Anda di halaman 1dari 32

NAMA : AIDHEA AYU LENSI

NIM : 02011381823404
KAMPUS PALEMBANG
UJIAN AKHIR SEMESTER
HUKUM PENINTENSIER

BAB
PIDANA DAN PEMIDANAAN

A. Pidana dan Pemidanaan di Indonesia


Istilah pidana adalah terjemahan kata “straf” disamping “pidana”, straf juga lazim
diterjemahkan dengan “hukuman” yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu penderitaan
(nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah
melakukan suatu tindak pidana. Pidana adalah sanksi terakhir yang di terapkan apabila sanksi
administratif, disiplin dan bidang hukum lainya tidak dapat lagi memberikan solusi terhadap
suatu tindak pidana yang dilakukan atau dengan kata lain Pidana sebagai Ultimum remedium
atau senjata pamungkas.
“Pidana merupakan hukuman/sanksi yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara yaitu
melalui pengadilan dimana hukuman/sanksi itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana dan sanksi itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun
proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh
sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) yang
berkenaan dengan penanganan dan pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan”.1
“Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana (sentencing) sebagai upaya yang sah yang
dilandasi oleh hukum untuk mengenakan sanksi pada seseorang yang melalui proses peradilan
pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana
berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
hukuman itu sendiri”.2
“Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana, karena
pidana juga berfungsi sebagai pranata social dalam hal ini mengatur sistem hubungan sosial pada
masyarakat. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial kadang terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur
masyarakat yang merupakan penegasan atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai
bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekuensi yang
menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan”.3
Masalah pidana dan pemidanaan itu sendiri merupakan obyek kajian dalam bidang
4
hukum pidana yang disebut hukum penitensier (penitensier recht)” Oleh karena persoalan

1
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Depok, 2004, h. 21
2
Ibid., h. 25
3
Ibid., h. 25
4
Utrecht II, Pidana dan Pemidanaan, hal. 268

1
hukum pidana yang dikupas atau dibahas dalam hukum penitensier adalah menyangkut masalah
pidana dan pemidanaan, maka hukum penitensier itu sendiri dalam arti sempit dapat diartikan
sebagai segala peraturanperaturan positif mengenai sistem pidana (strafstelsel).
Sedangkan dalam arti luas, hukum penitensier dapat diartikan sebagai bagian hukum
pidana yang menentukan dan memberi aturan tentang sanksi (sistem sanksi) dalam hukum
pidana, yang meliputi baik strafstelsel maupun maatregelstelsel (sistem tindakan) serta
kebijaksanaan. Jadi dalam usaha untuk mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, serta
melindunginya dari perkosaan-perkosaan (pelanggaranpelanggaran) terhadap berbagai
kepentingan hukum, maka negara diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana serta hak
dan kekuasaan untuk. menjatuhkan tindakan dan kebijaksanaan.
Hukum Penitentier adalah Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman dan sistem
tindakan atau dengan kata lain hukum yang berisi muatan pelaksanaan pidana dan pemidanaan.
Antaralain yang memuat:5
1) Jenis sanksi atas tindak pidana yang dilakukan;
2) Beratnya sanksi
3) Lamanya sanksi itu dijalankan oleh pelaku
4) Perumusannya dalam aturan pidana
5) Cara sanksi itu dilakukan
6) Tempat sanksi itu dijalankan

Pembaruan hukum pidana dalam rangka penyempurnaan sistem pemidanaan masih terus
dilakukan. Darisekian banyak hal yang akan diperbarui, satu hal penting dalam sistem
pemidanaan yang juga krusial disediakan dalam pembaruan hukum pidana Indonesia adalah
sistem pemidanaan struktural. Ini merupakan hal yang sebetulnya patut dimasukkan dalam
konsep pembaruan hukum pidana.6

B. Sanksi Pidana didalam KUHP dan RKUHP


Suatu putusan pemidanaan yang diberikan oleh hakim dalam perkara pidana akan
memberikan terdakwa sanksi pidana (straffen) berupa sanksi pidana pokok yang dapat disertai
dengan sansi tambahan (ataupun dengan tindakan / maatregelen). Sanksi pidana pokok adalah
hukuman dalam hukum pidana yang tidak dapat digabung diantara sejenis nya (terkecuali
diatur secara khusus dalam aturan pidana relavan). 7 Sedangkan sanksi pidana tambahan
hukuman dalam hukum pidana yang bersifat fakultatif (dapat diberikan atau tidak diberikan
oleh hakim) serta tidak dapat berdiri sendiri dalam penjatuhanya karena harus diberikan
dengan adanya sanksi pidana pokok.. sedangkan sanksi tindakan merupakan suatu perlakuan
yang diberikan kepada pelaku tindak pidana melalui vonis hakim serta berfungsi sebagai
prevensi khusus atau sering di kenal dengan (dobel track system)

5
Muladi dan Barda Nawawi Arief , Teoriteori dan kebijakan pidana, Alumni, Bandung, Hlm.1
6
Jinmmy Asshidigie, 2000, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Glohalisasi, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.
93
7
Friksi riana, 2017, https://nasional.tempo.co/read/1250237/jokowi-perintahkan-tunda-pengesahan-ruu-
kuhp/full&view=ok Diaksespada Tanggal 08 Mei 2021 Pukul 11:00 Wib

2
Selanjutnya lex generalis menegnai sanksi pidana di indonesia diatu didalam KUHP .
padanketentuan pasal 10 KUHP telah di atur sansi pidana pokok, tambahan. Sedangakan sansi
pidana tindakan belum diatur secara eksplisit didalam KUHP Dan Hanya Tampk Dalam Hal
Hakim Menetapkan Vonis. Lalu di dalam pasal 64 RKUHP yang dirumuskan september 2019
diatur bahwa pidana berkembang menjadi tiga macam yakni a. Pidana pokok, pidana
tambahan, dan c. Pidana khusus yang telah di tentukan secara khusus didalam undang-undang.
Selain itu, tindakan didalam RKUHP september 2019 juga telah diatur secara menyeluruh
bagi subjek hukum manusia (termasuk anak) korporasi didalam ketentuan pasal 103 hingga
131. 8

Berikut tabel perbedaan antara pidana didalam KUHP dan RKUHP

Jenis Sanksi Pidana di dalam KUHP


Pidana Pokok (Pasal 10) Pidana Tambahan (Pasal 10)
1. Pidana mati (pasal 11 yang telah di ganti 1. Pencabutan hak-hak tertentu (pasal 34-
dengan penetapan presiden No. 2 tahun pasal 38)
1964) 2. Penyitaan Benda-benda tertentu (pasal
2. Pidana penjara (pasal 12- pasal 17 , pasal 39- pasal 42)
20, pasal 22, pasal 29, pasal 32, pasal 33, 3. Pengumuman Dari Putusan Hakim (Pasal
pasal 42) 43)
3. Pidana kurungan (pasal 18- pasal 29, pasal
31, pasal 33 pasal 42)
4. Pidana denda (pasal 30, pasal 33, pasal
42)
5. Pidana tutupan

Jenis Sanksi Pidana di dalam RKUHP


PIDANA POKOK PIDANA TAMBAHAN PASAL YANG BERSIFAT
(PASAL 65) (PASAL 66) KHUSUS (PASAL 67

1. Pidana penjara 1. Pencabutan hak-hak Pidana mati yang selalu


(psl 68-psl 73) tertentu (Pasal 86-pasal 90) diancamkan alternatif
2. Pidana tutupan (psl74) 2. Perampasan barang (pasal 98- pasal 102)
3. Pidana.pengawasan tertentu dan / atau tagihan
(pasal 75-pasal77) (pasal 91-pasal 92)
4. Pidana.denda.(pasal 78 3. Pengumuman putusan
-pasal 84, pasal 620) hakum (pasal 93)
5. Pidana.kerja.sosial 4. Pembayaran ganti rugi
(pasal 85) (pasal 94)
5. Pencabutan izin tertentu
(pasal 95)
6. Pemenuhan kewajiban adat
(pasal 96-pasal 97)

8
ibid

3
Kesemua Sanksi pidana maupun tindakan RKUHP september 2019 diatas , untuk
pemberianya kepada pelaku harus memperhatikan ketentuan :
1) Tujuan pemidanaan (pasal 51 – pasa 52)
2) Pedoman pemidanaan (pasal 51-pasal 56)
3) Pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (
pasal 57)
4) Pemberatan pidana (pasal 58-pasal 59)
5) Ketentuan lain tentang pemidanaan (pasal 60-pasal 63)

Hal ini cukup berbeda dengan pengunaan Pidana Di KUHP dari ketentuan ketentuan diatas,
yang belum mengenal ke lima hal penting tersebut untuk diperhatikan karena tidak diatur
didalam KUHP . tujuan pemidanaan merupakan salah satu aspek yang menjadi dasar analisis
peraturan sanksi pidana pokok dalam kedua aturan tersebut.

Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam
hukum pidana, mengemukakan Teori-Teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan atau
penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).

Menurut teori-teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak
boleh tidak tanpa tawar-menawar. Seseorang disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan
terhadap orang yang telah melakukan kejahatan.9 Maka, pemberian pidana mendapat pidana
karena telah melakukan kejahatan. Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus
memenuhi 3 syarat:
1) Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika)
2) Tidak boleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
3) Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).

Menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan


hanya sekedar sebagai pembalasan.10 Hukuman pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga
seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah
orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati Jadi lebih ditekankan pada pengobatan
(treatment) dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan
hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu
penghukuman (nut van destraf). Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya
preventif, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas

9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
10
Op.cit., hlm. 25

4
sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah
dilakukan (preventif umum) dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak
mengulangi perbuatan/kejahatan serupa atau kejahatan lain (preventif khusus). Tujuan yang
lain adalah memberikan perlindungan agar orang lain/masyarakat pada umumnya terlindung,
tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori

relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat.

Dalam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah

dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya.11 Sehingga pidana bertujuan untuk:

1) Pembalasan, membuat pelaku menderita


2) Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana
3) Merehabilitasi Pelaku
4) Melindungi Masyarakat

Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai “Restorative Justice (keadilan
yang merestorasi yaitu suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan
daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak
semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana) sebagai
koreksi atas Retributive justice (pendekatan keadilan yang melibatkan negara dan pelaku
dalam proses peradilan formal)”.12 Restorative Justice secara umum bertujuan untuk membuat
pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula. Keadilan yang bukan saja
menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi
korban.

C. Pembagian Hukum Pidana di Indonesia

Di dalam hukum pidana di Indonesia terdapat pembagian hukum pidana yaitu :

1. Hukum Pidana Obyektif (ius punale).

“Hukum pidana obyektif (ius punale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut”.13 Jadi hukum pidana obyektif memiliki arti yang sama dengan
hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, “hukum pidana

11
Op.cit., hlm. 29
12
Eryantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensinal dalam Hukum Pidana, Universitas
Trisakti, Jakarta, 2009, h. 9
13
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana I, h. 10

5
obyektif adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan
keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya”.14
Hukum pidana obyektif dibagi dalam :

a. Hukum pidana materil

Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukan orang dapat
dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Atau peraturan-peraturan
yang menegaskan : 1. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum , 2. Siapa yang dapat
dihukum , 3. Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
Singkatnya hukum pidana materiil mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang
dapat dihukum. Jadi hukum pidana materiil ialah peraturan-peraturan hukum atau perundang-
undangan yang berisi penetapan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang untuk
dilakukan (perbuatan yang berupa kejahatan/pelanggaran), siapa sajakah yang dapat dihukum,
hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan/pelanggaran tersebut
dan dalam hal apa sajakah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum ini sendiri dan
sebagainya.

b. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana

Hukum pidana formil adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara
pelaksanaan/penerapan hukum pidana materiil dalam praktek hukum sehari-hari menyangkut
segala hal yang berkenaan dengan suatu perkara pidana, baik didalam maupun di luar acara
sidang pengadilan (merupakan pelaksanaan dari hukum pidana materiil). Hukum acara pidana
yang sekarang diatur dalam kitab Undang-Undang hukum acara pidana / KUHAP (UU No. 8
Tahun 1981).
2. Hukum Pidana Subyektif (ius puniendi).

“Hukum pidana subyektif (ius puniendi) ialah hak dari negara atau alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu.
Hukum pidana subyektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari hukum pidana
obyektif terlebih dahulu”.15
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh negara yang berarti
bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak
pidana (perbuatan melanggar hukum = delik). Hukum pidana subyektif sebagai aspek
subyektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau
kewenangan negara :Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban
umum. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan
menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut. Untuk menjalankan sanksi pidana
yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
14
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinai Baru, Bandung, 1984, h. 697 dikutip dari Hazewinkel
Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse strafrecht.
15
Op. Cit., h. 11

6
3. Hukum Pidana Umum.

“Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk
(berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan/militer.
Hukum pidana umum secara definitif dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana
yang berlaku umum yang tercantum dalam KUHP serta perundang-undangan yang merubah
dan menambah KUHP.

4. Hukum Pidana Khusus.

Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang
yang tertentu. Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang
memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus,
diluar KUHP baik per-UU Pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana
(ketentuan yang menyimpang dari KUHP)”.16
Contoh:
a. Hukum Pidana Militer
berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar
pajak (wajib pajak).

Di dalam mempelajari hukum pidana materiil dan formil terlebih dahulu mempelajari
sumbernya, yaitu :

1. Sumber hukum materiil

“Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang
mengikat setiap orang. Sumber hukum materiil berasal dari perasaan hukum masyarakat,
pendapat umum, kondisi sosial-ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat,
tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain”. 17
Dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi
pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim,
dan sebagainya). Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi/isi
dari aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil untuk membantu
pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan. a. Faktor
idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para
pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk
pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan.
Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain.

16
Ibid., h. 11
17
Ibid., h. 12

7
Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
1) Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam
(sumber daya alam), susunan geologi (geografis), perkembangan-perkembangan
perusahaan dan pembagian kerja.
2) Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada
tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
3) Hukum yang berlaku;
4) Tata hukum negara-negara lain;
5) Keyakinan tentang agama dan kesusilaan;
6) Kesadaran hukum.

2. Sumber hukum dalam arti formil

“Sumber hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan
dasar berlakunya hukum secara formil. Jadi sumber hukum formil merupakan dasar kekuatan
mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak
hukum”.18 Sumber hukum yang berhubungan dengan masalah prosedur atau cara
pembentukannya, terdiri dari:

Undang-Undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan


persetujuan presiden, sedangkan peraturan perundang-undangan dibuat berdasarkan
wewenang masing-masing pembuatnya, seperti peraturan pemerintah , dan lain-lain atau
peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum yang diatur dalam pasal 1 ayat 2 UU
No. 10 Tahun 2004. Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas :
a) Undang-Undang (Statuta/statue) ;
b) Kebiasaan (custom) ;
c) Traktat (Perjanjian Internasional) ;
d) Putusan Hakim (yurisprudensi) ;
e) Doktrin.

Adapun yang menjadi asas-asas berlakunya KUHP. Hal ini diatur dalam pasal 2 sampai
dengan pasal 9 KUHP, yang memuat 4 asas, yaitu :

a. Asas Teritorial atau Wilayah

Undang-nndang pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan


sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi
bukan hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia sendiri saja, namun juga berlaku
terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan Indonesia, yang
menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu terjadi dan karena dasar
kekuasaan Undang-Undang pidana ini dinamakan asas wilayah atau asas territorial, yang

18
Ibid., h. 12

8
termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang pidana itu, selain daerah daratan, lautan dan
udara teritorial, juga kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia)
yang berada di luar perairan Indonesia.

b. Asas teritorial terdapat dalam pasal 2 dan 3 KUHP :

Pasal 2 KUHP: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan


bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia (delik = tindak pidana). Pasal 3
KUHP: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Indonesia melakukan delik di dalam perahu atau pesawat udara
Indonesia.
Pasal 3 KUHP sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2 KUHP. Sebagai
pengecualian asas teritorial, ialah bahwa Undang-Undang pidana Indonesia tidak berkuasa
terhadap :
Mereka yang mempunyai hak Extrateritorial, yaitu orang-orang di daerah negara asing
tidak dikenakan Undang-Undang pidana dari negara itu dan oleh karena itu mereka berada di
luar kekuasaan hukum negara di mana mereka berada. Mereka itu ialah :
a) Kepala negara asing dengan keluarganya yang berada di Indonesia.
b) Duta besar dengan keluarganya dan pegawai-pegawai kedutaan.
c) Anak buah kapal asing, meskipun mereka berada di luar kapalnya.
d) Anggota ketentaraan asing yang mempunyai izin mengunjungi Indonesia.
e) Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
f) Anggota delegasi negara asing yang sedang dalam perjalanan menuju sidang
PBB, dan singgah di Indonesia.
Mereka yang mempunyai Hak Immuniteit-Parlementair (hak kekebalan), yaitu para anggota
Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPR Pusat dan DPR Daerah serta para menteri
juga tidak dikenakan hukuman (pidana) untuk segala apa yang dikatakannya (dan tulisan-
tulisan mereka) di dalam gedung Parlemen. Mereka ini mempunyai Hak Immuniteit-
Parlementair. Hak ini tak diatur dalam KUHP, tetapi diatur dalam hukum tata negara.

a. Asas Nasional Aktif atau Personalitas.

Undang-Undang pidana Indonesia berlaku juga terhadap warga negara Indonesia yang
berada di luar negeri. Kalau asas teritorial yang di pentingkan tempat terjadinya kejahatan,
maka asas nasional aktif yang menjadi dasar ialah orang (kebangsaan) yang melakukan
kejahatan itu.
Dengan orang di sini dimaksudkan warga negara Indonesia, oleh karena itu asas ini
dinamakan “asas personaliteit atau asas nasional aktif”. Hal ini diatur dalam KUHP pasal 5
ayat 1: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar Indonesia”. Untuk dapat menuntut
warga negara kita di luar negeri maka diperlukan dulu penyerahannya oleh negara asing yang
bersangkutan kepada kita.

9
b. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan.

Didasarkan kepada kepentingan hukum negara yang dilanggar. Undang-Undang


pidana Indonesia berkuasa juga mengadakan penuntutan terhadap siapapun juga di luar negara
Republik Indonesia juga terhadap orang asing di luar Republik Indonesia. Disini dipentingkan
kepentingan hukum sesuatu negara (keselamatan negara) yang dilanggar oleh seseorang. Oleh
karena itu asas ini dinamakan “asas perlindungan atau asas nasional pasif”.
Dasar hukumnya adalah bahwa tiap negara yang berdaulat pada umumnya berhak
melindungi kepentingan hukum negaranya, yang termasuk perbuatan-perbuatan yang
merugikan negara Indonesia seperti memalsukan uang Indonesia, materai, lambang negara,
cap negara, surat hutang yang ditanggung pemerintah Indonesia dan lain-lain. Hal-hal ini
diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 1, 2, dan 3, pasal 7 dan pasal 8.

c. Asas Universal atau Universaliteit.

Undang-Undang pidana Indonesia dapat juga diperlakukan terhadap perbuatan-


perbuatan jahat yang bersifat merugikan keselamatan Internasional yang terjadi dalam daerah
yang tidak bertuan. Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam
daerah yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara manapun, seperti di lautan terbuka,
atau di daerah kutub. Kejahatan-kejahatan yang bersifat merugikan keselamatan Internasional
adalah pembajakan di laut lepas, pemalsuan mata uang negara manapun juga, Karena di sini
yang dipentingkan keselamatan Internasional, maka dinamakan “asas universal”.

Adapun asas hukum acara pidana tersebut antara lain :

c. Asas Legalitas
Penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang melakukan tindak pidana tanpa
kecuali. Bahwa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh Undang-Undang
dan hanya untuk hal yang diatur dalam Undang-Undang. Asas ini diatur dalam pasal 137
KUHAP.

d. Asas Oportunitas

Asas oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa penuntut umum (PU) memiliki
hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara. Penuntut umum berwenang menutup
perkara demi kepentingan umum bukan hukum. Menurut asas ini penuntut umum tidak wajib
menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana, jika menurut pertimbangan akan
merugikan kepentingan umum. Sehingga demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan
tindak pidana tidak akan dituntut ke pengadilan, dengan kata lain penuntut umum dapat
mempeti es kan suatu perkara. Asas ini diatur dalam pasal 14 huruf h KUHAP. Menurut Pasal
14 KUHAP, merupakan wewenang jaksa agung dengan pertimbangan dari Pemerintah dan

10
DPR untuk menyampaikan perkara demi kepentingan umum, yaitu hak seorang Jaksa untuk
menuntut atau tidak demi kepentingan umum.

e. Asas Praduga Tak Bersalah / Presumption of Innocence

Seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya, dan putusan itu sudah In Kracht (telah berkekuatan hukum tetap).
Jadi seseorang hanya dapat dikatakan bersalah, sepanjang hal tersebut telah dinyatakan dalam
putusan hakim dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Setiap orang yang ditangkap,
dituntut, ditahan dan atau dihadapkan di muka sidang wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Adanya penahanan semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan
untuk penghukuman (penahanan tidak sama dengan penghukuman). Asas ini diatur dalam
pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No.48 Tahun
2009.

f. Asas Peradilan Bebas

Hakim dalam memberikan putusan, bebas dari adanya campur tangan dan pengaruh
dari pihak atau kekuasaan manapun. Saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
hakim baik secara administrasi maupun operasional di bawah Mahkamah Agung.

g. Asas Perlakuan yang Sama di Muka Hukum / Equal Justice Under The Law

Setiap orang (tersangka maupun terdakwa) baik miskin maupun kaya, pejabat maupun
orang biasa di dalam pemeriksaan baik di hadapan penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan harus diperlakukan sama. Asas ini merupakan asas yang fundamental. Dalam
pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan perbedaan status, dan sebagainya. Dalam
setiap beracara pidana di Indonesia kita harus mempunyai kedudukan yang sama.19

h. Asas Terbuka untuk Umum

Asas terbuka untuk umum pada pemeriksaan pengadilan maupun pembacaan putusan.
Untuk tindak pidana tertentu, (misalnya tindak pidana pemerkosaan) pemeriksaan acara
pembuktian dilakukan tertutup untuk umum, begitu pula dalam pengadilan anak. Asas bahwa
pengadilan terbuka untuk umum (kecuali diatur dalam UU), serta dihadiri oleh terdakwa. Hal
ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas
terdakwa. Terdakwa harus hadir di pengadilan karena yang memberikan jawaban atas tindak
pidana yang didakwakan padanya adalah terdakwa, sehingga terdakwa harus hadir. Pada
prinsipnya setiap persidangan harus dilakukan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
19
Ibid h 50

11
anak dan kesusilaan. Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 153 ayat 3 KUHAP.
Apabila sidang pengadilan tidak terbuka untuk umum maka putusan hakim akan dianggap
batal demi hukum sesuai dengan ketentuan dalam pasal 153 ayat 4 KUHAP.

i. Pemeriksaan dalam Perkara Pidana dilakukan secara Langsung dan Lisan

Berbeda dengan perkara perdata dapat dikuasakan dan hanya perang surat menyurat.
Sedangkan perkara pidana (langsung) terdakwa tidak dapat dikuasakan hanya dapat
didampingi, pemeriksaan secara lisan (menggunakan bahasa Indonesia).

j. Peradilan dilakukan secara Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Prakteknya sulit dilakukan apalagi terdakwa tidak ditahan, bahwa setiap pemeriksaan
harus dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Adanya asas cepat ini karena pemeriksaan
dalam hukum acara pidana sangat berhubungan pada nasib tersangka. Asas ini adalah asas
yang mendasari setiap proses peradilan di Indonesia. Pada dasarnya asas ini tidak dikhususkan
hanya pada peradilan pidana saja, akan tetapi pada semua tingkatan peradilan asas ini
diberlakukan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan proses peradilan. Cepat artinya
pengadilan dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mewujudkan keadilan secara cepat
oleh para pencari keadilan, sederhana artinya semua proses penanganan perkara dilaksanakan
secara efisien dan seefektif mungkin dan biaya ringan artinya bahwa biaya yang dikeluarkan
selama proses penyelesaian perkara di pengadilan adalah biaya yang dapat dijangkau oleh
masyarakat. Asas ini diatur dalam pasal 50 KUHAP.20

k. Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam pemeriksaan, baik tahap penyidikan, penuntutan maupun di pengadilan,


tersangka maupun terdakwa harus mendapat perlakuan sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia yang diberi hak untuk membela diri, tidak dianggap sebagai barang atau
objek yang diperiksa wujudnya.

l. Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan

Pengadilan hanya dapat menghukum tersangka atau terdakwa yang nyata-nyata


memiliki kesalahan atas perbuatannya, ada peraturan yang dilanggarnya sebelum perbuatan itu
dilakukan. Semua asas diatas tersebut diatur dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman
(UU No. 14 Tahun 1970, UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004). “Adapula asas-asas
yang penting di dalam alasan penghapusan pidana yaitu:

1) Asas Subsidiaritas

20
Ibid h 57

12
Seseorang melanggar kepentingan hukum untuk melindungi kepentingan hukum orang
lain tidak diperkenankan kalau perhitungan itu dapat dilakukan tanpa atau dengan kurang
merugikan. Singkatnya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan yang lain.

2) Asas Proporsionalitas

Seseorang melanggar kepentingan hukum untuk melindungi kepentingan hukum orang


lain dilarang jika kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggarannya.
Jadi, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang
dilanggar.

3) Asas Culpa In Causa

Asas ini menyebutkan bahwa barang siapa yang keberadaannya dalam situasi darurat,
dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggung jawab”.21

D. Alasan-alasan pemidanaan

I. Pemberatan Pidana (Maksimum Plus sepertiga)

Pasal 18 ayat (2) KUHP “Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena perbarengan
kejahatan atau pengulangan kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka satu tahun
kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat (= sepertiga x 12) bulan”.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 18 ayat (2) tersebut maka dalam suatu bab ini akan dibahas
tiga macam alasanyang dapat memberatkan pidana yaitu:
1. Tanggung jawab majemuk (Samenloop)
2. Tanggung jawab ulang (Recidive)
3. Tanggung jawab penjabat (“Ambtelijkheid”)

1) Tanggung jawab majemuk (samenloop)


Istilah Samenloop dapat diterjemahkan beberapa arti:
– Perbarengan (Prof. Mulyanto)
– Gabungan (Prof. Satochid Kartanegara dan Mr. R.
Tresna)
Apabila dihubungkan dengan pertanggung jawaban (penanggung jawab), Samenloop itu
dapat disebut “tanggung jawab majemuk” Samenloop apabila seseorang:
– Bersikap tindak dan sikap tindaknya itu memenuhi
perumusan beberapa peraturan pidana sekaligus.
– Berkali-kali sikap tindak yang masing-masing sikap
tindak yang merupakan peristiwa pidana yang berdiri sendiri dan antara peristiwa itu belum
ada putusan pengadilan dan kesemua peristiwa pidana itu akan diadili sekaligus.
Bentuk-bentuk Samenloop
21
D. Schaffmeister, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h. 57

13
a) Eendaad Samenloop/Concurcus idealis/perbarengan peristiwa.
Eendaad samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan
melakukan satu perbuatan itu ia memenuhi beberapa perumusan ketentuan hukum pidana; untuk
ini istilah perbarengan amat tepat. Dalam perbarengan tindak pidana Eendaad Samenloop
penjatuhan pidana dipakai aturan yang terberat.

b) Meerdaadse Samenloop/Concursus realis/gabungan peristiwa.


Meerdaadse Samenloop/Concursus realis terdapat apabila seseorang menimbulkan beberapa
peristiwa yang masing-masing merupakan kejahatan dan atau pelanggaran dan diantara peristiwa
pidana tersebut belum ada yang diadili oleh hakim maka akan diadili sekaligus untuk bentuk
lebih tepat digunakan istilah gabungan.
Dalam KUHP Meerdaadse Samenloop/Concursus realis itu dibedakan antara:
1) Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana
pokok yang sejenis (pasal 64 KUHP).
2) Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana
pokok yang tidak sejenis (pasal 66 KUHP).
3) Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan pelanggaran (pasal 70 KUHP).
Dalam hal menentukan ancaman pidana terhadap kejamakan kejahatan yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis diatur dalam pasal 65 KUHP, yang terjemahannya berbunyi:
“Bagi gabungan beberapa peristiwa, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan sendiri dan masing-masing termasuk kejahatan yang terancam dengan pidana
pokok yang sejenis, maka dijatuhkan satu pidana saja.”

Maksimum pidana ini ialah jumlah pidana tertinggi yang ditentukan untuk kesemua peristiwa itu,
akan tetapi tidak boleh lebih dari pidana maksimum yang paling berat ditambah dengan
sepertiganya.
Dalam hal gabungan kejahatan dengan pelanggaran, dipergunakan salah satu stelsel:
a. Bila pidana pokok sejenis dipergunakan Verschrepte Absorptie Stelsel
(pasal 65 KUHP).
b. Bila pidana pokoknya tidak sejenis dipergunakan Gematigde Cumulatie
Stelsel (pasal 66 KUHP)

2) Voortgezette Handeling/peristiwa berlanjut


Voortgezette Handeling ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-
masing merupakan kejahatan sendiri, diantara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang
demikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu diartikan sebagai perbuatan lanjutan. Dan
Tindak pidana ini memiliki satu tujuan. Bentuk ini diatur dalam pasal 64 KUHP yang
terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Jika beberapa peristiwa yang walaupun masing-masing sebagai kejahatan atau pelanggaran,
berhubungan sedemikian eratnya sehingga harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan maka
hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan untuk masing-masing, jika pidana berlainan,
maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat pidana pokoknya”.

14
Contoh : seorang pembantu rumah tangga majikanya secara terus menerus dan berkelanjutan

3) Recidive (pengulangan tindak pidana)


Recidive merupakan hal yang memberatkan pidana (grond van strafverzwaring) yang mana
sesorang tersebut mengulangi suatu tindndak pidana yang pernah dilakukanya dalam kurun
waktu kurang dari 5 tahun dan sudah pernah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap.
Ancaman pidananya ditambah sepertiga maksimum pidana pokok. Adapun yang menjadi alasan
untuk memperberat ancaman pidana dalam hal recidive ialah orang yang demikian itu telah
membuktikan mempunyai akhlak yang buruk dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya
besar bagi masyarakat.
Persamaannya : Baik pada samenloop maupun recidive terjadi apabila seseorang melakukan
beberapa peristiwa pidana.
Perbedaannya : Dalah hal samenloop di antara peristiwa pidana yang satu dengan yang lain,
tidak terselang oleh suatu keputusan hakim atau sebelum ada putusan hakim
yang berkekuatan tetap, sdang pada recidive di antara peristiwa pidana yang
satu dengan yang lain, sudah ada keputusan hakim yang berupa pidana.

4) Ambtelijkheid (Tindak pidana dengan Penggunaan Penjabat)


Ambtelijkheid menurut KUHP merupakan pula salah satu hal yang dapat memberatkan
pidana. Masalah ini diatur dalam pasal 53 KUHP yang terjemahannya berbunyi: “jikalau
seorang pejabat melakukan peristiwa pidana dengan melanggar kewajiban jabatan khusus atau
pada waktu melakukan peristiwa pidana, menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana
yang diperoleh berdasarkan jabatannya, maka pidananya dapat ditambah dengan
sepertiganya”.
Contoh dalam hal seorang pejabat negara menyalahgunakan kewenanganya untuk mencuri dan
merugikan keuangan negara makan ancaman pidananya akan di perberat.

5) Penyalahgunaan bendera kebangsaan RI


Diatur dalam pasal 52a KUHP yang terjemahannya berbunyi : “Bilamana pada waktu
melakukan kejahatan digunakan bendera Republik Indonesia, maka pidananya untuk kejahatan
tersebut dapat ditambahkan sepetiganya”. Pasal 52a tersebut ditambahkan dalam KUHP dengan
undang-undang No. 73 Tahun 1958 tanggal 29 September 1958. Dalam pasal ini dengan tegas
disebutkan istilah kejahatan bukan peristiwa pidana, sehingga dalam melakukan pelanggaran
pasal 52a ini tidak berlaku.22

B. Peringanan Pidana (Maksimum Minus 1/3)

Yang dimaksud dengan peringanan pidana disini ialah apabila ancaman pidana maksimum
dikurangi sepertiga bagi peristiwa tertentu termasuk dalam kategori ini ialah peristiwa:

1) Poging / percobaan
22
ibid

15
Poging itu diatur dalam pasal 53 dan 54 KUHP yang terjemahannya berbunyi.
Pasal 53 KUHP:
1. Percobaan melakukan kejahatan terancam pidana, bila maksud terpidana sudah
nyata dalam awal pelaksanaan dan penyelesaian perbuatannya tidak terjasi smata-mata
lantaran hal yang tidak tergantung kemauannya sendiri.
2. Dalam hal percobaan, maksimum pidana pokok yang diancam bagi kejahatan
dikurangi dengan sepertiganya.
3. Jika kejahatan itu diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup,
maka bagi percobaannya dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan
yang telah selesai.

Pasal 54 KUHP: Percobaan untuk pelanggaran tidak diancam pidana.


Dari pasal 53 ayat (2) dan 54 KUHP disimpulkan bahwa:
1. Ancaman pidana terhadap percobaan
melakukan kejahatan ialah maksimum pidana pokok atas kejahatan yang bersangkutan
dikurangi sepertiga.
2. Percobaan melakukan pelanggaran tidak
dipidana.
mengapa percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak daqpat dipidana, karena percobaan
untuk melakukan pelanggaran itu tidak begitu membahayakan kepentingan hukum.
Suatu tindak pidana dapat dikatakan Poging / percobaan apabila memenuhi ketiga unsur yaitu :
1) Adanya Niat, (wilten, willen)
2) Di implementasikan dalam perbuatan, permulaan pelaksanaan
3) Perbuatan berhenti bukan kehendak dari si pelaku

2) Medeplichtigheid/ Delneming
Delneming/ medeplichtigheid perbuatan pembantuan tindak pidana Yang Mana Dalam Hal In
Banyaknya Pelaku Tindak Pidana Hanya Melakukan Suatu Tindak Pidana Secara Bersama-
Sama. diatur dalam pasal 57 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa : membantu melakukan
kejahatan diancam dengan pidana sebesar pidana pokok bagi kejahatan tersebut dikurangi
sepertiga; yang diancan dengan pidana itu hanya perbuatan membantu kejahatan, membantu
melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 60 KUHP) Pertanggung Jawabaan Pidananya
Di Perluas Yaitu
a) Pasal 55 KUHP (pembuat), Langsung Melakukan Tindak Pidana Secara Langsung Atau
Pelaku Aktif Atau Pelaku Utama Tidak Dapat Dijadikan Alasan Peringanan Tindak
Pidana
b) Pasal 62 (pembantuan) , yang secara tidak langsung melakukan tindak pidana atau
pelaku pasif, maka dapat di jadikan alasan peringannan suatu tindak pidana

16
Pelaku tindak pidana dalam hal ini di bagi menjadi:
a) pembuat utama = diancam pidana pokok(tidak mendapatkan alasan peringan pidana)
b) turut serta = made plager
c) menyuruh orang = doen pleger(yang di suruh tidak dapat dimintakan pertanggung
jawaban pidana)
d) membujuk =inloken
Contoh:
A telah membantu B melakukan kejahatan pembunuhan menurut pasal 338 ancaman pidana
terhadap pembunuhan adalah sebesar 15 tahun. Maka terhadap A diancam dengan pidana
setinggi-tingginya selama 15 tahun. Dalam praktek mungkin terjadi seorang pembantu dijatuhi
pidana yang lebih berat daripada pidana bagi “dader” nya sendiri. Kendati pun demikian pidana
yang lebih berat itu tidak boleh melebihi 2/3 dari pidana pokoknya Jika suatu kejahatan diancam
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup maka orang yang membantu kejahatan itu hanya
dapat diancam dengan pidana paling berat 15 tahun.

3) anak-anak
Menurut pasal 47 KUHP jika seorang yang belum dewasa melakukan suatu peristiwa pidana
pada waktu ia belum mencapai usia 16 tahun maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga
kemungkinan :
a. Anak itu diserahkan kembali kepada orang tua dengan tidak dikenakan
pidana.
b. Diserahkan pada pemerintah untuk dididik dengan tidak dikenakan
pidana.
c. Memidana anak yang bersalahitu.
Dengan demikian kepada hakim diberikan kebebasan untuk menilai kecakapan rohani dari
anak yang masih muda itu. Andaikata hakim menurut pertimbangannya memilih kemungkinan
ketiga yaitu memidana anak yang bersalah itu, maka pidana yang diancam tidak boleh lebih dari
pidana pokok terhadap peristiwa pidana tersebut dikurangi sepertiga (pasal 47 ayat (1). Jika
kejahatan itu diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka ancaman
pidana paling lama lima belas tahun. (47 ayat 2)

I. Bentuk Alasan Penghapus Pidana


“Sebelum suatu perkara pidana diproses terkadang muncul alasan-alasan penghapusan
pidana yaitu alasan pembenar dan pemaaf yaitu23

a..Alasan Pemaaf, yaitu lahir dari subjek orangnya yaitu

1...Ontoerekeningsvatbaarheid pasal 44 KUHP


Ontoerekeningsvatbaarheid atau ketidakmampuan bertanggung jawab
Menurut pasal 44 ayat )1) tersebut, orang yang menyebabkan peristiwa tidak dipidana karena:

23
D. Schaffmeister, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h. 57

17
a. Jiwa/akal yang tumbuhnya tidak sempurna (gebrekkige out wikkeling). Orang yang
jiwanya tidak sempurna tumbuhnya itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat
yang dibawa sejak lahir.
b. Jiwa yang diganggu oleh penyakit. Pada waktu lahirnya sehat, akan tetapi kemudian
dihinggapi penyakit, seperti penyakit gila dan sebagainya.

1. Overmacht pasal 48 KUHP

Overmacht atau keterpaksaan diatur dalam pasal 48 KUHP yang terjemahanya berbunyi
siapapun tidak dapat dipidana karena menyebabkan peristiwa yang diakibatkan keterpaksaan.
Perkataan keterpaksaan bukan saja berarti fisik/jasmani tapi juga tekanan psikis/rohani. Menurut
Jonkers Overmacht itu berwajah tiga rupa (Tresna: 1959).
1. Overmacht yang bersifat mutlak (Vis absoluta)
Dalam hal ini orang yang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin
memilih jalan lain. Contoh: Si A dipegang tangannya oleh B yang lebih kuat dan
dipaksa menulis tanda tangan palsu.
2. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi (Vis Compulsiva) berat lawan.
Disini orang terpaksa masih ada kesempatan memilih berbuat yang lain, akan tetapi
menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan.
Contoh: Seorang kasir bank dengan ancaman senjata api menyerahkan uang kas yang
berada dibawah pengawasannya. Kasir bank nasih dapat memilih menyerahkan uang
bank atau melakukan perlawanan dengan kemudian dia akan ditembak karena itu “berat
lawan”. Beda antara Overmacht yang bersifat absolut orang yang memaksa itulah yang
berbuat, sebaliknya pada relat orang yang dipaksa itu berbuat.
3. Overmacht dalam arti Noodtoestand atau keadaan darurat.
Keadaan darurat ada bila kepentingan hukum seseorang berada dalam keadaan bahaya,
maka untuk mengelakkan bahaya itu, terpaksa melanggar kepentingan hukum orang lain
(Satochid Kartanegara)
Dalam keputusan keadaan darurat itu karena:
1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum/hak (conflict van recht
pichten).
2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum
dengan kewajiban hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht).
3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum
(conflict van rechtsbelangen).24

2. Noodweer
Noodweer diatur dalam pasal 49 KUHP yang terjemahannya berbunyi:
1. Siapapun tidak dapat dipidana karena menyebabkan peristiwa sebagai
akibat kewajiban pembelaan mendesak terhadap badan, kehormatan atau harta sendiri

24
Diktat HUKUM pidana acmad ruben Dosen fakultas hukum universitas sriwijaya, 2018,h 46

18
maupun orang lain dalam melawan ancaman serangan yang melawan hak yang seketika
dan langsung.
2. Pembelaan mendesak yang melampaui batas tidak dapat dipidana, bila
itu berupa akibat langsung suatu goncangan rasa yang disebabkan oleh serangan.
Menurut pasal 49 KUHP untuk dapat disebut noodweer harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Harus ada serangan:
a. Yang seketika (ogenblikkeinjk)
b. Mengancam serangan langsung (onmiddelijk dreigend)
c. Melawan hak
2. Ada pembelaaan:
a. Sifat mendesak (noodzakelijk)
b. Pembelaan itu menunjukkan keseimbangan antara kepentingan hukum
yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela (groboden).
c. Kepentingan hukum yang dibela hanya, badan, kehormatan, harta sendiri
maupun orang lain.
Dasar hukum noodweer Bila dilihat pintas lalu orang yang melakukan noodweer adalah
melakukan suatu perbuatan yang dikenal sebagai “eigen richting”/menjadi hakim sendiri. Sedang
menjadi hakim sendiri adalah terlarang. Mengapa noodweer itu diperkenankan oleh undang-
undang, tidak lain karena noodweer itu semata-mata dilakukan untuk membela diri, kehormatan,
dan barang terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian
alat perlengkapan negara tidak sempat memberi pertolongan untuk mencegah kejahatan itu
sendiri. Karena itulah noodweer diperkenenkan oleh undang-undang.

Beda noodweer dengan noedtoestand


1. Didalam noedtoestand terdapat konflik dua kepentingan hukum, jadi recht
terhadap recht. Pada noodweer tidak demikian, yang terdapat ialah recht/hak contra on
recht/gangguan hak.
2. Kepentingan hukum yang dibela, dalam noodweer terbatas pada badan,
kehormatan, harta.
3. Dalam noodweer dikenal dengan tegas noodweer exces sedang terhadap
noedtoestand tidak ada.
4. Kepentingan hukum yang dibela noodweer adalah kepentingan hukum bagi
diri sendiri dan orang lain, sedang pada noedtoestand tidak demikian

3. Wettelijk voorschrift
“Wettelijk Voorschrift” diatur dalam pasal 50 KUHP yang terjemahannya berbunyi : tidak
boleh dipidana, ia yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang. Apa
yang diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk melakukan suatu hal tidak dapat dianggap
seperti suatu peristiwa pidana. Perbuatan yang dilakukan tidak merupakan peristiwa pidana dan
karena tidak ada dasar untuk mengenakan pidana terhadapnya. Yang dimaksud dengan peraturan
hukum disini ialah sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berhak menetapkan
peraturan di dalam batas wewenangnya.

19
4. Ambtelijke bevel pasal 51 KUHP

Ambtelijke bevel diatur dalam pasal 51 yang terjemahannya berbunyi:


1. Tidak boleh dipidana ia yang melakukan perbuatan untuk menjalankan
perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berhak.
2. Perintah jabatan yang diberikan secara tidak sah tidak membebaskan
pemidanaan, kecuali jika pegawai bawahannya dengan itikad baik memandang perintah
itu sebagai sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah
perintah tadi. Perlu diingat bahwa menjalankan perintah jabatan antara yang
memerintah yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik.

b..Alasan Pembenar, Yang mana suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan menghapuskan
sifat melawan hukum karena perintah undang-undang. Sehingga seorang tersebut dinyatakan
bebas dari dakwaan misalnya seperti
1) algojo, dalam hal mengeksekusi pidana mati perbuatan membunuh yang dilakukan algojo
di banarkan oleh karena undang-undang dan tidak dapat di tuntut
2) Dokter, karena tuntutan profesi yang mengharuskan seorang dokter membunuh seorang
bayi yang akan melahirkan karena ingin menyelamatkan ibunya juga termasuk alasan
pembenar.

1. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Dan Pemidanaan

“Dalam ilmu pengetahuan hukum, secara teoritis hukum yang baik harus memenuhi
unsur sosiologis, yuridis dan filosofis. Demikian juga Undang-Undang materiil, bila
pembuatannya mengesampingkan salah satu, maka dalam penerapannya akan menjadi
kendala di tengah-tengah masyarakat”.25 Dalam hukum pidana materiil, ketiga unsur tersebut
keberadaannya mutlak diperlukan, dan dalam usaha mempertahankannya harus dibarengi
dengan hukum acaranya yaitu hukum acara pidana (formil). Hal ini dapat di maklumi,
mengingat hukum acara pidana mempunyai tujuan menemukan kebenaran materiil, mencari
pelaku yang sebenarnya kemudian meminta kepada hakim untuk memutuskan tentang salah
atau tidaknya pelaku yang didakwakan tersebut. Sebelum putusan oleh hakim ada beberapa
prosedur yang harus diperhatikan yaitu :

1. Penyelidikan

“Penyelidikan adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu


peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu dalam pasal 1 ke-5
KUHAP. Dalam kaitannya dengan usaha untuk mengungkap sebuah peristiwa untuk dapat
dikatakan sebagai peristiwa pidana atau sebaliknya guna kepentingan penyidikan, penyelidik

25
Ibid., h. 1

20
karena kewajiban dan atas perintah penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu. Pasal 5 KUHAP menegaskan, penyelidik sebagaimana tersebut di
dalam pasal 4 KUHAP:

a. karena kewajibannya mempunyai kewenangan:


1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa ;


1. Penangkapan larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.

Penyidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana


tersebut dalam huruf a dan b kepada penyidik”.26 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
penyidikan ini merupakan tindak lanjut dari tindakan penyelidikan. Undang-Undang
memberikan pengertian tentang penyelidikan itu sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya (sesuai dengan pasal 1 ke-2 KUHAP) yang menjadi titik
sentral dalam tindakan penyidikan ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna
membuat terang suatu tindak pidana.
Secara redaksional di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita dapat
menemukan pengertian penyidik, di dalam ketentuan umum disebutkan bahwa penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (pasal 1 ke-1 KUHAP),
sementara di dalam pasal yang lain memberikan pengertian bahwa penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia, dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-Undang.

2. Penuntutan

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke


pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang- Undang
ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan hal ini
diatur dalam pasal 1 ke-7 KUHAP.

26
Ibid., h. 42

21
Sementara itu yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan
hakim sesuai pasal 1 ke-5 huruf b KUHAP, sedangkan yang dimaksud dengan jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(in kracht). Sepintas, kita akan kesulitan membedakan pengertian jaksa dengan penuntut
umum, bahkan masyarakat awam selalu mengidentikan bahwa keduanya sama27
“Menurut Andi Hamzah bahwa antara jaksa dan penuntut umum sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 ke-6 huruf a dan b adalah bahwa jaksa menyangkut jabatannya,
sedangkan penuntut umum menyangkut fungsinya”.28 Kewenangan penuntut umum diatur
dalam pasal 137 sampai dengan pasal 144 KUHAP. Di dalam proses penuntutan ini
memungkinkan penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan umum, hak dari
penuntut umum ini merupakan gambaran asas oportunitas yang merupakan asas-asas dalam
KUHAP.

3. Pemeriksaan Sidang Pengadilan

“Pemeriksaan persidangan merupakan pemeriksaan terhadap seorang terdakwa di


depan sidang pengadilan, dimana hakim mengadili perkara yang diajukan kepadanya.
Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa
dan memutus perkara pidana, berdasarkan pada asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan”.29
Proses pemeriksaan di pengadilan selalu diawali dan didasari dengan adanya surat
pelimpahan perkara oleh jaksa penuntut umum (JPU) ke pengadilan negeri (PN) dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut yang disertai dengan surat dakwaan (Pasal
142 ayat 1 KUHAP). Sehingga dalam hal pengadilan negeri yang menerima surat pelimpahan
perkara itu berpendapat bahwa perkara itu termasuk dalam wewenangnya, maka ketua
pengadilan yang bersangkutan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.

Pada proses ini terdapat macam-macam acara pemeriksaan sidang pengadilan yang
diatur dalam pasal 152 sampai pasal 159 KUHAP.
Di dalam KUHAP terdapat 3 macam pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu:

a. Acara pemeriksaan biasa

Tindak pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan dengan acara pemeriksaan
biasa adalah tindak pidana yang pembuktiaannya serta penerapan hukumnya tidak mudah
serta sifat melawan hukumnya tidak sederhana. (pasal 152-202 KUHAP)

b. Acara pemeriksaan singkat


27
Ibid., h. 74
28
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Depok, 2006, h.69
29
Op. cit., h. 95

22
Tindak pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat adalah tindak pidana
yang pembuktiannya mudah serta sifat melawan hukumnya sederhana. (pasal 203 dan 204
KUHAP)

c. Acara pemeriksaan cepat

Acara ini dibagi menjadi dua yaitu meliputi tindak pidana ringan
(diperuntuhkan bagi tindak pidana yang ancaman hukumannya berupa penjara atau kurungan 3
bulan atau denda Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan) kemudian yang kedua merupakan
pelanggaran lalu lintas

4. Putusan Hakim

“Dalam hal ini yang hendak kita bicarakan hanyalah putusan hakim yang merupakan
putusan akhir. Putusan hakim yang merupakan putusan akhir terdiri dari putusan bebas,
putusan lepas dari tuntutan hukum, dan putusan pemidanaan.
a) Putusan bebas (vrijsprak)
Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim, bila ia berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan sidang pengadilan terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana secara sah dan meyakinkan (pasal 191 ayat 2 dan 1 KUHAP).
b) Putusan lepas dari tuntutan hukum
Putusan lepas dari tuntutan hukum akan dijatuhkan oleh hakim apabila ia
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan, perbuatan terdakwa terbukti akan
tetapi bukan merupakan tindak pidana (pasal 191 ayat 2 KUHAP).
c) Putusan pemidanaan
Putusan pemidanaan akan dijatuhkan oleh hakim, apabila ia berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan, dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang, hakim mendapatkan keyakinan bahwa
terdakwa bersalah (pasal 193 jo. Pasal 183 KUHAP)”.30

5. Upaya Hukum

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan peradilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini yaitu pasal 1 ke-12 KUHAP. Di dalam KUHAP dikenal dua jenis upaya
hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.

a. Verzet (perlawanan)

30
Ibid., h. 110

23
Upaya hukum yang berupa perlawanan yang diatur dalam pasal 149, 156 KUHAP Pasal 149
KUHAP:
1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 148.
2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima
perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat
penetapan.
3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan
surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
menyidangkan perkara tersebut.
4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri maka pengadilan
tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan.
5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagai mana dimaksud dalam ayat 3 dan
ayat 4 disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 156 KUHAP:


1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan
tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan.
2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa
lebih lanjut.
3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap putusan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan ke pengadilan tinggi.
4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri.

1. a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh


terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi.
b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan
negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkawa
tersebut.
5) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat 5, maka kejaksaan negeri mengirimkan berkas
perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengedilan negeri yang
berwenang ditempat itu.
6) Hakim ketua sidang dengan jabatannya dapat menyatakan pengadilan tidak
berwenang.

Dalam praktek, upaya hukum yang berupa perlawanan (verzet) jarang dipergunakan oleh
jaksa penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukumnya, yaitu karena bukan hanya
akibatnya yang sangat kecil bagi kepentingan terdakwa atau penasihat hukumnya

24
(kepentingan dalam arti akibat dari dipindahkannya tempat mengadili) sehingga kebanyakan
orang tidak mempermasalahkan di pengadilan mana ia akan diadili. 31Di samping itu alasan
yang lain adalah oleh karena pihak penegak hukum dan penasihat hukum sudah mengetahui
benar ketentuan pasal 84 KUHAP yang mengatur kewenangan pengadilan negeri untuk
mengadili.

b. Banding

Banding adalah upaya hukum yg dapat dilakukan oleh seorang terhadap surat
keputusan atas keberatan yg telah diajukannya dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, kalau hasil putusan banding tidak dikabulkan semua hanya sebagian
atau ditolak semua, maka upaya hukum yg terakhir dapat dilakukan dengan kasasi , jadi
tingkatannya banding dulu Di dalam KUHAP upaya hukum berupa banding, diatur dalam
pasal 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243. Meskipun di dalam KUHAP
tidak menghendaki adanya banding oleh jaksa dalam hal hakim menjatuhkan putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum
maupun putusan hakim yang diperiksa dengan menggunakan acara pemeriksaan cepat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 KUHAP, “jaksa penuntut umum boleh mengajukan
banding untuk putusan-putusan hakim baik yang berupa putusan bebas, putusan lepas dari
segala tuntutan hukum karena salah dalam menerapkan hukum maupun putusan hakim yang
diperiksa melalui acara pemeriksaan cepat. Pertimbangannya adalah bahwa kepentingan yang
dijamin oleh hukum acara pidana bukan hanya kepentingan individu melainkan kepentingan
masyarakat luas, ini berarti demi dan dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat,
tindakan penuntut umum itu bukanlah sesuatu yang dilarang, melainkan oleh Undang-Undang
hanya disebutkan “tidak berhak” “.32

c. Kasasi

Kasasi lebih diartikan "naik banding" ketimbang "banding", bila tidak puas dengan
vonis dari pengadilan negeri, kita bisa mengajukan kasasi ke pengadilan tinggi. Bila masih
tidak puas dengan vonis dari pengadilan tinggi, dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Upaya hukum biasa yang berupa kasasi di dalam KUHAP diatur dalam pasal 244
sampai pasal 258.

c. Upaya hukum luar biasa

Selain upaya hukum biasa terdapat juga upaya hukum luar biasa seperti kasasi demi
kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Di dalam KUHAP upaya hukum luar biasa
diatur dalam pasal 259 sampi 262 KUHAP untuk kasasi demi kepentingan hukum dan pasal
263 sampai 269 KUHAP untuk peninjauan kembali. Peninjauan kembali hanya dapat

31
Ibid h115
32
Ibid., h. 135

25
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang nomor
14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang
ditentukan oleh Undang-Undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Ada pula grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang dapat


membuat seseorang dapat terbebas dan mendapat keringanan pidana. Berdasarkan pasal 14
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia
berhak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung (Pasal 1). Presiden juga berhak memberikan amnesti dan
abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 2).

a. Grasi

Seperti kita ketahui sebelumnnya, grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki
presiden. Dalam keputusan dari permohonan grasi ini, baik ditolak atau dikabulkan oleh
presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Hal ini tidak berbeda
dengan penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang juga
didasarkan pada teori pemidanaan 1. Dasar Hukum Grasi

“Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan di Eropa, adalah
berupah anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang
yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah
tumbuhnya negara-negara modern, di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan
kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, maka pemberian grasi
berubah sifatnya menjadi upaya koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai
pelaksanaannya”.33
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “eksistensi berarti adanya atau keberadaan
sedangkan grasi”.34 “Dalam kamus hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk
memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman itu”.35
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyebutkan bahwa
grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringatan, pengurangan, atau menghapuskan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa grasi adalah hak presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun
sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan
menurut urutan Pasal 10 KUHP.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua konstitusi
yang pernah berlaku yakni konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang

33
Adhitya Nugraha Novianta, Grasi, http://rahanovianta.blogspot.com /2012/09/grasi.html, 10 Desember 2013
34
Tim Media Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, h. 253
35
Subekti, Kamus Hukum, Pradnja Paramita, Bandung, 1999, h.47

26
Dasar Sementara 1950, juga memberikan dasar kepada presiden untuk memberikan grasi.
Dalam dua konstitusi ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat 1
dan 2 konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang merumuskan sebagai berikut:

1. Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan


oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannnya sesudah meminta nasihat dari
Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-Undang federal (peraturan yang berlaku
pada saat Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat) tidak ditunjuk
pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

2. Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat
dijalankan, melainkan sesudah presiden membuat keputusan, menurut aturan-aturan
yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal diberikan kesempatan untuk
memberikan ampun.

Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang diundangkan tanggal


15 agustus 1950, pada pasal 107 ayat 1 dan 2, dicantumkan pula tentang hak presiden tersebut
yang rumusannya senada dengan pasal 160 ayat 1 dan 2 konstitusi Republik Indonesia Serikat
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan
oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari
Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-Undang tidak ditunjuk pengadilan yang
lain untuk memberi nasihat.

2. Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat
dijalankan, melainkan sesudah presiden member keputusan, menurut aturan-aturan
yang ditetapkan Undang-Undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.

Ketika berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, diundangkan Undang-


Undang Darurat No.3 tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia-
Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam gratieregeling (Strafbaar/Pidana No.2
tahun 1933). setelah Proklamasi, dikeluarkan peraturan pemerintah RI No.67 tahun 1948
tentang Permohonan Grasi. Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-Undang No.3 tahun
1950 tentang Grasi (Lembaran Negara No.40 Tahun 1950), yang juga dicabut oleh Undang-
Undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara No.108 Tahun 2002).36

Keterangan mengenai grasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hanya


terdapat dalam satu pasal saja, yaitu pada pasal 33a, yang berbunyi: jika orang yang ditahan
sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang
lain dengan perstujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan

36
ibid

27
diajukan hingga ada putusan presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali
jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menemukan bahwa waktu seluruhnya
atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya
mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi,
dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana
kurungan. Permohonan grasi kepada presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus
oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat
dimohonkan grasi putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara
paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan
permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup.
“Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara
seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam
lembaga pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi
dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Namun, melalui ketentuan Undang-
Undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak”.37
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali, kecuali
dalam hal terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua
tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut atau terpidana yang pernah diberi
grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak
tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Dalam permohonan grasi ini, presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan
grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan
dengan bunyi Pasal 14 ayat 1 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, “Presiden memberi
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan
ini juga sejalan dengan isi Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan
nasihat dalam masalah hukum, kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila
diminta” oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan
dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari
institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu
kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan
rehabilitasi.
Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-
Undang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga presiden tidak
bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan presiden yang biasa dirumuskan dalam
Undang-Undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:
a) Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-
Undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistem yang lebih
37
J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,h.66

28
ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh presiden haruslah didasarkan
atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan
discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b) Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau
publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini
dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga
eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu
bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, presiden tidak boleh menetapkan
suatu, misalnya keputusan presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri
seperti dipahami selama ini.
c) Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan
putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan,
ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan.
Dalam sistem parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah
dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi
dalam sistem presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti
itu ditentukan berada di tangan presiden
d) Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara
lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri,
baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalh pucuk pemipinan negara,
dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam
berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang
memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara
lain.
e) Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang
dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena
presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk
mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan
administrasi negara.

Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan
ditentukan batas-batasnya dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang. Oleh karena
itu, biasanya ditentukan:
a. Penyelenggaraan pemerintahaan oleh presiden haruslah didasarkan atas Undang-
Undang Dasar;
b. Dalam sistem pemisahan kekuasaan (checks and balances), kewenangan regulatif
bersifat derivatif dari kewenangnan legislatif yang dimilki oleh parlemen;
c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya
dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya
dianggap berwenang pula memberikan grasi,abolisi, dan amnesti untuk kepentingan

29
memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut
dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan
pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum
memberikan grasi, amnesti, dan obligasi;
d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden. Untuk
membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan
kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan
lembaga perwakilan rakyat (Parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan
perang dengan negara lain;
e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan pemberhentian
pejabat politik, juga tetap harus diatur dan dibatasi.

Dengan adanya peran serta Mahkamah Agung dalam hal pertimbangan Pemberian
grasi ini memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana kita
ketahui, sistem presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan berupa
kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, dan
dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat mutlak.
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan
permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak
terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus terlebih dahulu. Selajutnya,
keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat tiga bulan sejak salinan putusan
peninjauan kembali diterima presiden.
Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden,
dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan permohonan grasi dapat berupa:

1) Peringanan atau perubahan jenis pidana;


2) Pengurangan jumlah pidana;
3) Penghapusan pelaksanaan pidana.

d. Amnesti

Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnes ti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman,
yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak
pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti
ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara
diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan
kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.

e. Abolisi

30
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu
perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang
presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang
menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

f. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan suatu tindakan presiden dalam rangka mengembalikan hak


seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu
berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa
dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.
Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak
tergantung kepada Undang-Undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi merupakan upaya hukum untuk


menghilangkan atau meringankan pidana yang diberikan oleh hakim kepada terpidana.
Namun dalam sistem pemidanaan negara kita dikenal juga istilah remisi. Remisi menurut
pasal 1 ayat 6 PP No. 32 Tahun 1999 yaitu pengurangan masa menjalani pidana yang
diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang - undangan. Syarat-syarat memperoleh remisi
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 34 PP No. 99 Tahun 2012 yaitu perubahan kedua
atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang “Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan” yaitu :

1. pasal 34 ayat 2 PP No. 99 Tahun 2012 menyebutkan remisi sebagaimana dimaksud


pada ayat 1 dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi
syarat:
a. berkelakuan baik ;
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

2. Pasal 34 ayat 3 PP No. 99 Tahun 2012 menyebutkan persyaratan berkelakuan baik


sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS
dengan predikat baik.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

31
Asshidigie Jinmmy, 2000, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Glohalisasi,
Sinar Grafika, Jakarta,

Lamintang P.A.F, 1984,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinai Baru, Bandung,

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 2008, Pt. Refika


Aditama, Bandung

Schaffmeister D., Hukum Pidana, 2011, Citra Aditya Bakti, Bandung

Waluyo Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, 2004, sinar Grafika, Depok

Wahid Eryantouw, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensinal Dalam Hukum Pidana,
2009universitas Trisakti, Jakarta,

UNDANG-UNDANG :

Undang-Undang No 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Peraturan Hukum Acara Pidana

Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana 2019

JURNAL :
Hadibah Zachra Wadjo, Pemidanaan Anak Dalam Perspektif Keadilan Restoratif Jurnal
Sasi Vol.22 No.1 Bulan Januari - Juni 2016

Maria Ulfah Prosiding Seminar Nasional, Sanksi Pidana Pokok Dalam Kuhp Dan
Rukuhp 2019

Ruben Acmad, Diktat Hukum Pidana , 2018, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

WEBSITE :
Friksi Riana, 2017, Https://Nasional.Tempo.Co/Read/1250237/Jokowi-Perintahkan-
Tunda-Pengesahan-Ruu-Kuhp/Full&View=Ok Diakses pada Tanggal 08 Mei 2021 Pukul 11:00
Wib
Nugraha Adhitya, 2012, Grasi, http://rahanovianta.blogspot.com Diakses pada
Tanggal 08 Mei 2021 Pukul 11:00

32

Anda mungkin juga menyukai