Anda di halaman 1dari 19

ALIH FUNGSI LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM

MENGATASI MASALAH TERSEBUT

PAPER

OLEH:

Rahmi Nabillah Pohan 170304018


Heru Yulian 170304041
Rahmat Budiansyah 170304066

AGRIBISNIS

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Ir. Rahmanta, M. Si.
NIP. 196309281998031001

P R O G R A M S T U D I A G R I B I S N I S
F A K U L T A S P E R T A N I A N
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada

waktunya.

Adapun judul dari paper ini adalah “Alih Fungsi Lahan dan Kebijakan

Pemerintah Dalam Mengatasi Masalah Tersebut” yang merupakan salah satu

syarat untuk dapat memenuhi komponen penilaian di mata kuliah Politik

Pertanian dan Keuangan Negara Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M. Si.

selaku dosen mata kuliah Politik Pertanian dan Keuangan Negara yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan paper.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga paper ini

bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

PENDAHULUAN.............................................................................................................1
Latar Belakang.............................................................................................................1
Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
Kegunaan Penulisan.....................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3

ALIH FUNGSI LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM


MENGATASI MASALAH TERSEBUT........................................................................6
Dampak Alih Fungsi Lahan........................................................................................6
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Alih Fungsi Lahan...........................................8
Kebijakan Pemerintah Terhadap Maraknya Alih Fungsi Lahan..........................10
Kendala Yang Dihadapi Dalam Upaya Mengatasi Alih Fungsi Lahan..................12
Strategi Dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan.........................................................13

KESIMPULAN..............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

ii
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Alih fungsi lahan pertanian atau konversi lahan pertanian saat ini menjadi
momok yang menakutkan bagi dunia pertanian. kebutuhan lahan untuk non-
pertanian terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal
inilah yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian tidak terelakkan dan terus
meningkat. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian disebabkan oleh dua faktor,
pertama, karena pembangunan Kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi
yang mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulen
tanah sehingga harga lahan menjadi meningakt, dan kedua, peningkatan harga
lahan yang merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan (Irawan,
2005).
Konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian sebenarnya bukan
masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut
pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri, dan pemukiman,
hal ini tentu saja harus didukung dengan ketersediaan lahan. Departemen
pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian dengan
keterbatasan lahan (Sudaryanto, 2002). Pertumbuhan perekonomian menurut
pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri, dan pemukiman.
Dengan kondisi demikian, permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-
pertanian tersebut semakin meningkat, akibatnya banyak lahan terutama yang
berada di sekitar perkotaan mengalami alih fungsi ke penggunaan lain.
Kurangnya insentif pada usaha tani lahan sawah dapat menyebabkan
terjadi alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lainnya (Ilham, 2003). Konversi lahan
pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat
menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga erja yang selanjutnya
berdampak pada penurunan produksi pangan, hal ini juga menghambat program
pemerintah dalam mencukupi kebutuhan pangan bagi negara (swasembada
pangan) dan pendapatan per kapita keluarga tani.
Ketahanan pangan merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional
yang berdampak besar pada seluruh warga negara yang ada di Indonesia. Dalam

1
hal ketahanan pangan, bukan hanya sebatas pada sesuatu yang dianggap mudah
dan memiliki pengaruh besar terhadap pertahanan keamanan. Ketahanan pangan
merupakan salah satu hal yang mendukung dalam mempertahankan keamanan,
bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonom, tetapi ketahanan
pangan juga merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik
nasioanl maupun global. Untuk itulah, ketahanan pangan dapat mempunyai
pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat diciptakan (Suryana,
2002). Sehingga perlu pembatasan perijinan terkait dengan penggunaan lahan
pertanian yang beralih menjadi non-pertanian yang dapat menyebabkan tidak
tercapainya swasembada pangan.

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui


hubungan antara lima syarat pokok (pasar, teknologi, saprodi, perangsang
produksi, dan transportasi) yang harus dipenuhi oleh satu negara untuk mencapai
pembangunan yang efektif.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk dapat memenuhi komponen penilaian di praktikum mata kuliah Tataniaga
Pertanian dan sebagai salah satu sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Alih fungsi lahan pertanian merupakan proses pengalihan fungsi lahan


pertanian dari penggunaan untuk pertanian kepenggunaan lainnya, pada
sebagian atau keseluruhan kawasan lahan yang umumnya mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan maupun pada potensi lahan tersebut. Pada
umumnya laju alih fungsi lahan dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk
yang mengakibatkan meningkatnya pemenuhan kebutuhan yang berbasis
pada penggunaan lahan, seperti pemukiman dan fasilitas umum lainnya (Janah,
2017).
Alih fungsi lahan atau biasanya disebut sebagai konversi lahan sebagai
suatu hal yang negatif, yaitu perubahan fungsi lahan sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang menjadi sebuah dampak negatif (masalah) terhadap suatu lingkungan
dan potensi dari lahan itu sendiri (Lestari, 2007).
Proses alih fungsi lahan tidak dapat dihindarkan pada setiap wilayah
yang sedang berkembang. Wilayah yang sedang berkembang biasanya
mempunyai pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, kemudian diikuti
dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman dan fasilitas umum
lainnya termasuk untuk industri. Proses alih fungsi lahan biasanya diawali
dengan pelepasan lahan terutama karena proses penjualan lahan. Di samping itu,
faktor pertumbuhan kawasan yang mendorong kenaikan harga lahan juga dapat
memicu pelepasan lahan tersebut. Secara umum, alih fungsi lahan pertanian
dari petani dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, faktor eksternal berupa
dinamika pertumbuhan kawasan, demografi dan ekonomi. Kedua, faktor
internal berupa kondisi sosial-ekonomi keluarga pengguna lahan. Ketiga,
faktor kebijakan, berupa aturan dan perundangan serta pelaksanaan aturan
tersebut (Janah, 2017).
Alih fungsi lahan berdampak sangat buruk bagi masyarakat setempat dan
anak penerus bangsa selanjutnya. Menurut (Fahmi, 2010), dampak buruk yang
ditimbulkan dari alih fungsi lahan atau konversi lahan yaitu:
1. Berpotensi mempengaruhi ketahanan pangan nasional.

3
2. Proses pemiskinan petani dimana para petani kehilangan aset
pokoknya untuk sumber mata pencahariannya.
3. Pengangguran karena lenyapnya lahanspertanian yang mampu
menyerap angkatan kerja hingga 46%.
4. Pemubaziran investasi yang telah ditanam oleh pemerintah (terutama
irigasi).
5. Degradasi budaya pada masyarakat pedesaan.
6. Menurunnya alih fungsi lingkungan hidup.
Pembangunan berkelanjutan adalah cara pandang yang tidak hanya
melihat dari segi pembangunan ekonomi saja, namun juga dalam pembangunan
yang berkelanjutan harus dengan menggabungkan tiga unsur utama yaitu,
keseimbangan ekonomi, keseimbangan sosial dan keseimbangan lingkungan
(Salim, 2007).
Implementasi pada prinsipnya merupakan tahap dalam merealisasikan
tujuan dari sebuah kebijakan. Dalam arti luas Solichin (2012, h.133)
mendefinisikan Implementasi kebijakan sebagai “bentuk pengoprasionalisasian
atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang
dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan
(stakeholder), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur, teknik secara
sinergitas yang digerakkan untuk bekerjasama guna mengahrapkan kea rah
ternentu yang dikehendaki”
Model implementasi kebijakan adalah proses implementasi berjalan secara
linier dari kebijakan publik ke implementor dan kinerja kebijakan publik. Dalam
model tersebut, proses implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel: i)
aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, ii) karakteristik agen
pelaksana/implementor, iii) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta iv)
kecenderungan pelaksana/implementor. Sesuai dengan variabel tersebut maka
faktor yang dapat mempengaruhi adalah: standar dan sasaran kebijakan,
sumberdaya, hubungan antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi
sosial, politik dan ekonomi, serta disposisi implementor (Nugroho, 2004).
Kebijakan publik menurut Winarno (2014) adalah apa yang tidak hanya
diusulkan oleh pemerintah tetapi juga mencakup arah tindakan (keputusan) dan

4
apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah atau
persoalan. Karena nantinya kebijakan publik yang ada akan diproses dalam tahap
implementasi dan evaluasi (Winarno, 2014).
Selanjutnya pengertian kebijakan publik yang terbaru dikemukakan oleh
Nugroho (2017) yang menekankan kebijakan publik sebagai masalah kemampuan
Negara untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh rakyatnya. Nugroho
(2017) mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat
oleh Negara, sebagai strategi untuk mencapai tujuan Negara dan apa yang dicita-
citakan oleh masyarakat.

5
ALIH FUNGSI LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
MENGATASI MASALAH TERSEBUT

Dampak Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan sesungguhnya bukan fenomena baru dalam kehidupan


manusia. Fenomena ini sudah berlangsung lama, bahkan mungkin seusia dengan
peradaban manusia. Alih fungsi lahan dianggap menjadi persoalan besar ketika
berakibat pada kerusakan lingkungan dan menyentuh persoalan keberlangsungan
hidup manusia terkait dengan pembangu-nan untuk menunjang peradaban baru
manusia.
Sejalan dengan pertumbuhan populasi, penguasaan dan penggunaan lahan
menjadi terganggu dan mulai dianggap bermasalah. Hal ini memunculkan
kompleksitas permasalahan akibat meledaknya pertambahan penduduk, penemuan
dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula
berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), perlahan berubah menjadi
multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke
pemanfaatan bagi nonpertanian yang dikenal sebagai alih fungsi (konversi) lahan,
semakin hari semakin meninggi.Jika alih fungsi lahan pertanian ini tidak
terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, bahkan dalam jangka
panjang dapat menciptakan bencana sosial.
Berikut beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian, antara lain:
1. Berkurangnya lahan pertanian
Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka
otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja
memberi dampak negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun
tidak langsung.
2. Menurunnya produksi pangan nasional
Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi
juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga
akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat
tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan
pertanian justru semakin berkurang.

6
3. Mengancam keseimbangan ekosistem
Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah
atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi
beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan
fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa
mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian
juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi
resiko penyebab banjir saat musim penghujan.
4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai
Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah
menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian.
Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek
berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun
bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan
untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi,
maka sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi.
5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan
Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan
pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan
orang lain yang butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi
dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam
akan kehilangan mata pencaharian mereka.
6. Harga pangan semakin mahal
Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja
bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu
saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun
pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika
kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal.
7. Tingginya angka urbanisasi
Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan.
Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan
lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi

7
selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa
akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat
pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota
keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Alih Fungsi Lahan

Sejak dahulu, jumlah lahan pertanian Indonesia sendiri cenderung


menurun dari tahun ke tahun akibat adanya alih fungsi lahan menjadi non-
pertanian. Alih fungsi atau konversi lahan didefinisikan sebagai berubahnya
fungsi awal lahan menjadi fungsi lainnya baik dari sebagian maupun keseluruhan
lahan akibat adanya faktor-faktor tertentu.
Berikut ialah faktor-faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan
pertanian:
a. Pertumbuhan penduduk yang pesat
Dengan jumlah daratan yang tetap, namun jumlah penduduk yang
terus meningkat, tentu dapat menyebabkan berbagai dampak bagi
lingkungan tempat tinggal mereka. Salah satunya yakni adanya alih fungsi
lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian guna memenuhi berbagai
kebutuhan hidup yang juga meningkat.
b. Kenaikan kebutuhan masyarakat untuk permukiman
Adanya pertumbuhan demografi tentu saja juga menuntut
kebutuhan-kebutuhan dasar termasuk tempat tinggal. Ketika lahan di
daerah permukiman sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan yang diminta,
maka konversi lahan pertanian menjadi kawasan rumah menjadi pilihan
sebagai salah satu solusi permasalahan tersebut.
c. Tingginya biaya penyelenggaraan pertanian
Untuk mengolah sawah atau lahan pertanian dari lapisan tanah agar
mendapatkan hasil yang optimal tentu saja membutuhkan modal yang
tidak sedikit, belum lagi jika barang-barang pertanian tersebut mengalami
kenaikan seperti pada saat naiknya harga bahan bakar minyak, maka
harganya bisa melambung menjadi dua kali lipat. Kenaikan harga pupuk,
benih pertanian, biaya irigasi, hingga harga sewa tenaga petani membuat

8
para pemilik sawah mempertimbangkan untuk menjual sawah mereka atau
mengalihkan fungsi lahan menjadi bangunan atau tempat wirausaha.
d. Menurunnya harga jual produk-produk pertanian
Selain membutuhkan modal yang lumayan, para petani juga harus
siap menerima resiko lain, yakni hasil panen yang tidak baik atau bahkan
gagal panen. Dimana harga jual produk pertaniannya menjadi sangat
rendah atau malah tidak laku di pasaran. Jika hal ini terjadi maka petani
akan menderita kerugian yang tidak sedikit pula. Tantangan lain ialah
adanya penurunan harga hasil pertaniannya karena faktor-faktor tertentu.
e. Kurangnya minat generasi muda untuk mengelola lahan pertanian
Anggapan masyarakat, khususnya para generasi muda mengenai
sektor pertanian masih belum sepopuler bidang-bidang usaha yang lain.
Para pemuda misalnya, ketika ditanya mengenai cita-cita mereka, maka
hampir bisa dipastikan akan menyebutkan berbagai profesi lain selain
menjadi petani. Meski tidak sedikit juga masyarakat yang telah menjadi
petani sukses, namun profesi petani saat ini memang masih sering
dianggap sebagai profesi yang berada pada kelas menengah ke bawah,
sehingga cenderung dihindari oleh para generasi muda. Dan sebagai
akibatnya, para orang tua yang mempunyai sawah atau lahan pertanian
akan menjual lahannya kepada orang lain. Sedangkan bagi mereka yang
mewariskan kepada anaknya yang tidak berminat mengelola sawah, maka
besar kemungkinan lahan tersebut akan mengalami alih fungsi.
f. Pergantian ke sektor yang dianggap lebih menjanjikan
Seiring berkembangnya pengetahuan, teknologi, serta
bertambahnya wawasan para pemilik lahan pertanian, maka tidak sedikit
dari mereka yang sengaja mengalihkan fungsi lahan pertanian ke sektor
usaha lain. Dengan harapan perekonomian dapat semakin meningkat,
mereka mulai mendirikan tempat-tempat industri, peternakan, serta tempat
usaha lain di atas lahan pertaniannya.
g. Lemahnya regulasi pengendalian alih fungsi lahan
Yakni ketidaktegasan peraturan pemerintah maupun pejabat
mengenai pengendalian fungsi lahan. Ketidaktegasan tersebut diantaranya

9
meliputi kekuatan hukum, ketegasan penegak hukum, dan sanksi
pelanggaran.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Maraknya Alih Fungsi Lahan

Kehadiran Peraturan Presiden (Perpres) No. 59/2019 menegaskan


pentingnya perlindungan lahan pertanian di daerah sebagai lahan abadi yang tidak
boleh dilakukan alih fungsi apapun.
Adapun Pemerintah Pusat akan memberi prioritas kepada Pemerintah
Daerah (Pemda) atau masyarakat petani berupa insentif yang diwujudkan dalam
berbagai bantuan pemerintah. Hal tersebut bila lahan pertaniannya ditetapkan
sebagai sawah abadi atau masuk dalam peta lahan sawah yang dilindungi.
Pemberian insentif pun akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Beberapa di antaranya bisa berupa bantuan sarana dan prasarana pertanian,
sarana dan prasarana irigasi, percepatan sertifikasi tanah, dan/atau bentuk lain
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian terungkap dalam pasal
18, 19, 20, dan 21 dari Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Sawah yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 6 September
2019 dan diundangkan pada 12 September 2019.
Salah satu kebijakan pemerintah daerah yang dirasa sangat baik untuk
dijalankan, yaitu di Kabupaten Sragen.
Upaya pemerintah dalam mempertahankan fungsi lahan pertanian di
kabupaten sragen yaitu:
A. Adanya peraturan terkait dengan pangan di Kabupaten Sragen, antara lain:
1. Perbup No. 64 Tahun 2009 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan
Pangan Kabupaten Sragen;
2. Perbup No. 40 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Lampiran II
Peraturan Bupati Sragen Nomor 64 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen;
3. Perbup No. 11 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan
Pemerintah Daerah.
Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Sragen terus berupaya
maksimal meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya manajemen

10
pangan. Setiap desa di wilayah Sragen mulai mandiri menggerakkan
program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu, sesuai
program pemerintah pusat mengedukasi masyarakat menyesuaikan
makanan pokok non terigu dan non beras. Sampe dengan tahun 2016
terdapat 112 desa di Sragen dari 20 kecamatan sudah melaksanakan
program KRPL.
B. Pemerintah menyiapkan LP2B dengan mengatur strategi pengendalian alih
fungsi lahan pertanian pangan produktif sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sragen Tahun 2011-2031 Pasal
3 ayat (2) huruf c, meliputi:
1. Menetapkan lahan sawah irigasi menjadi lahan pertanian pangan
berkelanjutan;
2. Mengarahkan perkembangan kegiatan terbangun pada lahan-lahan
yang bukan lahan sawah irigasi dan/ atau lahan kering kurang
produktif;
3. Mengembangkan dan merevitalisasi jaringan irigasi dan meningkatkan
produktivitas lahan pertanian.
C. Dinas Pertanian melakukan sosialisasi lebih intensif terhadap petani,
pendataan petani, memberikan subsidi meliputi benih, pupuk, pestisida,
peminjaman alat-alat mesin pertanian dengan tujuan agar petani untung
dalam melakukan usaha pertaniannya.
D. Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 26 Tahun 2003
Tentang Irigasi.
E. Menentukan Kawasan Peruntukan Pertanian Pasar 55 Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Kawasan Peruntukan Pertanian.
F. Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
G. Memberikan arahan pengendalian pemanfaatan ruang pedoman
pengaturan, serta memberikan sanksi yaitu: peringatan tertulis,
penghentian sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum,

11
penutupan lokasi, pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran
bangunan, pemulihan fungsi ruang, dan/ atau denda administratif.

Kendala Yang Dihadapi Dalam Upaya Mengatasi Alih Fungsi Lahan

Sebetulnya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah


pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga
kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Hal ini antara
lain karena kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai
ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut.
Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya
terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan
pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu:
1. Kendala Koordinasi Kebijakan.
Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih
fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih
fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan
industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam
kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan.
Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru
menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-
perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan
atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena
itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang
dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh
peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang
dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.
3. Kendala Konsistensi Perencanaan.
RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme
pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam
pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah
beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang

12
justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah
beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang
telah ada, juga dipengaruhi oleh: (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2)
kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya
mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah
tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under
estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang
dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Strategi Dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan

Dalam mengatasi maraknya fenomena alih fungsi lahan, terdapat dua kata
kunci dalam strategi untuk mengatasinya yaitu holistik dan komprehensif. Holistik
artinya perlu ada partisipasi masyarakat agar memiliki kesadaran akan dampak
alih fungsi lahan terhadap keberlanjutan ketahanan pangan di masa depan.
Sedangkan komprehensif maksudnya yaitu seluruh elemen ekonomi baik industri
ataupun pemerintah perlu dilibatkan dalam menciptakan iklim pertanian yang
menihilkan timbulnya faktor-faktor pemicu terjadinya alih fungsi lahan.
Berikut skema yang bisa diterapkan dalam mengatasi alih fungsi lahan,

13
Dari Gambar diatas dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah dalam
mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu
pada masyarakat.

Pertama, titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui


partisipasi segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat
para pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung
dengan proses alih fungsi lahan pertanian.
Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang
pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument
hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif,
kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya,
sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif
masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan
kebijakan, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya
pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan.

14
KESIMPULAN

Dalam upaya mengatasi maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi


areal pemukiman atau bangunan-bangunan industi, pemerintah sebenarnya telah
menerapkan beberapa kebijakan yang dianggap mampu untuk meminimalisir alih
fungsi lahan pertanian tersebut. Seperti misalnya dengan memberikan sanksi
kepada pihak-pihak yang melaksanakan alih fungsi lahan pertanian yang sangat
berpotensi, memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melaksanakan
pembangunan dengan tidak memperhatikan areal-areal pertanian atau lingkungan.
Presiden juga telah menegaskan peraturan mengenai alih fungsi lahan pertanian
dalam pasal 18, 19, 20, dan 21 dari Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah yang ditetapkan Presiden Joko Widodo
pada 6 September 2019 dan diundangkan pada 12 September 2019.
Meskipun sudah diperkuat dengan Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan, tindakan konversi lahan juga masih kerap sering
ditemui, kendala-kendala yang dihadapi dalam mengaasi masalah ini antara lain
kurangnya koordinasi kebijakan, kendala pada pelaksanaan kebijakan, dan
kendala konsistensi perencanaan. Pemerintah pusat telah meminimalisir konversi
lahan-lahan pertanian, tetapi izin untuk konversi lahan-lahan pertanian masih saja
diberikan oleh kepala-kepala daerah yang bertanggung jawab atas daerahnya
masing-masing. Tidak selarasnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
inilah yang menjadi kendala utama dalam mengatasi konvversi lahan pertanian.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, M. A. (2010). Implementasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Klaten


Dalam Program Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan Pada
Kawasan Pangan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Ilham, dkk. 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Bogor: IPB Press.
Iqbal M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Parsipasi Masyarakat. PASEKP: Vol. 5 No. 2 hlm 167-82.
https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/dampak-alih-fungsi-lahan-pertanian
Janah,R.dkk. 2017. Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Terhadap
Kehidupan Penduduk Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Vol.1 hlm
1.
Lestari, T. 2009. Dampak konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani.
Bogor: Intitut Pertanian Bogor.
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan
Implementasinya. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Nugroho, Iwan dan Rochin Bahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Persepsi
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Nugroho, R. 2017. public policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Retnowati. 2014. Upaya Pemerintah Mempertahankan Fungsi Lahan Tanah
Pertanian Dikabupaten Sragen Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan.
Fakultas Hukum, UNS.
Swastha, Basu dan Irawan. 2005. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Sudaryanto dan Hanim, Anifatul. 2002. Evaluasi Kesiapan UKM Menyongsong
Pasar Bebas Asean (AFTA): Analisis Perspektif dan Tinjauan Teoritis.
Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, Vol 1 No 2.
Winarno, B. 2014. Kebijakan publik: teori, proses, dan studi kasus: edisi dan
revisi terbaru: Center for Academic Publishing Service.

16

Anda mungkin juga menyukai