Dokter muslim adalah dokter yang beragama Islam, menguasaiilmu kedokteran dan dalam
melaksanakan tugas profesi serta kehidupannya sejalan denganatau berdasarkan syariat Islam.
Banyak rumusan tentang dokter muslim telah dikemukakan oleh berbagai kalangan. Ilmu
kedokteran dapat dikatakan islami dengan Sembilan karakteristik, yaitu :
1. Dokter harus mengobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan Al-Quran
2. Tidak menggunakan bahan haram atau dicampur dengan unsur haram
3. Dalam pengobatan tidak boleh berakibat mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah
tidak ada alternatif lain
4. Pengobatannya tidak berbau tahayul, khurafat atau bid’ah
5. Hanya dilakukan oleh tenaga medis yang menguasai di bidang medis
6. Dokter memiliki sifat-sifat terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, takabur, senang
merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya
7. Harus berpenampilan rapih dan bersih
8. Lembaga-lembaga pelayanan kesehatan musti bersifat simpatik
9. Menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambang-lambang non-Islamis
10. Percaya akan adanya kematian yang tidak terelakan seperti banyak ditegaskan dalam
Al-Quran dan hadits Nabi
11. Menghormati pasien, diantaranya, berbicara dengan baik kepada pasien tidak
membocorkan rahasia dan perasaan pasien, dan tidak melakukan pelecehan seksual
12. Pasrah kepada Allah sebagai zat penyembuh
13. Beriman dan Bertaqwa
14. Penyayang, Penghibur, Murah Senyum
15. Sabar, Rendah Hati, Toleran
16. Tenang sekalipun dalam keadaan kritis
17. Peduli terhadap Pasien
18. Memandang semua pasien sama
19. Pemberi Nasehat
Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah sebuah standar perilaku seorang dokter dalam
melaksanakan profesinya. Kode Etik Kedokteran Indonesia merupakan pedoman bagi dokter
Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI
no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran
Indonesia.
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran
yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang berfungsi
sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4
kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar
moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika
merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran.
Surat Keterangan Dokter adalah surat atau tulisan dalam sebuah kertas yang dibuat oleh
Dokter yang isinya menerangkan mengenai kondisi atau keadaan kesehatan dan/atau penyakit
seorang pasien atau seseorang yang meminta surat dimaksud dan dapat dibuktikan
kebenarannya.
3.2 Jenis-Jenis
3.3 Sanksi atas Pelanggaran Terhadap Surat Keterangan yang Dikeluarkan Dokter
Para dokter dalam memberikan berbagai jenis surat-surat keterangan seperti tersebut di atas,
hendaknya berdasarkan keadaan yang sebenarnya dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Penyimpangan dalam pembuatan surat keterangan,selain tidak etis merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 267 KUHP sebagai berikut.
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atal tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan hukuman penjara paling
lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang dalam rumah
sakit gila atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan hukuman penjara paling lama
delapan tahun enam bulan.
3. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memberikansurat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Selanjutnya dalam
Hubungan dokter-pasien (HDP) merupakan pondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika
kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa, dokter menyatakan: ”Kesehatan
pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya” dan Kode Etik Kedokteran
Internasional menyebutkan: ”Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh
dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”. Interpretasi hubungan dokterpasien secara
tradisional adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien
hanya bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik secara etik
maupun hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia membuat keputusan
perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka 14 otonomi pasien kadang sangat
problematik. Secara yuridis HDP dimasukkan kedalam golongan kontrak.
Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai satu hal
(solis). Dokter mengikat dirinya untuk memberikan pelayanan kesehatan sedang pasien
menerima pelayanan tersebut. Dengan demikian terjadi suatu perikatan yang disebut transaksi
(kontrak) terapeutik yang mempunyai dua ciri yaitu: Adanya suatu persetujuan (consensual,
agreement) atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian
pelayanan pengobatan. hubungan dokter dengan pasien diatur dalam :
Pasal 53
Pasal 51
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Kewajiban dokter terhadap pasien diatur dalam kode etik kedokteran yaitu:
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya
Diatur dalam :
Pasal 14
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Bentuk-bentuk Sanksi Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya,
sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal
mungkin MKEK memberikan usul kepada Kanwil DEPKES Propinsi atau DEPKES untuk
memberikan tindakan administrative, sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan
pengulangan kesalahan yang sama dikemudian hari atau terhadap makin besarmya intensitas
pelanggaran tersebut. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran tergantung
pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik adalah upaya pencegahan
pelanggaran etik yaitu dengan cara terus menerus memberikan penyuluhan kepada anggota
IDI maupun PDGI, tentang etika kedokteran dan hokum keschatan. Namun jika terjadi
pelanggaran, maka sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik, schingga pelanggaran
yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran bagi dokter
lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:
1. Teguran atau tuntutan secara lisan dan tulisan
2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat
3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
4. Dicabut izin praktek dokter untuk sementara atau selama-lamanya
5. Pada kasus pelanggarancetikolegal, diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian
yang berlaku dan diproses ke pengadilan.
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana 17
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).