Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.1 Bronkiolitis adalah infeksi
saluran pernapasan bawah yang paling umum di usia < 2 tahun. Ini ditandai
dengan peradangan akut, edema, dan nekrosis epitel sel yang melapisi saluran
udara kecil, peningkatan produksi lendir, dan bronkospasme.2
Pedoman AAP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan
bronkiolitis sebagai sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis
termasuk prodromal virus pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan
usaha bernafas dari anak- anak kurang dari 2 tahun.2,3
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease of infancy, umumnya
mengenai anak < 2 tahun dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan;
lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di AS kejadian
bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang tidak diberi
ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi pada anak dari
ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan. Sekitar 75,000 –
125,000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat akibat infeksi RSV
setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari
100 anak pada tahun pertama kehidupan. 1,3
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara
berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan
penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada
anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %.1 Di Indonesia, dari penelitian yang
dilakukan di Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo
Surabaya pada tahun 2002 dan 2003 didapatkan lebih dari 50% penderita
bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah dan penderita laki-laki lebih banyak dari
perempuan.16

1
Meskipun bronkiolitis self limited, jika tidak didiagnosis dengan cepat,
dapat menyebabkan komplikasi gagal napas bahkan apnea. Sehingga perlunya
pengetahuan untuk dapat mendiagnosis bronkiolitis, menilai faktor risiko,
komplikasi yang dapat terjadi dan tatalaksana yang tepat. Oleh karena itu, penulis
tertarik mengangkat judul “ Bronkiolitis” pada tulisan ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.1 Bronkiolitis adalah infeksi
saluran pernapasan bawah yang paling umum di usia < 2 tahun. Ini ditandai
dengan peradangan akut, edema, dan nekrosis epitel sel yang melapisi saluran
udara kecil, peningkatan produksi lendir, dan bronkospasme.2
Pedoman AAP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan
bronkiolitis sebagai kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk
infeksi saluran pernapasan atas, diikuti wheezing dan peningkatan usaha bernafas
pada anak- anak kurang dari 2 tahun.2,3

2.2 Epidemiologi
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease of infancy, umumnya
mengenai anak < 2 tahun dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan;
lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di AS kejadian
bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang tidak diberi
ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi pada anak dari
ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan. Sekitar 75,000 –
125,000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat akibat infeksi RSV
setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari
100 anak pada tahun pertama kehidupan. 1,3
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara
berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan
penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada
anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %.1

3
Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat Inap Ilmu
Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003
didapatkan lebih dari 50% penderita bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah dan
penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan.15

2.3 Etiologi Dan Faktor Risiko


Etiologi Bronkiolitis sekitar 95% kasus secara serologis terbukti
disebabkan oleh invasi Respiratory Syncytial Virus (RSV). RSV adalah patogen
pernapasan paling umum di seluruh dunia; hampir semua anak telah terinfeksi
pada usia 2 tahun. Patogen lain termasuk adenovirus, rhinovirus,
metapneumovirus manusia, virus influenza dan virus parainfluenza. 1,4 (Lihat Tabel
1)
Tabel 1 Etiologi Bronkiolitis4
Agen penyebab bronkiolitis
Respiratory syncytial virus
Human rhinovirus
Parainfluenza virus
Human metapneumovirus
Adenovirus
Influenza virus
Enterovirus
Faktor risiko bronkiolitis yaitu faktor lingkungan dan faktor host. Faktor
host adalah riwayat prematuritas, usia muda, penyakit yang sudah ada sebelumnya
seperti displasia bronkopulmonalis, penyakit paru-paru kronis yang mendasari,
penyakit neuromuskuler, penyakit jantung bawaan. Faktor Lingkungan yaitu
paparan asap rokok, durasi singkat / tidak menyusui, faktor sosial ekonomi yang
buruk, serta riwayat penitipan anak. Namun, sebagian besar anak yang dirawat di
rumah sakit karena bronkiolitis tidak memiliki kondisi yang mendasarinya ( Lihat
Tabel 2 )

4
Tabel 2 Faktor Risiko Bronkiolitis2,4,5
Faktor lingkungan Faktor Host
1. Riwayat terpapar asap rokok 1. riwayat prematuritas
2. Durasi singkat / tidak menyusui 2. penyakit jantung bawaan
3. faktor sosial ekonomi yang buruk 3. kelainan anatomi saluran
4. serta riwayat penitipan anak napas

Faktor risiko penyakit terjadinya bronkiolitis :4,5


1. Prematuritas
Alveolarisasi terjadi pada < 36 minggu kehamilan, dan produksi
surfaktan dewasa oleh pneumosit tipe II dimulai pada 34-35 minggu. Oleh
karena itu, bayi prematur dilahirkan dengan paru-paru yang belum matang
yang tidak siap untuk pertukaran gas normal, dan berisiko mengembangkan
Penyakit Paru-paru Kronis. Penyakit paru kronis dihasilkan dari pematangan
paru displastik akibat sejumlah kondisi, baik sebagai bagian dari riwayat
alami prematuritas, serta penyebab iatrogenik. Bayi dan anak-anak yang
prematur dan menderita penyakit paru kronik mengalami peningkatan
kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan yang lebih parah.4,5
2. Penyakit jantung kongenital
PJK yang tidak diobati atau signifikan secara hemodinamik mungkin
melibatkan edema paru atau hipertensi pulmonal, berisiko tinggi mengalami
gejala pernapasan yang lebih parah.4
3. Kontak dengan anak lain
Sebagian besar kasus bronkiolitis terjadi pada anak yang sebelumnya
sehat, dan faktor risiko utama pasien ini adalah kontak dengan anak lain
(misalnya tempat penitipan anak).4
4. Kelainan anatomi saluran napas
Anak-anak dengan laringomalasia, trakeomalasia, dan celah bibir atau
langit-langit mungkin mengalami kesulitan mengelola peningkatan sekresi
saluran napas bagian atas.4,5

5
2.4 Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis dan patofisiologi bronkiolitis melibatkan kombinasi dari
edema saluran napas, peningkatan produksi mukus, dan nekrosis sel epitel saluran
napas akibat cedera sitotoksik langsung.3,6
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah single stranded RNA virus
yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua
glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk
menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan
protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target
dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif
pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A
menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.6
(Lihat Gambar 1)

Gambar 1 Struktur Respiratory Syncytial Virus6


Penularan RSV terjadi melalui droplet dan kontak langsung dari sekret
pernapasan dalam jarak 2 m dari pasien infeksius. Dua glikoprotein permukaan
RSV, F dan G, memediasi perlekatan virus ke glikokaliks sel target.. Replikasi

6
virus di sel epitel hidung, dan respons imun yang berlebihan terjadi, dengan
memulai masuknya sel natural killer, limfosit, dan granulosit ke dalam epitel.
Setelah masa inkubasi 4 sampai 6 hari sejak penularan, gejala saluran pernapasan
bagian atas muncul, termasuk hidung tersumbat dan rinore.6
Masa inkubasi RSV 4 - 6 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi
nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan
mukosilier, mukus tertimbun didalam bronkiolus. Kerusakan epitel saluran nafas
juga mengakibatkan sel aferen lebih mudah terpapar terhadap allergen/iritan,
sehingga dilepaskan beberapa neuropeptide (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran nafas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adesion Molecule-1
(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinophil dan sel-sel
inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dan proses inflamasi,
edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos
saluran nafas.6,7 (Lihat Gambar 2)

7
Gambar 2 Patogenesis Bronkiolitis7
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkus menyebabkan respon inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan
debris selular/sel-sel mati yang nekrosis, kemudian diikuti dengan infiltrasi
limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara
berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran pernafasan, maka sedikit
saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang
besar,terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran pernafasan yang
kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan
menyebabkan air traping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat
terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi total.2,6
Proses patologis ini akan mengganggu proses pertukaran gas normal di paru-
paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi ( ventilation perfusion mismatching ), yang berikutnya akan

8
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia ringan. Kerja
pernapasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan
compliance paru menurun. Hiperkapnea tidak selalu terjadi, hanya pada beberapa
pasien.6,7
Karena adanya obstruksi pada bronkiolus menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernafasan, batuk, wheezing, hiperaerasi, atelektasis, dan hipoksia.
Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada
fase ekspirasi. Selama fase ekpirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
ekspirasi meningkat hampir dua kali diatas normal.7 Terjebaknya udara distal
menyebabkan hiperinflasi dan atelektasis.7 (Lihat gambar 3)
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih
besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada
saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat
infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulative immunity sehingga pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi
bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.7

9
Infeksi RSV

Virus kolonisasi dan Replikasi di mukosa

Respon inflamasi akut

Nekrosis sel bersilia bronkiolus

Proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag

Edema submukosa Peningkatan produksi mukus Penumpukan


nekrosis sel epitel
dan debris

Penyempitan lumen bronkiolus

Respon paru

Wheezing Hiperaerasi Hipoksia Batuk

Gambar 3 Patofisiologi Bronkiolitis1,6,7

2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.1 Rekomendasi dari American Academy of
Pediatrics (AAP) untuk penegakan diagnosis bronkiolitis berdasarkan riwayat
kontak, anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis bronkiolitis terdiri dari :2
(1) Wheezing pertama kali,
(2) Umur 24 bulan atau kurang,
(3) Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
demam

10
2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu kita tanyakan yaitu usia pasien <2 tahun (24
bulan). Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh kontak dengan anak lain yang
mengalami gejala Infeksi Saluran Pernapasan Atas. Bayi di dahului mengalami
gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer, dan bersin, gejala ini kadang
disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua hari
kemudian diikuti batuk, wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel,
muntah serta sulit makan dan minum.3,8 (Lihat Tabel 4)
Secara bertahap, gangguan pernapasan terjadi ditandai dengan batuk
mengi, dispnea. Bayi seringkali takipnea yang dapat mengganggu proses makan.
Anak biasanya tidak mengalami keluhan sistemik lain, seperti diare atau muntah.
Apnea mungkin lebih menonjol daripada mengi pada bayi yang sangat muda (<2
bulan) atau riwayat bayi prematur.3,4
Pada anamnesis juga perlu kita tanyakan faktor risiko yang mengarah
kearah diagnosis bronkiolitis. Seperti riwayat persalinannya apakah cukup bulan
atau tidak, riwayat terpapar asap rokok, penyakit jantung bawaan, riwayat
penyakit keluarga yang serupa.3,4

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik seringkali didominasi dengan mengi. Wheezing pada
bronkiolitis timbulnya pertama kali dan tidak pernah mengalami wheezing
sebelumnya untuk membedakan bronkiolitis dengan diagnosis banding lainnya.3,4,8
Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan frekuensi nafas diatas nilai
normal (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat
(takikardi). Hal ini mungkin disertai dengan penurunan nafsu makan dan demam
sebesar  38,5°C. Terdapat nafas cuping hidung, retraksi interkostal, subkostal
dan/atau suprasternal. Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat
terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Suara perkusi
paru hipersonor. Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada suhu ruangan.4,8,9 ( Lihat tabel 4)

11
Pada keadaan bayi atau anak yang tidak nafsu makan dan intake
cairannya kurang dapat menyebabkan dehidrasi, sehingga dapat dinilai juga
apakah ada tanda dehidrasi pada pasien bronkiolitis yang disertai gejala malas
makan atau minum. Tanda-tanda dehidrasi yang dapat dilihat pada pemeriksaan
fisik seperti letargi, ubun-ubun cekung, mukosa bibir kering, dan turgor kulit
kembali lambat.9,10
Penilaian beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis.
Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernafasan/respiratory
rate (RR), usaha nafas, beratnya wheezing dan oksigenasi.1,10 (Lihat Tabel 3)
Tabel 3 Respiratory Distress Assessment Initial (RDAI)10
SKOR Skor
maksimal
0 1 2 3 4
Wheezing :
Ekspirasi (-) Akhir ½ ¾ Semua 4
Inspirasi (-) Sebagian Semua 2
Lokasi (-)  2 dari 4  3 dari 4 2
lap. Paru lap. Paru
Retraksi :
Supraclavicular (-) Ringan Sedang Berat 3
Intercostal (-) Ringan Sedang Berat 3
Subcostal (-) Ringan Sedang Berat 3
Total 17
Keterangan :
1. Gangguan pernapasan ringan ( skor 0-4 )
2. Gangguan pernapasan sedang (skor 5-8 )
3. Gangguan pernapasan Berat ( skor > 8 )

12
Skala klinis yang digunakan Abul – Ainine dan Luyt adalah :1
a. Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat
gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan
diambil rata-ratanya.
b. Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
c. Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
d. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut
Lowell dkk.
e. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).

Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai
berikut :1
a. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
b. Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi
berat)
c. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik).3
Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi :
bronkiolitis ringan dan bronkiolitis berat (R ≥ 60 x/ menit).1

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


2.5.3.1 Pemeriksaan Darah Lengkap
Tes laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah
Lengkap. Hitung leukosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan
leukosit biasanya didominasi oleh PMN. Leukopenia juga bisa didapatkan yang
biasanya berhubungan dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus.
Selain itu, C-Reaktif Protein dapat diperiksa jika dicurigai adanya infeksi bakteri
sekunder. Elektrolit juga dapat dilakukan pemeriksaan pada bayi dengan masalah

13
makan dan adanya tanda dehidrasi. Analisa Gas Darah berguna pada bayi dengan
gangguan pernapasan berat dan yang berpotensi gagal napas.10,11

2.5.3.2 Pemeriksaan Radiologi


Gambaran radiologi mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau
pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-ray foto lateral, didapatkan diameter AP
yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-ray foto
thorax, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: jantung terangkat,
diafragma lebih rendah dan mendatar, ruang retrosternal lebih lusen, iga
horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.4,5,11 ( Lihat Gambar 2.4 )

Gambar 4 X-Ray Bronkiolitis menunjukkan hiperinflasi3

2.5.3.3 Swab Nasopharing


Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%
kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan

14
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.4,5,12
Tabel 4. Diagnosis Bronkiolitis1,4,12
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
 Usia pasien < 2  Demam  Pemeriksaan darah
tahun  Takipnea dan/atau lengkap (leukopenia
 Di dahului gejala takikardi atau normal)
ISPA atas terlebih  Penurunan saturasi  Foto thorax :
dahulu (rinorea oksigen hiperaerasi atau
dan/atau batuk)  Napas cuping hidung hiperinflasi,
 Riwayat kontak  Retraksi ateletaksis.
dengan anak yang  Grunting  Swab nasopharing :
memiliki gejala  Hipersonor pemeriksaan antigen
ISPA RSV atau ELISA
 Wheezing dan/atau
 Sesak napas crackles
 Rewel  Sianosis
 Sulit makan dan
minum
2.6 Diagnosis Banding
2.6.1 Asma
Pada asma bisa terjadi pada usia > 2 tahun, tidak disertai demam, terdapat
riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, serta respons
perbaikan segera pada pemberian satu dosis bronkodilator.13 (Lihat Tabel 2.5)

2.6.2 Bronkopneumonia
Pada bronkopneumonia dapat terjadi pada semua umur, pada pemeriksaan
fisik didapatkan rhonki dan inspirasi yang memanjang. Pada foto rontgen thorax
didapatkan gambaran infiltrat.13 (Lihat Tabel 2.5)

Tabel 5. Diagnosis Banding Bronkiolitis13

15
Bronkiolitis Asma Bronkopneumonia
1) Usia < 2 tahun > 2 tahun Semua umur
2) Etiologi Virus Alergen Bakteri
3) Demam + - +
4) Riwayat - -/+ -
keluarga
5) Riwayat - + -
alergi
6) Pemeriksaan Wheezing Wheezing Rhonki
Fisik pertama kali Berulang
7) Foto thorax Hiperaerasi atau Bercak infiltrate
hiperinflasi
8) Respon Lambat Cepat -
terhadap
bronkodilato
r

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Pengobatan Non-Farmakologi
a) Observasi
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan tanda-
tanda vital dan jika ada indikasi dilakukan pemasangan pulse oxymetri.1,13

b) Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia,
sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi
ventilasi paru-paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika
saturasi oksigen  90 % dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap  95 %.
Oksigenasi sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia, dapat menggunakan
nasal kanul (0,5-3 Liter /menit) dan mask (minimum 4 liter/menit).13,14
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik,
yaitu pada kasus gagal nafas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk
mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan

16
dengan cara membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan
obstruksi.413,14

c) Pemberian Cairan dan nutrisi


Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan
minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan
cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau
menetap (suhu > 38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara oral, intravena
atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan
lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat
lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru. Selain itu harus
dicegah terjadinya overload cairan.4,10,14

d) Edukasi Keluarga
1) Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
2) Beberapa kasus hanya memerlukan tindakan suportif.
3) Orangtua harus melakukan pemantauan ketat kearah lebih berat. Segera
memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan.
4) Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak
dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan
cuci tangan.13,14

2.7.2 Pengobatan Farmakologi


a) Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat
untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Meskipun
demikian pemberian antivirus masih menjadi kontroversi. Ribavirin adalah
synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV.
Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus ke dalam protein
virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga
hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena

17
mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka
pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Penggunaan
ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 20 mg/mL diberikan dalam 12-
18 jam per hari selama 3-7 hari.6,13,14

b) Bronkodilator
Obat-obatan -2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan obstruksi
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan
mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi pembengkakan
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari
mukosilier akan lebih baik.6
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan
mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis,
sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-
adrenergik. Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik
selektif adalah :1
-     Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada
ventilation perfusing matching.
-     Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
-     Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
-     Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
-    Mengurangi sekresi kataral.
1. Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu
kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis
ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru
yang jelas dan menetap.1 Bronkodilator yang biasa digunakan yaitu
Salbutamol dosis 0,05–1 mg/kgBB/kali dilarutkan dalam NaCl 3% hingga 4
mL diberikan setiap 6 jam.

18
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan ß2 agonis sampai saat ini masih
kontroversi, tetapi masih dianjurkan dengan alasan :1,8
1. Pada bronkiolitis, selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga
ada bronkospasme dibagian saluran napas perifer
2. Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier
3. Sering tak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama
asma
4. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibanding epinefrin8

c) Kortikosteroid
Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik
mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari.
Dapat diberikan bolus deksametason 1 mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5
mg/kgBB/hari setiap 8 jam. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin
diberikan. Sedangkan untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan
bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan
pemberian steroid inhalasi (budesonide & fluticasone) sangat sedikit evidence
based yang merekomendasikan.1,8

d) Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik justru
akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik
tersebut. Pemberian antibiotik biasanya diberikan pada pasien yang dirawat di
ICU dan adanya tanda-tanda infeksi sekunder. Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100 - 200 mg/kgBB/hari secara
intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan
kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis diberikan kloramfenikol 50-
100 mg/kgBB/hari dalam 3 kali pemberian.8,14

2.7.3 Kriteria Rawat Inap

19
Kriteria rawat inap pasien dengan bronkiolitis yaitu :14,15
1) Saturasi oksigen <90%
2) Gangguan pernapasan parah (sianosis, grunting, retraksi, RR > 70x/menit)
3) Tidak mau makan dan/atau minum
4) Apnea
5) Bayi prematur dengan faktor risiko terkait Kondisi medis yang mendasari
(penyakit jantung bawaan, penyakit paru-paru kronis) atau faktor risiko
penyakit parah seperti riwayat prematuritas.
6) Dehidrasi dan kurangnya intake

2.7.4 Kriteria Rawat ICU


1) Kegagalan untuk mempertahankan saturasi oksigen> 90%.
2) Apnea
3) Hiperkarbia dengan akibat asidemia (ph <7,25) 14,15

2.7.5 Kriteria Pulang dari Rumah Sakit


Pasien direkomendasikan untuk pulang jika : 14,15
1. Status pernafasan
 Pernapasan mengalami perbaikan ( takipnea (-), retraksi (-) )
 Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas tanpa oksigen.
 Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan
kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau
mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu
dengan konsultan.
2. Status nutrisi
Pasien dapat makan dan minum melalui oral.
3. Status Sosial
o  Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah
4. Peninjauan lebih lanjut
Kontrol untuk memantau perkembangan pasien setelah rawat inap. 14,15

20
2.8 Komplikasi
2.8.1 Komplikasi Jangka Pendek
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Kasus bronkiolitis yang berat dan disertai faktor risiko dapat menyebabkan
komplikasi gangguan pernapasan yang disebabkan oleh peningkatan kerja sistem
pernapasan sebagai usaha tubuh merespon sesak.16

2. Apnea
Pada kasus bronkiolitis pada bayi prematur dapat mengakibatkan apnea
karena belum berkembangnya secara sempurna sistem pernapasan.16

3. Asidosis
Pada bronkiolitis terjadi sesak sehingga tubuh kekurangan oksigen dan
terjadi hiperkapnea (peningkatan PC02) dan keadaan menjadi asam sehingga
terjadi asidosis/asidemia.16

2.8.2 Komplikasi Jangka Panjang


Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang
menetap, dimana timbulnya wheezing berulang. Beberapa studi menghubungkan
infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu
studi menemukan bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang
menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok
control.8

2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan edukasi kepada keluarga
untuk menghindari faktor-faktor risiko :2,4
1. Bayi dihindari dari paparan asap rokok.
2. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. ASI mengandung antibodi Ig G, Ig A
dan interferon gamma yang dapat menetralkan patogenisitas RSV. Imunoregulator
dan imunomodulator dalam ASI juga meningkatkan maturasi sistem imun.

21
3. Mencuci tangan. Dekontaminasi tangan adalah langkah terpenting mencegah
penyebaran RSV nosokomial. Tangan harus didekontaminasi sebelum dan setelah
kontak langsung dengan pasien, setelah kontak dengan benda mati di sekitar
pasien, dan setelah dikeluarkan sarung tangan. RSV dapat bertahan selama 7 jam
di udara bebas dan dapat ditransmisikan secara langsung atau tidak langsung
melalui sentuhan atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk mencuci tangan secara teratur
Selain edukasi dan upaya promotif, sebagai upaya preventif dalam
mencegah bronkiolitis dapat digunakan imunoglobulin RSV dan antibodi
monoklonal. Profilaksis dengan palivizumab harus diberikan selama 5 bulan
dengan dosis 15 mg / kg per dosis yang diberikan secara intramuskular. American
Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian serum
imunoglobulin atau palivizumab terutama pada :2,4
1. Bayi dan anak di bawah usia 24 bulan dengan penyakit paru-paru kronis
prematuritas yang membutuhkan terapi medis (oksigen tambahan, Bronkodilator
atau terapi diuretik atau kortikosteroid)

2. Kelahiran prematur dengan usia gestasi < 32 minggu diberikan profilaksis hingga
usia 6 bulan
3. Bayi baru lahir pada usia gestasi 32-35 minggu yang memiliki saudara kandung
usia sekolah yang terkena polusi lingkungan atau memiliki abnormalitas saluran
nafas dan gangguan neuromuskular berat.
4. Anak yang berusia 24 bulan atau lebih muda dengan penyakit jantung bawaan
sianotik yang signifikan secara hemodinamik.2,4

22
Gambar 5. Palivizumab17
2.10 Prognosis
Bronkiolitis bersifat self-limited disease dengan prognosis relatif baik.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bukti peningkatan risiko asma setelah
episode bronkiolitis, hanya sebagian kecil anak-anak dengan bronkiolitis yang
mengalami asma. Riwayat mengi berulang dan riwayat keluarga positif asma,
alergi dan / atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko
berkembangnya asma pada pasien di masa depan.15,16 usia muda juga
mempengaruhi prognosis menjadi buruk.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.1 Berdasarkan pedoman AAP

23
(American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis sebagai kumpulan
gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk infeksi saluran pernafasan atas,
diikuti wheezing dan peningkatan usaha bernafas dari anak- anak kurang dari 2
tahun.2,3
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1 Rekomendasi dari American Academy of
Pediatrics (AAP) untuk penegakan diagnosis bronkiolitis berdasarkan riwayat
kontak, anamnesis dan pemeriksaan fisik.4
Pada anamnesis didapatkan yaitu gejala ISPA atas terlebih dahulu (rinorea
dan/atau batuk), riwayat kontak dengan anak lain yang memiliki gejala sama,
sesak napas, rewel, sulit makan dan minum.9,10
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipnea ,Penurunan saturasi oksigen ,
Napas cuping hidung, Retraksi ,grunting, perkusi hipersonor , Wheezing dan/atau
crackles, Sianosis.7,8
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukopenia atau normal, gambaran
raiologi hiperaerasi atau hiperinflasi dan ateletaksis pada kasus berat, serta rapid
antigen RSV atau metode ELISA.8,10
Prinsip tatalaksana bronkiolitis terdiri dari terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa. Terapi non-medikamentosa atau terapi suportif yaitu pemantauan
tanda vital, oksigenasi, dan pemberian cairan serta nutrisi. terapi medika mentosa
yaitu dengan pemberian bronkodilator, antivirus (ribavirin), kortikosteroid, dan
antibiotik (pada kasus dengan infeksi sekunder).13,14,15
Bronkiolitis bersifat self-limited disease dengan prognosis relatif baik.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bukti peningkatan risiko asma setelah
episode bronkiolitis, hanya sebagian kecil anak-anak dengan bronkiolitis yang
mengalami asma. Riwayat mengi berulang, dan riwayat keluarga positif asma,
alergi dan / atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko
berkembangnya asma pada pasien di masa depan.15,16

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku


Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
2008. Hal 333-347

2. Silver Alyssa H, Nazif Joanne M. Bronchiolitis. 2019;40 (11)

3. Shawn L. Ralston, dkk. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis,


Management, and Prevention of Bronchiolitis. American Academy Of
Pediatrics. 2014.134 (35)

4. American Academy of Family Physicians, the American College of Chest


Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)

5. Robin J Green, dkk. South African guideline for the diagnosis,


management and prevention of acute viral bronchiolitis in children.
SAMJ:2010;100(5): 320-325

6. Giovanni A. Rossi dan Andrew A. Colin. Infantile respiratory syncytial


virus and human rhinovirus infections: respective role in inception and
persistence of wheezing. European Respiratory Journal: 2014;45; 774-789.

7. Mustafa Ghulam. Bronchiolitis. Pakistan Pediatrics Review.2013;1; 5-10.

8. Oymar Knut , dkk. Acute bronchiolitis in infants, a review. Scandinavian


Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 2014;22-23.

9. Erickson Evelyn N, dkk. Pediatric Bronchiolitis. 2020. Diakses tanggal 18


januari 2021, Tersedia di :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519506/

25
10. Caballero Mauricio T, dkk. Viral bronchiolitis in young infants: new
perspectives for management and treatment. Journal de pediatria, 2017;93
(s1); 75-83.

11. Todd A Florin, dkk. Viral bronchiolitis. Lancet. 2017;Vol 389.

12. Friedman Jeremy N, dkk. Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis,


monitoring and management of children one to 24 months of age . Paediatr
Child Health, 2014;19(9):485-91

13. Jeremy N Friedman, dkk. Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis,


monitoring and management of children one to 24 months of age.
Canadian Paediatric Society. 2018. Diakses tanggal 29 januari 2021,
Tersedia di : https://www.cps.ca/documents/position/bronchiolitis

14. Junawanto Irwan, dkk. Diagnosis dan Penanganan Terkini Bronkiolitis


pada Anak. CDK-241. 2016. vol. 43 (6)

15. Petrarca Laura. The treatment of acute bronchiolitis: past, present and
future. Breathe; 2017.Vol 13 (1)

16. Maraqa Nizar F. Bronchiolitis. 2018. Diakses tanggal 29 januari 2021,


Tersedia di : https://emedicine.medscape.com/article/961963-overview

26
LAMPIRAN PERTANYAAN

Sesi 1. Pertanyaan Dokter Muda


1. Reza R. K: bagaimana mekanisme bronkiolitis dapat menyebabkan asidosis ?
Jawaban :
Pada bronkiolitis terjadi sesak sehingga tubuh kekurangan oksigen dan
terjadi hiperkapnea (peningkatan PC02) dan keadaan menjadi asam sehingga
terjadi asidosis/asidemia

Sumber :
Mustafa Ghulam. 2013. Bronchiolitis. Pakistan Pediatrics Review, 1; 5-10

2. Dwindo K : Bagaimana mekanisme bronkiolitis dapat menyebabkan asma ?


Jawaban :
Riwayat mengi berulang dan riwayat keluarga positif asma, alergi dan /
atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko berkembangnya asma
pada pasien di masa depan. Infeksi dengan RSV akan menyebabkan kerusakan
epitel saluran napas yang akan mempermudah absorbsi aeroalergen dan
pembentukan antibodi IgE spesifik RSV, yang dapat menyebabkan degranulasi sel
mast dan akan melepaskan mediator di saluran napas yang akan menyebabkan
spasme bronkus dan penumpukan sel eosinofil. Pada anak besar lebih berperan
rhinovirus, adenovirus, dan parainfluenza virus yang merupakan penyebab
eksaserbasi asma pada 80-85% pasien.

27
Sumber :
Siregar SJ. Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri.2000. Vol
2(1);23-28

3. Vania B. S : Apa gold standar untuk penegakan diagnosis Bronkiolitis ?


Jawaban :
Rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP) untuk
penegakan diagnosis bronkiolitis berdasarkan riwayat kontak, anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis bronkiolitis terdiri dari :
(1) Wheezing pertama kali,
(2) Umur 24 bulan atau kurang,
(3) Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
demam
Namun dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi yaitu
didapatkan gambaran hiperaerasi.

Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)

28
Sesi 2. Penguji
dr. Ni Made Yuliari, Sp.A
1. Perbaikan PPT (ada yang kecil tulisannya)
2. Perbaiki Tabel
3. Bagaimana cara mendiagnosis bronkiolitis dan membedakannya dengan
bronkopneumonia?
Jawaban:
Tabel 5. Diagnosis Banding Bronkiolitis13
Bronkiolitis Bronkopneumonia
 Usia < 2 tahun Semua umur
 Etiologi Virus Bakteri
 Demam + +
 Riwayat keluarga - -

 Riwayat alergi - -
 Pemeriksaan Fisik Wheezing pertama kali Rhonki
 Foto thorax Hiperaerasi atau
hiperinflasi Bercak infiltrate
 Respon terhadap Lambat -
bronkodilator

Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)

29
4. Komplikasi apa yang sering terjadi?
Jawaban :
Komplikasi jangka pendek
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Kasus bronkiolitis yang berat dan disertai faktor risiko dapat menyebabkan
komplikasi gangguan pernapasan yang disebabkan oleh peningkatan kerja
sistem pernapasan sebagai usaha tubuh merespon sesak.16
2. Apnea
Pada kasus bronkiolitis pada bayi prematur dapat mengakibatkan apnea
karena belum berkembangnya secara sempurna sistem pernapasan.16
3. Asidosis
Pada bronkiolitis terjadi sesak sehingga tubuh kekurangan oksigen dan
terjadi hiperkapnea (peningkatan PC02) dan keadaan menjadi asam sehingga
terjadi asidosis/asidemia.16

Komplikasi Jangka Panjang


Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang
menetap, dimana timbulnya wheezing berulang. Beberapa studi menghubungkan
infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu
studi menemukan bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang
menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok
control.8
Riwayat mengi berulang dan riwayat keluarga positif asma, alergi dan /
atau dermatitis atopik diyakini dapat meningkatkan risiko berkembangnya asma
pada pasien di masa depan. Infeksi dengan RSV akan menyebabkan kerusakan

30
epitel saluran napas yang akan mempermudah absorbsi aeroalergen dan
pembentukan antibodi IgE spesifik RSV, yang dapat menyebabkan degranulasi sel
mast dan akan melepaskan mediator di saluran napas yang akan menyebabkan
spasme bronkus dan penumpukan sel eosinofil. Pada anak besar lebih berperan
rhinovirus, adenovirus, dan parainfluenza virus yang merupakan penyebab
eksaserbasi asma pada 80-85% pasien.

Sumber :
Robin J Green, dkk. 2010. South African guideline for the diagnosis, management
and prevention of acute viral bronchiolitis in children. SAMJ,100(5): 320-325

5. Wheezing itu sebenarnya terjadi fase apa? Dan apa yang menyebabkan wheezing ?
apa perbedaan wheezing pada bronkiolitis dan asma?
Jawaban :
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh
penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan. Suara
tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan jaringan
sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit pada saat
ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi.
Perbedaan wheezing pada bronkiolitis dan asma yaitu perbedaan
patogenesisnya. Patogenesis bronkiolitis dimana lumen bronkiolus menyempit
karena edema submukosa akibat adanya proses peradangan sehingga
menimbulkan suara wheezing. Sedangkan patogenesis asma yang menyebabkan
wheezing yaitu proses non-infeksi dimana terjadinya proses hipersensitivitas
akibat adanya allergen/ pemicu sehingga terjadinya bronkokontriksi yang
mengakibatkan adanya suara wheezing.
Berdasarkan patogenesis ini, ini alas an mengapa pada kasus bronkiolitis tidak
berespon jika diberikan bronkodilator. Sedangkan asma jika diberikan
bronkodilator akan berkurang wheezingnya.

Sumber :

31
Giovanni A. Rossi dan Andrew A. Colin. 2014. Infantile respiratory syncytial
virus and human rhinovirus infections: respective role in inception and
persistence of wheezing. European Respiratory Journal, 45; 774-789

6. Bagaimana tatalaksana seharusnya pada anak bronkiolitis ?


Jawaban :
1. Terapi suportif (non-farmakologi)
 Observasi ( tanda vital dan SpO2)
 Oksigenasi (0,5-3 LPM)
 Nutrisi dan cairan
 Edukasi keluarga

2. Terapi farmakologi
Berdasarkan pathogenesis bronkiolitis maka yang diberikan yaitu
kortikosteroid. Steroid sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total
pemberian tidak lebih dari 5 hari. Dapat diberikan bolus deksametason 1
mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari setiap 8 jam

Sumber :
Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal 333-
347

32
7. Bagaimana membedakan sesak karena PJB dan Bronkiolitis?
Jawaban :
Sesak PJB Sesak bronkiolitis
Anamnesis  Sesak berulang  Sesak pertama kali
 Sesak dipengaruhi aktivitas  Sesak tanpa dipengaruhi
 Sesak makin berat saat tidur posisi
tanpa bantal  Sesak disertai mengi dan
 Sesak dipengaruhi posisi demam.
 Sesak disertai edema
ekstremitas

Pemeriksaan fisik  Ictus cordis terlihat  Demam


 Mur-mur atau galoop  Takipnea dan/atau takikardi
 Kardiomegali dari perkusi  SpO2 menurun
 Ekstremitas didapatkan edema  Wheezing dan/atau crackles
 Sianosis tidak membaik  Retraksi dan grunting
dengan oksigen  Sianosis biasanya membaik
dengan Oksigen

Pemeriksaan  Foto thorax : kardiomegali  Foto thorax : hiperaerasi atau


penunjang  EKG ateletaksis
 Echocardiography

Sumber :

33
Wahidiyat Iskandar, dkk. Pemeriksaan Klinis Pada Bayi dan Anak. Jakarta: CV
AGUNG SETO.2014; Hal 10-12.

8. Bagaimana penilaian Prognosis pada Bronkiolitis tergantung apasaja ?


Jawaban:
Prognosis bronkiolitis berdasarkan :
 Ada atau tidak faktor risiko seperti prematuritas yang dapat memperberat penyakit
sehingga prognosis buruk
 Manifestasi klinisnya apakah ringan atau sudah berat yang dapat memperburuk
prognosis jika manifestasi klinisnya sampai apnea
 Komplikasi yang terjadi yang dapat memperburuk prognosis
 Faktor keluarga menderita asma dan Riwayat alergi yang dapat menjadi faktor
risiko berkembangnya bronkiolitis menjadi asma.
 Diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat sehingga mencegah terjadi
komplikasi.

Sumber :
Shawn L. Ralston, dkk. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis,
Management, and Prevention of Bronchiolitis. American Academy Of Pediatrics.
2014.134 (35)

9. Bagaimana tindak lanjutnya? apa yang dapat dilakukan?


Jawaban:
Tindak lanjut yang kita berikan yaitu edukasi kepada keluarga, terutama
pada bayi < 3 bulan perlu pemantauan khusus karena dapat terjadi apnea, perlunya
juga pemantauan lanjut agar tidak berkembang menjadi asma sehingga edukasi

34
keluarga jika wheezing Kembali berulang maka segela dating ke fasilitas
Kesehatan terdekat.

Sumber :
Friedman Jeremy N, dkk. 2014. Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis,
monitoring and management of children one to 24 months of age . Paediatr Child
Health, 19(9):485-91

dr. Arieta Rachmawati Kawengian, Sp.A


1. Bagaimana paparan asap rokok dapat menyebabkan bronkiolitis? Apakah sama
komposisi asap rokok, obat nyamuk dan bakaran sampah?
Jawaban :
Kandungan CO dan NO pada rokok dapat mengaktifkan ROS diepitel
system pernapasan dan terjadi proses inflamasi dan nekrosis epitel saliran napas,
sehingga mudah terpapar allergen lain atau infeksi seperti bronkiolitis.
Kandungan asap rokok, obat nyamuk dan sampah Sama, karena saat terjadinya
asap mereka sama-sama menghasilkan CO dan NO yang dapat dapat
mengaktifkan ROS diepitel system pernapasan dan memicu proses inflamasi.

Sumber :
17. Oymar Knut , dkk. 2014. Acute bronchiolitis in infants, a review.
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.
22-23.
18. Silver Alyssa H, Nazif Joanne M. Bronchiolitis. 2019;40 (11)

2. Apakah terapi nebulizer perlu pada pasien bronkiolitis?


Jawaban :
Berdasarkan patogenesis bronkiolitis maka yang diberikan yaitu
kortikosteroid. Sehingga tidak perlu diberikan bronkodilator. Karena yang terjadi
edema mukosa akibat infeksi bukan bronkokonstriksi.

Sumber :

35
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. 2006. Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Pediatrics, 118 (4)

3. Bagaimana membedakan sesak dengan wheezing apakah itu bronkiolitis atau


asma?
Jawaban :
Bronkiolitis Asma
 Usia < 2 tahun > 2 tahun
 Etiologi Virus Alergen
 Demam + -
 Riwayat keluarga - -/+
 Riwayat alergi - +
 Pemeriksaan Fisik Wheezing pertama kali Wheezing Berulang
 Foto thorax Hiperaerasi atau hiperinflasi
 Respon terhadap Lambat Cepat
bronkodilator

Sumber :
Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal 333-
347

4. Pencegahan apa yang dapat dilakukan? Apa itu Palizumab yang diberikan pada
pencegahan ?
Jawaban :
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan edukasi kepada keluarga
untuk menghindari faktor-faktor risiko :2,4
4. Bayi dihindari dari paparan asap rokok.

36
5. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.
6. Mencuci tangan.
7. Mencegah bronkiolitis dapat digunakan imunoglobulin RSV dan antibodi
monoklonal. Profilaksis dengan palivizumab.
Palivizumab adalah suatu imunoglobulin RSV dan antibodi monoklonal dimana
kerjanya yaitu membentuk antibodi monoklonal terhadap protein RSV F yang
menghambat pengikatan virus ke reseptor seluler.
Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. Diagnosis and Management of
Bronchiolitis. Pediatrics: 2006; 118 (4)

5. Edukasi apa yang diberikan pada bronkiolitis untuk mencegah berulang?


Jawaban :
5) Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
6) Beberapa kasus hanya memerlukan tindakan suportif.
7) Orangtua harus melakukan pemantauan ketat kearah lebih berat. Segera
memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan.
8) Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak
dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan
cuci tangan.

Sumber :
American Academy of Family Physicians, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. Diagnosis and Management of
Bronchiolitis. Pediatrics: 2006; 118 (4)

37

Anda mungkin juga menyukai