Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran
a. Pengertian Belajar
Slameto (2010:2) Berpendapat pengertian secara psikologis,

belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku

sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam

seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat didefenisikan

sebagai berikut :“Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan

seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam

interaksi dengan lingkungannya.

Slameto (2010:3) mengemukakan Ciri-ciri perubahan tingkah

laku :

1. Perubahan terjadi secara sadar : Ini bearti seseorang belajar akan

menyadari terjadinya perubahan dalam dirinya.

2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional: Sebagai

hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang

berlangsung secara berkesinambungan.

3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif : Dalam perbuatan

belajar, perubahan-perubahan senatiasa bertambah dan tertuju untuk

memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

1
2

4. Perubahan dalam belajarbukan bersifat sementara : Perubahan

bersifat sementara hanya untuk beberapa saat saja, seperti

berkeringat, keluar air mata, tidak dapat digolongkan sebagai

perubahan dalam arti belajar.

5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah : Ini bearti perubahan

tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.

6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku :Perubahan yang

diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi

perubahan keseluruhan tingkah laku.

Susanto (2013:4) menyatakan belajar adalah suatu aktivitas

yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk

memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru

sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang

relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat peneliti pahami bahwa

belajar merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan

seseorang sehingga memungkinkan terjadinya suatu perubahan tingkah

laku yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan

lingkungan.
3

b. Hasil Belajar
Secara sederhana, yang dimaksud dengan hasil belajar

siswa adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui

kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses

dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk

perubahan perilaku yang relatif menetap.

Susanto (2013:5) makna hasil belajar yaitu perubahan-

perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut

aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan

belajar. Karwati dan Priansa (2014:214) menjelaskan hasil belajar

atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari

kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki

seseorang. Sudjana (2004: 22) menjelaskan bahwa hasil belajar

adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia

menerima pengalaman belajarnya. Dalam kegiatan pembelajaran

atau kegiatan instruksional, biasanya guru menetapkan tujuan

belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil

mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.  Kurniawan,   (2014:10)

menggolongkan hasil belajar itu menjadi tiga bagian yaitu:

a. Hasil belajar kognitif

Hasil belajar kognitif yaitu hasil belajar yang ada kaitannya

dengan ingatan, kemampuan berpikir atau intelektual. Pada

kategori ini hasil belajar terdiri dari tujuh tingkatan yang


4

sifatnya hierarkis. Ketujuh hasi belajar ranah kognitif ini

meliputi:

(a) pengetahuan, meliputi kemampuan berupa ingatan terhadap


sesuatu yang telah dipelajari, (b) pemahaman, yaitu
kemampuan menangkap makna atau arti dari sesuatu yang telah
dipelajari, (c) aplikasi kemampuan untuk menerapkan ilmu
pengetahuan yang dipelajari dalam suatu situasi tertentu baik
dalam situasi nyata maupun dalam situasi tiruan, (d) analisis,
yaitu kemampuan untuk memecahkan suatu kesatuan entitas
tertentu sehingga menjadi jelas unsur-unsur pembentuk
kesatuan suatu identitas, (e) sintesis, yaitu kemampuan untuk
membuat intisari, membentuk suatu pola tertentu sehingga
membentuk  suatu  kesatuan  tertentu  yang bermakna, (f) evalu
asi, yaitu kemampuan untuk memberikan pendapat atau
menentukan baik atau tidak baik sesuatu dengan menggunakan
suatu kriteria tertentu, (g) kreativitas, adalah kemampuan untuk
mengkreasi atau mencipta, yaitu kemampuan yang dipandang
paling sulit/tinggi di banding kemampuan kognitif lainnya.

b. Hasil belajar Afektif

Hasil belajar ranah afektif yaitu merujuk pada hasil belajar yang
berupa kepekaan rasa atau emosi. Jenis hasil belajar ranah ini terdiri
dari lima yang meliputi:

(a) kepekaan, yaitu sensitivitas mengenai situasi dan kondisi


tertentu serta mau memperhatikan keadaan tersebut, (b)
Partisipasi, mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan
keadaan tersebut, (c) penilaian dan penentuan sikap, mencakup
menerima suatu nilai, menghargai, dan menentukan
sikap. Misalnya menerima pendapat orang lain, (d) organisasi,
kemampuan membentuk suatu system nilai sebagai pedoman
atau pegangan hidup, (e) pembentukan pola hidup, mencakup
kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola
nilai kehidupan pribadi.

c. Hasil belajar Psikomotor


5

Hasil belajar psikomotor yaitu berupa kemampuan gerak

tertentu. Kemampuan gerak ini juga bertingkat mulai dari gerak

sederhana yang mungkin dilakukan secara reflek hingga gerak

kompleks yang terbimbing hingga gerak kreativitas. gerak

psikomotorik ini meliputi persepsi yaitu kemampuan memiliki dan

memilah serta menyadari adanya suatu ke khasan pada sesuatu,

kesiapan, yaitu kemampuan menempatkan diri dalam keadaan

terbimbing yaitu mampu melakukan gerakan yang sifatnya jasmani

tidak terlepas dari kemampuan fisik dan mental, terutama yang

berkaitan dari suatu gerak tertentu yang akan dilakukan.

Berdasarkan pendapat ahli diatas peneliti dapat menyimpulkan

hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh siswa melalui

kegiatan belajar baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor. Serta

memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.

2. Pembelajaran Tematik Terpadu


a. Pengertian Pembelajaran Tematik Terpadu
Pembelajaran tematik terpadu pada hakikatnya merupakan

suatu system pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara

individual maupun kelompok aktif mencari, menggali,

mengeksplorasi dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip

secara holistic, autentik, dan berkesinambungan melalui tema-tema

yang berisi muatan mata pelajaran yang dipadukan. Istilah

pembelajaran tematik pada dasarnya adalah model pembelajaran


6

terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata

pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna

kepada siswa.

Faisal (2014:39) pembelajaran tematik terpadu merupakan

pembelajaran yang menggunakan berbagai tema dalam mengaitkan

beberapa mata pelajaran, sebagai fokus utama yang dapat

memberikan pengalaman bermakna kepada siswa secara utuh baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia pendidikan. Majid

(2014:80) mengatakan bahwa pembelajaran tematik terpadu

merupakan salah satu model pembelajaran terpadu (integrated

instruction) yang merupakan suatu system pembelajaran yang

memungkinkan siswa, baik secara individu maupun kelompok aktif

menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan

secara holistik, bermakna, dan otentik.

Rusman (2015:152) juga berpendapat bahwa pembelajaran

tematik terpadu bertujuan untuk melibatkan siswa secara aktif

dalam proses pembelajaran, siswa dapat memperoleh pengalaman

langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai

pengetahuan yang dipelajari secara holistik, bermakna, autentik,

dan aktif.

Pembelajaran tematik terpadu sebagai suatu konsep dapat

dikatakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran yang


7

melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman

yang bermakna kepada siswa. Dikatakan bermakna karena dalam

pembelajaran tematik terpadu, siswa akan memahami konsep-

konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan

nyata yang menghubungkan dengan konsep lain yang sudah

mereka pahami. Pembelajaran tematik terpadu lebih menekankan

pada keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa

aktif terlibat dalam proses pembelajaran untuk pembuatan

keputusan.

Berdasarkan ketiga pendapat di atas dapat peneliti pahami

bahwa pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran yang

menggunakan tema sebagai fokus utamanya untuk memperoleh

pengetahuan dan keterampilan siswa serta melibatkan siswa dalam

proses pembelajaran secara langsung dan menghubungkannya

dengan pengalaman nyata dengan demikian, sangat dimungkinkan

hasil belajar yang diperoleh siswa akan lebih bermakna.

b. Karakteristik Pembelajaran Tematik Terpadu


Majid (2014:89) berpendapat bahwa pembelajaran tematik
terpadu memiliki karakteristik yaitu:

(a) berpusat pada siswa, pembelajaran tematik terpadu berpusat


pada siswa (student centered). Hal ini sesuai dengan pendekatan
belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai
subjek belajar, sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai
fasilitatoryaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa
untuk melakukan aktivitas belajar, (b) memberikan pengalaman
langsung, pembelajaran tematik terpadu dapat memberikan
8

pengalaman langsung kepada siswa (direct experience). Dengan


pengalaman langsung ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang
nyata (kongret) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih
abstrak, (c) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas, dalam
pembelajaran tematik terapadu pemisahan antar mata pelajaran
menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan pada
pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan
kehidupan siswa, (d) menyajikan konsep dari berbagai mata pelaj
aran, pembelajaran tematik terpadu menyajikan konsep-konsep
dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran.
Dengan demikian, siswa mampu memahami konsep-konsep
tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa
dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari, (e) bersifat fleksibel, Pembelajaran tematik
terpadu bersifat luwes (fleksibel) dimana guru dapat mengaitkan
bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang
lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan
keadaan lingkungan dimana siswa sekolah dan siswa berada, (f)
menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenagkan.

Karakteristik pembelajaran tematik terpadu menurut Depdikbud


(1996:3) sebagai berikut.

(a) Holistik, suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat


perhatian dalam pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari
beberapa bidang kajian sekaligus, tidak dari sudut pandang
yang terkotak-kotak, (b) Bermakna, pengkajian suatu fenomena
dari berbagai macam aspek seperti yang dijelaskan di atas,
memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar konsep-
konsep yang berhubungan yang disebut skemata. Hal ini akan
berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari, (c)
Autentik, pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami
secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya
melalui kegiatan belajar secara langsung, (d) Aktif, pembelajaran
terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran baik
secara fisik, mental, intelektual, maupun emosional
guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan mempertimba
ngkan hasrat, minat, dan kemampuan siswa, sehingga mereka
termotivasi untuk terus-menerus belajar.
9

Berdasarkan pendapat di atas dapat peneliti simpulkan bahwa

karakteristik pembelajaran  tematik  yaitu  pembelajaran  yang  berpusat 

pada  siswa, memberikan  pengalaman  langsung  pada  siswa,  serta 

mempertimbangkan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa sehingga

pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa.

c. Kelebihan Pembelajaran Tematik Terpadu


Majid (2014:92-94) menjelaskan kelebihan dari
pembelajaran tematik terpadu sebagai berikut.

(a) menyenangkan karna bertolak dari minat dan kebutuhan


siswa, (b) memberi pengalaman dan kegiatan belajar mengajar
yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,
(c) hasil belajar dapat bertahan lama karna lebih terkesan dan
bermakna, (d)  mengembangkan keterampilan berpikir siswa
sesuai dengan persoalan yang dihadapi,  (e) membutuhkan
keterampilansosial melalui kerja sama,  (f)  memiliki sikap
toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain,
(g) menyajikan kegiatan yang bersifat nyata sesuai dengan
persoalan yang dihadapi dalam lingkungan siswa.

Tabany (2011:159) dalam Depertemen Pendidikan dan


Kebudayaan (1996) kelebihan pembelajaran tematik terpadu
yaitu:

(a) Pengalaman dan kegiatan belajar siswa relevan dengan tingkat


perkembangannya, (b) kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat
dan kebutuhan siswa, (c) kegiatan bermakna bagi siswa, sehingga
hasilnya dapat bertahan lama, (d) keterampilan berpikir siswa
berkembang dalam proses pembelajaran terpadu, (e) kegiatan
belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai dengan lingkungan
siswa (f), keterampilan sosial siswa berkembang dalam proses
10

pembelajaran terpadu. Keterampilan sosial ini yaitu, kerja sama,


komunikasi, dan mau mendengarkan pendapat orang lain.

Dari pendapat ahli di atas peneliti dapat menyimpulkan kelebihan

pembelajaran tematik yaitu kegiatan pembelajaran yang relevan sesuai

dengan kebutuhan siswa, menyenangkan, saling bekerja sama dan hasil

belajar yang didapatkan siswa dapat bertahan lama.

3. Hakikat Model Problem Posing

a. Pengertian Model Problem Posing

Menurut Subroto (2009:203), “Problem Posing atau

pengajuan masalah-masalah yang dituangkan dalam bentuk

pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian diupayakan

untuk dicari jawabannya baik sacara individu maupun bersama

dengan pihak orang lain”. Sedangkan menurut Ningsih (2012:238),

“Problem Posing berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata

“Problem” artinya masalah, soal atau persoalan dan kata “pose”

yang artinya mengajukan”. Problem Posing bisa diartikan sebagai

pengajuan soal atau pengajuan masalah. Dengan menggunakan

metode Problem Posing ini diharapkan siswa bisa berpikir secara

kritis. Pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan tersebut


11

diharapkan dicarikan kunci jawabannya baik secara individu

maupun secara bersama-sama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode

problem posing adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang diajukan

untuk memecahkan suatu masalah dan pengajuan masalah, agar

siswa tersebut bisa berpikir secara kritis dan siswa itu bisa mencari

jawabannya baik secara individu maupun secara bersama-sama.

b. Langkah-langkah dalam Model Problem Posing

Langkah-langkah dalam metode Problem Posing menurut

Ningsih (2012:238), langkah-langkah metode Problem Posing sebagai

berikut: (1) Guru menjelaskan materi pelajaran, kemudian memberi soal-

soal latihan secukupnya. (2) Siswa mengerjakan soal latihan di kelas

kemudian membahas hasilnya bersama-sama supaya siswa tahu cara

mengerjakan soal yang benar. (3) Siswa diberi tugas mengajukan 1 atau 2

pertanyaaan yang menantang dan siswa yang bersangkutan harus mampu

menyelesaikannya. (4) Guru menyuruh siswa secara acak atau selektif

untuk menyelesaikan soal bahasanya sendiri di depan kelas.

Sedangkan menurut Suryosubroto (2009:212), adalah:

(1) guru menjelaskan tentang pembelajaran kepada siswa dengan

harapan mereka dapat memahami tujuan serta dapat mengikuti dengan

baik proses pembelajaran baik dari segi frekuensi maupun intensitas.

Penjelasan meliputi bahan yang akan diberikan kegiatan sampai

dengan prosedur penilaian yang mengacu pada ketercapaian prestasi

belajar baik dari ranah kognitif maupun efektif. (2) guru melakukan

tes awal yang hasilnya digunakan untuk mengetahui tingkat daya


12

kritis siswa. Hasil tes tersebut akan menjadi dasar pengajar dalam

membagi peserta didik ke dalam sejumlah kelompok. Apabila jumlah

siswa dalam satu kelas adalah 14 orang. Agar kegiatan dalam

kelompok berjalan dengan proporsional maka setiap kelompok terdiri

atas 4-5 orang sehingga ada 3 kelompok. Fungsi pembagian kelompok

ini antara lain untuk memperoleh pengamatan yang terfokus, namun

juga merata, dalam arti setiap kelompok hendaknya terdiri atas siswa

yang memiliki kecerdasan heterogen. (3) Pengajar kemudian

menugaskan setiap kelompok belajar untuk meresume beberapa buku

yang berbeda dengan sengaja dibedakan antar kelompok. (4) masing-

masing siswa dalam kelompok membentuk pertanyaan berdasarkan

hasil resume yang telah dibuatnya dalam lembar Problem Posing 1

yang telah disiapkan.(5) Kesemua tugas membentuk pertanyaan

dikumpulkan kemudian dilimpahkan pada kelompok yang lainnya.

Misalnya tugas membentuk pertanyaan kelompok I diserahkan kepada

kelompok 2 untuk dijawab dan dikritisi, tugas kelompok 2 diserahkan

kepada kelompok 3, dan seterusnya hingga kelompok 3 kepada

kelompok I. (6) Setiap siswa dalam kelompoknya melakukan diskusi

internal untuk menjawab pertanyaan yang mereka terima dari

kelompok lain disertai dengan tugas resume yang telah dibuat

kelompok lain tersebut. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada

lembaga Problem Posing II. (7) Pertanyaan yang telah ditulis pada

lembar Problem Posing I dikembalikan pada kelompok asal untuk

kemudian diserahkan pada guru dan jawaban yang terdapat lembar

Problem Posing II diserahkan pada guru. (8) Setiap kelompok


13

mempresentasikan hasil rangkuman dan pertanyaan yang telah

dibuatnya pada kelompok lain. Diharapkan adanya diskusi menarik

diantara kelompok-kelompok baik secara eksternal maupun internal

menyangkut pertanyaan yang telah dibuatnya dan jawaban yang

paling tepat untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan yang

bersangkutan. Pada saat yang bersamaan guru mengarahkan pula

format penilaian yang diisi siswa sendiri sebagai evaluasi diri, jadi

siswa diberikan kesempatan untuk menilai sendiri proses dan hasil

pembelajarannya masing-masing.

Dari kedua langkah-langkah di atas, peneliti menerapkan model Problem

Posing yang dikemukakan oleh Subroto pada saat peneliti melakukan penelitian.

Berdasarkan penyataan di atas, metode Problem Posing tersebut sangat baik bagi

guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Posing

1. Kelebihan metode Problem Posing

Sutisna (2002) menjelaskan kelebihan metode Problem

Posing yaitu: (a) kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada

guru, tetapi menuntut keaktifan siswa. (b) Aktifitas siswa dalam

pembelajaran PKn lebih besar dan siswa lebih mudah

memahami soal karena soal tersebut dibuat sendiri oleh siswa.

(c) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam proses

pembelajaran. (d) Dengan membuat soal sendiri dapat

menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam

menyelesaikan masalah. (e) Dengan membuat siswa untuk


14

melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga

diharapkan mendapat pemahaman yang mendalam dan lebih

baik.

4. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Ada beberapa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

(PKn). Menurut Soemantri (dalam Ruminiati, 2007:1.25), “PKn

merupakan mata pelajaran sosial yang bertujuan untuk membentuk

atau membina warga negara yang baik, yaitu warga negara yang

tahu, mau dan mampu berbuat baik”. Warga negara yang baik

adalah warga negara yang mengetahui dan menyadari serta

melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Sedangkan menurut Winataputra (2008:1.15), “Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan

pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu

melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga

negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang

diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, PKn merupakan

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga

negara yang memahami dan membina anak didik menjadi warga

negara yang baik.

b. Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan


15

Menurut Ruminiati (2007:1.27), delapan kelompok tersebut

dijelaskan pada bagian berikut:

1. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam


perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa
Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif
terhadap negara kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan
jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan
keluarga, tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional,
hukum dan peradilan internasonal.
3. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan
kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan
internasional HAM, pemajuan, penghormatan, dan perlindungan
HAM.
4. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga
diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi,
kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan
bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
5. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan
konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah
dipergunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan
konstitusi.
6. Kekuasaan dan politik meliputi: pemerintahan desa dan
kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi-pemerintah pusat,
demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi,
menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam
masyarakat demokrasi.
7. Kedudukan pancasila, negara meliputi: kedudukan pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan
pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka.
8. Globalisasi, meliputi: globaliasi di lingkungannya, politik luar
negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalsasi,
hubungan internasional dan organisasi internasional, dan
mengevaluasi globalisasi.
16

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembelajaran

PKn adalah persatuan dan kesatuan bangsa, norma, hukum dan

persatuan, hak manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi

negara, kekuasaan dan politik, Pancasila dan globalisasi.

Berdasarkan tujuan di atas, maka dalam pembelajaran PKn

perlu diperjelas. Oleh karena itu, ruang lingkup PKn secara umum

meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Persatuan dan kesatuan,

(2) Norma hukum dan peraturan, (3) HAM, (4) Kebutuhan warga

negara, (5) Konstitusi negara, (6) Kekuasaan politik, (7)

Kedudukan Pancasila, (8) Globalisasi.

c. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah untuk

membentuk watak atau karakteristik warga negara yang baik.

Menurut Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007:1.26), PKn bertujuan

sebagai berikut:

1. Mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam


menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di
negaranya.
2. Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif
dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas
dalam semua kegiatan.
3. Bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga
mampu hidup bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu
berintekrasi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi dengan baik.
17

Sedangkan menurut Permendiknas (dalam Winataputra,

2008:1.15), tujuan PKn adalah agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut:

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi


isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tujuan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD adalah untuk menjadikan

warga negara yang baik, yaitu warga negara yang tahu, mau, dan sadar

akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, kelak siswa

diharapkan dapat menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, dan

bersikap baik, serta mampu mengikuti kemajuan teknologi modern.

d. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan pendidikan

di sekolah dan diterima sebagai wahana umum serta esensi

pendidikan demokrasi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat

Yusrizal (2010:2) karakteristik PKn merupakan bidang kajian ilmu

dan program pendidikan di sekolah dan diterima sebagai wahana


18

utama serta esensi pendidikan demokrasi di Indonesia yang

dilaksanakan melalui berikut ini:

a) Civic intelegence, yaitu kecerdasan dan daya nalar warga negara


baik dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, maupun
sosial.
b) Civic responsibility, yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
c) Civic participation, yaitu kemampuan berpartisipasi warga
negara atas dasar tanggung jawabnya, baik secara individual,
sosial sebagai pemimpin hari depan.

Dari karakteristik pembelajaran PKn di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa seorang guru harus pandai memilih sebuah strategi

pembelajaran yang dapat meningkatkan daya pikir siswa dalam

memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-

harinya.

B. Penelitian Relevan
a. Desfitria Maritsa (2014), dengan judul “Peningkatan Aktivitas Belajar

Siswa Kelas V melalui Model Problem Posing pada Pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan di SDN 01 Koto Balingka. Penelitian yang

dilakukan oleh Desfitria Maritsa memiliki kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan peneliti yaitu sama- sama menggunakan model Problem Posing,

sedangkan perbedaanya yaitu peneliti melakukan penelitiak eksperimen,

sedangkan Desfitria PTK.

b. Nashahi (2014) dengan judul “Peningkatan Partisipasi Belajar Siswa Kelas

VI pada Pembelajaran PKn melalui Metode Problem Posing di SD Bakrie

Utama Sungai Aur”. Ada persamaan dan perbedaan antara penelitian yang
19

peneliti lakukan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nashahi. Di

sini dapat dilihat persamaan yang peneliti lakukan, dimana Nashahi

menggunakan variabel partisipasi dan modelnya nya yaitu Problem Posing.

Sedangkan peneliti yang peneliti lakukan yaitu penelitian eksperimen

tematik terpadu.

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini bertujuan untuk mengupayakan peningkatan hasil belajar

siswa dalam pembelajaran tematik terpadu di kelas IV melalui Model Problem

Posing. Adapun kerangka berpikir peneliti, diawali dengan adanya kondisi

faktual yakni ditemui permasalahan pada siswa kelas IV di SDN 03 Pancung

Soal, yaitu rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran tematik terpadu.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan dalam Bagan 1 sebagai berikut:

Siswa

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Metode Problem Posing Tidak menggunakan


Problem posing

Hasil Belajar Hasil Belajar


20

Di bandingkan

Bagan 1. Kerangka Teori

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

kalimat pernyataan (Sugiyono, 2010:64). Dikatakan sementara, karena jawaban

yang diberikan didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada

fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis

juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah

penelitian, belum jawaban yang empirik.

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dengan menggunakan

model Problem Posing terhadap hasil pembelajaran tematik terpadu di

kelas IV SDN 03 Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan

H1 Terdapat pengaruh yang signifikan dengan menggunakan model

Problem Posing terhadap hasil pembelajaran tematik terpadu di kelas

IV SDN 03 Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan

Anda mungkin juga menyukai