PENDAHULUAN
1
Meskipun bronkiolitis self limited, jika tidak didiagnosis dengan cepat,
dapat menyebabkan komplikasi gagal napas bahkan apnea. Sehingga perlunya
pengetahuan untuk dapat mendiagnosis bronkiolitis, menilai faktor risiko,
komplikasi yang dapat terjadi dan tatalaksana yang tepat. Oleh karena itu, penulis
tertarik mengangkat judul “ Bronkiolitis” pada tulisan ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.1 Bronkiolitis adalah infeksi
saluran pernapasan bawah yang paling umum di usia < 2 tahun. Ini ditandai
dengan peradangan akut, edema, dan nekrosis epitel sel yang melapisi saluran
udara kecil, peningkatan produksi lendir, dan bronkospasme.2
Pedoman AAP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan
bronkiolitis sebagai kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk
infeksi saluran pernapasan atas, diikuti wheezing dan peningkatan usaha bernafas
pada anak- anak kurang dari 2 tahun.2,3
2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease of infancy, umumnya
mengenai anak < 2 tahun dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan;
lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di AS kejadian
bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang tidak diberi
ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi pada anak dari
ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan. Sekitar 75,000 –
125,000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat akibat infeksi RSV
setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari
100 anak pada tahun pertama kehidupan. 1,3
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara
berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan
penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada
anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %.1
3
Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat Inap Ilmu
Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003
didapatkan lebih dari 50% penderita bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah dan
penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan.15
4
Tabel 2 Faktor Risiko Bronkiolitis2,4,5
Faktor lingkungan Faktor Host
1. Riwayat terpapar asap rokok 1. riwayat prematuritas
2. Durasi singkat / tidak menyusui 2. penyakit jantung bawaan
3. faktor sosial ekonomi yang buruk 3. kelainan anatomi saluran
4. serta riwayat penitipan anak napas
5
2.4 Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis dan patofisiologi bronkiolitis melibatkan kombinasi dari
edema saluran napas, peningkatan produksi mukus, dan nekrosis sel epitel saluran
napas akibat cedera sitotoksik langsung.3,6
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah single stranded RNA virus
yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua
glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk
menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan
protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target
dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif
pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A
menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.6
(Lihat Gambar 1)
6
virus di sel epitel hidung, dan respons imun yang berlebihan terjadi, dengan
memulai masuknya sel natural killer, limfosit, dan granulosit ke dalam epitel.
Setelah masa inkubasi 4 sampai 6 hari sejak penularan, gejala saluran pernapasan
bagian atas muncul, termasuk hidung tersumbat dan rinore.6
Masa inkubasi RSV 4 - 6 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi
nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan
mukosilier, mukus tertimbun didalam bronkiolus. Kerusakan epitel saluran nafas
juga mengakibatkan sel aferen lebih mudah terpapar terhadap allergen/iritan,
sehingga dilepaskan beberapa neuropeptide (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran nafas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adesion Molecule-1
(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinophil dan sel-sel
inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dan proses inflamasi,
edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos
saluran nafas.6,7 (Lihat Gambar 2)
7
Gambar 2 Patogenesis Bronkiolitis7
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkus menyebabkan respon inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan
debris selular/sel-sel mati yang nekrosis, kemudian diikuti dengan infiltrasi
limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara
berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran pernafasan, maka sedikit
saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang
besar,terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran pernafasan yang
kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan
menyebabkan air traping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat
terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi total.2,6
Proses patologis ini akan mengganggu proses pertukaran gas normal di paru-
paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi ( ventilation perfusion mismatching ), yang berikutnya akan
8
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia ringan. Kerja
pernapasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan
compliance paru menurun. Hiperkapnea tidak selalu terjadi, hanya pada beberapa
pasien.6,7
Karena adanya obstruksi pada bronkiolus menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernafasan, batuk, wheezing, hiperaerasi, atelektasis, dan hipoksia.
Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada
fase ekspirasi. Selama fase ekpirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
ekspirasi meningkat hampir dua kali diatas normal.7 Terjebaknya udara distal
menyebabkan hiperinflasi dan atelektasis.7 (Lihat gambar 3)
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih
besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada
saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat
infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulative immunity sehingga pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi
bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.7
9
Infeksi RSV
Respon paru
2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.1 Rekomendasi dari American Academy of
Pediatrics (AAP) untuk penegakan diagnosis bronkiolitis berdasarkan riwayat
kontak, anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis bronkiolitis terdiri dari :2
(1) Wheezing pertama kali,
(2) Umur 24 bulan atau kurang,
(3) Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
demam
10
2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu kita tanyakan yaitu usia pasien <2 tahun (24
bulan). Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh kontak dengan anak lain yang
mengalami gejala Infeksi Saluran Pernapasan Atas. Bayi di dahului mengalami
gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer, dan bersin, gejala ini kadang
disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua hari
kemudian diikuti batuk, wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel,
muntah serta sulit makan dan minum.3,8 (Lihat Tabel 4)
Secara bertahap, gangguan pernapasan terjadi ditandai dengan batuk
mengi, dispnea. Bayi seringkali takipnea yang dapat mengganggu proses makan.
Anak biasanya tidak mengalami keluhan sistemik lain, seperti diare atau muntah.
Apnea mungkin lebih menonjol daripada mengi pada bayi yang sangat muda (<2
bulan) atau riwayat bayi prematur.3,4
Pada anamnesis juga perlu kita tanyakan faktor risiko yang mengarah
kearah diagnosis bronkiolitis. Seperti riwayat persalinannya apakah cukup bulan
atau tidak, riwayat terpapar asap rokok, penyakit jantung bawaan, riwayat
penyakit keluarga yang serupa.3,4
11
Pada keadaan bayi atau anak yang tidak nafsu makan dan intake
cairannya kurang dapat menyebabkan dehidrasi, sehingga dapat dinilai juga
apakah ada tanda dehidrasi pada pasien bronkiolitis yang disertai gejala malas
makan atau minum. Tanda-tanda dehidrasi yang dapat dilihat pada pemeriksaan
fisik seperti letargi, ubun-ubun cekung, mukosa bibir kering, dan turgor kulit
kembali lambat.9,10
Penilaian beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis.
Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernafasan/respiratory
rate (RR), usaha nafas, beratnya wheezing dan oksigenasi.1,10 (Lihat Tabel 3)
Tabel 3 Respiratory Distress Assessment Initial (RDAI)10
SKOR Skor
maksimal
0 1 2 3 4
Wheezing :
Ekspirasi (-) Akhir ½ ¾ Semua 4
Inspirasi (-) Sebagian Semua 2
Lokasi (-) 2 dari 4 3 dari 4 2
lap. Paru lap. Paru
Retraksi :
Supraclavicular (-) Ringan Sedang Berat 3
Intercostal (-) Ringan Sedang Berat 3
Subcostal (-) Ringan Sedang Berat 3
Total 17
Keterangan :
1. Gangguan pernapasan ringan ( skor 0-4 )
2. Gangguan pernapasan sedang (skor 5-8 )
3. Gangguan pernapasan Berat ( skor > 8 )
12
Skala klinis yang digunakan Abul – Ainine dan Luyt adalah :1
a. Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat
gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan
diambil rata-ratanya.
b. Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
c. Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
d. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut
Lowell dkk.
e. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai
berikut :1
a. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
b. Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi
berat)
c. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik).3
Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi :
bronkiolitis ringan dan bronkiolitis berat (R ≥ 60 x/ menit).1
13
makan dan adanya tanda dehidrasi. Analisa Gas Darah berguna pada bayi dengan
gangguan pernapasan berat dan yang berpotensi gagal napas.10,11
14
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.4,5,12
Tabel 4. Diagnosis Bronkiolitis1,4,12
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
Usia pasien < 2 Demam Pemeriksaan darah
tahun Takipnea dan/atau lengkap (leukopenia
Di dahului gejala takikardi atau normal)
ISPA atas terlebih Penurunan saturasi Foto thorax :
dahulu (rinorea oksigen hiperaerasi atau
dan/atau batuk) Napas cuping hidung hiperinflasi,
Riwayat kontak Retraksi ateletaksis.
dengan anak yang Grunting Swab nasopharing :
memiliki gejala Hipersonor pemeriksaan antigen
ISPA RSV atau ELISA
Wheezing dan/atau
Sesak napas crackles
Rewel Sianosis
Sulit makan dan
minum
2.6 Diagnosis Banding
2.6.1 Asma
Pada asma bisa terjadi pada usia > 2 tahun, tidak disertai demam, terdapat
riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, serta respons
perbaikan segera pada pemberian satu dosis bronkodilator.13 (Lihat Tabel 2.5)
2.6.2 Bronkopneumonia
Pada bronkopneumonia dapat terjadi pada semua umur, pada pemeriksaan
fisik didapatkan rhonki dan inspirasi yang memanjang. Pada foto rontgen thorax
didapatkan gambaran infiltrat.13 (Lihat Tabel 2.5)
15
Bronkiolitis Asma Bronkopneumonia
1) Usia < 2 tahun > 2 tahun Semua umur
2) Etiologi Virus Alergen Bakteri
3) Demam + - +
4) Riwayat - -/+ -
keluarga
5) Riwayat - + -
alergi
6) Pemeriksaan Wheezing Wheezing Rhonki
Fisik pertama kali Berulang
7) Foto thorax Hiperaerasi atau Bercak infiltrate
hiperinflasi
8) Respon Lambat Cepat -
terhadap
bronkodilato
r
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Pengobatan Non-Farmakologi
a) Observasi
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan tanda-
tanda vital dan jika ada indikasi dilakukan pemasangan pulse oxymetri.1,13
b) Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia,
sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi
ventilasi paru-paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika
saturasi oksigen 90 % dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap 95 %.
Oksigenasi sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia, dapat menggunakan
nasal kanul (0,5-3 Liter /menit) dan mask (minimum 4 liter/menit).13,14
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik,
yaitu pada kasus gagal nafas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk
mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan
16
dengan cara membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan
obstruksi.413,14
d) Edukasi Keluarga
1) Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
2) Beberapa kasus hanya memerlukan tindakan suportif.
3) Orangtua harus melakukan pemantauan ketat kearah lebih berat. Segera
memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan.
4) Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak
dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan
cuci tangan.13,14
17
mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka
pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Penggunaan
ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 20 mg/mL diberikan dalam 12-
18 jam per hari selama 3-7 hari.6,13,14
b) Bronkodilator
Obat-obatan -2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan obstruksi
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan
mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi pembengkakan
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari
mukosilier akan lebih baik.6
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan
mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis,
sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-
adrenergik. Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik
selektif adalah :1
- Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada
ventilation perfusing matching.
- Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
- Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
- Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
- Mengurangi sekresi kataral.
1. Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu
kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis
ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru
yang jelas dan menetap.1 Bronkodilator yang biasa digunakan yaitu
Salbutamol dosis 0,05–1 mg/kgBB/kali dilarutkan dalam NaCl 3% hingga 4
mL diberikan setiap 6 jam.
18
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan ß2 agonis sampai saat ini masih
kontroversi, tetapi masih dianjurkan dengan alasan :1,8
1. Pada bronkiolitis, selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga
ada bronkospasme dibagian saluran napas perifer
2. Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier
3. Sering tak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama
asma
4. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibanding epinefrin8
c) Kortikosteroid
Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik
mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari.
Dapat diberikan bolus deksametason 1 mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5
mg/kgBB/hari setiap 8 jam. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin
diberikan. Sedangkan untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan
bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan
pemberian steroid inhalasi (budesonide & fluticasone) sangat sedikit evidence
based yang merekomendasikan.1,8
d) Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik justru
akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik
tersebut. Pemberian antibiotik biasanya diberikan pada pasien yang dirawat di
ICU dan adanya tanda-tanda infeksi sekunder. Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100 - 200 mg/kgBB/hari secara
intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan
kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis diberikan kloramfenikol 50-
100 mg/kgBB/hari dalam 3 kali pemberian.8,14
19
Kriteria rawat inap pasien dengan bronkiolitis yaitu :14,15
1) Saturasi oksigen <90%
2) Gangguan pernapasan parah (sianosis, grunting, retraksi, RR > 70x/menit)
3) Tidak mau makan dan/atau minum
4) Apnea
5) Bayi prematur dengan faktor risiko terkait Kondisi medis yang mendasari
(penyakit jantung bawaan, penyakit paru-paru kronis) atau faktor risiko
penyakit parah seperti riwayat prematuritas.
6) Dehidrasi dan kurangnya intake
20
2.8 Komplikasi
2.8.1 Komplikasi Jangka Pendek
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Kasus bronkiolitis yang berat dan disertai faktor risiko dapat menyebabkan
komplikasi gangguan pernapasan yang disebabkan oleh peningkatan kerja sistem
pernapasan sebagai usaha tubuh merespon sesak.16
2. Apnea
Pada kasus bronkiolitis pada bayi prematur dapat mengakibatkan apnea
karena belum berkembangnya secara sempurna sistem pernapasan.16
3. Asidosis
Pada bronkiolitis terjadi sesak sehingga tubuh kekurangan oksigen dan
terjadi hiperkapnea (peningkatan PC02) dan keadaan menjadi asam sehingga
terjadi asidosis/asidemia.16
2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan edukasi kepada keluarga
untuk menghindari faktor-faktor risiko :2,4
1. Bayi dihindari dari paparan asap rokok.
2. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. ASI mengandung antibodi Ig G, Ig A
dan interferon gamma yang dapat menetralkan patogenisitas RSV. Imunoregulator
dan imunomodulator dalam ASI juga meningkatkan maturasi sistem imun.
21
3. Mencuci tangan. Dekontaminasi tangan adalah langkah terpenting mencegah
penyebaran RSV nosokomial. Tangan harus didekontaminasi sebelum dan setelah
kontak langsung dengan pasien, setelah kontak dengan benda mati di sekitar
pasien, dan setelah dikeluarkan sarung tangan. RSV dapat bertahan selama 7 jam
di udara bebas dan dapat ditransmisikan secara langsung atau tidak langsung
melalui sentuhan atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk mencuci tangan secara teratur
Selain edukasi dan upaya promotif, sebagai upaya preventif dalam
mencegah bronkiolitis dapat digunakan imunoglobulin RSV dan antibodi
monoklonal. Profilaksis dengan palivizumab harus diberikan selama 5 bulan
dengan dosis 15 mg / kg per dosis yang diberikan secara intramuskular. American
Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian serum
imunoglobulin atau palivizumab terutama pada :2,4
1. Bayi dan anak di bawah usia 24 bulan dengan penyakit paru-paru kronis
prematuritas yang membutuhkan terapi medis (oksigen tambahan, Bronkodilator
atau terapi diuretik atau kortikosteroid)
2. Kelahiran prematur dengan usia gestasi < 32 minggu diberikan profilaksis hingga
usia 6 bulan
3. Bayi baru lahir pada usia gestasi 32-35 minggu yang memiliki saudara kandung
usia sekolah yang terkena polusi lingkungan atau memiliki abnormalitas saluran
nafas dan gangguan neuromuskular berat.
4. Anak yang berusia 24 bulan atau lebih muda dengan penyakit jantung bawaan
sianotik yang signifikan secara hemodinamik.2,4
22
Gambar 5. Palivizumab17
2.10 Prognosis
Bronkiolitis bersifat self-limited disease dengan prognosis relatif baik.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bukti peningkatan risiko asma setelah
episode bronkiolitis, hanya sebagian kecil anak-anak dengan bronkiolitis yang
mengalami asma. Riwayat mengi berulang dan riwayat keluarga positif asma,
alergi dan / atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko
berkembangnya asma pada pasien di masa depan.15,16 usia muda juga
mempengaruhi prognosis menjadi buruk.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.1 Berdasarkan pedoman AAP
23
(American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis sebagai kumpulan
gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk infeksi saluran pernafasan atas,
diikuti wheezing dan peningkatan usaha bernafas dari anak- anak kurang dari 2
tahun.2,3
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1 Rekomendasi dari American Academy of
Pediatrics (AAP) untuk penegakan diagnosis bronkiolitis berdasarkan riwayat
kontak, anamnesis dan pemeriksaan fisik.4
Pada anamnesis didapatkan yaitu gejala ISPA atas terlebih dahulu (rinorea
dan/atau batuk), riwayat kontak dengan anak lain yang memiliki gejala sama,
sesak napas, rewel, sulit makan dan minum.9,10
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipnea ,Penurunan saturasi oksigen ,
Napas cuping hidung, Retraksi ,grunting, perkusi hipersonor , Wheezing dan/atau
crackles, Sianosis.7,8
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukopenia atau normal, gambaran
raiologi hiperaerasi atau hiperinflasi dan ateletaksis pada kasus berat, serta rapid
antigen RSV atau metode ELISA.8,10
Prinsip tatalaksana bronkiolitis terdiri dari terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa. Terapi non-medikamentosa atau terapi suportif yaitu pemantauan
tanda vital, oksigenasi, dan pemberian cairan serta nutrisi. terapi medika mentosa
yaitu dengan pemberian bronkodilator, antivirus (ribavirin), kortikosteroid, dan
antibiotik (pada kasus dengan infeksi sekunder).13,14,15
Bronkiolitis bersifat self-limited disease dengan prognosis relatif baik.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bukti peningkatan risiko asma setelah
episode bronkiolitis, hanya sebagian kecil anak-anak dengan bronkiolitis yang
mengalami asma. Riwayat mengi berulang, dan riwayat keluarga positif asma,
alergi dan / atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko
berkembangnya asma pada pasien di masa depan.15,16
24
DAFTAR PUSTAKA
25
10. Caballero Mauricio T, dkk. Viral bronchiolitis in young infants: new
perspectives for management and treatment. Journal de pediatria, 2017;93
(s1); 75-83.
15. Petrarca Laura. The treatment of acute bronchiolitis: past, present and
future. Breathe; 2017.Vol 13 (1)
26
LAMPIRAN PERTANYAAN
Sumber :
Mustafa Ghulam. 2013. Bronchiolitis. Pakistan Pediatrics Review, 1; 5-10
27
Sumber :
Siregar SJ. Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri.2000. Vol
2(1);23-28
Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)
28
Sesi 2. Penguji
dr. Ni Made Yuliari, Sp.A
1. Perbaikan PPT (ada yang kecil tulisannya)
2. Perbaiki Tabel
3. Bagaimana cara mendiagnosis bronkiolitis dan membedakannya dengan
bronkopneumonia?
Jawaban:
Tabel 5. Diagnosis Banding Bronkiolitis13
Bronkiolitis Bronkopneumonia
Usia < 2 tahun Semua umur
Etiologi Virus Bakteri
Demam + +
Riwayat keluarga - -
Riwayat alergi - -
Pemeriksaan Fisik Wheezing pertama kali Rhonki
Foto thorax Hiperaerasi atau
hiperinflasi Bercak infiltrate
Respon terhadap Lambat -
bronkodilator
Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)
29
4. Komplikasi apa yang sering terjadi?
Jawaban :
Komplikasi jangka pendek
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Kasus bronkiolitis yang berat dan disertai faktor risiko dapat menyebabkan
komplikasi gangguan pernapasan yang disebabkan oleh peningkatan kerja
sistem pernapasan sebagai usaha tubuh merespon sesak.16
2. Apnea
Pada kasus bronkiolitis pada bayi prematur dapat mengakibatkan apnea
karena belum berkembangnya secara sempurna sistem pernapasan.16
3. Asidosis
Pada bronkiolitis terjadi sesak sehingga tubuh kekurangan oksigen dan
terjadi hiperkapnea (peningkatan PC02) dan keadaan menjadi asam sehingga
terjadi asidosis/asidemia.16
30
epitel saluran napas yang akan mempermudah absorbsi aeroalergen dan
pembentukan antibodi IgE spesifik RSV, yang dapat menyebabkan degranulasi sel
mast dan akan melepaskan mediator di saluran napas yang akan menyebabkan
spasme bronkus dan penumpukan sel eosinofil. Pada anak besar lebih berperan
rhinovirus, adenovirus, dan parainfluenza virus yang merupakan penyebab
eksaserbasi asma pada 80-85% pasien.
Sumber :
Robin J Green, dkk. 2010. South African guideline for the diagnosis, management
and prevention of acute viral bronchiolitis in children. SAMJ,100(5): 320-325
5. Wheezing itu sebenarnya terjadi fase apa? Dan apa yang menyebabkan wheezing ?
apa perbedaan wheezing pada bronkiolitis dan asma?
Jawaban :
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh
penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan. Suara
tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan jaringan
sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit pada saat
ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi.
Perbedaan wheezing pada bronkiolitis dan asma yaitu perbedaan
patogenesisnya. Patogenesis bronkiolitis dimana lumen bronkiolus menyempit
karena edema submukosa akibat adanya proses peradangan sehingga
menimbulkan suara wheezing. Sedangkan patogenesis asma yang menyebabkan
wheezing yaitu proses non-infeksi dimana terjadinya proses hipersensitivitas
akibat adanya allergen/ pemicu sehingga terjadinya bronkokontriksi yang
mengakibatkan adanya suara wheezing.
Berdasarkan patogenesis ini, ini alas an mengapa pada kasus bronkiolitis tidak
berespon jika diberikan bronkodilator. Sedangkan asma jika diberikan
bronkodilator akan berkurang wheezingnya.
Sumber :
31
Giovanni A. Rossi dan Andrew A. Colin. 2014. Infantile respiratory syncytial
virus and human rhinovirus infections: respective role in inception and
persistence of wheezing. European Respiratory Journal, 45; 774-789
2. Terapi farmakologi
Berdasarkan pathogenesis bronkiolitis maka yang diberikan yaitu
kortikosteroid. Steroid sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total
pemberian tidak lebih dari 5 hari. Dapat diberikan bolus deksametason 1
mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari setiap 8 jam
Sumber :
Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal 333-
347
32
7. Bagaimana membedakan sesak karena PJB dan Bronkiolitis?
Jawaban :
Sesak PJB Sesak bronkiolitis
Anamnesis Sesak berulang Sesak pertama kali
Sesak dipengaruhi aktivitas Sesak tanpa dipengaruhi
Sesak makin berat saat tidur posisi
tanpa bantal Sesak disertai mengi dan
Sesak dipengaruhi posisi demam.
Sesak disertai edema
ekstremitas
Sumber :
33
Wahidiyat Iskandar, dkk. Pemeriksaan Klinis Pada Bayi dan Anak. Jakarta: CV
AGUNG SETO.2014; Hal 10-12.
Sumber :
Shawn L. Ralston, dkk. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis,
Management, and Prevention of Bronchiolitis. American Academy Of Pediatrics.
2014.134 (35)
34
keluarga jika wheezing Kembali berulang maka segela dating ke fasilitas
Kesehatan terdekat.
Sumber :
Friedman Jeremy N, dkk. 2014. Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis,
monitoring and management of children one to 24 months of age . Paediatr Child
Health, 19(9):485-91
Sumber :
17. Oymar Knut , dkk. 2014. Acute bronchiolitis in infants, a review.
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.
22-23.
18. Silver Alyssa H, Nazif Joanne M. Bronchiolitis. 2019;40 (11)
Sumber :
35
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)
Sumber :
Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal 333-
347
4. Pencegahan apa yang dapat dilakukan? Apa itu Palizumab yang diberikan pada
pencegahan ?
Jawaban :
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan edukasi kepada keluarga
untuk menghindari faktor-faktor risiko :2,4
4. Bayi dihindari dari paparan asap rokok.
36
5. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.
6. Mencuci tangan.
7. Mencegah bronkiolitis dapat digunakan imunoglobulin RSV dan antibodi
monoklonal. Profilaksis dengan palivizumab.
Palivizumab adalah suatu imunoglobulin RSV dan antibodi monoklonal dimana
kerjanya yaitu membentuk antibodi monoklonal terhadap protein RSV F yang
menghambat pengikatan virus ke reseptor seluler.
Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. Diagnosis and Management of
Bronchiolitis. Pediatrics: 2006; 118 (4)
Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. Diagnosis and Management of
Bronchiolitis. Pediatrics: 2006; 118 (4)
37