Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ALGORITMA DIAGNOSIS
KELAINAN MATA PADA ANAK

Oleh :
Erald Giovanny Hasiholan Simatupang, S.Ked

Pembimbing :
dr. Rosmaryati Manalu, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................1
2.1 Faktor – Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Janin dan Bayi ................2
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Anak (Umur > 1 Tahun)....4
2.3 Penyakit Mata Pada Anak...........................................................................5
2.3.1 Kelainan Pada Kelopak Mata..................................................................5
2.3.2 Kelainan Pada Konjungtiva.....................................................................7
2.3.3 Kelainan Pada Kornea.............................................................................11
2.3.4 Kelainan Pada Uvea.................................................................................13
2.3.5 Kelainan Pada Lensa................................................................................14
2.3.6 Kelainan Pada Retina...............................................................................15
2.4 Glaukoma Kongenital.................................................................................18
2.5 Strabismus...................................................................................................19
2.6 Ambliopia...................................................................................................20
BAB III ALGORITMA DIAGNOSIS .............................................................21
3.1 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak
Berdasarkan Faktor Risiko........................................................................21
3.2 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Usia..............22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Blefaritis........................................................................................6


Gambar 2.2 Ptosis.............................................................................................6
Gambar 2.3 Koloboma Palpebra.......................................................................7
Gambar 2.4 Kalazion........................................................................................7
Gambar 2.5 Oftalmia Neonatorum...................................................................8
Gambar 2.6 Gonoblenorrhoe............................................................................10
Gambar 2.7 Kista Dermoid...............................................................................10
Gambar 2.8 Dermolipoma................................................................................11
Gambar 2.9 Herpes Simplek Keratitis..............................................................12
Gambar 2.10 Megalokornea.............................................................................12
Gambar 2.11 Mikrokornea................................................................................12
Gambar 2.12 Koloboma Iris.............................................................................13
Gambar 2.13 Anirdia........................................................................................14
Gambar 2.14 Katarak Kongenital.....................................................................15
Gambar 2.15 Retinoblastoma...........................................................................18
Gambar 2.16 Glaukoma Kongenital.................................................................19
Gambar 2.17 Esotropia.....................................................................................20
Gambar 2.18 Eksotropia...................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan sistem penglihatan masih terus berlangsung selama
dekade pertama kehidupan, dan terdapat potensi terjadinya ambliopia bahkan
dengan penyakit mata yang relatif ringan (Fredrick, 2010).
Banyak kelainan mata yang berawal pada janin dan berakibat
dikemudian hari. Gangguan mata dapat terjadi pada setiap fase kehidupan,
yaitu pada fase embrionik, masa janin (kehamilan 12 – 40 minggu), dan masa
tumbuh kembang bayi – anak. Banyak kelainan mata pada bayi dan anak
yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa (Fredrick, 2010 dan Rozanah,
2013).
Oleh karena itu, diperlukan adanya kolaborasi antara dokter mata,
dokter anak, dan dokter saraf, serta tenaga kesehatan lainnya dalam merawat
pasien anak dengan kelaianan mata. Kolaborasi serupa juga diperlukan untuk
menilai aspek pendidikan pada anak dengan penurunan penglihatan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor – Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Janin dan Bayi
Penyebab kelainan mata pada janin dan bayi, disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya, yaitu (1) Penyakit ibu selama kehamilan, (2) Riwayat
persalinan, dan (3) Penyakit bayi pada masa perinatal/Neonatal (Rozanah,
2013).
1) Penyakit ibu selama kehamilan
INFEKSI
a. Rubela
- 1/3 - ½ kasus tidak terdiagnosis karena gejala ringan.
- Makin muda usia kehamilan, makin besar resiko Infeksi pada
janin, manifestasi klinis makin berat
- Virus Rubela dapat merusak: susunan saraf pusar, mata, jantung
dan pendengaran
- Kelainan mata yang dapat terjadi: katarak, gloukoma, kelainan
retina sampai resiko kebutaan.
b. Cytomegalo virus
- Gejala pada anak dan orang dewasa ringan, bahkan tanpa gejala
- 10 – 15% bayi lahir dari Ibu dengan infeksi CMV menunjukkan
gejala klinis pada masa bayi.
- Gejala klinis pada bayi baru lahir yaitu, berat badan kurang,
ikterus, kepala kecil, perkapuran otak, retardasi mental
- Kelainan pada mata: Korioretinitis dan Strabismus (Juling)
c. Toksoplasma
- Berasal dari hewan: kucing
- Infeksi secara oral: daging yang tidak matang, tertelan kista
melalui sayuran yang tidak dicuci baik.
- Tidak pernah infeksi dari orang ke orang, kecuali transplasentae
dari Ibu ke janin.
- Insiden pada wanita hamil 1 – 10%

2
- Diagnosis toksoplasma bawaan sulit, banyak kasus tanpa gejala
klinis.
- Riwayat infeksi pada Ibu sebagai pegangan mewaspadai kelainan
yang mungkin terjadi
- Infeksi neonatal berat: gejala infeksi umum, gejala pada mata, dan
gejala susunan saraf pusat
- 20 – 85% kasus menderita korioretintis dikemudian hari dan
berakhir dengan kebutaan
d. Sifilis
- Ditularkan secara transplasentae
- Penularan terjadi sepanjang kehamilan, mengenai banyak organ
- Kemungkinan bayi tertular -> 100%
- Infeksi pada mata : radang kornea -> kelumpuhan kornea -> buta
total
e. Gonore
- Penularan terjadi karena mata bayi terkontaminasi di jalan lahir
- Gejala timbul pada umur 1 – 3 hari: cairan kuning dan kental pada
kedua mata, kelopak mata bengkak, sulit membuka mata
- Komplikasi yang sering terjadi : perforasi kornea, buta
2) Riwayat persalinan
PREMATURITAS
- Usia kehamilan < 37 minggu
- Kelainan mata yang sering terjadi Retinopati, yaitu gangguan
pembentukan pembuluh darah retina, dapat mengakibatkan kebutaan
- Insidens kebutaan:
BB < 1000 gram : 5 – 11 %
BB 1000 – 1500 gram : 0.3 – 1.1%
- Kelainan lain: Miopia / Rabun jauh dan astigmatisme
- Bayi prematur perlu pemeriksaan mata berkala untuk deteksi
penyimpangan refraksi.
TRAUMA LAHIR
- Bisa terjadi karena : trauma mekanis atau trauma hipoksia/ asfiksia

3
- Kelainan mata akibat: Hipoksia, perdarahan otak dan trauma yang
mengenai persyarafan sehingga perlu pemeriksaan mata sedini
mungkin
KELAINAN KROMOSOM
- Sindrom down
Kelainan mata : Katarak, strabismus, Nistagmus, gangguan refraksi
berat.
- Sindrom turner
Kelainan mata: ptosis, katarak, strabismus dan nistagmus.
3) Penyakit bayi pada masa perinatal / Neonatal
IKTERUS NEONATORUM / HIPERBILIRUBINEMIA
- Gejala klinis kuning pada bayi baru lahir
- Komplikasi :
Kern ikterus
Pada mata : Hiperpigmentasi Retina (kemungkinan terjadi miopia,
buta warna).
KELAINAN METABOLIK
Katarak merupakan gejala yang paling menonjol pada beberapa penyakit
metabolik, seperti:
- Diabetes melitus tipe juvenilis.
- Galaktosemi ( gangguan metabolisme karbohidrat )
- Hipocalsemia
TUMOR MATA
- Hemangiona infantile: tumor pada pembuluh darah

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Anak (Umur > 1 Tahun)
Penyebab kelainan mata pada anak (umur > 1 tahun), disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya (Rozanah, 2013):
1) Infeksi
Misalnya pada infeksi TB, yaitu (1) adanya lesi kuning, menonjol pada
konjungtiva dan kornea yang disebut Keratoconjungtivitis Fliktenularis,

4
(2) Ulkus kornea, (3) efek samping ethambutol yang menyebabkan
kerusakan saraf mata.
2) Penyakit Gizi
- Malnutrisi : kekurangan vitamin A yang disebut Xerophthalmia
- Obesitas
3) Faktor Lingkungan
- Menonton televisi
- Penggunaan komputer : bila berlebihan akan meningkatkan gangguan
refraksi pada anak.

2.3 Penyakit Mata Pada Anak


2.3.1 Kelainan Pada Kelopak Mata
Kelopak mata dapat diperngaruhi oleh berbagai macam kondisi dari
kulit dan infeksi diantaranya :
A. Blefaritis
Blefaritis merupakan infalamasi pada tepi kelopak mata yang dapat
disertai terbentuknya ulkus. Gejala yang dapat muncul diantaranya
(Braverman, 2009 dan PPK, 2017) :
- Gatal pada tepi kelopak mata
- Eritema pada tepi kelopak mata
- Terbentuk sisik yang keras dan krusta terutama di sekitar dasar bulu
mata
- Dapat keluar sekret yang mengering selama tidur, sehingga ketika
bangun kelopak mata sukar dibuka.
Stapphylococcus merupakan bakteri penyebab paling sering.
Blefaritis juga erat kaitannya dengan dermatitis seboroik.
Penatalaksanaan meliputi (PPK, 2017) :
- Kompres hangat selama 5-10 menit untuk melunakkan krusta
- Membersihkan kelopak mata dengan lidi kapas yang dibasahi air
hangat
- Membersihkan dengan sampo bayi

5
- Bila ditemukan ulkus pada kelopak mata, dapat diberikan salep atau
tetes mata antibiotik hingga gejala menghilang (chloramphenicol,
2x/hari)

Gambar 2.1 Blefaritis


B. Ptosis
Ptosis kongenital umunya disebabkan oleh distrofi muskulus levator
palpebra superior. Penyebab lainnya adalah Sindrom Horner kongenital
dan kelumpuhan nervus tiga kongenital. Pada sindrom Horner, orang tua
pasien biasanya memperhatikan ukuran pupil yang tidak sama (anisokor)
atau warna mata yang berbeda (Braverman, 2009 dan Fredrick, 2010).

Gambar 2.2 Ptosis


C. Koloboma Palpebra
Koloboma palpebra merupakan salah satu kelainan kelopak mata
yaitu merupakan suatu celah yang bisa terdapat di palpebra superior atau
inferior akibat fusi tidak lengkap prosessus maksilaris janin. Defek yang
besar memerlukan koreksi dini untuk menghindari ulserasi kornea akibat
terpajannya kornea. Koloboma palpebra kongenital umumnya dijumpai
bersamaan dengan kelainan kraniofasial seperti sindrom Goldenhar
(Fredrick, 2010).

6
Gambar 2.3 Koloboma Palpebra
D. Kalazion
Suatu peradangan lipogranuloma menahun steril dari kelenjar
Meibom yang disebabkan karena sumbatan sekresi sebasea. Kalazion
dapat menyebabkan keradangan supuratif akut (Riordan-Eva dan
Whitcher, 2007). Gejala klinisnya yaitu nodul pada kelopak mata yang
tidak nyeri, nodul dapat membesar hingga dapat menekan bola mata dan
dapat menimbulkan gangguan refraksi berupa astigmatisme (Riordan-Eva
dan Whitcher, 2007).
Penatalaksanaannya yaitu dengan kompres hangat selama 10-15
menit sebanyak empat kali sehari. Apabila insisi dan kuretase diperlukan
karena lesi lama untuk disembuhkan, pasien perlu diberikan anestesi
umum (Braverman, 2009).

Gambar 2.4 Kalazion

2.3.2 Kelainan Pada Konjungtiva


A. Konjungtivitas pada bayi baru lahir (Oftalmia neonatorum)
Oftalmia neonatorum merupakan infeksi yang terjadi pada bayi
baru lahir pada konjungtiva yang mengontaminasi mata bayi selama
persalinan melalui serviks dan vagina ibu atau selama periode postpartum.
Konjungtivitis pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh bahan kimia,
bakteri, Chlamydia, atau virus. Konjungtivitas pada bayi baru lahir dapat

7
membahayakan penglihatan apabila disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe.
(Braverman, 2009; Fredrick, 2010; Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Oftalmia neonatorum ditandai dengan kemerahan dan bengkak
pada kelopak dan konjungtiva, disertai dengan adanya sekret. Diagnosis
antenatal dan pengobatan infeksi genital pada ibu hamil akan dapat
mencegah konjungtivitis neonatorum (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).
Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh Chlamydia pemberian
terapi dengan eritromisin oral (suspensi) 50 mg/kg/ hari terbagi dalam
empat dosis selama 2 minggu, dianjurkan karena lebih efektif
dibandingkan topikal dan dapat membantu eradikasi kuman yang terdapat
di nasofaring, yang dapat menjadi predisposis timbulnya pneumonitis
(Braverman, 2009; Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Pada konjungtivitis gonococcal dapat diberikan terapi dengan
ceftriaxone 125 mg single dose IM, pilihan kedua kanamycin 75 mg IM.
Pada semua kasus yang disebabkan oleh Chlamydia atau gonococcal,
kedua orang tua juga harus diberikan terapi sistemik. Bayi yang terkena
harus diperiksankan penyakit menular seksual lainnya dan diobati
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Konjungtivitis yang disebabkan oleh herpes biasanya dapat
sembuh spontan, penatalaksanaan yang dilakukan dengan pemberian
acyclovir 30 mg/kg/hari terbagi dalam tiga dosis selama 14 hari (Riordan-
Eva dan Whitcher, 2007).

Gambar 2.5 Oftalmia Neonatorum

8
B. Gonoblenorrhoe
Merupakan konjungtivitis hiperakut dengan sekret purulen yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe. Proses keradangan hiperakut
konjungtiva dapat disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe, yaitu kuman
kokus, gram negatif yang sering menjadi penyebab uretritis pada pria dan
vaginitis atau batolinitis pada wanita. Infeksi terjadi karena kontak
langsung Neisseria gonorrhoe dengan konjungtiva (Soewono, dkk., 2006).
Gejala klinis yang terjadi secara mendadak, dengan masa inkubasi
beberapa jam sampai 3 hari. Keluhan yang muncul yaitu mata merah,
bengkak, dengan sekret seperti nanah yang kadang-kadang bercampur
darah. Perdarahan terjadi karena edema konjungtiva, sehingga
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva (Soewono, dkk.,
2006).
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis ini yaitu
pemeriksaan laboratorim, dimana ditemukan kuman Neisseria gonorrhoe
dalam sediaan yang berasal dari kerokan (scrapping) konjungtiva.
Penatalaksanaan penyakit ini yaitu (Soewono, dkk., 2006) :
1) Penatalaksanaan gonoblenorrhoe tanpa penyulit pada kornea
 Topikal : salep mata Tetracyclin HCL 1% atau Ciprofloxacin
0,3% yang diberikan minimal 6 kali sehari pada neonatus dan
diberikan setidaknya tiap 2 jam sekali. Sebelum diberikan
salep/tetes mata, sekret harus diberishkan terlebih dahulu.
 Sistemik : pada neonatus dan anak-anak injeksi penicilin
diberikan dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB. Bila ada alergi
penicilin dapat diberikan Thiamphenicol 3,5 gram dosis tunggal
atau Tetracycline 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4 kali
500 mg/hari selama 4 hari.
2) Penatalaksanaan gonoblenorrhoe dengan penyulit pada kornea
 Topikal : ciprofloxacin 0,3% dengan cara pemberian sebagai
berikut :
Hari I : 1-2 tetes, setiap 15 menit selama 6

9
jam. Selanjutnya diberikan 2 tetes
setiap 30 menit
Hari II : 2 tetes tiap 1 jam
Hari III-XIV : 2 tetes tiap 4 jam
Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup,
penyakit ini akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan
lebih lambat atau kurang intensif, maka kesembuhan mungkin disertai
sikatriks kornea dan penurunan tajam penglihatan yang menetap atau
kebutaan (Soewono, dkk., 2006).

Gambar 2.6 Gonoblenorrhoe


C. Kista Dermoid
Merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal
dan ektodermal. Jaringan tumor terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat pada
limbus, konjungtiva bulbi, atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan
menyebabkan ptosis (Ilyas, 2002).

Gambar 2.7 Kista Dermoid

D. Dermolipoma

10
Dermolipoma merupakan benjolan berbentuk bulat dengan
permukaan licin yang memiliki gambaran klinik menyerupai kista
dermoid. Terdiri atas jaringan lemak dan jaringan ikat (Ilyas, 2002).

Gambar 2.8 Dermolipoma

2.3.3 Kelainan Pada Kornea


A. Keratitis Virus
Herpes simplek, herpes zoster, dan adenovirus semuanya dapat
menginfeksi kornea, apabila lapisan epitel rusak. Gambaran dendritik atau
ameboid dapat terlihat dalam pewarnaan fluoresen. Kornea yang terinfeksi
herpes simplek, bersifat rekuren dan dapat menyebabkan kebutaan
(Braverman, 2009).
Gejala klinis umumnya pasien mengeluhkan nyeri dan mata merah.
Fotofobia dan penurunan penglihatan merupakan keluhan yang sering
timbul. Demam, malaise, dan infeksi saluran pernapasan ats juga bisa
muncul (Braverman, 2009).
Pemberian fluoresen pada kornea akan memperlihatkan kelainan
apabila disinari dengan cahaya biru, penurnan ketajaman penglihatan,
fotofobia, konjungtivitas juga perlu diperhatikan. Pemeriksaan
menggunakan slitlamp dapat memperlihatkan infiltrat putih di bawah
epitel kornea (Braverman, 2009).
Penatalaksanaan menggunakan antivirus topikal diindikasikan
apabila infeksi herpes simplek terbatas pada epitel kornea, tetapi tambahan
terapi sistemik juga diperlukan untuk neonatus. Kortikosteroid topikal
mungkin menjadi tambahan terapi yang berguna apabila mengenai lapisan
stroma, akan tetapi pengobatan dengan kortikosteroid ini hanya boleh

11
dilakukan oleh dokter spesialis mata karena risikonya dapat memperburuk
penyakit (Braverman, 2009).

Gambar 2.9 Herpes Simplek Keratitis


B. Megalokornea
Megalokornea adalah kornea dengan diameter lebih besar dari 12
mm, dengan kornea jernih. Megalokornea harus dibedakan dengan
buftalmos, dimana kornea keruh dan terdapat sisa-sisa jaringan
mesodermal pada sudut bilik mata (Ilyas, 2002).

Gambar 2.10 Megalokornea


C. Mikrokornea
Pada mikrokornea diameter kornea lebih kecil sedangkan ukuran
lensa normal, akibatnya iris akan terdorong ke depan sehingga menutup
sudut bilik mata depan, dengan akibat gangguan pertumbuhan sudut bilik
mata depan (Ilyas, 2002).

Gambar 2.11 Mikrokornea

2.3.4 Kelainan Pada Uvea

12
A. Uveitis
Uveitis merupakan peradangan pasa iris, korpus siliaris, atau
koroid. Gejala klinis uveitis anterior biasanya unilateral dengan onset akut.
Gejala yang khas meliputi nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur. Pada
pemeriksaan, biasanya ditemukan kemerahan sirkumkorneal dengan
injeksi konjungtiva palpebra dan sekret yang minimal (Fredrick, 2010).
Uveitis intermediet merupakan jenis peradangan intraokuler, tanda
uveitis intermediet yang terpenting yaitu adanya perdangan pada vitreus,
dan khasnya bilateral. Uveitis posterior gejalanya berupa floaters,
kehilangan lapang pandang, atau penurunan tajam penglihatan (Fredrick,
2010).
B. Koloboma Iris
Koloboma iris adalah keadaan dimana sebagian jaringan iris tidak
terbentuk, sehingga terdapat lubang dengan bentuk bermacam-macam.
Biasanya terjadi karena fissura fetal yang tidak lengkap dan dapat disertai
dengan koloboma koroid dan retina di daerah yang sama. Tajam
penglihatan sangat buruk bila terdapat koloboma retina meliputi juga
daerah makula atau disertai koloboma pupil (Ilyas, 2002).

Gambar 2.12 Koloboma Iris


C. Anirdia
Adalah keadaan dimana jaringan iris tidak terbentuk, sehingga
terlihat tepi lensa. Kelainan ini jarang ditemukan dan terdapat bersama-
sama dengan glaukoma kongenital akibat gangguan perkembangan sudut
bilik mata depan oleh jaringan mesodermal (Ilyas, 2002).

13
Gambar 2.13 Anirdia

2.3.5 Kelainan Pada Lensa


A. Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa sejak lahir.
Sepertiga dari kasus katarak kongenital disebabkan oleh kelainan
herediter, sepertiga lainnya karena gangguan metabolisme atau infeksi
berkaitan dengan suatu sindrom, sedangkan sepertiga terakhir tidak dapat
dipastikan penyebabnya. Virus Rubella yang menyerang kehamilan ibu
trimester pertama dikatakan menghambat mitosis sel-sel di beberapa
jaringan janin. Pertumbuhan vesikel lensa pada saat itu terjadi
pemanjangan sel-sel epitel posterior yang mengakibatkan perkembangan
lensa menjadi abnormal (Boediono dan Djiwanto, 2006).
Katarak kongenital sering disertai kelainan kongenital lainnya
sehingga merupakan sindroma, antara lain sindrom Rubella, galaktosemia,
hipoglikemia, sindrom Lowe, dan distrofi miotonik. Manifestasi kelainan
mata yang bisa menyertai katarak kongenital adalah megalokornea, kornea
iris, ektopia lensa, anirdia, mikroftalmus, dan displasia retina (Boediono
dan Djiwanto, 2006).
Gejala klinis yang muncul biasanya orang tua penderita mengamati
bahwa anaknya setelah kelahiran bulan atau tahun pertama, tajam
penglihatannya berkurang. Pupil mungkin berwarna putih, tergantung
tebalnya kekeruhan lensa (Boediono dan Djiwanto, 2006).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tajam
penglihatan untuk memperolah kesan apakah tajam penglihatan bayi masih
ada atau sudah jelek, dengan lampu senter dapat diamati apakah bayi

14
masih ada reaksi terhadap cahaya, yaitu mengikuti arah cahaya dengan
pupil yang telah dilebarkan tampak kekeruhan lensa putih keabuan.
Oftalmoskopi dilakukan untuk mengevaluasi reflek fundus. Diagnosis
banding pada penyakit ini yatiu retinoblastoma dan retrolental fibroplasia
(Boediono dan Djiwanto, 2006).
Penatalaksanaan yang dilakukan yaitu pencegahan menggunakan
vaksin bagi wanita hamil. Pembedahan dilakukan apabila didapatkan
katarak unilateral yang padat, sentral dengan diameter lebih dari 2 mm
atau katarak menyerang kedua mata, dianjurkan ekstraksi katarak pada
waktu bayi berusia 2 bulan untuk memungkinkan berkembangnya tajam
penglihatan dan mencegah ambliopia. Apabila operasi berhasil dengan
baik, operasi mata kedua dapat dilakukan segera. Koreksi afakia dilakukan
dengan pemberian lensa kontak atau kacamata. Pemasangan lensa
intraokuler pada infantil masih merupakan kontroversi (Boediono dan
Djiwanto, 2006).

Gambar 2.14 Katarak Kongenital

2.3.6 Kelainan Pada Retina


A. Retinopati Prematuritas
Retinopati pada Prematuritas merupakan kelainan vasoproliferatif
retina pada bayi prematur dengan perubahan patologis utama berupa
neovaskularisasi retina (Langston, 1995).
Pada kondisi normal, pembuluh darah mulai tumbuh saat usia 16
minggu masa gestasi. Pembuluh darah berkembang dari diskus optikus
menuju ora serata. Pembuluh darah akan mencapai daerah nasal pada usia

15
8 bulan kehamilan dan daerah temporal setelah bayi lahir, jadi pada bayi
yang lahir prematur, pembuluh darah retina sudah komplit (Kansky, 1994).
Bila bayi lahir secara prematur sebelum pertumbuhan pembuluh
darah ini mencapai tepi retina, maka pertumbuhan pembuluh darah (yang
normal akan terhenti sehingga bagian tepi retina yang tidak ditumbuhi
pembuluh darah) tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal
ini menyebabkan bagian tepi retina akan mengirimkan sinyal ke daerah
retina yang lain untuk mecukupi kebutuhan oksigen dan nutrisinya.
Sebagai akibatnya maka pembuluh darah abnormal mulai tumbuh dimana
pembuluh darah (neovaskularisasi) ini sangat lemah dan mudah
pecah/berdarah serta menyebabkan pertumbuhan jaringan perut pada retina
yang dapat menyebabkan tarikan pada retina sampai terlepasnya retina dari
tempelanny/ablasio retina (Kansky, 1994).
Deteksi dini dan tatalaksana yang tepat dari retinopati pada
prematuritas dapat mencegah kebutaan. American Academic of Pediatries
dan American Academic of Opthalmology pada tahun 2006
merekomendasikan bahwa bayi dengan berat lahir <1500 gram atau usia
gestasi kurang dari 32 minggu dengan atau tanpa terapi oksigen dan bayi
dengan berat lahir 1500-2000 gram atau usia gestasi lebih dari 32 minggu
dengan keadaan klinis yang tidak stabil dan membutuhkan alat penunjang
paru jantung dianjurkan untuk menjalani skerining retinopati pada
prematuritas (Lukitasari, 2012).
Pemeriksaan awal (skrining) dilakukan pada bayi usia kehamilan
>30 minggu saat usia kronologis 2-4 minggu, sedangkan bayi dengan usia
kehamilan ≤ 30 minggu, pemeriksaan dilakukan saat usia kronologis 4
minggu. 9 Pemeriksaan mata harus diulang setiap 1-2 minggu hingga
vaskularisasi retina lengkap mencapai zona 3. Hasil pemeriksaan oleh
dokter mata harus dilaporkan dalam bentuk klasifikasi International yaitu
berdasarkan International Committee for the Classification of Retinopathy
of Prematurity (Lukitasari, 2012).
Retinopati pada prematuritas merupakan suatu penyakit progresif.
Faktor risiko utama timbulnya retinopati prematuritas adalah usia gestasi

16
dan berat lahir yang rendah, selain itu peran kausatif pemberian oksigen
tambahan (suplemental), faktor-faktor lain berperan meliputi asidosis,
apnea, PDA, sepsis, transfusi darah, dan perdaran intraventrikuler
(Langston, 1995 dan Lukitasari, 2012).
Penatalaksanaan retinopati pada prematuritas yang ringan (stadium
I dan II) pembuluh darah retina yang abnormal dapat beregresi secara
spontan dan bayi akan tumbuh dengan penglihatan normal. Namun pada
tingkat yang lebih berat yaitu grade III, IV, V diperlukan terapi yang lebih
agresif, misalnya krioterapi, foto koagulasi laser, skleral buckle dan
vitrektomi. 9 Terapi untuk Retinopati pada Prematuritas harus dilakukan
sedini mungkin agar dapat menyelamatkan penglihatan bayi (Lukitasari,
2012).
B. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan suatu penyakit keganasan primer
intraokuler terbanyak pada anak, bisa terjadi secara herediter dan non
herediter. Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma yang berasal dari
neuroretina (sel batang dan sel kerucut) atau sel glia, yang ganas, bersifat
kongenital dan terjadi pada anak-anak. Angka insiden retinoblastoma
kurang lebih 11 per satu juta penduduk usia dibawah 5 tahun. Gejala klinis
retinoblastoma beraneka ragam, seperti adanya leukokoria, strabismus,
peradangan (iritis), buftalmos, hifema spontan, dan retinal detachment
(Nafianti, 2006 dan Rahman, 2008).
Tumor ganas pada anak yang jarang ini bersifat fatal bila tidak
diobati. Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga:
sekitar 30% kasus, retinoblastomanya bilateral. Pada retinoblastoma
herediter, predisposisi genetik diwariskan sebagai suatu ciri autosomal
dominan; anak-anak pasien memiliki kemungkinan hampir 50% untuk
mengidap penyakit ini; dan tumor ini cenderung bilateral dan multifokal
(Nafianti, 2006 dan Rahman, 2008).
Orang normal yang telah mempunyai satu anak dengan penyakit
ini, memiliki risiko 4-7% melahirkan anak berikutnya dengan penyakit
serupa. Beberapa pemeriksaan khusus sangat diperlukan seperti

17
oftalmoskopi (direk dan indirek), USG, x-Ray, dan CT-Scan, serta
pemeriksaan histologi (Rahman, 2008).
Bayi dengan gejala awal strabismus perlu diperiksa secara cermat
untuk menyingkirkan retinoblastoma karena mata yang berdeviasi
mungkin merupakan tanda pertama tumor. Anak dari keluarga yang
mengidap retinoblastoma familial, perlu dilakukan pemeriksaan skrining
teratur untuk mendeteksi tumor secara dini (Fredrick, 2010).
Enukleasi adalah terapi pilihan hampir pada semua kasus
retinoblastoma unilateral yang luas. Pada kasus bilateral, semakin sering
digunakan terapi konservatif dengan kemoreduksi dan terapi laser fokal,
radioterapi dengan plak episklera atau external beam, dan teknik-teknik
fotokoagulasi untuk mempertahankan mata yang keparahannya lebih
ringan (Fredrick, 2010).

Gambar 2.15 Retinoblastoma

2.4 Glaukoma Kongenital


Glaukoma kongenital adalah suatu glaukoma yang terjadi pada bayi
atau anak-anak akibat penutupan dari sudut iridokorneal oleh suatu membran
yang dapat menghambat aliran dari humor aqueous sehingga dapat
meningkatkan tekanan intraokuler. Kondisi ini progresif dan biasanya
bilateral dan dapat merusak saraf optik. Glaukoma kongenital primer atau
infantile terjadi saat lahir atau dalam tahun pertama kehidupan. Kondisi ini
terjadi karena abnormalitas pada perkembangan sudut bilik mata depan yang
menghambat aliran aqueous pada ketiadaan anomalisistemik atau malformasi
okular lainnya. Glaukoma infantile sekunder berhubungan dengan inflamasi,
neoplastik, hamartomatus, metabolik atau abnormalitas kongenital lainnya.
Glaukoma juvenile primer disadari kemudian pada masa kanak-kanak

18
(umumnya setelah umur tiga tahun) atau pada awal masa dewasa (Fredrick,
2010).
Karakteristik dari glaukoma kongenital mencakup tiga tanda klasik
pada bayi baru lahir yaitu epifora, fotofobia dan blefarospasme. Tanda-tanda
awal lain yaitu kekeruhan pada kornea, peningkatan diameter kornea, dan
peningkatan tekanan intraokuler (Fredrick, 2010).
Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tajam penglihatan
mengganggu penglihatan. Pengontrolan tekanan bola mata adalah tujuan
utama dari pengobatan. Pengobatan glaukoma kongenital primer yang
essensial adalah pembedahan (Fredrick, 2010).

Gambar 2.16 Glaukoma Kongenital

2.5 Strabismus
Strabismus adalah ketidaksejajaran visual axis dari kedua mata.
Strabismus dijumpai sekitar 2% anak. Pengenalan dini sering merupakan
tanggung jawab dokter anak atau dokter keluarga. Kadang-kadang,
strabismus pada masa kanak-kanan memiliki kepentingan neurologik. Setiap
anak dengan tanda strabismus setelah usia 3 bulan harus segera dirujuk untuk
pemeriksaan oftalmologik. Strabismus yang tidak diobati dapat menimbulkan
efek kosmetik yang buruk, trauma psikis, dan ambliopia pada mata berdeviasi
(Braverman, 2009 dan Fredrick, 2010).
Jenis strabismus yang paling sering terjadi adalah esotropia dan
eksotropia. Esotropia merupakan yang konvergen. Kebanyakan pasien dengan
esotropia muncul sebelum usia sekolah, umumnya antara usia dua sampai tiga
tahun. Esotropia seringkali bersifat tetap (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).

19
Gambar 2.17 Esotropia
Jenis lain yaitu eksotropia, merupakan strabismus divergen. Deviasi
paling sering dimulai secara intermiten dan muncul setelah usia dua tahun.
Dari anamnesis sering diketahui bahwa kelainan tersebut memburuk secara
progresif (Braverman, 2009 dan Fredrick, 2010).

Gambar 2.18 Eksotropia

2.6 Ambliopia
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan pada satu mata
tanpa penyakit organik. Keadaan ini tidak dapat dikoreksi dengan lensa.
Penyebab terseringnya karena strabismus, yaitu bayangan dari mata yang
berdeviasi ditekan untuk mencegah diplopia, dan anisometropia, yaitu
ketidaksamaan nila refraksi antara dua mata (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).
Penurunan fungsi penglihatan pada anak sering kali tidak terdeteksi,
sehingga perlu dilakukan skrining rutin sebelum usia 4 tahun (Fredrick, 2010).

20
BAB III
ALGORITMA DIAGNOSIS KELAINAN MATA PADA ANAK

3.1 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Faktor Risiko

21
3.2 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Usia

22
DAFTAR PUSTAKA

Boediono, S., Djiwatno. 2006. Lensa, Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Edisi 3, Rumah Sakit Dokter Seotomo
Surabaya, pp.43-50.
Braverman, S. 2009. Eye, dalam Hay, WW., Levin, MJ., Sondheimer, JM.,
Deterding, RR., 2009. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics, Edisi 19.
Lange Mc-Graw Hill, pp.395-426.
Fredrick, DR. 2010. Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri, dalam
Riordan-Eva, P., Whitcher, JP., Vaughan & Ashbury-Oftalmologi Umum,
Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.354-363.
Ilyas, S. 2002. Kelainan Mata Pada Anak, Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Sagung
Seto, pp.233-236.
Kansky, JJ. 1994. Retina vascular disorders. Dalam: Kansky JJ, penyunting,
Clinical Ophthalmology. Edisi ke-3. London : Butterworth Heinemann.
pp.374.
Langston, DP. 1995. Retina and vitreous. Dalam: Langston DP. Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Boston : Little Brown. pp.155.
Lukitasari, A. 2012. Retinopati Prematuritas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol
12, No. 2. 2 Agustus 2012.
Nafianti, S. 2006. Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital
Medan, Dalam: Makalah Kedokteran Nusantara. Vol 39 No. 3. September
2006. pp.147-150. Diakses pada: 28 Juni 2020
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15625/1/mkn-sep2006-
%20%283%29.pdf>
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2017. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Edisi 1.
Rahman, A. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma, Dalam:
Majalah Kedokteran Andalas Oktober 2008, pp.57-63. Diakses pada: 28
Juni 2020
<http://repository.unad.ac.id/247/1/Deteksi_Dini_Dan_Penatalaksanaan_Ret
inoblastoma.pdf>

23
Riordan-Eva, P. dan Whitcher, J.P. 2007. Vaughan & Asbury: Oftalmologi
Umum, Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.346.
Riordan-Eva, P. dan Whitcher, J.P. 2007. Vaughan & Asbury: Oftalmologi
Umum, Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.207.
Rozanah, S. 2013. Deteksi Dini Kelainan Mata pada Anak (Aspek Kesehatan
Anak). Rumah Sakit Bintaro. Diakses pada : 23 Juni 2020
[http://www.pdpersi.co.id/website/banten/data/kelainan_mata.pdf]
Soewono, W., Oetomo, M., Eddyanto. 2006. Penyakit Mata Luar, Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Edisi 3.
Rumah Sakit Dokter Seotomo Surabaya, pp.82-104.

24

Anda mungkin juga menyukai