  langkah diagnostik II
 fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis Kista tiroid
6. Diagnosis o Kista tiroid
Banding o Kista degenerasi
o Karsinoma tiroid

7. Pemeriksaan  USG tiroid


Penunjang  Dapat membedakan bagian padat dan cair
 Dapat untuk memandu BAJAH menemukan bagian solid
 Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya
hipoekoik sonolusen, dinding tipis
 Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin
 Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) pada bagian yang solid

8. Terapi Fungsi aspirasi seluruh cairan kista


Bila kista regresi  observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah
 fungsi aspirasi dan observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi
 operasi lobektomi

9. Edukasi
10. Prognosis
193

11. Tingkat IA/IB


Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah 1. PERKENI
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Lama
perawatan

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

16. Kepustakaan 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam


Waspadji S, et at. (eds). Buku Ajar II Penyakit Dalam.
Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKU1:757-65,
2 Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam
Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy Setiati S, Gani
RA,.Al;nri I (Pds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta, 199I:207-
13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Taksik (SNNT). In
Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryanto Gani RA,
Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan- Terapi di
Bidang Ilmu Penyakit Dak Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999:187-9.
4.Soe;Dardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid.
Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18
Oktober 2003.

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
194

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

STRUMA NODOSA NONTOKSIK


Kode : ICD.E04

1. Pengertian Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul


(definisi) tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme

2. Anamnesa Anamnesis umum


 Sejak kapan benjolan timbul
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau
tetap
 Cara membesarnya : cepat atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak nafas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

3. Pemeriksaan Umum
Fisik Lokal
 Nodul tunggal atau majemuk atau difus
 Nyeri tekan
 Konsistensi
 Permukaan
 Perlekatan pada jaringan sekitarnya
 Pendesakan atau pendorongan trakea
 Pembesaran kelenjar getah bening regional
 Pemberton’s sign

Penilaian resiko keganasan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan
diagnosa penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya
menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid.
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau
penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroidisme
 Nyeri berhubungan dengan nodul
 Nodul lunak mudah digerakkan
195

 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi


sama
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan
kecurigaan ke arah keganasan tiroid :
 Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau
dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid
jinak)?
 Riwayat keluarga kanker tiroid noduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan
sulit digerakkan

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

 Paralisis pita suara


 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dll)

4. Kriteria Langkah diagnostik I : TSHs, FT4


Diagnosis Hasil Non-toksik  langkah diagnostik II BAJAH nodul tiroid
hasil :
a. Ganas
b. Curiga
c. Jinak
d. Tak cukup/sediaan tak representatif

5. Diagnosis Struma Nodosa Nontoksik

6. Diagnosis Hipertiroidisme primer


Banding  Penyakit Graves
 Struma multinodosa toksik
 Adenoma toksik
 Metastasis karsinoma tiroid fungsional
 Struma ovarii
 Mutasi reseptor TSH
 Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme
 Tiroiditis subakut
 Tiroiditis silent
 Destruksi tiroid karena : amiodarone, radiasi, infark
adenoma
 Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)

Hipertiroidisme sekunder
 Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
 Sindrom resistensi hormon tiroid
 Tumor yang mensekresi HCG
 Tirotoksikosis gestasional

7. Pemeriksaan  Lab : T4 atau fT4, T3 dan TSH


Penunjang  Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
 Bila hasil lab : non-toksik
 Bila hasil lab (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold
nodule  syarat sudah menjadi eutiroid
 USG tiroid
 Pemantauan kasus nodul yang tidak dioperasi
196

 Pemandu pada BAJAH


 Sidik tiroid
 Bila klinis :ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH
(2x) jinak
 Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
 Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga
dengan karsinoma tiroid meduler, diperiksakan kalsitonin)
 Periksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga
penyakit Hashimoto

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

8. Terapi Sesuai hasil BAJAH, maka terapi :


A. Ganas
 operasi tiroidektomi near-total
B. Curiga
 Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku
(VC)
Bila hasil = ganas operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil = jinak  operasi lobektomi, atau
tiroidektomi near-total
 alternatif : sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule  operasi
C. Tak cukup/sediaan tak respresentatif
 Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi  operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah  observasi
 Jika nodul kistik (saat BAJAH) : aspirasi
Bila kista regresi  Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah 
Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi 
operasi lobektomi
D Jinak
 terapi dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
 Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
 Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari)
Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis dosis
naik menjadi 2x 100 ug sampai 4-6 minggu kemudian
evaluasi TSH (target 0,1-0,3 ulU/L
Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil
atau tidak (berhasil bila mengecil > 50% dari volume
awal) Bila nodul mengecil atau tetap
 L-tiroksin distop dan diobservasi
o Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-
tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1 –0,3 ulU/L
o Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah,
observasi saja.
 Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi
supresi  obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan
dilakukan pemeriksaan histopatologi  hasil PA
o Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,5 –
3,0 ulU/L
o Ganas terapi dengan L-tiroksin :
197

-
Individu dengan resiko ganas tinggi target TSH
0,01 –0,05 ulU/L
- Individu dengan resiko ganas rendah target TSH 0,05 –0,01
ulU/L

9. Edukasi

10. Prognosis
11. Tingkat IA
Evidens

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah 1. PERKENI
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Lama
perawatan
16. Kepustakaan 1. Kariadi SHKS Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam
Waspadji S, et al (eds0 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam.
Edisi 3 Jakarta, Balai Penerbit FKUI : 757-65
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam
Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendi S, Setiadi S, Gani
RA, Alwi I (eds) Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta,1997:207-13
3. Subekti I Struma Nodose Non-Toksik (SNNT) In
Simadibrata M. Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA.
Masjoer A (eds) Pedoman Diagnosis dan terapi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999: 187-
9
4. Sobardi S. Pemeriksaan Diagnostik Modul Tiroid.
Makalah Jakarta Endokrinology Meeting Jakarta 18
Oktoter 2003.
5. James JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid G:and.
In Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL. Longo DL,
Jameson JL. Harrison's Prin.ciples of Internal :5"ed. New
York: McGraw-Mit1; 200,:2060-84.

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
198

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

AKROMEGALI/GIGANTISME/ADENOMA HIPOFISIS
Kode : ICD. E.22.0

1. Pengertian Akromegali adalah kondisi klinis akibat berlebihnya aktifitas


(definisi) growth hormone (GH)/insulin like growth
2. Anamnesa

3. Pemeriksaan 
Fisik
4. Kriteria 
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
199

Rekomendasi
13. Penelaah 1.
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Lama
perawatan
16. Kepustakaan

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
200

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

TIROTOKSIKOSIS
Kode : ICD. E05.9

17. Pengertian Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid.


(definisi) Berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi
yang ditemukan bila suatu jaringan terpapar hormon tiroid yang
berlebihan.
18. Anamnesa  Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala yang khas
 Berat badan turun
 Perubahan suasana hati, bingung
 Diare
 Jantung berdebar - debar

19. Pemeriksa  Gejala & tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau
an Fisik yang lain
 Sistem saraf pusat terganggu, delirium, koma
 Demam tinggi s/d 40°C
 Takikardia s/d 130-200 kali/m
 Sering ; fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat
 Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif
 Dapat ditemukan ikterus
20. Kriteria  Nafsu makan meningkat
Diagnosis  Tidak tahan panas, banyak keringat
 Mudah lelah
 BAB sering
 Oligomenore/amenore dan libido turun
 Takikardia
 Fibrilasi atrial
 Tremor halus
 Refleks meningkat
 Kulit hangat dan basah
 Rambut rontok
 Bruit

Gambaran Klinis Graves


 Struma Difus
 Kadar hormone tiroid meningkat kadar T3H menurun
 Oftalmopati/eksoftalmus
 Dermopati lokal
 Thyroid acropachy
21. Diagnosis Tiroktosikosis

22. Diagnosis Hipertiroidisme primer


Banding  Penyakit Graves
 Struma multinodosa toksik
 Adenoma toksik
 Metastasis karsinoma tiroid fungsional
 Struma ovarii
 Mutasi reseptor TSH
 Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme
 Tiroiditis subakut
 Tiroiditis silent
 Destruksi tiroid karena : amiodarone, radiasi, infark
adenoma
 Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)
201

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Hipertiroidisme sekunder
 Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
 Sindrom resistensi hormon tiroid
 Tumor yang mensekresi HCG
 Tirotoksikosis gestasional

23. Pemeriksa Laboratorium


an Penunjang  TSHs
 T4 atau FT4
 T3 atau FT3
 Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian
obat antitiroid)
 Sidik tiroid/thyroid scan: terutama membedakan penyakit
plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa
 EKG
 Foto toraks

24. Terapi Obat Antititiroid


 PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000
mg/hari
 Metimazol dosis awal 20-30 mg/hari
Indikasi :
 Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang
remisi pada pasien muda dengan struma ringan-sedang
dan tirotoksikosis
 Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif
 Persiapan tiroidektomi
 Pasien hamil, lanjut usia
 Krisis tiroid
Penyekat adrenergik  pada awal terapi, sementara
menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu
pemberian antitiroid : propanolol dosis 40-200 mg dalam 4
dosis

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu.


Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali,
memantau gejala dan tanda klinis, serta lab FT 4/T4/T3 dan
TSHs
Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan
eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan
dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi
apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih
dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap
eutiroid atau terjadi relaps.
Tindakan bedah
Indikasi :
 Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons
dengan antitiroid
 Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis
tinggi
 Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima
yodium radioaktif
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
 Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
202

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Radioablasi
Indikasi
 Pasien berusia > 35 tahun
 Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
 Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
 Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antiitiroid
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

Tata laksana krisis tiroid


(Terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
 Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
 Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit : infus dextrose 5% dan NaCl 0,9%
 Mengatasi gagal jantung : O2 diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid
 Blokade produksi hormon tiroid
Propiltiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO.
Alternatif Metimazol 20-30 mg tiap 4-6 jam PO pada
keadaan sangat berat : dapat per NGT, PTU 600 –
1.000 mg atau metimazol 60-100 mg
 Blokade eksresi hormon tiroid :
Solutio Lugol (saturrated solution of potassium lodida) 8
tetes tiap 6 jam
  - blocker
Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan
respons (target : frekuensi jantung < 90 x/m)
 Glukokortikoid :
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam
 Bila refrakter terhadap terapi di atas ; plasmaferesis,
dialisis peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi antibiotik, dll

25. Edukasi Perlunya dukungan keluarga dalam hal kepatuhan meminum


obat
26. Prognosis Progronis dapat baik apabila ditangani dengan cepat dan
tepat, namun fungsi dan kemungkinan kondisi berulang dapat
kurang baik apabila penyebabnya tidak diatasi
27. Tingkat IA/IB
Evidens
28. Tingkat A
Rekomendasi
29. Penelaah 2. PERKENI
Kritis
30. Indikator
Medis
31. Lama
perawatan
32. Kepustakaan 1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiroidisme. Dalam Waspadji S,
et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta
Balai Penerbit FKUI : 766-72
2. Jameson JL. Weetman AP. Disorders of the
Thyroid Gland Gland. In Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL.
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 15th ed. New York : McGraw-Hill,
2001:2060-84.
203

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF PENYAKIT DALAM
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

3. Suyono S, Subekti I. Patologenesis dan Gambaran


Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology
Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
4. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves.
Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18
Oktober 2003.
5. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam
Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000: 78-
82

Mengetahui / Menyetujui Palembang,….. April 2014


Ka. Departemen Penyakit Dalam Ketua. Divisi Endokrin Imunologi

Dr. H.A. Fuad Bakry, SpPD, K-GEH Dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD
NIP. 1952060619790051001 NIP. 195501081983031001
204

Anda mungkin juga menyukai