A. PENGANTAR
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu lembaga negara dengan
lem baga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip
tersebut, lembaga-lembaga negara itu di akui sederajat, dan saling mengimbangi satu sama
lain. Penggunaan istilah checks and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John
Adams, Presiden Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia mengucapkan pidatonya
yang berjudul “Defense of the Constitution of the United States” (1787). Istilah checks and
balances tersebut menurut David Wootton sebenarnya hanya merupakan salah satu teknik
saja untuk mengemukakan konsep saling kontrol dan saling mengimbangi antar cabang
kekuasaan negara. Dan istilah itu sebelumnya juga telah digunakan oleh Whig John Toland
(1701) dan Marcham Nedham (1654). Gagasan checks and balances menurut David Wootton
mengandung pikiran, bahwa konstitusi merupakan satu sistem mekanis, yang diartikan
sebagai satu interest dalam mekanisme. Menurut Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin
politik itu, diambil dari edisi John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan “...
the Maker of the world had when he had finished and set this great machine moving, and
found everything very good and exactly to answer to his great idea.” 395 Sebagai implikasi
adanya mekanisme checks and balances pada hu bungan yang sederajat itu, ada kemungkinan
dalam pelaksanaan kewenangan masingmasing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau
perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan
pendapat sema cam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final
atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadop sikan dalam UUD 1945,
mekanisme penyelesaian seng keta kewenangan demikian dilakukan mela lui pro ses
peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mah
kamah Konstitusi
“The judicial power shall extend to all cases, in law and equity, arising under this
constitution, the laws of the united states, and treaties made, or which shall be made, under
their authority; --to all cases affecting ambassa dors, other public ministers and consuls;--to
all cases of admiralty and mari time jurisdiction;--to controversies to which the united states
shall be a party;--to con tro versies between two or more states;--between a state and citizens
of another state;--between citizens of different states,--between citizens of the same state
claiming lands under grants of different states, and between a state, or the citizens thereof,
and foreign states, citizens or subjects.”401 Hanya saja berkaitan dengan kedudukan
konstitusi sebagai dasar bagi penyelesaian sengketa kewenangan antar lem baga negara di
Amerika Serikat, C.F. Strong mengemukakan, bahwa:
In America, indeed, the federal constitution is meaningless unless taken in conjuction
with the state contsitutions, which are not merely useful additions thereto, but the
indispensable complement of it. A further illustration of the absolute power of the states
concerning all the things not mentioned in the constitution as belonging to the federal
authority is seen in the fact that there is no appeal to the supreme court of the united states in
any such matters.
“in case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation and the States
(Lander), particularly in the execution of federal law by the States (Lander) and in the
exercise of federal supervision; on other disputes involving public law, between the
Federation and the States (Lander), between diferent States (Lander) or within a State (Land),
unless recourse to another court exist.”403 Ini dipertegas lagi dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman Pasal 13 ayat (5) me nge nai sengketa kewenangan
lembaga ne gara Federal Jerman, dan dalam Pasal 13 ayat (7) me ngenai sengketa
kewenangan lembaga pe me rintah federal dengan dan atau lembaga pe merintah negara
bagian terutama yang ber kai tan dengan penerapan pembagian kekuasaan fe de ral.404
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jer man mengatur bahwa yang berhak untuk menjadi
tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa kewenangan adalah Presiden, Bundestag,
Bun des rat, pemerintah federal, serta bagian-bagian lem baga yang memiliki kewenangan
tersendiri sesuai dengan ketentuan Konstitusi, atau Pera turan Tata Tertib Bundestag atau
Bundesrat. Di samping itu, pemerintah federal dalam kasus seng keta kewe nangan lembaga
negara Fede rasi, dan peme rintah negara bagian405 dalam kasus sengketa kewe nangan
lembaga negara bagi an berhak men jadi penggugat dan tergugat dalam sengketa ke we
nangan lembaga negara.
Di Korea Selatan, lembaga negara yang me miliki kewenangan memutus sengketa kewe
nangan lembaga negara yaitu Mahkamah Kons ti tusi Korea Selatan. Berdasarkan Konstitusi
Korea Selatan Article 111, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk
me nye lesaikan sengketa kewenangan antar peme rintah pusat, pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, dan antarpemerintah daerah (disputes bet ween State agencies, between
State agencies and local governments, and between local go vern ments). Mahkamah
Konstitusi Korea Sela tan ber wenang membekukan aktivitas lem baga negara yang digugat
sampai ada putusan final oleh Mah kamah Konstitusi Korea Selatan.407 Di Federasi Rusia,
kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara di mi liki oleh Mahkamah
Konstitusi Federasi Rusia. Konstitusi Federasi Rusia Pasal 125 ayat (3) yang ditegaskan pula
dalam Un dang-Undang Mah kamah Konstitusi Federasi Ru sia Pasal 3 ayat (2) mengatur
bahwa Mahka mah Konstitusi Fe de rasi Rusia berwenang memutus sengketa kewe nangan
lembaga negara meliputi seng keta ke we nangan lembaga pe me rintah fede ral, seng keta
kewenangan lembaga peme rinta han masing-masing negara yang ter gabung dalam
konstituen Federasi Rusia, dan sengketa kewe nangan lembaga tinggi peme rintahan negara-
negara yang tergabung da lam Konstitusi Federasi Rusia dengan lembaga peme rintahan di
bawah nya (dispute about compe tences between federal bodies, between a federal body, and
a subject of the Federation, and bet ween the high est bodies of state power of the subjects of
the Federation).408 Berbeda dengan yang dilakukan dalam praktik di Federasi Rusia, di
Swiss, pengadilan tertinggi atas semua konflik antara otoritas negara bagian dan otoritas
federal bukan ada pada Pengadilan Federal, akan tetapi ada pada Majelis Federal. Menurut
Strong:
‘... and the Federal Court cannot question the constitutionality of acts passed by the
Federal Assembly.’ Dengan demikian Pengadilan Federal tidak dapat mempertanyakan
konstitusionalitas putusan yang disahkan Majelis Federal. Di Thailand, ketentuan mengenai
kewe na ngan memutus sengketa kewenangan lem baga negara diatur dalam Konstitusi
Thailand ba gian. Kewenangan ini dimiliki oleh Mah ka mah Konstitusi Thailand. Lembaga
negara yang dapat menjadi objek sengketa kewenangan lembaga negara yaitu lembaga negara
yang kewe nangan, kekuasaan, dan tugas lembaga ter sebut dicantumkan di dalam konstitusi.
bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya sendiri
dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia menjalankan
fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi peraturan. Oleh karena
itu dipertahankan sifat pasifnya. 2. Memberikan putusan atas sengketa Lembaga Tinggi
Negara. Jadi antar Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar
Pemerintah Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa
di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian pengambilan
keputusannya di MK. (Cetak tebal-miring dari penulis). 3. Menjalankan kewenangan lain
yang diberikan undang-undang. Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk dicantumkan
meskipun tidak ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang
Pemilu mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa Pemilu dan sengketa Pemilu itu
bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung bagaimana
undang-undang nanti mengaturnya.’412 Kedua adalah Soetjipto dari F-UG. Menurut
Soetjipto:
‘Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan
Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh karena itu F-UG menganggap perlu adanya
suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan hanya untuk hak uji UU
tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili persengketaan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai
politik dan juga mengadili apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu.’413
(Cetak tebal-miring dari penulis). Apabila dicermati pandangan di atas, walaupun Soetjipto
tidak secara eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya adalah
memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi dia juga menyebut perlunya
MK diberi kewenangan untuk memutus persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah. Ketiga adalah I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan dalam
pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan fraksinya sebagai berikut: ‘Pasal
berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami: Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah
Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi; Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan untuk: Menguji Undangundang dan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang (fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan.
Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden yang mengkhianati negara
dan/atau merendahkan martabat Lembaga Kepresidenan. Memberikan keputusan akhir
mengenai putusan pembubaran suatu partai politik. Memberikan keputusan apabila terdapat
perselisihan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Memberikan putusan
atas gugatan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar.’414 (Cetak tebal-miring dari penulis).
Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa Gede Palguna ternyata
tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah
satu kewenangan MK adalah memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Keempat adalah Sutjipno dari Fraksi PDI
Perjuangan yang mengusulkan dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut:
‘Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam lingkungan
peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat
pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas pertentangan atau persengketaan
antara lembaga negara, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah, menjalankan peraturan perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain
yang diberikan oleh undangundang.’416(Cetak tebal-miring dari penulis).
Dalam konsep organisasi negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ
dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ
adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: form), sedangkan functie adalah gerakan
wadah itu sesuai maksud pembentuknya.417 Menurut Harjono, fungsi mempunyai makna
yang lebih luas daripada tugas. Tugas menurutnya, lebih tepat digunakan untuk menyebut
aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat terlaksana. Fungsi memerlukan banyak
aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari
sebuah fungsi yang sifatnya ke dalam. Tugas selain mempunyai aspek ke dalam juga
memiliki aspek keluar.
Aspek keluar dari tugas adalah wewenang, sehingga oleh karenanya sering digunakan secara
bersama-sama yaitu tugas dan wewenang. Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya
satu lembaga mempunyai wewenang, timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan eksklusif.
Kategorial dikatakan sebagai unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai
wewenang dengan yang tidak mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif diartikan bahwa
lembaga-lembaga yang tidak disebut merupakan lembaga yang tidak berwenang. Perbedaan
tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam aturan perundang-undangan oleh lembaga
negara yang berbeda dengan demikian dapat melahirkan sengketa kewenangan yang
merupakan perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan
kewenangan antara dua lembaga negara atau lebih.418 Dalam konsep hukum tata negara
positif (positieve staatsrecht), lembaga negara merupakan organ negara atau alat-alat
perlengkapan negara yang biasanya diatur atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau
undangundang dasar suatu negara.419 Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan Indonesia,
jenis dan jumlah lembaga negara menurut UUD 1945 setelah perubahan ada bermacam-
macam. Jimly Asshiddiqe mengemukakan, corak dan struktur organisasi negara Indonesia
dewasa ini mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi
tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen dibentuk.
Beberapa diantara lembagalembaga atau komisi-komisi independen dimaksud dapat
diuraikan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk
untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
4) Menteri dan Kementrian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu
pada Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945 yaitu bersama-sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai
pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan
dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama Menteri Luar Negeri dan Menteri
Pertahanan menurut Pasal 8 UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan bersama-sama Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri
ditentukan sebagai Menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu
disebut secara sendiri-sendiri karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa Kewenangan
Konstitusional diantara sesama mereka, atau antara mereka dan menteri lain atau Lembaga
Negera lainnya.
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang
bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur
dalam undangundang”.
9) Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi 423 sebagai di maksud oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (3),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gubernur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
14) Pemerintah Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (3),
ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
17) Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (5),
ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD
1945;
20) Satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti yang dimaksud
dalam Pasal 18B ayat(1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya
yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
istimewa kini diatur tersendiri oleh UUD 1945. misalnya, Aceh Darusallam dan Papua, serta
pemerintahan daerah khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan Mengenai kekhususan atau
keistimewaannya itu diatur dengan undangundang. Oleh karena itu pemerintahan daerah ini
perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan
dihormati oleh Negara. 21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII
UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal
22C dan Pasal 22D;
23) Komisi Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menentukan bahwa Pemilihan Umum harus diselenggarakan oleh suatu Komisi yang bersifat
Nasional, tetap, dan Mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama yang
ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara memiliki suatu bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur
dengan undang-undang”. Seperti halnya Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum
menentukan bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah
Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan namayang ditentukan oleh UUD 1945,
melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan dan diwarisi dari sejarah di masa lalu;
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIII A dengan judul
“Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas tiga pasal, yaitu: Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F
(2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal
24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan
Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi Yudisial (KY) yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai
auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD
1945;
29) Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab
XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angakatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945; 31) Angkatan Laut (TNI
AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30
UUD 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti Kejaksaan diatur
dalam Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi ,” badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam Undangundang”. Menurut Jimly Asshiddiqie, jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi
lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman yang
tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan,
“badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam
undang-undang” artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi
Yudisial dan Kepolisian Negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih adabadan-badan
yang lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan
Agung yang semula dalam rancangan perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu
lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak
mendapatkan kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan. Namun,
karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah Badan-badan, berarti
jumlahnya lebih dari 1. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang
fungsinya juga berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi
Penyelidikan, Penyidikan, dan/atau Penuntutan. Lembaga-lembaga yang dimaksud misalnya
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung,
meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki
constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945. Berbeda
dengan Jimly Asshiddiqie, Abdul Mukthie Fadjar mengatakan, ada lembaga-lembaga negara
yang nama dan kewenangannya disebut/ tercantum dalam UUD 1945, dan ada yang diatur
dalam undang-undang. Lembaga-lembaga negara yang nama dan kewenangannya
disebut/tercantum dalam UUD 1945 adalah:
c. memutus usul DPR berdasarkan putusan MKRI untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya [Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7)];
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya [Pasal 8
ayat (1)];
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari
[Pasal 8 ayat (2)];
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya [Pasal 8 ayat (3)];