Anda di halaman 1dari 6

Bab 43 Hernia Diafragmatika Kongenital

PENDAHULUAN

Hernia diafragmatika kongenital (CDH) merupakan suatu malformasi yang sering

terjadi, ditandai dengan defek pada diafragma posterolateral, foramen Bochdalek,

di mana visera abdomen bermigrasi ke toraks selama kehidupan janin. Studi

berbasis populasi telah melaporkan prevalensi CDH antara 1 dalam 2500 dan 1

dalam 3000 kelahiran hidup. Sebuah studi terbaru melaporkan prevalensi CDH di

Eropa menjadi 2,3 per 10.000 kelahiran untuk semua kasus dan 1,6 per 10.000

kelahiran untuk kasus yang terisolasi. Sekitar 80% kasus CDH memiliki posisi

pada sisi kiri, 15% sisi kanan, dan kurang dari 5% bilateral. Ukuran defek

bervariasi dari kecil (2 atau 3 cm) hingga besar, yang melibatkan sebagian besar

hemidiafragma. Komite internasional Kelompok Studi Hernia Diafragma

Kongenital (Kelompok Studi CDH), baru-baru ini membuat sistem pelaporan

standar empat tingkat (A sampai D) untuk CDH6: Cacat A sepenuhnya dikelilingi

oleh otot. Cacat B memiliki cacat yang berukuran kecil dan cacat C sebagian

besar dinding dada tanpa jaringan diafragma. Cacat D muncul dengan tidak

adanya diafragma lengkap atau hampir lengkap. Ukuran defek diafragma dan juga

potensi anomali jantung yang berat terbukti memperburuk hasil. Meskipun ada

kemajuan dalam resusitasi neonatus dan perawatan intensif, bayi baru lahir

dengan CDH tetap memiliki angka kematian yang tinggi. Angka kelangsungan

hidup saat ini dalam studi berbasis populasi adalah sekitar 55%-80%. Pusat yang

sangat terspesialisasi melaporkan kelangsungan hidup hingga 90% tetapi

1
mengabaikan mortalitas yang tersembunyi, terutama pada periode antenatal.

Mortalitas dan morbiditas yang tinggi pada CDH terutama disebabkan oleh

hipoplasia paru dan hipertensi pulmonal persisten.

EMBRIOGENESIS

Etiologi CDH masih belum dipahami dengan jelas. Meskipun umumnya dianggap

sporadis, terdapat laporan tentang aberasi kromosom yang diketahui dan

pewarisan resesif autosomal dari asal kromosom yang tidak diketahui.

Embriogenesis CDH telah digambarkan sebagai kegagalan kanal pleuroperitoneal

pada bagian posterolateral diafragma yang menyatu selama minggu kehamilan 8.

Akibatnya, viscera abdomen termasuk liver dan usus bermigrasi ke toraks, yang

diduga menyebabkan hipoplasia paru dengan menekan paru-paru yang sedang

tumbuh. Hipoplasia paru terkait dengan CDH meluas ke semua aspek paru-paru,

menghasilkan lebih sedikit alveoli, penebalan dinding alveolar, peningkatan

jaringan interstisial, serta sangat berkurangnya alveolar air space dan area

pertukaran gas. Sejalan dengan perubahan jalan napas, vaskularisasi paru

abnormal dengan berkurangnya jumlah pembuluh darah, penebalan adventisia,

hiperplasia medial, dan perluasan perifer lapisan otot ke arteriol intra-asiner yang

lebih kecil. Morfologi paru-paru CDH selanjutnya memiliki penampilan yang

imatur. Paru-paru ipsilateral merupakan bagian yang paling sering terlibat, tetapi

perubahan biasanya meluas ke paru kontralateral juga.

Studi eksperimental telah menyarankan bahwa pandangan klasik

embriogenesis CDH mungkin harus direvisi. Model nitrofen toksikologi CDH

2
telah menunjukkan bahwa kelainan pada paru kontralateral serta sisi ipsilateral

bahkan muncul sebelum diafragma mulai berkembang. Keijzer dkk., mengusulkan

hipotesis dual-hit yang menjelaskan pengamatan pada hipoplasia paru dalam

model ini. Hipotesis ini mengusulkan bahwa keterbelakangan awal perkembangan

paru yang terjadi sebelum perkembangan defek diafragma disebabkan oleh

nitrofen, sedangkan peningkatan hipoplasia paru pada akhir kehamilan disebabkan

oleh kompresi mekanis dari hernia visera. Klut dkk., mengamati bahwa kanal

pleuroperitoneal tidak cukup lebar untuk memungkinkan herniasi usus pada tikus.

Beberapa kelompok telah menunjukkan ekspresi gen/protein yang menyimpang

dari faktor pertumbuhan dan faktor transkripsi yang berbeda dalam model

eksperimental serta pada pasien dengan CDH. Jalur pensinyalan retinoid dan juga

faktor transkripsi COUP 2 target hilirnya (COUP-TFII) telah terbukti terganggu

dalam model nitrofen CDH. Beurskens dkk., melaporkan tingkat retinol tali pusat

dan protein pengikat retinol yang secara signifikan lebih rendah pada neonatus

dengan CDH. Tikus yang kekurangan vitamin A menunjukkan hipoplasia paru

dengan CDH. Selanjutnya, paru-paru dalam model eksperimental CDH

menunjukkan respons terhadap asam retinoat yang berbeda dari paru-paru normal.

Lebih lanjut, pengobatan asam retinoat (RA) prenatal telah terbukti meningkatkan

tingkat ekspresi paru dari gen yang terlibat dalam morfogenesis paru-paru di paru

hipoplastik yang diinduksi nitrofen. Meskipun penggunaan RA prenatal masih

kontroversial, data eksperimental ini menunjukkan bahwa pengobatan RA

prenatal mungkin memiliki potensi terapeutik untuk mengembalikan hipoplasia

paru yang terkait dengan CDH.

3
Model knockout pada Wt1, Shh, Slit3,30 Gli2/Gl3, Gata4/Gata6, Fog2,

Pdgfrα, COUP-TFII, dan reseptor asam retinoat (RAR) menunjukkan hernia

diafragma. Sejauh ini, hanya mutasi Fog2 dan WT1 yang telah diidentifikasi pada

pasien manusia dengan CDH.

PATOFISIOLOGI

Onset dan derajat keparahan gejala tergantung pada jumlah visera abdomen di

dada dan derajat hipoplasia paru. Setelah lahir, bayi dengan derajat berat biasanya

mengalami gangguan pernapasan (sianosis, takipnea, dan resesi sternal) saat lahir.

Meskipun penyebab utama dari kondisi tersebut adalah hipoplasia paru, hipoksia

dan hiperkarbia yang selanjutnya akan mengakibatkan vasokonstriksi paru dan

hipertensi pulmonal. Kondisi ini pada gilirannya akan menyebabkan pembalikan

pirau kanan-ke-kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale, sehingga bayi

akan memasuki lingkaran setan yang terus berlanjut.

Beberapa faktor telah diketahui berkontribusi terhadap hipertensi

pulmonal berat pada CDH. Pembuluh darah paru abnormal, dengan peningkatan

muskularisasi arteriol dengan cara yang mirip dengan bayi dengan idiopathic

persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN). Selain itu, ditemukan

peningkatan ketebalan media serta adventitia arteri dari semua ukuran.

Selanjutnya, zat vasoaktif seperti endotelin-1 tampaknya meningkat pada bayi

dengan CDH. Kobayashi dan Puri menemukan peningkatan kadar endotelin

darah, serta peningkatan ekspresi endotelin-1 dalam sel endotel di pembuluh darah

paru. Endotelin-1 menyebabkan vasokonstriksi paru dengan mengikat reseptor

4
endotelin A (ETA). Reseptor ETA muncul dimanapun terutama sel otot polos

pembuluh darah paru, dan peningkatan kadar endotelin-1 yang dapat

mempengaruhi vasokonstriksi paru.

Hipoksia dan hiperkarbia dapat lebih diperberat oleh imaturitas yang

dilaporkan dari sistem surfaktan pada hewan percobaan dan bayi dengan CDH.

Namun, hingga sampai saat ini belum ada studi yang dapat memastikan defisiensi

ini, dan telah dipostulasikan bahwa defisiensi surfaktan mungkin sebenarnya

akibat gagal napas sekunder, daripada disebabkan defisiensi primer.

Baru-baru ini, Fleck dkk., melaporkan bahwa pasien dengan CDH

menunjukkan sinyal proinflamasi dan kemotaktik dalam darah janin pada saat

kelahiran. Penulis mengemukakan bahwa sinyal molekuler ini menyebabkan

perubahan vaskular yang mengakibatkan hipertensi pulmonal pada pasien ini.

DIAGNOSIS

CDH dapat didiagnosis secara prenatal dengan menggunakan ultrasonografi pada

sekitar 20 minggu kehamilan. Diafragma dapat divisualisasikan, dan apabila

diafragma tidak ada maka secara tidak langsung ditunjukkan oleh adanya visera

abdomen intratoraks dan kompresi organ thoraks. Sebuah fitur penting yang harus

dicari adalah keberadaan liver pada thoraks, jika perlu menggunakan Doppler

vena umbilikalis dan pembuluh hepatis.

Diagnosis banding dengan patologi intratoraks lainnya yaitu congenital

cystic adenomatoid malformation (CCAM), sekuestrasi bronkopulmoner,

eventrasi diafragma, dan kista bronkogenik. Kondisi ini juga sangat penting untuk

5
eksklusi adanya anomali lain, termasuk neural tube defect, malformasi jantung,

dan aberasi kromosom. Sebuah studi terbaru menunjukkan prevalensi kelainan

bawaan tambahan pada 50% pasien CDH. Aberasi kromosom ditemukan pada

5%-30%, dengan trisomi 21,18, dan 13 sebagai anomali yang paling sering

terjadi. Selanjutnya, perlu dinilai derajat hipoplasia paru. Munculnya liver pada

thoraks di sisi kiri menunjukkan hipoplasia paru berat. Rasio lung-to-head (LHR)

telah terbukti menjadi estimasi yang dapat diprediksi dari derajat hipoplasia paru.

Selain itu, volume paru-paru janin dan organ intratoraks dapat dikelompokkan

dengan magnetic resonance imaging (MRI).

Setelah lahir, CDH harus dicurigai pada bayi dengan gangguan pernapasan

berat saat lahir atau dalam beberapa jam pertama kehidupan. Pemeriksaan fisik

terdiri dari abdomen dengan bentuk skafoid, peningkatan diameter anteroposterior

toraks, dan pergeseran mediastinum. Suara nafas tidak ada pada sisi yang terkena.

Anomali kongenital terkait juga dapat terlihat pada pemeriksaan lebih lanjut.

Diagnosis definitif dibuat dengan radiografi polos toraks dan abdomen dengan

demonstrasi loop berisi udara dari usus di toraks dan kurangnya gas pada

abdomen (Gambar 43.1a,b). Terdapat pergeseran mediastinum ke sisi yang

berlawanan, dan hanya sebagian kecil paru yang dapat terlihat pada sisi ipsilateral.

Anda mungkin juga menyukai