ALGORITMA DIAGNOSIS
KELAINAN MATA PADA ANAK
Oleh :
Erald Giovanny Hasiholan Simatupang, S.Ked
Pembimbing :
dr. Rosmaryati Manalu, Sp. M
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................1
2.1 Faktor – Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Janin dan Bayi ................2
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Anak (Umur > 1 Tahun)....4
2.3 Penyakit Mata Pada Anak...........................................................................5
2.3.1 Kelainan Pada Kelopak Mata..................................................................5
2.3.2 Kelainan Pada Konjungtiva.....................................................................7
2.3.3 Kelainan Pada Kornea.............................................................................11
2.3.4 Kelainan Pada Uvea.................................................................................13
2.3.5 Kelainan Pada Lensa................................................................................14
2.3.6 Kelainan Pada Retina...............................................................................15
2.4 Glaukoma Kongenital.................................................................................18
2.5 Strabismus...................................................................................................19
2.6 Ambliopia...................................................................................................20
BAB III ALGORITMA DIAGNOSIS .............................................................21
3.1 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak
Berdasarkan Faktor Risiko........................................................................21
3.2 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Usia..............22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor – Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Janin dan Bayi
Penyebab kelainan mata pada janin dan bayi, disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya, yaitu (1) Penyakit ibu selama kehamilan, (2) Riwayat
persalinan, dan (3) Penyakit bayi pada masa perinatal/Neonatal (Rozanah,
2013).
1) Penyakit ibu selama kehamilan
INFEKSI
a. Rubela
- 1/3 - ½ kasus tidak terdiagnosis karena gejala ringan.
- Makin muda usia kehamilan, makin besar resiko Infeksi pada
janin, manifestasi klinis makin berat
- Virus Rubela dapat merusak: susunan saraf pusar, mata, jantung
dan pendengaran
- Kelainan mata yang dapat terjadi: katarak, gloukoma, kelainan
retina sampai resiko kebutaan.
b. Cytomegalo virus
- Gejala pada anak dan orang dewasa ringan, bahkan tanpa gejala
- 10 – 15% bayi lahir dari Ibu dengan infeksi CMV menunjukkan
gejala klinis pada masa bayi.
- Gejala klinis pada bayi baru lahir yaitu, berat badan kurang,
ikterus, kepala kecil, perkapuran otak, retardasi mental
- Kelainan pada mata: Korioretinitis dan Strabismus (Juling)
c. Toksoplasma
- Berasal dari hewan: kucing
- Infeksi secara oral: daging yang tidak matang, tertelan kista
melalui sayuran yang tidak dicuci baik.
- Tidak pernah infeksi dari orang ke orang, kecuali transplasentae
dari Ibu ke janin.
- Insiden pada wanita hamil 1 – 10%
2
- Diagnosis toksoplasma bawaan sulit, banyak kasus tanpa gejala
klinis.
- Riwayat infeksi pada Ibu sebagai pegangan mewaspadai kelainan
yang mungkin terjadi
- Infeksi neonatal berat: gejala infeksi umum, gejala pada mata, dan
gejala susunan saraf pusat
- 20 – 85% kasus menderita korioretintis dikemudian hari dan
berakhir dengan kebutaan
d. Sifilis
- Ditularkan secara transplasentae
- Penularan terjadi sepanjang kehamilan, mengenai banyak organ
- Kemungkinan bayi tertular -> 100%
- Infeksi pada mata : radang kornea -> kelumpuhan kornea -> buta
total
e. Gonore
- Penularan terjadi karena mata bayi terkontaminasi di jalan lahir
- Gejala timbul pada umur 1 – 3 hari: cairan kuning dan kental pada
kedua mata, kelopak mata bengkak, sulit membuka mata
- Komplikasi yang sering terjadi : perforasi kornea, buta
2) Riwayat persalinan
PREMATURITAS
- Usia kehamilan < 37 minggu
- Kelainan mata yang sering terjadi Retinopati, yaitu gangguan
pembentukan pembuluh darah retina, dapat mengakibatkan kebutaan
- Insidens kebutaan:
BB < 1000 gram : 5 – 11 %
BB 1000 – 1500 gram : 0.3 – 1.1%
- Kelainan lain: Miopia / Rabun jauh dan astigmatisme
- Bayi prematur perlu pemeriksaan mata berkala untuk deteksi
penyimpangan refraksi.
TRAUMA LAHIR
- Bisa terjadi karena : trauma mekanis atau trauma hipoksia/ asfiksia
3
- Kelainan mata akibat: Hipoksia, perdarahan otak dan trauma yang
mengenai persyarafan sehingga perlu pemeriksaan mata sedini
mungkin
KELAINAN KROMOSOM
- Sindrom down
Kelainan mata : Katarak, strabismus, Nistagmus, gangguan refraksi
berat.
- Sindrom turner
Kelainan mata: ptosis, katarak, strabismus dan nistagmus.
3) Penyakit bayi pada masa perinatal / Neonatal
IKTERUS NEONATORUM / HIPERBILIRUBINEMIA
- Gejala klinis kuning pada bayi baru lahir
- Komplikasi :
Kern ikterus
Pada mata : Hiperpigmentasi Retina (kemungkinan terjadi miopia,
buta warna).
KELAINAN METABOLIK
Katarak merupakan gejala yang paling menonjol pada beberapa penyakit
metabolik, seperti:
- Diabetes melitus tipe juvenilis.
- Galaktosemi ( gangguan metabolisme karbohidrat )
- Hipocalsemia
TUMOR MATA
- Hemangiona infantile: tumor pada pembuluh darah
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kelainan Mata Pada Anak (Umur > 1 Tahun)
Penyebab kelainan mata pada anak (umur > 1 tahun), disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya (Rozanah, 2013):
1) Infeksi
Misalnya pada infeksi TB, yaitu (1) adanya lesi kuning, menonjol pada
konjungtiva dan kornea yang disebut Keratoconjungtivitis Fliktenularis,
4
(2) Ulkus kornea, (3) efek samping ethambutol yang menyebabkan
kerusakan saraf mata.
2) Penyakit Gizi
- Malnutrisi : kekurangan vitamin A yang disebut Xerophthalmia
- Obesitas
3) Faktor Lingkungan
- Menonton televisi
- Penggunaan komputer : bila berlebihan akan meningkatkan gangguan
refraksi pada anak.
5
- Bila ditemukan ulkus pada kelopak mata, dapat diberikan salep atau
tetes mata antibiotik hingga gejala menghilang (chloramphenicol,
2x/hari)
6
Gambar 2.3 Koloboma Palpebra
D. Kalazion
Suatu peradangan lipogranuloma menahun steril dari kelenjar
Meibom yang disebabkan karena sumbatan sekresi sebasea. Kalazion
dapat menyebabkan keradangan supuratif akut (Riordan-Eva dan
Whitcher, 2007). Gejala klinisnya yaitu nodul pada kelopak mata yang
tidak nyeri, nodul dapat membesar hingga dapat menekan bola mata dan
dapat menimbulkan gangguan refraksi berupa astigmatisme (Riordan-Eva
dan Whitcher, 2007).
Penatalaksanaannya yaitu dengan kompres hangat selama 10-15
menit sebanyak empat kali sehari. Apabila insisi dan kuretase diperlukan
karena lesi lama untuk disembuhkan, pasien perlu diberikan anestesi
umum (Braverman, 2009).
7
membahayakan penglihatan apabila disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe.
(Braverman, 2009; Fredrick, 2010; Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Oftalmia neonatorum ditandai dengan kemerahan dan bengkak
pada kelopak dan konjungtiva, disertai dengan adanya sekret. Diagnosis
antenatal dan pengobatan infeksi genital pada ibu hamil akan dapat
mencegah konjungtivitis neonatorum (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).
Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh Chlamydia pemberian
terapi dengan eritromisin oral (suspensi) 50 mg/kg/ hari terbagi dalam
empat dosis selama 2 minggu, dianjurkan karena lebih efektif
dibandingkan topikal dan dapat membantu eradikasi kuman yang terdapat
di nasofaring, yang dapat menjadi predisposis timbulnya pneumonitis
(Braverman, 2009; Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Pada konjungtivitis gonococcal dapat diberikan terapi dengan
ceftriaxone 125 mg single dose IM, pilihan kedua kanamycin 75 mg IM.
Pada semua kasus yang disebabkan oleh Chlamydia atau gonococcal,
kedua orang tua juga harus diberikan terapi sistemik. Bayi yang terkena
harus diperiksankan penyakit menular seksual lainnya dan diobati
(Riordan-Eva dan Whitcher, 2007).
Konjungtivitis yang disebabkan oleh herpes biasanya dapat
sembuh spontan, penatalaksanaan yang dilakukan dengan pemberian
acyclovir 30 mg/kg/hari terbagi dalam tiga dosis selama 14 hari (Riordan-
Eva dan Whitcher, 2007).
8
B. Gonoblenorrhoe
Merupakan konjungtivitis hiperakut dengan sekret purulen yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe. Proses keradangan hiperakut
konjungtiva dapat disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe, yaitu kuman
kokus, gram negatif yang sering menjadi penyebab uretritis pada pria dan
vaginitis atau batolinitis pada wanita. Infeksi terjadi karena kontak
langsung Neisseria gonorrhoe dengan konjungtiva (Soewono, dkk., 2006).
Gejala klinis yang terjadi secara mendadak, dengan masa inkubasi
beberapa jam sampai 3 hari. Keluhan yang muncul yaitu mata merah,
bengkak, dengan sekret seperti nanah yang kadang-kadang bercampur
darah. Perdarahan terjadi karena edema konjungtiva, sehingga
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva (Soewono, dkk.,
2006).
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis ini yaitu
pemeriksaan laboratorim, dimana ditemukan kuman Neisseria gonorrhoe
dalam sediaan yang berasal dari kerokan (scrapping) konjungtiva.
Penatalaksanaan penyakit ini yaitu (Soewono, dkk., 2006) :
1) Penatalaksanaan gonoblenorrhoe tanpa penyulit pada kornea
Topikal : salep mata Tetracyclin HCL 1% atau Ciprofloxacin
0,3% yang diberikan minimal 6 kali sehari pada neonatus dan
diberikan setidaknya tiap 2 jam sekali. Sebelum diberikan
salep/tetes mata, sekret harus diberishkan terlebih dahulu.
Sistemik : pada neonatus dan anak-anak injeksi penicilin
diberikan dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB. Bila ada alergi
penicilin dapat diberikan Thiamphenicol 3,5 gram dosis tunggal
atau Tetracycline 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4 kali
500 mg/hari selama 4 hari.
2) Penatalaksanaan gonoblenorrhoe dengan penyulit pada kornea
Topikal : ciprofloxacin 0,3% dengan cara pemberian sebagai
berikut :
Hari I : 1-2 tetes, setiap 15 menit selama 6
9
jam. Selanjutnya diberikan 2 tetes
setiap 30 menit
Hari II : 2 tetes tiap 1 jam
Hari III-XIV : 2 tetes tiap 4 jam
Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup,
penyakit ini akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan
lebih lambat atau kurang intensif, maka kesembuhan mungkin disertai
sikatriks kornea dan penurunan tajam penglihatan yang menetap atau
kebutaan (Soewono, dkk., 2006).
D. Dermolipoma
10
Dermolipoma merupakan benjolan berbentuk bulat dengan
permukaan licin yang memiliki gambaran klinik menyerupai kista
dermoid. Terdiri atas jaringan lemak dan jaringan ikat (Ilyas, 2002).
11
dilakukan oleh dokter spesialis mata karena risikonya dapat memperburuk
penyakit (Braverman, 2009).
12
A. Uveitis
Uveitis merupakan peradangan pasa iris, korpus siliaris, atau
koroid. Gejala klinis uveitis anterior biasanya unilateral dengan onset akut.
Gejala yang khas meliputi nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur. Pada
pemeriksaan, biasanya ditemukan kemerahan sirkumkorneal dengan
injeksi konjungtiva palpebra dan sekret yang minimal (Fredrick, 2010).
Uveitis intermediet merupakan jenis peradangan intraokuler, tanda
uveitis intermediet yang terpenting yaitu adanya perdangan pada vitreus,
dan khasnya bilateral. Uveitis posterior gejalanya berupa floaters,
kehilangan lapang pandang, atau penurunan tajam penglihatan (Fredrick,
2010).
B. Koloboma Iris
Koloboma iris adalah keadaan dimana sebagian jaringan iris tidak
terbentuk, sehingga terdapat lubang dengan bentuk bermacam-macam.
Biasanya terjadi karena fissura fetal yang tidak lengkap dan dapat disertai
dengan koloboma koroid dan retina di daerah yang sama. Tajam
penglihatan sangat buruk bila terdapat koloboma retina meliputi juga
daerah makula atau disertai koloboma pupil (Ilyas, 2002).
13
Gambar 2.13 Anirdia
14
masih ada reaksi terhadap cahaya, yaitu mengikuti arah cahaya dengan
pupil yang telah dilebarkan tampak kekeruhan lensa putih keabuan.
Oftalmoskopi dilakukan untuk mengevaluasi reflek fundus. Diagnosis
banding pada penyakit ini yatiu retinoblastoma dan retrolental fibroplasia
(Boediono dan Djiwanto, 2006).
Penatalaksanaan yang dilakukan yaitu pencegahan menggunakan
vaksin bagi wanita hamil. Pembedahan dilakukan apabila didapatkan
katarak unilateral yang padat, sentral dengan diameter lebih dari 2 mm
atau katarak menyerang kedua mata, dianjurkan ekstraksi katarak pada
waktu bayi berusia 2 bulan untuk memungkinkan berkembangnya tajam
penglihatan dan mencegah ambliopia. Apabila operasi berhasil dengan
baik, operasi mata kedua dapat dilakukan segera. Koreksi afakia dilakukan
dengan pemberian lensa kontak atau kacamata. Pemasangan lensa
intraokuler pada infantil masih merupakan kontroversi (Boediono dan
Djiwanto, 2006).
15
8 bulan kehamilan dan daerah temporal setelah bayi lahir, jadi pada bayi
yang lahir prematur, pembuluh darah retina sudah komplit (Kansky, 1994).
Bila bayi lahir secara prematur sebelum pertumbuhan pembuluh
darah ini mencapai tepi retina, maka pertumbuhan pembuluh darah (yang
normal akan terhenti sehingga bagian tepi retina yang tidak ditumbuhi
pembuluh darah) tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal
ini menyebabkan bagian tepi retina akan mengirimkan sinyal ke daerah
retina yang lain untuk mecukupi kebutuhan oksigen dan nutrisinya.
Sebagai akibatnya maka pembuluh darah abnormal mulai tumbuh dimana
pembuluh darah (neovaskularisasi) ini sangat lemah dan mudah
pecah/berdarah serta menyebabkan pertumbuhan jaringan perut pada retina
yang dapat menyebabkan tarikan pada retina sampai terlepasnya retina dari
tempelanny/ablasio retina (Kansky, 1994).
Deteksi dini dan tatalaksana yang tepat dari retinopati pada
prematuritas dapat mencegah kebutaan. American Academic of Pediatries
dan American Academic of Opthalmology pada tahun 2006
merekomendasikan bahwa bayi dengan berat lahir <1500 gram atau usia
gestasi kurang dari 32 minggu dengan atau tanpa terapi oksigen dan bayi
dengan berat lahir 1500-2000 gram atau usia gestasi lebih dari 32 minggu
dengan keadaan klinis yang tidak stabil dan membutuhkan alat penunjang
paru jantung dianjurkan untuk menjalani skerining retinopati pada
prematuritas (Lukitasari, 2012).
Pemeriksaan awal (skrining) dilakukan pada bayi usia kehamilan
>30 minggu saat usia kronologis 2-4 minggu, sedangkan bayi dengan usia
kehamilan ≤ 30 minggu, pemeriksaan dilakukan saat usia kronologis 4
minggu. 9 Pemeriksaan mata harus diulang setiap 1-2 minggu hingga
vaskularisasi retina lengkap mencapai zona 3. Hasil pemeriksaan oleh
dokter mata harus dilaporkan dalam bentuk klasifikasi International yaitu
berdasarkan International Committee for the Classification of Retinopathy
of Prematurity (Lukitasari, 2012).
Retinopati pada prematuritas merupakan suatu penyakit progresif.
Faktor risiko utama timbulnya retinopati prematuritas adalah usia gestasi
16
dan berat lahir yang rendah, selain itu peran kausatif pemberian oksigen
tambahan (suplemental), faktor-faktor lain berperan meliputi asidosis,
apnea, PDA, sepsis, transfusi darah, dan perdaran intraventrikuler
(Langston, 1995 dan Lukitasari, 2012).
Penatalaksanaan retinopati pada prematuritas yang ringan (stadium
I dan II) pembuluh darah retina yang abnormal dapat beregresi secara
spontan dan bayi akan tumbuh dengan penglihatan normal. Namun pada
tingkat yang lebih berat yaitu grade III, IV, V diperlukan terapi yang lebih
agresif, misalnya krioterapi, foto koagulasi laser, skleral buckle dan
vitrektomi. 9 Terapi untuk Retinopati pada Prematuritas harus dilakukan
sedini mungkin agar dapat menyelamatkan penglihatan bayi (Lukitasari,
2012).
B. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan suatu penyakit keganasan primer
intraokuler terbanyak pada anak, bisa terjadi secara herediter dan non
herediter. Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma yang berasal dari
neuroretina (sel batang dan sel kerucut) atau sel glia, yang ganas, bersifat
kongenital dan terjadi pada anak-anak. Angka insiden retinoblastoma
kurang lebih 11 per satu juta penduduk usia dibawah 5 tahun. Gejala klinis
retinoblastoma beraneka ragam, seperti adanya leukokoria, strabismus,
peradangan (iritis), buftalmos, hifema spontan, dan retinal detachment
(Nafianti, 2006 dan Rahman, 2008).
Tumor ganas pada anak yang jarang ini bersifat fatal bila tidak
diobati. Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga:
sekitar 30% kasus, retinoblastomanya bilateral. Pada retinoblastoma
herediter, predisposisi genetik diwariskan sebagai suatu ciri autosomal
dominan; anak-anak pasien memiliki kemungkinan hampir 50% untuk
mengidap penyakit ini; dan tumor ini cenderung bilateral dan multifokal
(Nafianti, 2006 dan Rahman, 2008).
Orang normal yang telah mempunyai satu anak dengan penyakit
ini, memiliki risiko 4-7% melahirkan anak berikutnya dengan penyakit
serupa. Beberapa pemeriksaan khusus sangat diperlukan seperti
17
oftalmoskopi (direk dan indirek), USG, x-Ray, dan CT-Scan, serta
pemeriksaan histologi (Rahman, 2008).
Bayi dengan gejala awal strabismus perlu diperiksa secara cermat
untuk menyingkirkan retinoblastoma karena mata yang berdeviasi
mungkin merupakan tanda pertama tumor. Anak dari keluarga yang
mengidap retinoblastoma familial, perlu dilakukan pemeriksaan skrining
teratur untuk mendeteksi tumor secara dini (Fredrick, 2010).
Enukleasi adalah terapi pilihan hampir pada semua kasus
retinoblastoma unilateral yang luas. Pada kasus bilateral, semakin sering
digunakan terapi konservatif dengan kemoreduksi dan terapi laser fokal,
radioterapi dengan plak episklera atau external beam, dan teknik-teknik
fotokoagulasi untuk mempertahankan mata yang keparahannya lebih
ringan (Fredrick, 2010).
18
(umumnya setelah umur tiga tahun) atau pada awal masa dewasa (Fredrick,
2010).
Karakteristik dari glaukoma kongenital mencakup tiga tanda klasik
pada bayi baru lahir yaitu epifora, fotofobia dan blefarospasme. Tanda-tanda
awal lain yaitu kekeruhan pada kornea, peningkatan diameter kornea, dan
peningkatan tekanan intraokuler (Fredrick, 2010).
Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tajam penglihatan
mengganggu penglihatan. Pengontrolan tekanan bola mata adalah tujuan
utama dari pengobatan. Pengobatan glaukoma kongenital primer yang
essensial adalah pembedahan (Fredrick, 2010).
2.5 Strabismus
Strabismus adalah ketidaksejajaran visual axis dari kedua mata.
Strabismus dijumpai sekitar 2% anak. Pengenalan dini sering merupakan
tanggung jawab dokter anak atau dokter keluarga. Kadang-kadang,
strabismus pada masa kanak-kanan memiliki kepentingan neurologik. Setiap
anak dengan tanda strabismus setelah usia 3 bulan harus segera dirujuk untuk
pemeriksaan oftalmologik. Strabismus yang tidak diobati dapat menimbulkan
efek kosmetik yang buruk, trauma psikis, dan ambliopia pada mata berdeviasi
(Braverman, 2009 dan Fredrick, 2010).
Jenis strabismus yang paling sering terjadi adalah esotropia dan
eksotropia. Esotropia merupakan yang konvergen. Kebanyakan pasien dengan
esotropia muncul sebelum usia sekolah, umumnya antara usia dua sampai tiga
tahun. Esotropia seringkali bersifat tetap (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).
19
Gambar 2.17 Esotropia
Jenis lain yaitu eksotropia, merupakan strabismus divergen. Deviasi
paling sering dimulai secara intermiten dan muncul setelah usia dua tahun.
Dari anamnesis sering diketahui bahwa kelainan tersebut memburuk secara
progresif (Braverman, 2009 dan Fredrick, 2010).
2.6 Ambliopia
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan pada satu mata
tanpa penyakit organik. Keadaan ini tidak dapat dikoreksi dengan lensa.
Penyebab terseringnya karena strabismus, yaitu bayangan dari mata yang
berdeviasi ditekan untuk mencegah diplopia, dan anisometropia, yaitu
ketidaksamaan nila refraksi antara dua mata (Braverman, 2009 dan Fredrick,
2010).
Penurunan fungsi penglihatan pada anak sering kali tidak terdeteksi,
sehingga perlu dilakukan skrining rutin sebelum usia 4 tahun (Fredrick, 2010).
20
BAB III
ALGORITMA DIAGNOSIS KELAINAN MATA PADA ANAK
3.1 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Faktor Risiko
21
3.2 Kerangka Berpikir Kelainan Mata Pada Anak Berdasarkan Usia
22
DAFTAR PUSTAKA
Boediono, S., Djiwatno. 2006. Lensa, Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Edisi 3, Rumah Sakit Dokter Seotomo
Surabaya, pp.43-50.
Braverman, S. 2009. Eye, dalam Hay, WW., Levin, MJ., Sondheimer, JM.,
Deterding, RR., 2009. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics, Edisi 19.
Lange Mc-Graw Hill, pp.395-426.
Fredrick, DR. 2010. Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri, dalam
Riordan-Eva, P., Whitcher, JP., Vaughan & Ashbury-Oftalmologi Umum,
Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.354-363.
Ilyas, S. 2002. Kelainan Mata Pada Anak, Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Sagung
Seto, pp.233-236.
Kansky, JJ. 1994. Retina vascular disorders. Dalam: Kansky JJ, penyunting,
Clinical Ophthalmology. Edisi ke-3. London : Butterworth Heinemann.
pp.374.
Langston, DP. 1995. Retina and vitreous. Dalam: Langston DP. Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Boston : Little Brown. pp.155.
Lukitasari, A. 2012. Retinopati Prematuritas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol
12, No. 2. 2 Agustus 2012.
Nafianti, S. 2006. Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital
Medan, Dalam: Makalah Kedokteran Nusantara. Vol 39 No. 3. September
2006. pp.147-150. Diakses pada: 28 Juni 2020
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15625/1/mkn-sep2006-
%20%283%29.pdf>
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2017. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Edisi 1.
Rahman, A. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma, Dalam:
Majalah Kedokteran Andalas Oktober 2008, pp.57-63. Diakses pada: 28
Juni 2020
<http://repository.unad.ac.id/247/1/Deteksi_Dini_Dan_Penatalaksanaan_Ret
inoblastoma.pdf>
23
Riordan-Eva, P. dan Whitcher, J.P. 2007. Vaughan & Asbury: Oftalmologi
Umum, Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.346.
Riordan-Eva, P. dan Whitcher, J.P. 2007. Vaughan & Asbury: Oftalmologi
Umum, Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp.207.
Rozanah, S. 2013. Deteksi Dini Kelainan Mata pada Anak (Aspek Kesehatan
Anak). Rumah Sakit Bintaro. Diakses pada : 23 Juni 2020
[http://www.pdpersi.co.id/website/banten/data/kelainan_mata.pdf]
Soewono, W., Oetomo, M., Eddyanto. 2006. Penyakit Mata Luar, Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Mata, Edisi 3.
Rumah Sakit Dokter Seotomo Surabaya, pp.82-104.
24