Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH PEMUPUKAN

PUPUK CAIR DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottoni, Sargassum sp. DAN
Gracilaria sp. MENGGUNAKAN PROSES PENGOMPOSAN

Yang dibimbing oleh : Ir. Kusriani, MP

MIFTA ARRAIYAN
HERLILIAN DUTA
NICO RAHMAN CAESAR
NOVIAN ADE SAYITNA
SATRIO SANDI PAMUNGKAS
AHMAD AFANDY
VAVA ARDHIKA HERMAWAN

125080101111074
125080107111002
125080101111030
125080101111036
125080101111062
125080107111016
125080107111008

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................2
1.1 Latar Belakang..........................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................4
1.3 Tujuan.......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
2.1 Pengertian Pupuk Organik dan Pupuk Anorganik......................................6
2.2 Pupuk Organik Cair.................................................................................10
2.3

Metode Pembuatan Pupuk Organik Rumput laut....................................11

2.4 Peranan Pupuk Cair dari Rumput Laut....................................................11


2.5 Kandungan Pupuk Cair dari Rumput Laut...............................................12
2.6 Cara Pembuatan Pupuk Cair Rumput Laut.............................................13
2.7 Keunggulan dan Kekurangan Penggunaan Pupuk Cair..........................15
2.7.1 Kelebihan menggunakan pupuk cair dari rumput laut eucheuma
cottonii, sargassum sp. dan gracilaria sp..............................................15
2.7.2 Kekurangan menggunakan pupuk cair dari rumput laut eucheuma
cottonii, sargassum sp. dan gracilaria sp..............................................16
BAB III PENUTUP............................................................................................17
3.1 Kesimpulan.............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara penghasil rumput laut terbesar di
dunia. Pada tahun 2012, produksi rumput laut budi daya Indonesia mencapai 5,9
juta ton, meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 2008 yang sebesar 2,1 juta
ton. Rumput laut itu sendiri dapat dihasilkan dari budi daya di laut (seperti jenis
Eucheuma sp. dan Kappaphycus sp.) dan tambak (seperti jenis Gracilaria sp).
Lokasi budi daya rumput laut pun banyak tersebar di daerah tengah dan timur
Indonesia, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa
Tenggara Timur (NTT), Bali, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Maluku, Jawa Timur, dan Banten. Pemanfaatan rumput laut di dalam negeri
hingga saat ini masih terbatas sebagai produk pangan, produk semi-jadi, serta
beberapa produk kosmetik, sedangkan penggunaan rumput laut untuk bidang
pertanian dan perikanan masih belum banyak dilakukan, yang paling potensial
adalah menggunakan rumput laut sebagai pupuk organik.
Permintaan akan pupuk organik di dalam negeri semakin bertambah.
Peningkatan permintaan akan pupuk organik tidak lepas dari tumbuhnya
kesadaran masyarakat akan bahaya penggunaan pupuk kima terhadap
kesehatan dan keberlanjutan pembudidayaan. Beberapa dampak yang dapat
diakibatkan penggunaan pupuk kimia pada jangka panjang antara lain zat hara
yang terkandung dalam tanah menjadi diikat oleh molekul-molekul kimiawi dari
pupuk sehingga proses regenerasi humus tak dapat dilakukan lagi. Akibatnya
ketahanan tanah ataudaya dukung tanah dalam memproduksi menjadi kurang
hingga nantinya tandus. Tak hanya itu penggunaan pupuk kimiawi secara terusmenerus menjadikan menguatnya resistensi hama akan suatu pestisida
pertanian. Masalah lain adalah penggunaan Urea biasanya sangat boros.
Selama pemupukan Nitrogen dengan urea tidak pernah maksimal karena

kandungan nitrogen pada urea hanya sekitar 40-60% saja. Jumlah yang hilang
mencapai 50% disebabkan oleh penguapan, pencucian (leaching) serta terbawa
air hujan (run off). Efek lain dari penggunaan pupuk kimia juga mengurangi dan
menekan populasi mikroorganisme tanah yang bermanfaat bagi tanah yang
sangat bermanfaat bagi tanaman.
Untuk saat ini suplai pupuk organik sebagian besar berasal dari kotoran
ternah ataupun pupuk kompos dari daun-daunan. Akan tetapi di negara-negara
lain di dunia rumput laut digunakan sebagai bahan utama pembuatan pupuk
organik untuk tanaman pertanian, seperti berbagai jenis atau bentuk preparasi
rumput laut diantaranya liquid seaweed fertilizer (LSF), seaweed liquid fertilizer
(SLF), liquid fertilizer (LF), dan chopped powdered algal manure yang umum
beredar di pasaran. Berdasarkan hasil uji antara pupuk rumput laut baik padat,
cair, maupun campuran keduanya dengan urea diketahui kondisi tanaman
menggunakan pupuk rumput laut lebih subur. Dalam uji coba penyemprotan
pupuk rumput laut dilakukan dua kali selama masa tanam. Secara umum,
tanaman yang diberi pupuk rumput laut menghasilkan batang lebih besar dan
tegak, urat daun terasa kasar, batang tidak mudah patah, dan daun berwarna
hijau serta tidak mudah sobek. Sedangkan tanaman yang disiangi pupuk urea
memiliki batang yang mudah rebah dan patah, daun berwarna hijau tua, urat
daun terasa halus, serta mudah sobek.
Pemanfaatan rumput laut sebagai pupuk atau bahan tambahan pupuk
diharapkan dapat menjadi alternatif pemecahan permasalahan lingkungan
karena aman bagi mikroba tanah maupun tanaman dan juga meningkatkan nilai
ekonomi rumput laut di Indonesia. Beberapa metode pembuatan pupuk cair
rumput laut telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah ekstraksi cairan
rumput laut segar secara fisik, maupun ekstraksi dengan mengunakan alkali.

Dengan metode tersebut, kandungan senyawa HPT dan unsur hara pupuk cair
yang didapatkan masih belum optimal. Pada penelitian ini pembuatan pupuk cair
rumput laut dari beberapa jenis rumput laut dilakukan dengan cara pengomposan
untuk mendapatkan pupuk cair yang memiliki kandungan HPT yang tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dapat ditentukan rumusan masalah,
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pupuk organik dan pupuk anorganik ?
2. Bagaimana proses pembuatan pupuk organik berbahan dasar rumput laut
menggunakan metode pengomposan ?
3. Berapa besar kandungan hormon pemacu pertumbuhan yang dihasilkan dari
proses pengomposan rumput laut ?
4. Apa saja kandungan unsur mikro maupun makro yang terdapat dalam pupuk
5.

cair rumput laut ?


Bagaimana tingkat efektivitas pupuk rumput laut dalam meningkatkan laju
pertumbuhan tanaman atau alga ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah dengan tema pemupukan ini, antara lain :
1. Mengetahui definisi, perbedaan dan keunggulan dari pupuk organik dan
anorganik.
2. Mengetahui alur pembuatan pupuk cair berbahan dasar rumput laut melalui
metode pengomposan.
3. Mengetahui besarnya hormon pertumbuhan yang dapat dihasilkan metode
pengomposan terhadap pembuatan pupuk dair berbahan dasar rumput laut.
4. Mengetahui unsur makro dan mikro yang terkandung didalam pupuk cair
berbahan dasar rumput laut.
5. Mengetahui efektivitas penggunaan pupuk cair berbahan dasar rumput laut
terhadap pertumbuhan tanaman dan alga.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pupuk Organik dan Pupuk Anorganik


Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau
tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga
mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik
ataupun

non-organik

(mineral).

Pupuk

berbeda

dari

suplemen.

Pupuk

mengandung bahan baku yang diperlukan pertumbuhan dan perkembangan

tanaman, sementara suplemen seperti hormon tumbuhan membantu kelancaran


proses metabolisme. Meskipun demikian, ke dalam pupuk, khususnya pupuk
buatan, dapat ditambahkan sejumlah material suplemen. Dalam pemberian
pupuk perlu diperhatikan kebutuhan tumbuhan tersebut, agar tumbuhan tidak
mendapat terlalu banyak zat makanan. Terlalu sedikit atau terlalu banyak zat
makanan dapat berbahaya bagi tumbuhan. Pupuk dapat diberikan lewat tanah
ataupun disemprotkan ke daun.
Berdasarkan
dibedakan

sumber

bahan

yang

digunakan,

pupuk

dapat

menjadi pupuk anorganik dan pupuk organik. Pupuk anorganik

adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral dan telah diubah melalui
proses produksi dipabrik sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah
diserap tanaman. Sementara itu, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat
dari bahan organik atau makhluk hidup yang
ini

akan

mengalami

telah

mati.

pembusukan oleh mikroorganisme

Bahan

organik

sehingga

sifat

fisiknya akan berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk
lengkap karena kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur
mengandung

unsur

mikro.

Jika

dilihat

dari

bentuknya,

pupuk

dan
organik

dibedakan menjadi dua, yakni pupuk organik padat dan cair.


Dilihat dari sumber pembuatannya, terdapat dua kelompok besar pupuk:
pupuk organik atau pupuk alami (misal pupuk kandang dan kompos) dan pupuk
kimia atau pupuk buatan. Pupuk organik mencakup semua bahan yang
dihasilkan dari makhluk hidup dan bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman,
seperti kotoran hewan, kotoran cacing, kompos, rumput laut, guano, dan bubuk
tulang. Kotoran hewan merupakan limbah yang seringkali menjadi masalah
lingkungan, sehingga penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk dapat
menguntungkan

secara

lingkungan

dan

pertanian.

Tulang

hewan

sisa

penyembelihan hewan bisa dijadikan bubuk tulang yang kaya kandungan fosfat.
Pupuk organik

diketahui mampu

meningkatkan

keanekaragaman

hayati

pertanian dan produktivitas tanah secara jangka panjang. Pupuk organik juga
dapat menjadi sarana sekuestrasi karbon ke tanah. Nutrisi organik meningkatkan
keanekaragaman hayati tanah dengan menyediakan bahan organik dan nutrisi
mikro bagi organisme penghuni tanah seperti jamur mikoriza yang membantu
tanaman menyerap nutrisi, dan dapat mengurangi input pupuk. Pupuk organik
merupakan pupuk yang bersifat kompleks karena ketersediaan senyawa yang
ada pada pupuk tidak berupa unsur ataupun molekul sederhana yang dapat
diserap oleh tanah secara langsung. Kadar nutrisi yang tersedia sangat
bervariasi dan tidak dalam bentuk yang tersedia secara angsung bagi tanaman
sehingga membutuhkan waktu lama untuk diserap oleh tanaman. Beberapa
limbah yang dikomposkan, jika tidak diolah secara tepat, dapat menjadi sarana
pertumbuhan patogen yang merugikan tanaman.
Beberapa kendala penggunaan pupuk organik apabila dibandingkan
dengan pupuk anorganik, antara lain Kadar nutrisi, tingkat kelarutan, dan laju
pelepasan nutrisi pupuk organik umumnya lebih rendah dibandingkan pupuk
anorganik. Secara umum, keberadaan nutrisi pada pupuk organik lebih terlarut
ke antara molekul tanah, namun juga tidak lebih tersedia dalam wujud yang bisa
dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman. Berdasarkan studi dari Universitas
California, semua pupuk organik diklasifikasikan sebagai pupuk dengan laju
pelepasan yang lambat (slow release fertliizer) sehingga tidak menyebabkan
memar (burn) pada tanaman meski kadar nitrogen pada pupuk organik berlebih.
Gejala burn merupakan gejala umum yang ditemukan pada tanaman ketika
pemberian pupuk kimia dilakukan secara berlebihan. Kualitas pupuk organik dari
kompos dan sumber lainnya dapat bervariasi dari satu proses produksi ke proses

produksi berikutnya. Tanpa pengujian secara sampling terlebih dahulu, tingkat


nutrisi yang akan diterima tanaman tidak bisa diketahui secara pasti.
Pupuk anorganik merupakan pupuk yang sengaja dibuat melalui proses
pabrikasi dengan kandungan dan unsur tertentu yang ditentukan oleh manusia.
Secara umum, tumbuhan hanya menyerap nutrisi yang diperlukan jika terdapat
dalam bentuk senyawa kimia yang mudah terlarut. Nutrisi dari pupuk organik
hanya dilepaskan ke tanah melalui pelapukan yang dapat memakan waktu lama.
Pupuk anorganik memberikan nutrisi yang langsung terlarut ke tanah dan siap
diserap tumbuhan tanpa memerlukan proses pelapukan. Tiga senyawa utama
dalam pupuk anorganik yaitu nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Kandungan
NPK dihitung dengan pemeringkatan NPK yang memberikan label keterangan
jumlah nutrisi pada suatu produk pupuk anorganik. Nutrisi NPK yang siap diserap
oleh tanaman pada pupuk anorganik mencapai 64%, jauh lebih tinggi
dibandingkan pupuk organik yang hanya menyediakan di bawah 1% dari berat
pupuk yang diberikan. Inilah yang menyebabkan mengapa pupuk organik harus
diberikan dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan pupuk anorganik.
Pupuk anorganik digunakan di semua jenis tanaman pertanian dengan
jumlah pemberian bergantung pada jenis tanaman dan tingkat kesuburan tanah
saat ini. Misal tanaman pertanian jenis legum (seperti kedelai) tidak
membutuhkan pupuk nitrogen anorganik sebanyak tanaman lain karena mampu
mengikat nitrogen. Namun penerapan pupuk anorganik berlebih mampu
menyebabkan peningkatan keasaman tanah karena mineral yang tidak
dimanfaatkan mampu bereaksi dengan air yang ada di tanah membentuk
senyawa asam. Untuk mencegah hal ini, status nutrisi dari tanaman dan tanah
perlu dinilai sebelum penerapan pupuk anorganik.

Bahaya penggunaan pupuk anorganik, antara lain Pembilasan pupuk


nitrogen dari kawasan pertanian mampu mencemari air tanah. Penggunaan
amonium nitrat anorganik secara umum bersifat membahayakan air tanah
karena tanaman lebih mudah menyerap ion amonium dibandingkan ion nitrat
untuk mendapatkan nitrogen, sehingga ion nitrat yang berlebih tersebut akan
terbilas dan mencemari air tanah. Kadar nitrat di atas 10 miligram per liter (10
ppm) pada air tanah mampu menyebabkan sindrom bayi biru. Petani secara
tidak sadar menjadi "kecanduan" pupuk anorganik karena penggunaan pupuk
anorganik secara jangka panjang mematikan organisme tanah yang bermanfaat
sehingga penyediaan nutrisi secara organik tidak akan secepat tanah biasa.
Organisme tanah seperti mikoriza, fungi, dan berbagai bakteri mampu
menguraikan senyawa organik. Ketidakseimbangan nutrisi tanah akibat pupuk
anorganik mematikan sebagian besar organisme tanah dan menyebabkan
peningkatan keasaman tanah. Berbagai pupuk anorganik tidak mengandung
unsur hara mikro karena dibuat dalam bentuk murni. Unsur hara mikro ini dapat
secara bertahap menghilang dari tanah karena diserap oleh tumbuhan.
Hilangnya unsur mikro telah dikaitkan dengan studi turunnya kandungan mineral
pada buah dan sayur yang dihasilkan suatu usaha tani.Di Australia, defisiensi
seng, tembaga, mangan, besi, dan molibden menjadi pembatas jumlah hasil
pertanian dan peternakan yang dihasilkan pada tahun 1940 sampai 1950an.
Sejak kejadian ini, nutrisi hara mikro mulai ditambahkan pada produksi pupuk
anorganik. Berbagai tanah di seluruh dunia yang kekurangan nutrisi seng terkait
pula dengan defisiensi seng pada asupan nutrisi manusia yang hidup di
sekitarnya.

2.2 Pupuk Organik Cair


Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahanbahan organik
manusia

yang

berasal

dari

sisa

tanaman,

kotoran

hewan

dan

yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Kelebihan dari

pupuk organik ini adalah mampu mengatasi defisiensi hara secara cepat, tidak
bermasalah dalam pencucian hara, dan juga mampu menyediakan hara secara
cepat. Jika dibandingkan dengan

pupuk

anorganik, pupuk organik cair

umumnya tidak merusak tanah dan tanaman meskipun sudah digunakan


sesering mungkin. Selain itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat sehingga
larutan pupuk yang diberikan ke permukaan tanah bisa langsung dimanfaatkan
oleh tanaman. Dengan menggunakan pupuk organik cair dapat mengatasi
masalah lingkungan dan membantu menjawab kelangkaan dan mahalnya harga
pupuk anorganik saat ini.
Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak
beredar di pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui
daun atau disebut sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro
dan mikro esensial (N, P, K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik).
Pupuk organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah,
juga membantu meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk
tanaman, mengurangi

penggunaan pupuk anorganik dan sebagai alternatif

pengganti pupuk kandang.

2.3

Metode Pembuatan Pupuk Organik Rumput laut


Dalam pembuatan pupuk organik dapat menggunakan proses Odda atau

yang disebut juga dengan proses nitrofosfat. Bebatuan fosfat dengan kadar
fosfor hingga 20% dilarutkan ke asam nitrat untuk menghasilkan asam fosfat dan
kalsium nitrat. Bebatuan fosfat juga bisa diproses menjadi mineral P2O5 dengan

bantuan asam sulfat. Melalui tungku listrik, mineral fosfat juga bisa direduksi
menjadi fosfat murni, namun proses ini sangat mahal. Kalium secara komersial
dapat ditemukan di berbagai tempat mulai dari bebatuan di dalam bumi hingga
sedimen di dasar laut. Bebatuan yang mengandung kalium seringkali berada
dalam bentuk kalium klorida yang juga ditemukan bersamaan dengan mineral
natrium klorida. Bebatuan yang mengandung kalium ditambang dengan bantuan
air panas sehingga larut. Larutan ini diuapkan dengan bantuan sinar matahari.
Senyawa amina digunakan untuk memisahkan KCl dengan NaCl.
2.4 Peranan Pupuk Cair dari Rumput Laut
Pemberian pupuk cair rumput laut mempunyai peranan penting seperti
mencegah keracunan besi dan aluminium pada tanah-tanah yang bereaksi
masam serta dapat meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah,
peningkatan kadar humus di dalam tanah akan meningkatkan kapasitas tukar
kation (KTK). Hal ini sesuai dengan literatur Damanik et al., (2010) yang
menyatakan bahwa pemberian pupuk organik bukanlah bertujuan untuk
menambah unsur hara, karena kandungan haranya rendah, tapi bila ditinjau dari
pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah, pupuk organik mempunyai peranan
yang penting seperti peningkatan kadar humus di dalam tanah akan
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), meningkatkan ketersediaan fosfat di
dalam tanah dan dapat mencegah keracunan besi dan aluminium pada tanahtanah yang bereaksi masam.
Fermentasi pupuk cair rumput laut menghasilkan asam-asam organik
yang menghasilkan anion organik yang dapat mengikat logam-logam seperti Al,
Fe, dan Ca sehingga ion-ion akan bebas dari pengikatan logam tersebut
sehingga fosfat tersedia di dalam tanah. Anonim (2010) menyatakan bahwa
pupuk organik tidak hanya memiliki kandungan hara lengkap yang dibutuhkan

oleh tanaman tetapi juga mengandung senyawa-senyawa organik lain seperti


asam humik dan asam fulvik yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
dan meningkatkan populasi mikroba yang bermanfaat di dalam tanah.
Pemberian konsentrasi pupuk cair rumput laut terhadap bobot basah akar
tanaman. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh pemberian tingkat dosis
pupuk cair rumput laut membantu pertumbuhan tanaman dan perakaran
tanaman aktif bergerak mencari sumber hara di dalam tanah. Menurut Foth
(1994), bahwa pemberian pupuk organik juga mampu memperbaiki struktur
tanah, membuat agregat atau butiran tanah menjadi besar atau mampu
menahan air sehingga aerase di dalamnya menjadi lancar dan dapat
meningkatkan perkembangan akar.

2.5 Kandungan Pupuk Cair dari Rumput Laut


Rumput laut mengandung komponen mineral makro, seperti kalsium,
mangan dan potasium, serta mineral mikro, seperti zink, besi, cobalt,
molibdate,dan boron, yang berasal dari laut (Jensen, 1993 dalam Jimenez-Escrig
& Goni, 1999).
Jumlah unsur hara makro pupuk cair rumput laut hasil pengomposan,
meliputi N-organik, P2O5, dan K2O,memiliki nilai yang rendah. Demikian halnya
dengan kandungan unsur hara mikronya. Hal serupa juga ditemukan pada pupuk
organik rumput laut Sargassum spp. yang dilaporkan oleh Win & Saing (2008).
Pupuk tersebut mengandung nilai total N sebesar 0,03%, P2O5= 0,04%, dan K2O
= 0,14%. Demikian juga nitrogen total yang ditemukan pada rumput laut jenis
Ulva sp. dan Posidonia oceanica masing-masing hanya sebesar 0,68 dan 0,80%
(Han et al., 2014). Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1)
karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air, 2)
protein menjadi amonia, CO2 dan air, 3) penguraian senyawa organik menjadi

senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar


karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut (amonia)
meningkat (Indriani, 2004).
Rumput laut yang memiliki komponen utama polisakarida memiliki
kandungan karbon yang tinggi, sedangkan unsur nitrogen sangat rendah. Chang
dan Hsu (2008) melaporkan bahwa lama waktu pengomposan dan jumlah
akumulasi CO2 dipengaruhi secara linier oleh nilai rasio C/N awal material,
dimana nilai rasio C/N yang lebih tinggi akan menyebabkan waktu pengomposan
yang lebih lama. Sedangkan Leconte et al. (2009) menyatakan bahwa unsur
nitrogen sangat terbatas dalam material kompos yang memiliki rasio C/N yang
tinggi (lebih besar dari 100). Selain itu, kandungan garam yang masih tersisa
serta bahan bioaktif pada rumput laut yang terkandung juga dapat menyebabkan
terhambatnya aktifitas bakteri saat proses penguraian bahan organik

2.6 Cara Pembuatan Pupuk Cair Rumput Laut


Metode pembuatan pupuk cair rumput laut sudah dilakukan sebelumnya,
diantaranya adalah ekstraksi cairan rumput laut segar secara fisik, maupun
ekstraksi dengan mengunakan alkali (Basmal, 2010; Sedayu et al., 2013).
Dengan metode tersebut, kandungan senyawa HPT dan unsur hara. Pupuk cair
yang didapatkan masih belum optimal.

Rumput laut segar, Eucheuma cottonii, Sargassum sp. dan Gracilaria sp.,
yang diperoleh dari perairan Jepara-Jawa Tengah dibawa ke laboratorium tempat
pengolahan pupuk dengan menggunakan karung goni (transportasi kering),
dengan waktu tempuh 4 jam. Rumput laut kemudian dicuci bersih
menggunakan air tanah untuk menghilangkan lumpur, pasir, garam, cangkang
kerang, serta kotoran yang menempel pada talus. Setelah dicuci, rumput laut

dicacah secara manual dengan ukuran 5 cm lalu digiling hingga lumat, kecuali
untuk Sargassum sp. hanya dicacah saja,kemudian masing- masing rumput laut
dimasukkan kedalam drum komposter yang terbuat dari bahan plastik. Untuk
mempercepat proses penguraian digunakan starter bakteri komersial, EM4 dari
PT. Songgolangit Persada, yang mengandung bakteri fermentasi Lactobacillus,
Actinomycetes, jenis jamur fermentasi, serta kandungan lainnya. Bakteri
komersial EM4 yang telah diencerkan dalam air m enjadi 2% larutan,
disemprotkan ke masing-masing rumput laut sambil diaduk hingga merata ke
seluruh permukaan ( 200 ml larutan untuk 10 kg rumput laut). Selain itu,
ditambahkan juga ikan rucah yang telah digiling, terdiri dari campuran ikan kurisi
(Nemitarus

nematophorus)

dan

kuniran

(Upeneus

sulphureus),

dengan

perbandingan rumput laut:ikan rucah adalah 5:1 (w/ w). Hancuran ikan rucah
digunakan sebagai media nutrisi untuk penguraian dan sekaligus untuk
meningkatkan kandungan hara pupuk yang dihasilkan. Jumlah seluruh bahanbahan yang dimasukkan 3/4 volume drum komposter. Selanjutnya komposter
ditutup rapat, lalu didiamkan selama 30 hari sampai menghasilkan pupuk organik
cair (lindi).

2.7 Keunggulan dan Kekurangan Penggunaan Pupuk Cair


2.7.1 Kelebihan menggunakan pupuk cair dari rumput laut eucheuma
cottonii, sargassum sp. dan gracilaria sp
Di indonesia, rumput laut cokelat jenis Sargassum spmulai banyak dicari
oleh industry pengolahan pupuk organik, salah satunya oleh perusahaan pupuk
Cina. Penggunaan jenis pupuk organik akhir-akhir ini terus meningkat
disebabkan oleh dampak negative terhadap ekosistem pertanian yang timbul
akibat meningkatnya intensitas pemakaian pupuk kimia dari waktu ke waktu.
Pupuk kimia relatif lebih mudah didapatkan di pasaran namun demikian
harganya relatif mahal (Dewanto et al., 2013) dan kurang ramah lingkungan.
Penggunaan pupuk kimia terbukti telah menimbulkan masalah serius, antara lain
pencemaran

tanah

dan

air, penurunan

tingkat

kesuburan

tanah,

dan

ketergantungan petani secara ekonomi dan social (Udiyani & Setiawan, 2003).
Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga memiliki dampak berbahaya terhadap
kesehatan manusia (Camargo & Alonso,2006).
Pemberian pupuk organik mampu memperbaiki sifat-sifat tanah seperti
sifat fisik, kimia dan biologi. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas,
sumber hara tanaman, dan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah.
Selain itu penggunaan pupuk organik juga dinilai mampu mengurangi aplikasi
pupuk anorganik yang berlebihan (Amilia, 2011).
Rumput laut sesungguhnya telah lama digunakan secara langsung
sebagai kondisioner tanah maupun pupuk di berbagai wilayah pesisir di dunia
(Haslam & Hopkins, 1996; Cocozza et al., 2011), dan ekstrak rumput laut juga
telah banyak dipasarkan sebagai bahan tambahan pada pupuk tanaman yang
manfaat serta keuntungan penggunaannya telah banyak dilaporkan (Fornes et
al., 2002; Padhi dan Swain, 2006; Sivansankari et al., 2006; Prithiviraj, 2009;
Sedayu et al., 2013).

Selain banyak mengandung mineral-mineral penting dari laut yang


dibutuhkan oleh tanaman, rumput laut juga memiliki kandungan hormon pemacu
tumbuh yang telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman
maupun hasil panen (Fornes et al., 2002; Padhi & Swain, 2006; Sivansankari et
al., 2006; Prithiviraj, 2009).
Tidak seperti halnya pupuk kimia, ekstrak yang terbuat dari rumput laut
dapat terdegradasi secara alami, tidak beracun, tidak mengkontaminasi, dan
aman terhadap manusia dan hewan (Dhargalkar & Pereira, 2005). Pemanfaatan
rumput laut sebagai pupuk atau bahan tambahan pupuk diharapkan dapat
menjadi alternatif pemecahan permasalahan lingkungan karena aman bagi
mikroba tanah maupun tanaman dan juga meningkatkan nilai ekonomi rumput
laut di Indonesia.

2.7.2 Kekurangan menggunakan pupuk cair dari rumput laut eucheuma


cottonii, sargassum sp. dan gracilaria sp
Pupuk organic memiliki unsur hara yang lebih lengkap di banding dengan
pupuk buatan pabrik, namun kandungan hara tersebut rendah. Tidak ada pupuk
organic yang memiliki kandungan hara tinggi atau menyamai pupuk kimia.
Akibatnya kebutuhan pupuk organic jadi berlipat lipat di bandingkan dengan
dosis pupuk kimia.
.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pupuk organik cair rumput laut yang dihasilkan dengan teknik
pengomposan semi anaerobik memiliki kandungan hormon pemacu tumbuh
(auksin, giberelin, dan sitokinin) yang tinggi, dan bahkan lebih tinggi
dibandingkan dengan pupuk cair komersial. Kandungan tertinggi dari senyawa
tersebut berturut-turut didapatkan dari rumput laut yang berasal dari E.cottonii,
Gracilaria sp. dan Sargassum sp. Namun unsur hara makro (N, P2O5, K2O) dan

mikro (Mn, Zn, Fe, Mo, Co, dan B) yang terkandung masih sangat rendah.Selain
itu, pupuk cair yang dihasilkan juga
masih berbau. Oleh karena itu masih dibutuhkan penambahan bahan lainnya
untuk meningkatkan unsur hara pupuk, serta menyempurnakan teknik dan
proses pengomposan termasuk parameter pengamatannya hingga didapatkan
pupuk organik cair yang telah matang atau stabil. Pupuk cair rumput laut ini juga
mampu
meningkatkan atau mempercepat pertumbuhan tanaman terung dan tomat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2010. Rumput laut (http : //tentang rumput laut. com/ 2010/12). Diakses
pada tanggal 8 Februari 2012.
Basmal, J. (2010). Teknologi pembuatan pupuk organic cair kombinasi hidrolisat
rumput laut Sargassum sp. dan limbah ikan. Squalen. 5(2): 5966.
Chang, J.I. & Hsu, T.E. (2008). Effects of compositions on food waste
composting. Bioresource Technology 99: 80688074.
Damanik, M.M.B., B.E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin., H. Hanum.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press.

2010.

Foth, H. D., 1994. Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan: Adisoemarto. Erlangga,


Jakarta.
Han, W., Clarke, W., dan Pratt, S. (2014). Composting of waste algae: A review.
Waste
Management.
p.
18.
http://dx.doi.org/10.1016/j.wasman.2014.01.019.
Diakses
pada
tanggal 20 Agustus 2014.
Indriani, Y.H. (2004). Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta
Jimenez-Escrig, A. & Goni, C.I. (1999). Nutritional evaluation and physio logical
effects of edible seaweeds. Archivos Latinoamericanos de Nutrition
49: 114120.
Leconte, M.C., Mazzarino, M.J., Satti, P., Iglesias, M.C., &
Laos, F. (2009). Cocomposting rice hulls and/or
sawdust with poultry manure in NE Argentina. Waste Management.
(Oxford)29: 24462453.
Sedayu, B.B., Basmal, J. & Utomo, B.S.B. (2013). Identifikasi hormon pemacu
tumbuh ekstrak cairan (sap) Eucheuma cottonii. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 8(1): 18.

Anda mungkin juga menyukai