Anda di halaman 1dari 69

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT

IMAM AL MAWARDI

DISUSUN DAN DIPERSIAPKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN


MEMPEROLEH GELAR SARJANA MARHALAH ULA (M1)
TAKHASSUS FIQH WAA USHULUHU DISTINGSI FIQH SIYASAH WA
QANUN

DIAJUKAN OLEH:

HERI MUTTAQIN

NIM: 191908104010

MARHALAH ULA (M.1) FIQH WAA USHULUHU MA’HAD ALY

RAUDHATUL MA’ARIF AL-AZIZIYAH

ACEH UTARA

TAHUN 2023
LEMBARAN PERSETUJUAN

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT

IMAM AL MAWARDI
RISALAH

DISUSUN DAN DIPERSIAPKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN


MEMPEROLEH GELAR SARJANA MARHALAH ULA (M1)
TAKHASSUS FIQH WAA USHULUHU DISTINGSI FIQH SIYASAH WA

QANUN

DIAJUKAN OLEH:

HERI MUTTAQIN

NIM: 191908104010

Tanggal 25 februari 2023

Telah di setujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Tgk. Jufri Yahya, MA Tgk. H. Adami Mustafa, S.Sos, MA

i
RUMUSAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Transliterasi dimaksudkan sebagai transfer huruf dari satu alfabet ke alfabet

lainnya. Transliterasi Arab-Latin di sini adalah huruf Arab dengan huruf Latin dan

pelengkapnya:

1. Konsonan

Huruf arab Nama Huruf latin Nama


‫ا‬ Alif A tidakdilambangkan
‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ Ṡa ṡ es (dengan titik di atas
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ Ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah
‫خ‬ Kha KH Kadan ha
‫د‬ Dal D De
‫ذ‬ Ẑal ẑ zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ Ra R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy esdan y
es (dengan titik di
‫ص‬ Ṣad ṣ
bawah)
de (dengan titik di
‫ض‬ Ḍad ḍ
bawah)
Ta (dengan titik di
‫ط‬ Ṭa ṭ
bawah)
Zet (dengan titik di
‫ظ‬ Ẓa ẓ
bawah)
‫’ع‬ ,ain ‘ Koma terbalik (di atas )
‫غ‬ Gain G GE
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Ki
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L El
‫م‬ Mim M Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wau W We
‫ھـ‬ Ha H Ha
' Hamzah ' Apostrof
‫ى‬ Ya Y Ye

ii
2. Vokal

1) Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama


◌َ Fathah A A
◌َ Kasrah I I
◌َ Dhammah U U

2) VokalRangkap

Tanda Nama Huruf Latin Nama


... َ ‫ْ◌ ي‬ fathahdanya Ai A dan i
... َ ‫ْ◌ و‬ fathahdanwau Au A dan u

iii
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang

telah memberikan hidayah, ilmu pengetahuan kekuatan dan petunjuk-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa

dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga, yang telah

berkorban untuk mengeluarkan umat manusia dari kebodohan menunjuk

kebahagaiaan yang di ridhai oleh ALLAH SWT yaitu dengan agama Islam.

Judul skipsi ini Kepemimpinan perempuan menurut imam al-mawardi.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat guna

memperoleh gelar sarjana Marhalah Ula (M1) Takhassus Fiqh Wa Usuluhu

Distingsi Fiqh Siyasah Wa Qanun Mahad Aly Raudhatul Ma’arif Al-ziziyah Cot

trueng.

Peyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan dan kekeliruan, ini semata-mata karena Proses penyelesaian skripsi

ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, serta saran dari berbagai

pihak, oleh karena itu izinkanlah penulis menganturkan ucapan terima kasih yang

sedalam- dalamnya kepada :

1. Pimpinan dayah raudhatul ma’arif Al-aziziyah yaitu Tgk H. Muhammad Amin

Daud (ayah di balee) beserta keluarga. Semoga ayah beserta keluarga selalu

dalam lindungan Allah SWT.

2. Abi Dr.Safriadi, SH.I, MA selaku mudir 1 Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif Al-

aziziyah, juga sebagai masyaikh di Mahad Aly tercinta. Semoga abi beserta

keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT.

iv
3. Waled Dr.Teungkeu Jufri Yahya, MA selaku wakil mudir 1 Ma’had Aly

Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah juga sebagai masyaikh di Mahad Aly dan juga

sebgai masyaikh pembingbing skripsi saya, yang telah membuka jalan hingga

selesainya skripsi ini. Semoga waled beserta keluarga selalu dalam lindungan

Allah SWT.

4. Abana Tgk. Muhammad Abdul Aziz, S.PD.I selaku masyaikh Mahad Aly

kami. Dan juga sebgai masyaikh pembingbing skripsi saya, yang telah

membuka jalan hingga selesainya skripsi ini Semoga abana beserta keluarga

selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Abi Tgk. H. Adami, S.Sos MH selaku masyaikh di Mahad Aly kami. Semoga

abi selalu dalam lindungan Allah SWT.

6. Dewan syura Dayah Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah. Semoga selalu dlam

lindungan Allah SWT.

7. Dewan guru Dayah Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah yang menjalankan roda

pendidikan di Dayah Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah. Semoga selalu dalam

lindungan Allah SWT.

8. Kawan-kawan Mahasantri Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah.

Semoga cepat segera menyelesaikan skripsi sampai sukses.

9. Seluruh Mahasantri Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif Al-aziziyah yang masih

berjuang dalam menimba ilmu

v
ABSTRAK

Penelitian adalah tentang pandangan Al-Mawardi terhadap kepemimpinan

perempuan yang meliputi: (1) Bagaimana konsep kepemimpinan perempuan, dan

(2) Bagaimana konsep serta pandangan kepemimpinan perempuan menurut Imam

Mawardi. Penenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep

kepemimpinan perempuan dan bagaimana konsep serta pandangan kepemimpinan

perempuan menurut Imam Mawardi. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan

atau library research, yakni penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan

data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau

pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk

memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis

dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Sumber data

penelitian ini bersumber dari buku-buku, jurnal ilmiah, dan karya tulis ilmiah

yang berkaitan lainnya. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa Imam Al

Mawardi mensyaratkan bahwa seorang pemimpin haruslah merupakan seorang

laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan dan dalil-dalil

sahih. Sedangkan bagi ulama yang memperbolehkan, konsep kepemimpinan

perempuan yaitu harus memiliki sikap asertif, yaitu penuh percaya diri,

mempunyai keyakinan yang kuat akan tindakannya dan mampu menyatakan

perasaan dan pendapatnya, tanpa menyakiti perasaan diri-sendiri atau perasaan

orang lain, tanpa mengganggu hak orang lain.

vi
‫ﺧﻼﺻﺔ‬

‫ﻳﺪور اﻟﺒﺤﺚ ﺣﻮل آراء اﳌﻮاردي ﰲ ﻗﻴﺎدة اﳌﺮأة واﻟﱵ ﺗﺸﻤﻞ( ‪) 1:‬ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻔﻬﻮم اﻟﻘﻴﺎدة‬

‫اﻟﻨﺴﺎﺋﻴﺔ ‪ ،‬و (‪) 2‬ﻛﻴﻒ ﻫﻮ ﻣﻔﻬﻮم وآراء اﻟﻘﻴﺎدة اﻟﻨﺴﺎﺋﻴﺔ ﻋﻨﺪ اﻹﻣﺎم اﳌﺎوردي ‪.‬ﻳﻬﺪف ﻫﺬا‬

‫اﻟﺒﺤﺚ إﱃ اﻟﺘﻌﺮف ﻋﻠﻰ ﻣﻔﻬﻮم اﻟﻘﻴﺎدة اﻟﻨﺴﺎﺋﻴﺔ وﻣﻔﻬﻮم ووﺟﻬﺎت ﻧﻈﺮ اﳌﺮأة اﻟﻘﻴﺎدﻳﺔ ﻋﻨﺪ اﻹﻣﺎم‬

‫اﳌﺎوردي ‪.‬ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻫﻮ ﲝﺚ ﻣﻜﺘﺒﺔ أو ﲝﺚ ﻣﻜﺘﺒﺔ ‪ ،‬أي اﻟﺒﺤﺚ اﻟﺬي ﻳﺘﻢ إﺟﺮاؤﻩ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ‬

‫ﲨﻊ اﻟﺒﻴﺎ‪m‬ت أو اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ اﻟﻌﻠﻤﻴﺔ اﻟﱵ ‪o‬ﺪف إﱃ ﻛﺎﺋﻨﺎت اﻟﺒﺤﺚ أو ﲨﻊ ﺑﻴﺎ‪m‬ت اﳌﻜﺘﺒﺔ ‪ ،‬أو‬

‫اﻟﺪراﺳﺎت اﻟﱵ ﻳﺘﻢ إﺟﺮاؤﻫﺎ ﳊﻞ ﻣﺸﻜﻠﺔ ﺗﺴﺘﻨﺪ ﺑﺸﻜﻞ أﺳﺎﺳﻲ إﱃ اﻟﺘﺤﻠﻴﻞ اﻟﻨﻘﺪي واﳌﺘﻌﻤﻖ‬

‫ﻟﻠﻤﻜﺘﺒﺔ ذات اﻟﺼﻠﺔ ﻣﻮاد ‪u.‬ﰐ ﻣﺼﺎدر ﺑﻴﺎ‪m‬ت ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ وا‪x‬ﻼت اﻟﻌﻠﻤﻴﺔ‬

‫واﻷوراق اﻟﻌﻠﻤﻴﺔ اﻷﺧﺮى ذات اﻟﺼﻠﺔ ‪.‬اﺳﺘﻨﺘﺞ ﻣﻦ ﻧﺘﺎﺋﺞ اﻟﺪراﺳﺔ أن اﻹﻣﺎم اﳌﻮردي ﻳﺸﱰط أن‬

‫ﻳﻜﻮن اﻟﻘﺎﺋﺪ رﺟﻼً ‪.‬ﻫﺬا ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ اﻋﺘﺒﺎرات ﳐﺘﻠﻔﺔ وﺣﺠﺞ ﺻﺤﻴﺤﺔ ‪.‬ﺑﻴﻨﻤﺎ ‪ƒ‬ﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻠﻌﻠﻤﺎء‬

‫اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺴﻤﺤﻮن ﺑﺬﻟﻚ ‪ ،‬ﻓﺈن ﻣﻔﻬﻮم اﻟﻘﻴﺎدة اﻟﻨﺴﺎﺋﻴﺔ ﻫﻮ أﻧﻪ ﳚﺐ أن ﻳﻜﻮن ﻟﺪﻳﻬﻢ ﻣﻮﻗﻒ ﺣﺎزم‬

‫ﻣﻠﻲء ‪ƒ‬ﻟﺜﻘﺔ ‪ ،‬وﻟﺪﻳﻬﻢ إﳝﺎن ﻗﻮي ‪Œ‬ﻓﻌﺎﳍﻢ وأن ﻳﻜﻮﻧﻮا ﻗﺎدرﻳﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻌﺒﲑ ﻋﻦ ﻣﺸﺎﻋﺮﻫﻢ ‪،‬‬

‫‪.‬وآراﺋﻬﻢ ‪ ،‬دون اﻹﺿﺮار ﲟﺸﺎﻋﺮﻫﻢ أو ﻣﺸﺎﻋﺮ اﻵﺧﺮﻳﻦ دون اﳌﺴﺎس ﲝﻘﻮق اﻵﺧﺮﻳﻦ‬

‫‪vii‬‬
ABSTRACT

The research is about Al-Mawardi's views on women's leadership which include:

(1) What is the concept of women's leadership, and (2) How is the concept and

views of women's leadership according to Imam Mawardi. This research aims to

find out how the concept of women's leadership and how the concept and views of

women's leadership according to Imam Mawardi. This research is library

research or library research, namely research conducted by collecting data or

scientific writing that aims at research objects or library data collection, or

studies carried out to solve a problem which is basically based on critical and in-

depth analysis of relevant library materials. Sources of data for this research

come from books, scientific journals, and other related scientific papers. From the

results of the study it was concluded that Imam Al Mawardi requires that a leader

must be a man. This is based on various considerations and valid arguments.

Whereas for scholars who allow it, the concept of women's leadership is that they

must have an assertive attitude, that is full of confidence, have a strong belief in

their actions and be able to express their feelings and opinions, without hurting

their own feelings or the feelings of others, without disturbing the rights of others.

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ i


RUMUSAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
DATAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
1.4 Penjelasan Istilah ................................................................................. 9
1.5 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10
1.6 Metode Penelitian ................................................................................ 12
1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 12
1.6.2 Sifat Penelitian............................................................................ 12
1.6.3 Sumber Penelitian ....................................................................... 13

BAB II KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM ..................... 14


2.1 Kepemimpinan ..................................................................................... 14
2.2 Ciri-Ciri Kepemimpinan ...................................................................... 16
2.3 Dasar Hukum Kepemimpinan.............................................................. 19
2.3.1 Al Qur’an .................................................................................... 19
2.3.2 Al Hadits ..................................................................................... 21
2.4 Konsep Perempuan dalam Islam .......................................................... 21
2.4.1 Perempuan dalam Al-Qur’an ..................................................... 22
2.4.2 Perempuan dalam Al Hadits....................................................... 23
2.5 Pendapat Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan ........................ 26
2.5.1 Pendapat Ulama Yang Mengharamkan Kepemimpinan
Perempuan .................................................................................. 26
2.5.2 Pendapat Ulama Yang Membolehkan Kepemimpinan
Perempuan .................................................................................. 29
2.6 Kedudukan Perempuan Dalam Islam................................................... 33
2.7 Sejarah Kepemimpinan Perempuan ..................................................... 36

BAB III HASIL PEMBAHASAN ................................................................... 39


3.1 Biografi Imam Al Mawardi ................................................................. 39
3.2 Konsep Kepemimpinan Perempuan ..................................................... 41
3.3 Tujuan Kepemimpinan......................................................................... 44
3.4 Perbedaan Pendapat Mengenai Pemimpin Perempuan ........................ 46
3.5 Konsep Kepemimpinan Menurut Al Mawardi .................................... 53

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 56


4.1 Kesimpulan .......................................................................................... 56
4.2 Saran .................................................................................................... 57

ix
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 58

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan zaman pada sekarang memberikan pengaruh-pengaruh baru

terhadap hukum-hukum fiqih dalam segala hal. Isu kesetaraan gender menjadi

kontroversi yang baru dalam dunia Islam. Kesetaraan gender merupakan

kesamaan kedudukan sorang laki-laki dengan seorang wanita. Laki-laki dalam

segala kegiatanya tidak terlalu memiliki banyak batasan sedangkan wanita dalam

segala bentuk kegiatanya mempunyai banyak batasan. Salah satu batasan wanita

Muslimah adalah menjadikanya seorang pemimpin atau penguasa dalam sebuah

kaum atau negara.

Pemimpin itu mengarahkan, membina, atau mengatur, menuntun dan

juga menunjukkkan atau mempengaruhi. Kepemimpinan merupakan proses dalam

mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang

harus dilakukan.1 Menurut pandangan Islam kepemimpinan yaitu hal yang

menggerakkan orang lain dengan kemampuan maupun keahlian masing-masing

untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Maka kepemimpinan itu lahir dari

kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang dan didorong oleh

keinginan untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam masyarakat.

Islam juga memandang bahwa seorang pemimpin merupakan hal yang penting

dalam masyarakat, yaitu untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama, mengatur

1 Raihan Putri, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam Antara Konsep Dan Realita, (Yogyakarta: AK Group, 2006), hal. 53

1
2

Negara, memegang kendali politik, dan membuat kebijakan yang dilandaskan

syariat agama.

Kepemimpinan adalah kemampuan yang ada pada diri seorang leader yang

berupa sifat-sifat tertentu, seperti: kecerdasaan (intellegence), kemampuan

mengawasi (supervisory ability), inisiatif (inisiative), ketenangan diri (self

assurance), dan kepribadian (individuality).2 Kepemimpinan merupakan

rangkaian aktivitas pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan,

gaya dan perilaku pemimpin tersebut, serta interaksi antara pemimpin, pengikut

dan situasi.3 Kemudian, menurut George Terry, Kepemimpinan adalah kegiatan

untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela

untuk mencapai tujuan kelompok.4

Dalam konsep Islam, seorang pemimipin dianjurkan dari kaum adam (laki-

laki), hal ini menguatkan bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin bagi dirinya

dan keluarganya, selain itu pemimpin dari laki-laki mempunyai sidat tegas dan

pantang menyerah. Namun menurut beberapa pendapat ulama ada sebagian yang

memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan adanya wanita sebagai

pemimpin atau penguasa sesuai dengan hujahnya masing-masing. Hukum

pemimpin wanita dalam Islam menjadi seorang presiden, gubernur, hakim

walikota, ataupun pemimpin lainya menjadi kontroversi dalam tinjauan syariah

Islam karena ada perbedaan ulama tentang hadits sahih dari Abu Bakrah di mana

Nabi menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan berjaya apabila dipimpin oleh

2
Soekarso dan Iskandar Putong, Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan Praktis, h. 71. Diakses melalui
https://books.google.co.id/books?id=g6hxBgAAQBAJ&dq=sifatsifat+kepemimpinan&hl=id&source=gbs_navlinks_s pada 19
Maret 2019
3
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis
4
kh. Muwafik Saleh, Komunikasi dalam Kepemimpinan Organisasi, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2016), h. 19
3

perempuan. Rasulullah SAW, ketika mendengar kaum Persia dipimpin oleh

seorang wanita, yakni putra Raja Kisra yang bernama Bûran, beliau

berkata,“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” Hadis

tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka

kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih

sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah

anjuran. Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal

pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi

perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut

pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari

kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.

Sesungguhnya Islam memberikan potensi yang sama antara laki-laki dan

perempuan. Persamaan posisi tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan, baik

dalam hal ibadah, mu’amalah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, menuntut ilmu

pengetahuan, bahkan ikut serta dalam berjihad fi sabilillah (perang melawan

musuh-musuh Islam). Ada beberapa pendapat ulama yang membolehkan

kepemimpinan perempuan yaitu Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily

dan Muhammad Al-Ghazali. Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily

berpendapat bahwa sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal eksistensi al-

insaniyah (kemanusian), Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily juga

mengakui bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki al-ahliyah

(keahlian) dalam masalah ibadah, dan dalam hal balasan dari perbuatan baik

buruk yang dilakukan. dan beliau juga tidak menyinggung Hadits di atas,
4

sehingga tidak dapat di pastikan bagaimana pemahamannya dalam menganalisa

hadits tersebut, tetapi ia tidak memahami hadist itu secara tekstual seperti yang di

lakukan oleh kebanyakan ulama yang menentang pengangkatan perempuan

sebagai kepala negara. Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily melihat

kondisi perempuan di masa Rasul jauh berbeda dengan keadaan perempuan

dimasa sekarang. Baginya yang terpenting adalah setiap umat harus memiliki

pemimpin dan berbakti kepadanya.5

Pada zaman sekarang kedudukan kekuasaaan atau pemimipin banyak

diduduki oleh kaum wanita baik muslim maupun non muslim yang menjabat

menjadi pemimpin suatu perusahaan daerah bahkan negara. Hal ini bertentangan

dengan kalam yang di ucapkan oleh Rasulullah. Namun seiring dengan

perkembangan zaman yang mengatas namakan kesetaraan gender menjadi

penyebab perilaku itu menjadi hal yang biasa bahkan sudah menjadi darah daging

dalam perebutan kekuasaan.

Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan syarat-

syarat pemimpin (ahlu imamah) mempunyai tujuh syarat, yaitu: adil, berilmu,

normal panca indera mendengar, melihat dan berbicara, normal anggota tubuh,

mampu berpikir, berani dan dari suku Quraisy. Al-Mawardi, salah seorang ulama

besar tidak menyebutkan laki-laki merupakan salah satu persyaratan menjadi

pemimpin. Namun hal ini tidak menyimpulkan bahwa wanita diperbolehkan

menjadi seorang pemimpin.6

5
Khairuddin, Kepemimpinan Perempuan Menurut Islam Dalam Konteks Kekinian, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014) hal. 64.
6
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (terj. Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman), Cet. 1, (Jakarta: Qistthi Press, 2015), h.
9.
5

Sedangkan zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah

jauh berbeda, dimana kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang

eksekutif, sedangkan kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing

ada pada lembaga Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan rakyat atau Majelis

Perwakilan Rakyat. Dengan demikian pada zaman sekarang ini sangat

memungkinkan seorang perempuan yang anggap lemah kemampuannya dalam

memimpin, menjadi seoarang pemimpin atau presiden atau istilah lainnya.

Konsep kepemimpinan perempuan bukanlah fenomena baru dalam sejarah

umat manusia, karena perempuan merupakan separuh organ masyarakat yang

mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa secara spiritual, fisik,

intelektual, dan moral. Dalam masyarakat kontemporer, kesalahpahaman yang

meluas tentang peran dan hak perempuan serta konsekuensi perbedaannya

menciptakan hambatan bagi kemajuan sosial-budaya dan politik-ekonomi.

Kepemimpinan perempuan dalam rana politik dan perspektif hukum Islam

sedang banyak diperdebatkan. Ini menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas

antara orang-orang yang melarangnya dan yang melegalkannya. Akar pertama

masalah pertama, ialah tentang perbedaan penafsiran surat Al-Quran An-Nisa ayat

34: " Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta

mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara

(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka


6

nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah

mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari

jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Yang kedua, hadis "tidak akan ada kemakmuran bagi umat yang menyerahkan

kepemimpinannya kepada perempuan"

Kepemimpinan perempuan pada umumnya diperbolehkan di semua

agama, dan beberapa cendekiawan Muslim membenarkannya sementara beberapa

melarangnya dari sudut pandang agama. Islam dengan keras melarang perempuan

untuk menampilkan kecantikannya dalam konteks ini disebut aurat tetapi Islam

mengijinkan mereka untuk berjuang untuk menjaga hak asasi manusia,

membangun masyarakat, bangsa, dan membela agama dengan kapasitasnya.

Dalam sejarah kenabian Muhammad SAW, belum pernah teriwayat secara

jelas peran perempuan dalam pemerintahan, baik sebagai gubernur atau pejabat

tinggi pemerintah. Konsekuensinya, narasi terkait kepemimpinan perempuan

sama sekali terdengar asing dalam sejarah dan teologi Islam. Beberapa

cendekiawan, yang sebagian besar dari intelektual barat, menyebarkan Islam

sebagai pandangan yang konservatif dan kaku. Namun, dengan masuknya dan

perkembangan Islam moderat, posisi dan martabat perempuan telah dipulihkan

sehingga memungkinkan mereka untuk menjalankan perintah Allah yakni tugas

mereka untuk kemajuan umat manusia. Kontroversial debat table terjadi sejak

dahulu hingga sekarang. Hal ini terjadi secara metodologis berpikir sistematis

(ushul al-fiqh) terlihat disebabkan berbeda pendekatan dalam pemahaman dan

interpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan penilaian


7

terhadap eksistensi ijma’ ulama sebagai sumber dan dalil hukum atau sebagai

metode istinbat hukum, sehingga implikasi dari padanya menghasilkan konklusi

hukum yang berbeda pula.

Karena itu dapat dikatakan bahwa permasalahan perempuan menjadi

pemimpin termasuk dalam rana ijtihadiyah yang dinamis sepanjang masa. Maka

wajar kiranya kalau para ulama‟ berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan

kepemimpinan perempuan. Mengingat konteks ini, ada kebutuhan untuk

menentukan posisi perempuan dan mengkaji dari perspektif Islam. Makalah ini

akan menganalisis sejarah kepemimpinan perempuan, menganalisis kebutuhannya

dalam konteks kontemporer, dan menyajikan perspektif Islam tentang masalah

tersebut. Makalah ini juga mengevaluasi secara singkat tanggapan para ulama

dengan analisis tekstual dan pendekatan induktif untuk menganalisis serta

merumuskan sikap Islam terhadap kepemimpinan perempuan dalam konteks saat

ini. Diharapkan ide-ide yang dimunculkan pada akhirnya akan berkontribusi untuk

memahami dan memperjelas sikap Islam tentang kepemimpinan perempuan baik

bagi Muslim maupun masyarakat non-Muslim dalam masyarakat

yang kontemporer.

Salah satu tokoh di Indonesia yang meramaikan kajian kepemimpinan

wanita dalam Islam adalah Husein Muhammad melalui karyanya Fiqh

Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.7 Buku ini lahir dari

kegelisahan Husein Muhammad melihat fenomena terabaikannya dan

terpinggirkannya hak-hak wanita dari sistem kehidupan patriarki, adanya

7
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002).
8

ketidakadilan pada wanita, serta banyaknya pelecehan dan kejahatan seksual pada

wanita.8

Oleh karena itu dari latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik

untuk meneliti tentang pemasalahan tersebut dengan memberi judul

“Kepemimpinan Perempuan Menurut Imam Al-Mawardi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana konsep kepemimpinan perempuan?

2. Bagaimana konsep kepemimpinan perempuan menurut Imam Mawardi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusam masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan perempuan.

2. Untuk mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan perempuan menurut

Imam Mawardi.

8 Ibid, hal 23
9

1.4 Penjelasan Istilah

Secara bahasa, kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead)

yang berarti bimbing atau tuntut.9 Setelah di tambah dengan awalan “pe” maka

menjadi “pemimpin” (leader), berarti orang yang mampu mempengaruhi orang

lain untuk melakukan sesuatu yang di inginkan pemimpin dalam mencapai tujuan

tertentu.10

Kemudian setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya

orang yang mengepalai. Apabila dilengkapi dengan awalan “ke” menjadi

“kepemimpinan” (leadership), berarti seorang pribadi yang memiliki kecakapan

dan kelabihan, khususnya kecekapan dan kelebihan disatu bidang sehingga dia

mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas-

aktifitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.11

Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat

pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu, seperti kepribadian,

kemampuan dan kesanggupan.12 Kepemimpinan yang dimaksud dalam skripsi ini

adalah kepemimpinan yang berpolitik, dalam memimpin setiap orang mempunyai

berhak dengan kemampuan maupun keahlian masing-masing untuk mencapai

suatu tujuan bersama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perempuan

diartikan sebagai orang (manusia) yang mempunyai puka, dapat menstruasi,

hamil, melahirkan anak dan menyusui.13 Perempuan yang dimaksud dalam skripsi

9 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) cet.4 hal. 967
10 Matondang, Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen Strategic (Yogyakarta: gharailmu, 2008), hal. 5
11 Adib Sofia Sugihastuti, Feminisme dan Sastra Menguak Citra Perempuan dalam Loyar Terkembang (Bandung: Katarsis, 2003),

hal 181
12 Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 26
13
Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Basahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1268.
10

ini adalah perempuan yang menjabat sebagai pemimpin, perempuanlah yang

menjabat jabatan tertinggi dalam sebuah negara/wilayah.

1.5 Tinjauan Pustaka

Harus penulis akui bahwa sangat banyak literatur yang membahas tentang

kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam. Akan tetapi masih sangat

sedikit penelitian terdahulu yang membahas tentang kepemimpinan perempuan

menurut Al Mawardi. Kajian pustaka yang penulis lakukan bertujuan untuk

melihat perbedaan atau persamaan antara objek peneliti penulis dengan penelitian

yang pernah diteliti oleh peneliti lain agar terhindar dari duplikasi. Penulis

menemukan beberapa skripsi yang membahas masalah tentang kepemimpinan

perempuan seperti sebagai berikut.

Pertama, dalam skripsi Ahmad Zarkasih mahasiswa Program studi

Perbandingan Mazhab dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

dengan judul “Kepemimpinan Wanita Dalam Ranah Sosial Dan Politik Menurut

Husein Muhammad” pada tahun 2019. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

wanita dapat menjadi pemimpin berdasarkan pertimbangan kemaslahatan bukan

karena alasan jenis kelamin. Sukses dan kegagalan kepemimpinan tidak

disebabkan oleh jenis kelamin namun melalui cara-cara kepemimpinan

demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia, bukan kekuasaan tiranik, otoriter dan sentralistik. Oleh karena itu, ayat-

ayat Alquran dan hadis nabi yang “terlanjur” dipahami sebagai landasan untuk

mensubordinasi wanita harus dipahami ulang melalui perspektif budaya dan


11

sosial. Karena, fakta sejarah menunjukkan beberapa wanita yang sukses dengan

gemilang dalam memimpin bangsanya, sebaliknya ditemukan juga kegagalan

laki-laki dalam memimpin rakyatnya.

Kedua, dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuminah Rohmatullah dosen

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Karimiyah dengan judul “Kepemimpinan

Perempuan dalam Islam: Melacak Sejarah Feminisme melalui Pendekatan Hadits

dan Hubungannya dengan Hukum Tata Negara” pada tahun 2017. Penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin dalam

urusan umum. Namun secara kontekstual Islam tidak melarang perempuan

menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum.

Ketiga, dalam penelitian yang dilakukan oleh H.Kosim dari Institut Agama

Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon dengan judul “Kepemimpinan perempuan

dalam perspektif Fiqh Siyasah” pada tahun 2011. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa perempuan berhungan dengan kepemimpinan

mempunyai hak untuk dipilih dan memilih yang walaupun terdapat berdedaan

pendapat dalam masalah ini.

Dari hasil kajian pustaka di atas berbeda dengan isi kajian ilmiah yang

penulis uraikan, kajian ini membahas tetang Kepemimpinan Perempuan Menurut

Imam Al-Mawardi serta mengkaji perbedaan sudut pandang di kalangan para

ulama lainnya.
12

1.6 Metode Penelitian

Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Metode penelitian

merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam setiap penelitian agar apa yang

menjadi fokus penelitian tidak mengambang. Setiap penelitian memerlukan

metode dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai masalah yang diteliti.

Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh seseorang untuk memperkuat,

membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat

luas.

1.6.1 Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitiannya, adapun jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yakni

penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah

yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat

kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah

yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap

bahan-bahan pustaka yang relevan.14

1.6.2 Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif,

penelitian deskriptif berfokus pada penjelasan sistematis tentang fakta yang

diperoleh saat penelitian dilakukan.

14
Anwar Sanusi, Metodologi Penelitian Bisnis,(Jakarta : Salemba Empat,2016), h.32
13

1.6.3 Sumber Penelitian

Karena penelitian ini adalah penelitian, maka sumber penelitiannya

adalah data yang bersuber literatur pustaka. Menurut Peter Mahmud Marzuki,

sumber- sumber penelitian hukum dibedakan menjadi sumber hukum primer dan

sumber hukum skunder.

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini penulis mengambil pendapat Al

Mawardi ttentang kepemimpinan perempuan dari kitab al-Ahkam as-

Sultaniyah dan as-Siyasah as-Syar’iyah.

b. Bahan skunder yakni, bahan pustaka atau buku-buku yang berkaitan dengan

kepemimpinan perempuan dalam islam, jurnal ilmiah dan karya tulis ilmiah

yang berkaitan lainnya.


BAB II

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

2.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata “pemimpin”, kemudian ditambah

imbuhan “ke” dan “an”. Kepemimpinan dalam bahasa Arab disebut “Al-

Imamah”.1 Dalam ilmu Fiqih, Imamah diartikan dengan kepemimpinan dalam hal

menjadi ketua dalam memimpin seperti shalat jamaah atau pemerintah. Ibnu

Khaldun mendefinisikan kepemimpinan sebagai tanggung jawab kaum yang

dikehendaki oleh peraturan Syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan

akhirat bagi ummat. Sehingga dapat dipahami bahwa kepemimpinan adalah suatu

tugas yang menyeluruh, mengurus segala urusan, baik agama maupun politik

untuk satutujuan, yaitu kemaslahatan ummatnya.15

Di dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang berarti

wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah wafat menyentuh juga maksud

yang terkandung di dalam perkataan amir (yang jamaknya umara) atau penguasa.

Oleh karena itu, kedua istilah ini di dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin.

Namun jika merujuk kepada Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah 1: 30.
ۤ
ِ ‫ﯨَﻜِﺔ ِا ِﻧّْﻲ َﺟﺎِﻋٌﻞ ِﻓﻰ اْﻻَْر‬5‫َوِاْذ ﻗَﺎَل َرﺑﱡَﻚ ِﻟْﻠَﻤٰﻠ‬
‫ض َﺧِﻠْﯿﻔَﺔً ۗ ﻗَﺎﻟُ ْٓﻮا ا َﺗ َْﺠﻌَُﻞ ِﻓْﯿَﮭﺎ َﻣْﻦ ﯾﱡْﻔِﺴﺪُ ِﻓْﯿَﮭﺎ‬

‫س ﻟََﻚ ۗ ﻗَﺎَل ِا ِﻧّ ْٓﻲ ا َْﻋﻠَُﻢ َﻣﺎ َﻻ ﺗ َْﻌﻠَُﻤْﻮَن‬ َ ُ‫َوﯾَْﺴِﻔُﻚ اﻟ ِﺪَّﻣۤﺎَۚء َوﻧَْﺤُﻦ ﻧ‬
ُ ّ‫ﺴ ِﺒُّﺢ ِﺑَﺤْﻤِﺪَك َوﻧُﻘَ ِﺪ‬
Artinya: Ingatlah ketika tuhan berfiman kepada para malaikat: “sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah)di bumi itu

15 Raihan Putri, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam: Antara Konsep dan Realita, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press), hlm. 58.

14
15

orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,


padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan engkau? Tuhan berfirman: sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”

Selain kata khalifah disebut juga kata ulil amri yang satu akar dengan kata

amir. Kata ulil amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat islam,

sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ 4: 59.

ُ ‫َ َوأ َِطﯿﻌُﻮ۟ا ٱﻟﱠﺮ‬f‫ٰ ٓﯾَﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﱠِﺬﯾَﻦ َءاَﻣﻨُٓﻮ۟ا أ َِطﯿﻌُﻮ۟ا ٱﱠ‬


‫ﺳﻮَل َوأ ُ ۟وِﻟﻰ ٱْﻷ َْﻣِﺮ ِﻣﻨُﻜْﻢ ۖ ﻓَﺈِن ﺗ َ ٰﻨََﺰْﻋﺘ ُْﻢ ِﻓﻰ‬

‫ِ َوٱْﻟﯿَْﻮِم ٱْلَءاِﺧِﺮ ۚ ٰذَِﻟَﻚ َﺧْﯿٌﺮ‬f‫ﺳﻮِل ِإن ُﻛﻨﺘ ُْﻢ ﺗ ُْﺆِﻣﻨُﻮَن ِﺑﭑﱠ‬


ُ ‫ِ َوٱﻟﱠﺮ‬f‫ﺷْﻰٍء ﻓَُﺮدﱡوهُ ِإﻟَﻰ ٱﱠ‬
َ

‫ﺴُﻦ ﺗ َﺄ ِْوﯾًﻼ‬
َ ‫َوأ َْﺣ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul
(sunahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.

Berdasarkan ayat Alqur’an tersebut dapat disimpulkan bahwa,

kepemimpinan islam itu adalah kegiatan menuntut, membimbing, memandu dan

menunjukkan jalan yang diridhai Allah SWT.16

Sesungguhnya Islam memberikan posisi yang sama antara laki-laki dan

perempuan. Persamaan posisi tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan, baik

dalam hal ibadah, mu’amalah beramal ma’ruf dan nahi mungkar, menuntut ilmu

pengetahuan.17 Terhadap pemahaman tersebut masih terdapat perbedaan pendapat

di kalangan para ulama.

Dari beberapa definisi di atas dipahami bahwa kepemimpinan adalah suatu

16 Veithzal Rizal, Kepemimpinan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 8.


17 Khairuddin, Kepemimpinan Perempuan Menurut Islam Dalam Konteks Kekinian, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014), hlm. 63.
16

tugas yang menyeluruh, mengurus segala urusan, baik agama maupun politik

untuk mencapai satu tujuan supaya dapat memecahkan kemaslahatan di dalam

kehidupan dan memberi kesan yang baik bagi semua pihak yang terlibat.

Kesejahteraan kehidupan manusia memerlukan pemimpin yang berpandukan

hukum ajaran islam. Semua pendapat di atas mengandung pengertian bahwa

agama dan politik, dunia dan akhirat mempunyai hubungan dan keterkaitan yang

sangat erat. Kemampuan yang dituntut pada seorang pemimpin adalah

kemampuan mempengaruhi orang lain, kemampuan menggerakkan perilaku orang

lain untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.7

Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang

sangat kuat dan kokoh. Salah satu yang diperdebatkan dalam islam adalah hak

kepemimpinan perempuan, yaitu kebolehan perempuan memegang kekuasaan

tertinggi dalam pemerintahan. Sudah jelas bahwa perempuan tidak dibolehkan

menjadi kepala negara, menjadi hakim dan pemimpin didalamnya ada laki-laki.9

Sebagai manusia ciptaan Allah SWT, perempuan juga berhak untuk

memimpin. Perempuan juga diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi

sebagaimana diberikan kepada laki-laki, namun dengan satu konsekuensi yaitu

mampu mempertanggung jawabkan segala bentuk kegiatan yang dipimpinnya

kepada allah SWT.18

2.2 Ciri-ciri Pemimpin Menurut Islam

Pemimpin dalam Islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya:

a. Niat yang ikhlas

b. Laki-laki
18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, Vol. 9, (Jakarta: Lantera Hati, 2010), 422-423
17

c. Tidak meminta jabatan

d. Berpegang dan konsistan pada hukum Allah; Senentiasa ada ketika

diperlukan

e. Menasehati rakyat

f. Tidak menerima hadiah;

g. Mencari pemimpin yang baik

h. Lemah lembut

i. Tidak meragukan rakyat

j. Terbuka untuk menerima idea dan kritikan.

Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah kepemimpinan ini

setelah wafatnya Baginda Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan

keutamaan dalam melantik pengganti beliau dalam memimpin umat Islam. Umat

Islam tidak seharusnya dibiarkan tanpa pemimpin. Sayyidina Umar R.A pernah

berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada

kepemimpinan tanpa taat”.

Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan dihayati

oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini,

meskipun Indonesia bukanlah negara Islam. Allah SWT telah memberi tahu

kepada manusia, tentang pentingnya kepemimpinan dalam islam, sebagaimana

dalam al-Quran kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan

masalah kepemimpinan. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para

malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka

bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi


18

itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,

padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan

Engkau?” Allah SWT berfirman dalam surat (al-Baqarah: 30).


ۤ
ِ ‫ﯨَﻜِﺔ ِا ِﻧّْﻲ َﺟﺎِﻋٌﻞ ِﻓﻰ اْﻻَْر‬5‫َوِاْذ ﻗَﺎَل َرﺑﱡَﻚ ِﻟْﻠَﻤٰﻠ‬
‫ض َﺧِﻠْﯿﻔَﺔً ۗ ﻗَﺎﻟُ ْٓﻮا ا َﺗ َْﺠﻌَُﻞ ِﻓْﯿَﮭﺎ َﻣْﻦ ﯾﱡْﻔِﺴﺪُ ِﻓْﯿَﮭﺎ‬

‫س ﻟََﻚ ۗ ﻗَﺎَل ِا ِﻧّ ْٓﻲ ا َْﻋﻠَُﻢ َﻣﺎ َﻻ ﺗ َْﻌﻠَُﻤْﻮَن‬ َ ُ‫َوﯾَْﺴِﻔُﻚ اﻟ ِﺪَّﻣۤﺎَۚء َوﻧَْﺤُﻦ ﻧ‬
ُ ّ‫ﺴ ِﺒُّﺢ ِﺑَﺤْﻤِﺪَك َوﻧُﻘَ ِﺪ‬
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa khalifah (pemimpin) adalah pemegang

mandat Allah SWT untuk mengemban amanah dan kepemimpinana langit di

muka bumi. Ingat komunitas malaikat pernah memprotes terhadap kekhalifahan

manusia dimuka bumi. ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan

ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al Qur’an)

dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan

hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)Ayat ini menunjukan ketaatan kepada ulil amri

(pemimpin) harus dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT dan rasulnya.
19

2.3 Dasar Hukum Kepemimpinan

2.3.1 Al Qur’an

Dalam Islam, pemegang fungsi kepemimpinan biasa disebut “imam” dan

kepemimpinan itu sendiri disebut “imamah”. Pemimpin negara, dalam sejarah

kebudayaan Islam biasa digunakan khalifah, amir, dan sultan. Istilah lain yaitu

“idarah”atau management. Pengertian khalifah sebagai penguasa, banyak ragam

dan jenis kekuasaan tersebut, baik secara operasional maupun konsepsional.

Khalifah juga mengandung arti yang universal tergantung dimana kita

menempatkan penguasaan tersebut didalam pembahasan.19

Allah menjanjikan anugerah kepemimpinan bagi orang-orang yang

beriman, justru karena merekalah yang seharusnya memimpin yang dapat

mengurus umat dengan sebaik-baiknya. Orang-orang yang beriman berhak

menjadi pemimpin karena mereka memiliki dasar moral (akhlak yang dapat

memelihara amanah kepengurusan umat). Dengan dasar takwa kepada Allah

mereka dapat memutar roda pemerintahan dan memegang kendali kepengurusan

dengan baik dan bertanggung jawab.

Seorang ulama bernama Syek Abu Zahra dari kelompok sunni

menyamakan arti khilafah dan imamah. Ia berkata “Imamah” itu disebut juga

sebagai Khilafah. Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi

bagi umat islam yang menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut

19 11 Drs. K. Permadi, S.H., Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta : Rineke Cipta, 1996), 57-63.
20

sebagai imam (pemimpin) yang wajib di taati. Manusia berjalan dibelakangnnya,

sebagaimana manusia shalat dibelakang imam.20

Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. dan Sahabat Nabi Kepemimpinan

Nabi Muhammad SAW Rasul Muhammad sebagai suri teladan yang harus diikuti

kaum muslimin, memiliki akhlak yang agung dan luhur. Dengan keluhuran akhlak

itulah beliau berdakwah, mengajak manusia menuju jalan yang di Ridhoi Allah.

Diantara akhlak Nabi yang terpuji, ialah sikap pemaaf dan kasih terhadap

sesamanya, meskipun beliau sering dihina, difitnah dan disakiti orang lain.

Selain bersikap pemaaf, Nabi SAW, bersikap kasih terhadap sesamanya, kasih

terhadap fakir miskin dan anak-anak yatim. Dalam berbagai kegiatan dakwahnya

beliau selalu memulai kebaikan dari dirinya sendiri dan keluarganya. Ia senantiasa

mengusahakan kebaikan dan memelihara umatnya dari kehancuran dan kenistaan.

Jadi selain Nabi dan Rasul Allah, Muhammad SAW, adalah seorang kepala

negara dan kepala pemerintahan.

Dalam kenyataannya beliau telah mendirikan negara bersama orang-orang

pribumi (Anshar) dan masyarakatnya pendatang (Muhajirin). Beliau membuat

konstitusi tertulis (undang-undang dasar) untuk berbagai suku termasuk yahudi,

memberi perlindungan (proteksi) kepada umat non islam, beliau mengirim dan

menerima duta serta membuat ikrar kebulatan tekad aqabah. Inilah negara yang

jujur tetapi bukan negara teokrasi karena beliau tidak menganggap.

20Al-Milal wan-Nihal I/24 atau dilihat Dr Ali As salus, Imamh dan Khalifah dalam tinjauan Syar’i (Jakarta : Gema Insani Press,
2010), 16
21

2.3.2 Al Hadits

Pada dasarnya hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam

Islam. Etika yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab.

Semua orang yang hidup di dunia ini disebut pemimpin. Karenanya sebagai

pemimpin mereka memegang tanggungjawab, sekurang-kurangnya terhadap

dirinya sendiri. Seorang suami bertanggungjawab terhadap isterinya, anak-

anaknya dan seorang majikan bertanggungjawab kepada pekerjanya, seorang

atasan bertanggungjawab kepada bawahannya, seorang presiden, gubernur, bupati

bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya.

Akan tetapi, tanggungjawab disini bukan semata-mata bermakna

melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar)

bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggungjawab

disini adalah lebih berarti sebuah upaya pemimpin untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra,a sendiri secara bahasa

bermakna gembala dan kata ra’in berarti penggembala. Ibarat penggembala, maka

pemimpin harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh

binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggungjawab untuk

mensejahterakan binatang gembalanya.

2.4 Konsep Perempuan Dalam Islam

Dalam terminologi Islam, perempuan disebut sebagai al-Mar’ah,

sedangkan bentuk jamaknya adalah an-Nisa yang sepadan dengan kata wanita,

perempuan dewasa atau lawan jenis pria. Penjelasan mengenai perempuan dalam
22

konteks Islam, kita perlu merujuk pada dua sumber utama hukum Islam yakni al-

Qur’an dan Hadits. Maka, penjelasan ini akan dibagi menjadi dua, yakni wacana

perempuan dalam Al-Qur’an yang ditemui dalam kitab tafsir dan wacana

perempuan dalam teks-teks hadits.

2.4.1 Perempuan dalam al-Qur’an

Wacana tentang perempuan dalam al-Qur’an bisa kita temui dalam banyak

ayat. Bahkan beberapa surat dalam Al-Qur’an juga menggunakan nama

perempuan. Contohnya Surat An Nisa dan surat Maryam. Di dalam surat Maryam

dikisahkan putri dari Imran yang memiliki derajat ketakwaan paling tinggi di

antara semua perempuan di masanya, bahkan mengalahkan laki-laki. Hingga

kemudian ia dipilih untuk melahirkan Nabi Isa AS meski tak pernah berhubungan

dengan laki-laki. Satu-satunya ibunda Nabi yang namanya diabadikan dalam Al-

Qur’an hanyalah Maryam. Sebelum ia melahirkan Nabi Isa, Maryam digambarkan

sebagai seorang perempuan mulia yang kesehariannya dihabiskan untuk beribadah

dan mengabdi kepada Allah SWT. Ketika ia dipilih untuk mengandung bayi Nabi

Isa tanpa seorang suami yang mencampurinya, Maryam telah menyadari

konsekuensi yang akan ia terima berupa celaan dari masyarakat. Namun Maryam

tetap menjalaninya sebagai ketetapan dari Allah SWT dan bukti kepasrahannya

terhadap Allah.

Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kisah seorang perempuan yang menjadi

pemimpin dari sebuah kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis dari kerajaan Saba’.

Kisah tentang Ratu Balqis ada dalam dua surat dalam al-Qur’an, yakni surat an-
23

Naml dan surat al-Anbiya. Kerajaan Saba’ digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai

kerajaan yang makmur, rakyatnya sejahtera, dan memiliki angkatan perang yang

kuat. Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat kepada Ratu Balqis yang berisi

ajakan untuk mengadakan hubungan diplomatik dan menyeru agar Ratu Balqis

dan rakyatnya menyembah kepada Allah SWT, pada saat itu rakyat kerajaan

Saba’ masih menyembah matahari.

Selain Ratu Balqis dan Maryam ibu Nabi Isa AS, masih ada beberapa

orang perempuan lagi yang kisahnya tercantum dalam al-Qur’an. Contohnya, ibu

Nabi Musa AS, istri Imran, dan Zulaikha. Kecuali Zulaikha yang memperdaya

Nabi Yusuf AS, kesemua perempuan yang diceritakan dalam al-Qur’an tersebut

menempati posisi yang mulia, sebagai ibu atau istri dari laki-laki shalih yang

mengabdi kepada Allah. Ada pula Istri dari Nabi Luth AS dan Nabi Nuh AS yang

membangkang dari ajaran suaminya sehingga mendapatkan azab dari Allah.

Demikianlah, sekilas mengenai perempuan dalam pandangan al-Qur’an.

Al Qur’an sebagai sumber hukum utama yang menjadi rujukan bagi umat muslim,

memandang wanita sebagai makhluk yang mulia, baik dalam posisinya sebagai

ibu maupun sebagai individu yang utuh. Dan apabila ia beriman dengan sebenar

benarnya iman, maka derajatnya bisa melebihi laki-laki.

2.4.2 Perempuan dalam Hadits

Badriyah Fayuni dan Alai Najib menjelaskan menjelaskan posisi

perempuan dalam Islam melalui hadits-hadits Nabi SAW. Mereka membagi


24

pembahasannya ke dalam empat perspektif gender dalam hadits, yakni sebagai

berikut.

a. Secara esensial, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam

masalah ibadah dan ajaran Islam. Semua hadits-hadits Nabi Muhammad

SAW yang menyangkut ajaran Islam berlaku untuk semua jenis kelamin.

Seruan untuk menuntut ilmu, berbuat amal sholeh, dan ajakan untuk

bersodakoh ditujukan kepada semua jenis manusia, tanpa memandang

laki-laki ataupun perempuan. Kesetaraan jenis kelamin berlaku untuk

semua jenis ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Bahkan

Nabi pun membolehkan perempuan untuk melakukan sholat Jum’at dan

menganjurkan untuk mengikuti shalat Ied. Ini menandakan bahwa

kesempatan untuk mendapatkan pahala dan dosa, setara antara laki-laki

dan perempuan.

b. Dalam beberapa hadits Nabi, perempuan diperlakukan secara istimewa

sesuai kodratnya, sebagaimana juga terdapat pengkhususan terhadap laki-

laki sesuai dengan kodratnya. Perbedaan ini tidak dijadikan sebagai

pembedaan yang mencolok yang bisa menimbulkan perpecahan. Tapi

diakui sebagai keistimewaan masing-masing jenis kelamin.

c. Perempuan diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi-kondisi

objektif yang menuntut terjadinya pengkhususan atas mereka. Kadang

pula terjadi tawar-menawar antara Nabi dan kaum perempuan dalam hal

yang khusus ini. Hingga kemudian dicari jalan keluar yang bersifat
25

akomodatif di kedua belah pihak. Hal yang sama juga terjadi pada laki-

laki.

d. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang inferior dibanding laki-laki,

namun pada saat yang sama, perempuan diberi kesempatan untuk

menutupi kekurangannya agar bisa mencapai derajat yang setara bahkan

melebihi laki-laki. Contohnya, dalam permasalahan agama, wanita kurang

agamanya karena tidak melakukan shalat dan puasa saat haid, akan tetapi

mereka bisa menggantinya dengan bersodakoh sehingga perempuan tetap

bisa mendapatkan pahala dari sedekah. Terlebih lagi, meninggalkan shalat

dan puasa saat sedang haid dan nifas merupakan perintah Allah yang jika

ditaati akan mendapatkan pahala dan bila dilanggar mendapatkan dosa,

seperti halnya larangan berzina dan memakan daging babi. Di sisi lain,

laki-laki dipandang lebih superior daripada wanita namun superioritas ini

membuahkan tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh laki-laki. Jika

tanggung jawab ini diabaikan oleh laki-laki, maka derajat lebih yang

dimilikinya bisa berkurang atau bahkan hilang. Contohnya, laki-laki

dianggap sebagai pemimpin bagi wanita dan laki-laki memiliki kelebihan

beberapa derajat di atas wanita karena ia berkewajiban memberi nafkah,

melindungi dan menjaga keselamatan bagi wanita. Jika tanggung jawab ini

diabaikan, laki-laki akan jatuh ke tingkat derajat yang paling hina, bukan

hanya di mata Allah, tapi juga di mata manusia.

Dari empat kategori perspektif gender dalam hadits yang diungkapkan

oleh Badriyah Fayuni dan Alai Najib ini, ditemukan sebuah pemahaman bahwa
26

Rasulullah tidak pernah membeda-bedakan antara umatnya. Pengkhususan satu

jenis kelamin dari jenis kelamin yang lainnya dilakukan sesuai kebutuhan dari

masing-masing jenis kelamin itu sendiri, dan bukan untuk memarginalkan satu

jenis dari jenis lainnya. Adapun kelebihan dan kekurangan antara jenis kelamin

yang satu dengan yang lainnya dibarengi dengan catatan-catatan penting yang

tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa perempuan

memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam hadits-hadits Rasulullah

SAW.

2.5 Pendapat Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan

2.5.1 Pendapat Ulama Yang Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan

Wanita menjadi pemimpin tertinggi dikalangan para ahli ilmu (ulama,

cendikiawan, politisi, dan praktisi) ternyata menjadi permasalahan kontroversial

sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini terjadi secara metodologi berpikir sistematis

ushul al-fiqh) terlihat disebabkan berbeda pendekatan dalam pemahaman dan

interprestasi terhadap teks-teks Alqur’an dan Sunah Rasulullah, dan penilaian

terhadap eksistensi ijma’ ulama sebagai sumber dan dalil hukum atau sebagai

metode istinbat hukum, sehingga implikasi dari padanyamenghasilkan konklusi

hukum yang berbeda pula. Karena itu dapat dikatakan bahwa permasalahan

wanita menjadi pemimpin termasuk dalam rana ijtihadiyah yang dinamis

sepanjang masa. Rasulullah SAW Bersabda:


27

‫ﻋﻦ اﺑﻲ ﺑﻜﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﻋﺼﻤﻨﻲ ﷲ ﺑﺸﻲء ﺳﻤﻌﺘﮫ ﻣﻦ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ‬

‫ھﻠﻚ ﻛﺴﺮى ﻗﺎل ﻣﻦ اﺳﺘﺨﻠﻔﻮا ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻨﺘﮫ ﻗﺎل ﻟﻦ ﯾﻔﻠﺢ ﻗﻮم وﻟﻮا ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ‬

‫أﻣﺮھﻤﺎﻣﺮأةرواه اﻟﺒﺨﺎرى‬

Artinya: Dari Abu Bakrah Ra ia berkata: “Allah telah memeliharaku dengan


sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW, Saat Kisra hancur, beliau
bertanya: Siapa yang mereka angkat sebagai raja? Para sahabat
menjawab, Puterinya. Beliau lalu bersabda: Tidak akan beruntung suatu
kaum yang menyerahkan perkaranya kepada seorang perempuan.” (HR.
Bukhari).

Berdasarkan Hadis di atas dapat dipahami bahwa pertama, Nabi Saw

telah melarang wanita menjadi pemimpin, karena beliau setelah mendengar

informasi atas pengangkatan anak perempuan Raja Persia sangat menyayangkan

pengangkatan tersebut. Kedua, hadis ini diriwayatkan oleh banyak perawi yang

terpercaya (stiqah), tidak ada kejanggalan, kecacatan yang merusak

keshahihannya, dan sanadnya pun tidak ada yang terputus (munqathi). Bahkan

hasil analisis Syaikh Muhammad Al-Ghazali hadis tersebut berkualitas shahih,

baik sanad maupun matannya. Ketiga, kata wanita, (imra’ah) pada hadis tersebut

menunjukkan kepada keumuman (nakirah), artinya wanita mana saja tidak boleh

menjadi pemimpin.21

Menurut jumhur ulama, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan

Imam Hanbali, bahwa wanita tidak boleh menjabat sebagai hakim atau pemimpin,

dan telah bersepakat bahwa seorang pemimpin itu harus laki-laki tidak boleh

perempuan. pendapat mereka berdasarkan surah Q.S An-Nisa 4: 34 dan hadis

Rasulullah yang diriwayatkan oleh HR.Bukhari mengatakan bahwa “tidak akan

21Nurul fajriah, dkk, Dinamika Peran Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh, PSW IAIN AR-Raniry dan NAD-
Nias, 2007), hlm. 77-79.
28

bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada wanita”. dan Hadis

yang mengatakan bahwa “akal dan keberagaman wanita kurang dibanding akal

dan keberagaman pria”.22

Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam

al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana wanita

berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam

matan hadits tersebut terdapat kata "wallu amrakum" (yang memerintah kamu

semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga

jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita. hampir ulama klasik

memandang perlu untuk mengetengahkan bahwa hak menjadi khalifah adalah hak

laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu

Taimiyyah, Ibnu Khaldun.

Mustafa As-Siba’i menyatakan bahwa islam melarang secara terang-

terangan untuk menjadi kepala negara, berdasarkan hikmah-hikmah yang

ditetapkan olehnya. Begitu juga halnya dengan tugas-tugas lain yang terpaksa

menanggung tanggung jawab besar lagi berbahaya. Menurut beliau, Islam telah

mewajibkan pimpinan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan laki-laki.

Beliau berhujjah kepada hadis Rasulullah Saw, dan beliau juga berpendapat

bahwa hadist ini khusus menerangkan tentang pimpinan tertinggi dalam suatu

negara, sedangkan kepemimpinan secara umum, tidak dilarang untuk dipegang

leh perempuan. Menurut beliau, para ulama sepakat menetapkan hal itu dan

mereka sepakat menetapkan bahwa perempuan boleh diserahi wasiat untuk

22Norma Dg.Siame, “Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Syariat Islam”, Jurnal keislaman, Vol. 4, No. 1, ( Juni 2012), hlm.
78.
29

memelihara anak dan orang yang lemah akalnya dan boleh juga wanita menjadi

saksi. Larangan bagi perempuan untuk menjabat sebagai kepala negara, karena

mempertimbangkan tugas berat yang harus diembannya. Sebab kepala negara

dalam islam bukanlah hanya suatu jabatan formalitas saja, tetapi juga merupakan

pemimpin rakyat, dan lidahnya berbicara serta memiliki kharisma yang tinggi.

2.5.2 Pendapat Ulama Yang Membolehkan Kepemimpinan Perempuan

Sedangkan golongan pendapat yang kedua berargumentasikan pada firman

Allah Q.S An-nisa’ 4: 34 juga, yang mengambil kesimpulan bahwa, wajah dilalah

pada ayat ini menurut mereka tidak bersifat umum, akan tetapi bersifat khusus,

juga tidak dengan lafad suruhan (amar) tetapi dengan lafaz informatif (khabasr).

Hadis riwayat dari Abu Bakrah juga dipahami oleh mereka yang bahwa

saat itu ketika Nabi Saw mendengar informasi atas kematian Raja Persia yang

dibunuh, pasca kematian anak puterinya bernama Buran dinobatkan menjadi

penggantinya memimpin negara. Hal ini sebenarnya kekhawatiran Nabi kalau dia

tidak mampu memimpin, artinya secara marfhum mukhalafah, kalau dia mampu

memimpin berarti boleh wanita menjadi pemimpin, dan memang saat itu situasi

dan kondisilah yang memungkinkan anak puterinya dinobatkan menjadi

pemimpin.23

Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer, Qaradhawi menjelaskan bahwa

perempuan boleh menjadi pemimpin dalam bidang politik.24 Karena Alqur’an

membebani laki-laki dan perempuan secara bersama-sama untuk memikul

23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an,... hlm. 352.
24 Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid II. (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), hlm. 522.
30

tanggung jawab menegakkan masyarakat dan memperbaikinya. Lazimnya hal ini

disebut dengan amal ma’ruf nahi mungkar.

Yusuf Qardhawi juga menjelaskan, banyak sekali alasan bahwa

perempuan itu boleh untuk berpartisipasi dalam parlemen ataupun diperbolehkan

untuk menjadi pemimpin. Diantaranya adalah ketika Siti Khadijah memainkan

peran penting dalam mengumandangkan dan mendukung Nabi Saw. kemudian

ada beberapa perempuan yang berperang bersama nabi, seperti Sumaiyyah ibn

Ammar. Kemudian kisah Ratu Saba’ beserta kepandaian dan kebijaksanaanya

dalam menghadapi Nabi Sulaiman Alaihisalam. Jadi, adakalanya perempuan itu

mempunyai pandangan, pemikiran dan kebijakan yang bagus dalam urusan politik

dan hukum, yang terkadang banyak di antara kaum laki-laki tidak mampu

menandinginya.

Terkait dengan permasalahan bolehnya perempuan menjadi pemimpin,

Yusuf Qardhawi telah menyatakan bahwa seorang perempuan dan laki-laki

memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin dalam menjabat jabatan

kenegaraan, anggota parlemen, kementeran, kehakiman, dewan fatwa kepala

negara dan sebagainya. Beliau juga menambahkan bahwa perempuan boleh

berpolitik di karenakan laki-laki dan perempuan dalam hal mu’amalah memiliki

kedudukan yang sama. Dikarenakan kedua jenis ini adalah manusia mukallaf yang

di bebankan dengan tanggung jawab beribadah dan menegakkan agama islam

serta melakukan amar maruf dan nahi mungkar. Laki-laki dan perempuan juga

memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sehingga tidak ada dalil yang

kuat atas larangan perempuan untuk berpolitik.


31

Walaupun kepemimpinan perempuan itu dibolehkan ke atas perempuan

menurut Yusuf Qardhawi akan tetapi, beliau memberikan syarat-syarat yang ketat

yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh perempuan untuk memikul suatu

tanggung jawabs. Adapun syarat-suarat yang telah ditentukan oleh syari’at

islamiyah seperti di bawah ini:25

a. Tiada khalwat dengan lawan jenis yang bukan mahram sepanjang

menjalankan tugas.

b. Tidak mengabaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu jika sudah

berkahwin.

c. Harus tetap menjaga prilaku islami dalam berpakaian, berkomunikasi,

berprilaku yang baik dan lain-lain.

Menurut Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily ia memandang bahwa

sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal eksistensi Al-insaniyah

(kemanusiaan). Pendapatnya didasari pada firman Allah SWT, Q.S An-Nisa 4: 1

ُ ‫ٰ ٓﯾَﺄ َﯾﱡَﮭﺎ ٱﻟﻨﱠﺎ‬


‫س ٱﺗ ﱠﻘُﻮ۟ا َرﺑﱠُﻜُﻢ ٱﻟﱠِﺬى َﺧﻠَﻘَُﻜﻢ ِّﻣﻦ ﻧﱠْﻔٍﺲ َٰوِﺣﺪٍَة َوَﺧﻠََﻖ ِﻣْﻨَﮭﺎ َزْوَﺟَﮭﺎ َوﺑَ ﱠ‬
‫ﺚ ِﻣْﻨُﮭَﻤﺎ‬

َ َ ‫َ ٱﻟﱠِﺬى ﺗ‬f‫ﺴﺎ ًٓء ۚ َوٱﺗ ﱠﻘُﻮ۟ا ٱﱠ‬


‫َ َﻛﺎَن َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ‬f‫ﺴﺎ َٓءﻟُﻮَن ِﺑ ِۦﮫ َوٱْﻷ َْرَﺣﺎَم ۚ ِإﱠن ٱﱠ‬ َ ‫ِرَﺟﺎًﻻ َﻛِﺜﯿًﺮا َوِﻧ‬

‫َرِﻗﯿﺒًﺎ‬

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya allah
menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling

25 Yusuf Qardhawi, Min Fiqhi al-Dawlah Fi al-Islam, Terj. Kathur Suhardi, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1998), hlm. 207.
32

meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.


Sesungguhnya allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily menafsirkan bahwa kata,

man nafsi wahdah sebagai “Adam” kemudian Allah menciptakan dari diri Adam

istrinya yaitu Hawa. Penciptaan Hawa dari diri Adam bukanlah

menunjukkanbahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki akan tetapi merupakan

bahagian pelengkap yang tidak dapat dipisahkan dari laki-laki. Oleh karena itu

laki-laki dan perempuan diberi tanggung jawab yang sama dalam kapasitasnya

sebagai khalifah di muka bumi.

Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily juga mengakui bahwa

laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki al-ahliyah (keahlian) dalam

masalah ibadah, dan dalam hal balasan dari perbuatan baik buruk yang dilakukan.

Sebagaimana ditgaskan dalam Q.S Ali-Imran 195.

‫ﻀُﻜْﻢ ِّﻣْۢﻦ‬
ُ ‫ﺿْﯿُﻊ َﻋَﻤَﻞ َﻋﺎِﻣٍﻞ ِّﻣْﻨُﻜْﻢ ِّﻣْﻦ ذََﻛٍﺮ ا َْو ا ُْﻧٰﺜﻰ ۚ ﺑَْﻌ‬
ِ ُ‫ﻻ ا‬
ٓ َ ‫ب ﻟَُﮭْﻢ َرﺑﱡُﮭْﻢ ا َ ِﻧّْﻲ‬
َ ‫ﻓَﺎْﺳﺘ ََﺠﺎ‬

‫ﺳِﺒْﯿِﻠْﻲ َوٰﻗﺘ َﻠُْﻮا َوﻗُِﺘﻠُْﻮا‬


َ ‫ﺾ ۚ ﻓَﺎﻟﱠِﺬْﯾَﻦ َھﺎَﺟُﺮْوا َوا ُْﺧِﺮُﺟْﻮا ِﻣْﻦ ِدﯾَﺎِرِھْﻢ َوا ُْوذُْوا ِﻓْﻲ‬
ٍ ‫ﺑَْﻌ‬

‫ي ِﻣْﻦ ﺗ َْﺤِﺘَﮭﺎ اْﻻَْﻧٰﮭُۚﺮ ﺛ ََﻮاﺑًﺎ ِّﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ ﱣ‬


ۗ ِ’ ٍ ‫ﺳ ِﯿّٰﺎِﺗِﮭْﻢ َوَﻻُْدِﺧﻠَﻨﱠُﮭْﻢ َﺟﻨﱣ‬
ْ ‫ﺖ ﺗ َْﺠِﺮ‬ َ ‫َﻻَُﻛ ِﻔَّﺮﱠن َﻋْﻨُﮭْﻢ‬

ِ ‫’ُ ِﻋْﻨﺪَٗه ُﺣْﺴُﻦ اﻟﺜ ﱠَﻮا‬


‫ب‬ ‫َو ﱣ‬
Artinya: Maka tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), sesungguhnya aku tidak menyia-yiakan amal orang-orang
yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebahagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka
orang- orang yang berhijrah, yang di usir dari kampung halamanya,
yang disakiti pada jalanku, yang berperang dan dibunuh, pastilah akan
ku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan
mereka kedalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahal di sisi allah. Dan allah pada sisinya pahala yang baik.
33

Dalam penjelasannya tentang bolehnya pengangkatan perempuan sebagai

pemimpin Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily tidak menyinggung

hadis Rasulullah Saw, padahal beliau mengetahui Hadis itu tetapi ia tidak

memahami Hadis itu secara tekstual. Seperti yang dilakukan oleh kebanyakan

ulama yang menentang pengangkatan wanita sebagai kepala negara. Ia memahami

secara konstektual dalam artian Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansury al-Sinkily

melihat kondisi perempuan di masa Rasulullah Saw jauh berbeda dengan keadaan

perempuan di masa sekarang, terutama dalam bidang pendidikan dan intelektual.

Baginya yang terpenting adalah setiap ummat harus memiliki pemimpin dan

berbakti kepadanya.

Dari beberapa pandangan di atas, penulis terdapat perbedaan pendapat dan

pandangan dari ulama terkemuka dunia dalam membahaskan kepemimpinan

perempuan. Hal ini memberikan begitu banyak ruang dalam melontarkan

pendapat sesuai dengan dalil-dalil dalam menentukan masalah ini. Terdapat

pendapat yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dan ada yang tidak

bersetuju membolehkan perempuan menjadi pemimpin. namun, perlulah kita lebih

bersifat terbuka dalam menentukan posisi perempuan sebagai pemimpin di dalam

kehidupan ini

2.6 Kedudukan Perempuan Dalam Islam

Kedatangan Islam merupakan babak baru untuk kehidupan perempuan.

Islam sebagai cahaya untuk menerangi anggapan buruk masyarakat terhadap

kehadiran kaum perempuan. Islam menegaskan bahwa perempuan tidak lebih


34

rendah dari laki-laki dan sebaliknya. Secara horizontal keberadaan perempuan

tidak dapat sama sekali untuk ditekan. Hal ini, disebabkan pada ajaran Islam yang

bersumber dari Al-Qur’an dan hadis mengatur prinsip-prinsip serta etika pada

kesetaraan hak perempuan dalam masyarakat. Al- Qur’an sering kali menyebut

prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan. Hal tersebut merupakan prinsip

utama yang digunakan secara tegas untuk membangun jejaring bermasyarakat.

Bahkan, apa yang disebut dengan pilar politik Islam merupakan bagian dari

implementasi prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, posisi perempuan dalam

bermasyarakat tidak lagi mendapat stigma.

Posisi perempuan begitu mulia dalam pandangan Islam, tidak berbeda

dengan laki-laki. Bahkan salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an bernama An-

Nisa’ yang berarti perempuan. Kenyataan ini sebagai bukti bahwa Islam

mengangkat keadilan dan perlindungan terhadap perempuan sesuai dengan

kandungan ayat- ayat dalam surat tersebut. Islam menempatkan serta mengakui

kehormatan perempuan. Lebih luas lagi, perempuan juga ikut dilibatkan dalam

bidang keamanan. Akan tetapi, kalangan muslim sendiri tidak dapat mengungkap

prinsip-prinsip tersebut. Masih saja ada praktik yang dilakukan oleh umat Islam

yang merendahkan dan meremehkan andil perempuan khususnya kiprah

perempuan dalam dunia politik untuk menjadi pemimpin di dalamnya.

Perihal hubungan dekat dengan perempuan, Rasulullah SAW. sendiri

selalu menerima setiap masukkan yang disampaikan oleh kaum perempuan.

Pernah suatu ketika Rasulullah SAW. Mendapatkan protes dari kaum perempuan

agar beliau mengizinkan mereka mengikuti pengajian, yang sebelumnya


35

dikhususkan untuk kaum laki-laki saja, karena kaum laki-lakilah yang akan

menyampaikan hasil pengajian kepada perempuan. Akhirnya, Rasulullah SAW.

memutuskan untuk membuka pengajian khusus untuk kaum perempuan.

Rasulullah SAW. juga memberikan hak politik dan kebebasan menyatakan

pendapat yang terekam dalam QS. Al-Mujadalah: 1-4. Hal ini membuat sentuhan

perempuan dan nuansa feminis melekat abadi, setelah berabad- abad ketika

perempuan mengajukan pendapat tidak didengar bahkan diharamkan.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa perempuan terlibat aktif dalam

dunia keilmuan, politik, budaya dan lain sebagainya. Hal ini sebagai tanda bahwa

era kebangkitan perempuan untuk mencapai keadilan hak-hak yang selama ini

hilang, berganti menjadi suatu hal yang patut diperhitungkan. Adanya keyakinan

teologis, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, perempuan

diciptakan hanya sebagai penyembuh dahaga hasrat Adam dan perempuanlah

yang menggoda Adam yang mengakibatkan diusirnya Adam dari surga dan

mengakibatkan adanya dosa warisan. Penafsiran yang tergolong sepihak,

tampaknya tidak lagi relevan untuk menepikan eksistensi perempuan pada saat ini.

Pada Piagam Madinah disebutkan bahwa Islam menjunjung tinggi hak

asasi manusia. Menurut pendapat sarjana fikih, semua manusia memiliki hak asasi

manusia yang sama, di mana hal ini telah ditetapkan oleh syariat.16 Lebih lanjut,

Islam sangat melarang tindakan pengekangan terhadap kebebasan perempuan.

Islam sebagai suatu agama yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuk

kebebasan perempuan. Bahkan di dalam catatan sejarah muncul sosok-sosok

perempuan yang memiliki cara berpikir maju, setara dalam kehidupan, dan juga
36

memiliki prinsip yang kuat. Agama Islam sangat menjunjung tinggi keadilan,

egaliter dan kebebasan. Hal ini telah berpengaruh terhadap perempuan Islam, di

mana tidak sekedar menjadi sosok penurut dalam tradisi yang ikut serta merampas

hak-hak perempuan.

2.7 Sejarah Kepemimpinan Perempuan

Sejarah Islam telah mencatatnya bahwa kepemimpinan Aisyah r.a dalam

perang jamal bersama para sahabat Nabi yang lain menjadi bukti keabsahan

kepemimpinan kaum wanita. Kemudian jauh sebelum Aisyah tampil di dunia

politik praktis, alqur’an telah melegetimasi keabsahan kepemimpinan wanita Ratu

Balqis, seorang penguasa Negeri Saba’ (kini termasuk wilayah Yaman) yang

hidup dengan sezaman dengan Nabi Sulaiman a.s yang dikenal dalam sejarah

sebagai penguasa yang adil, bijaksana dan penuh tanggung jawab dalam

kepemimpinannya. Terlebih lagi dalam kondisi yang sangat menentukan dan demi

untuk kemaslahatan bangsa dan negara, maka kaum wanita dibenarkan menjadi

pemimpin bangsa.26

Dalam Alqur’an surah An-Naml sudah jelas bahwa yang menceritakan

tentang sebuah negeri yang di pimpin oleh wanita pada masa Nabi Sulaiman yang

bernama Ratu Balqis. Ratu Balqis adalah sosok pemimpin yang demokratis,

penuh empati, adil dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Ratu Balqis

adalah pemimpin yang sangat dihormati dan ditaati oleh para pengikutnya,

kerajaan Saba’ yang makmur menggambarkan pemimpin yang memiliki wilayah

26 Munawir Haris, ”Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”. Jurnal Studi Keislaman, Vol. 15, No. 1 Jun 2015, hlm. 83.
37

besar dalam mengatur rakyatnya. Dalam Surah An-Naml sudah jelas bahwa

kepemimpinan yang di pimpin oleh wanita tidak ada masalahnya.

Islam tidak pernah melarang kaum perempuan menjadi pemimpin atau

khalifah, karena tugas kepemimpinan bersifat universal, berlaku bagi kaum laki-

laki dan perempuan. Inti dari kepemimpinan adalah sunnatullah akan kewajiban

manusia untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dihadapan Allah

SWT.27

Dasar hukum politik perempuan dalam hal ini adalah kebolehan kaum

perempuan untuk melakukan aktivitas publik dan penguatan hukum untuk

perempuan dalam menjalankan hukum politik. Apabila kita memperhatikan nasib

kaum wanita sebelum Islam, sebelum turunnya Alqur’an, pada bangsa Arab

Jahiliyah, sesungguhnya sangat menyedihkan. Boleh dikatakan tiada mempunyai

hak sama sekali, melaikan dikuasai sepenuhnya oleh kaum laki-laki dengan tiada

mendapat perlindungan hukum ataupun dari masyarakat dan kemanusiaaan. Ini

menggambarkan, bahwa pada zaman jahiliyah kaum perempuan tidak disukai,

dihargai, bahkan dipandang sebagai kaum yang dapat membawa malapetaka dan

bahaya.28

Dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw menjadi rasul dan rahmat bagi

seluruh alam, lahirnya agama Islam dan turunya Alqur’an, semua kepincangan-

kepincangan itu dibetulkan, sehingga kaum wanita mempunyai hak dan

kedudukan yang sama bagi kaum laki-laki, baik dalam hidup pribadi ataupun

dalam masyarakat dan negara, juga dalam kehidupan keagamaan. Semua ini

27 Nurul Mubin, Semesta Keajaiban Wanita, (Jogjakarta: Diva Press, 2008), hlm. 72
28 Fachruddin Hs, Ensiklopedia Alqur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 268.
38

terdapat dalam Alqur’an, dan suatu kehormatan besar bagi kaum wanita, karena

Allah telah menyebutkan masalah wanita dalam firman-Nya, dengan sebutan “An-

Nisa” yang artinya kaum wanita. wanita adalah separuh dari masyarakat, Artinya,

perempuan berkewajiban untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki, dan

wanita berhak untuk menikmati semua hak, sosial, budaya, sipil dan politik.
BAB III

HASIL PEMBAHASAN

3.1 Biografi Imam Al Mawardi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-

Mawardi al- Bashri (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak. Beliau

dibesarkan dalam keluarga yang mempuyai perhatian yang besar kepada ilmu

pengetahuan. Mawardi berasal dari kata ma’ (air) dan ward (mawar) karena ia

adalah anak seorang penjual air mawar. Panggilan al-Mawardi diberikan

kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat,

berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang

dihadapinya, sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya.

Masa kecil Al-Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga tumbuh dewasa. Al-

Mawardi hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: al-Qadir Billah (380-422

H) dan al-Qa‟imu Billah (422 H-467 H). Al-Mawardi juga mempunyai nama

kun-yah (julukan), yaitu: Abu al-Hasan, dengan laqb (gelar) Qadi Al-Qudhat

(semacam hakim agung sekarang). Yaqut al-Hamawî menyebutkan bahwa gelar

Qadi Al-Qudhat ini diterimanya pada tahun 429 H.29

Pemberian gelar ini sempat menimbulkan protes dari para fuqaha pada

masa itu. Mereka berpendapat bahwa tidak ada seoranpun boleh menyandang

gelar tersebut. Hal ini terjadi setelah menetapkan fatwa bolehnya Jalal Ad Daulah

ibn Addid Ad Daulah menyandang gelar Malik Al Muluk sesuai permintaan.

29 Khayr al-Dīn al-Zarkali, al-A’lām, juz 4, (Beirūt: Dār al-Ilm li al Malāyīn, 1992), h. 327

39
40

Menurut mereka bahwa yang boleh menyandang gelar tersebut hanya Allah

SWT.

Al-Mawardi wafat pada tanggal 30 bulan Rabi’ul Awal tahun 450 hijrah

bersamaan 27 Mei 1058 M. Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Bertindak sebagai

imam pada sholat Jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi. Banyak para pembesar

dan ulama yang menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mawardi

dimakamkan di perkuburan Bab Harb Kota Mansur di Baghdad. Kewafatannya

terpaut 11 hari dari kewafatan Qadi Abu Taib.30

Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi

disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulah Bani Abbasiyyah. Pada masa itu

Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu

membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan

diri dari Bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya memuculkan

dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan Bani

Abbas.

Disisi lain, keberadaan khalifah-khalifah Bani Abbas sangat lemah.

Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-pejabat

tinggi negara dan panglima Militer Bani Abbas. Khalifah sama sekali tidak

berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang berkuasa adalah para menteri

Bani Abbas yang pada umumnya bukan berasal dari bangsa Arab, melainkan dari

bangsa Turki dan Persia. Al-Mawardi merupakan seorang pemikir Islam yang

terkenal pada masanya. Yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan

umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Ia juga dikenal sebagai tokoh


30 As Subki, Tabaqat As Syafiyyah, h. 269
41

terkemuka Madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada

dinasti Abbasiyah. Selain sebagai pemikir Islam yang ahli dibidang fiqih,

sastrawan, politikus dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang

sangat produktif.31

Meskipun Al Mawardi adalah orang yang dikenal di Baghdad, tetapi

sumber sejarah tidak banyak mengupas tentang kehidupan keluarganya di Bashrah

dan Baghdad. Pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah, Al-Mawardi merapat kepada

Khalifah ‘Abbasiyah al-Qadir Billaah setelah memberikan ringkasan kitab fiqh

Syafi’i, al-Iqna’.32

Ketajaman pemikiran Al-Mawardi dalam bidang politik sebagaimana

dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-ahkam Al-Shulthoniyah secara

antropologis dan sosiologis tidak dapat dilepaskan dari situasi politik yang tengah

mengalami krisis. Pada masa itu kekuasaan Abbasiyah melemah, sebagai akibat

terjadinya penuntutan pejabat tinggi dari etnis Turki untuk merebut puncak

pemerintahan. Kehendak itu tentu saja menimbulkan reaksi keras dari kelompok

penguasa yang menghendaki kemapanan dan status quo.33

3.2 Konsep Kepemimpinan Perempuan

Al-Qur‟an memberikan pujian kepada ulul albab yang berzikir dan

memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal

tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka

31 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Perkasa, 2001), h. 43
32 Al Mawardi , Adab Ad Dunya Wa Ad Din, op.cit,. h. 9
33 Abudin Nata. op.cit., h. 43-44
42

yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga

kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas yang menguraikan

tentang sifat-sifat ulul albab, QS Ali Imran ayat 195.

Namun ada saja yang masih memosisikan perempuan sebagai makhluk

yang lemah dan melarangnya beraktivitas di luar rumah dengan dalih bahwa

perempuan ke mana pun pergi harus disertai dengan mahram walaupun untuk

keperluan menuntut ilmu sekalipun. Di sisi lain ada juga yang berpandangan

bahwa perempuan tidak boleh bekerja tetapi sebaiknya berada di rumah untuk

mengurus rumah dan mendidik anak. Sehingga terjadi disharmoni di dalam rumah

tangga yang dapat menyebabkan perceraian antara kedua belah pihak.34

Sebelum Islam datang, perempuan sangat menderita dan tidak memiliki

kebebasan hidup yang layak. Dalam peradaban Romawi misalnya, perempuan

sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, setelah kawin, kekuasaan

tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan

menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. segala hasil usaha perempuan,

menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.

Begitu Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya sepenuhnya yaitu

dengan memberi warisan kepada perempuan, memberikan kepemilikan penuh

terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah

mendapat izin darinya. Dalam tradisi Islam, perempuan mukallaf dapat

melakukan berbagai perjanjian, sumpah, dan nazar, baik kepada sesama manusia

maupun kepada Tuhan, dan tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan

34
Agustin Hanafi, Peran Perempuan Dalam Islam, Internasional Journal of Child and Gender Studies, Vol. 1, No. 1, Maret, 2015,
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/equality, (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2015), hlm.15-16.
43

janji,sumpah, atau nazar mereka sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an surah

al-Maidah ayat 89.35

Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan

pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa, maka

sebuah pernikahan seorang gadis tidak akan terlaksana apabila belum

mendapatkan izin dan persetujuannya. Perempuan dan laki-laki mempunyai 28

kedudukan yang sama di depan hukum, bahkan Islam memberikan hak yang sama

kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan

cara “ khulu”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang

sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah

secara mutlak. Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif

terhadap perempuan, dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai

makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasarruf, bahkan satu sama lain saling

melengkapi dan membutuhkan.

Bahkan pada zaman dahulu banyak sekali perempuan yang aktif bekerja

dan beraktivitas dan Nabi sendiri tidak melarangnya. Dalam bidang perdagangan

misalnya, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang

sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang

perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli.

Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang dan hasil usahanya

itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu

35
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender,cet ke-II, (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 126.
44

Mas’ud sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu

mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sementara itu, Al-Syifa’, seorang

perempuan yang pandai menulis ditugaskan oleh Khalifāh Umar r.a. sebagai

petugas yang menangani pasar kota Madinah.36

3.3 Tujuan Kepemimpinan

Adapun tujuan kepemimpinan yang hendak dicapai sehingga terlaksana

dengan baik, maka pemimpin mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu untuk

memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan

motivasi kerja, mengendalikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang

baik, memberi pengawasan yang efesien dan membawa para pengikutnya kepada

sasaran yang hendak dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.

Kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai

dengan fungsi dan tujuannya. Tugas pokok kepemimpinan yang berupa

mengantarkan, mengelompokkan, memberi petunjuk, mendidik, membimbing dan

sebagainya yang secara singkat menggerakan 6 M agar para bawahan mengikuti

jejak pemimpin mencapai tujuan organisasi, hanya dapat melaksanakan dengan

baik apabila seorang pemimpin menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Kepemimpinan mempunyai penegakan yang sama yaitu arah dan tujuan

bagi organisasi. Kepemimpinan lebih banyak berfokus menciptakan visi ke depan

bagi organisasi dan mengembangkan strategi jauh kedepan tentang perubahan-

perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi tersebut bagi organisasi.

36 M. Quraish Shihab, Perempuan, Cet. III, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 406
45

Tujuan kepemimpinan meliputi tujuan organisasi, tujuan kelompok, tujuan pribadi

anggota kelompok.

1. Tujuan organisasi merupakan tujuan untuk memajukan organisasi yang

bersangkutan dan menghindari diri dari maksud-maksud irasional

organisasai yang ada.

2. Tujuan kelompok merupakan tujuan untuk menanamkan tujuan kelompok

pada masing-masing anggota sehingga tujuan kelompok dapat segera

tercapai.

3. Tujuan pribadi anggota kelompok merupakan untuk memberi pengajaran,

pelatihan, penyuluhan, konsultasi bagi tiap anggota kelompok sehingga

anggota kelompok dapat mengembangkan pribadinya.

Dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyinggung mengenai hukum dan

tujuan menegakkan kepemimpinan. Dalam kitab tersebut menjelaskan bahwa

menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan

dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut bahwa keberadaan pemimpin dalam

kepemimpinannya sangat penting. Artinya antara lain karena kepemimpinan

mempunyai dua tujuan:

1. Likhilafati an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai penggantimisi

kenabiaan untuk menjaga agama.

2. Wa Siyasati ad-Dun-yaa, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia.

Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimp inan adalah untuk

menciptakan rasa aman, keadilan, kemaslahatan, menegakkanamar ma’ruf


46

nahi mungkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan masalah-

masalah yang dihadapi masyarakat.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam definisi pemimpin, para ulama

telah menetapkan bahwa kepemimpinan dalam Islam memiliki dua tujuan pokok

yang harus direalisasikan, diantaranya:

1. Mengakkan agama Islam (Igamatuddin) Maksud dari pada menegakkan

agama Islam adalah dengan memurnikan segala ketaaatan kepada Allah,

menghidupkan sunnah-sunnah dan menghilangkan bidah agar seluruh

manusia bisa sepenuhnya menaati Allah SWT.

2. Mengatur dunia berdasarkan syariat IslamPara ulama sepakat bahwa

seorang pemimpin wajib mengatur seluruh aspek kehidupan manusia

berdasarkan syariat Allah, baikdalam bidang politik, ekonomi, sosial,

budaya maupun militer. Semuanya harus sesuai dengan petunjuk Al-qu’an

dan sunnah, karenaseluruh aturan manusia telah Allah tetapkan didalam

nya.37

3.4 Perbedaan Pendapat mengenai Pemimpin Perempuan

1. Perbedaan Penafsiran Ayat al-Qur‟an

Pendapat yang tidak membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin

didasari oleh pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang secara

subtantif telah memposisikan kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum

37
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah wa al-Wilayatul al-Diniah......... hlm, 120.
47

perempuan. Kalangan fuqaha berendapat demikian mengacu kepada QS. an-

Nisaa’ ayat 34 yang berbunyi :

‫ض َوِﺑَﻣﺎ ٓ أَﻧﻔَﻘ ُو۟ا ِﻣْن‬


ٍ ‫ﺿُﮭْم َﻋﻠَٰﻰ ﺑَْﻌ‬ َ ّ‫ٱﻟِّرَﺟﺎُل ﻗَٰﱠوُﻣوَن َﻋﻠَﻰ ٱﻟ ِﻧ‬
‫ﺳﺎ ِٓء ِﺑَﻣﺎ ﻓَ ﱠ‬
َ ‫ﺿَل ٱﱠ<ُ ﺑَْﻌ‬

‫أَْﻣَٰوِﻟِﮭْم‬

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(Q.S. an-Nisaa‟ [4]: 34).

Karena pertimbangan begitu sentralnya jabatan ini, maka para ulama

klasik sepakat bahwa jabatan khalifah harus dipegang oleh lelaki berdasarkan

surah an-Nisa‟ ayat 34 tersebut. Abu Ya‟la al-Fara‟ menyebutkan salah satu

persyaratan kepala negara harus memenuhi persyaratan menjadi hakim yang

salah satu persyaratannya adalah lelaki.38

Sedangkan pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan menjawab

argumen pada firman Allah SWT. surah An Nisaa’ ayat 34 tersebut. Berdasarkan

asbab al-nuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan kasus istri Sa‟ad bin Rabi‟

yaitu Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair, yang tidak taat kepada suaminya

(nusyuz). Lalu Sa‟ad menamparnya. Maka istri Sa‟ad bersama ayahnya datang

mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Ayahnya berkata, “Dia izinkan

menikahi puteriku, tetapi kemudian ia menamparnya.” Nabi Muhammad SAW.

bersabda,” suaminya mendapatkan hukum balas (qishas).” Ketika si wanita itu

ingin kembali pulang bersama ayahnya hendak melaksanakan qishash pada

suaminya.” Tiba- tiba Nabi SAW. bersabda: kembalilah, ini dia Jibil baru saja

38 Ali Muhanif, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 132.
48

datang padaku menurunkan ayat ini “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum

perempuan.” (Q.S. An-Nisa: 34).

Selanjutnya beliau bersabda, “kami berkehendak akan suatu perkara, tetapi

Allah SWT. berkehendak lain. Maka yang dikehendaki Allah itulah yang lebih

baik. Lalu beliau memcabut qishash.” Jadi, ayat tersebut turun sebab khusus, yaitu

berkenaan dengan kasus tertentu, masalah keluarga, dan tidak ada kaitan dengan

keterlibatannya dengan kepemimpinan perempuan dalam hal politik.

2. Perbedaan Penafsiran pada Hadist

Terdapat hadis shahih ahad yang dari segi substansi matan haditsnya

melarang perempuan sebagai kepala negara yang diriwayatkan oleh Bukhari,

Ahmad, Tirmidzi, dan An-Nasa‟i dari Abu Bakrah r.a. lebih lengkapnya dapat

dilihat pada terjemahan redaksinya sebagai berikut :

Menceritakan kepada kami Usman bin al- Haitsam, menceritakan kepada kita

‘Auf dari Hasan dari Abi Bakrah ra, beliau berkata: Allah telah memberiku

manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW. pada Perang

Jamal setelah aku menganggap bahwa yang benar adalah pemilik unta (Aisyah ra)

sehingga aku berperang di pihaknya. Kalimat yang aku dengar tersebut adalah

ketika ada kabar yang sampai kepada Rasulullah SAW. Bahwa penduduk Persia

telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka maka Nabi SAW.

bersabda :

‫ﻟﻦ ﯾﻔﻠﺢ ﻗﻮم وﻟّﻮا أﻣﺮھﻢ اﻣﺮأة‬


“Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada
perempuan.”(HR. Bukhari, Tirmidzi, dan An-Nasa‟i).
49

Jadi, yang dimaksud oleh hadits ini menurut Yusuf Qardhawy adalah

larangan b uat wanita untuk menjadi khalifah, pemimpin umum kaum muslim.

Imam al Syawkani mengatakanberdasarkan hadis yang telah disebutkan tersebut

bahwa perempuan itu tidak ahli dalam hal pemerintahan dan tidak boleh suatu

kaum menjadikan mereka sebagai pemimpin. Ibnu Jarir pun mengatakan bahwa

pemikiran perempuan itu kurang dan tidak sempurna, terlebih lagi pada urusan

laki-laki.

Mushoni juga mengambil hadis yang telah disebutkan, ia mengatakan

bahwa: jika dikatakan laki-laki dan laki-laki. Maka dapat dipahami bahwa

perempuan tidak termasuk dalam hal ini. Kelompok yang membolehkan

pemimpin perempuan pun menanggapi pada hadis Nabi Muhammad SAW.,

“Tidak akan berjaya suatu kaum kalau menyerahkan urusan kepada perempuan.”

Asbab al-wurud (sebab turun) hadis tersebut bertalian dengan keputusan Ratu

Kisra, Penguasa Persia, yang mengangkat anak perempuannya menjadi ratu,

padahal waktu itu ia juga memiliki anak laki-laki, yang menurut cerita tidak

disukainya.

Disamping itu, Nabi Muhammad tidak melarang perempuan menjadi

pemimpin. Ia hanya mengatakan tidak bahagia suatu kaum jika dipimpin oleh

perempuan. Apalagi kalau didasarkan pada pilian like and dislike, sebagaimana

kisa Ratu Kisra tadi. Menanggapi hadits tersebut, dari sudut metodologis, hadits

itu dinyatakan sahih, tetapi dari segi periwayatan tergolong hadits ahad. Hukum

hadis-hadis ahad tidak mendatangkan keyakinan (ilmul-yaqin), melainkan hanya

mendatangkan dengan kuat (zhann) saja.


50

Oleh karena itu, tidak boleh bersandar pada hadis ahad dalam hukum-

hukum yang sangat penting. Terlebih lagi partisipasi perempuan dalam hak-hak

politik dianggap sebagai masalah yang memiliki landasan konstitusional yang

mencakup larangan dan kepentingan.

3. Berdasarkan Ijma

Pendapat yang tidak membolehkan pemimpin perempuan ini pun

didasarkan pada ijma untuk menguatkan pendapat tersebut dan mengatakan

bahwa hal itu sudah dipraktekkan pada beberapa masa. Atau setidaknya pada

masa Rosulullah SAW. Dan masa Khulafaur Rasyidin yang berlaku tanpa

kesertaan perempuan dalam kehidupan politik negara. Kendati ada sejumlah besar

kaum perempuan yang terlibat di bidang budaya dan intelektual pada masa awal

Islam, seperti istri-istri Nabi Muhammad SAW., tetapi mereka tidak berpartisipasi

dalam masalahmasalah kenegaraan. Mereka pun tidak diminta untuk

berpartisipasi dalam masalah itu.

Sedangkan, pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan

memandang tidak demikian. Pada kenyataannya, hal itu tidaklah benar. Jelas-jelas

Rasulullah SAW. mengajak kaum perempuan bermusyawarah tentang berbagai

hal. Setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya yang jelas dan semua sepakat

terhadap ketentuan hukum dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat

dikatakan adanya ijma sharih ataupun sukuti yang melarang perempuan

menggunakan hak-hak politik.


51

4. Berdasarkan Qiyas

Dalam bersandar pada qiyas, para pencetus pendapat yang tidak

membolehkan pemimpin perempuan ini melihat perbedaan antara laki-laki dan

perempuan. Oleh karena itu, memungkinkan dilakukan qiyas dalam hal itu. Di

antara contoh-contohnya adalah :

a. Tidak adanya perempuan untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat

umum dalam sholat lima waktu, sholat Jum‟at, dan sholat Id

b. Perempuan tidak mempunyai hak menentukan talak yang ditetapkan

syariat melekat pada laki-laki, bukan pada perempuan.

c. Perempuan tidak boleh bepergian sendiri tanpa disertai muhrimnya

atau teman yang dipercaya.

d. Perempuan tidak diwajibkan sholat Jum‟at dalam jama‟ah. Sebab

dalam hadis disebutkan : “Sholat Jum’at diwajibkan kepada setiap

Muslim secara berjamaah kecuali empat orang, yaitu hamba sahaya,

perempuan, anak kecil, dan orang sakit.”

Kelompok yang membolehkan pemimpin perempuan mengatakan,

mengingat bahwa perempuan tidak punya hak talak, tidak boleh ditegaskan dalam

ijma. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan hukum yang ditegaskan dengan ijma,

para ulama berbeda pendapat apakah boleh diqiyaskan masalah lain padanya atau

tidak. Yang berkaitan dengan hukum syariat yang ditegaskan dengan teks

Alqur‟an, maka hukum-hukum ini semua hanya disebutkan dalam teks-teks yang

menetapkan prinsip-prinsip umum tanpa penjelasan terhadap hal-hal parsial.

Demikian pula halnya dalam pelaksanaan hukum- hukum konstitusional yang


52

berdiri sendiri. Ia bersumber pada aspek-aspek khusus (parsial) dan tidak

dianggap sebagai syariat yang umum. Pada gilirannya, tidak boleh menggunakan

qiyas dalam hal itu. Secara umum dapat dikatakan secara ringkas bahwa tidak

boleh menggunakan qiyas dalam hukum-hukum konstitusional. Sebab, hal itu

termasuk bidang-bidang yang hanya ditetapkan melalui ijtihad.

5. Faktor Budaya

Masih dijumpainya praktik marjinalisasi peran perempuan dalam

kehidupan sosial kita agaknya berakar pada masih dominannya budaya patrilineal.

Kondisi sosio-historis dan budaya pada masa sebelum dan awal datangnya Islam

menunjukkan adanya suatu hegemoni budaya patriarki, yang mana kaum laki-laki

lebih tinggi daripada kaum perempuan. Budaya patriarki memposisikan

perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pegasuhan, pendidik dan

penjaga moral.

Sementara itu, peran laki- laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil

keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan

pada perempuan tersebut maka, arena politik yang sarat dengan peran pengambil

kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki.

Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang

kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras,

sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.39

Menghadapi nilai budaya patriarki, lengkap dengan pemahaman bias

gender tersebut tentunya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Mengubah

cara pandang dan pola pikir (mind set) masyarakat yang telah mendarah daging
39 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan..., h. 93
53

dan terpola pengkondisiannya pada benak pikirannya tidaklah mudah,

memerlukan kerja keras yang tentunya harus dimulai dari penyadaran diri sendiri.

Persoalannya adalah tidak banyak kaum perempuan berminat atau tertarik pada

dunia politik; diawali dari pola penempatan yang telah dikotak-kotakkan dan

stereotype, perempuan tepat dan pantasnya ada di ranah domestik, sebaliknya

laki-laki ada di ranah publik.

Belum lagi dunia politik di asumsikan sebagai dunia maskulin (keras,

kasar, rasional, kompetitif, menakutkan) sehingga pantasnya hanya dimiliki laki-

laki. Sementara ranah domestik berwatak feminim, lemah, lembut, emosional,

ngalah, nurut, halus, ramah; inilah fungsi dan tugas yang tepat dan cocok bagi

perempuan; dia di rumah mengurus dan membereskan permasalahan di rumah

tangga.

3.5 Konsep Kepemimpinan Perempuan Menurut Al Mawardi

Al-Mawardi adalah seorang ulama yang tidak mengizinkan perempuan

menjadi pemimpin atau hakim. Beliau menegaskan bahwa syarat menjadi hakim

haruslah laki-laki manakala perempuan tidak boleh menjadi hakim karena tidak

cukupnya kemampuan perempuan untuk memangku jabatan tersebut. Akan tetapi,

Al- Mawardi tidak meletakkan syarat-syarat untuk seorang pemimpin karena

syarat-syarat bagi seorang hakim menurut Al-Mawardi adalah seorang laki-laki,

maka apa yang disyaratkan bagi hakim sama juga disyaratkan bagi pemimpin.

Namun, alasan Al-Mawardi dalam menolak perempuan untuk menjadi pemimpin

beliau mengambil dalil Q.S An-Nisa’ 4: 34. Pada sisi lain pula perempuan tidak
54

memiliki sifat yang ada seperti mana laki-laki, ini merupakan alasan dalam

pandangan al-Mawardi, mengapa Allah swt menjadikan kepemimpinan haknya ke

atas laki-laki.

Kepemimpinan perempuan merupakan suatu tugas, atau suatu urusan

yang mengurus baik dalam bidang agama maupun politik yang mencapai suatu

tujuan untuk kemaslahan ummatnya yang dipimpin oleh seorang perempuan, dan

suatu kegiatan yang menuntut, membimbing kejalan yang diridhai Allah SWT.

Al-Mawardi menjelaskan beberapa kriteria untuk dapat menjadi seorang

pemimpin, yaitu:

a. Berbuat adil dengan segala persyaratannya

b. Punya pengetahuan luas agar dia mampu berijtihad

c. Sehat pendengaran, penglihatan serta lisan

d. Memiliki organ tubuh yang sempurna

e. Berwawasan luas untuk mengatur rakyat dan mengelola kemaslahatan ummat

f. Kesatria, berani melindungi rakyat dalam menghadapai musuh.

Dari beberapa kriteria seorang pemimpin di atas dapat disimpulkan bahwa

seorang pemimpin harus benar-benar memiliki kriteria dan karakteristik Islami

sehingga tujuan kepemimpinan untuk mensejahterakan rakyat serta masyarakat

yang berperadaban dan kehidupan berlandasan Alqur’an dan sunnah.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan

dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk

mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus

mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.

Sementara dari segi ajaran Islam, kepemimpinan berarti kegiatan menuntun,

membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang diridhai Allah SWT.

Kegiatan ini bermaksud untuk menumbuh kembangkan kemampuannya sendiri di

lingkungan orang-orang yang dipimpin dalam usahanya mencapai ridha Allah

SWT selama kehidupannya di dunia dan di akhirat.

Di masa sekarang ini, masih terdapat perbedaan pendapat terkait dengan

Kepemimpinan perempuan dalam perpektif fiqh siyasah, ada yang tetap tidak

membolehkan dengan alasan seperti yang digunakan oleh fuqaha dan ada juga

yang membolehnya serta sebagian lagi memperjuangan kebolehan perempuan

menjadi pemimpin publik dengan kajian gendernya. Bagi yang memperbolehkan,

konsep kepemimpinan perempuan yaitu harus memiliki sikap asertif, yaitu penuh

percaya diri, mempunyai keyakinan yang kuat akan tindakannya dan mampu

menyatakan perasaan dan pendapatnya, tanpa menyakiti perasaan diri-sendiri atau

perasaan orang lain, tanpa mengganggu hak orang lain. Ulama siyasah syar’iyah

56
57

sunni klasik sebagian mensyaratkan harus laki-laki, dan sebagian lagi tidak

mensyaratkan harus laki-laki.

Imam Al Mawardi sendiri mensyaratkan bahwa seorang pemimpin

haruslah merupakan seorang laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada berbagai

pertimbangan dan dalil-dalil sahih.

4.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang

harus diperhatikan diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Perlu adanya kajian mendalam terkait kepemimpinan wanita dalam

perspektif sosial dan budaya mengingat perkembangan zaman yang dinamis

dengan relativitas konteks yang bermacam-macam. Hal ini perlu dilakukan

untuk mengetahui bahwa suatu produk pemikiran boleh jadi tepat sasaran

dan berguna pada suatu masa, namun di masa yang lain tidak dapat

diterapkan.

b. Bagi para mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian serupa dapat

melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian lainnya,

misalnya metode kuantitatif, atau menggunakan metode penelitian campuran

antara kuantitatif dengan kualitatif. Penelitian serupa juga dapat dilakukan

dengan membandingkan parpol yang berbeda, sehingga hasil penelitian

tersebut dapat melengkapi penelitian seruapa yang lebih dulu dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Adib Sofia, Feminisme dan Sastra Menguak Citra Perempuan dalam Loyar
Terkembang .Bandung: Katarsis, 2003

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (terj. Khalifurrahman Fath dan


Fathurrahman), Cet. 1.Jakarta: Qistthi Press, 2015

Anwar Sanusi, Metodologi Penelitian Bisnis.Jakarta : Salemba Empat, 2016.

As Subki, Tabaqat As Syafiyyah.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.4.Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Basahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka

Hanafi, Agustin, Peran Perempuan Dalam Islam, Internasional Journal of Child


and Gender Studies, Vol. 1

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender .Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002.

kh. Muwafik Saleh, Komunikasi dalam Kepemimpinan Organisasi.Malang:


Universitas Brawijaya Press, 2016

Khairuddin, Kepemimpinan Perempuan Menurut Islam Dalam Konteks Kekinian.


Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014.

Khayr al-Dīn al-Zarkali, al-A’lām, juz 4.Beirūt: Dār al-Ilm li al Malāyīn, 1992.

K. Permadi, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta : Rineke


Cipta, 1996

Matondang, Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen Strategic


(Yogyakarta: gharailmu, 2008), hal. 5

Milal wan-Nihal, Imamh dan Khalifah dalam tinjauan Syar’i. Jakarta : Gema
Insani Press, 2010.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an,


Vol. 9.Jakarta: Lantera Hati, 2010.422-423

Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2001.

58
59

Nurul fajriah, dkk, Dinamika Peran Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah.
Banda Aceh, PSW IAIN AR-Raniry dan NAD- Nias, 2007.

Norma Dg.Siame, “Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Syariat Islam”,

Raihan Putri, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam Antara Konsep Dan


Realita. Yogyakarta: AK Group, 2006.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian
2 Ilmu Pendidikan Praktis

Umar Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender,cet ke-II. Jakarta: Paramadina,


2010.

Veithzal Rizal, Kepemimpinan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Yusuf Qardhawi, Min Fiqhi al-Dawlah Fi al-Islam, Terj. Kathur Suhardi. Jakarta,
Pustaka al-Kautsar, 1998.

Anda mungkin juga menyukai