Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana denda adalah salah satu jenis sanksi pidana yang diatur dalam

KUHP. Pidana denda merupakan sanksi yang dikenakan kepada seseorang yang

telah melanggar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah berupa pembayaran

sejumlah uang dengan maksud agar si pelaku merasakan efek jera untuk

mengembalikan keseimbangan hukum. Pidana denda terdapat dalam Pasl 10

KUHP dan berada di urutan ketiga setelah hukuman mati, pidana penjara, dan

pidana kurungan.

Pidana denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana tertua dan sudah

ada sejak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka, akan tetapi masih dalam

bentuk yang sangat primitif. Kemudian setelah Indonesia merdeka barulah

dikodifikasikan dalam KUHP yang juga merupakan peninggalan Belanda.

Sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP hanya terbatas pada orang saja

karena dalam KUHP hanya menganggap orang atau manusia sebagai subjek

hukum, sehingga yang bisa dihukum atas perbuatannya itu hanyalah orang atau

manusia.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu muncul komunitas-komunitas lain

yang juga melakukan perusakan terhadap lingkungan, yaitu Korporasi. Korporasi

kemudian diterima sebagai subjek hukum karena korporasi juga dianggap dapat

melakukan suatu tindak pidana sehingga dengan diakuinya korporasi sebagai


2

subjek hukum maka juga bisa dikenakan sanksi pidana apabila mereka melakukan

tindak pidana.

Korporasi mempunyai tujuan untuk terus mencari, akan tetapi dalam

usahanya mencari keuntungan seringkali menimbulkan pelanggaran sehingga

menyebabkan kerugian terhadap lingkungan maupun orang lain di sekitar tempat

usaha tersebut. Korporasi mempunyai kekuasaan yang kuat sehingga seringkali

mereka bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang sudah ada, bahkan

menyebabkan banyak korban dan kerugian. Akan tetapi, meskipun korporasi

sering melakukan pelanggaran hukum, seringkali mereka terbebas dari

pertanggungjawaban hukum sehingga kejahatan tersebut semakin berkembang

luas. Oleh karena korporasi itu mempunyai kekuatan yang kuat seringkali mereka

bermain dengan hukum, bahkan dengan mudah mereka bisa menghilangkan bukti-

bukti agar terbebas dari jeratan hukum.

Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi belakangan ini semakin marak

dengan tingkat kerumitan yang semakin kompleks, sehingga aturan-aturan yang

terdapat dalam KUHP dirasa tidak cukup untuk mengadili pelaku tindak pidana

lingkungan hidup. Terlebih lagi KUHP itu merupakan warisan Belanda yang akan

terasa tidak sinkron apabila digunakan untuk mengadili pelaku yang secara garis

besar adalah kejahatan berat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kebijakan diluar

KUHP untuk mengatur permasalahan yang tidak diatur dalam KUHP

Kebijakan tersebut dituang dalam UUPLH Nomor 32 Tahun 2009.

Undang-Undang Lingkungan Hidup menempatkan dirinya sebagai payung hukum

di bidang hukum lingkungan.


3

Maka dari itu, disini penulis akan mengkaji kembali mengenai

pertanggungjawaban korporasi tersebut dalam pembahasan mengenai Kebijakan

Formulasi Pidana Denda Terhadap Korporasi Ditinjau Dari Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan diatas, maka dapat ditarik rumusan

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Pidana Denda Terhadap Korporasi

Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup?

2. Bagaimanakah Pidana Pengganti Denda Terhadap Korporasi Dalam

Tindak Pidana Lingkungan Hidup?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Tujuan Penelitian

Peneltian ini bertujuan untuk :

1. Untuk memahami Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Pidana Denda

Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

2. Untuk mengetahui Bagaimanakah Pidana Pengganti Denda Terhadap

Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis
4

1. Dapat mengembangkan ilmu penulisan dibidang hukum dan dapat

mempraktekkannya di kehidupan sehari-hari.

2. Memberikan gambaran dan membangun pemikiran mengenai

masalah yang timbul di kalangan korporasi serta dapat menemukan

jalan keluar untuk permasalahan tersebut.

3. Memberikan dasar-dasar serta landasan guna penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk lebih mengembangkan penalaran dan untuk mengetahui

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama

kuliah.

2. Memberikan masukan dan manfaat bagi semua pihak terutama

membangun pemikiran dan pertimbangan bagi penegak hukum

ketika menyelesaikan masalah mengenai Kejahatan Korporasi.

D. Kajian Kepustakaan

1. Kebijakan Formulasi

Formulasi mempunyai makna Perumusan. Sedangkan Kebijakan

Formulasi adalah kebijakan yang dibuat untuk pertama kalinya serta dibuat untuk

mengatur suatu hal yang menyangkut tentang kebijakan publik mengenai suatu

permasalahan yang tidak ada sebelumnya. Kebijakan formulasi dalam proses

publik merupakan tahap yang paling rumit, karena implementasi dan evaluasi.

Kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah

selesai.
5

Dalam perumusan formulasi, pembuat kebijakan harus benar-benar

menyesuaikan antara masalah yang akan dibahas dengan peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan masalah tersebut. Pembuat kebijakan juga harus

menyesuaikan antara kebijakan yang sudah ada dengan kebijakan formulasi baru

yang akan dibuat supaya terdapat keselarasan dan tidak berbenturan arah nya. Jadi

ketika kebijakan formulasi baru itu dikeluarkan akan ada manfaat, sebab, dan

akibatnya.

2. Pidana Denda

Pidana denda adalah salah satu jenis sanksi pidana yang diatur dalam

KUHP. Pidana denda merupakan sanksi yang dikenakan kepada seseorang yang

telah melanggar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah berupa pembayaran

sejumlah uang dengan maksud agar si pelaku merasakan efek jera untuk

mengembalikan keseimbangan hukum. Pidana denda terdapat dalam Pasl 10

KUHP dan berada di urutan ketiga setelah hukuman mati, pidana penjara, dan

pidana kurungan.

Pidana denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana tertua dan telah ada

sejak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka, akan tetapi masih dalam bentuk

yang sangat primitif. Kemudian setelah Indonesia merdeka barulah

dikodifikasikan dalam KUHP yang juga merupakan peninggalan Belanda.

Sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP hanya terbatas pada orang saja

karena dalam KUHP hanya menganggap orang atau manusia sebagai subjek

hukum, sehingga yang bisa dihukum atas perbuatannya itu hanyalah orang atau

manusia.
6

Pidana denda awalnya hanyalah hubungan perdata yaitu ketika seseorang

merasa hak nya dirugikan maka ia bisa menggugat ke pengadilan agar sehingga ia

akan mendapat ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang di alami nya.

Pengenaan pidana denda dimaksudkan supaya mengurangi tindak pidana, salah

satunya kejahatan di bidang lingkungan hidup sehingga denda yang dikenakan

harus berjumlah lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang didapat

pelaku dari hasil kejahatan yang dilakukannya. Mengenai ini, UUPPLH

menetapkan bahwasanya pidana denda bagi pelaku koporasi diperberat sepertiga.

Ketentuan ini menjadikan tujuan pengenaan pidana denda tidak terwujud ketika

keuntungan yang didapat oleh korporasi dari kejahatan lingkungan hidup yang

dilakukannya lebih tinggi dibandingkan sanksi yang diterapkan kepada korporasi,

mengingat ancaman maksimal pidana denda dalam Undang-Undang ini hanya 15

Milyar.

Michael Faure dan Goran Skogh mempunyai pendapat bahwa dalam

menentukan besarnya denda harus diperhatikan lagi tingkat parahnya kejahatan

tersebut agar terlindunginya kepentingan msyarakat dan terpidana. Jika kejahatan

yang dilakukan mempunyai dampak yang luas terhadap lingkungan, maka

pelakunya juga harus dikenakan sanksi yang besar. Jadi semakin besar kerusakan

yang diakibatkan maka semakin besar sanksi nya. Hal ini bermaksud selain untuk

memperbaiki lingkungan hidup yang sudah tercemar dan/atau rusak, juga untuk

membuat pelaku merasakan efek jera. Denda yang dikenakan terhadap pelaku

harus setimpal dengan perbuatannya agar dia menyadari dampak tindakannya


7

tersebut. Sehingga dia dapat menyesali atas perbuatan yang dikerjakannya.

Sedangkan untuk biaya yang dikeluarkan negara untuk proses pengadilan

termasuk dalam biaya operasional dalam proses pengadilan. Sanksi pidana yang

dibayarkan terpidana kemudian itu menjadi biaya untuk menutupi kerusakan atau

kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan pelaku, serta biaya

selama proses pengadilan berlangsung.

3. Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation, Jerman: coporation)

berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Corporare berasal dari “corpus”

(Indonesia : badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan.

Korporasi merupakan sekelompok orang dan/atau kekayaan yang terorganisir,

baik badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pengertian korporasi sudah banyak diterjemahkan oleh para pakar

hukum.Korporasi mempunyai pengertian yang sudah banyak dirumuskan oleh

beberapa tokoh hukum. Menurut Subekti dan Tjitrosudibjo bahwa korporasi yaitu

suatu perseorangan yang merupakan badan hukum. Sedangkan Yan Pramadya

Puspa berpendapat bahwa yang dikatakan dengan korporasi adalah suatu

perseorangan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini yang

dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum disebut

sebagai pengemban hak dan kewajiban serta mempunyai hak menggugat satu

sama lain.

Tindak pidana korporasi digolongkan dalam kejahatan kerah putih,

dikarenakan yang terlibat dalam kejahatan ini biasanya orang-orang yang


8

mempunyai kekuasaan yang besar, sehingga kejahatannya terstruktur. Tindak

pidana korporasi itu merupakan kejahatan yang kompleks sehingga untuk

penyelesaiannya pun dibutuhkan suatu aturan hukum yang kompleks juga.

Korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku kejahatan apabila dalam pelaksanaan

tugas dan/atau dalam menjalankan suatu usaha melakukan suatu perbuatan yang

tidak sejalan dengan aturan yang sudah ditetapkan serta bertentangan dengan

arahan yang diberikan.

Kejahatan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh

manusia maupun badan hukum yang dapat merusak atau mencemari lingkungan,

atau mengakibatkan hilangnya manfaat lingkungan hidup tersebut, serta

mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat sekitar. Perbuatan tersebut

sebagaimana sudah disebutkan dalam UUPPLH dilakukan oleh badan usaha yang

melakukan usaha di suatu wilayah dan usaha nya tersebut terus berkembang pesat.

Dalam UUPPLH jika badan usaha melakukan pelanggaran maka yang harus

mempertanggungjawabkannya adalah badan usaha itu sendiri serta seseorang

yang memberikan perintah, sedangkan jika kejahatan tersebut dilakukan oleh

individu maka individu tersebutlah yang harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

Perumusan kejahatan Lingkungan Hidup, dalam UUPPLH dapat kita lihat

selalu berawal dengan kata “barang siapa”. Perumusan itu menunjukkan

bahwasanya subjek hukumnya hanya terbatas pada subjek hukum orang. Akan

tetapi jika diperhatikan pernyataan pada Pasal 1 yang dikatakan dengan orang

adalah perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum, sehingga
9

menurut pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa korporasi juga

dianggap salah satu subjek hukum. UUPPLH menggunakan istilah-istilah lain

untuk korporasi seperti istilah badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, dan

organisasi lain; diatur dalam Pasal 45.

Rumusan yang terdapat dalam Pasal 45 UUPPLH No. 32 Tahun 2009

menyebutkan adanya bentuk korporasi dengan sebutan “organisasi lain” sebagai

subjek hukum, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa adanya organisasi

lain selain istilah-istilah diatas sebagai subjek tindak pidana. Artinya bahwa

organisasi-organisasi lain yang walaupun tidak disebutkan dalam ketentuan

tersebut juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum apabila mereka

melakukan kejahatan karena mereka juga merupakan bagian dari korporasi. Jadi

tidak terpaku pada istilah Korporasi yang dijelaskan dalam Pasal saja, melainkan

juga istilah “organisasi lain” harus ditafsirkan pengertiannya

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis dan sifat penelitian.

Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil,

penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian normatif. Penelitian normatif

adalah penelitian hukum kepustakaan. Yang nantinya penulis akan meneliti

melalui norma-norma dan sumber hukum yang ada, serta kajian para ahli.
10

Sedangkan dilihat dari sifatnya jenis penelitian ini bersifat desktiptif.

Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu

menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis, sehingga dapat lebih mudah

untuk dipahami dan disimpulkan. Sehingga dengan menggunakan penelitian ini

dapat memberi gambaran mengenai pelaksanaan kebijakan formulasi pidana

denda terhadap korporasi dalam hukum pidana indonesia.

2. Metode Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode

pendekatan yang digunakan adalah secara yuridis normatif yaitu pendekatan

terhadap peraturan perundang-undangan serta teori-teori hukum.

Dalam hal ini penulis akan mengkaji Kebijakan Formulasi Pidana Denda

Terhadap Korporasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

membandingkannya KUHP maupun Undang-Undang khusus diluar KUHP.

3. Sumber dan Jenis Data

a. Sumber Data

Adapun sumber data yang akan digunakan dalam melakukan

penelitian ini ialah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yang

bersumber pada bahan pustaka, buku atau literature yang mengenai

permasalahan yang akan diteliti. Studi kepustakaan akan dilakukan

di beberapa tempat, yaitu Pustaka Pusat Universitas Malikussaleh,

Pustaka Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Pustaka Kota


11

Panyabungan Mandailing Natal, dan sumber bacaan lainnya seperti

artikel, jurnal, dan situs-situs internet lainnya.

b. Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibagi menjadi dua,

yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang

diperoleh dari bahan pustaka. Adapun untuk mendapatkan data yang

akurat dan sesuai dengan pendekatan masalah dan ruang lingkup

yang digunakan, maka jenis data yang digunakan ialah data

sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

bahan-bahan hukum. Jenis data sekunder yang dipergunakan dalam

penulisan ini terdiri dari :

1) Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan yang memiliki kekuatan hukum mengikat

kepada masyarakat yang berupa peraturan perundang-undangan

antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

c. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang

Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

2) Bahan hukum sekunder


12

Yaitu bahan hukum yang memuat penjelasan atau keterangan-

keterangan mengenai peraturan perundang-undangan, berbentuk

buku-buku yang ditulis oleh pakar hukum, literature-literature,

hasil penelitian yang telah dipublikasi, makalah, jurnal-jurnal

hukum, dan data-data lain yang berhubungan dengan objek

penelitian.

3) Bahan hukum tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan arahan maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus yang

diperlukan agar penulis terbantu dalam menerjemahkan istilah

yang digunakan dalam penulisan ini. Bahan ini didapat dari kamus

hukum dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data pada pengumpulan data yang penulis gunakan, berkisar pada

instrumen utama yaitu studi kepustakaan. Untuk mendapatkan data dalam

penelitian deskriptif, maka dapat dipakai teknik pengumpulan data yaitu

studi dokumen yang diterapkan untuk mencari konsepsi, teori, pendapat

hingga berbagai temuan yang berkaitan dengan isu hukum yang menjadi

fokus penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data Dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Peneliti akan melakukan penelitian kembali dari berbagai badan

hukum yang didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum


13

sekunder maupun bahan hukum tersier terkait dengan persoalan yang

akan dikaji. Setelah itu penulis melakukan pengklasifikasian dari

bahan-bahan yg ada untuk kemudian dicocokkan dengan penelitian yg

ada sehingga mempermudah membandingkan teori yang akan

dikemukakan.

b. Analisis Data

Analisis merupakan penjelasan dari semua bahan-bahan maupun data-

data yang sudah dikumpulkan dan dijelaskan sebelumnya secara

sistematis, penjelasan tersebut di uraikan secara logis menurut

pemikiran dari penulis. Terdapat beberapa jenis teknik analisis data,

tetapi dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data

bersifat kualitatif.

Teknik analisis data bersifat kualitatif yaitu metode analisis data

dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari

penelitian lapangan mnenurut kualitas dan kebenarannya kemudian

disusun secara sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan metode

berpikir secara deduktif dihubungkan dengan teori-teori dari studi

kepustakaan (data sekunder), kemudian dibuat kesimpulan yang

berguna untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.


14

BAB II
KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA DENDA TERHADAP KORPORASI
DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
A. Sistem Perumusan Pidana Denda Dalam UU No. 32/2009 Tentang PPLH.
Pidana denda adalah satu dari sekian banyak jenis sanksi pidana tertua dan

sudah ada sejak zaman dahulu, akan tetapi masih dalam bentuk yang sangat

primitif. Kemudian setelah Indonesia merdeka barulah dikodifikasikan dalam

KUHP yang juga merupakan peninggalan Belanda.

Sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP hanya terbatas pada orang saja

karena dalam KUHP hanya menganggap manusia sebagai subjek hukum,

sehingga hanya manusia lah yang bisa dihukum atas perbuatannya.

Pidana denda ialah jenis sanksi pidana yang disebutkan dalam KUHP.

Pidana denda merupakan hukuman yang dikenakan kepada seseorang yang tidak

mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah berupa

pembayaran sejumlah uang dengan maksud agar pelaku merasakan efek jera

untuk mengembalikan keseimbangan hukum. Pidana denda terdapat dalam Pasl

10 KUHP dirmuskan sebagi berikut :

a. Dirumuskan dengan pilihan yaitu penjara atau kurungan atau denda

terdapat pada 17 Pasal

b. Dirumuskan dengan pilihan yaitu penjara atau denda yang terdapat

pada 124 Pasal

c. Dirumuskan dengan mandiri yang terdapat dalam 44 Pasal

Berdasarkan penjelasan diatas bisa kita lihat sebagian besar pasal-pasal

yang terdapat dalam KUHP itu dirumuskan dengan alternatif, sedangkan untuk
15

mandiri (tunggal) hanya sebagian kecil saja dan hanya tertuang dalam delik

pelanggaran saja. Dalam KUHP hanya mengenal batas maksimum khusus dan

tidak mengenal batas maksimum umum pidana denda.

Dalam penerapannya di pengadilan hakim cenderung sering menggunakan

pidana penjara dibandingkan pidana denda. Hakim mempunyai pendapat jika

sanksi pidana ini dirasa tidak begitu adil terhadap masyarakat dan juga dirasa

terlalu ringan. Sehingga hukuman ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku

kejahatan. Hal iulah yang membuat hakim di pengadilan lebih sering menjatuhkan

pidana penjara dibandingkan sanksi denda. Terlebih lagi dalam KUHP tidak

diatur mengenai siapa yang harus membayar denda, sehingga ada kemungkinan

lain denda dibayarkan oleh orang lain dan bukan dibayarkan oleh yang

bersangkutan. Akibatnya, sanksi denda ini menjadi tidak efektif apabila dikenakan

terhadap pelaku kejahatan. Selain itu, dalam KUHP juga tidak disebutkan

tenggang waktu pelaksanaan hukuman serta tidak ada tindakan pengadilan untuk

memaksa pelaku agar segera membayarkan denda yang dikenakan terhadapnya.

Dalam perkembangannya aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah yang

dituang dalam KUHP tidak cukup untuk menampung segala persoalan yang

terjadi dalam masyarakat. Masyarakat memerlukan suatu aturan hukum yang

cakupannya lebih luas dan sekiranya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan

modern yang terjadi saat ini serta tidak dapat diselesaikan dengan aturan hukum

yang lama. Sehingga pemerintah membuat suatu aturan hukum diluar KUHP yang

sekiranya dapat menjawab persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan

adanya Undang-Undang khusus diluar KUHP ini diharapkan agar kepastian


16

hukum lebih terjaga dan semua persoalan yang terjadi dalam masyarakat ada

aturan hukumnya. Dengan adanya Undang-Undang diluar KUHP akan lebih

mudah menjerat pelaku kejahatan.

Salah satu Undang-Undang diluar kodifikasi adalah UUPPLH Nomor 32

Tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut menganut sistem komulatif, dimana

pidana denda dan pidana penjara dapat dikenakan berbarengan. Pidana denda

dapat dikenakan terhadap korporasinya, dan pidana penjara dapat dikenakan

terhadap orang yang mewakili korporasi tersebut. Jadi baik orang maupun

korporasi tetap harus mempertanggungjawabkan kejahatannya. Dalam UU ini

tidak disebutkan pidana kurungan disebabkan tindak pidana dalam UU ini

merupakan kejahatan berat semua. Selain itu pidana kurungan juga tidak mungkin

bisa dikenakan kepada korporasi.

Dalam UUPPLH juga disebutkan pidana tambahan. Jika kita perhatikan

lagi sebenarnya pidana tambahan yang terdapat dalam UUPPLH tersebut

merupakan penjabaran dari sanksi tambahan yang disebutkan dalam Pasal 10

KUHP. Bedanya, dalam UUPPLH ini lebih detail dijabarkan dan lebih dijelaskan

lagi bentuk hukumannya. Salah satu contohnya adalah pidana perampasan barang

dalam KUHP dengan pidana perampasan keuntungna yang disebutkan dalam

UUPPLH memiliki kemiripan, akan tetapi dalam UUPPLH ini lebih luas cakupan

redaksinya.

Sayangnya, dalam UUPPLH ini tidak disebutkan mengenai tenggang

waktu pelaksanaan pidana denda yang dijatuhkan pengadilan serta tidak ada

tatacara eksekusinya. Sehingga ini menjadi salah satu kelemahan UUPPLH


17

sebagai Undang-Undang khusus diluar KUHP. Selain itu juga tidak disebutkan

berapa lama perusahaan yang sudah ditutup tersebut dapat dibuka kembali.

Delik inti dalam UU No. 32/2009 adalah pencemaran serta perusakan

lingkunga. Ancaman hukuman disetiap pasalnya itu berbeda-beda baik hukuman

penjaranya maupun dendanya, dimana untuk pidana penjaranya itu mulai dari 1-

15 Tahun dan untuk pidana denda nya itu mulai dari 500jt-1M. Pasal tentang

kejahatan dalam UUPPLH itu mulai dari pasal 98 sampai pasal 120.

Dalam pasal-pasal kejahatan yang dilakukan oleh dalam UUPPLH tersebut

bisa kita lihat bahwa untuk sistem pemidanaannya menganut sistem komulatif,

dimana pidana denda dan penjara dapat dikenakan bersamaan. Sedangkan untuk

sanksi tambahan itu merupakan kebijakan hakim dan sepenuhnya diserahkan

berdasarkan keputusan hakim atau dengan kata lain bersifat diskresi.

Dalam UU No. 32/2009 menganut sistem penjatuhan sanksi yang bersifat

hukuman minimum dan maksimum. Dengan adanya batas minimal tersebut maka

hakim mempunyai batasan untuk menjatuhkan hukuman denda kepada pelaku,

apakah hakim akan menjatuhkan pidana diatas batas minimal atau sama dengan

batas minimal tersebut. Tampaknya pembuat Undang-Undang ini berharap agar

pelaku kejahatan ini dihukum dengan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang

dilakukannya, karena kejahatan lingkungan bukanlah kejahatan yang bisa

dianggap remeh, banyak korban berjatuhan dan juga kerugian yang dialami

masyarakat. Selain itu dengan adanya batas minimum juga tidak menyebabkan

disparitas yang terlalu besar ketika hakim menjatuhkan


18

B. Pedoman Pemidanaan Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana


Lingkungan Hidup.
Hakim mempunyai peranan yang penting dalam penjatuhan pidana. Hakim

wajib memperhatikan keadaan yang ada di dekat pelaku, bagaimana pengaruh

kejahatan yang dilakukannya, apa pengaruh hukuman yang dijatuhkan

terhadapnya pada saat ini dan masa depan, dan banyak hal lain yang harus

dipertimbangkan hakim. Semua nya ini adalah pedoman

Pemidanaan sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas adalah suatu

proses. Ketika hakim menjatuhkan pidana penjara, selain harus

mempertimbangkan keadaan pelaku, hakim juga harus mempertimbangkan

keadaan pelaku agar dia dapat terhindar dari pidana penjara, misalnya faktor usia

pelaku, apakah kejahatan itu pertama kali dilakukan atau tidak, tingkat kerugian

yang dialami si korban, apakah sudah ada ganti rugi dan sebagainya.

Banyak indikator yang harus dipertimbangkan hakim sehingga keberadaan

hukuman penjara di Indonesia tidak perlu dicemaskan lagi. Bahkan dalam

praktiknya hakim lebih banyak menggunakan pidana penjara dan pidana kurungan

daripada sanksi denda. Akan tetapi dalam hal suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman penjara jika hakim berpendapat lain dan setelah

mempertimbangkan tidak dapat dikenakan dengan pidana penjara maka hakim

boleh menjatuhkan pidana lain selain pidana kurungan atau pidana penjara yaitu

pidana denda.
19

Jika hakim memilih untuk mengenakan pidana denda, maka harus

dipertimbangkan secara benar-benar, supaya tidak ada orang yang dirugikan baik

si pelaku ataupun korban. Akan tetapi pidana denda itu seringkali dianggap tidak

memberikan rasa adil bagi si korban karena pidana denda ini kurang efektiv dan

diangap terlalu ringan, juga dalam aturannya tidak ada disebutkan siapa yang

wajib membayar denda sehingga bisa saja memungkinkan pihak ketiga yang

membayar nya. Pidana denda ini juga mempunyai pengganti jika denda nya tidak

dibayar, yaitu pidana kurungan.

Untuk kejahatan lingkungan hidup maka pertanggungjawabannya diatur

dalam UUPPLH No. 32/2009 mulai dari Pasal 98-120. Berdasarkan UUPPLH

maka yang dapat dikenakan hukuman adalah orang atau badan hukum. Salah satu

Undang-Undang diluar kodifikasi adalah UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009. Dalam

Undang-Undang tersebut menganut sistem komulatif, dimana pidana denda dan

pidana penjara bisa diterapkan berbarengan. Pidana denda bisa diterapkan

terhadap korporasinya, dan pidana penjara dapat dikenakan terhadap orang yang

mewakili korporasi tersebut. Jadi baik orang maupun korporasi tetap harus

mempertanggungjawabkan kejahatannya. Dalam UU ini tidak disebutkan pidana

kurungan disebabkan tindak pidana dalam UU ini merupakan kejahatan berat

semua. Selain itu pidana kurungan juga tidak mungkin bisa dikenakan kepada

korporasi.

Dalam UUPPLH juga disebutkan pidana tambahan yang bisa diterapkan

terhadap pelaku kejahatan. Jika kita perhatikan lagi sebenarnya pidana tambahan

yang terdapat dalam UUPPLH tersebut merupakan penjabaran dari pidana


20

tambahan yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Bedanya, dalam UUPPLH ini

lebih detail dijabarkan dan lebih dijelaskan lagi bentuk hukumannya. Salah satu

contohnya adalah pidana perampasan barang dalam KUHP dengan pidana

perampasan keuntungna yang disebutkan dalam UUPPLH memiliki kemiripan,

akan tetapi dalam UUPPLH ini lebih luas cakupan redaksinya.

BAB III
21

PIDANA PENGGANTI DENDA TERHADAP KORPORASI DALAM


TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

A. Jenis Pidana Yang Telah Dijatuhkan Pengadilan Sebagai Pengganti


Pidana Denda Yang Tidak Dibayar Oleh Korporasi Dalam Tindak
Pidana Lingkungan Hidup.

Dalam rumusan UUPPLH pasal mengenai kejahatan itu terdapat dalam

Pasal 98-Pasal 120. Dapat kita lihat berdasarkan Pasal-Pasal tersebut sanksi yang

dikenakan terhadap pelaku adalah pidana penjara dan sanksi denda. Dalam

UUPPLH sistem perumusan pidana menganut sistem komulatif, yang artinya

bahwa kedua hukuman tersebut sanksi denda dan penjara dapat dikenakan

berbarengan terhadap pelaku. Pidana denda dikenakan terhadap korporasinya dan

pidana penjara dikenakan terhadap perwakilan korporasi tersebut. Terhadap

subjek hukum orang maka bisa dikenakan hukuman penjara, sedangkan untuk

subjek hukum badan hukum dalam hal ini adalah korporasi tidak bisa dikenakan

pidana penjara sehingga pidana yang memungkinkan untuk dikenakan hanyalah

pidana denda.

Akan tetapi dalam UUPPLH tidak mengatur bagaimana jika yang

bersangkutan tidak membayarkan denda nya, apakah ada jenis tindak pidana lain

sebagai penggantinya atau tidak. Sehingga ini menjadi salah satu kelemahan

Undang-Undang ini

Salah satu kelemahan dalam UUPPLH adalah disana tidak mengatur jenis

sanksi pengganti jika pelaku yang bersangkutan tidak mau membayar uang denda

nya yang dikenakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan. Oleh sebab itu kita

kembali mengacu ke Pasal 30 KUHP yang mana disana mengatur apabila denda
22

tidak dibayarkan maka dapat ditukar dengan kurungan, belum ada Undang-

Undang yang belum mengatur mengenai hal itu maka pengaturannya tetap

mengacu kepada Pasal 30 KUHP.

Akan tetapi bagaimana jika pidana denda tersebut dikenakan terhadap

korporasi, dan korporasi tersebut tidak mau membayarkan denda, maka hukuman

pidana kurungan sebagai pengganti tetap tidak dapat dikenakan terhadap

korporasi, karena korporasi tidak mungkin bisa dikurung. Dalam KUHP pidana

pengganti denda yaitu pidana kurungan itu hanyalah untuk pelaku tindak pidana

berupa orang. Sehingga Pasal 30 KUHP tidak berlaku untuk korporasi dan untuk

korporasi tersebut tidak memiliki aturan hukum atau kekososngan hukum.

Subjek hukum lingkungan hidup ialah manusia maupun badan hukum,

artinya bahwa pelaku yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya ialah

manusia atau badan hukum. Dalam pemidanaannya tidak terdapat kendala dalam

UUPPLH bahkan untuk pidana pengganti pun sudah disebutkan dalam KUHP

Pasal 30 yaitu pidana kurungan, yang mna Pasal 30 KUHP menyebutkan

bahwasanya apabila pelaku kejahatan tidak membayar denda yang telah

dikenakan maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Dalam KUHP sudah ada

alternatif pidana pengganti nya. Akan tetapi bagaimana jika pidana denda tersebut

dikenakan terhadap korporasi, dan korporasi tersebut tidak mau membayarkan

denda, maka hukuman pidana kurungan sebagai pengganti tetap tidak dapat

dikenakan terhadap korporasi, karena korporasi tidak mungkin dikurung. Dalam

KUHP pidana pengganti denda yaitu pidana kurungan itu hanyalah untuk pelaku

tindak pidana berupa orang. Sehingga Pasal 30 KUHP tidak berlaku untuk
23

korporasi dan untuk korporasi tersebut tidak memiliki aturan hukum atau

kekososngan hukum.

Oleh sebab itu maka terjadilah kekosongan hukum sanksi apakah yang

akan dikenakan sebagai pengganti denda jika sanksi denda tersebut tidak

dibayarkan oleh yang bersangkutan. Dalam penerapannya di pengadilan juga

terdapat beberapa perbedaan dimana ada pengadilan yang hanya memberikan

pidana denda serta tidak memberikan pilihan sanksi pengganti jika denda tidak

dibayar oleh yang bersangkutan, ada putusan pengadilan yang memberikan pidana

kurungan sebagai pengganti denda terhadap perwakilan korporasi tersebut, serta

ada pula putusan yang memberikan pidana perampasan aset sebagai pidana

pengganti denda. Dari jenis pidana pengganti denda yang dikenakan pengadilan,

perampasan aset korporasi inilah yang paling ideal untuk dikenakan terhadap

korporasi. Sehingga bisa kita lihat bahwa terjadi ketidakseragaman dalam

penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan. Selain itu juga tidak semua putusan

ada menyebutkan tenggang waktu pelaksanaan denda nya, ada juga putusan yang

tidak menyebutkannya, sehingga hal ini membuat korporasi bisa berlama-lama

dalam membayarkan dendanya karena mereka merasa tidak ada paksaan yang

haruss segera membayarkan denda nya.

B. Jenis Pidana Yang Ideal Untuk Dijatuhkan Pengadilan Sebagai


Pengganti Pidana Denda Yang Tidak Dibayar Oleh Korporasi Dalam
Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Sebelumnya telah dijelaskan dalam UUPPLH terdapat kekosongan

pengaturan mengenai bentuk pidana pengganti denda jika denda tersebut tidak

dibayarkan oleh si pelaku. Sementara itu pidana denda yang dikenakan oleh
24

pengadilan tidak dapat berdiri sendiri (mandiri) melainkan harus ditentukan

bentuk pidana pengganti jika denda tersebut tidak dibayar oleh si pelaku, karena

pidana pengganti tersebut bermaksud supaya sanksi denda yang diterapakan lebih

efektif. Dalam konteks korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan hidup,

pidana pengganti denda bermaksud supaya korporasi yang melakukan kejahatan

lingkungan hidup tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku

kejahatan tersebut.

Elemen yang paling penting dalam penegakkan hukum kepada korporasi

yang melakukan kejahatan lingkungan hidup adalah penentuan jenis sanksi,

penjatuhan sanksi dan pelaksanaan pidananya yang mana semua elemen tersebut

harus berdasarkan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan

ditentukan, kemudian baru ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa yang paling

ideal untuk dijatuhkan terhadap pelaku. Selain itu, orientasi hukuman yang

dikenakan dengan orientasi kejahatan yang dilakukan itu harus sama agar tujuan

pemidanaan tersebut bisa dicapai. Pidana dalam hukum lingkungan mempunyai

peran sebagai upaya paksa yang berupa untuk pemulihan lingkungan hidup dan

remidi ganti rugi.

Sanksi yang bisa dikenakan terhadap korporasi hanya lah pidana sanksi

saja. Selain itu, mereka juga mengusulkan macam sanksi tindakan atau tata tertib

sebagai pidana tambahan, akan tetapi mereka tidak menjelaskan lebih rinci jenis

sanksi yang manakah yang bisa dijadikan pengganti pidana denda. Agar sanksi

pidana denda tersebut terjamin dalam pelaksanaannya maka diperlukan

pertimbangan jangka waktu eksekusi pembayaran denda serta upaya paksaan yang
25

dilakukan apabila terpidana tetap tidak membayarkan denda dalam jangka waktu

yang sudah ditetapkan.

Menurut penulis, jika ada korporasi yang tidak mau membayarkan denda

maka hukuman pengganti denda dapat diambil dari pidana tambahan seperti

penutupan perusahaan atau prampasan aset korporasi, sehingga pidana tambahan

ini bukan lagi sebagai pidana tambahan melainkan jadi pidana pengganti denda.

Jika hakim ingin memberikan pidana tambahan maka bisa dikenakan pidana

tambahan yang lain seperti perbaikan akibat tindak pidana. Sebenarnya pidana

pengganti denda itu secara tidak langsung merupakan upaya paksa terhadap

pelaku kejahatan supaya yang bersangkutan segera membayarkan dendanya. Oleh

sebab itu maka tenggang waktu sangat diperlukan dalam putusan haki, yang bisa

menjadi acuan kapan waktu pembayaran denda nya habis dan segera bisa

dilakukan tindakan perampasan sebagai pengganti denda, agar yang bersangkutan

membayarkan denda yang ditetapkan oleh pengadilan. Akan tetapi hal inilah yang

terkadang terdapat dalam putusan pengadilan, sehingga dapat dikatakan putusan

pengadilan yang dikenakan hakim masih memiliki kelemahan. Padahal kejahatan

lingkungan ini merupakan kejahatan yang berat yang seharusnya dipercepat dalam

eksekusinya dan memiliki aturan yang jelas dan tidan rancu. Hal ini jugalah yang

membuat kejahatan korporasi sampai saat ini masih banyak sekali terjadi

dikarenakan hukumannya yang tidak jelas bahkan tidak jarang banyak korporasi

yang dengan mudah terbebas dari jeratan hukum.

Padahal hendaknya hal-hal seperti inilah yang seharusnya diatur dalam

UUPPLH agar menjadi acuan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana, atau bahkan
26

hakimlah dalam putusannya juga seharusnya menyebutkan tenggang waktu

pelaksanaan denda nya, agar tujuan dan kepastian huku menjadi lebih jelas dan

tidak kabur.

Salah satu Undang-Undang diluar kodifikasi adalah UUPPLH Nomor 32

Tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut menganut sistem komulatif, dimana

pidana denda dan pidana penjara dapat dikenakan bersamaan. Pidana denda dapat

dikenakan terhadap korporasinya, dan pidana penjara dapat dikenakan terhadap

orang yang mewakili korporasi tersebut. Jadi baik orang maupun korporasi tetap

harus mempertanggungjawabkan kejahatannya. Dalam UU ini tidak disebutkan

pidana kurungan disebabkan tindak pidana dalam UU ini merupakan kejahatan

berat semua. Selain itu pidana kurungan juga tidak mungkin bisa dikenakan

kepada korporasi.

Dalam rumusan UUPPLH pasal mengenai kejahatan itu terdapat dalam

Pasal 98-Pasal 120. Dapat kita lihat berdasarkan Pasal-Pasal tersebut sanksi yang

dikenakan kepada pelaku adalah pidana penjara dan sanksi denda. Dalam

UUPPLH sistem perumusan pidana menganut sistem komulatif, yang artinya

bahwa kedua hukuman tersebut sanksi denda dan penjara dapat dikenakan

berbarengan terhadap pelaku. Pidana denda dikenakan terhadap korporasinya dan

pidana penjara dikenakan terhadap perwakilan korporasi tersebut. Terhadap

subjek hukum orang maka bisa dikenakan hukuman penjara, sedangkan untuk

subjek hukum badan hukum dalam hal ini adalah korporasi tidak bisa dikenakan

pidana penjara sehingga pidana yang memungkinkan untuk dikenakan hanyalah

pidana denda.
27

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
28

Dari hasil penelitian tentang Kebijakan Formulasi Pidana Denda Trehadap

Korporasi Ditinjau Dari UU No. 32 Tahun 2009, maka penulis simpulkan:

1. Sistem perumusan pidana denda dalam KUHP menganut sistem tunggal

dan alternatif. Ada Pasal yang dirumuskan dengan alternatif yaitu pidana

penjara dan pidana kurungan, ada Pasal yang dirumuskan dengan alternatif

yaitu pidana penjara dan denda, dan ada Pasal yang dirumuskan dengan

tunggal yaitu pidana denda saja. KUHP hanya mengenal batas maksimum

khusus dalam setiap Pasal nya dan tidak mengenal batas maksimum umum

dalam pidana denda. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup

menganut sistem perumusan komulatif, yang mana pidana pokok berupa

pidana penjara dan denda bisa dikenakan secara bersamaan dengan pidana

tambahan. Sedangkan untuk sistem penjatuhan pidana denda nya

menganut sistem minimum khusus dan maksimum khusus.

2. Dalam putusan pengadilan, ada tiga macam bentuk pidana pengganti

denda yang dapat dijtuhkan kepada pelaku, yang pertama : hanya pidana

denda dan tidak ada pidana pengganti, yang kedua : pidana kurungan

terhadap peengurus atau perwakilan korporasi dan yang ketiga :

permpasan aset korporasi. Dari ketiga macam bentuk pidana pengganti

yang telah dikenakan pengadilan terhadap korporasi tersebut diatas, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa jenis pidana pengganti denda yang palig

ideal adalah perampasan aset korporasi. Dalam putusan pengadilan

dinyatakan jika pidana pengganti denda tidak dibayarkan oleh terpidana,

maka ditukar dengan pidana perampasan aset korporasi. Kemudian aset


29

tersebut dijual untuk mengganti pidana denda yang dikenakan pengadilan

dengan tidak menetapkan jangkauan waktu dan tatacara eksekusinya. Dari

ketiga macam bentuk pidana ini dapat kita lihat bahwa terdapat

ketidakseragaman pengadilan dalam menjatuhkan jenis pidana pengganti

pidana denda.

B. Saran

1. Pidana denda sampai saat ini masih dirasa kurang efektif dalam

penerapannya bisa kita lihat hingga saat ini masih banyak nya kejahatan

yang dilakukan oleh korporasi. Hukuman dalam peraturan perundang-

undangan tidak dapat menghapus sepenuhnya kejahatan dimuka bumi ini,

melainkan hanya meminimalisir kejahatan saja. Pemerintah seharusnya

mengkaji lebih dalam lagi terkait dengan pidana pengganti denda. Karena

jika hanya pidana ini yang diterapkan kepada pelaku kejahatan akan sangat

menguntungkan pelaku tersebut. Dimana pidana tersebut bisa saja

diberatkan kepada orang lain dan biaya denda yang dibayarkan bersama.

2. Dalam perumusan UUPPLH seharusnya lebih jelas dirumuskan mengenai

bentuk pidana pengganti denda jika terpidana tidak membayar denda yang

telah ditentukan, terlebih lagi dalam Undang-Undang tersebut tidak

dijelaskan mengenai kurun waktu dan tatacara pelaksanaan putusan

pengadilan yang dikenakan terhadap terpidana. Selain itu dalam Undang-

Undang tersebut juga tidak dijelaskan terkait dengan konsekuensi jika aset

korporasi yang dirampas tidak cukup untuk membayar denda yang sudah

ditetapkan.
30

Anda mungkin juga menyukai