Reg :
LAPORAN
PROGRAM PENELITIAN PENDIDIKAN
DAN KELEMBAGAAN ISLAM TAHUN 2010
Oleh:
1. Drs. Masrial, MA (Ketua)
2. Muhammad Nasir, MA (Anggota)
3. Drs. Jasril Nurdin (Pembantu Peneliti)
i
pesantren. (2) Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren mengalami
sistem ganda atau sistem terpadu antara program pondok pesantren dengan
madrasah Tsanawiyah dan Aliyah program Kementrian Agama. Ada dua
model yang diterapkan dalam sistem belajar, model klasikal dan model
halaqah untuk sebagian mata pelajaran pondok yang diasuh oleh kakak kelas
atau guru-guru yunior di asrama diluar jam pelajaran resmi. Dari enam
lembaga pesantren yang diteliti, lima pesantren dominan pendidikan madrasah
Tsanawiyah dan Aliyahnya dibanding dengan pendidikan pesantren, terkecuali
Pesantren Nurul Yaqim, karena sekolah tersebut memilih sistem shalafiyah. (3)
Ada beberapa problem pesantren dilihat dari segi mutu lulusan; pertama,
lulusan pesantren tidak mampulagi membaca kitab kuning yang merupakan
kebanggaa pesantren pada masa lalu, kedua, alumni pesantren tidak
mempunyai besik pegetahuan agama yang baik sebagai kader ulama yang
diharapkan tumbuh dari pesantren, dan ketika mereka tidak punya bekal
keterampilan untuk terjun kelapangan pekerjaan. Kurikulum madrasah hanya
sebatas untuk memberi peluang bagi lulusan pesanren yang mengikuti pola
madrasah untuk melanjutkan kesekolah umum yang sederajat atau masuk
perguruan tinggi. (4) Dari prolem yang temui ada langkah-langkah strategik
yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas lulusan santri yang siap
pakai: pertama, mempertegaskan kembali visi, misi dan tujuan lembaga
pendidikan pesantren untuk menentukan arah kedepan perjalanan proses
pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan saman, kedua, menyiapkan
serta meningkatkan sumberdaya tenaga pendidik dan kependidikan yang siap
pakai, ketiga, pembenahan menagemen dan administrasi kelembagaan dengan
menggunakan teknologi, keempat, melengkapi sarana dan prasarana
pendidikan dalam bentuk sistem asrama, dan kelima, pesantren tidak mesti lagi
mengandalkan pada semata kepemimpinan krismatik tunggal atau popularitas
syekh atau buya seperti masa lalu, akan tetapi pesantren tampil kerena
keunggulan sistem kelembagaan yang bangun. Sebab pewarisan pimpinan
krismatik di sistem pondok pesantren Sumatera Barat sudah menjadi kelangkaan,
tidak adanya buya-buya krismatik yang lahir dikalangan pondok sebagai pewaris
estafet kepemimpinan pondok.
ii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
Abstrak ……………………………………………………………………..… i
Kata Pengantar ……………………………………………………………….. iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………… v
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Rencana Strategik Pengembangan Pendidikan
Islam 2010-2014, Jakarta, 2009, hal. 3
1
seorang ulama, biasanya disebut “Kiyai”di Jawa atau “Syekh” di
Minangkabau. Sosok seorang kiyai pengasuh pesantren pada masa awal
mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya pengalaman, tokoh sentral
spiritual yang jadi rujukan masyarakat. Oleh karena itu kedudukan kiyai
sebagai sentral system nilai menjadi sangat efektif dalam pentransperan nilai-
nilai dan ilmu agama. Santri merupakan simbol sosial, dihormati dan
disegani oleh masyarakat sebagai perlambangan masyarakat yang terpelihara
akhlaknya.
Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren pada masa awalnya lebih
pada mendidik santri aga rmenjadi "insan kamil" dan sama sekali belum
menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kyai pengasuh
pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya
seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa
pengkajian kitab klasik ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya.
Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab
fiqh, jika kiyainya ahli ilmu tasauf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-
kitab tasauf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti
yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa
pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar dari
cabang ke ilmuan tersebut.
Lokasi Pesantren pada mulanya berada di dekat pusat kekuasaan.
Seandainya tidak terjadi sejarah kolonialisme yang berkepanjangan di
Indonesia, maka Pesantren itulah yang menjelma menjadi Universitas,
seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya merupakan
"pesantren" gereja. Penjajahan Barat yang terlalu lama, mengubah peta
dimana pesantren justru berada di kampung-kampung, jauh dari pusat
kekuasaan (penjajah), karena para kyai secara konsisten melakukan
konfrontasi budaya dengan penjajah kafir. Ketika Indonesia merdeka,
masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfrontasi
dengan budaya Barat. Penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pemerintahan
RI yang belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan (termasuk
2
sistem pendidikan), memperpanjang masa konfrontasi budaya tersebut,
sehingga pesantren tidak berusaha masuk ke dalam sistem pendidikan
nasional, tidak tercantum dalam GBHN dan tidak nampak dalam APBN.
Sistem madrasah, apalagi madrasah diniyyah juga hanya diakui setengah hati
oleh sistem nasional, yang implikasinya nampak padaperbedaan anggaran
negara yang sangat "jomplang". Tersisihnya pesantren dan madrasah dari
sistem pendidikan nasional nampaknya bersumber dari dua pihak sekaligus.
Pertama ; sebagian "kaum muslimin" secara budaya masih memandang
sekolah umum sebagai sekolah “kafir” warisan penjajah dan tidak
mendatangkan pahala. Kedua; ada oknum dalam elit pemerintahan kita yang
secara sadar berusaha menghambat kemajuan masyarakat pesantren dan
madrasah.
Pesantren Zaman “Orba” bersamaan dengan dinamika politik dimana
Golkar membutuhkan dukungan masyarakat Pesantren, mulailah terjadi
interaksi sosial dimana Pemerintah menaruh perhatian kepada dunia
pesantren dan dari kalangan pesantren sendiri muncul kaum intelektual santri
yang secara sadar berusaha meningkatkan kualitas pesantren sekaligus
berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara.
Bermula datang gagasan untuk mengajarkan keterampilan di pesantren,
misalnya peternakan ayam, keterampilan menjahid dan sebagainya, kemudian
datang SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri
Dalam Negeri yang menyetarakan Madrasah dengan SLP/SLA. Dinamika ini
juga nampak dari sikap IAIN terhadap pesantren. Sekitar tahun -70-an
pesantren memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memasok calon
mahasiswa IAIN. Tetapi, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem
pendidikan nasional, IAIN menolak alumni pesantren Salafiayah misalnya,
hanya karena ijazah tidak diakui pemerintah, padahal untuk menjadi
mahasiswa IAIN, kualitas alumnus pesantren diakui lebih baik dibanding
lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Mentri.
Dengan adanya SKB 3 Mentri, pesantren atau Madrasah Tarbiyah
Islamiyah di Sumatera Barat mengalami hal yang delematis, ada dua pilihan
3
yang harus ditempuh oleh madrasah, pertama mengikuti pola kebijakan SKB
3 Mentri dan kedua bertahan dengan system salafiyahnya. Kedua pilhan itu
menimbulkan konsekwensi dengan tidak mengikuti SKB3 Mentri, madrasah
akan eksis dengan identitasnya sebagai lembaga pendidikan agama yang
berorientasi untuk mendalami agama lewat pembelajaran kitab-kitab gundul
serta kultur pendidikan yang sangat agamais. Tapi disisi lain lulusan
pesantren atau madrasah, ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah dan tidak
diterima masuk IAIN, pada hal IAIN adalah satu-satunya perguruan tinggi
negeri untuk kelanjutan bagi pendidikan madrasah. Kondisi ini membuat
lahirnya sikap “ambivalensi” (sikap mendua dalam mengambil sikap antara
dua persoalan yang muncul dengan saling bertentangan) di kalangan lembaga
pendidkan madrasah, sehingga melahirkan berbagai tipologi model madrasah
sesuai dengan sikap kebijakan yang diambil oleh para pengelola madrasah itu
sendiri.
Lembaga pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiya
di Sumatera Barat menurut data sementara berjumlah lebih kurang 73 buah
yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten2. Keberadaan pesantren
madrasah tersebut sangat bervariatif baik dari segi kualitas mapun dari sisi
kuantitas, sistem pendidikan juga berbeda-beda sesuai dengan kemampuan
dan kemauan masing-masing pengelola. Sistem pendidikan pesantren
madrasah tidak diatur oleh organisasi Tarbiyah Islamiyah, lembaga
pendidikan mempunyai hak otonom untuk mengatur dirinya masing-masing
yang berada di bawah pengelolaan yayasan. Pencitraan pesantren madrasah
dimata masyarakat sangat ditentukan oleh sampai sejauh mana lembaga
pendidikan itu dapat mengintegrasikan dirinya kedalam kehidupan
masyarakat yang mengitarinya. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan
akan diminati oleh masyarakat apabila ia mampu memenuhi kebutuhan dan
harapan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasai suatu
bidang kehidupan tertentu, serta kemampuan moral keagamaan dan moral
2
Catatan di Sekretariat Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat, 2010
4
social budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah pergaulan bersama
sebagai manusia terhormat.
Dalam sejarah perjalanan pondok pesantren madrasah di Sumatera
Barat telah pernah terbukti mampu membangun kepercayaan dan minat
masyarakat yang cukup tinggi terhadap madrasah. Terlihat dari partisipasi
masyarakat dalam membangun sekolah-sekolah madrasah dan sekaligus
menyerahkan anaknya untuk didik di madrasah. Sehingga madrasah berdiri
dan berkembang di berbagai kota dan kabupaten di seluruh Sumatera Barat.
Kemudian disekitar akhir tahun 70-an madrasah mulai kehilangan daya
minatnya bagi masyarakat, sekolah-sekolah madrasah yang biasa ribuan dan
ratusan santrinya bahkan nyaris hampir tidak ada santri lagi, seperti Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Jaho sekarang punya santri puluhan orang, yang dulu
cukup terkenal, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Padang Laweh Malalon yang
kondisinya sangat memprihatinkan dengan jumlah santri puluhan orang,
Pondok Pesantren Madrasah Darussalam Aur Duri Sumani Solok, Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Koto Panjang Lampasi, Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Batang Kabung Padang dan sejumlah madrasah lainnya mengelami kondisi
yang sama.3
Bagaimanapun bentuknya, lembaga pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang ada masih mempunyai potensi yang cukup kuat untuk bisa
dikembangkan menjadi lembaga pendidikan modern, jika ada pihak-pihak
diluar pesantren mau melakukan pembinaan dan kerja sama. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah SDM santri, yakni allumnus pesantren yang dewasa ini
telah bergelar master, Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru
sistem pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif cukup tinggi.
Optimisme terhadap pesantren justru sangat menonjol pada kelompok
intelektual alumnus pesantren. Konsep-konsep strategis pengembangan
pesantren ke depan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sangat
diperlukan.
3
Hasil survai penulis dalam melakukan evaluasi kebeberapa madrasah di Sumatera
Barat, 2009
5
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan
kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan
masyarakat lingkungannya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan
nilai antara lembaga pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya,
setidaknya tidak bertentangan. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan akan
diminati oleh anak-anak, orang tua dan masyarakat apabila ia mampu
memenuhi kebutuhan mereka dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi serta
moral agama dan moral sosial budaya untuk menempatkan diri mereka pada
posisi sebagai manusia yang terhormat. Pesantren sering diidealisasikan
sebagai komunitas yang ideal dan sakral dan rujukan spritual. Tapi disisi lain
pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang kurang berorientasi pada
masalah keduniawian dan terlalu ukhrawi.
Dari latar belakang pemikiran tersebut di atas, dapat di katakan ada
sejumlah masalah yang memerlukan penelitian dan kajian secara cermat
untuk mencari berbagai factor penyebab terjadinya kemunduran madrasah di
Sumatera Barat serta upaya merumuskan langkah-langkah strategis untuk
pengembangannya. Penelitian ini penulis rasa amat diperlukan untuk
membuka tabir kondisi idial pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di
Sumatera Barat, karena menurut sepengetahuan penulis belum ada penelitian
yang mengkaji secara holistik terhadap problem lembaga pendidikan
Madrasah Tarbiyah di Sumatera Barat.
2. Fokus Penelitian
Berlatar belakang dari pokok-pokok pikiran di atas, maka penelitian
ini memfokuskan kepada beberapa hal:
1. Kondisi objektif lembaga pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah hari ini.
2. Sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang sedang dijalankan hari ini.
3. Problematika lulusan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang sedang dihadapi.
6
4. Langkah-langkah strategis dalam upaya pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk mempertanyakan
secara lebih sepesifik mengenai masalah apa yang akan dipecahkan melalui
penelitian ini. Berdasarkan pada berbagai masalah yang dihadapi oleh
pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera
Barat, sebagaimana dijelaskan pada latar belakang masalah di atas maka
rumusan maslah penelitian ini mengacu pada upaya melihat sistem
pendidikan pondok pesantren yang dijalankan oleh madrasah-madrasah yang
beridiologi pada paham Ahlussunnah wal al-Jama’ah dan bermazhab as-
Syafi’iyah.
Hal-hal yang menjadi fokus masalah penelitian berkaitan dengan:
kondisi objektif Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera
Barat, sistem pendidikan yang kembangkan, potensi yang dimiliki sebagai
modal dalam memantapkan identitas dan kehadirannya ditengah-tengah
kehidupan berbangsa yang sedang membangun dan strategi menghadapi
tantangan zamannya, yaitu perubahan sistem pendidkn nasioal sebagai
kebutuhan pembangunan nasional dalam kemajuan ilmu dan teknologi.
Bagaimana pesantren meresponi kebijakan system pendidikan nasional dan
mengitegrasikan dengan pengembangan madrasah.
Secara rinci rumusan pertanyaan penelitian yang akan dijawab ialah:
1. Bagaimana kondisi objektif Pondok Pensantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah
2. Bagaimana sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang berjalan hari ini.
3. Bagaimana problematika lulusan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang dihadapi.
7
4. Langkah-langkah strategis dalam upaya pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah
4. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut di atas, maka tujuan
penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi objektif lembaga pendidikan Pondok
Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah hari ini.
2. Untuk mengetahui sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang berjalan hari ini.
3. Untuk mengetahui problematika lulusan Pondok Pesantren
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang sedang dihadapi.
4. Untuk merumuskan konsep strategis dalam upaya pengembangan
dan peningkatan mutu profesional Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara`teoritik penelitian ini akan memberikan konstribusi terhadap
pengayaan pengetahuan dalam kajian pendidikan pondok pesantren
secara spesifik.
2. Secara prakmatis penelitian ini akan memberi input bagai pengambil
kebijakan untuk merumuskan system pendididkan pondok pesantren
madrasah yang beridiologi dengan paham Ah-luussunnah wal-
jama’ah dan bermazhab Syafi’iah sesuai dengan tuntutan
perkembangan pembangunan dan harapan masyakat masa depan.
3. Lahirnya suatu konsep pengembangan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang kompetitif sesuai dengan tuntutan zaman.
F. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini dimaksudkan untuk memberikan arah
terhadap pemaknaan dari apa yang maksudkan dari judul penelitian ini. Ada
8
beberapa variabel yang perlu dijelaskan secara konseptual agar pembahasan
penelitian ini terbingkai dalam kerangka kkonseptual yang sistematik, yaitu
sistem pendidikan, pondok pesan dan peningkatan mutu.
Sistem Pendidkan: Kata sistem diartikan adalah “System is defined in
the diectonory as an assemblage of objects united by some form of Regular
interaction or inter dependence, an organic or organized wthole, as the solar
syetem, or a new telegraph system”.4 Artinya suatu himpunan dari objek-
objek yang disatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang teratur atau saling
bergantung. Satu kesatuan atau penyatuan menjadi keseluruhan sebagai
sistem yang tersendiri. Sedangkan sistem pendidikan dalam kamus bahasa
indonesia adalah “keseluruhan yang terpadu dari satuan kegiatan pendidikan
yang berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan”. 5 Unsur-
unsur dan nilai-nilai pendidikan yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kualitas dari dinamika suatu sistem pendidikan sangat tergantung pada
kualitas pengasuhnya dan bobot interaksi antara unsur-unsur organiknya
atau para pelakunya dalam menhadapi tantangan pembangunan nasional dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pondok Pesantren: Kata pondok pesantren dalam kamus bahasa
Indonesia berarti “bangunan (tempat) yang dipakai untuk kegiatan belajar
agama sekaligus tempat tinggal para santri (pelajar).6 Menurut Djamaluddin
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)
yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian
atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan
kepemimpinan seorang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik
serta independen dalam segala hal.7
4
Banaty, Bela, H, Instrutional System, California, Fearon Publishen, Ine, 1978, hal.1
5
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, Jakarta, t.th,
hal.715
6
Ibid, hal.621
7
Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Setia,
Bandung:1997, hl. 99
9
Secara historis, pada masa penjajahan pondok pesantren menjadi satu-
satunya lembaga pendidikan Islam yang mengamleng kader-kader ulama
yang tanguh dan gigih mengembangkan agama Islam serta menetang
penjajahan dengan semangat idiologi ke Islaman yang mereka miliki. Sevitas
pondok pesantren mempunyai jiwa patriotisme dan fanatisme agama yang
sangat kuat. Pesantren dapat dikatakan sebagai training center membentuk
cuktural relegius masyarakat dan sekaligus menjadi sentral kiblat
keberagamaan di masyarakat sekitarnya. Kyai atau syekh sebagai pimpinan
pesantren otomatis menjadi santral figur dan rujukan spritual umat.
Salah satu ciri sistem pendidikan pondok pesantren selalu
diselenggarakan dalm bentuk asrama sehingga santri mendapatkan
pendidikan dalam situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat denga ilmu
pengetahuan agama. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan pada umumnya
sangat bergantung pada keahlian kyai yang bersangkutan. Santri-santri
mendapatkan kedisiplinan dalam mengerjakan ibadah sehari-hari, sehinggga
segi practical religion (praktek keagamaan) lebih menonjol dibanding sistem
pelajar dalam kalasikal dalam bentuk kurikulum formal.
Pondok pesantren yang menjadi sabjek penelitian ini adalah yang
berlatar belakang Madrasah Tarbiyah Islamiyah disebut dengan singkatan (
MTI) yang kemudian berubah nama menjadi Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah, karena untuk menyesuaikan dengan pola kebijakan
Depertemen Agama yang membuaat klasifikasi antara madrasah dengan
pondok pesantren. Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang
merupakan ciri khas Sumatera Barat, lembaga pendidikan ini didirikan oleh
kelompok kaum “tua8 yang merupakan hasil dari pembaharuan sistem
pendidikan surau9. Lembaga pendidkan ini lahir lebih awal dari
8
Kaum Tua adalah kelompok keagamaan yang berfahamkan kepada mazhab
Syafiiyah dalam bidang fiqih, dan Asy’ariyah Maturidiyah dalam bidang i’tikad
9
Cikal bakal lembaga pendidikan pesantren berawal dari pendidikan surau
sebagaimana dijelaskan di atas. Surau dalam sistem adat di Mnangkabau adalah kepunyaan
kaum, suku tertentu sebagai pelengkap sarana adat dalam kaum, karena persyaratan dalam
suatu kaum harus ada rumah gadang sebagai tempat perkumpulan kaum, surau sebgai sarana
10
organisasinya yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang
didirikan tanggal 5 Mei 1928 di Candung Kabupaten Agam 10. Lembaga
pendidikan tersebut pada mulanya berdiri dalam bentuk sistem halaqah
bertempat di surau-surau yang dipimpin oleh seorang ulama besar, seperti
yang dikenal dengan surau Syekh Sulaiman Arrasuli di Candung, surau Syekh
Muhammad Djamil Djaho di Padang Panjang11 , dan sejumlah surau lainnya.
Kemudian berkembang menjadi klasikal sesuai dengan tuntutan perubahan
zaman, lembaga pendidikan tersebut sebagai alat perjuangan dalam
pengembangan faham keagamaan. Kelompok kaum tua dalam bidang teologi
menganut faham aliran Asya’ariyah- Mu’turidiyah dan dalam bidang figh
bermazhab Syafiiyah. Hal ini tercermin dari kitab-kitab yang dipelajari di
madrasah semuanya berorientasi mazhab Syafi’i.
Menurut Azyumardi Azra istilah pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang khas, baru memasyarakat dan digunakan oleh
sejumlah lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat dalam beberapa
dasawarsa terakhir, fenomena pesantren yang demikian berkembang di pulau
Jawa dan tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
lembaga pendidikan Islam senacam ini di Minangkabau, terkecuali setelah
terjadi modernisasi pesantren belakangan ini.12
Pondok pesantren yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
lembaga pendidikan agama yang menyelenggarakan proses pendidikan dan
pembelajaran dalam bentuk sistim klasikal yaitu membelajaran yang
diberikan di dalam kelas dan non klasikal dimana guru atau ustaz
pembelajaran di asrama atau di luar jam resmi sekolah. Materi pembelajaran
yang diberikan ustaz kepada santri hal-hal yang berkaitan dengan pembelajar
“agama” seperti nahu, sharaf, fiqh, tarekh, tauhid. Semua materi
ibadah dan papandam perkuburan tempat pemakaman kaum serta basasok bajaramai artinya
tempat usaha ekonomi seperti sawah ladang sebagai sumber ekonomi kehidupan kaum.
10
M.Sanusi Latif, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, (Disertasi, t,t,), hal. 10
11
Secara administratif kepemerintahan Jaho terletak di Kab. Tanah Danat, tapi dalam
sebutan populernya MTI Jaho Padang Panjang, alasanya kerena dekatnya dengan kotaPadang
Panjang
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium
Baru, Logos, Jakarta: 2002, hal.129
11
pembelajaran menggunakan kitab standar berbasa Arab. Para santri pada
umumnya tinggal di asrama atau di rumah penduduk sekitar pesantren, santri
di asrama dianjurkan membentuk halaqah yang dipandu oleh seorang ustaz
atau guru asrama yang ditetapkan oleh pimpinan pondok.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Terdahulu
Penelitian terhadap pondok pesantern telah banyak dilakukan oleh
para peneliti sebelumnya, terutama di Pulau Jawa yang jumlah pondok
pesantrenya lebih banyak dibanding dengan Sumatra. Peneliti-penelitian
yang telah dilakukan berbicara dalam bebagai aspek dan sudut pandang. Di
samping penelitian juga cukup banyak tulisan dalam bentuk buku-buku dan
makalah. Semua literatur yang sudah ada sangat mempunyai arti yang besar
sekali bagi penelitian ini dalam pengayaan informasi dan teori-teori yang
telah dibangun sebelumnya untuk memahami realitas pesantren dalam kondisi
kekinian.
Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah: (1) Penelian Mastuhu
yang mengkaji pesantren dari sudut pandangan antro pologi dan sosiologi
pendidkan dengan tema dinamika system pendidkan pesantren di pulau Jawa
tahun 1994 sebagai studi kasus terhadap enam buah pesantren. Penelitian ini
menfokuskan pada; unsur-unssur yang terdapat dlam sistem pendidikan
pesantren, nilai-nilai luhur pesantren, dan dinamika sistem pendidikan
pesantren, (2) Profil Pesantren di Bogor, oleh Prosodjo Sudjoko. (3) Tradisi
Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai dan Tipologi Pesantren
oleh Zamachsyari Dhofier, 1982. (4) Struktur Keilmuan Pesantren oleh
Prosodjo Sudjoko. (5) Tipologi Pondok Pesantren di Jember, 1995, oleh tim
IAIN Jember. (6) Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa, oleh
Clifforg Geertz, 1981 (7) Tulisan Dawan Raharjo tentang Pergumulan Dunia
Pesantren, 1983. (8) A. Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah,
1986. (9) Sanusi Latif tentang Kaum Tua di Minangkabau bagian dari
tulisannya membicarakan lembaga pendidikan kaum tua (madrasah-
madrasah). (10) Alidin Koto dalam penelitian disertasinya berjudul Pemikiran
Poltik Perti juga membahas lembaga pendidikan madrasah dan sejumlah
tulisan penelitian lainnya yang belum dapat dimuat disini. Dari temuan
13
penelitian yang ada sepengetahuan penulis belum ada yang membahas secara
khusus tentang problem pendidikan pondok pesantren dalam menghadapi
tantangan zamannya dan langkah-langkah stratejik untuk pengembangannya.
Azyumardi Azra juga menulis tetang pesantren dalam persfektif di
Minangkabu. Kafrawi dalam tulisan Karya Program (Taskap) pada tahun
1977 membahas tentang pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren.
Nurchalis Majid juga menulis Bilil-Bilk Pesantren dan sejumlah karya
lainnya yang cukup banyak tetang pesantren.
B. Landasan Teoritik
Menurut Mastuhu, kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif
dimaksudkan untuk memberikan gambaran tata pikir penulis mengenai
permasalahan apa yang akan dijawab dalam suatu penelitian dan bukan
dimaksudkan untuk meletakkan konsepp-konsep pemikiran lebih awal
(apriori) untuk memberikan penilain terhadap apa yang diteliti.1 Pendekatan
untuk menjawab masalah penelitian ini didasarkan pada anlisis data atau fakta
temuan lapangan, hal ini adalah satu ciri khas dari metode graunded research.
Penelitian yang bersifat kualitatif merupakan penelitian yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak diintervensi oleh teori, akan
tetapi memberi kuntribusi terhadap penemuan dan pengembangan teori. Suatu
teori atau konsep yang dijadikan dasar penelitian berguna untuk membaca
fenomena empirik sehingga konsep atau teori ini berfungsi untuk “to
understand”, yaitu peneliti dapat mengerti tentang empirik. Mengerti tentang
sesuatu merupakan modal bagi peneliti untuk dapat menjelaskan dan
mendeskripskan secara cermat dan utuh ”to explain”. Apabila peneliti sudah
dapat menjelaskan ia dapat mengontrol atau mengevaluasi suatu fenomena
dan dapat membuat prediksi terhadap hasil-hasil temuan empirik.
1
Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), hal. 39
14
Kerangka pendektan teoritik dalam penelitian menggunakan teori-
teori pendidikan terutama teori pendidikan Islam dan teori pendidikan secara
umum. Dalam sistem pendidikan terdapat sejumlah teori-teori pendidikan
dalam berbagai bentuk aliran-aliran seperti; Empirisme, Nativisme,
Konvergensi, dan Pendidikan Islam.
a. Empirism.
Aliran ini dipelopori oleh John Locke (1632-1704), dan
terkenal dengan teori “tabularasa”. Aliran ini berpendapat bahwa
anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih, bagaikan kertas
kosong, dan selanjutnya terserah kepada oarang tuanya. Sekolah,
dan masyarakat, ke arah mana keperibadian anak tersebut dibentuk
dan dikembangkan.2 Berdasarkan aliran ini maka tugas pendidikan
adalah menciptakan manusia baru atau generasi baru yang lebih
baik dari yang lalu. Teori ini dipakai di Rusia, jerman dan Itali.
b. Nativisme.
Aliran ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1768-1860),
dan terkenal dengan teori bakat dengan teori bakat. Aliran ini
berpendapat bahwa anak dilahirkan dalam keadaan lengkap dengan
bakat dan pembawaannya, cepat atau lambat akan menjadi
kenyataan dikemudian hari. Pendidikan hanya berperan membantu
anak didik untuk menjadi apa yang akan terjadi sesuai dengan
potensi bakat pembawaanya. Jadi tugas pendidik bukan
menghasilkan apa yang akan dihasilkannya.3 Aliran ini percara
bahwa anak pada dasarnya baik dan mampu belajar
mengembangkan bakatnya. Anak akan belajar dengan baik dan
rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan tertarik
mempelajarinya sesuatu yang memang sesuai dengan bakatnya.
Sebaliknya dia tidak akan mau belajar apabila dipaksa, diancam
dan harus mempelajari bidang studi yang tidak sesuai dengan
2
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Ibid, hal, 14
3
Uril Bronfenbrenner, Two Worlds of Childhood, Penguin Education, Australia, 1974,
hal, 120
15
bakat dan minatnya. Oleh karenanya anak dimasukkan ke sekolah
yang sesuai dengan keinginannya. Aliran ini banyak dipakai di
Ammerika dan Eropa Barat.
c. Konvergensi.
Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1939), dan
terkenal dengan teori realisme, karena dianggap sesuai dengan
kenyataan. Teori kovergensi merupakan perpaduan antara aliran
Empirisme dengan Nativisme, di mana keperibadian orang dibentuk
dan dikembangkan oleh faktor endogen dan eksogen, atau oleh
faktor dasar dan ajar. Aliran ini kegiatan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama pendidik dan anak didik, orang tua dan
masyarakat.4 Bagi Aliran ini masalahnya bukan terletak pada
apakah tugas pendidik itu menciptakan manusia baru ataukah tidak
menciptakan manusia baru, melainkan terletak pada bagaimana
mewujudkan tanggung jawab bersama dalam membentuk hasil
pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.
d. Pendidikan Islam.
Menurut ajaran Islam, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Pengertian fitrah tidak sama dengan pengertian tabularasa menurut
John Locke, akan tetapi makna fitrah adalah bersih, suci dan bukan
kosong tapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangan
tergantung pada usaha manusia sendiri. Tuhan telah menciptakan
daya-daya dalam diri manusia jauh sebelumperbuatannya timbul.
Sebagaimana dikatakan al Jubba’i manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manusia barbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauan manusia
sendiri.5
Dalam Filsafat Islam, manusia adalah zat theomorfis yaitu
merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan. Ia
4
Op cit, hal, 15,
5
Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, 1983, hal, 102
16
berorientasi untuk menjadi peribadi yang bergerak diantara dua
titik ekstrim “Allah – Syaithan”. Manusia mempunyai kehendak
bebas, ia berpeluang untuk menjadi orang jahat sebagaimana
syethan, dan juga berpeluang untuk menjadi orang baik atau
shaleh, sebagaimana Firman Allah dalam surat An’am ayat 164:
Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kemudaratannya
kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang berbuat dosa tidak
akan memikul dosa orang lain.6
6
Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), hal. 14-15.
7
Ibid, hal,17,
17
bersinergi dengan segala pemikiran dan tekhnologi yang berkaitan dengan
dunia Eropa dan Amerika, namun orientasi keagamaan tidak boleh
berlandaskan selain apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Nilai-nilai
tradisional seperti keakraban hubungan santri dengan “syekh” atau “kiyai”,
santri dengan santri, santri dengan santri senior; hidup hemat dan sederhana,
semangat tolong menolong-kebersamaan, disiplin dan berani menderita,
merupakan nilai yang dianut sekaligus diadaptasikan kepada sistem
pendidikan yang berbasis modernitas.
Salah satu kaidah yang dipegang oleh kalangan santri adalah ”al-
muhafadzah ala al-qadim al-salih wa al-ahzu ala al-jadid al-aslah”
(mempertahakan warisan yang baik dan mengambil kepada sesuatu yang
lebih baik). Ini menunjukkan adanya dinamika dalam melihat berbagai
perkembangan aktual. Sehingga tidak mengherankan jika ada pesantren
seperti Pesantren Rahima menjadi pendorong dalam mengkampayekan
kesetaraan jender, pluralisme dan multikultural. Kajian-kajian yang
didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh ilmuwan barat bukan
merupakan sesuatu yang langka di pesantren saat ini. Tidak sedikit alumni
pesantren kemudian melanjutkan pendidikan di universitas terkemuka di
Eropa dan Amerika Serikat.
Lembaga pendidikan pondok pesantren dalam menyikapi perubahan
zaman jelas tidak akan mempunyai sikap dan kemampuan yang sama, oleh
karenanya akan melahirkan tipologi-tipologi yang berbeda. Ada empat
tipologi pesantren atau madrasah dalam menyikapi perubahan: (1) pesantren
yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut “salafi”, (2)
pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah,
disebut pesantren"modern", (3) pesantren yang sebenarnya hanya sekolah
biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam dan (4) pesantren yang tidak
mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan
dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di hasrama.
Pendirian pondok pesantren pada umumnya dilakukan atas inisiatif
“syekh” atau “kiyai” bersama masyarakat, maka syekh atau buya (panggilan
18
di Minangkabau) diserahi sebagai central core (pusat inti), segala sesuatu
yang berlaku di dalam pesantren bergantung kepada sitem manajerial syekh
atau buya masing-masing. Sehingga masing-masing pesantren mempunyai
tepelogi yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian masing buya sebagai top
pigur. Bilamana buya mempunyai keahlian dibidang tafsir maka pesantren
akan terkenal sesuai dengan ilmu tersebut. Menurut Djmaluddin dan
Abdullah Aly otoritas “syekh” atau “kiyai” membuat kesulitan dalam
penyeragaman kurikulum atau kitab-kitab ajar antara pondok pesantren.8
Karena karismatik leadership syekh atau kiyai yang mengasuhnya yang punya
kedaulatan penuh yang bersangkutan, bagaikan sebuah kerajaan tersendiri
dalam sistem pendidikan.
Keberadaan pesantren sampai hari ini yang masih tetap bertahan,
bahkan berkembang mengungguli sekolah-sekolah negeri, hal ini disebabkan
oleh sejumlah faktor: (1) secara implisit kata Azumardi mengisyaratkan
bahwa dunia Islam tradisional dalam segigi-segi tertentu masih tetap relevan
di tengah deru modernisasi, (2) adanya sikap akamodasi dan konsensi
terhadap perubahan, sehingga pesantren membuat pola-pola baru yang
dipandang tepat menghadapi modernisasi dan perkembangan zaman dengan
tidak mengorbankan esensi dan eksistensi pesantran, (3) pesantren muncul
dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungan
sekitarnya. Dengan kata lain mempunyai keterkaitan yang tak terpisahkan
dengan komunitas lingkungannya9, dan (4) tantang perkembangan budaya
dan moralitas yang semakin mencemaskan bagi perkembangan generasi, yang
mendesak bagi orang tua untuk menyerahkan anaknya kepasentren, karena
pesantren dianggap mampu memberikan jaminan terhadap perlindungan
moral anak-anak mereka.
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatan
pendidikannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam system
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang melingkarinya. Lebih dari itu,
suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh masyarakat apabila ia mampu
memenuhi kebutuhan dan pengharapan masyarakat itu sendiri.
8
Djamaluddin, Op cit, hal. 102
9
Azyumardi Azra, Op cit, hal.107
19
BAB III
METODE PENELITIAN
20
(entity), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan
sebagai keutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.6 Konteks
sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai
arti bagi konteks lainnya dalam arti bahwa satu penomena harus diteliti dalam
keseluruhan pengaruh yang ada di lapangan
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di enam buah pondok pesantren di
Sumatera Barat, keenam pondok pesantren tersebut berlatar belakang dari
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang beraliran mazhab Safi’iyah, miskipun
sekarang ada yang tidak menggunakan nama tarbiyah Islamiyah:
1) Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batang Kabung
terletak di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Pesantren ini
diambil untuk keterwakilan pesantren di wilayah kota provinsi,
pesantren ini merupakan pesantren tertua di Kota Padang yang
didirikan pada tahun 1955 oleh seorang ulama terkenal H.Salif
Tuangku Sutan. Sekarang punya santri lebih kurang lima ratus orang
untuk Kota Padang Pondok Pesantren yang teramai santrinya di Kota
Padang.
2) Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang terletak di Kecamatan Enam
Lingkuang Kabupaten Padang Pariaman. Pesantren ini didirikan
tahun 1960 oleh Syekh. H. Ali Imran, sekitar tahun 70 an pesantren
yang cukup terkenal di Sumatra, santri yang datang dari berbagai
provinsi di wilayah Sumatera dan cukup beralasan untuk kita jadikan
sampel kualitatif untuk Kabupaten Padang Pariaman.
3) Pondok Pesantren Syehk Muhammad Jamil Jaho, terletak di
Kenegarian Jaho Kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar,
berjarak sekitar 5 km dari kota Padang Panjang. didirikan tahun 1924
oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama besar yang
terkenal dikawasan nusantara. Pada awal berdirinya tahun 1924,
6
Moleong, Op cit, hlm. 5
21
pesantren ini merupakan pendidikan surau dengan membuka halaqah
pengajian, kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah. Pesantren ini cukup terkenal di nusantra, santri-santri
berdatangan dari Aceh, Jambi, Sumatra Utara, dan Lampung.
4) Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung di
Kecamatan Iv Angkat Candung Kabupaten Agam. Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung adalah madrasah tertua di
Sumatera Barat. MTI Canduang didirikan pada tanggal 5 Mei 1928
oleh Ulama Syekh Sulaiman Ar Rasuly yang lebih dikenal dengan
panggilan Inyiak Canduang. Tujuan didirikannya MTI Candung
secara umum adalah untuk melahirkan kader ulama terutama untuk
menjadi tenaga pendidik dan da’i yang berkualitas yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam serta memberikan
pelayanan kepada masyarakat luas.
5) Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Tabek Gadang terletak di
Kanagarian Padang Japang Kecamatan Guguk Kabupaten Lima
Puluh Kota. Pondok Pesantren ini merupakan madrasah yang tertua
dibandingkan dengan dengan madrasah yang ada di Sumatera Barat.
Pesantren ini didirikan pada tahun 1906 oleh seorang ulama
Tarbiyah Islamiyah yakni Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi. Tujuan
didirikannya selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi
masyarakat Padang Japang, juga bertujuan untuk mendidik
masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan pada masa kolonial.
Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mempersiapkan
pemimpin / ulama yang akan meneruskan pengembangan ajaran
Islam khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, umumnya di
negara Republik Indonesia. Cita-cita Syekh ini tidak sis-sia telah
banyak melahirkan para ulama yang cukup terkenal bal lokal,
regional dan nasional seperti Syekh. H. Rusli Abdul Wahid pernah
menjadi Anggota Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Tengah
Tahun 1954, selanjutnya tahun 1955 menjadi anggota Dewan
22
Perwakilan Rakyar/Majelis Permusyawaratan Rakyat dan tidak
hanya sampai disana tetapi beliau juga dipercaya sebagai Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonseia tahun 1959-1965.
6) Pondok Pesantren Darussalam Sumani adalah salah satu lembaga
pendidikan Islam di Sumatera Barat yang berafiliasi dengan
Organisasi Massa (Ormas) Islam Perasatuan Tarbiyah Islamiyah
Sumatera Barat bertempat di Aur Duri Sumani Kecamatan Singkarak
Kabupaten Solok. Pesantren ini didirikan tahun 1963 oleh Buya H.
Chatib Abu Samah Al Chalidy. Tujuan didirikannya pesantren ini
selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi masyarakat Aur Duri
Sumani Kabupaten Solok, juga diniatkan untuk mempersiapkan
tokoh agama/ ulama yang akan melestarikan ajaran Islam di
Sumatera Barat. Pondok Pesantren membawahi dua jenjang
pendidikan Islam yaitu, tingkat Tsanawiyah (setara SLTP) dan
Aliyah (setara SLTA). Kedua jenjang pendidikan Islam tersebut
dikelola dengan sistem kombinasi antara pendidikan Madarasah
kurikulum Kementeraian Agama dengan sistem kurikulum pondok
pesantren.
Pemilihan keenam pesantren tersebut sebagai lokasi penelitian
didasarkan kepada pertimbangan; (1) masa usia pesantren yang tergolong
senior di daerah kabupaten masing, (2) pertimbangan keterwakilan daerah
kota dan desa, (3) pertimbangan daya pengaruh dan populatritas pesantren,
dan (4) pertimbangan jumlah santri. Keenam pesantren tersebut tidak
dimaksudkan sebagai sampel yang mewakili pondok pesantren di Sumatera
Barat. Akan tetapi penelitian ini lebih bersifat studi kasus dan tidak untuk
dijeneralisasikan bagi seluruh pesantren di Sumatera Barat.
23
tersebut berkaitan dengan: (1) Kondisi objektif pondok pesantren yang terdiri
dari sarana dan prasara, visi, misi dan tujuan, (2) sistem pendidikan pondok
pesantren, (3) problematika yang dihadapi pesantren serta mutu lulusan, dan
(4) langkah-langkah stratejik dalam upaya pengembangan pondok pesantren
kedepan.
Sebagai sumber data atau informen dalam penelitian ini terdiri dari:
(1) Pimpinan pondok pesantren dan majlis guru sebagai informen kunci (key
informan) dan memiliki kedudukan penting dan tidak diberlakukan sama
dengan informen lain, (2) pimpinan dan unsur pengurus yayasan sebagai
pemegang badan hukum lembaga pendidikan, (3) murid atau santri sekolah,
mereka adalah bahagian dari komponen pendidikan itu sendiri yang sudah
barang tentu banyak tahu dengan persoalan-persoalan pendidikan sebagai
bahagian dari kehidupan mereka sehari-hari, (4) wali murid dan tokoh-tokoh
masyarakat sekitar pondok pesantren, karena mereka adalah bahagian dari
lingkungan pendidikan itu sendiri, dan (5) dokumentasi atau arsip sekolah
yang merupakan baha tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu
peristiwa atau aktivitas tertentu.
Penentuan sumber data dilakukan secara purposive atau snow ball
sampling. Teknik ini dipilih berdasarkan pertimbangan rasional peneliti
bahwa informanlah yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk
memberikan informasi atau data sebagaimana diharapkan penelitii.
24
daftar wawancara tertutup dan terbuka, daftar observasi, dan blangko catatan
dokumen.
a. Observasi
Teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data
berkenaan dengan lokasi dan keadaan di mana proses
pendidikan itu barlangsung. Perilaku keagamaan santri, interaksi
antar ustaz atau guru dengan santri, sesama anggota madrsah
dan antara anggota kmadraah dengan warga lingkungan.
Observasi atau pengamatan yang cermat dapat dianggap sebagai
salah satu cara yang paling sesuai dalam penelitian ilmu sosial
pendidikan keagamaan, terutama sekali penelitian naturalistik
(kualitatif)8. Menurut Black dan Champion, penggunaan metode
observasi antara lain adalah: pertama, untuk mengamati
fenomena social pendidikan keagamaan sebagai peristiwa aktual
yang memungkinkan peneliti memandang fenomena tersebut
sebagai proses, kedua, untuk menyajikan kembali gambaran dari
fenomena sosial pendidikan keagamaan dalam laporan
penelitian, dan ketiga, untuk melakukan eksplorasi atas seting
madrasah di mana fenomena itu terjadi.9
b. Wawancara
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian social
pendidikan agama, terutama penelitian naturalistik adalah
manusia yang diposisikan sebagai nara sumber atau informan.
Untuk mengumpulkan informasi dari informan diperlukan suatu
teknik wawancara. Wawancara adalah percakapan langsung dan
tatap muka (face to face) yang dilakukan oleh dua pihak untuk
menggali struktur kognitif dan makna dari perilaku subjek yang
diteliti. Kata Lincoln dan Guba wawancara juga bertujuan
8
Tobrani, op cit., hlm. 167
9
Ibid., hlm. 167
25
untuk merekontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, dan
motivasi11.
Penggunaan teknik wawancara dalam penelitian ini
untuk memperoleh keterangan yang lebih dalam dan luas
tentang penomena pendidikan pondok pesantren madrasah di
Sumatera Barat. Wawancara tidak hanya dilakukan kepada
pimpinan madrasah, pimpinan yayasan, majlis guru, wali
murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar madrasah, akan tetapi
juga dilakukan kepada pimpinan organisasi Tarbiyah dan tokoh-
tokoh agama Islam di luar madrasah sebagai pengayaan
perbandingan informasi. Jenis wawancara yang digunakan
bersifat formal dan informal, di mana pertanyaan yang diajukan
sangat tergantung pada pewawancara sendiri. Pertanyaan yang
diajukan bersifat sepontanitas. Hubungan pewawancara dengan
yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar,
sedangkan pertanyaan dan jawaban berjalan seperti pembicara
biasa. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai
kadangkala tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa ia
sedang diwawancarai.
c. Studi Dokumentasi
Penggunaan studi dokumen dalam penelitian kualitatif,
merupakan sumber yang sangat berguna dan sangat sesuai,
karena sifatnya yang stabil, alamiah, sesuai dengan konteks,
lahir dan berada dalam konteks12. Hasil kajian isi dokumen akan
membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh
pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti. Untuk
melengkapi perolehan informasi dalam penelitian ini, ada dua
model dokumen yang digunakan: Pertama, dokumen pribadi
yang digunakan untuk memperoleh kejadian nyata tentang
11
Ibid., hlm. 172
12
Moleong, op cit., hlm. 161
26
situasi sosial pemdidikan dan arti berbagai faktor di sekitar
subjek penelitian, seperti buku harian atau catatan-catatan
penting harian yang memberi keterangan dan tanggapan di
sekitar penulis, surat pribadi yang digunakan untuk
mengungkapkan hubungan sosial, latar belakang dan
pengalaman yang berkesan selama mengelola madrasah, dan
foto-foto dan autobiografi kalau ada.
Kedua, dokumen resmi baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Dokumen internal terdiri dari surat-surat
keputusan atau hasil-hasil kesepakatan bersama pimpinan
madrasah, himbauan atau instruksi dari pimpinan. Hal ini akan
dapat memberikan informasi tentang keadaan, aturan dan
kedisiplinan dan juga dapat memberikan petunjuk tentang gaya
kepemimpinan. Dokumem eksternal berisi bahan-bahan
informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan,
misalnya majalah, buletin, berita yang disiarkan kepada media
massa hal-hal yang menyangkut masalah madrasah. Disampimg
itu juga yang tidak kala pentingnya adalah buku-buku teks,
kurikulum, silabus yang digunakan sebagai rujukan dasar
madrasah.
E. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data juga disebut analisis dan penafsiran data. Analisis
adalah rangkaian kegiatan penelaahan dan pengelompokan, sistematisasi,
penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial,
akademis dan ilmiah13 Dalam penelitian kualitatif sebetulnya tidak ada teknik
analisis yang baku (seragam), karena kegiatan analisis tidak terpisah dari
ragkaian kegiatan penelitian secara keseluruhan. Yang penting analisis
dipakai konsisten dengan pradigma, teori dan metode yang digunakan dalam
penelitian.
13
Suprayogo, op cit., hlm. 191
27
Proses pengolahan data pada penelitian ini sudah mulai dilakukan
semenjak berada di lapangan, meskipun analisis yang lebih intensif baru
dilakukan setelah berakhirnya pengumpulan data. Analisis lapangan
difokuskan pada pemeriksaan kemungkinan cocok atau tidaknya data yang
sedang dikumpulkan, memeriksa apakah masih ada data lain yang terlupakan,
mempertanyakan permasalahan apa yang masih belum terjawab, apakah
masih diperlukan metode lain untuk mendapatkan data baru, kesalahan apa
yang harus diperbaiki, dan berupaya untuk menemukan dan menetapkan
tema-tema baru yang dianggap penting.
Sejalan dengan hal ini Lex J. Moleong mengatakan, proses analisis
data dimulai dengan menelaah seluruah data yang tersedia dari berbagai
sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, dokumen pribadi dan dokumen resmi14. Analisis data ini
akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan dengan mengorganisasikan data.
Data yang telah diperoleh di lapangan dalam kondisi yang mentah
kemudian diabstraksikan dengan membuat rangkuman yang inti,
dan terfokus sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan,
dan wawancara. reduksi data dapat membantu dalam memberikan
kode kepada aspek-aspek yang dibutuhkan dan yang tidak
dibutuhkan. Reduksi data atau proses transpormasi ini terus
berlanjut sampai laporan akhir tersusun.
b. Penyajian / Display Data
Alur penting berikutnya dalam pengolahan data adalah
penyajian data. Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa
penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
14
Moleong, op cit., hlm. 190
28
dan pengambilan tindakan15. Penyajian data ini dilakukan dalam
bentuk naratif yang dilengkapi dengan matrik dan grafik, sehingga
terbangun informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu
dan mudah dipahami.
Bagian yang terpenting yang tidak dapat diabaikan dalam
pengolahan data adalah penafsiran data atau pemaknaan data.
Penafsiran dilakukan agar apa yang telah dikerjakan sebelumnya
dapat lebih bermakna. Melalui penafsiran akan diperoleh deskreftif
analitik yang berkenaan dengan dinamika pendidikan madrasah di
Sumatera Barat.
c. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi
Bahagian dari kegiatan analis data berikutnya adalah
menarik kesimpulan dan verifikasi. Data yang sudah didiskripsikan
dengan secara terpola dan sistimatis, kemudian disimpulkan
sehingga makna data bisa ditemukan. Kesimpulan yang diberikan
beru bersifat sementara dan umum sampai pengumpulan data
berakhir. Verifikasi terhadap kesimpulan akan tetap berlangsung
selama proses peninjauan ulang terhadap catatan-catatan lapangan
dengan melakukan tukar pikiran diantara teman sejawat, makna-
makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya dan kecocokannya.
F. Membangun Keabsahan Data
Membangun keabsahan data suatu hal yang penting
dilakukan dalam penelitian kualitatif untuk memelihara tingkat
kepercayaan keilmiahan bagi hasil
penelitian. Ada empat kriteria yang digunakan,
sebagaimana yang diungkapkan Meleong yaitu : derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
15
Suprayogo, op cit., hlm. 194
29
ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability)16.
Kriteria ini berfungsi untuk mewujudkan kepercayaan terhadap
hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada
kenyataan yang sedang diteliti.
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung, 1988,
hal. 173
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN
31
mendorong dan memberdayakan “Tradisi Mudzakarah” agar santri
mempunyai kebiasaan kritis, dialogis, berfikir moderat.
Embrio pondok pesantren yang kemudian populer dengan nama
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) terbentuk sejak sistem halaqah yang
dikembangkan oleh surau-surau tradisional Minangkabau. Keberadaan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah dapat dilihat sebagai bentuk rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam yang memadukan semangat pengajaran sistem
halaqah dan sistem pembelajaran klasikal.
Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa surau yang memulai
pendidikan halakah yang kemudian menjadi cikal bakal MTI yang
dijadikan objek penelitian ini, antara lain :
a. Surau Tabek Gadang kira-kira 15 Km dari Kota Payakumbuh arah
Utara, dibina oleh Buya Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi (1906).
Surau ini kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Tabek Gadang (MTI-Tabek Gadang). Tujuan
didirikannya selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi
masyarakat Padang Japang, juga bertujuan untuk mendidik
masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan pada masa
kolonial Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
mempersiapkan pemimpin/ulama yang akan meneruskan ajaran
Islam khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, umumnya di
negara Republik Indonesia.
b. Surau Baru, Pakan Kamih, Ampek Angkek Canduang (Agam)
yang dibina oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (1908). Surau ini
kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Canduang (MTI Candung). Tujuan didirikannya MTI Candung
secara umum adalah untuk melahirkan kader ulama terutama
untuk menjadi tenaga pendidik dan da’i yang berkualitas yang
mampu mengembangkan ilmu pengetahuan Islam serta
memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.
32
c. Surau yang dibina oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho di
kenagarian Jaho, sekitar 5 km dari Kota Padang Panjang (1924).
Surau ini berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Jaho (MTI Jaho). Pada awal berdirinya, ponpes ini merupakan
pendidikan surau dengan membuka halaqah pengajian. Halaqah
yang ini kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, setelah bergabung dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Saat ini MTI Jaho menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (MTs) dan Aliyah (MA)
d. Surau yang dibina oleh Syekh H. Ali Imran Hasan di Jorong
Ringan-Ringan Kenagarian Pakandangan Kec. Enam Lingkuang
Kabupaten Padang Pariaman (1960), Surau ini akhirnya menjadi
Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Pada awalnya Syekh H. Ali
Imran Hasan mengaji (jadi santri) di pesantren Tarbiyah
Islamiyah Padang Lawas Malalo yang didirikan dan dikelola oleh
Syekh Zakaria Labai Sati. Sambil menyantri, ia dipercaya
mengajar kelas paling bawah. Lama kelamaan akhirnya ia
dipercaya mengajar pada kelas tujuh (kelas tertinggi pada
pesantren tersebut). Kepulangan beliau ke Pakandangan ternyata
diikuti oleh santri-santri beliau kelas tujuh di Padang Lawas
tersebut sebanyak 60 (enam puluh) orang. Akhirnya Syekh H. Ali
Imran Hasan memutuskan mendirikan pesantren di Ringan-
Ringan Pakandangan dengan nama Nurul Yaqin. Maka ia
melanjutkan mengajar santri tersebut di Pakandangan. Artinya
santri pertama dari pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan adalah
kelas tujuh.
e. Surau Aur Duri Sumani yang dibina oleh Buya H. Chatib Abu
Samah Al Chalidy (1963) bersama istrinya Ummi Hj. Sa’adah
Idris, kemudian menjadi MTI Sumani.1 Terkahir bernama Pondok
Pesantren Darussalam Sumani. Tujuan didirikannya pesantren ini
1
Ummi Hj. Sa’adah Idris, wawancara, Sabtu, 29 Desember 2010
33
selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi masyarakat Aur
Duri Sumani Kabupaten Solok, juga diniatkan untuk
mempersiapkan tokoh agama/ ulama yang akan melestarikan
ajaran Islam di Sumatera Barat. Sejak berdirinya, Pondok
Pesantren Darussalam Sumani berafiliasi dengan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah dan dalam waktu yang lama lebih dikenal
dengan sebutan Madarasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Sumani.
Secara tegas Ummi Hj. Sa’adah Idris, menyatakan bahwa MTI
Sumani bermazhab Syafii dengan mengutamakan penguasaan
Kitab Kuning.
f. MTI Batang Kabung juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi surau.
Proses transformasinya tergolong panjang. Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) Batang Kabung yang dirikan oleh 2 orang ulama
yaitu H. Shalif Tk Sutan adalah seorang ulama yang berasal dari
Sungai Sarik Padang Pariaman dan H. Abdul Manaf Khatib Imam
Maulana yang berasal dari Negeri Batang Kabung. Berdirinya
MTI bermula dari tidak adanya guru mengaji di Surau Gadang
Batang Kabung. Surau Gadang (sekarang Mushalla Darus
Salikin) Batang Kabung tercatat sebagai “tunggak tuo”atau soko
guru MTI Batang Kabung. Atas dorongan masyarakat, Imam
Abdul Manaf Khatib Imam Maulana mencari guru ke Pariaman
yaitu. H. Shalif Tk Sutan. Pengajaran agama di Surau Gadang ini
secara resmi dimulai tanggal 13 Januari 1955M / 1 Zulhijjah 1344
H.2 Dalam rentang waktu 1955-1966 pengajaran dilaksanakan
dengan sistim halaqah (duduk bersela dan berlingkar)
mempelajari kitab-kitab gundul saja, tidak ada pendidikan umum.
Selain itu, tradisi Muzakarah yang menjadi ciri khas Ormas
Persatuan Tarbiyah Islamiyah ikut membentuk MTI Batang Kabung.
Berawal dari diskusi pada halakah Ulama PERTI Sumatera Barat yang
diadakan di Rumah Buya H. Jamaluddin (Kepala Pengadilan Agama,
2
Profil PPMTI Batang Kabung, 2010
34
ulama PERTI yang disegani di Sumatera Barat ketika itu) di Rimbo
Kaluang (sekarang Jalan Raden Saleh Padang) kemudian mendorong
Syekh Haji Salif Tuanku Sutan meningkatkan halakahnya menjadi
Madrasah. Halakah ulama PERTI Sumatera Barat itu berjalan setiap bulan
membahas soal-soal keagamaan, politik dan mengembangkan ummat.
Pada awal tahun 1966 M berubah sistem pendidikan dari halaqah menjadi
Klasikal (belajar di kelas/lokal) dengan memakai bangku/kursi. Ini
berawal dapat izin Operasonal tangal 1 Agustus 1966 dari Departemen
Agama Padang Pariaman, waktu itu Batang Kabung Koto Tangah masih
daerah Kabupaten Padang Pariaman.
Sistem halaqah pada awalnya merupakan bentuk pembelajaran
agama yang diberikan oleh seorang ulama kepada jama’ahnya yang
berasal dari masyarakat di lingkaran surau. Karena pendidikan agama yang
bermula dari mengaji/belajar membaca al-Qur’an juga ditujukan kepada
generasi muda, pada akhirnya murid-murid generasi muda ini menjadi
murid madrasah. Kelangkaan sekolah pada masa itu menjadi faktor
penguat berdirinya lembaga pendidikan agama dengan sisten halaqah yang
menjadi embrio kelahiran MTI.
Adapun pelaksanaan pola halaqah ini menurut Buya Sulthani Dt.
Rajo Dubalang (1905-1988), generasi pemegang ijazah nomor register 2
MTI Candung ini adalah kegiatan belajar di mana murid duduk
mengelilingi guru seraya menunggu giliran membaca dan mendengar
syarah dari guru.3 Sedangkan hasrat untuk merobah kepada sistem klasikal
sudah ada dalam pikiran ulama tua Tarbiyah Islamiyah semenjak sistem ini
diperkenalkan Belanda di tanah air. Peralihan ke sistem klasikal dipecepat
oleh usulan murid-murid generasi pertama yang harus dibayar dengan
kerja keras mengumpulkan dana untuk mewujudkan fasilitas yang
dibutuhkan oleh sistem klasikal ini.
3
Bulletin Organisasi (BO) Tarbiyah No. 27/III/5/1989, h. 24
35
Table: Transformasi Surau-surau MTI
No Nama Proses transformasi
Madrasah
1 MTI Canduang Surau Baru Pakan Kamih (1908) → MTI
Candung (1928)
2 MTI Jaho Surau Jaho (1916) →MTI Jaho (1928)
3 MTI Tabek Surau Tabek Gadang (1906) → MTI Tabek
Gadang Gadang (1929)
4 Ponpes Nurul Surau Ringan-ringan pakandangan →
Yaqin Ponpes Nurul Yaqin (1960)
5 Ponpes Surau Aur Duri Sumani (1963) → MTI
Darussalam Sumani (1966) → Ponpes Darussalam
Sumani Sumani
6 PPMTI Batang Surau Gadang Batang Kabung (1955) →
Kabung Padang MTI Batang Kabung (1966)
4
Bulletin Organisasi (BO) Tarbiyah No.4/VI-1987
36
SKB tiga menteri 1974 dengan rasio: 70% agama dan 30%
umum.5
Sebenarnya memasuki tahun 1950-an, beberapa Madrasah
Tarbiyah Islamiyah telah mulai didaftarkan pada Departemen Agama.
Namun upaya tersebut mendapat kendala dengan sikap masyarakat yang
menentang masuknya pelajaran yang ditawarkan Departemen Agama
karena ada bentuk kekhawatiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat
bahwa pendidikan tarbiyah akan “dihapuskan”.
Namun perkembangan terakhir, karena tuntutan pembaharuan
pendidikan dan keharusan sejarah membuat perubahan besar dalam semua
aspek pendidikan dan kelembagaan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Secara
pasti Madrasah Tarbiyah Islamiyah masuk dalam lingkungan pendidikan
modern.
5
Beberapa informasi tentang MTI Candung bersumber dari http://mticandung.com.
Situs ini direkomendasikan oleh Kepala MAS Tarbiyah Islamiyah Candung untuk
mendapatkan beberapa data sekolah.
6
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil
Society: Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas Berbasis Keagamaan, Jakarta:
LSAF, 1999, h. 13
37
Komitmen inilah yang diturunkan dan diadopsi oleh beberapa MTI
yang menjadi objek penelitian ini. Dari visi yang disebutkan oleh para
pengelola MTI-MTI tersebut terlihat kesamaan semangat dan cita-cita
yang ingin dicapainya. Namun dari segi rumusan redaksional visi tersebut
sangat variatif. Adapun redaksional visi MTI tersebut adalah sebagai
berikut:
Visi
No Nama Madrasah Visi
1 MTI Canduang Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
2 MTI Jaho Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
3 MTI Tabek Gadang Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
4 Ponpes Nurul Tidak memuat redaksional visi secara
Yaqin jelas.
5 Ponpes Darussalam Terciptanya Insan yang Qur’ani,
Sumani berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu
pengetahuan, terampil dan mampu
mengaplikasikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa
6 PPMTI Batang Mencetak generasi/ Ulama yang terampil,
Kabung Padang berkualitas, berwibawa, berakhlak mulia,
Memiliki Iptek dan Imtaq
Misi
No Nama Madrasah Misi
1 MTI Canduang Menjadi lembaga pendidikan Islam yang
berdasarkan paham Ahlu al Sunnah wa al
Jama’ah dan mengakui mazhab yang
empat serta berfatwa dan mengambil
keputusan (al Ifta’ wa al Qadha’) dengan
Mazhab Syafi’i, mempertahankan pola
halaqah dalam pendalaman kitab kuning
2 MTI Jaho
3 MTI Tabek Gadang
4 Ponpes Nurul Yaqin
5 Ponpes Darussalam Melaksanakan dan mengembangkan
Sumani kurikulum yang mampu memenuhi
kebutuhan anak didik dan masyarakat
6 PPMTI Batang 1. Mampu membaca kitab standar ( Kitab
Kabung Padang kuning )
2. Mampu berpidato 3 bahasa yaitu Bahasa
Idonesia, Bahasa Arab dan Bahasa
38
Inggris.
3. Mencetak Ulama yang berakhlak mulia
dan beribawa.
4. Menciptakan Siswa/i yang terampil dan
mempunyai keterampilan yang tepat
guna.
7
Beberapa santri dari luar Sumatera Barat mengakui bahwa pilihan belajar di MTI
berasal dari informasi orang-orang yang telah lebih dahulu bersekolah di sana. Di antaranya
dari orang tua dan warga alumni MTI yang se kampung dengannya
39
Tarbiyah Islamiyah tetap menjadi bahan pertimbangan utama dalam
rekrutmen guru.
40
santri yang semula terjadi karena kharisma figure seorang Syekh menjadi
nama besar MTI yang berlandaskan pada kekuatan sistem pendidikan dan
mutu lulusan. Hal ini menjadi satu pola sendiri bagi MTI untuk bertahan
saat figure syekh yang menjadi daya tarik sudah tiada (meninggal dunia).
Meskipun demikian, pengelola pondok pesantren menyadari
pentingnya pembagian tugas sesuai dengan manajemen organisasi. Tetapi
karena kuatnya faktor figuritas membuat struktur organisasi tidak berjalan
dengan semestinya.
Pada umumnya saat ini hampir seluruh MTI telah mengikat diri
dengan badan hukum, misalnya yayasan. MTI Candung dikelolah di
bawah Yayasan Syekh Sulaiman Al Rasuly (sejak 1961). MTI Jaho
dikelola di bawah Yayasan Syekh Muhammad Jamil Jaho. MTI Tabek
Gadang dikelola oleh Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi. Pondok Pesantren
Darussalam Sumani bernaung di bawah Yayasan Syekh H. Chatib Abu
Samah Al Chalidy (sejak 1964). Pondok Pesantren Nurul Yaqin dikelola
oleh Yayasan Pembangunan Islam El-Imraniyah (YPII) sejak 1980.
Penamaan yayasan dengan nama pendirinya diyakini sebagai
penghormatan kepada guru dan sekaligus untuk menjaga nama besar
perguruan. Berbeda dengan Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang tidak
mengambil nama tokohnya sebagai nama yayasan. Kenyataan lainnya,
pada umumnya kepemimpinan yayasan diwariskan kepada keturunan atau
kerabat dekat tokohnya. Namun, pewarisan kepemimpinan ini sangat
rentan dan dapat menjadi sumber konflik yang menghambat manajemen
MTI.
Grafik: Model Struktur Organisasi MTI
Model A
Madrasah
Yayasan
Badan2 khusus
41
Model B
Yayasan
Model C
Pendiri Yayasan Syaikh al
Madrasah
Rais al Madrasah
42
a. Pada dasarnya badan hukum merupakan keharusan sebagai
bentuk legalitas formal sebagai lembaga resmi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dari segi
semangat dan pelaksanaannya, badan hukum tidak selamanya
menjadi penentu berjalan atau tidaknya pendidikan di MTI;
b. Pelaksanaan proses belajar dan mengajar tetap dikendalikan
dalam kerangka administrasi pendidikan sesuai dengan tuntutan
dan aturan pengelolaan madrasah/pesantren yang dibuat oleh
pemerintah, dalam hal ini kementerian agama.
c. Meskipun beberapa MTI memasukkan Rais al Madrasah dan
Syaikh al Madrasah dalam struktur organisasi, namun karena
keterbatasan tenaga guru tuo/syaikh yang semestinya memiliki
pengaruh dalam menentukan control terhadap kualitas lulusan
dan kesesuaian dengan visi madrasah, tidak dapat berjalan
dengan semestinya.
Temuan lapangan saat penelitian ini dilakukan, nampaknya ada
perubahan penting yang menggambarkan dinamika kepemimpinan dalam
struktur organisasi MTI. Dalam sejarahnya, MTI sangat erat kaitannya
dengan sosok/ figur seorang ulama/syekh. Tetapi dalam perjalanannya,
MTI mengalami pasang surut tokoh panutan yang menjadi figur kunci di
MTI. Hal ini disebabkan:
a. Adanya perubahan status kelembagaan dari milik pribadi
menjadi milik institusi/ badan hukum. Kontrol terhadap kualitas
pembelajaran dan mutu lulusan tidak lagi berada di tangan
guru/syaikh tertentu. Termasuk pengawasan terhadap suatu
pengajaran, apakah telah sesuai dengan prinsip ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah atau telah sesuai dengan tujuan
didirikannya MTI. Figur Syaikh/ guru besar sepertinya tidak
terlalu mengemuka.
b. Adanya perubahan pola pengelolaan MTI dari kultur asalnya
sebagai sebuah sistem yang bertujuan mendidik calon ulama
43
dengan meletakkan dewan guru/syaikh sebagai pelaku
utamanya. Namun dengan adanya administrasi lembaga
pendidikan menyebabkan munculnya pola hubungan kerja di
mana MTI dilihat sebagai sistem yang mempekerjakan guru
dan pegawai administrasi untuk melaksanakan kegiatan belajar
dan mengajar.
6. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan MTI pada umumnya masih berasal dari SPP
santri. Namun keuangan pesantren dua tahun terakhir terbantu dengan
adanya dana yang bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), 8
terutama untuk tingkat Madrasah Tsnawiyah. Selain itu untuk pengadaan
fasilitas MTI juga sering mendapat bantuan dari pemerintah terutama
Kementerian Agama maupun pihak swasta.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru senior didapatkan
informasi tentang kearifan lokal yang nyaris hilang terkait dengan sumber
pendanaan MTI. Di antaranya:
a. Sumbangan Jama’ah sekitar MTI. Di lingkungan MTI biasanya
terdapat sebuah masjid/mushalla tempat pengajian masyarakat
umum. Dalam kegiatan ini sering didapatkan dana sumbangan
dari jama’ah.
b. Sumbangan wali murid/santri. Wali murid tanpa diminta sering
mengadakan pertemuan sendiri dalam rangka membantu
meringankan beban keuangan madrasah.
B. Sistem Pembelajaran
1. Pola Pendidikan (terintegrasi dan terpisah)
Pada umumnya MTI menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (setara SLTP), Aliyah (Setara SLTA) dan pengkaderan
8
Zaituni, S.Ag., MM, Kepala MA Ponpes Darussalam Sumani, wawancara, 29
Desember 2010. Zaituni sendiri alumni MTI Candung, Agam. Ia mengakui keterlibatannya di
Ponpes Darussalam tidak lepas dari ikatan emosional sebagai alumni MTI dan sesama warga
Persatuan Tarbiyah Islamiyah
44
guru kitab kuning (takhassus/Ma’had ‘Aly). Semua jenjang
pendidikan tersebut dikelola dengan sistem terpadu antara
pendidikan Madarasah dengan kurikulum Kementerian Agama dan
sistem pendidikan khas pondok pesantren dengan muatan kurikulum
yang didesain sendiri untuk mencapai tujuan pondok pesantren.
Berdasarkan sistem kombinasi itu pula MTI mengembangkan
pendidikannya dengan dua sistem pembelajaran yaitu klasikal dan
halaqah. Sistem klasikal digunakan untuk pembelajaran madarasah
formal sesuai kurikulum Kementerian Agama. Sistem Halaqah
digunakan untuk pembelajaran kurikulum Pondok Pesantren. Kedua
sistem ini dilaksanakan secara terpisah.
Ada beberapa catatan penting terkait pelaksanaan kurikulum
Pondok Pesantren/ MTI, yaitu:
1. Pondok Pesantren Darussalam Sumani meskipun memuat
kurikulum dan mata pelajaran yang sama, namun karena
keterbatasan tenaga guru hanya dapat melaksanakan
kurikulum Kementerian Agama dan mengajarkan mata
pelajaran MTs/MA sesuai dengan standar Kementerian
Agama. Pelaksanaan kurikulum pondok tidak berjalan
dengan baik. Untuk mengatasi kekosongan jadwal santri,
maka pimponan pondok berupaya mengisi kegiatan santri
pada hari dan malam tertentu untuk melaksanakan belajar
bersama. Di antaranya kegiatan membaca al Qur’an
(tadarus), wirid dan pembacaan shalawat serta saling
simak dalam proses penghafalan al Qur’an (tahfiz).
2. Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan tetap
mempertahankan corak Salafiyah yang menekankan pada
kelompok pelajaran agama dan bahasa. Pelajaran agama
dan bahasa merupakan kurikulum pondok pesantren yang
diselenggarakan dengan sistem klasikal dan halaqah.
Sistem klasikal diterapkan pada jam pelajaran harian di
45
kelas. Sedangkan sistem halaqah dilaksanakan dari sore
hingga malam hari dan diasuh oleh “guru tuo”. Guru Tuo
adalah guru bantu, biasanya diambil dari santri senior atau
kakak kelas.9 Sementara guru tuo sendiri juga belajar
secara halaqah dengan guru utama. Adapun pelajaran
umum dan kurikulum madrasah Kementerian Agama
terbatas pada mata pelajaran yang diujikan dalam ujian
nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS)
3. Di MTI Canduang, kurikulum pondok terintegrasi dengan
kurikulum madrasah Kementerian Agama. Keberadaan
kitab kuning dijadikan sebagai referensi utama dalam
pelajaran agama. Pembelajaran kitab kuning yang sifatnya
pendalaman diberlakukan untuk kalangan terbatas, yaitu
untuk santri unggulan yang diproyeksikan untuk berbagai
kepentingan di antaranya untuk kepentingan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) dan untuk santri senior.
4. Sementara di MTI Batang Kabung, MTI Jaho dan MTI
Tabek Gadang juga melaksanakan kurikulum madrasah
Kementerian Agama. Tetapi pelaksanaannya lebih kreatif.
Meskipun kekuatan MTI tersebut terletak pada
pelaksanaan kurikulum Kementerian Agama, namun
kurikulum pondok tetap dilaksanakan sebisa mungkin
melalui pembelajaran dari sumber kitab klasik dan melalui
kegiatan ekstrakurikuler.
46
Quran yang didukung
oleh Pemda
3. Program Unggulan
Fiqih yang didukung
oleh Pemda
2 MTI Jaho MTs, MA
3 MTI Tb.Gadang MTs, MA
4 Ponpes N.Yaqin MTs, MA
5 PP Darussalam MTs, MA
6 PPMTI Bt.Kabung MTs, MA Taman Pendidikan Al-
Qur’an (TPA), Taman
Pendidikan Seni Al-
Qur’an (TPSA),
Madrasah Dinyah
Awaliyah (MDA), Majlis
Ta’lim
47
7. Ushul Fiqih : Bidayah al-Ushul, al-Waraqat, Lata-if al-
Isyarah, al-Asybah wa an-Nazhaair, al-Jam’u al-Jawami’ (al-
Banani)
8. Fiqih : Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, Fathu al-Qarib,
I’Anatu al-Thalibin, al-Mahally, al-Bidayah al-Mujtahid
9. Balaghah : Al-Qawaid al-Lughawiyah, Bidayah al-Balaghah,
Syarah Jauhar al- Maknun.
10. Mantiq : Idhah al-Mubham, Suban al-Malwi
11. Tarekh : Khulashah Nuru al-Yaqin, Nurul Yaqin, Itmamu al-
Wafa’
12. Ilmu Tafsir : Mabahis fi ulumil al-Qur’an (Mana’ul Qatan)
13. Ilmu Hadist : Ushulul Hadits
Hanya saja, berdasarkan temuan lapangan, tidak semua kitab
itu dapat diajarkan kepada santri MTI. Penyebabnya antara lain:
a. Kurangnya tenaga guru membaca kitab;
b. Ketersediaan kitab yang amat terbatas akibat sulitnya
mendapatkan kitab tersebut di toko buku atau
perpustakaan MTI
c. Padatnya jadwal untuk melaksanakan kurikulum, baik
kurikulum MTI ataupun kurikulum Kementerian Agama.
48
4. Geografi
5. Antropologi
6. IPS
7. IPA
8. Ilmu Komputer
4 Kegiatan Pengembangan 1. Hafizh
diri (ekstra kurikuler) 2. Kaligrafi
3. Tata Busana
4. Merakit Komputer
5. Muhadharah; Mudzakarah;
Munazharah
6. Nasyid; Qasidah.
7. Karate – do Indonesia
8. Takrau
9. Bola Volly
10. Sepakbola
11. Tenis Meja
12. Bulu Tangkis
49
No. Kelompok Mata Pelajaran Metode yang digunakan
Kurikulum
1 Pelajaran Agama 1. Fiqh 1. Diskusi /Muzakarah
2. Hadits 2. Eksperimen
3. Tauhid 3. Demonstrasi
4. Tafsir 4. Pemberian tugas
5. Tashauf 5. Drilling (latihan)
6. Ushul Fiqh 6. Kerja kelompok
7. Mantiq 7. Metode tanya jawab
8. Mushthalah
2 Pelajaran Bahasa 1. B. Arab 1. Diskusi /Muzakarah
2. Nahwu 2. Eksperimen
3. Sharaf 3. Demonstrasi
4. Tashrif 4. Pemberian tugas
5. Qawa’id 5. Drilling (latihan)
6. Balaghah 6. Kerja kelompok
7. B. Inggris 7. Metode tanya jawab
8. B. Indonesia
3 Pelajaran Umum 1. KWN 1. Ceramah
2. Ilmu Jiwa 2. Diskusi /Muzakarah
3. Sejarah 3. Eksperimen
Umum 4. Demonstrasi
4. Geografi 5. Pemberian tugas
5. Antropologi 6. Drilling (latihan)
6. IPS 7. Kerja kelompok
7. IPA 8. Metode tanya jawab
8. Ilmu
Komputer
50
keahlian tenaga pengajar menggunakan media berbasis teknologi
informasi (TI) tersebut.
Namun pembelajaran halakah yang menjadi identitas MTI untuk
pengkajian agama Islam yang bersumber dari kitab klasik, ternyata tidak
dapat dijalankan dengan sempurna. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
sistem halakah mengalami kemunduran dan menjauh dari identitas
Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Hal ini pulalah yang menjadi
kekhawatiran beberapa MTI yang menjadi objek penelitian ini.
51
lulusannya, bahkan menurut salah seorang guru dianggap terjadi
penurunan kualitas lulusan yang menguasai kitab gundul.
Penyebabnya menurut pengelola pesantren antara lain:
a. Belum maksimalnya program pengajaran bahasa Arab di
pondok pesantren;
b. Kurangnya tenaga guru yang bersedia mengasuh kegiatan
pembelajaran kitab gundul ;
Selain itu, beberapa pengelola MTI juga mengakui adanya
perubahan fungsi MTI dari lembaga pendidikan Islam, sosial dan
berkhidmat untuk penyiaran agama menjadi lembaga yang menuju ke
arah profesionalisme di bidang pendidikan, setidak-tidaknya sebagai
lembaga pendidikan formal alternatif.
Mastuhu pernah memaparkan diversifikasi pengembangan
bentuk dan jenis-jenis pendidikan pesantren yaitu:
a. Pendidikan non formal, khusus mempelajari kitab-kitab
klasik agama (kitab kuning). Mastuhu menyebutnya sebagai
bentuk lama dan merupakan bentuk asal dari pesantren.
b. Pendidikan formal, madrasah dan sekolah umum baik tingkat
menengah pertama maupun tingkat atas.10
Merujuk pada pola yang dipaparkan Mastuhu di atas,
pendidikan yang dilaksanakan MTI yang berada di bawah kultur
Persatuan Tarbiyah Islamiyah cendrung mengambil jenis pendidikan
formal yang menyelengarakan pendidikan setingkat Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Dalam saat yang bersamaan, berdasarkan pengelompokan
kurikulumnya, MTI cendrung mempertahankan semangat pendidikan
nonformal, namun dengan penuh kesadaran melakukan formalisasi
pelajaran kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik pada akhirnya
10
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX, Jakarta: 1994,
h.151
52
bertransformasi menjadi sumber belajar dan rujukan untuk kelompok
mata pelajaran agama.
Lebih jauh, pesantren bagi komunitas Persatuan Tarbiyah
Islamiyah tidaklah sama dengan pesantren sebagaimana dipahami di
kebanyakan pesantren seperti di Jawa. Pesantren terlihat sebagai
sebuah rumah besar yang menyediakan madrasah-madrasah sebagai
bilik-biliknya.
Dengan bahasa yang lain, pesantren-pesantren yang berafiliasi
dengan ormas Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah dapat disebut
sebagai dengan “Madrasah Kitab Kuning”. Maksudnya adalah
madrasah yang berwujud pendidikan formal dengan fokus
pembelajaran agama yang merujuk pada kitab klasik.
53
anak yang saleh. (Masdar Farid Mas’udi, 2000)
Pandangan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas
merupakan aspek lain dari pesantren. Namun pesantren selain
lembaga pendidikan agama, lebih jauh merupakan tempat
menggembleng warga masyarakat agar lebih siap menghadapi
persaingan global, utamanya dalam mengatasi kemiskinan,
pengangguran serta lembaga kontrol terhadap lalu lintas pergaulan
sosial yang cendrung kurang beradab dan jauh dari nilai-nilai agama.
Untuk itu perlu di kembangkan sebuah model pesantren terpadu yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama secara mendalam dan mengembangkan
ilmu-ilmu praktis dalam menghadapi persaingan global. Dengan
demikian diharapkan lahir generasi yang beriman, berilmu, berakhlak
dan memiliki keterampilan untuk menjalani kehidupan keduniawian.
Sekarang ini tumbuh fenomena pesantren dengan pendidikan
umum, SMP dan SMU yang mereka sebut bahkan sebagai harapan
untuk memberikan output yang unggul. Banyak pesantren yang telah
menyelenggarakan SMP dan SMU unggul. Dalam hal ini yang
diberikan pada anak didik selain pengetahuan umum dengan
penambahan perhatian pada bidang-bidang science misalnya
matematika, fisika, kimia dan biologi, di luar jam sekolah ada
pembinaan keagamaan yang lebih intensif dibanding dengan yang di
luar pesantren. Model kegiatan seperti ini pantas dikembangkan,
mengingat potensi kearah itu cukup dan tersedia.
Pesantren paling tidak memiliki beberapa potensi yang
menjadi pokok keunggulan , yaitu:
a. Kemandirian yang dimiliki madrasah/ pesantren
b. Prakarsa dan partisipasi segenap lapisan masyarakat Islam
secara kolektif dalam mendirikan dan mengembangkannya
c. Para orang tua melihat pendidikan umum atau pendidikan
sekuler sering disorot "menyimpan kegagalan" dalam
54
membina perilaku anak didik, terutama ketika disorot dari
aspek kenakalan remaja
d. Adanya kecendrungan meningkatnya semangat keagamaan
masyarakat dewasa ini, madrasah/ pesantren dianggap
sebagai pilihan yang tepat untuk mendidik anak-anak mereka
supaya tumbuh sebagai anak yang saleh.
e. Banyak juga pesantren yang menyelenggarakan SMP dan
SMU unggul. Dalam hal ini yang diberikan pada anak didik
adalah selain pengetahuan agama juga pengetahuan umum
dengan penambahan perhatian pada bidang-bidang science.
f. Pola hubungan antara guru dan murid dalam pandangan yang
sudah tertanam sejak lama di tengah masyarakat menjanjikan
bagi perbaikan akhlak anak-anaknya.
g. Para pakar menilai mutu siswa didik di sekolah agama
(madrasah) dan sekolah umum relatif sama
3. Hambatan dan tantangan Pondok Pesantren MTI
Ada beberapa hambatan dan tantangan yang kerap dihadapi
pondok pesantren MTI saat ini, yaitu:
a. Ketersediaan Sumber Daya Manusia
1) MTI sering menghadapi masalah kurangnya tenaga pengajar
dan tenaga kependidikan. Dari segi tenaga pengajar hambatan
terbesar antara lain kurangnya guru tetap / guru kitab yang
dapat membaca kitab gundul/ kitab kuning sekaligus dapat
mengajarkannya.
2) Sementara dari segi tenaga kependidikan, pihak MTI belum
dapat memberikan imbalan jasa (gaji) yang layak untuk
tenaga kependidikan tersebut.
3) Banyaknya guru-guru MTI yang lulus seleksi CPNS melalui
jalur Database ataupun jalur Seleksi Umum. Setelah lulus
CPNS mereka tidak bisa lagi mengabdikan diri secara penuh
di Pondok Pesantren.
55
b. Hambatan Manajemen
1) Belumnya terlaksananya manajemen pesantren/ madrasah
yang baik karena kurangnya tenaga pengajar ataupun tenaga
administrasi.
2) Adanya rangkap tugas dan rangkap jabatan antara pengurus
yayasan, tenaga pengajar dan tenaga administrasi.
3) Masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan seperti
perpustakaan, laboratorium dan sarana pembelajaran
kurikulum pesantren serta pembelian kitab-kitab standar
pesantren.
Hal ini disebabkan oleh tradisi pengelolaan madrasah/
pesantren yang diwariskan oleh generasi pendahulu di mana
pengelolaan dan kepemimpinannya masih menggunakan pola-
pola konvensional yang cenderung kurang memperhatikan aspek
administrasi secara baik.
c. Hambatan Finansial.
Para peserta didik di madrasah/ pesantren mayoritasnya
berasal dari lingkungan keluarga yang memiliki kemampuan
ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini sangat berpengaruh
pada upaya inovasi dan pengembangan manajemen pendidikan
yang tidak lepas dengan pemenuhan anggaran yang tidak sedikit.
Pada umumnya, para pengelola madrasah/ pesantren terhambat
idealismenya karena minimnya modal pembiayaan tersebut.
Temuan lapangan menunjukkan tidak cukupnya dana
operasional MTI baik untuk kepentingan belajar mengajar,
maupun untuk membayarkan gaji personalia tenaga pengajar dan
tenaga administrasi. Pengelola MTI masih mengandalkan
pembiayaan pesantren dari Sumbangan Pembiayaan Pendidikan
(SPP) siswa/santri dan bantuan-bantuan lainnya yang tidak
mengikat. Untung saja keuangan pesantren dua tahun terakhir
56
terbantu dengan adanya dana yang bersumber dari Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
Ada kecendrungan bahwa kondisi suatu MTI sangat
tergantung pada kekuatan finansial Syekh/ pendiri/keluarga
pendiri. Jika kebetulan Syekh/ pendiri/keluarga pendiri memiliki
sumber-sumber ekonomi yang cukup, maka lembaga
pendidikannya tampak maju dan modern. Selain itu, faktor yang
ikut mempengaruhi adalah peran alumni dan jaringan sosial
vertikal MTI. Jika MTI mempunyai alumni yang memiliki akses
yang kuat kepada sumber dana, maka ada semacam jaminan
untuk finansial MTI. Tetapi kondisi ini tidak selalu ada. Justru
karena ketergantungan financial kepada keluarga pendiri atau
figure tertentu serta donatur, membuat beberapa MTI tidak dapat
mengembangkan diri.
d. Hambatan mutu.
Akibat ketiga hambatan di atas, peningkatan mutu
pembelajaran di madrasah/ pesantren masih tertinggal dengan
siswa jalur pendidikan sekolah, terutama dalam bidang atau mata
pelajaran umum seperti IPA, matematika dan sejenisnya. Hal ini
sangat beralasan mengingat sumberdaya manusia (dalam hal ini
tenaga pendidik) maupun perangkat pembelajaran dalam mata
pelajaran tersebut masih terbatas.
Tetapi bagi pesantren/MTI yang diteliti, kekhawatiran
utama justru terletak pada rendahnya mutu lulusan terkait
kemampuan membaca kitab kuning sekaligus penguasaan
terhadap materi yang dimuat dalam kitab klasik tersebut. hampir
semua MTI yang jadi objek penelitian ini mengakui adanya
penurunan kualitas lulusan dari waktu yang lalu.
Meskipun demikian, pesantren/ MTI yang menjadi objek
penelitian ini tetap terus berupaya mempertahankan keunggulan
57
dan kekhasan lulusan masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada
table berikut ini:
No. Nama Ponpes/MTI Keahlian lulusan
1 MTI Canduang 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Fikih
3. Tafsir
2 MTI Jaho 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tafsir
3 MTI Tb.Gadang 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tasawuf
4 Ponpes N.Yaqin 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tafsir
5 PP Darussalam 1. Tahfiz al Qur’an
6 PPMTI Bt.Kabung 3. Ilmu Alat (bahasa)
4. Tafsir
Aspek Kondisi
No Hambatan
saat ini
MTI Candung
1. Manajemen MTI 80% Pembagian tugas belum
jelas
2. Sumber Daya 85% Guru banyak lulus PNS,
Manusia kompetensi tenaga
kependidikan kurang
3. Kurikulum 80% Pendalaman materi
pembelajaran Kitab pembelajaran kitab terbatas
58
untuk kelas khusus, guru
asrama kurang
4. Sumber Belajar 90% Hambatan terutama pada
ketersediaan buku dan
media
5. Sarana dan prasarana 85% Sarana pendukung
pembelajaran di asrama
kurang
6. Finansial 75% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
MTI Jaho
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 50% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 60% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
MTI Tabek Gadang
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 65% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
Ponpes Nurul Yaqin
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
59
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 50% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
Ponpes Darussalam
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 10% Lebih terfokus pada
pembelajaran Kitab kurikulum MTs/MA
Kemenag
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 65% Perlu penambahan gedung
prasarana dan perbaikan asrama
6. Finansial 50% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
PPMTI Btg Kabung
1. Manajemen MTI 70% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 75% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
60
Selain itu MTI diharapkan tetap menyelenggarakan pendidikan
formal baik madrasah atau sekolah umum. Hal ini disebut Mastuhu
sebagai madrasah yang hidup dalam kampus pesantren.11 Dengan kata
lain, pesantren adalah kampus besar dengan madrasah sebagai
program studinya. Hal ini sudah dicontohkan oleh MTI Candung
Kabupaten Agam yang menyelenggarakan beberapa program sebagai
berikut:
a. Program Tarbiyah 7 tahun (normal)
b. Program Tsanawiyah kurikulum Depag mulai kelas 2-4
c. Program Aliyah kurikulum Depag mulai kelas 5-7
d. Program Ma’had ‘Aliy 2 tahun selepas kelas 7
e. Program Khusus bagi santri pindahan dari SMP/MTs
f. Program Tahfidzul Quran yang didukung oleh Pemda
g. Program Unggulan Fiqih yang didukung oleh Pemerintah
Kabupaten Agam
h. Program Studi Jurusan IPA dan IPS tingkat Aliyah
11
Mastuhu, Ibid, h.152
61
a. Kemandirian; pesantren memiliki semangat kemandirian dan
otonomi secara penuh,
b. Keikhlasan; Pesantren pada umumnya dibangun dan dikelola
atas dasar keikhlasan dan diniatkan sebagai ibadah. Diiringi
semangat juang dan kerelaan berkorban yang tinggi dari
semua unsur yang terlibat di dalam pengelolaan pesantren
dapat menghindarkan terjadinya komersialisasi pendidikan
yang berujung terjadi runtuhnya nilai-nilai pendidikan itu
sendiri.
c. Totalitas paripurna; Pendidikan pesantren dijalankan secara
lebih komprehensif, meliputi pendidikan akhlak, spiritual,
ilmu pengetahuan, dan juga ketrampilan;
d. Kepribadian; Pendidikan di pesantren tidak hanya sebatas
mentrasfer ilmu pengetahuan, lebih dari itu adalah
menstranfer kepribadian. Para guru/ Syaikh secara langsung
memberikan tauladan dan juga membiasakan hal-hal yang
baik, sehingga ditiru oleh para santrinya;
e. Pembangunan karakter; Pendidikan pesantren tidak mengejar
simbol-simbol, seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk
membangun watak atau akhlak yang mulia,
5. Strategi Pengembangan
Berdasarkan uraian di atas, Pondok Pesantren MTI yang
berada di bawah naungan Ormas Persatuan Tarbiyah Islamiyah perlu
menyusun rencana strategis untuk program kebangkitan kembali
sebagaimana pada masa jayanya yaitu sekitar tahun 1930-1970-an.
Strategi yang perlu dikembangkan oleh pondok pesantren MTI
adalah:
a. Melakuakan re-orientasi pesantren MTI dengan cara
mempertegas visi dan misi pesantren
b. Menyelaraskan program pendidikan dengan visi dan misi
62
pesantren
c. Pengembangan sumber daya manusia, baik tenaga pengajar
(guru) terutama guru kitab kuning maupun tenaga
administrasi kependidikan. Kegiatan yang mungkin
dilakukan untuk melaksanakan strategi ini adalah dengan
mendesain program pelatihan dan workshop yang berkaitan
dengan kemampuan dan kompetensi yang diaharapkan dari
kedua jenis ketenagaan ini.
d. Pengembangan organisasi dan kelembagaan yang diarahkan
untuk membangun aliansi strategis dan kerjasama
kelembagaan, baik untuk kepentingan pendanaan maupun
untuk kepentingan distribusi lulusan sesuai dengan
kompetensinya.
e. Penataan administrasi dan manajemen MTI sesuai dengan
standar pengelolaan pendidikan formal tanpa menghilangkan
identitas kultural pesantren. Hal-hal yang bersifat teknis
administratif sangat perlu dilengkapi, misalnya buku profile,
statuta madrasah dan Standard Operational Procedure (SOP)
f. Pembukaan akuntabilitas publik yang bertujuan untuk
memberikan akses yang luas bagi publik baik terhadap
kurikulum maupun fasilitas kepada seluruh stakeholder.
g. Pengadaan dan pembenahan asrama sebagai subsistem
pesantren. Pembenahan terutama diarahkan pada bentuk fisik
dan kurikulum kegiatan asrama yang menunjang visi dan
misi MTI
63
berkarakter pesantren b. Menyelaraskan program
4. Pendidikan yang dianggap solusi pendidikan dengan visi dan
komprehensif yang tepat untuk misi pesantren
mendidik anak- c. Pengembangan sumber daya
anak mereka manusia, baik tenaga
supaya tumbuh pengajar (guru) terutama
sebagai anak guru kitab kuning maupun
yang saleh. tenaga administrasi
2. Para pakar kependidikan.
menilai mutu d. Pengembangan organisasi
siswa didik di dan kelembagaan yang
sekolah agama diarahkan untuk membangun
(madrasah) dan aliansi strategis dan
sekolah umum kerjasama kelembagaan, baik
relatif sama untuk kepentingan
pendanaan maupun untuk
kepentingan lulusan
e. Penataan administrasi dan
manajemen MTI sesuai
dengan standar pengelolaan
pendidikan formal minimal
tersedianya buku profile,
statuta madrasah dan
Standard Operational
Procedure (SOP)
f. Akuntabilitas publik yang
bertujuan untuk memberikan
akses yang luas bagi publik
baik terhadap kurikulum
maupun fasilitas
g. Pengadaan dan pembenahan
asrama sebagai subsistem
pesantren.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan kajian pada uraian terdahulu dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kondisi Objektif Pesantren/MTI
Pondok pesantren atau Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
yang berafiliasi dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (organisasi
massa Islam asli Sumatera Barat) adalah lembaga pendidikan Islam
yang bertujuan mengembangkan pendidikan yang lebih
menitikberatkan pada pengkajian agama Islam yang bersumber dari
kitab klasik. Embrio pondok pesantren/ MTI terbentuk dari sistem
halaqah yang dikembangkan oleh surau-surau tradisional
Minangkabau. Eksistensinya dapat dilihat sebagai bentuk rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam yang memadukan semangat pengajaran
sistem halaqah dan sistem pembelajaran klasikal.
Tuntutan pembaharuan pendidikan dan keharusan sejarah
membuat perubahan besar dalam semua aspek pendidikan dan
kelembagaan pondok pesantren/ MTI. Perubahan ini berpengaruh
terhadap mutu pesantren MTI terutama dari segi konsistensi terhadap
visi dan misi, kualitas santri dan guru, sarana prasarana,
kepemimpinan dan sumber pendanaan. Hal ini dianggap cukup
mengganggu masa depan pesantren/ MTI di tengah nama besar yang
sudah diembannya dalam sejarah pendidikan Islam di Sumatera Barat.
2. Sistem Pembelajaran
Pada umumnya MTI menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (setara SLTP), Aliyah (Setara SLTA) dan pengkaderan
guru kitab kuning (takhassus/Ma’had ‘Aly). Semua jenjang
pendidikan tersebut dikelola dengan sistem terpadu antara pendidikan
66
Madarasah dengan kurikulum Kementerian Agama dan sistem
pendidikan khas pondok pesantren dengan muatan kurikulum yang
didesain sendiri untuk mencapai tujuan pondok pesantren.
Berdasarkan sistem itu pula MTI mengembangkan pendidikannya
dengan dua sistem pembelajaran yaitu klasikal dan halaqah. Sistem
klasikal digunakan untuk pembelajaran madarasah formal sesuai
kurikulum Kementerian Agama. Sistem Halaqah digunakan untuk
pembelajaran kurikulum Pondok Pesantren.
Berdasarkan temuan lapangan didapati bahwa pelaksanaan
kurikulum pesantren yang khas Madrasah Tarbiyah Islamiyah mulai
melemah. Penyebabnya antara lain 1). Kuatnya dominasi pelaksanaan
kurikulum madrasah Kementerian Agama melalui Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madarasah Aliyah (MA) yang
diselenggarakan pesantren/MTI, 2). Keterbatasan sumber belajar
kurikulum pondok seperti keterbatasan SDM (guru/tenaga
kependidikan), sarana dan media pembelajaran kurikulum pondok dan
sebagainya.
67
menyusun rencana strategis untuk program kebangkitan kembali
sebagaimana pada masa jayanya yaitu sekitar tahun 1930-1970-an,
yaitu:
a. Melakukan re-orientasi pendidikan pesantren/ MTI dengan cara
mempertegas visi dan misi pesantren serta menyelaraskan
program pendidikan dengan visi dan misi tersebut.
b. Pengembangan sumber daya manusia, baik tenaga pengajar
(guru) terutama guru kitab kuning maupun tenaga administrasi
kependidikan.
c. Pengembangan organisasi dan kelembagaan yang diarahkan
untuk membangun aliansi strategis dan kerjasama kelembagaan,
baik untuk kepentingan pendanaan maupun untuk kepentingan
distribusi lulusan sesuai dengan kompetensinya.
d. Penataan administrasi dan manajemen MTI sesuai dengan
standar pengelolaan pendidikan formal tanpa menghilangkan
identitas kultural pesantren.
e. Pembukaan akuntabilitas publik yang bertujuan untuk
memberikan akses yang luas bagi publik baik terhadap
kurikulum maupun fasilitas kepada seluruh stakeholder.
f. Pengadaan dan pembenahan asrama sebagai subsistem
pesantren. Pembenahan terutama diarahkan pada bentuk fisik
dan kurikulum kegiatan asrama yang menunjang visi dan misi
MTI
B. Rekomendasi
Pesantren/ MTI yang berafiliasi dengan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah merupakan asset dan khazanah pendidikan Islam Sumatera
Barat yang masih kuat bertahan sampai sekarang. Tetapi eksistensinya
terkucilkan bahkan sub-ordinat dalam sejarah pendidikan Islam di
Sumatera Barat. Sementara penelitian ini hanya dapat menyingkap sedikit
saja dari problematika yang dihadapi pesantren/MTI. Oleh karena itu
68
penelitian dan penulisan temuan terkait dengan pesantren/MTI ini perlu
lebih dikembangkan terutama dari aspek;
1. Posisinya di tengah sejarah pendidikan Islam di Sumatera Barat
khususnya dan di Indonesia pada umumnya
2. Kekhasan dan keunikan pesantren/MTI yang berbeda dengan
;pada umumnya pesantren di Jawa atau daerah lainnya
3. Riset-riset aksi (Action Research) sebagai upaya untuk
membangkitkan kembali potensi dan kekuatan pesantren/ MTI
sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkarakter dank has
Sumatera Barat.
69
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen:
Wawancara
LAPORAN
PROGRAM PENELITIAN PENDIDIKAN
DAN KELEMBAGAAN ISLAM TAHUN 2010
Oleh:
1. Drs. Masrial, MA (Ketua)
2. Muhammad Nasir, MA (Anggota)
3. Drs. Jasril Nurdin (Pembantu Peneliti)
i
pesantren. (2) Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren mengalami
sistem ganda atau sistem terpadu antara program pondok pesantren dengan
madrasah Tsanawiyah dan Aliyah program Kementrian Agama. Ada dua
model yang diterapkan dalam sistem belajar, model klasikal dan model
halaqah untuk sebagian mata pelajaran pondok yang diasuh oleh kakak kelas
atau guru-guru yunior di asrama diluar jam pelajaran resmi. Dari enam
lembaga pesantren yang diteliti, lima pesantren dominan pendidikan madrasah
Tsanawiyah dan Aliyahnya dibanding dengan pendidikan pesantren, terkecuali
Pesantren Nurul Yaqim, karena sekolah tersebut memilih sistem shalafiyah. (3)
Ada beberapa problem pesantren dilihat dari segi mutu lulusan; pertama,
lulusan pesantren tidak mampulagi membaca kitab kuning yang merupakan
kebanggaa pesantren pada masa lalu, kedua, alumni pesantren tidak
mempunyai besik pegetahuan agama yang baik sebagai kader ulama yang
diharapkan tumbuh dari pesantren, dan ketika mereka tidak punya bekal
keterampilan untuk terjun kelapangan pekerjaan. Kurikulum madrasah hanya
sebatas untuk memberi peluang bagi lulusan pesanren yang mengikuti pola
madrasah untuk melanjutkan kesekolah umum yang sederajat atau masuk
perguruan tinggi. (4) Dari prolem yang temui ada langkah-langkah strategik
yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas lulusan santri yang siap
pakai: pertama, mempertegaskan kembali visi, misi dan tujuan lembaga
pendidikan pesantren untuk menentukan arah kedepan perjalanan proses
pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan saman, kedua, menyiapkan
serta meningkatkan sumberdaya tenaga pendidik dan kependidikan yang siap
pakai, ketiga, pembenahan menagemen dan administrasi kelembagaan dengan
menggunakan teknologi, keempat, melengkapi sarana dan prasarana
pendidikan dalam bentuk sistem asrama, dan kelima, pesantren tidak mesti lagi
mengandalkan pada semata kepemimpinan krismatik tunggal atau popularitas
syekh atau buya seperti masa lalu, akan tetapi pesantren tampil kerena
keunggulan sistem kelembagaan yang bangun. Sebab pewarisan pimpinan
krismatik di sistem pondok pesantren Sumatera Barat sudah menjadi kelangkaan,
tidak adanya buya-buya krismatik yang lahir dikalangan pondok sebagai pewaris
estafet kepemimpinan pondok.
ii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
Abstrak ……………………………………………………………………..… i
Kata Pengantar ……………………………………………………………….. iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………… v
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Rencana Strategik Pengembangan Pendidikan
Islam 2010-2014, Jakarta, 2009, hal. 3
1
seorang ulama, biasanya disebut “Kiyai”di Jawa atau “Syekh” di
Minangkabau. Sosok seorang kiyai pengasuh pesantren pada masa awal
mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya pengalaman, tokoh sentral
spiritual yang jadi rujukan masyarakat. Oleh karena itu kedudukan kiyai
sebagai sentral system nilai menjadi sangat efektif dalam pentransperan nilai-
nilai dan ilmu agama. Santri merupakan simbol sosial, dihormati dan
disegani oleh masyarakat sebagai perlambangan masyarakat yang terpelihara
akhlaknya.
Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren pada masa awalnya lebih
pada mendidik santri aga rmenjadi "insan kamil" dan sama sekali belum
menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kyai pengasuh
pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya
seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa
pengkajian kitab klasik ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya.
Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab
fiqh, jika kiyainya ahli ilmu tasauf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-
kitab tasauf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti
yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa
pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar dari
cabang ke ilmuan tersebut.
Lokasi Pesantren pada mulanya berada di dekat pusat kekuasaan.
Seandainya tidak terjadi sejarah kolonialisme yang berkepanjangan di
Indonesia, maka Pesantren itulah yang menjelma menjadi Universitas,
seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya merupakan
"pesantren" gereja. Penjajahan Barat yang terlalu lama, mengubah peta
dimana pesantren justru berada di kampung-kampung, jauh dari pusat
kekuasaan (penjajah), karena para kyai secara konsisten melakukan
konfrontasi budaya dengan penjajah kafir. Ketika Indonesia merdeka,
masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfrontasi
dengan budaya Barat. Penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pemerintahan
RI yang belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan (termasuk
2
sistem pendidikan), memperpanjang masa konfrontasi budaya tersebut,
sehingga pesantren tidak berusaha masuk ke dalam sistem pendidikan
nasional, tidak tercantum dalam GBHN dan tidak nampak dalam APBN.
Sistem madrasah, apalagi madrasah diniyyah juga hanya diakui setengah hati
oleh sistem nasional, yang implikasinya nampak padaperbedaan anggaran
negara yang sangat "jomplang". Tersisihnya pesantren dan madrasah dari
sistem pendidikan nasional nampaknya bersumber dari dua pihak sekaligus.
Pertama ; sebagian "kaum muslimin" secara budaya masih memandang
sekolah umum sebagai sekolah “kafir” warisan penjajah dan tidak
mendatangkan pahala. Kedua; ada oknum dalam elit pemerintahan kita yang
secara sadar berusaha menghambat kemajuan masyarakat pesantren dan
madrasah.
Pesantren Zaman “Orba” bersamaan dengan dinamika politik dimana
Golkar membutuhkan dukungan masyarakat Pesantren, mulailah terjadi
interaksi sosial dimana Pemerintah menaruh perhatian kepada dunia
pesantren dan dari kalangan pesantren sendiri muncul kaum intelektual santri
yang secara sadar berusaha meningkatkan kualitas pesantren sekaligus
berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara.
Bermula datang gagasan untuk mengajarkan keterampilan di pesantren,
misalnya peternakan ayam, keterampilan menjahid dan sebagainya, kemudian
datang SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri
Dalam Negeri yang menyetarakan Madrasah dengan SLP/SLA. Dinamika ini
juga nampak dari sikap IAIN terhadap pesantren. Sekitar tahun -70-an
pesantren memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memasok calon
mahasiswa IAIN. Tetapi, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem
pendidikan nasional, IAIN menolak alumni pesantren Salafiayah misalnya,
hanya karena ijazah tidak diakui pemerintah, padahal untuk menjadi
mahasiswa IAIN, kualitas alumnus pesantren diakui lebih baik dibanding
lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Mentri.
Dengan adanya SKB 3 Mentri, pesantren atau Madrasah Tarbiyah
Islamiyah di Sumatera Barat mengalami hal yang delematis, ada dua pilihan
3
yang harus ditempuh oleh madrasah, pertama mengikuti pola kebijakan SKB
3 Mentri dan kedua bertahan dengan system salafiyahnya. Kedua pilhan itu
menimbulkan konsekwensi dengan tidak mengikuti SKB3 Mentri, madrasah
akan eksis dengan identitasnya sebagai lembaga pendidikan agama yang
berorientasi untuk mendalami agama lewat pembelajaran kitab-kitab gundul
serta kultur pendidikan yang sangat agamais. Tapi disisi lain lulusan
pesantren atau madrasah, ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah dan tidak
diterima masuk IAIN, pada hal IAIN adalah satu-satunya perguruan tinggi
negeri untuk kelanjutan bagi pendidikan madrasah. Kondisi ini membuat
lahirnya sikap “ambivalensi” (sikap mendua dalam mengambil sikap antara
dua persoalan yang muncul dengan saling bertentangan) di kalangan lembaga
pendidkan madrasah, sehingga melahirkan berbagai tipologi model madrasah
sesuai dengan sikap kebijakan yang diambil oleh para pengelola madrasah itu
sendiri.
Lembaga pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiya
di Sumatera Barat menurut data sementara berjumlah lebih kurang 73 buah
yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten2. Keberadaan pesantren
madrasah tersebut sangat bervariatif baik dari segi kualitas mapun dari sisi
kuantitas, sistem pendidikan juga berbeda-beda sesuai dengan kemampuan
dan kemauan masing-masing pengelola. Sistem pendidikan pesantren
madrasah tidak diatur oleh organisasi Tarbiyah Islamiyah, lembaga
pendidikan mempunyai hak otonom untuk mengatur dirinya masing-masing
yang berada di bawah pengelolaan yayasan. Pencitraan pesantren madrasah
dimata masyarakat sangat ditentukan oleh sampai sejauh mana lembaga
pendidikan itu dapat mengintegrasikan dirinya kedalam kehidupan
masyarakat yang mengitarinya. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan
akan diminati oleh masyarakat apabila ia mampu memenuhi kebutuhan dan
harapan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasai suatu
bidang kehidupan tertentu, serta kemampuan moral keagamaan dan moral
2
Catatan di Sekretariat Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat, 2010
4
social budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah pergaulan bersama
sebagai manusia terhormat.
Dalam sejarah perjalanan pondok pesantren madrasah di Sumatera
Barat telah pernah terbukti mampu membangun kepercayaan dan minat
masyarakat yang cukup tinggi terhadap madrasah. Terlihat dari partisipasi
masyarakat dalam membangun sekolah-sekolah madrasah dan sekaligus
menyerahkan anaknya untuk didik di madrasah. Sehingga madrasah berdiri
dan berkembang di berbagai kota dan kabupaten di seluruh Sumatera Barat.
Kemudian disekitar akhir tahun 70-an madrasah mulai kehilangan daya
minatnya bagi masyarakat, sekolah-sekolah madrasah yang biasa ribuan dan
ratusan santrinya bahkan nyaris hampir tidak ada santri lagi, seperti Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Jaho sekarang punya santri puluhan orang, yang dulu
cukup terkenal, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Padang Laweh Malalon yang
kondisinya sangat memprihatinkan dengan jumlah santri puluhan orang,
Pondok Pesantren Madrasah Darussalam Aur Duri Sumani Solok, Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Koto Panjang Lampasi, Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Batang Kabung Padang dan sejumlah madrasah lainnya mengelami kondisi
yang sama.3
Bagaimanapun bentuknya, lembaga pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang ada masih mempunyai potensi yang cukup kuat untuk bisa
dikembangkan menjadi lembaga pendidikan modern, jika ada pihak-pihak
diluar pesantren mau melakukan pembinaan dan kerja sama. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah SDM santri, yakni allumnus pesantren yang dewasa ini
telah bergelar master, Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru
sistem pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif cukup tinggi.
Optimisme terhadap pesantren justru sangat menonjol pada kelompok
intelektual alumnus pesantren. Konsep-konsep strategis pengembangan
pesantren ke depan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sangat
diperlukan.
3
Hasil survai penulis dalam melakukan evaluasi kebeberapa madrasah di Sumatera
Barat, 2009
5
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan
kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan
masyarakat lingkungannya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan
nilai antara lembaga pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya,
setidaknya tidak bertentangan. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan akan
diminati oleh anak-anak, orang tua dan masyarakat apabila ia mampu
memenuhi kebutuhan mereka dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi serta
moral agama dan moral sosial budaya untuk menempatkan diri mereka pada
posisi sebagai manusia yang terhormat. Pesantren sering diidealisasikan
sebagai komunitas yang ideal dan sakral dan rujukan spritual. Tapi disisi lain
pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang kurang berorientasi pada
masalah keduniawian dan terlalu ukhrawi.
Dari latar belakang pemikiran tersebut di atas, dapat di katakan ada
sejumlah masalah yang memerlukan penelitian dan kajian secara cermat
untuk mencari berbagai factor penyebab terjadinya kemunduran madrasah di
Sumatera Barat serta upaya merumuskan langkah-langkah strategis untuk
pengembangannya. Penelitian ini penulis rasa amat diperlukan untuk
membuka tabir kondisi idial pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di
Sumatera Barat, karena menurut sepengetahuan penulis belum ada penelitian
yang mengkaji secara holistik terhadap problem lembaga pendidikan
Madrasah Tarbiyah di Sumatera Barat.
2. Fokus Penelitian
Berlatar belakang dari pokok-pokok pikiran di atas, maka penelitian
ini memfokuskan kepada beberapa hal:
1. Kondisi objektif lembaga pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah hari ini.
2. Sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang sedang dijalankan hari ini.
3. Problematika lulusan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang sedang dihadapi.
6
4. Langkah-langkah strategis dalam upaya pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk mempertanyakan
secara lebih sepesifik mengenai masalah apa yang akan dipecahkan melalui
penelitian ini. Berdasarkan pada berbagai masalah yang dihadapi oleh
pendidikan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera
Barat, sebagaimana dijelaskan pada latar belakang masalah di atas maka
rumusan maslah penelitian ini mengacu pada upaya melihat sistem
pendidikan pondok pesantren yang dijalankan oleh madrasah-madrasah yang
beridiologi pada paham Ahlussunnah wal al-Jama’ah dan bermazhab as-
Syafi’iyah.
Hal-hal yang menjadi fokus masalah penelitian berkaitan dengan:
kondisi objektif Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera
Barat, sistem pendidikan yang kembangkan, potensi yang dimiliki sebagai
modal dalam memantapkan identitas dan kehadirannya ditengah-tengah
kehidupan berbangsa yang sedang membangun dan strategi menghadapi
tantangan zamannya, yaitu perubahan sistem pendidkn nasioal sebagai
kebutuhan pembangunan nasional dalam kemajuan ilmu dan teknologi.
Bagaimana pesantren meresponi kebijakan system pendidikan nasional dan
mengitegrasikan dengan pengembangan madrasah.
Secara rinci rumusan pertanyaan penelitian yang akan dijawab ialah:
1. Bagaimana kondisi objektif Pondok Pensantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah
2. Bagaimana sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang berjalan hari ini.
3. Bagaimana problematika lulusan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang dihadapi.
7
4. Langkah-langkah strategis dalam upaya pengembangan dan
peningkatan mutu pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah
4. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut di atas, maka tujuan
penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi objektif lembaga pendidikan Pondok
Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah hari ini.
2. Untuk mengetahui sistem pendidikan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang sedang berjalan hari ini.
3. Untuk mengetahui problematika lulusan Pondok Pesantren
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang sedang dihadapi.
4. Untuk merumuskan konsep strategis dalam upaya pengembangan
dan peningkatan mutu profesional Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara`teoritik penelitian ini akan memberikan konstribusi terhadap
pengayaan pengetahuan dalam kajian pendidikan pondok pesantren
secara spesifik.
2. Secara prakmatis penelitian ini akan memberi input bagai pengambil
kebijakan untuk merumuskan system pendididkan pondok pesantren
madrasah yang beridiologi dengan paham Ah-luussunnah wal-
jama’ah dan bermazhab Syafi’iah sesuai dengan tuntutan
perkembangan pembangunan dan harapan masyakat masa depan.
3. Lahirnya suatu konsep pengembangan Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang kompetitif sesuai dengan tuntutan zaman.
F. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini dimaksudkan untuk memberikan arah
terhadap pemaknaan dari apa yang maksudkan dari judul penelitian ini. Ada
8
beberapa variabel yang perlu dijelaskan secara konseptual agar pembahasan
penelitian ini terbingkai dalam kerangka kkonseptual yang sistematik, yaitu
sistem pendidikan, pondok pesan dan peningkatan mutu.
Sistem Pendidkan: Kata sistem diartikan adalah “System is defined in
the diectonory as an assemblage of objects united by some form of Regular
interaction or inter dependence, an organic or organized wthole, as the solar
syetem, or a new telegraph system”.4 Artinya suatu himpunan dari objek-
objek yang disatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang teratur atau saling
bergantung. Satu kesatuan atau penyatuan menjadi keseluruhan sebagai
sistem yang tersendiri. Sedangkan sistem pendidikan dalam kamus bahasa
indonesia adalah “keseluruhan yang terpadu dari satuan kegiatan pendidikan
yang berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan”. 5 Unsur-
unsur dan nilai-nilai pendidikan yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kualitas dari dinamika suatu sistem pendidikan sangat tergantung pada
kualitas pengasuhnya dan bobot interaksi antara unsur-unsur organiknya
atau para pelakunya dalam menhadapi tantangan pembangunan nasional dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pondok Pesantren: Kata pondok pesantren dalam kamus bahasa
Indonesia berarti “bangunan (tempat) yang dipakai untuk kegiatan belajar
agama sekaligus tempat tinggal para santri (pelajar).6 Menurut Djamaluddin
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)
yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian
atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan
kepemimpinan seorang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik
serta independen dalam segala hal.7
4
Banaty, Bela, H, Instrutional System, California, Fearon Publishen, Ine, 1978, hal.1
5
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, Jakarta, t.th,
hal.715
6
Ibid, hal.621
7
Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Setia,
Bandung:1997, hl. 99
9
Secara historis, pada masa penjajahan pondok pesantren menjadi satu-
satunya lembaga pendidikan Islam yang mengamleng kader-kader ulama
yang tanguh dan gigih mengembangkan agama Islam serta menetang
penjajahan dengan semangat idiologi ke Islaman yang mereka miliki. Sevitas
pondok pesantren mempunyai jiwa patriotisme dan fanatisme agama yang
sangat kuat. Pesantren dapat dikatakan sebagai training center membentuk
cuktural relegius masyarakat dan sekaligus menjadi sentral kiblat
keberagamaan di masyarakat sekitarnya. Kyai atau syekh sebagai pimpinan
pesantren otomatis menjadi santral figur dan rujukan spritual umat.
Salah satu ciri sistem pendidikan pondok pesantren selalu
diselenggarakan dalm bentuk asrama sehingga santri mendapatkan
pendidikan dalam situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat denga ilmu
pengetahuan agama. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan pada umumnya
sangat bergantung pada keahlian kyai yang bersangkutan. Santri-santri
mendapatkan kedisiplinan dalam mengerjakan ibadah sehari-hari, sehinggga
segi practical religion (praktek keagamaan) lebih menonjol dibanding sistem
pelajar dalam kalasikal dalam bentuk kurikulum formal.
Pondok pesantren yang menjadi sabjek penelitian ini adalah yang
berlatar belakang Madrasah Tarbiyah Islamiyah disebut dengan singkatan (
MTI) yang kemudian berubah nama menjadi Pondok Pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah, karena untuk menyesuaikan dengan pola kebijakan
Depertemen Agama yang membuaat klasifikasi antara madrasah dengan
pondok pesantren. Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang
merupakan ciri khas Sumatera Barat, lembaga pendidikan ini didirikan oleh
kelompok kaum “tua8 yang merupakan hasil dari pembaharuan sistem
pendidikan surau9. Lembaga pendidkan ini lahir lebih awal dari
8
Kaum Tua adalah kelompok keagamaan yang berfahamkan kepada mazhab
Syafiiyah dalam bidang fiqih, dan Asy’ariyah Maturidiyah dalam bidang i’tikad
9
Cikal bakal lembaga pendidikan pesantren berawal dari pendidikan surau
sebagaimana dijelaskan di atas. Surau dalam sistem adat di Mnangkabau adalah kepunyaan
kaum, suku tertentu sebagai pelengkap sarana adat dalam kaum, karena persyaratan dalam
suatu kaum harus ada rumah gadang sebagai tempat perkumpulan kaum, surau sebgai sarana
10
organisasinya yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang
didirikan tanggal 5 Mei 1928 di Candung Kabupaten Agam 10. Lembaga
pendidikan tersebut pada mulanya berdiri dalam bentuk sistem halaqah
bertempat di surau-surau yang dipimpin oleh seorang ulama besar, seperti
yang dikenal dengan surau Syekh Sulaiman Arrasuli di Candung, surau Syekh
Muhammad Djamil Djaho di Padang Panjang11 , dan sejumlah surau lainnya.
Kemudian berkembang menjadi klasikal sesuai dengan tuntutan perubahan
zaman, lembaga pendidikan tersebut sebagai alat perjuangan dalam
pengembangan faham keagamaan. Kelompok kaum tua dalam bidang teologi
menganut faham aliran Asya’ariyah- Mu’turidiyah dan dalam bidang figh
bermazhab Syafiiyah. Hal ini tercermin dari kitab-kitab yang dipelajari di
madrasah semuanya berorientasi mazhab Syafi’i.
Menurut Azyumardi Azra istilah pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang khas, baru memasyarakat dan digunakan oleh
sejumlah lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat dalam beberapa
dasawarsa terakhir, fenomena pesantren yang demikian berkembang di pulau
Jawa dan tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
lembaga pendidikan Islam senacam ini di Minangkabau, terkecuali setelah
terjadi modernisasi pesantren belakangan ini.12
Pondok pesantren yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
lembaga pendidikan agama yang menyelenggarakan proses pendidikan dan
pembelajaran dalam bentuk sistim klasikal yaitu membelajaran yang
diberikan di dalam kelas dan non klasikal dimana guru atau ustaz
pembelajaran di asrama atau di luar jam resmi sekolah. Materi pembelajaran
yang diberikan ustaz kepada santri hal-hal yang berkaitan dengan pembelajar
“agama” seperti nahu, sharaf, fiqh, tarekh, tauhid. Semua materi
ibadah dan papandam perkuburan tempat pemakaman kaum serta basasok bajaramai artinya
tempat usaha ekonomi seperti sawah ladang sebagai sumber ekonomi kehidupan kaum.
10
M.Sanusi Latif, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, (Disertasi, t,t,), hal. 10
11
Secara administratif kepemerintahan Jaho terletak di Kab. Tanah Danat, tapi dalam
sebutan populernya MTI Jaho Padang Panjang, alasanya kerena dekatnya dengan kotaPadang
Panjang
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium
Baru, Logos, Jakarta: 2002, hal.129
11
pembelajaran menggunakan kitab standar berbasa Arab. Para santri pada
umumnya tinggal di asrama atau di rumah penduduk sekitar pesantren, santri
di asrama dianjurkan membentuk halaqah yang dipandu oleh seorang ustaz
atau guru asrama yang ditetapkan oleh pimpinan pondok.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Terdahulu
Penelitian terhadap pondok pesantern telah banyak dilakukan oleh
para peneliti sebelumnya, terutama di Pulau Jawa yang jumlah pondok
pesantrenya lebih banyak dibanding dengan Sumatra. Peneliti-penelitian
yang telah dilakukan berbicara dalam bebagai aspek dan sudut pandang. Di
samping penelitian juga cukup banyak tulisan dalam bentuk buku-buku dan
makalah. Semua literatur yang sudah ada sangat mempunyai arti yang besar
sekali bagi penelitian ini dalam pengayaan informasi dan teori-teori yang
telah dibangun sebelumnya untuk memahami realitas pesantren dalam kondisi
kekinian.
Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah: (1) Penelian Mastuhu
yang mengkaji pesantren dari sudut pandangan antro pologi dan sosiologi
pendidkan dengan tema dinamika system pendidkan pesantren di pulau Jawa
tahun 1994 sebagai studi kasus terhadap enam buah pesantren. Penelitian ini
menfokuskan pada; unsur-unssur yang terdapat dlam sistem pendidikan
pesantren, nilai-nilai luhur pesantren, dan dinamika sistem pendidikan
pesantren, (2) Profil Pesantren di Bogor, oleh Prosodjo Sudjoko. (3) Tradisi
Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai dan Tipologi Pesantren
oleh Zamachsyari Dhofier, 1982. (4) Struktur Keilmuan Pesantren oleh
Prosodjo Sudjoko. (5) Tipologi Pondok Pesantren di Jember, 1995, oleh tim
IAIN Jember. (6) Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa, oleh
Clifforg Geertz, 1981 (7) Tulisan Dawan Raharjo tentang Pergumulan Dunia
Pesantren, 1983. (8) A. Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah,
1986. (9) Sanusi Latif tentang Kaum Tua di Minangkabau bagian dari
tulisannya membicarakan lembaga pendidikan kaum tua (madrasah-
madrasah). (10) Alidin Koto dalam penelitian disertasinya berjudul Pemikiran
Poltik Perti juga membahas lembaga pendidikan madrasah dan sejumlah
tulisan penelitian lainnya yang belum dapat dimuat disini. Dari temuan
13
penelitian yang ada sepengetahuan penulis belum ada yang membahas secara
khusus tentang problem pendidikan pondok pesantren dalam menghadapi
tantangan zamannya dan langkah-langkah stratejik untuk pengembangannya.
Azyumardi Azra juga menulis tetang pesantren dalam persfektif di
Minangkabu. Kafrawi dalam tulisan Karya Program (Taskap) pada tahun
1977 membahas tentang pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren.
Nurchalis Majid juga menulis Bilil-Bilk Pesantren dan sejumlah karya
lainnya yang cukup banyak tetang pesantren.
B. Landasan Teoritik
Menurut Mastuhu, kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif
dimaksudkan untuk memberikan gambaran tata pikir penulis mengenai
permasalahan apa yang akan dijawab dalam suatu penelitian dan bukan
dimaksudkan untuk meletakkan konsepp-konsep pemikiran lebih awal
(apriori) untuk memberikan penilain terhadap apa yang diteliti.1 Pendekatan
untuk menjawab masalah penelitian ini didasarkan pada anlisis data atau fakta
temuan lapangan, hal ini adalah satu ciri khas dari metode graunded research.
Penelitian yang bersifat kualitatif merupakan penelitian yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak diintervensi oleh teori, akan
tetapi memberi kuntribusi terhadap penemuan dan pengembangan teori. Suatu
teori atau konsep yang dijadikan dasar penelitian berguna untuk membaca
fenomena empirik sehingga konsep atau teori ini berfungsi untuk “to
understand”, yaitu peneliti dapat mengerti tentang empirik. Mengerti tentang
sesuatu merupakan modal bagi peneliti untuk dapat menjelaskan dan
mendeskripskan secara cermat dan utuh ”to explain”. Apabila peneliti sudah
dapat menjelaskan ia dapat mengontrol atau mengevaluasi suatu fenomena
dan dapat membuat prediksi terhadap hasil-hasil temuan empirik.
1
Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), hal. 39
14
Kerangka pendektan teoritik dalam penelitian menggunakan teori-
teori pendidikan terutama teori pendidikan Islam dan teori pendidikan secara
umum. Dalam sistem pendidikan terdapat sejumlah teori-teori pendidikan
dalam berbagai bentuk aliran-aliran seperti; Empirisme, Nativisme,
Konvergensi, dan Pendidikan Islam.
a. Empirism.
Aliran ini dipelopori oleh John Locke (1632-1704), dan
terkenal dengan teori “tabularasa”. Aliran ini berpendapat bahwa
anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih, bagaikan kertas
kosong, dan selanjutnya terserah kepada oarang tuanya. Sekolah,
dan masyarakat, ke arah mana keperibadian anak tersebut dibentuk
dan dikembangkan.2 Berdasarkan aliran ini maka tugas pendidikan
adalah menciptakan manusia baru atau generasi baru yang lebih
baik dari yang lalu. Teori ini dipakai di Rusia, jerman dan Itali.
b. Nativisme.
Aliran ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1768-1860),
dan terkenal dengan teori bakat dengan teori bakat. Aliran ini
berpendapat bahwa anak dilahirkan dalam keadaan lengkap dengan
bakat dan pembawaannya, cepat atau lambat akan menjadi
kenyataan dikemudian hari. Pendidikan hanya berperan membantu
anak didik untuk menjadi apa yang akan terjadi sesuai dengan
potensi bakat pembawaanya. Jadi tugas pendidik bukan
menghasilkan apa yang akan dihasilkannya.3 Aliran ini percara
bahwa anak pada dasarnya baik dan mampu belajar
mengembangkan bakatnya. Anak akan belajar dengan baik dan
rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan tertarik
mempelajarinya sesuatu yang memang sesuai dengan bakatnya.
Sebaliknya dia tidak akan mau belajar apabila dipaksa, diancam
dan harus mempelajari bidang studi yang tidak sesuai dengan
2
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Ibid, hal, 14
3
Uril Bronfenbrenner, Two Worlds of Childhood, Penguin Education, Australia, 1974,
hal, 120
15
bakat dan minatnya. Oleh karenanya anak dimasukkan ke sekolah
yang sesuai dengan keinginannya. Aliran ini banyak dipakai di
Ammerika dan Eropa Barat.
c. Konvergensi.
Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1939), dan
terkenal dengan teori realisme, karena dianggap sesuai dengan
kenyataan. Teori kovergensi merupakan perpaduan antara aliran
Empirisme dengan Nativisme, di mana keperibadian orang dibentuk
dan dikembangkan oleh faktor endogen dan eksogen, atau oleh
faktor dasar dan ajar. Aliran ini kegiatan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama pendidik dan anak didik, orang tua dan
masyarakat.4 Bagi Aliran ini masalahnya bukan terletak pada
apakah tugas pendidik itu menciptakan manusia baru ataukah tidak
menciptakan manusia baru, melainkan terletak pada bagaimana
mewujudkan tanggung jawab bersama dalam membentuk hasil
pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.
d. Pendidikan Islam.
Menurut ajaran Islam, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Pengertian fitrah tidak sama dengan pengertian tabularasa menurut
John Locke, akan tetapi makna fitrah adalah bersih, suci dan bukan
kosong tapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangan
tergantung pada usaha manusia sendiri. Tuhan telah menciptakan
daya-daya dalam diri manusia jauh sebelumperbuatannya timbul.
Sebagaimana dikatakan al Jubba’i manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manusia barbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauan manusia
sendiri.5
Dalam Filsafat Islam, manusia adalah zat theomorfis yaitu
merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan. Ia
4
Op cit, hal, 15,
5
Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, 1983, hal, 102
16
berorientasi untuk menjadi peribadi yang bergerak diantara dua
titik ekstrim “Allah – Syaithan”. Manusia mempunyai kehendak
bebas, ia berpeluang untuk menjadi orang jahat sebagaimana
syethan, dan juga berpeluang untuk menjadi orang baik atau
shaleh, sebagaimana Firman Allah dalam surat An’am ayat 164:
Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kemudaratannya
kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang berbuat dosa tidak
akan memikul dosa orang lain.6
6
Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), hal. 14-15.
7
Ibid, hal,17,
17
bersinergi dengan segala pemikiran dan tekhnologi yang berkaitan dengan
dunia Eropa dan Amerika, namun orientasi keagamaan tidak boleh
berlandaskan selain apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Nilai-nilai
tradisional seperti keakraban hubungan santri dengan “syekh” atau “kiyai”,
santri dengan santri, santri dengan santri senior; hidup hemat dan sederhana,
semangat tolong menolong-kebersamaan, disiplin dan berani menderita,
merupakan nilai yang dianut sekaligus diadaptasikan kepada sistem
pendidikan yang berbasis modernitas.
Salah satu kaidah yang dipegang oleh kalangan santri adalah ”al-
muhafadzah ala al-qadim al-salih wa al-ahzu ala al-jadid al-aslah”
(mempertahakan warisan yang baik dan mengambil kepada sesuatu yang
lebih baik). Ini menunjukkan adanya dinamika dalam melihat berbagai
perkembangan aktual. Sehingga tidak mengherankan jika ada pesantren
seperti Pesantren Rahima menjadi pendorong dalam mengkampayekan
kesetaraan jender, pluralisme dan multikultural. Kajian-kajian yang
didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh ilmuwan barat bukan
merupakan sesuatu yang langka di pesantren saat ini. Tidak sedikit alumni
pesantren kemudian melanjutkan pendidikan di universitas terkemuka di
Eropa dan Amerika Serikat.
Lembaga pendidikan pondok pesantren dalam menyikapi perubahan
zaman jelas tidak akan mempunyai sikap dan kemampuan yang sama, oleh
karenanya akan melahirkan tipologi-tipologi yang berbeda. Ada empat
tipologi pesantren atau madrasah dalam menyikapi perubahan: (1) pesantren
yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut “salafi”, (2)
pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah,
disebut pesantren"modern", (3) pesantren yang sebenarnya hanya sekolah
biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam dan (4) pesantren yang tidak
mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan
dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di hasrama.
Pendirian pondok pesantren pada umumnya dilakukan atas inisiatif
“syekh” atau “kiyai” bersama masyarakat, maka syekh atau buya (panggilan
18
di Minangkabau) diserahi sebagai central core (pusat inti), segala sesuatu
yang berlaku di dalam pesantren bergantung kepada sitem manajerial syekh
atau buya masing-masing. Sehingga masing-masing pesantren mempunyai
tepelogi yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian masing buya sebagai top
pigur. Bilamana buya mempunyai keahlian dibidang tafsir maka pesantren
akan terkenal sesuai dengan ilmu tersebut. Menurut Djmaluddin dan
Abdullah Aly otoritas “syekh” atau “kiyai” membuat kesulitan dalam
penyeragaman kurikulum atau kitab-kitab ajar antara pondok pesantren.8
Karena karismatik leadership syekh atau kiyai yang mengasuhnya yang punya
kedaulatan penuh yang bersangkutan, bagaikan sebuah kerajaan tersendiri
dalam sistem pendidikan.
Keberadaan pesantren sampai hari ini yang masih tetap bertahan,
bahkan berkembang mengungguli sekolah-sekolah negeri, hal ini disebabkan
oleh sejumlah faktor: (1) secara implisit kata Azumardi mengisyaratkan
bahwa dunia Islam tradisional dalam segigi-segi tertentu masih tetap relevan
di tengah deru modernisasi, (2) adanya sikap akamodasi dan konsensi
terhadap perubahan, sehingga pesantren membuat pola-pola baru yang
dipandang tepat menghadapi modernisasi dan perkembangan zaman dengan
tidak mengorbankan esensi dan eksistensi pesantran, (3) pesantren muncul
dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungan
sekitarnya. Dengan kata lain mempunyai keterkaitan yang tak terpisahkan
dengan komunitas lingkungannya9, dan (4) tantang perkembangan budaya
dan moralitas yang semakin mencemaskan bagi perkembangan generasi, yang
mendesak bagi orang tua untuk menyerahkan anaknya kepasentren, karena
pesantren dianggap mampu memberikan jaminan terhadap perlindungan
moral anak-anak mereka.
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatan
pendidikannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam system
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang melingkarinya. Lebih dari itu,
suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh masyarakat apabila ia mampu
memenuhi kebutuhan dan pengharapan masyarakat itu sendiri.
8
Djamaluddin, Op cit, hal. 102
9
Azyumardi Azra, Op cit, hal.107
19
BAB III
METODE PENELITIAN
20
(entity), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan
sebagai keutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.6 Konteks
sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai
arti bagi konteks lainnya dalam arti bahwa satu penomena harus diteliti dalam
keseluruhan pengaruh yang ada di lapangan
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di enam buah pondok pesantren di
Sumatera Barat, keenam pondok pesantren tersebut berlatar belakang dari
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang beraliran mazhab Safi’iyah, miskipun
sekarang ada yang tidak menggunakan nama tarbiyah Islamiyah:
1) Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batang Kabung
terletak di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Pesantren ini
diambil untuk keterwakilan pesantren di wilayah kota provinsi,
pesantren ini merupakan pesantren tertua di Kota Padang yang
didirikan pada tahun 1955 oleh seorang ulama terkenal H.Salif
Tuangku Sutan. Sekarang punya santri lebih kurang lima ratus orang
untuk Kota Padang Pondok Pesantren yang teramai santrinya di Kota
Padang.
2) Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang terletak di Kecamatan Enam
Lingkuang Kabupaten Padang Pariaman. Pesantren ini didirikan
tahun 1960 oleh Syekh. H. Ali Imran, sekitar tahun 70 an pesantren
yang cukup terkenal di Sumatra, santri yang datang dari berbagai
provinsi di wilayah Sumatera dan cukup beralasan untuk kita jadikan
sampel kualitatif untuk Kabupaten Padang Pariaman.
3) Pondok Pesantren Syehk Muhammad Jamil Jaho, terletak di
Kenegarian Jaho Kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar,
berjarak sekitar 5 km dari kota Padang Panjang. didirikan tahun 1924
oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama besar yang
terkenal dikawasan nusantara. Pada awal berdirinya tahun 1924,
6
Moleong, Op cit, hlm. 5
21
pesantren ini merupakan pendidikan surau dengan membuka halaqah
pengajian, kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah. Pesantren ini cukup terkenal di nusantra, santri-santri
berdatangan dari Aceh, Jambi, Sumatra Utara, dan Lampung.
4) Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung di
Kecamatan Iv Angkat Candung Kabupaten Agam. Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung adalah madrasah tertua di
Sumatera Barat. MTI Canduang didirikan pada tanggal 5 Mei 1928
oleh Ulama Syekh Sulaiman Ar Rasuly yang lebih dikenal dengan
panggilan Inyiak Canduang. Tujuan didirikannya MTI Candung
secara umum adalah untuk melahirkan kader ulama terutama untuk
menjadi tenaga pendidik dan da’i yang berkualitas yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam serta memberikan
pelayanan kepada masyarakat luas.
5) Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Tabek Gadang terletak di
Kanagarian Padang Japang Kecamatan Guguk Kabupaten Lima
Puluh Kota. Pondok Pesantren ini merupakan madrasah yang tertua
dibandingkan dengan dengan madrasah yang ada di Sumatera Barat.
Pesantren ini didirikan pada tahun 1906 oleh seorang ulama
Tarbiyah Islamiyah yakni Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi. Tujuan
didirikannya selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi
masyarakat Padang Japang, juga bertujuan untuk mendidik
masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan pada masa kolonial.
Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mempersiapkan
pemimpin / ulama yang akan meneruskan pengembangan ajaran
Islam khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, umumnya di
negara Republik Indonesia. Cita-cita Syekh ini tidak sis-sia telah
banyak melahirkan para ulama yang cukup terkenal bal lokal,
regional dan nasional seperti Syekh. H. Rusli Abdul Wahid pernah
menjadi Anggota Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Tengah
Tahun 1954, selanjutnya tahun 1955 menjadi anggota Dewan
22
Perwakilan Rakyar/Majelis Permusyawaratan Rakyat dan tidak
hanya sampai disana tetapi beliau juga dipercaya sebagai Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonseia tahun 1959-1965.
6) Pondok Pesantren Darussalam Sumani adalah salah satu lembaga
pendidikan Islam di Sumatera Barat yang berafiliasi dengan
Organisasi Massa (Ormas) Islam Perasatuan Tarbiyah Islamiyah
Sumatera Barat bertempat di Aur Duri Sumani Kecamatan Singkarak
Kabupaten Solok. Pesantren ini didirikan tahun 1963 oleh Buya H.
Chatib Abu Samah Al Chalidy. Tujuan didirikannya pesantren ini
selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi masyarakat Aur Duri
Sumani Kabupaten Solok, juga diniatkan untuk mempersiapkan
tokoh agama/ ulama yang akan melestarikan ajaran Islam di
Sumatera Barat. Pondok Pesantren membawahi dua jenjang
pendidikan Islam yaitu, tingkat Tsanawiyah (setara SLTP) dan
Aliyah (setara SLTA). Kedua jenjang pendidikan Islam tersebut
dikelola dengan sistem kombinasi antara pendidikan Madarasah
kurikulum Kementeraian Agama dengan sistem kurikulum pondok
pesantren.
Pemilihan keenam pesantren tersebut sebagai lokasi penelitian
didasarkan kepada pertimbangan; (1) masa usia pesantren yang tergolong
senior di daerah kabupaten masing, (2) pertimbangan keterwakilan daerah
kota dan desa, (3) pertimbangan daya pengaruh dan populatritas pesantren,
dan (4) pertimbangan jumlah santri. Keenam pesantren tersebut tidak
dimaksudkan sebagai sampel yang mewakili pondok pesantren di Sumatera
Barat. Akan tetapi penelitian ini lebih bersifat studi kasus dan tidak untuk
dijeneralisasikan bagi seluruh pesantren di Sumatera Barat.
23
tersebut berkaitan dengan: (1) Kondisi objektif pondok pesantren yang terdiri
dari sarana dan prasara, visi, misi dan tujuan, (2) sistem pendidikan pondok
pesantren, (3) problematika yang dihadapi pesantren serta mutu lulusan, dan
(4) langkah-langkah stratejik dalam upaya pengembangan pondok pesantren
kedepan.
Sebagai sumber data atau informen dalam penelitian ini terdiri dari:
(1) Pimpinan pondok pesantren dan majlis guru sebagai informen kunci (key
informan) dan memiliki kedudukan penting dan tidak diberlakukan sama
dengan informen lain, (2) pimpinan dan unsur pengurus yayasan sebagai
pemegang badan hukum lembaga pendidikan, (3) murid atau santri sekolah,
mereka adalah bahagian dari komponen pendidikan itu sendiri yang sudah
barang tentu banyak tahu dengan persoalan-persoalan pendidikan sebagai
bahagian dari kehidupan mereka sehari-hari, (4) wali murid dan tokoh-tokoh
masyarakat sekitar pondok pesantren, karena mereka adalah bahagian dari
lingkungan pendidikan itu sendiri, dan (5) dokumentasi atau arsip sekolah
yang merupakan baha tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu
peristiwa atau aktivitas tertentu.
Penentuan sumber data dilakukan secara purposive atau snow ball
sampling. Teknik ini dipilih berdasarkan pertimbangan rasional peneliti
bahwa informanlah yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk
memberikan informasi atau data sebagaimana diharapkan penelitii.
24
daftar wawancara tertutup dan terbuka, daftar observasi, dan blangko catatan
dokumen.
a. Observasi
Teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data
berkenaan dengan lokasi dan keadaan di mana proses
pendidikan itu barlangsung. Perilaku keagamaan santri, interaksi
antar ustaz atau guru dengan santri, sesama anggota madrsah
dan antara anggota kmadraah dengan warga lingkungan.
Observasi atau pengamatan yang cermat dapat dianggap sebagai
salah satu cara yang paling sesuai dalam penelitian ilmu sosial
pendidikan keagamaan, terutama sekali penelitian naturalistik
(kualitatif)8. Menurut Black dan Champion, penggunaan metode
observasi antara lain adalah: pertama, untuk mengamati
fenomena social pendidikan keagamaan sebagai peristiwa aktual
yang memungkinkan peneliti memandang fenomena tersebut
sebagai proses, kedua, untuk menyajikan kembali gambaran dari
fenomena sosial pendidikan keagamaan dalam laporan
penelitian, dan ketiga, untuk melakukan eksplorasi atas seting
madrasah di mana fenomena itu terjadi.9
b. Wawancara
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian social
pendidikan agama, terutama penelitian naturalistik adalah
manusia yang diposisikan sebagai nara sumber atau informan.
Untuk mengumpulkan informasi dari informan diperlukan suatu
teknik wawancara. Wawancara adalah percakapan langsung dan
tatap muka (face to face) yang dilakukan oleh dua pihak untuk
menggali struktur kognitif dan makna dari perilaku subjek yang
diteliti. Kata Lincoln dan Guba wawancara juga bertujuan
8
Tobrani, op cit., hlm. 167
9
Ibid., hlm. 167
25
untuk merekontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, dan
motivasi11.
Penggunaan teknik wawancara dalam penelitian ini
untuk memperoleh keterangan yang lebih dalam dan luas
tentang penomena pendidikan pondok pesantren madrasah di
Sumatera Barat. Wawancara tidak hanya dilakukan kepada
pimpinan madrasah, pimpinan yayasan, majlis guru, wali
murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar madrasah, akan tetapi
juga dilakukan kepada pimpinan organisasi Tarbiyah dan tokoh-
tokoh agama Islam di luar madrasah sebagai pengayaan
perbandingan informasi. Jenis wawancara yang digunakan
bersifat formal dan informal, di mana pertanyaan yang diajukan
sangat tergantung pada pewawancara sendiri. Pertanyaan yang
diajukan bersifat sepontanitas. Hubungan pewawancara dengan
yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar,
sedangkan pertanyaan dan jawaban berjalan seperti pembicara
biasa. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai
kadangkala tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa ia
sedang diwawancarai.
c. Studi Dokumentasi
Penggunaan studi dokumen dalam penelitian kualitatif,
merupakan sumber yang sangat berguna dan sangat sesuai,
karena sifatnya yang stabil, alamiah, sesuai dengan konteks,
lahir dan berada dalam konteks12. Hasil kajian isi dokumen akan
membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh
pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti. Untuk
melengkapi perolehan informasi dalam penelitian ini, ada dua
model dokumen yang digunakan: Pertama, dokumen pribadi
yang digunakan untuk memperoleh kejadian nyata tentang
11
Ibid., hlm. 172
12
Moleong, op cit., hlm. 161
26
situasi sosial pemdidikan dan arti berbagai faktor di sekitar
subjek penelitian, seperti buku harian atau catatan-catatan
penting harian yang memberi keterangan dan tanggapan di
sekitar penulis, surat pribadi yang digunakan untuk
mengungkapkan hubungan sosial, latar belakang dan
pengalaman yang berkesan selama mengelola madrasah, dan
foto-foto dan autobiografi kalau ada.
Kedua, dokumen resmi baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Dokumen internal terdiri dari surat-surat
keputusan atau hasil-hasil kesepakatan bersama pimpinan
madrasah, himbauan atau instruksi dari pimpinan. Hal ini akan
dapat memberikan informasi tentang keadaan, aturan dan
kedisiplinan dan juga dapat memberikan petunjuk tentang gaya
kepemimpinan. Dokumem eksternal berisi bahan-bahan
informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan,
misalnya majalah, buletin, berita yang disiarkan kepada media
massa hal-hal yang menyangkut masalah madrasah. Disampimg
itu juga yang tidak kala pentingnya adalah buku-buku teks,
kurikulum, silabus yang digunakan sebagai rujukan dasar
madrasah.
E. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data juga disebut analisis dan penafsiran data. Analisis
adalah rangkaian kegiatan penelaahan dan pengelompokan, sistematisasi,
penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial,
akademis dan ilmiah13 Dalam penelitian kualitatif sebetulnya tidak ada teknik
analisis yang baku (seragam), karena kegiatan analisis tidak terpisah dari
ragkaian kegiatan penelitian secara keseluruhan. Yang penting analisis
dipakai konsisten dengan pradigma, teori dan metode yang digunakan dalam
penelitian.
13
Suprayogo, op cit., hlm. 191
27
Proses pengolahan data pada penelitian ini sudah mulai dilakukan
semenjak berada di lapangan, meskipun analisis yang lebih intensif baru
dilakukan setelah berakhirnya pengumpulan data. Analisis lapangan
difokuskan pada pemeriksaan kemungkinan cocok atau tidaknya data yang
sedang dikumpulkan, memeriksa apakah masih ada data lain yang terlupakan,
mempertanyakan permasalahan apa yang masih belum terjawab, apakah
masih diperlukan metode lain untuk mendapatkan data baru, kesalahan apa
yang harus diperbaiki, dan berupaya untuk menemukan dan menetapkan
tema-tema baru yang dianggap penting.
Sejalan dengan hal ini Lex J. Moleong mengatakan, proses analisis
data dimulai dengan menelaah seluruah data yang tersedia dari berbagai
sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, dokumen pribadi dan dokumen resmi14. Analisis data ini
akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan dengan mengorganisasikan data.
Data yang telah diperoleh di lapangan dalam kondisi yang mentah
kemudian diabstraksikan dengan membuat rangkuman yang inti,
dan terfokus sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan,
dan wawancara. reduksi data dapat membantu dalam memberikan
kode kepada aspek-aspek yang dibutuhkan dan yang tidak
dibutuhkan. Reduksi data atau proses transpormasi ini terus
berlanjut sampai laporan akhir tersusun.
b. Penyajian / Display Data
Alur penting berikutnya dalam pengolahan data adalah
penyajian data. Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa
penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
14
Moleong, op cit., hlm. 190
28
dan pengambilan tindakan15. Penyajian data ini dilakukan dalam
bentuk naratif yang dilengkapi dengan matrik dan grafik, sehingga
terbangun informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu
dan mudah dipahami.
Bagian yang terpenting yang tidak dapat diabaikan dalam
pengolahan data adalah penafsiran data atau pemaknaan data.
Penafsiran dilakukan agar apa yang telah dikerjakan sebelumnya
dapat lebih bermakna. Melalui penafsiran akan diperoleh deskreftif
analitik yang berkenaan dengan dinamika pendidikan madrasah di
Sumatera Barat.
c. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi
Bahagian dari kegiatan analis data berikutnya adalah
menarik kesimpulan dan verifikasi. Data yang sudah didiskripsikan
dengan secara terpola dan sistimatis, kemudian disimpulkan
sehingga makna data bisa ditemukan. Kesimpulan yang diberikan
beru bersifat sementara dan umum sampai pengumpulan data
berakhir. Verifikasi terhadap kesimpulan akan tetap berlangsung
selama proses peninjauan ulang terhadap catatan-catatan lapangan
dengan melakukan tukar pikiran diantara teman sejawat, makna-
makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya dan kecocokannya.
F. Membangun Keabsahan Data
Membangun keabsahan data suatu hal yang penting
dilakukan dalam penelitian kualitatif untuk memelihara tingkat
kepercayaan keilmiahan bagi hasil
penelitian. Ada empat kriteria yang digunakan,
sebagaimana yang diungkapkan Meleong yaitu : derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
15
Suprayogo, op cit., hlm. 194
29
ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability)16.
Kriteria ini berfungsi untuk mewujudkan kepercayaan terhadap
hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada
kenyataan yang sedang diteliti.
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung, 1988,
hal. 173
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN
31
mendorong dan memberdayakan “Tradisi Mudzakarah” agar santri
mempunyai kebiasaan kritis, dialogis, berfikir moderat.
Embrio pondok pesantren yang kemudian populer dengan nama
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) terbentuk sejak sistem halaqah yang
dikembangkan oleh surau-surau tradisional Minangkabau. Keberadaan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah dapat dilihat sebagai bentuk rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam yang memadukan semangat pengajaran sistem
halaqah dan sistem pembelajaran klasikal.
Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa surau yang memulai
pendidikan halakah yang kemudian menjadi cikal bakal MTI yang
dijadikan objek penelitian ini, antara lain :
a. Surau Tabek Gadang kira-kira 15 Km dari Kota Payakumbuh arah
Utara, dibina oleh Buya Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi (1906).
Surau ini kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Tabek Gadang (MTI-Tabek Gadang). Tujuan
didirikannya selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi
masyarakat Padang Japang, juga bertujuan untuk mendidik
masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan pada masa
kolonial Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
mempersiapkan pemimpin/ulama yang akan meneruskan ajaran
Islam khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, umumnya di
negara Republik Indonesia.
b. Surau Baru, Pakan Kamih, Ampek Angkek Canduang (Agam)
yang dibina oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (1908). Surau ini
kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Canduang (MTI Candung). Tujuan didirikannya MTI Candung
secara umum adalah untuk melahirkan kader ulama terutama
untuk menjadi tenaga pendidik dan da’i yang berkualitas yang
mampu mengembangkan ilmu pengetahuan Islam serta
memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.
32
c. Surau yang dibina oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho di
kenagarian Jaho, sekitar 5 km dari Kota Padang Panjang (1924).
Surau ini berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Jaho (MTI Jaho). Pada awal berdirinya, ponpes ini merupakan
pendidikan surau dengan membuka halaqah pengajian. Halaqah
yang ini kemudian berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, setelah bergabung dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Saat ini MTI Jaho menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (MTs) dan Aliyah (MA)
d. Surau yang dibina oleh Syekh H. Ali Imran Hasan di Jorong
Ringan-Ringan Kenagarian Pakandangan Kec. Enam Lingkuang
Kabupaten Padang Pariaman (1960), Surau ini akhirnya menjadi
Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Pada awalnya Syekh H. Ali
Imran Hasan mengaji (jadi santri) di pesantren Tarbiyah
Islamiyah Padang Lawas Malalo yang didirikan dan dikelola oleh
Syekh Zakaria Labai Sati. Sambil menyantri, ia dipercaya
mengajar kelas paling bawah. Lama kelamaan akhirnya ia
dipercaya mengajar pada kelas tujuh (kelas tertinggi pada
pesantren tersebut). Kepulangan beliau ke Pakandangan ternyata
diikuti oleh santri-santri beliau kelas tujuh di Padang Lawas
tersebut sebanyak 60 (enam puluh) orang. Akhirnya Syekh H. Ali
Imran Hasan memutuskan mendirikan pesantren di Ringan-
Ringan Pakandangan dengan nama Nurul Yaqin. Maka ia
melanjutkan mengajar santri tersebut di Pakandangan. Artinya
santri pertama dari pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan adalah
kelas tujuh.
e. Surau Aur Duri Sumani yang dibina oleh Buya H. Chatib Abu
Samah Al Chalidy (1963) bersama istrinya Ummi Hj. Sa’adah
Idris, kemudian menjadi MTI Sumani.1 Terkahir bernama Pondok
Pesantren Darussalam Sumani. Tujuan didirikannya pesantren ini
1
Ummi Hj. Sa’adah Idris, wawancara, Sabtu, 29 Desember 2010
33
selain sebagai lembaga pendidikan agama bagi masyarakat Aur
Duri Sumani Kabupaten Solok, juga diniatkan untuk
mempersiapkan tokoh agama/ ulama yang akan melestarikan
ajaran Islam di Sumatera Barat. Sejak berdirinya, Pondok
Pesantren Darussalam Sumani berafiliasi dengan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah dan dalam waktu yang lama lebih dikenal
dengan sebutan Madarasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Sumani.
Secara tegas Ummi Hj. Sa’adah Idris, menyatakan bahwa MTI
Sumani bermazhab Syafii dengan mengutamakan penguasaan
Kitab Kuning.
f. MTI Batang Kabung juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi surau.
Proses transformasinya tergolong panjang. Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) Batang Kabung yang dirikan oleh 2 orang ulama
yaitu H. Shalif Tk Sutan adalah seorang ulama yang berasal dari
Sungai Sarik Padang Pariaman dan H. Abdul Manaf Khatib Imam
Maulana yang berasal dari Negeri Batang Kabung. Berdirinya
MTI bermula dari tidak adanya guru mengaji di Surau Gadang
Batang Kabung. Surau Gadang (sekarang Mushalla Darus
Salikin) Batang Kabung tercatat sebagai “tunggak tuo”atau soko
guru MTI Batang Kabung. Atas dorongan masyarakat, Imam
Abdul Manaf Khatib Imam Maulana mencari guru ke Pariaman
yaitu. H. Shalif Tk Sutan. Pengajaran agama di Surau Gadang ini
secara resmi dimulai tanggal 13 Januari 1955M / 1 Zulhijjah 1344
H.2 Dalam rentang waktu 1955-1966 pengajaran dilaksanakan
dengan sistim halaqah (duduk bersela dan berlingkar)
mempelajari kitab-kitab gundul saja, tidak ada pendidikan umum.
Selain itu, tradisi Muzakarah yang menjadi ciri khas Ormas
Persatuan Tarbiyah Islamiyah ikut membentuk MTI Batang Kabung.
Berawal dari diskusi pada halakah Ulama PERTI Sumatera Barat yang
diadakan di Rumah Buya H. Jamaluddin (Kepala Pengadilan Agama,
2
Profil PPMTI Batang Kabung, 2010
34
ulama PERTI yang disegani di Sumatera Barat ketika itu) di Rimbo
Kaluang (sekarang Jalan Raden Saleh Padang) kemudian mendorong
Syekh Haji Salif Tuanku Sutan meningkatkan halakahnya menjadi
Madrasah. Halakah ulama PERTI Sumatera Barat itu berjalan setiap bulan
membahas soal-soal keagamaan, politik dan mengembangkan ummat.
Pada awal tahun 1966 M berubah sistem pendidikan dari halaqah menjadi
Klasikal (belajar di kelas/lokal) dengan memakai bangku/kursi. Ini
berawal dapat izin Operasonal tangal 1 Agustus 1966 dari Departemen
Agama Padang Pariaman, waktu itu Batang Kabung Koto Tangah masih
daerah Kabupaten Padang Pariaman.
Sistem halaqah pada awalnya merupakan bentuk pembelajaran
agama yang diberikan oleh seorang ulama kepada jama’ahnya yang
berasal dari masyarakat di lingkaran surau. Karena pendidikan agama yang
bermula dari mengaji/belajar membaca al-Qur’an juga ditujukan kepada
generasi muda, pada akhirnya murid-murid generasi muda ini menjadi
murid madrasah. Kelangkaan sekolah pada masa itu menjadi faktor
penguat berdirinya lembaga pendidikan agama dengan sisten halaqah yang
menjadi embrio kelahiran MTI.
Adapun pelaksanaan pola halaqah ini menurut Buya Sulthani Dt.
Rajo Dubalang (1905-1988), generasi pemegang ijazah nomor register 2
MTI Candung ini adalah kegiatan belajar di mana murid duduk
mengelilingi guru seraya menunggu giliran membaca dan mendengar
syarah dari guru.3 Sedangkan hasrat untuk merobah kepada sistem klasikal
sudah ada dalam pikiran ulama tua Tarbiyah Islamiyah semenjak sistem ini
diperkenalkan Belanda di tanah air. Peralihan ke sistem klasikal dipecepat
oleh usulan murid-murid generasi pertama yang harus dibayar dengan
kerja keras mengumpulkan dana untuk mewujudkan fasilitas yang
dibutuhkan oleh sistem klasikal ini.
3
Bulletin Organisasi (BO) Tarbiyah No. 27/III/5/1989, h. 24
35
Table: Transformasi Surau-surau MTI
No Nama Proses transformasi
Madrasah
1 MTI Canduang Surau Baru Pakan Kamih (1908) → MTI
Candung (1928)
2 MTI Jaho Surau Jaho (1916) →MTI Jaho (1928)
3 MTI Tabek Surau Tabek Gadang (1906) → MTI Tabek
Gadang Gadang (1929)
4 Ponpes Nurul Surau Ringan-ringan pakandangan →
Yaqin Ponpes Nurul Yaqin (1960)
5 Ponpes Surau Aur Duri Sumani (1963) → MTI
Darussalam Sumani (1966) → Ponpes Darussalam
Sumani Sumani
6 PPMTI Batang Surau Gadang Batang Kabung (1955) →
Kabung Padang MTI Batang Kabung (1966)
4
Bulletin Organisasi (BO) Tarbiyah No.4/VI-1987
36
SKB tiga menteri 1974 dengan rasio: 70% agama dan 30%
umum.5
Sebenarnya memasuki tahun 1950-an, beberapa Madrasah
Tarbiyah Islamiyah telah mulai didaftarkan pada Departemen Agama.
Namun upaya tersebut mendapat kendala dengan sikap masyarakat yang
menentang masuknya pelajaran yang ditawarkan Departemen Agama
karena ada bentuk kekhawatiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat
bahwa pendidikan tarbiyah akan “dihapuskan”.
Namun perkembangan terakhir, karena tuntutan pembaharuan
pendidikan dan keharusan sejarah membuat perubahan besar dalam semua
aspek pendidikan dan kelembagaan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Secara
pasti Madrasah Tarbiyah Islamiyah masuk dalam lingkungan pendidikan
modern.
5
Beberapa informasi tentang MTI Candung bersumber dari http://mticandung.com.
Situs ini direkomendasikan oleh Kepala MAS Tarbiyah Islamiyah Candung untuk
mendapatkan beberapa data sekolah.
6
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil
Society: Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas Berbasis Keagamaan, Jakarta:
LSAF, 1999, h. 13
37
Komitmen inilah yang diturunkan dan diadopsi oleh beberapa MTI
yang menjadi objek penelitian ini. Dari visi yang disebutkan oleh para
pengelola MTI-MTI tersebut terlihat kesamaan semangat dan cita-cita
yang ingin dicapainya. Namun dari segi rumusan redaksional visi tersebut
sangat variatif. Adapun redaksional visi MTI tersebut adalah sebagai
berikut:
Visi
No Nama Madrasah Visi
1 MTI Canduang Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
2 MTI Jaho Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
3 MTI Tabek Gadang Tidak memuat redaksional visi secara
jelas.
4 Ponpes Nurul Tidak memuat redaksional visi secara
Yaqin jelas.
5 Ponpes Darussalam Terciptanya Insan yang Qur’ani,
Sumani berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu
pengetahuan, terampil dan mampu
mengaplikasikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa
6 PPMTI Batang Mencetak generasi/ Ulama yang terampil,
Kabung Padang berkualitas, berwibawa, berakhlak mulia,
Memiliki Iptek dan Imtaq
Misi
No Nama Madrasah Misi
1 MTI Canduang Menjadi lembaga pendidikan Islam yang
berdasarkan paham Ahlu al Sunnah wa al
Jama’ah dan mengakui mazhab yang
empat serta berfatwa dan mengambil
keputusan (al Ifta’ wa al Qadha’) dengan
Mazhab Syafi’i, mempertahankan pola
halaqah dalam pendalaman kitab kuning
2 MTI Jaho
3 MTI Tabek Gadang
4 Ponpes Nurul Yaqin
5 Ponpes Darussalam Melaksanakan dan mengembangkan
Sumani kurikulum yang mampu memenuhi
kebutuhan anak didik dan masyarakat
6 PPMTI Batang 1. Mampu membaca kitab standar ( Kitab
Kabung Padang kuning )
2. Mampu berpidato 3 bahasa yaitu Bahasa
Idonesia, Bahasa Arab dan Bahasa
38
Inggris.
3. Mencetak Ulama yang berakhlak mulia
dan beribawa.
4. Menciptakan Siswa/i yang terampil dan
mempunyai keterampilan yang tepat
guna.
7
Beberapa santri dari luar Sumatera Barat mengakui bahwa pilihan belajar di MTI
berasal dari informasi orang-orang yang telah lebih dahulu bersekolah di sana. Di antaranya
dari orang tua dan warga alumni MTI yang se kampung dengannya
39
Tarbiyah Islamiyah tetap menjadi bahan pertimbangan utama dalam
rekrutmen guru.
40
santri yang semula terjadi karena kharisma figure seorang Syekh menjadi
nama besar MTI yang berlandaskan pada kekuatan sistem pendidikan dan
mutu lulusan. Hal ini menjadi satu pola sendiri bagi MTI untuk bertahan
saat figure syekh yang menjadi daya tarik sudah tiada (meninggal dunia).
Meskipun demikian, pengelola pondok pesantren menyadari
pentingnya pembagian tugas sesuai dengan manajemen organisasi. Tetapi
karena kuatnya faktor figuritas membuat struktur organisasi tidak berjalan
dengan semestinya.
Pada umumnya saat ini hampir seluruh MTI telah mengikat diri
dengan badan hukum, misalnya yayasan. MTI Candung dikelolah di
bawah Yayasan Syekh Sulaiman Al Rasuly (sejak 1961). MTI Jaho
dikelola di bawah Yayasan Syekh Muhammad Jamil Jaho. MTI Tabek
Gadang dikelola oleh Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi. Pondok Pesantren
Darussalam Sumani bernaung di bawah Yayasan Syekh H. Chatib Abu
Samah Al Chalidy (sejak 1964). Pondok Pesantren Nurul Yaqin dikelola
oleh Yayasan Pembangunan Islam El-Imraniyah (YPII) sejak 1980.
Penamaan yayasan dengan nama pendirinya diyakini sebagai
penghormatan kepada guru dan sekaligus untuk menjaga nama besar
perguruan. Berbeda dengan Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang tidak
mengambil nama tokohnya sebagai nama yayasan. Kenyataan lainnya,
pada umumnya kepemimpinan yayasan diwariskan kepada keturunan atau
kerabat dekat tokohnya. Namun, pewarisan kepemimpinan ini sangat
rentan dan dapat menjadi sumber konflik yang menghambat manajemen
MTI.
Grafik: Model Struktur Organisasi MTI
Model A
Madrasah
Yayasan
Badan2 khusus
41
Model B
Yayasan
Model C
Pendiri Yayasan Syaikh al
Madrasah
Rais al Madrasah
42
a. Pada dasarnya badan hukum merupakan keharusan sebagai
bentuk legalitas formal sebagai lembaga resmi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dari segi
semangat dan pelaksanaannya, badan hukum tidak selamanya
menjadi penentu berjalan atau tidaknya pendidikan di MTI;
b. Pelaksanaan proses belajar dan mengajar tetap dikendalikan
dalam kerangka administrasi pendidikan sesuai dengan tuntutan
dan aturan pengelolaan madrasah/pesantren yang dibuat oleh
pemerintah, dalam hal ini kementerian agama.
c. Meskipun beberapa MTI memasukkan Rais al Madrasah dan
Syaikh al Madrasah dalam struktur organisasi, namun karena
keterbatasan tenaga guru tuo/syaikh yang semestinya memiliki
pengaruh dalam menentukan control terhadap kualitas lulusan
dan kesesuaian dengan visi madrasah, tidak dapat berjalan
dengan semestinya.
Temuan lapangan saat penelitian ini dilakukan, nampaknya ada
perubahan penting yang menggambarkan dinamika kepemimpinan dalam
struktur organisasi MTI. Dalam sejarahnya, MTI sangat erat kaitannya
dengan sosok/ figur seorang ulama/syekh. Tetapi dalam perjalanannya,
MTI mengalami pasang surut tokoh panutan yang menjadi figur kunci di
MTI. Hal ini disebabkan:
a. Adanya perubahan status kelembagaan dari milik pribadi
menjadi milik institusi/ badan hukum. Kontrol terhadap kualitas
pembelajaran dan mutu lulusan tidak lagi berada di tangan
guru/syaikh tertentu. Termasuk pengawasan terhadap suatu
pengajaran, apakah telah sesuai dengan prinsip ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah atau telah sesuai dengan tujuan
didirikannya MTI. Figur Syaikh/ guru besar sepertinya tidak
terlalu mengemuka.
b. Adanya perubahan pola pengelolaan MTI dari kultur asalnya
sebagai sebuah sistem yang bertujuan mendidik calon ulama
43
dengan meletakkan dewan guru/syaikh sebagai pelaku
utamanya. Namun dengan adanya administrasi lembaga
pendidikan menyebabkan munculnya pola hubungan kerja di
mana MTI dilihat sebagai sistem yang mempekerjakan guru
dan pegawai administrasi untuk melaksanakan kegiatan belajar
dan mengajar.
6. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan MTI pada umumnya masih berasal dari SPP
santri. Namun keuangan pesantren dua tahun terakhir terbantu dengan
adanya dana yang bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), 8
terutama untuk tingkat Madrasah Tsnawiyah. Selain itu untuk pengadaan
fasilitas MTI juga sering mendapat bantuan dari pemerintah terutama
Kementerian Agama maupun pihak swasta.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru senior didapatkan
informasi tentang kearifan lokal yang nyaris hilang terkait dengan sumber
pendanaan MTI. Di antaranya:
a. Sumbangan Jama’ah sekitar MTI. Di lingkungan MTI biasanya
terdapat sebuah masjid/mushalla tempat pengajian masyarakat
umum. Dalam kegiatan ini sering didapatkan dana sumbangan
dari jama’ah.
b. Sumbangan wali murid/santri. Wali murid tanpa diminta sering
mengadakan pertemuan sendiri dalam rangka membantu
meringankan beban keuangan madrasah.
B. Sistem Pembelajaran
1. Pola Pendidikan (terintegrasi dan terpisah)
Pada umumnya MTI menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (setara SLTP), Aliyah (Setara SLTA) dan pengkaderan
8
Zaituni, S.Ag., MM, Kepala MA Ponpes Darussalam Sumani, wawancara, 29
Desember 2010. Zaituni sendiri alumni MTI Candung, Agam. Ia mengakui keterlibatannya di
Ponpes Darussalam tidak lepas dari ikatan emosional sebagai alumni MTI dan sesama warga
Persatuan Tarbiyah Islamiyah
44
guru kitab kuning (takhassus/Ma’had ‘Aly). Semua jenjang
pendidikan tersebut dikelola dengan sistem terpadu antara
pendidikan Madarasah dengan kurikulum Kementerian Agama dan
sistem pendidikan khas pondok pesantren dengan muatan kurikulum
yang didesain sendiri untuk mencapai tujuan pondok pesantren.
Berdasarkan sistem kombinasi itu pula MTI mengembangkan
pendidikannya dengan dua sistem pembelajaran yaitu klasikal dan
halaqah. Sistem klasikal digunakan untuk pembelajaran madarasah
formal sesuai kurikulum Kementerian Agama. Sistem Halaqah
digunakan untuk pembelajaran kurikulum Pondok Pesantren. Kedua
sistem ini dilaksanakan secara terpisah.
Ada beberapa catatan penting terkait pelaksanaan kurikulum
Pondok Pesantren/ MTI, yaitu:
1. Pondok Pesantren Darussalam Sumani meskipun memuat
kurikulum dan mata pelajaran yang sama, namun karena
keterbatasan tenaga guru hanya dapat melaksanakan
kurikulum Kementerian Agama dan mengajarkan mata
pelajaran MTs/MA sesuai dengan standar Kementerian
Agama. Pelaksanaan kurikulum pondok tidak berjalan
dengan baik. Untuk mengatasi kekosongan jadwal santri,
maka pimponan pondok berupaya mengisi kegiatan santri
pada hari dan malam tertentu untuk melaksanakan belajar
bersama. Di antaranya kegiatan membaca al Qur’an
(tadarus), wirid dan pembacaan shalawat serta saling
simak dalam proses penghafalan al Qur’an (tahfiz).
2. Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan tetap
mempertahankan corak Salafiyah yang menekankan pada
kelompok pelajaran agama dan bahasa. Pelajaran agama
dan bahasa merupakan kurikulum pondok pesantren yang
diselenggarakan dengan sistem klasikal dan halaqah.
Sistem klasikal diterapkan pada jam pelajaran harian di
45
kelas. Sedangkan sistem halaqah dilaksanakan dari sore
hingga malam hari dan diasuh oleh “guru tuo”. Guru Tuo
adalah guru bantu, biasanya diambil dari santri senior atau
kakak kelas.9 Sementara guru tuo sendiri juga belajar
secara halaqah dengan guru utama. Adapun pelajaran
umum dan kurikulum madrasah Kementerian Agama
terbatas pada mata pelajaran yang diujikan dalam ujian
nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS)
3. Di MTI Canduang, kurikulum pondok terintegrasi dengan
kurikulum madrasah Kementerian Agama. Keberadaan
kitab kuning dijadikan sebagai referensi utama dalam
pelajaran agama. Pembelajaran kitab kuning yang sifatnya
pendalaman diberlakukan untuk kalangan terbatas, yaitu
untuk santri unggulan yang diproyeksikan untuk berbagai
kepentingan di antaranya untuk kepentingan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) dan untuk santri senior.
4. Sementara di MTI Batang Kabung, MTI Jaho dan MTI
Tabek Gadang juga melaksanakan kurikulum madrasah
Kementerian Agama. Tetapi pelaksanaannya lebih kreatif.
Meskipun kekuatan MTI tersebut terletak pada
pelaksanaan kurikulum Kementerian Agama, namun
kurikulum pondok tetap dilaksanakan sebisa mungkin
melalui pembelajaran dari sumber kitab klasik dan melalui
kegiatan ekstrakurikuler.
46
Quran yang didukung
oleh Pemda
3. Program Unggulan
Fiqih yang didukung
oleh Pemda
2 MTI Jaho MTs, MA
3 MTI Tb.Gadang MTs, MA
4 Ponpes N.Yaqin MTs, MA
5 PP Darussalam MTs, MA
6 PPMTI Bt.Kabung MTs, MA Taman Pendidikan Al-
Qur’an (TPA), Taman
Pendidikan Seni Al-
Qur’an (TPSA),
Madrasah Dinyah
Awaliyah (MDA), Majlis
Ta’lim
47
7. Ushul Fiqih : Bidayah al-Ushul, al-Waraqat, Lata-if al-
Isyarah, al-Asybah wa an-Nazhaair, al-Jam’u al-Jawami’ (al-
Banani)
8. Fiqih : Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, Fathu al-Qarib,
I’Anatu al-Thalibin, al-Mahally, al-Bidayah al-Mujtahid
9. Balaghah : Al-Qawaid al-Lughawiyah, Bidayah al-Balaghah,
Syarah Jauhar al- Maknun.
10. Mantiq : Idhah al-Mubham, Suban al-Malwi
11. Tarekh : Khulashah Nuru al-Yaqin, Nurul Yaqin, Itmamu al-
Wafa’
12. Ilmu Tafsir : Mabahis fi ulumil al-Qur’an (Mana’ul Qatan)
13. Ilmu Hadist : Ushulul Hadits
Hanya saja, berdasarkan temuan lapangan, tidak semua kitab
itu dapat diajarkan kepada santri MTI. Penyebabnya antara lain:
a. Kurangnya tenaga guru membaca kitab;
b. Ketersediaan kitab yang amat terbatas akibat sulitnya
mendapatkan kitab tersebut di toko buku atau
perpustakaan MTI
c. Padatnya jadwal untuk melaksanakan kurikulum, baik
kurikulum MTI ataupun kurikulum Kementerian Agama.
48
4. Geografi
5. Antropologi
6. IPS
7. IPA
8. Ilmu Komputer
4 Kegiatan Pengembangan 1. Hafizh
diri (ekstra kurikuler) 2. Kaligrafi
3. Tata Busana
4. Merakit Komputer
5. Muhadharah; Mudzakarah;
Munazharah
6. Nasyid; Qasidah.
7. Karate – do Indonesia
8. Takrau
9. Bola Volly
10. Sepakbola
11. Tenis Meja
12. Bulu Tangkis
49
No. Kelompok Mata Pelajaran Metode yang digunakan
Kurikulum
1 Pelajaran Agama 1. Fiqh 1. Diskusi /Muzakarah
2. Hadits 2. Eksperimen
3. Tauhid 3. Demonstrasi
4. Tafsir 4. Pemberian tugas
5. Tashauf 5. Drilling (latihan)
6. Ushul Fiqh 6. Kerja kelompok
7. Mantiq 7. Metode tanya jawab
8. Mushthalah
2 Pelajaran Bahasa 1. B. Arab 1. Diskusi /Muzakarah
2. Nahwu 2. Eksperimen
3. Sharaf 3. Demonstrasi
4. Tashrif 4. Pemberian tugas
5. Qawa’id 5. Drilling (latihan)
6. Balaghah 6. Kerja kelompok
7. B. Inggris 7. Metode tanya jawab
8. B. Indonesia
3 Pelajaran Umum 1. KWN 1. Ceramah
2. Ilmu Jiwa 2. Diskusi /Muzakarah
3. Sejarah 3. Eksperimen
Umum 4. Demonstrasi
4. Geografi 5. Pemberian tugas
5. Antropologi 6. Drilling (latihan)
6. IPS 7. Kerja kelompok
7. IPA 8. Metode tanya jawab
8. Ilmu
Komputer
50
keahlian tenaga pengajar menggunakan media berbasis teknologi
informasi (TI) tersebut.
Namun pembelajaran halakah yang menjadi identitas MTI untuk
pengkajian agama Islam yang bersumber dari kitab klasik, ternyata tidak
dapat dijalankan dengan sempurna. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
sistem halakah mengalami kemunduran dan menjauh dari identitas
Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Hal ini pulalah yang menjadi
kekhawatiran beberapa MTI yang menjadi objek penelitian ini.
51
lulusannya, bahkan menurut salah seorang guru dianggap terjadi
penurunan kualitas lulusan yang menguasai kitab gundul.
Penyebabnya menurut pengelola pesantren antara lain:
a. Belum maksimalnya program pengajaran bahasa Arab di
pondok pesantren;
b. Kurangnya tenaga guru yang bersedia mengasuh kegiatan
pembelajaran kitab gundul ;
Selain itu, beberapa pengelola MTI juga mengakui adanya
perubahan fungsi MTI dari lembaga pendidikan Islam, sosial dan
berkhidmat untuk penyiaran agama menjadi lembaga yang menuju ke
arah profesionalisme di bidang pendidikan, setidak-tidaknya sebagai
lembaga pendidikan formal alternatif.
Mastuhu pernah memaparkan diversifikasi pengembangan
bentuk dan jenis-jenis pendidikan pesantren yaitu:
a. Pendidikan non formal, khusus mempelajari kitab-kitab
klasik agama (kitab kuning). Mastuhu menyebutnya sebagai
bentuk lama dan merupakan bentuk asal dari pesantren.
b. Pendidikan formal, madrasah dan sekolah umum baik tingkat
menengah pertama maupun tingkat atas.10
Merujuk pada pola yang dipaparkan Mastuhu di atas,
pendidikan yang dilaksanakan MTI yang berada di bawah kultur
Persatuan Tarbiyah Islamiyah cendrung mengambil jenis pendidikan
formal yang menyelengarakan pendidikan setingkat Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Dalam saat yang bersamaan, berdasarkan pengelompokan
kurikulumnya, MTI cendrung mempertahankan semangat pendidikan
nonformal, namun dengan penuh kesadaran melakukan formalisasi
pelajaran kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik pada akhirnya
10
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX, Jakarta: 1994,
h.151
52
bertransformasi menjadi sumber belajar dan rujukan untuk kelompok
mata pelajaran agama.
Lebih jauh, pesantren bagi komunitas Persatuan Tarbiyah
Islamiyah tidaklah sama dengan pesantren sebagaimana dipahami di
kebanyakan pesantren seperti di Jawa. Pesantren terlihat sebagai
sebuah rumah besar yang menyediakan madrasah-madrasah sebagai
bilik-biliknya.
Dengan bahasa yang lain, pesantren-pesantren yang berafiliasi
dengan ormas Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah dapat disebut
sebagai dengan “Madrasah Kitab Kuning”. Maksudnya adalah
madrasah yang berwujud pendidikan formal dengan fokus
pembelajaran agama yang merujuk pada kitab klasik.
53
anak yang saleh. (Masdar Farid Mas’udi, 2000)
Pandangan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas
merupakan aspek lain dari pesantren. Namun pesantren selain
lembaga pendidikan agama, lebih jauh merupakan tempat
menggembleng warga masyarakat agar lebih siap menghadapi
persaingan global, utamanya dalam mengatasi kemiskinan,
pengangguran serta lembaga kontrol terhadap lalu lintas pergaulan
sosial yang cendrung kurang beradab dan jauh dari nilai-nilai agama.
Untuk itu perlu di kembangkan sebuah model pesantren terpadu yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama secara mendalam dan mengembangkan
ilmu-ilmu praktis dalam menghadapi persaingan global. Dengan
demikian diharapkan lahir generasi yang beriman, berilmu, berakhlak
dan memiliki keterampilan untuk menjalani kehidupan keduniawian.
Sekarang ini tumbuh fenomena pesantren dengan pendidikan
umum, SMP dan SMU yang mereka sebut bahkan sebagai harapan
untuk memberikan output yang unggul. Banyak pesantren yang telah
menyelenggarakan SMP dan SMU unggul. Dalam hal ini yang
diberikan pada anak didik selain pengetahuan umum dengan
penambahan perhatian pada bidang-bidang science misalnya
matematika, fisika, kimia dan biologi, di luar jam sekolah ada
pembinaan keagamaan yang lebih intensif dibanding dengan yang di
luar pesantren. Model kegiatan seperti ini pantas dikembangkan,
mengingat potensi kearah itu cukup dan tersedia.
Pesantren paling tidak memiliki beberapa potensi yang
menjadi pokok keunggulan , yaitu:
a. Kemandirian yang dimiliki madrasah/ pesantren
b. Prakarsa dan partisipasi segenap lapisan masyarakat Islam
secara kolektif dalam mendirikan dan mengembangkannya
c. Para orang tua melihat pendidikan umum atau pendidikan
sekuler sering disorot "menyimpan kegagalan" dalam
54
membina perilaku anak didik, terutama ketika disorot dari
aspek kenakalan remaja
d. Adanya kecendrungan meningkatnya semangat keagamaan
masyarakat dewasa ini, madrasah/ pesantren dianggap
sebagai pilihan yang tepat untuk mendidik anak-anak mereka
supaya tumbuh sebagai anak yang saleh.
e. Banyak juga pesantren yang menyelenggarakan SMP dan
SMU unggul. Dalam hal ini yang diberikan pada anak didik
adalah selain pengetahuan agama juga pengetahuan umum
dengan penambahan perhatian pada bidang-bidang science.
f. Pola hubungan antara guru dan murid dalam pandangan yang
sudah tertanam sejak lama di tengah masyarakat menjanjikan
bagi perbaikan akhlak anak-anaknya.
g. Para pakar menilai mutu siswa didik di sekolah agama
(madrasah) dan sekolah umum relatif sama
3. Hambatan dan tantangan Pondok Pesantren MTI
Ada beberapa hambatan dan tantangan yang kerap dihadapi
pondok pesantren MTI saat ini, yaitu:
a. Ketersediaan Sumber Daya Manusia
1) MTI sering menghadapi masalah kurangnya tenaga pengajar
dan tenaga kependidikan. Dari segi tenaga pengajar hambatan
terbesar antara lain kurangnya guru tetap / guru kitab yang
dapat membaca kitab gundul/ kitab kuning sekaligus dapat
mengajarkannya.
2) Sementara dari segi tenaga kependidikan, pihak MTI belum
dapat memberikan imbalan jasa (gaji) yang layak untuk
tenaga kependidikan tersebut.
3) Banyaknya guru-guru MTI yang lulus seleksi CPNS melalui
jalur Database ataupun jalur Seleksi Umum. Setelah lulus
CPNS mereka tidak bisa lagi mengabdikan diri secara penuh
di Pondok Pesantren.
55
b. Hambatan Manajemen
1) Belumnya terlaksananya manajemen pesantren/ madrasah
yang baik karena kurangnya tenaga pengajar ataupun tenaga
administrasi.
2) Adanya rangkap tugas dan rangkap jabatan antara pengurus
yayasan, tenaga pengajar dan tenaga administrasi.
3) Masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan seperti
perpustakaan, laboratorium dan sarana pembelajaran
kurikulum pesantren serta pembelian kitab-kitab standar
pesantren.
Hal ini disebabkan oleh tradisi pengelolaan madrasah/
pesantren yang diwariskan oleh generasi pendahulu di mana
pengelolaan dan kepemimpinannya masih menggunakan pola-
pola konvensional yang cenderung kurang memperhatikan aspek
administrasi secara baik.
c. Hambatan Finansial.
Para peserta didik di madrasah/ pesantren mayoritasnya
berasal dari lingkungan keluarga yang memiliki kemampuan
ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini sangat berpengaruh
pada upaya inovasi dan pengembangan manajemen pendidikan
yang tidak lepas dengan pemenuhan anggaran yang tidak sedikit.
Pada umumnya, para pengelola madrasah/ pesantren terhambat
idealismenya karena minimnya modal pembiayaan tersebut.
Temuan lapangan menunjukkan tidak cukupnya dana
operasional MTI baik untuk kepentingan belajar mengajar,
maupun untuk membayarkan gaji personalia tenaga pengajar dan
tenaga administrasi. Pengelola MTI masih mengandalkan
pembiayaan pesantren dari Sumbangan Pembiayaan Pendidikan
(SPP) siswa/santri dan bantuan-bantuan lainnya yang tidak
mengikat. Untung saja keuangan pesantren dua tahun terakhir
56
terbantu dengan adanya dana yang bersumber dari Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
Ada kecendrungan bahwa kondisi suatu MTI sangat
tergantung pada kekuatan finansial Syekh/ pendiri/keluarga
pendiri. Jika kebetulan Syekh/ pendiri/keluarga pendiri memiliki
sumber-sumber ekonomi yang cukup, maka lembaga
pendidikannya tampak maju dan modern. Selain itu, faktor yang
ikut mempengaruhi adalah peran alumni dan jaringan sosial
vertikal MTI. Jika MTI mempunyai alumni yang memiliki akses
yang kuat kepada sumber dana, maka ada semacam jaminan
untuk finansial MTI. Tetapi kondisi ini tidak selalu ada. Justru
karena ketergantungan financial kepada keluarga pendiri atau
figure tertentu serta donatur, membuat beberapa MTI tidak dapat
mengembangkan diri.
d. Hambatan mutu.
Akibat ketiga hambatan di atas, peningkatan mutu
pembelajaran di madrasah/ pesantren masih tertinggal dengan
siswa jalur pendidikan sekolah, terutama dalam bidang atau mata
pelajaran umum seperti IPA, matematika dan sejenisnya. Hal ini
sangat beralasan mengingat sumberdaya manusia (dalam hal ini
tenaga pendidik) maupun perangkat pembelajaran dalam mata
pelajaran tersebut masih terbatas.
Tetapi bagi pesantren/MTI yang diteliti, kekhawatiran
utama justru terletak pada rendahnya mutu lulusan terkait
kemampuan membaca kitab kuning sekaligus penguasaan
terhadap materi yang dimuat dalam kitab klasik tersebut. hampir
semua MTI yang jadi objek penelitian ini mengakui adanya
penurunan kualitas lulusan dari waktu yang lalu.
Meskipun demikian, pesantren/ MTI yang menjadi objek
penelitian ini tetap terus berupaya mempertahankan keunggulan
57
dan kekhasan lulusan masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada
table berikut ini:
No. Nama Ponpes/MTI Keahlian lulusan
1 MTI Canduang 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Fikih
3. Tafsir
2 MTI Jaho 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tafsir
3 MTI Tb.Gadang 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tasawuf
4 Ponpes N.Yaqin 1. Ilmu Alat (bahasa)
2. Tafsir
5 PP Darussalam 1. Tahfiz al Qur’an
6 PPMTI Bt.Kabung 3. Ilmu Alat (bahasa)
4. Tafsir
Aspek Kondisi
No Hambatan
saat ini
MTI Candung
1. Manajemen MTI 80% Pembagian tugas belum
jelas
2. Sumber Daya 85% Guru banyak lulus PNS,
Manusia kompetensi tenaga
kependidikan kurang
3. Kurikulum 80% Pendalaman materi
pembelajaran Kitab pembelajaran kitab terbatas
58
untuk kelas khusus, guru
asrama kurang
4. Sumber Belajar 90% Hambatan terutama pada
ketersediaan buku dan
media
5. Sarana dan prasarana 85% Sarana pendukung
pembelajaran di asrama
kurang
6. Finansial 75% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
MTI Jaho
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 50% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 60% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
MTI Tabek Gadang
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 65% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
Ponpes Nurul Yaqin
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
59
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 50% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
Ponpes Darussalam
1. Manajemen MTI 50% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 10% Lebih terfokus pada
pembelajaran Kitab kurikulum MTs/MA
Kemenag
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 65% Perlu penambahan gedung
prasarana dan perbaikan asrama
6. Finansial 50% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
PPMTI Btg Kabung
1. Manajemen MTI 70% Rangkap tugas sebagai guru
dan tenaga kependidikan
2. Sumber Daya 65% Tenaga guru kurang, satu
Manusia orang guru mengasuh
beberapa mata pelajaran
3. Kurikulum 65% Tidak semua kitab dapat
pembelajaran Kitab diajarkan
4. Sumber Belajar 40% Perpustakaan kurang
memadai, penggunaan
media kurang
5. Sarana dan 45% Perlu perbaikan gedung dan
prasarana perbaikan asrama
6. Finansial 75% Masih mengandalkan SPP,
gaji guru rendah
60
Selain itu MTI diharapkan tetap menyelenggarakan pendidikan
formal baik madrasah atau sekolah umum. Hal ini disebut Mastuhu
sebagai madrasah yang hidup dalam kampus pesantren.11 Dengan kata
lain, pesantren adalah kampus besar dengan madrasah sebagai
program studinya. Hal ini sudah dicontohkan oleh MTI Candung
Kabupaten Agam yang menyelenggarakan beberapa program sebagai
berikut:
a. Program Tarbiyah 7 tahun (normal)
b. Program Tsanawiyah kurikulum Depag mulai kelas 2-4
c. Program Aliyah kurikulum Depag mulai kelas 5-7
d. Program Ma’had ‘Aliy 2 tahun selepas kelas 7
e. Program Khusus bagi santri pindahan dari SMP/MTs
f. Program Tahfidzul Quran yang didukung oleh Pemda
g. Program Unggulan Fiqih yang didukung oleh Pemerintah
Kabupaten Agam
h. Program Studi Jurusan IPA dan IPS tingkat Aliyah
11
Mastuhu, Ibid, h.152
61
a. Kemandirian; pesantren memiliki semangat kemandirian dan
otonomi secara penuh,
b. Keikhlasan; Pesantren pada umumnya dibangun dan dikelola
atas dasar keikhlasan dan diniatkan sebagai ibadah. Diiringi
semangat juang dan kerelaan berkorban yang tinggi dari
semua unsur yang terlibat di dalam pengelolaan pesantren
dapat menghindarkan terjadinya komersialisasi pendidikan
yang berujung terjadi runtuhnya nilai-nilai pendidikan itu
sendiri.
c. Totalitas paripurna; Pendidikan pesantren dijalankan secara
lebih komprehensif, meliputi pendidikan akhlak, spiritual,
ilmu pengetahuan, dan juga ketrampilan;
d. Kepribadian; Pendidikan di pesantren tidak hanya sebatas
mentrasfer ilmu pengetahuan, lebih dari itu adalah
menstranfer kepribadian. Para guru/ Syaikh secara langsung
memberikan tauladan dan juga membiasakan hal-hal yang
baik, sehingga ditiru oleh para santrinya;
e. Pembangunan karakter; Pendidikan pesantren tidak mengejar
simbol-simbol, seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk
membangun watak atau akhlak yang mulia,
5. Strategi Pengembangan
Berdasarkan uraian di atas, Pondok Pesantren MTI yang
berada di bawah naungan Ormas Persatuan Tarbiyah Islamiyah perlu
menyusun rencana strategis untuk program kebangkitan kembali
sebagaimana pada masa jayanya yaitu sekitar tahun 1930-1970-an.
Strategi yang perlu dikembangkan oleh pondok pesantren MTI
adalah:
a. Melakuakan re-orientasi pesantren MTI dengan cara
mempertegas visi dan misi pesantren
b. Menyelaraskan program pendidikan dengan visi dan misi
62
pesantren
c. Pengembangan sumber daya manusia, baik tenaga pengajar
(guru) terutama guru kitab kuning maupun tenaga
administrasi kependidikan. Kegiatan yang mungkin
dilakukan untuk melaksanakan strategi ini adalah dengan
mendesain program pelatihan dan workshop yang berkaitan
dengan kemampuan dan kompetensi yang diaharapkan dari
kedua jenis ketenagaan ini.
d. Pengembangan organisasi dan kelembagaan yang diarahkan
untuk membangun aliansi strategis dan kerjasama
kelembagaan, baik untuk kepentingan pendanaan maupun
untuk kepentingan distribusi lulusan sesuai dengan
kompetensinya.
e. Penataan administrasi dan manajemen MTI sesuai dengan
standar pengelolaan pendidikan formal tanpa menghilangkan
identitas kultural pesantren. Hal-hal yang bersifat teknis
administratif sangat perlu dilengkapi, misalnya buku profile,
statuta madrasah dan Standard Operational Procedure (SOP)
f. Pembukaan akuntabilitas publik yang bertujuan untuk
memberikan akses yang luas bagi publik baik terhadap
kurikulum maupun fasilitas kepada seluruh stakeholder.
g. Pengadaan dan pembenahan asrama sebagai subsistem
pesantren. Pembenahan terutama diarahkan pada bentuk fisik
dan kurikulum kegiatan asrama yang menunjang visi dan
misi MTI
63
berkarakter pesantren b. Menyelaraskan program
4. Pendidikan yang dianggap solusi pendidikan dengan visi dan
komprehensif yang tepat untuk misi pesantren
mendidik anak- c. Pengembangan sumber daya
anak mereka manusia, baik tenaga
supaya tumbuh pengajar (guru) terutama
sebagai anak guru kitab kuning maupun
yang saleh. tenaga administrasi
2. Para pakar kependidikan.
menilai mutu d. Pengembangan organisasi
siswa didik di dan kelembagaan yang
sekolah agama diarahkan untuk membangun
(madrasah) dan aliansi strategis dan
sekolah umum kerjasama kelembagaan, baik
relatif sama untuk kepentingan
pendanaan maupun untuk
kepentingan lulusan
e. Penataan administrasi dan
manajemen MTI sesuai
dengan standar pengelolaan
pendidikan formal minimal
tersedianya buku profile,
statuta madrasah dan
Standard Operational
Procedure (SOP)
f. Akuntabilitas publik yang
bertujuan untuk memberikan
akses yang luas bagi publik
baik terhadap kurikulum
maupun fasilitas
g. Pengadaan dan pembenahan
asrama sebagai subsistem
pesantren.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan kajian pada uraian terdahulu dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kondisi Objektif Pesantren/MTI
Pondok pesantren atau Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
yang berafiliasi dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (organisasi
massa Islam asli Sumatera Barat) adalah lembaga pendidikan Islam
yang bertujuan mengembangkan pendidikan yang lebih
menitikberatkan pada pengkajian agama Islam yang bersumber dari
kitab klasik. Embrio pondok pesantren/ MTI terbentuk dari sistem
halaqah yang dikembangkan oleh surau-surau tradisional
Minangkabau. Eksistensinya dapat dilihat sebagai bentuk rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam yang memadukan semangat pengajaran
sistem halaqah dan sistem pembelajaran klasikal.
Tuntutan pembaharuan pendidikan dan keharusan sejarah
membuat perubahan besar dalam semua aspek pendidikan dan
kelembagaan pondok pesantren/ MTI. Perubahan ini berpengaruh
terhadap mutu pesantren MTI terutama dari segi konsistensi terhadap
visi dan misi, kualitas santri dan guru, sarana prasarana,
kepemimpinan dan sumber pendanaan. Hal ini dianggap cukup
mengganggu masa depan pesantren/ MTI di tengah nama besar yang
sudah diembannya dalam sejarah pendidikan Islam di Sumatera Barat.
2. Sistem Pembelajaran
Pada umumnya MTI menyelenggarakan pendidikan tingkat
Tsanawiyah (setara SLTP), Aliyah (Setara SLTA) dan pengkaderan
guru kitab kuning (takhassus/Ma’had ‘Aly). Semua jenjang
pendidikan tersebut dikelola dengan sistem terpadu antara pendidikan
66
Madarasah dengan kurikulum Kementerian Agama dan sistem
pendidikan khas pondok pesantren dengan muatan kurikulum yang
didesain sendiri untuk mencapai tujuan pondok pesantren.
Berdasarkan sistem itu pula MTI mengembangkan pendidikannya
dengan dua sistem pembelajaran yaitu klasikal dan halaqah. Sistem
klasikal digunakan untuk pembelajaran madarasah formal sesuai
kurikulum Kementerian Agama. Sistem Halaqah digunakan untuk
pembelajaran kurikulum Pondok Pesantren.
Berdasarkan temuan lapangan didapati bahwa pelaksanaan
kurikulum pesantren yang khas Madrasah Tarbiyah Islamiyah mulai
melemah. Penyebabnya antara lain 1). Kuatnya dominasi pelaksanaan
kurikulum madrasah Kementerian Agama melalui Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madarasah Aliyah (MA) yang
diselenggarakan pesantren/MTI, 2). Keterbatasan sumber belajar
kurikulum pondok seperti keterbatasan SDM (guru/tenaga
kependidikan), sarana dan media pembelajaran kurikulum pondok dan
sebagainya.
67
menyusun rencana strategis untuk program kebangkitan kembali
sebagaimana pada masa jayanya yaitu sekitar tahun 1930-1970-an,
yaitu:
a. Melakukan re-orientasi pendidikan pesantren/ MTI dengan cara
mempertegas visi dan misi pesantren serta menyelaraskan
program pendidikan dengan visi dan misi tersebut.
b. Pengembangan sumber daya manusia, baik tenaga pengajar
(guru) terutama guru kitab kuning maupun tenaga administrasi
kependidikan.
c. Pengembangan organisasi dan kelembagaan yang diarahkan
untuk membangun aliansi strategis dan kerjasama kelembagaan,
baik untuk kepentingan pendanaan maupun untuk kepentingan
distribusi lulusan sesuai dengan kompetensinya.
d. Penataan administrasi dan manajemen MTI sesuai dengan
standar pengelolaan pendidikan formal tanpa menghilangkan
identitas kultural pesantren.
e. Pembukaan akuntabilitas publik yang bertujuan untuk
memberikan akses yang luas bagi publik baik terhadap
kurikulum maupun fasilitas kepada seluruh stakeholder.
f. Pengadaan dan pembenahan asrama sebagai subsistem
pesantren. Pembenahan terutama diarahkan pada bentuk fisik
dan kurikulum kegiatan asrama yang menunjang visi dan misi
MTI
B. Rekomendasi
Pesantren/ MTI yang berafiliasi dengan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah merupakan asset dan khazanah pendidikan Islam Sumatera
Barat yang masih kuat bertahan sampai sekarang. Tetapi eksistensinya
terkucilkan bahkan sub-ordinat dalam sejarah pendidikan Islam di
Sumatera Barat. Sementara penelitian ini hanya dapat menyingkap sedikit
saja dari problematika yang dihadapi pesantren/MTI. Oleh karena itu
68
penelitian dan penulisan temuan terkait dengan pesantren/MTI ini perlu
lebih dikembangkan terutama dari aspek;
1. Posisinya di tengah sejarah pendidikan Islam di Sumatera Barat
khususnya dan di Indonesia pada umumnya
2. Kekhasan dan keunikan pesantren/MTI yang berbeda dengan
;pada umumnya pesantren di Jawa atau daerah lainnya
3. Riset-riset aksi (Action Research) sebagai upaya untuk
membangkitkan kembali potensi dan kekuatan pesantren/ MTI
sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkarakter dank has
Sumatera Barat.
69
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen:
Wawancara