Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nita Puji Agustin

NIM : 857457856

1. Berikut definisi ketunanetraan :


 Definisi secara legal (Legally Definition)

Definisi ini berdasarkan aturan perundang-undangan. Menurut Wardani (2020) Definisi secara legal
didasarkan pada hasil pengukuran terhadap ketajaman penglihatan yang biasa dilakukan oleh tenaga
medik. Sehingga definisi ini sering disebut juga dengan istilah definsi secara medik atau klinis. Dalam
definisi ini ada dua aspek yang diukur:

 Ketajaman penglihatan (visual acuity) dan


 Medan pandang (visual field)

Berikut klasifikasi ketajaman penglihatan menurut WHO

 Blind secara legal adalah mereka yang memiliki ketajaman penglihatan ¿3/60
 Low Vision secara legal adalah mereka yang memiliki ketajaman penglihatan 6/18 hingga
≥3/60 (kurang dari 6/18 tetapi lebih baik sama dengan 3/60
 Definisi secara Pendidikan (Educationally Definition)

Menurut Wardani (2020) dua orang yang mempunyai ketajaman penglihatan yang sama dan bidang
pandang yang sama belum tenteu meimiliki keberfungsian yangsama. Definisi legalbbiasanya juga tidak
memadai untuk menunjjukkan apakah sesorang akan mampu membaca tulisan cetak ataukah belajar
braille, definisi edukasional mengenai ketunanetraan lebih dapat memenuhi persyaratan tersebut
daripada definisi legal, dan oleh karenanya dapat menunjukkan:

 Metode membaca dan emtode pembelajaran membaca yang mana yang sebaiknya
dipergunakan
 Alat bantu serta bahan ajar yang sbeaiknya dipergunakan
 Kebutuhan yang berkaitan dengan orientasi dan mobilitas Definisi secara Penddikan biasa dia
anut (dipakai ) oleh para pendidik untuk kebutuhan pendidikan .

Berdasarkan cara pembelajarannya ketunanetraan dapat dibagi menjadi:

 Tuna Netra secara pendidikan adalah mereka yang memiliki gangguan pada penglihatannya
secara signifikan sehingga membutuhkan pelayanan yang khusus.
 Blind secara pendidikan adalah mereka yang memiliki atau mengalami gangguan penglihatan
dan meskipun telah di bantu sedemikian rupa agar dapat membaca tetap sisa penglihatannya
tidak dapat digunakan untuk membaca.sehingga harus membaca menggunakan Braille.
 Low Vision secara Pendidikan adalah mereka yang memiliki atau mengalami gangguan
penglihatan dan sisa penglihatannya masih dapat digunakan untuk membaca dengan
memperbesar huruf atau menggunakan alat bantu.
2. Cara bagi indiviu tunanetra untuk mendapatkan kenyamanan di dalam lingkungannya membantunya
bergerak secara mandiri adalah dengan menggunakan ingatan visual (peta mental), ingatan kinestetik,
serta persepsi obyek. Hal tersebut akan memahamu bagaiman individu tunetra dapat berfungsi dengan
baik di dalam lingkungannya.
 Visualisasi

Bagi individu tunanetra untuk mendapat kenyamanan di dalam lingkungannya dan membantunya
bergerak secara madniri adalah dengan menggunakan ingatan visual (visual memory) setelah
berorientasi dengan baik dan memanfaatkna semuda indera dengan sebaik-baiknya individu tunanetra
dapat menggambarkan lingkungannya di dalam pikirannya.

 Ingatan kinestetik

Ingatan kinestetik adalah ingatan tentang kesadaran gerak otot yang dihasilkan oleh interaksi antara
indra perabaan, propriosepsi dan keseimbangan. Ingatan kinestetik hanya terbentuk sesudah orang
melakukan gerakan yang sama di daerah yang sama atau untuk kegiatan yang sama secara berulang-
ulang.

 Persepsi obyek.

Object perception ini artinya suatu kemampuan yang memungkinkan individu tunanetra itu menyadari
bahwa suatu benda hadir di sampaingnya atau di hadapannya meskipun dia tidak memiliki penglihatan
sama sekkali dan tidak menyentuh benda itu.

3. Sebagian tunanetra masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional, dan banyak di antara merekamasih
memilikis sia penglihatan yang fungsional dan banyak di antara mereka masih dapat membaca dan
menulis menggunakan tulisan biasa dengan pengaturan pada satu atau tiga aspek berikut, pencahayaan,
penggunaan kaca mata dan magnifikasi (pembesaran tampilan tulisan)
 Alat bantu low vision yang paling efektif adalah cahaya, jika tingkat pencahayaan lingkungan
renda dan cahaya lampu yang ada tidak cukup terang maka sebaiknya menggunakan lampu
belajar yang bisa diputar ke segala arah.
 Alat bantu lainnya adalah, kacamata. Kaca mata yang cocok, yang diresepkan secara epat.
Menurut Benett antara 10 hingga 15% anak penyandang ketunanetraan dapat dibantu dengan
kaca mata (Wardani:2020)
 Alat bantu selanjutnya adakag satu jenis magnifikasi eksternal. Magnifikasi ini dapt diperoleh
dengan:
 Memperbesar ukuran obek (magnifikasi ukuran)
 Memperkecil jarak lihat ke obyek (magnifikasi jarak relative)
 Memperbesar sudut penglihatan (magnifikasi sudut relative) biasanya dilakukan dengan
system multi lensa seperti teleskop

Ketiga teknik dasar tersebut diperguankan sekaligus. Jika hal ini dilakukan maka hasil magnifikasinya
akan optimal.

4. Tunarungu adalah ketidakmampuan mendengar dari yang ringan hingga yang berat sehingga
menyebabkan hambatan dalam memproses informasi. Dari berbagai tingkatan kemampuan memproses
informasi pad aanak berkebutuhan khusus tunarungu, ada anak yang sangat kesulitan menangkap suara
namun ada juga yang bisa menangkap suara tetapi dengan menggunakan alat bantu pendengaran. Indra
pendengaran berperan penting sebagai bagian input stimulasi bahasa sehingga jika anak tidak bisa
mendengar suara maka ia pun akan terhambat dalam menerima input stimulasi bahasa yang pada
akhirnya bisa menyebabkan lambat bicara pula (Tunarungu menurut Hallahan dan Kauffman (1991)
dalam Wardani (2020).
Anak dengan gangguan komunikasi, menurut Wardani (2020), mencakup gangguan melakukan
komunikasi baik sebagai komunikator maupun komunikan, artinya sebagi yang berbicara dan yang
mberikan respon pada pembicara atau dengan kata lain memiliki kesulitan bukan hanya saat ia sebagai
penerima pesan namun juga ada kesulitan saat sebagai penyampai pesan.

5. Kemampuan intelegensi anak tuna rungu normal namun bisa pula berdampak pada kemampuan
akademisnya sehingga menjadi lebih rendah daripada anak normal. Bunawan (dalam Wardani, 2020)
menyebutkan bahwa ketuna runguan tidak menyebabkan kekurangan potensi kecerdasan.

Hal ini disebabkan oleh kemampuan berbahasa yang lebih terhambat sehingga untuk mata pelajaran
yang bersifat verbal (seperti Bahasa Indonesia, PPKn, IPS dan Matematika), prestasi belajar anak tuna
rungu pada umumnya lebih rendah daripada anak normal lainnya. Tetapi pada mata pelajaran yang
bersifat non verbal seperti Kerajinan SBDP dan Olahraga, kemampuan mereka tidak jauh berbeda
dengan anak normal

6. Menurut Wardani (2020) seseorang dikatakan tuna grahita apabila memiliki 3 hal berikut, yaitu:
 memiliki keterhambatan dalam fungsi kecerdasan, dalma hal ini anak dengan tuna grahita
memiliki kemampuan IQ di bawah rata-rata anak normal seusianya.
 memiliki ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dalam hal ini anak dengan tuna grahita tidak
bisa melakukan aktivitas yang sesuai usianya, seperti memakai baju sendiri, makan sendiri,
membersihkan diri, dll. Hal ini bukan disebabkan karena keterbatasn fisik namun lebih pada
keterbatasan mental.
 terjadi selama periode perkembangan sampai usia 18 tahun
7. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita pada prinsipnya tidak berbeda dengan pendidikan pada
umumnya. Hanya saja dalam menentukan strategi pembelajaran harus memperhatikan tujuan
pelajaran, karakteristik murid dan ketersediaan sumber (fasilitas) (Wardani:2020),. Adapun beberapa
strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita adalah sebagai berikut:

• Strategi Pengajaran yang diindividualisasikan, pengajaran ini diberikan pada setiap murid
meskipun mereka belajar bersama dengan bidang studi yang sama tetapi kedalaman dan keluasan
materi pelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Dalam pelaksanaannya,
guru perlu melakukan hal-hal berikut:

 Pengelompokan murid agar murid dapat berinteraksi dan bekerja sama


 Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang
beraneka ragam.
 Mengadakan pusat belajar agar memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya
sendiri.

• Strategi Kooperatif adalah strategi yang paling efektif diterapkan pada kelompok murid yang
memiliki kemampuan heterogen. Strategi ini menekankan pada semangat kerja dimana anak yang
lebih panda dapat membantu temannya yang mengalami kesulitan.

• Strategi Modifikasi tingkah laku

Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang kebawah atau anak tunagrahita
dengan gannguan lain. Tujuannya merubah, menghilangkan mengurangi tingkah laku yang tidak baik
ke tingkah laku baik. Salah satu teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku adalah
dengan Reinforcement baik berupa pujian, hadiah maupun usapan. Wardani (2020), strategi yang
sesuai untuk menghadapi anak tunagrahita dari tingkat sedang ke bawah adalah dengan
menggunakan strategi modifikasi tingkah laku. Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak
tunagrahita sedang ke bawah atau anak tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini
adalah mengubah, menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku
yang baik. Dalam pelaksanaannya guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan.
Sementara itu perlu pula teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut,
seperti reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa
menunjukkan perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin hari
makin dikurangi agar tidak terjadi ketergantungan.

8. Penilaian hasil belajar anak tunagrahita mengacu pada evaluasi belajar anak biasa. Evaluasi belajar
anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berakhir, namun juga
dilaksnakaan selama proses belajar mengajar berlangsung.
Pada saat itu dapat dilihat bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau kelambatan setiap
anak. Apabila ditemukan anak yang lebih cepat dari temannya maka ia segera diberi bahan
pelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman-temanya, sedangkan anak yang lebih lambat,
mendapatkan pengulangan atau penyederhanaan materi pelajaran. Alat evaluasi yang digunakan
untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita sama dengan anak normal, kecuali dalam bentuk dan
urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi, seperti tulisan, lisan dan perbuatan bagi anak
tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan anak tunagrahita yang akan dievaluasi.
Misalnya, anak tunagrahita sedang tidak mungkin diberikan alat evaluasi tulisan. Mereka diberikan
alat evaluasi perbuatan dan bagi anak tunagrahita ringan dapat diberikan alat evaluasi tulisan
maupun lisan karena anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan untuk menulis dan
membaca serta berhitung walaupun tidak seperti anak normal pada umumnya. Kemudian, kata
tanya yang digunakan adalah kata yang tidak menuntut uraian (bagaimana, mengapa), tetapi kata
apa, siapa atau di mana. Keberhasilan belajar anak tunagrahita dibandingkan dengan kemajuan
yang dicapai oleh anak itu sendiri dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, penilaian pada anak tunagrahita adalah longitudinal maksudnya penilaian yang
mengacu pada perbandingan prestasi individu atas dirinya sendiri yang dicapainya kemarin dan hari
ini. Pencatatan evaluasi untuk anak tunagrahita menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan
kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Wardhani, dkk. 2020. Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Tanggerang Selatan:
Penerbit Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai