Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM

“Perkembangan Islam di Minangkabau“

Dosen Pengampu :

Ibuk Dr. Nurfitria Dewi, S, Hum. MA

Disusun Oleh:

Kelompok 12

Arrazaq Alif : 1421039


Zelfani Zazkia Reginal : 1421040

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

IAIN BUKITTINGGI

TA 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunian-Nya, sehingga kami dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas makalah pada mata
kuliah Sejarah Peradadaban Islam atau yang disingkat “SPI” yang berjudul “Perkembangan
Islam di Minangkabau”.Serta tak lupa sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW atas petunjuk risalahnya, yang telah membawa zaman kegelapan ke zaman terang
benderang.

Tujuan dari makalah ini adalah memenuhi tanggung jawab untuk menyelesaikam tugas
penjelasan sebuah materi yang diberikan oleh Ibuk Dr. Nurfitria Dewi, S, Hum. MA, pada mata
kuliah SPI.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibuk Dr. Nurfitria Dewi, S, Hum. MA, selaku
dosen SPI yang telah memberkikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan kami selaku mahasiswa.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini menjadi baik lagi . Demikian yang dapat kami sampaikan,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Diakhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada anda semua yang telah berperan
didalam meyusun Karya Ilmiah ini dari awal sampai selesasi . Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan apa yang baik untuk segala usaha kita. Aamiin.

Kota Solok,31 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................................... 2

1.4 Manfaat .................................................................................................................................. 3

BAB 2 ISI .......................................................................................................................................... 4

2.1 Masuknya Agama Islam ke Minangkaba .................................................................................. 4

2.2 Proses Islamisasi di Minangkabau ........................................................................................... 9

2.3 Perkembangan Islam di Minangkabau...................................................................................... 10

2.4 Kerajaan Pagarruyung Islam .................................................................................................... 15

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................................ 18

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................. 18

3.2 Saran ....................................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika negara-negara Asia (ras kuning), karena kemajuan yang dicapai dalam
bidang ekonomi, semakin yakin pada kemampuan sendiri, umat Islam menegaskan
bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas,
legitimitas, kemajuan, kekuatan, dan harapan yang diwujudkan dalam slogan “Islam
adalah jalan keluar.” Kebangkitan Islam ini, dalam makna yang paling dalam dan paling
luas, merupakan fase akhir dari hubungan antara Islam dengan Barat; sebagai upaya
untuk menemukan “jalan keluar” yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi Barat, tetapi
didalam Islam. Islam bukan sekedar agama, tetapi juga sebagai way of life.
Pada awal 1970-an, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, praktik-praktik,
institusi-institusi, kebijakan-kebijakan, dan organisasi-organisasi Islam semakin
dipegang teguh dan didukung oleh satu milyar lebih umat Islam di seluruh dunia yang
membentang dari Maroko sampai Indonesia dan dari Nigeria hingga Kazakhstan. Proses
Islamisasi pertama kali terjadi dalam wilayah kultural dan kemudian bergerak ke bidang
politik dan sosial. Para tokoh politik dan intelektual, tertarik atau tidak, dan dengan cara
apa pun, tidak mampu menghindari proses ini atau berusaha untuk tidak
mengadaptasinya.
Konsep Islam sebagai kesatuan religio-politis mengandung arti bahwa negara-
negara inti – di masa lalu – hanya akan terwujud ketika kepemimpinan politik dan
keagamaan – kekhalifahan dan kesultanan – terwujudkan melalui sebuah institusi
kekuasaan (pemerintahan) tunggal. Absennya negara Islam saat ini yang berperan
sebagai negara inti merupakan faktor utama penyebab terjadinya konflik-konflik internal
maupun eksternal di kalangan masyarakat Islam. Kesadaran tanpa keterikatan menjadi
sumber kelemahan Islam serta memudahkan jalan bagi kemungkinan timbulnya
ancaman dari peradaban lain.
Sebuah negara Islam yang berperan sebagai negara inti harus memiliki sumber-
sumber perekonomian, kekuatan militer, kompetensi organisasional, identitas dan
komitmen terhadap Islam, baik dalam kaitan dengan kepemimpinan politis maupun
keagamaan ummah. Enam negara dalam konteks waktu yang berbeda menyebut diri
sebagai “pemimpin-pemimpin” Islam, yaitu Indonesia, Mesir, Iran, Pakistan, Arab
Saudi, dan Turki. Menurut Huntington (2003), dengan berbagai alasan yang berbeda, saat
ini tidak satu pun di antara ke-enam negara tersebut yang mampu berperan sebagai
negara inti.Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menurut
Huntington, dianggap kurang memenuhi syarat menjadi “pemimpin Islam” karena
terletak di wilayah “pinggiran” Islam yang jauh dari pusatnya, ke-Islam-annya kurang

1
begitu kental, memiliki “warna” Asia Tenggara, masyarakat dan kulturnya merupakan
campuran antara pengaruh-pengaruh pribumi, Islam, Hindu, Cina, dan Kristen.
Meskipun demikian, kebangkitan Islam yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia
cukup mendapat perhatian dunia.
Minangkabau merupakan salah satu daerah penting dalam sejarah Islam di
Indonesia karena dari daerah inilah bermulanya penyebaran cita-cita pembaharuan ke
daerah-daerah lain. Pembaharuan yang terjadi di Minangkabau dimulai dengan adanya
Gerakan Paderi pada awal abad ke19 yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam.
Pembaharuan selanjutnya dilakukan oleh Kaum Muda pada awal abad ke-20, yang
terutama dilakukan melalui pembaharuan sistem pendidikan agama lewat lembaga
Perguruan Sumatera Thawalib dan Diniyah School di Padangpanjang (Noer, 1988).
Meskipun jarang tercatat dalam buku sejarah, Kerajaan Islam Pagarruyung di
Minangkabau merupakan salah satu kerajaan yang sangat berpengaruh di Sumatera,
bahkan Marsden (1999), mengatakan bahwa wilayah kekuasaannya pernah meliputi
seluruh Sumatera.1

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan di atas terdapat beberapa aspek-aspek yang perlu mendapat
perhatian dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Kapan masuknya Islam di Minangkabau.


2. Apa saja teori masuknya Islam ke Minangkabau.
3. Bagaimana proses Islamisasi di Minangkabau.
4. Bagaimana proses perkembangan Islam di Minangkabau.
5. Bagaimana kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Minangkabau .
6. Bagaimana proses masuknya Islam ke lingkungan istana Kerajaan Pagarruyung.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan dan menambah wawasan
terhadap penulis dan pembaca, yakni:

1. Dapat mengetahui kapan masuknya Islam ke Minangkabau.


2. Dapat mengetahui apa saja teori-teori masuknya Islam ke Minangkabau.
3. Dapat mengetahui bagaimana proses Islamisasi di Minangkabau.
4. Dapat mengetahui bagaimana proses perkembangan Islam di Minangkabau.

1
Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah",
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 1-2.

2
5. Dapat mengetahui bagaimana kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam
di Minangkabau.
6. Dapat mengetahui bagaimana proses masuknya Islam ke lingkungan istana
Kerajaan Pagarruyung..

1.4 Manfaat
1. Dapat membuka wawasan penulis dan pembaca tentang kajian perkembangan
Islam di Minangkabau.
2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang kajian dari sejarah
masuknya Islam ke Minangkabau.
3. Meningkatkan kesadaraan penulis dan pembaca agar memajukan bangsa
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun berbeda agama,
ras, suku, bahasa.
4. Meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya Sejarah, yang membuat
perubahan terhadap bangsa Indonesia.

3
BAB 2

ISI

2.1 Masuknya Agama Islam ke Minangkabau


Para ahli sejarah sampai saat ini belum mempunyai kesepakatan mengenai waktu
yang tepat masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini terutama karena belum
ditemukannya bukti-bukti sejarah tertulis di Minangkabau. Peninggalan sejarah berupa
bangunan, seperti masjid, batu nisan lainnya, maupun catatan tertulis lainnya tidak dapat
memberikan kepastian. Beberapa sumber yang dapat dipercaya dan lebih memberikan
kepastian terutama berasal dari luar Minangkabau.

Persoalan masuknya Islam ke Minangkabau hingga saat ini masih


mengasumsikan dua hal, yaitu : pertama : Islam masuk melalui pesisir timur
Minangkabau atau Minangkabau Timur. Teori jalur timur ini didasarkan oleh
intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan
bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh
komoditi lada dan emas. Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal
terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini
kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam
Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka.
Pada waktu ini, Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil
lada dan emas di Minangkabau Timur. Kedua : intensifnya kegiatan perdagangan
pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke
tangan Portugis, telah pula mempengaruhi intensifnya penyebaran Islam. Pada
waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat
besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera.2

Berdasarkan berita dari China, Hamka (1976) mengatakan bahwa pada tahun 684
M sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Minangkabau. 3 Hal ini berarti
bahwa 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, orang Arab sudah mempunyai
perkampungan di Minangkabau. Sehubungan dengan itu Hamka memperkirakan bahwa
kata “Pariaman”, nama salah satu kota di pesisir barat Minangkabau berasal dari bahasa
Arab, “barri aman” yang berarti tanah daratan yang aman sentosa. Selanjutnya diduga
pula bahwa orang-orang Arab ini di samping berdagang juga berperan sebagai
2
Irhash A. Shamad, (2005), “Sejarah Agama Islam di Sumatera Barat I”, Seminar Hasil Penelitian “Sejarah
Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”, Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, hal. 3.
3
Pendapat ini dikemukakan Hamka dengan mengutip Sir Thomas Arnold yang juga mengutip dari W.P.
Groeneveldt, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, dikumpulkan dari sumber China, 1880.

4
mubaligh-mubaligh yang giat melakukan dakwah Islam, sehingga pada waktu itu
diperkirakan sudah ada orang Minangkabau yang memeluk agama Islam. 4

Sejalan dengan itu, M.D. Mansur (1970), juga menyimpulkan bahwa pada abad
ke-7 agama Islam sudah dikenal di Minangkabau Timur, mengingat pada waktu itu telah
ada hubungan dagang antara Cina di Asia Timur dan Arab di Asia Barat melalui Selat
Malaka. Pada waktu itu di Asia Barat, dengan Damaskus sebagai pusat, sedang berkuasa
Daulat Umayyah. Mereka sekaligus juga menguasai hubungan perdagangan antara
Timur (China) dan Barat (Laut Tengah). Walaupun demikian, dakwah Islam pada waktu
itu belumlah pesat dan malah kemudian berhenti dan akhirnya lenyap sama sekali akibat
larangan yang dilakukan oleh Dinasti T’ang dari China yang merasa kepentingannya di
Minangkabau terancam oleh Khilafah Umayyah. Adanya hubungan dagang laut yang
langsung antara Minangkabau sebagai produsen lada dengan Timur Tengah dilihat
China akan merugikannya sebagai pemasok lada. Pengaruh politik Khilafah Umayyah
dengan pengaruh ideologinya dipandang akan meruntuhkan wibawa dan kepentingan
ekonomi China sebagai “Pemimpin Asia” waktu itu.5

Berbeda dengan pendapat di atas, Ismail Ya’koeb (1956) memperkirakan agama


Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalan. Jalur pertama dari Selat Malaka
melalui Sungai Siak dan Kampar, lalu berlanjut ke pusat Minangkabau. Di zaman
kebesaran Malaka sudah ada raja-raja Islam di Kampar dan Indragiri. Dari sinilah
masuknya agama Islam ke bagian Timur Minangkabau dan seterusnya menyusup ke
pedalaman. Jalur yang kedua adalah dari Aceh masuk melalui pesisir barat Sumatera
terus ke Ulakan Pariaman, yang pada waktu itu merupakan pelabuhan Aceh terpenting
di Minangkabau, terutama pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Walaupun Aceh diduga sudah memeluk agama Islam sejak dini, namun bukti
sejarah tertulis yang pertama di Aceh adalah batu nisan yang ditemukan di Samudra,
Muara Sungai Pase yang berangka tahun 1292 M. Dari batu inilah diketahui adanya
Kerajaan Samudra Pasai yang sejak zaman pemerintahan Al-Malikus Shaleh telah
memeluk Islam. Menurut catatan Ibnu Batutah yang singgah di Pasai pada awal abad ke-
14, sebagaimana dikutip Munir (1993), Raja Al-Malik Az-Zahir adalah raja yang aktif
menyebarkan Islam ke Minangkabau. Mereka diduga beraliran Syi’ah, feodal, dan
bangsawan. Diperkirakan pula raja yang prtama di-Islam-kan di Minangkabau adalah
Raja Sumpurkudus yang kemudian disebut Raja Ibadat.

Buchari (1981), menerima pendapat bahwa agama Islam memasuki daerah


pedalaman Minangkabau melalui daerah Pariaman, lebih-lebih setelah Aceh berkuasa di
pesisir Barat Minangkabau mulai abad ke-16, yaitu sesudah jatuhnya Malaka pada tahun

4
Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah",
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 3.
5
Ibid.

5
1511 ke tangan Portugis. Sejalan dengan penguasaan Aceh atas daerah Pesisir,
muncullah kota-kota pelabuhan penting di Minangkabau, yaitu Pariaman, Tiku, Padang,
Indrapura, Painan, Salido, Batangkapas, dan lain-lain.

Mengenai cara masuknya agama Islam ke Minangkabau, ada yang berpendapat


bahwa orang Minangkabau adalah pelaku aktif. Sebagai suku bangsa dengan tingkat
mobilitas yang tinggi, pada waktu itu sudah banyak di antara mereka yang mengadakan
hubungan dengan Malaka. Mereka menghiliri Sungai Kampar dan Sungai Siak dan
kemudian berlayar menuju Malaka. Di Malaka mereka kemudian memeluk Islam,
karena tertarik dengan ajaran dan pola hidup orang Islam yang mereka temui. Sewaktu
pulang ke Minangkabau, mereka membawa dan memperkenalkan agama baru itu kepada
kerabat- kerabatnya di kampung halaman. Karena agama Islam yang datang ke
Minangkabau melalui daerah Siak, sampai sekarang di Minangkabau, terutama di daerah
Darek, dikenal istilah “Orang Siak” sebagai sebutan terhadap pelajar-pelajar madrasah
atau orang yang dianggap alim atau shaleh. Mereka bermazhab Syafi’i, bersifat
alim, sederhana, dan hemat. Berikut teori–teori masuknya islam ke Minangkabau:

Menurut Holt (1917), Islam masuk ke Aceh sekitar abad ke-14 dan dari Aceh
menyebar ke Minangkabau. Yaitu dari Pidie melalui Pariaman, menyelusup ke seluruh
daerah Minangkabau. Rute ini pulalah yang dilalui oleh paham-paham baru Islam yang
memasuki Minangkabau pada abad ke-19.

Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisabon, Portugis (yang lama menetap
di Malaka, yaitu pada tahun 1512 hingga 1515), pada tahun 1511. Atas inisiatif dan
dukungan kerajaan, ia melakukan perjalanan yang cukup panjang mengelilingi dunia.6 Ia
pun mengunjungi Jawa dan giat mengumpulkan informasi mengenai seluruh daerah
Malaya-Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental, sebagaimana yang
dikutip Ricklefs (1995), dia mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar raja-raja
Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih belum menganut
Islam. Menurut Pires, mulai dari Aceh di sebelah utara terus menyusur daerah pesisir
timur hingga Palembang, para penguasanya beragama Islam. Di sebelah selatan
Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera hingga pesisir barat, sebagian besar
penguasanya tidak beragama Islam. Di Pasai terdapat komunitas dagang Islam
internasional yang sedang berkembang pesat dan Pires menghubung-hubungkan
penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian para pedagang Muslim itu.
Akan tetapi, penguasa Pasai belum berhasil meng-Islam-kan penduduk pedalaman. Raja
Minangkabau dan seratus pengikutnya disebutkan sudah menganut agama Islam, tetapi
penduduk Minangkabau lainnya belum. Meskipun demikian, Pires menyebutkan bahwa
agama baru itu makin hari makin bertambah pemeluknya di Minangkabau.

6
Muh. Sidiq, (17 Mei 2020), Teori Masuknya Islam di Ranah Minang, Redaktur: Tori Nuariza, Islam Today, Ulas
Nusa.

6
Christian Snouck Hurgronje (1973), ia adalah seorang teolog asal belanda yang
pura-pura masuk islam dan berganti nama menjadi “Abdul Gafar” untuk mempelajari
islam di Makkah. Dia kemudian dikirim ke Aceh, tugasnya adalah untuk mempelajari
kultur masyarakat Aceh yang waktu itu sulit ditundukkan Belanda, “ia mencari
formulasi terbaik untuk mengalahkan keuletan rakyat Aceh yang benar-benar
menjadikan islam sebagai landasan melawan rintangan”. 7 Mengenai teori masuknya
islam ke Minangkabau ia berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan masuk
ke daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil
lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad sebelum
Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan Hulagu (raja Mongol) pada tahun
1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Hindustan yang
dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha penyebaran Islam ke pedalaman
seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi sendiri, dengan daya tariknya
pula, tanpa campur tangan penguasa negara.

Selain dari teori dan catatan dari orang-orang eropa, Witrianto di dalam jurnal
ilmiah yang berjudul “Agama Islam di Minangkabau” juga mengungkapkan beberapa
teori dan catatan tentang masuknya islam di wilayah Minangkabau oleh sejarawan
Indonesia yakni:8

Agus Salim (1983), sangat menyangsikan kebenaran pandangan di atas, baik


tentang waktu, pembawa dan cara masuknya Islam yang pertama ke Indonesia. Para
penulis Barat memang cenderung untuk menetapkan abad XII-XIII/ (12/13) sebagai
awal masuknya Islam yang dibawa oleh para pedagang dan pelayar dari daratan India.
Sambil berdagang mereka juga mengikat perkawinan dengan pribumi dan dengan
demikian Islam berkembang di Nusantara. Agus Salim sependapat bahwa Islam masuk
ke Indonesia abad VII-VIII/ (7/8) atau abad I-II Hijriah, tetapi yang membawanya
menurut Salim, adalah orang Arab langsung dari Arabia dan juga oleh bangsa Indonesia
sendiri, yaitu orang-orang Sumatera dan Jawa yang ikut berperan dalam kegiatan
perdagangan sampai ke pusat perdagangan Islam yang ada di Kanton, Tiongkok.

Teori mengenai Syekh Burhanuddin sebagai pembawa dan penyebar agama Islam
pertama ke Minangkabau, juga masih dipertanyakan. Ia adalah seorang tokoh yang
menempuh ilmu dari Aceh dan berdakwah dengan menyebarkan islam melalui metode
Thariqat Syatariyah dan pendidikan Al-Qur’an melalui lembaga surau.9 Thariqat yang

7
Muh. Sidiq, (17 Mei 2020), Teori Masuknya Islam di Ranah Minang, Redaktur: Tori Nuariza, Islam Today, Ulas
Nusa. Dan, Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif
Sejarah", Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 5.
8
Muh. Sidiq, (17 Mei 2020), Teori Masuknya Islam di Ranah Minang, Redaktur: Tori Nuariza, Islam Today, Ulas
Nusa.
9
Ibid.

7
dikembangkan Burhanuddin di perguruan yang dibangunnya di Ulakan Pariaman, adalah
aliran thariqat Syatariah yang tumbuh subur di Aceh pada abad XVII/ 17 M.

Namun hal ini tentu banyak ditentang oleh ”sejarawan lokal” karena menurut
mereka, walaupun belum terlembaga dengan baik dan islam belum menyebar dan
dipeluk oleh seluruh penduduk minang, tetapi islam sudah dikenal dan dianut dalam
komunitas-komunitas kecil jauh sebelum abad ke-17 M.10

Sedangkan jauh sebelum abad XVII/ 17 M penduduk Minangkabau sudah ada


yang menganut Islam, hanya belum merata. Daerah-daerah Darek memang terlambat
menerima Islam. Hal ini dihubungkan dengan keterangan yang menyatakan, bahwa ada
suatu utusan yang terdiri dari para penganut kepercayaan penyembah berhala dari daerah
ini menyerahkan surat kepercayaan mereka kepada Alfonso d’Albuquerque, seorang
Portugis yang menaklukkan Malaka. Perutusan ini berkemungkinan dikirim oleh
Kerajaan Pagaruyung yang beragama Hindu-Buddha (Salim, 1983).11

Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa,


agama Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-7. Sejak abad ke-7 itu mulai
dan makin berkembang ke seluruh pelosok. Dalam tahap awal Islam dianut penduduk,
kepercayaan lama, baik aninisme, dinanisme, Hindu-Buddha, termasuk kebiasaan-
kebiasaan lama masih berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya
pada awal abad ke-19 lahir Gerakan Pemurnian Islam yang dilakukan oleh kaum
Paderi. Akhirnya dapat dikatakan bahwa seluruh orang Minangkabau menganut agama
Islam. Umar Junus (2002) bahkan mengatakan bahwa kalau ada orang Minangkabau
yang tidak menganut agama Islam, maka itu adalah suatu keganjilan yang amat
mengherankan. Orang Islam boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan
lain, kecuali apa yang diajarkan Islam.

Masyarakat Minangkabau, yang didalamnya Islam tersebar luas, dibangun atas


dua asas yang seimbang, asas matrilineal dan asas patrilineal. Pada tingkat
perkampungan, organisasi klan, hukum perkawinan, pemilikan tanah dan harta kekayaan
dinyatakan dalam term matrilineal. Komunitas kampung disebut nagari, merupakan
penggolongan sejumlah klan yang dikelola oleh kepala kampung yang bergelar
penghulu. Islam membawa asas maskulin (laki-laki). Pada beberapa kampung asas
maskulin tersebut terlembagakan di dalam surau, tempat tinggal laki-laki muda, yang
juga berfungsi sebagai sekolah dan untuk kegiatan thariqat. Sekalipun demikian, pada
kenyataannya di Minangkabau terdapat keserasian antara bentuk organisasi matrilineal
dan bentuk organisasi patrilineal. Praktik perkawinan dan hukum kewarisan merupakan

10
Muh. Sidiq, (17 Mei 2020), Teori Masuknya Islam di Ranah Minang, Redaktur: Tori Nuariza, Islam Today, Ulas
Nusa.
11
Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah",
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 6.

8
campuran antara norma Islam dan norma tradisional Minangkabau. Kedua bentuk
hukum dan struktur sosial tersebut menyatu di dalam sebuah masyarakat yang tunggal
(Lapidus, 1999).12

2.2 Proses Islamisasi di Minangkabau


Menjelang Islam masuk, adat yang aslinya animistik, dinamistik, dan naturalistik
yang sudah berakulturasi dengan unsur-unsur Hindu-Buddha adalah satu-satunya
pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Setelah itu datanglah agama Islam yang
juga menuntut kepatuhan yang lebih ketat.

Muhammad Yamin menyatakan bahwa, sama halnya dengan adat suku bangsa
lain di Indonesia, maka “urat” dan “teras” adat Minangkabau adalah asli dan bersifat
purbakala. Teras purbakala ini kemudian dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan
Hindu-Buddha yang datang dari India. Pada zaman Adityawarman berkuasa di
Minangkabau, adat dipengaruhi pula oleh paham Tantrayana, suatu sekte dalam agama
Buddha yang dianut oleh Adityawarman. Pengaruh yang datang paling belakangan
adalah pengaruh Islam. 13 Kedatangan Islam dengan aturan-aturannya yang ketat dan
menuntut kepatuhan yang luar biasa dari para pemeluknya membuat pengaruh Hindu,
Buddha, dan Tantrayana hampir-hampir tidak berbekas di Minangkabau. Ada
kemungkinan bahwa pengaruh agama Hindu-Buddha di Minangkabau kurang kuat
berakar seperti di Jawa sehingga mudah tersapu oleh agama Islam yang datang
kemudian.

Proses Islamisasi berjalan terus secara damai melalui pengaruh yang tidak
dipaksakan dan berhasil dengan baik. Mungkin sebagaimana yang terjadi kemudian dan
sekarang masih berlaku di Mekkah, pengajian agama diberikan kepada orang
dewasa oleh para ulama (pada mulanya dapat saja oleh siapa yang sudah tahu) dan kitab
suci Al- Qur’an mulai diajarkan termasuk kepada anak-anak dan berhasil dijadikan
bahan bacaan harian putra-putri Minangkabau bila sudah berumur tujuh hingga delapan
tahun ke atas (Daya, 1995).

Sehingga kemudian jarang orang Minangkabau yang buta aksara Al- Qur’an,
walaupun pada umumnya tidak dapat menulisnya dan tidak mengerti isinya. Ini tentu
berkat lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari surau, masjid,
dan rumah-rumah mengaji. Hampir semua orang di Minangkabau belajar mengaji,

12
Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah",
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 2-7.
13
Muhammad Yamin, Telaga Alam Minangkabau, tanpa penerbit dan tanpa tahun, hal. 1.

9
adakalanya di surau, kalau di sekitar kediamannya sudah ada surau, atau di rumah
mengaji bagi daerah-daerah yang penduduknya masih jarang dan belum punya surau.

Rumah tempat mengaji adalah rumah keluarga yang disediakan untuk tempat
anak-anak mengaji. Guru mengaji biasanya salah seorang anggota rumah bersangkutan
atau guru lain yang didatangkan mengajar ke situ dan dibantu oleh murid yang
sudah agak lanjut kajinya. Anak-anak yang belajar mengaji biasanya disebut anak
mengaji, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hanya kelompok duduk mereka
dipisahkan, walaupun dalam ruang yang sama, tanpa tabir. Belajar mengaji biasanya tiap
malam sehabis shalat Maghrib sampai sekitar pukul 21. Seusai mengaji, umumnya anak-
anak pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada juga yang tidur di rumah mengaji itu,
paginya baru pulang.

Mengaji di surau tidak berbeda dengan mengaji di rumah mengaji. Hanya anak
mengaji di surau lebih banyak, dan pengaturan kelompoknya tidak hanya laki-laki dan
perempuan, melainkan juga diadakan pengelompokan menurut tinggi rendah kaji.
Sehabis mengaji, semua anak perempuan pulang ke rumah masing-masing atau ke
rumah temannya, anak laki-laki tidur di surau. Sebelum tidur biasanya mereka masih
mengadakan berbagai aktivitas, seperti belajar pencak silat, belajar pidato adat, belajar
kesenian kampung kalau ada, bercerita tentang segala sesuatu yang mereka alami siang
hari sebelumnya, atau merencanakan apa-apa yang akan diperbuat esok hari, mendengar
kaba atau dongeng dari tukang-tukang kaba yang biasanya terdiri dari orang-orang
dewasa yang ikut tidur bersama di surau tersebut.

Dari segala aktivitas yang berlangsung di surau, jelas bahwa “surau di


Minangkabau merupakan pusat penyiaran agama bagi seluruh masyarakat”. Tradisi adat
pun dikembangkan dari dan oleh surau, karena kaum adat tidak memiliki lembaga
pendidikan untuk diri mereka. Proses ini akhirnya menghasilkan lapisan masyarakat
Islam yang cukup tangguh di bawah naungan “alim-ulama” menandingi fungsi dan
peranan “ninik mamak” pemuka adat.14

2.3 Perkembangan Islam di Minangkabau


Sumatera Barat, sebagaimana yang diketahui sekarang adalah salah satu
wilayah geografi politik Indonesia yang secara historis sebenarnya merupakan
wilayah kultural Minangkabau. Secara tradisional wilayah Minangkabau terdiri dari
dua kawasan utama, yaitu darek dan rantau.

14
Witrianto, (2010), “Agama Islam Di Minangkabau”, Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah",
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 9.

10
Kedua kawasan ini oleh masyarakatnya disebut dengan Alam
Minangkabau. Luas kawasan ini diperkirakan sekitar 18.000 mil bujur sangkar.
Luas ini berarti 11% dari luas Pulau Sumatera atau kurang dari 3% dari luas wilayah
Indonesia sekarang. Kawasan darek merupakan pusat atau inti Alam Minangkabau
yang terletak di daerah dataran tinggi yang membentang diantara kumpulan Bukit
Barisan bagian tengah yang membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera.
Kawasan ini dipagari oleh tiga buah gunung berapi yang menjulang tinggi yakni
Gunung Merapi (9500 kaki), Gunung Singgalang (9400 kaki), dan Gunung Sago
(5000 kaki). Kawasan darek disebut juga dengan Luhak Nan Tigo, karena terdiri dari
tiga wilayah yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limapuluh Kota.
Kawasan rantau pada mulanya adalah daerah koloni masyarakat Minangkabau.
Mereka pergi meninggalkan daerah asal untuk mencari penghidupan baru di luar
wilayah luhak inti. Kawasan rantau yang pertama terletak di sebelah timur kawasan
darek yaitu daerah yang terletak di sepanjang sungai-sungai yang bermuara di
Selat Malaka seperti Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Batang
Hari, dan Sungai Indragiri. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi daerah
pemukiman secara permanen dan secara kultural ia tetap menghubungkan diri
dengan kawasan darek. Oleh karena letaknya di bagian pinggiran, maka posisi
rantau menjadi strategis bukan saja sebagai pintu gerbang ke dan dari dunia luar
tetapi juga sebagai tempat pertama - masuknya ide-ide baru untuk diperkenalkan ke
kawasan inti Alam Minangkabau.15

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai


oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah
dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang
didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan. Sentra tarikat inipun
kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan
aliran tashauf di wilayah pedalaman Minangkabau menarik untuk dicermati, karena
peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui
batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri. Para tokoh sufi pedalaman lebih
banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Perkembangan
ini ternyata telah melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat
pertemuannya dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis
kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat
Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa
daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding
Syathariyah sendiri.

15
Irhash A. Shamad, (2005), “Sejarah Agama Islam di Sumatera Barat I”, Seminar Hasil Penelitian “Sejarah
Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”, Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, hal. 2-3.

11
Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai
dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf
dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan
kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi. Meskipun perkembangan Islam
di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang
terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini
sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar
kultural masyarakat Minangkabau sendiri.

Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana


lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau itu, tidak dapat
dilepaskan dengan fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin
sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di
wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi
terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan
yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam
perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan
sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif
sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput
diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma
sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis
agama ini menjadi terabaikan.

Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa penyiaran agama Islam kepada


rakyat Minangkabau sudah lebih intensif dilakukan oleh ulama-ulama Aceh bersamaan
waktunya dengan penguasaan pantai barat Sumatera oleh Aceh pada akhir abad ke-
16 dan awal abad ke-17. Pada waktu itu pusat-pusat perdagangan di pantai Barat
Sumatera dikuasai oleh Aceh, dan daerah itu menjadi perantara masuknya pengaruh
Islam kepedalaman Minangkabau (Martamin, 1986).16

Setelah Islam masuk ke Minangkabau, agama ini tidak serta merta menjadi agama
masyarakat. Menurut A.S. Harahap (1951), Islam berkembang di Minangkabau secara
perlahan-lahan. Cara ini dilakukan karena tidak mudah mengubah keyakinan suatu
masyarakat dengan cepat, apalagi Islam masuk ke Minangkabau dengan cara damai,
bukan dengan paksaan.

Para mubaligh menyebarkan Islam di Minangkabau dengan jalan menanamkan


budi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada masyarakat. Masyarakat

16
Irhash A. Shamad, (2005), “Sejarah Agama Islam di Sumatera Barat I”, Seminar Hasil Penelitian “Sejarah
Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”, Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, hal. 9.

12
Minangkabau yang terkesan dengan sifat-sifat mubaligh Islam itu kemudian
mengikutinya. Selanjutnya, setelah mempelajari Islam banyak pula penduduk
Minangkabau yang ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di Nusantara
dengan jalan yang lebih baik dan teratur, seperti yang terjadi kemudian ketika “Datuk Ri
Bandang dan Datuk Ri Patimang menyebarkan Islam di Makassar”.

Kerajaan Aceh yang selama berkuasa di sepanjang pesisir Barat Minangkabau di


samping membawa misi politik juga membawa misi agama (Harahap, 1951). Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, agama Islam berkembang pesat di Aceh sehingga
mendapat julukan sebagai Serambi Mekkah. Menurut riwayat, seorang ulama sufi
penganut thariqat Naqshabandiyah dari Aceh yang berkunjung ke Pariaman, sempat
menetap di Luhak Agam dan Lima Puluh Kota. Kemudian Syekh Burhanuddin, murid
Syekh Abdurrauf Singkil dari Aceh, seorang penganut thariqat Syattariyah, datang dan
bermukim di Ulakan Pariaman.

Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, Syekh Burhanuddin lebih menujukannya


kepada anak-anak yang masih dalam keadaan “bersih” dan mudah dipengaruhi. Syekh
Burhanuddin mengajak anak-anak bermain di halaman surau yang didirikannya. Syekh
Burhanuddin sendiri ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak itu. Setiap
memulai permainan Syekh Burhanuddin selalu mengucapkan
“bismillahirrahmanirrahim” dan bacaan doa-doa lainnya. Mendengar ucapan Syekh
Burhanuddin anak-anak merasa heran dan ingin mengetahui apa yang telah dibacanya.
Pada saat itulah Syekh Burhanuddin menunjuki anak-anak akan kebesaran Allah, Tuhan
yang seharusnya disembah, yang menciptakan dan mengatur alam semesta (Boestami,
1981). Melalui bermain bersama ini, tanpa disadari ajaran Islam sudah mulai tertanam di
lubuk hati anak-anak itu. Tingkah laku dan budi pekerti anak-anak sedikit demi sedikit
diperbaiki menurut moral Islam.

Ajaran Syekh Burhanuddin ini kemudian disampaikan oleh anak-anak itu kepada
orangtua mereka di rumah masing-masing. Orangtua mereka pun menerima pula dengan
baik ajaran Islam yang mereka dengar dari Syekh Burhanuddin. Akhirnya mereka
menjadi pemeluk Islam yang taat menjalankan ibadah. Bersama dengan Syekh
Burhanuddin mereka melakukan shalat berjama’ah dan belajar membaca ayat suci Al-
Qur’an.

Orang yang belajar agama Islam kepada Syekh Burhanuddin semakin lama
semakin bertambah banyak, sehingga surau tempat mereka belajar tidak mampu lagi
menampung murid-murid yang hendak belajar. Syekh Burhanuddin kemudian
mendirikan surau baru sebagai tempat khusus untuk menampung murid-muridnya dalam
menuntut ilmu agama.

13
Ajaran Syekh Burhanuddin semakin mendapat sambutan luas dari masyarakat,
murid-muridnya bahkan banyak pula yang datang dari pedalaman Minangkabau,
terutama dari “Agam dan Lima Puluh Kota”. Selanjutnya murid Syekh Burhanuddin
Ulakan inilah yang menyebarluaskan ajaran Islam ke pedalaman Minangkabau (Ibid).

Pengaruh Syekh Burhanuddin di daerah pedalaman Minangkabau menjadi besar


sekali. Para tuanku dan guru agama terpenting di daerah Darek pada akhir abad ke-18
hampir semuanya belajar di Ulakan. Di Pamansiangan, Luhak Agam, kemudian
didirikan pula pusat pengajian aliran Syattariah dengan pemimpinnya Tuanku
Pamansiangan. Meskipun demikian, dari Luhak Agam masih ada yang menuntut ilmu ke
Ulakan kepada Syekh Burhanuddin. Salah seorang di antaranya yang terpandai adalah
“Tuanku Nan Tuo yang biasa dikenal dengan Tuanku Koto Tuo” (Martamin, 1986).

Tuanku Koto Tuo berasal dari “Kampung Koto Tuo, Ampek Angkek Canduang,
Kabupaten Agam”. Berbeda dengan Tuanku Pamansiangan yang menganut aliran
“Thariqat Syattariyah”, Tuanku Koto Tuo sekembalinya ke kampungnya terpengaruh
oleh aliran “Thariqat Naqsabandiyah”. Tuanku Koto Tuo menganggap Thariqat
Naqsabandiyah lebih dekat dengan ajaran “Sunnah wal Jama’ah” dan lebih mudah
diterima masyarakat. Kampung Koto Tuo akhirnya berkembang menjadi pusat
pengajaran fiqih Islam dan Al- Qur’an serta Hadits. Masalah hukum, kepercayaan dan
seluruh aspek kehidupan sosial juga dipelajari di sana. Tuanku Koto Tuo juga
mengajarkan masalah keduniawian dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau. Untuk
memudahkan pengembangan ajaran Islam, pengajaran lebih difokuskan untuk
“menanggulangi kemerosotan moral dan kebobrokan masyarakat waktu itu”.

Tuanku Koto Tuo mengajar murid-muridnya supaya bertindak tegas dalam


masyarakat. Namun dalam menyiarkan Islam dilakukan dengan perlahan-lahan dan
meyakinkan. Dengan cara dan keyakinan itulah Tuanku Koto Tuo bersama murid-
muridnya melakukan pembaharuan dalam masyarakat Minangkabau waktu itu.

Perkembangan Islam di Minangkabau pada masa itu diwarnai pula dengan


perbedaan pendapat yang cukup mendasar sampai memasuki awal abad ke-19, ketika di
“Pandai Sikek” muncul “Kaum Paderi atau Kaum Putih” yang menganut paham
Wahabi di bawah pimpinan Haji Miskin yang baru pulang dari Mekkah. Pengikut Haji
Miskin adalah murid-murid Tuanku Koto Tuo yang memang sudah berkeinginan untuk
mengadakan pembaharuan di Minangkabau. Haji Miskin dan para pengikutnya
mendapati praktik-praktik keagamaan di Minangkabau yang sangat mengkhawatirkan,
seperti guru-guru agama masih berkhidmat kepada kuburan yang dianggap keramat,
sabung ayam menjadi menu harian, judi merajalela, dan sebagainya (Ibid).

Gebrakan yang dilakukan Kaum Paderi dimulai dengan menata kekuatan pada
tahun 1801-1806. Tahun 1826-1837, mereka mulai menebar pengaruh, termasuk dengan

14
cara kekerasan, yang membawa mereka dalam perselisihan panjang dengan kaum adat.
Belanda yang sedang berusaha meluaskan pengaruhnya mendapatkan jalan dengan
mendukung “Kaum Adat”, sehingga gerakan agama kemudian berubah menjadi
perlawanan menantang masuknya pengaruh dan kekuasaan Belanda di Minangkabau
yang terkenal dengan “Perang Paderi”. Meskipun pada akhirnya Kaum Paderi kalah,
namun banyak perubahan yang terjadi dalam praktik keagamaan di Minangkabau dan
Minangkabau pun memasuki fase baru.17

2.4 Kerajaan Pagarruyung Islam


Secara perlahan agama Islam kemudian juga memasuki kehidupan kaum
bangsawan di istana Pagarruyung. Raja-raja yang sebelumnya “beragama Buddha
beralih memeluk Islam”. Mansoer (1970), memperkirakan raja yang pertama memeluk
Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa sekitar tahun 1560. 18 Sebelumnya, walaupun
Kerajaan Pagarruyung masih merupakan kerajaan Buddha/ Bhairawa sejak abad ke-15,
sebagian penduduk Minangkabau sudah memeluk agama Islam. “Baru setelah Sultan
Alif dan keluarga raja beragama Islam, seluruh Alam Minangkabau dapat dipandang
menjadi daerah Islam”.
Sultan Alif Khalifatullah berasal dari keluarga raja Pagarruyung, bukan datang
dari luar. Dia diangkat sebagai raja oleh Basa Ampek Balai dan Rajo-rajo Selo. Sesuai
dengan ajaran Islam, hampir semua nama generasi masa itu disesuaikan dengan nama-
nama yang berbau Islami (Salih, 1985).
Kerajaan Pagarruyung Islam tidak mempunyai angkatan perang seperti Aceh,
Banten, Demak, dan Kerajaan Islam lainnya, yang setelah masuk Islam segera
membentuk angkatan perang yang kuat. Nagari diperintah dan diatur oleh penghulu-
penghulu yang juga mengatur hubungan dengan sesama nagari. Hukum tertulis tidak
ada, yang ada hanyalah hukum tak tertulis, yang diwariskan secara lisan secara turun
temurun berupa pepatah-petitih.
Setelah Sultan Alif wafat, dia digantikan oleh Yang Dipertuan Raja Bagewang
II. Raja ini adalah kemenakan dari Raja Bakilek Alam (Bagewang I) yang sebelumnya
menjadi raja ketika kerajaan masih bercorak Buddha Bhairawa. Raja Bagewang II
berbeda dengan mamaknya, semasa pemerintahan Sultan Alif, dia telah memeluk
agama Islam.
Raja selanjutnya adalah Sultan Abdul Jalil (Ibid). Dalam masa pemerintahan raja
inilah surat-menyurat sudah mempergunakan cap/ stempel yang bertuliskan huruf
Arab. Dia adalah kemenakan “Raja Jambi” yang menerima waris untuk menduduki

17
Irhash A. Shamad, (2005), “Sejarah Agama Islam di Sumatera Barat I”, Seminar Hasil Penelitian “Sejarah
Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”, Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, hal. 9-12.
18
Jika mengikut pendapat Tome Pires yang mengunjungi Jawa dan Sumatera pada tahun 1511, Raja Minangkabau
pada waktu itu sudah menganut agama Islam.

15
jabatan Raja Alam di Kerajaan Pagarruyung. Sebelumnya Abdul Jalil memangku
jabatan sebagai “Raja Adat” di Buo. Setelah menjadi raja dia diberi gelar “Yang
Dipertuan Raja Alam Muningsyah I”. Pada masa kekuasaannya, Sultan Abdul Jalil
berhubungan dengan kerajaan “Negeri Sembilan di Malaysia” dan dialah yang
mengangkat raja di sana.
Pengganti Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertuan Rajo Basusu Ampek
bergelar Raja Alam Muningsyah II (1615 M). Dalam masa pemerintahannya, raja tidak
banyak berbuat, akan tetapi keadaan kerajaan dan daerah rantau senantiasa aman. Raja
selanjutnya adalah Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M). Pemerintahannya bercorak
desentralistis, berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, lazim disebut “Tungku nan
Tigo Sajarangan”, atau “Tali Tigo Sapilin”. Ada tiga orang raja yang berkuasa, yaitu
“Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpurkudus, dan Raja Alam di Pagarruyung”.
Ketiganya disebut juga “Rajo Nan Tigo Selo”.
Raja Adat adalah pemegang Adat dan Limbago. Keturunannya sampai sekarang
masih disebut “Orang Istana”, keturunan raja-raja di Pagarruyung. Raja Ibadat adalah
pemegang Hukum Titah Allah, penegak imam di Alam yang memegang tinggi titah
Allah, dan mengerjakan suruhan Nabi. Raja Alam merupakan koordinator dari adat dan
ibadat.
Di bawah kedudukan raja terdapat “Basa Ampek Balai” (Dewan Empat
Menteri), yang terdiri dari Datuk Bendaharo di Sungaitarab, Tuan Kadhi di
Padanggantiang, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Makhudum di Sumanik. Datuk
Bendaharo yang mengetuai Basa Ampek Balai, bertugas menjalankan pemerintahan
seperti yang digariskan oleh Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah Basa Ampek Balai terdapat
manti yang jumlahnya banyak. Di bawah manti terdapat “dubalang” (hulubalang) yang
jumlahnya lebih besar daripada penghulu. Penghulu dan hulubalanglah yang
berhubungan langsung dengan rakyat. Hulubalang bertugas mengamankan anak nagari.
Sebagai “pagar kampung”, ia menjaga ketertiban dan keamanan dalam nagari.
Kerajaan Pagarruyung diperintah berdasarkan Adat dan Syarak seperti
dirumuskan dalam pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, sampai
saat datangnya pemurnian agama Islam di Minangkabau yang dilakukan oleh “ Haji
Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik”. Setelah tiga orang haji tersebut pulang ke
Minangkabau (1803) dimulailah usaha pemurnian ajaran agama melalui “Gerakan
Paderi” yang berhadapan dengan Nan Dipatuan Rajo Alam Pagarruyung yang terakhir,
Arifin Muning Syah Alam, bertempat tinggal di Gudam (sebuah jorong di
Pagarruyung).
Gerakan Paderi yang dipimpin oleh “Harimau Nan Salapan” (julukan untuk
delapan orang tokoh Gerakan Paderi) meluas sampai ke Tanah Datar, mereka mendapat
perlawanan yang sengit, karena Tanah Datar adalah pusat dan kedudukan “Raja
Pagarruyung”. Keluarga raja dan para penghulu masih mempunyai wibawa besar di
mata rakyat. Namun peristiwa yang sangat mengejutkan penduduk yaitu terjadi

16
pembunuhan keluarga raja Pagarruyung di Koto Tangah yang dilakukan oleh Kaum
Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao (1809). Golongan
adat dan hampir seluruh anggota keluarga raja di Pagarruyung punah. Hanya Raja
Arifin Muning Alam Syah dan seorang cucunya dapat melarikan diri dari kepungan
dan pembunuhan Kaum Paderi. 19

19
Irhash A. Shamad, (2005), “Sejarah Agama Islam di Sumatera Barat I”, Seminar Hasil Penelitian “Sejarah
Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”, Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, hal. 12-14.

17
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Agama Islam diyakini sudah memasuki Minangkabau pada abad ke-7, yaitu
dengan adanya perkampungan orang Arab di Pariaman. Meskipun demikian, pada saat
itu hanya sebagaian kecil saja orang Minangkabau yang menganut agama Islam,
sebagian besar masih menganut kepercayaan aninisme, dinanisme, atau Hindu-Buddha.

Namun ada juga yang beranggapan Islam masuk ke Minangkabau antara abad ke-
12 dan 13 M, yang diperkenlkan oleh mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab
yang bermukim di Minangkabau timur, terutama di daerah aliran sungai yang berhulu ke
pusat kerajaan Minangkabau di pedalaman. Perluasan kerajaan Pasai dan kemudian
Samudera Pasai ke Minangkabau timur sangat berpengaruh bagi intensifnya penyebaran
Islam di wilayah ini dan wilayah Minangkabau lainnya.

Agama Islam baru menjadi agama “resmi” orang Minangkabau setelah Sultan
Alif memeluk agama Islam. Sejak itu agama Islam ditetapkan sebagai agama kerajaan
dan semua orang Minangkabau kemudian menjadi penganut Islam. Orang Minangkabau
yang tidak menganut agama Islam sejak saat itu dianggap merupakan suatu
penyimpangan dan tidak lagi dianggap sebagai orang Minangkabau.

Proses Islamisasi di Minangkabau terutama melalui pengajaran yang diberikan di


masjid, surau, dan rumah-rumah mengaji. Surau menjadi lembaga pembinaan kaum
muda yang sangat efektif dalam penyebaran Islam sampai ke wilayah pedalaman. Di
samping belajar agama, di surau generasi muda juga mempelajari adat istiadat
Minangkabau, karena lembaga adat tidak mempunyai wahana pengajaran. Menyatunya
tempat pengajaran agama dan adat di surau menyebabkan adat dan agama di
Minangkabau tidak bisa dipisahkan.

Islam berkembang di Minangkabau bukan dengan paksaan, tetapi dengan cara


damai. Karena ajaran Hindu-Buddha tidak begitu kuat di Minangkabau, ajaran Islam
dapat diterima dengan lebih mudah di Minangkabau, sehingga setelah Islam masuk
ajaran Hindu-Buddha menjadi hampir tak berbekas, tidak seperti di Jawa yang masih
sangat kuat pengaruhnya hingga hari ini. Terdapat dua thariqat utama di Minangkabau di
awal perkembangannya, yaitu Thariqat Syattariyah dan Naqsabandiyah. Thariqat
Syattariyah berpusat di Ulakan yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin yang
menerimanya dari Syekh Abdurrauf di Aceh, yang menerimanya pula dari Syekh

18
Ahmad Qusyasyi di Madinah. Thariqat Naqsabandiyah berpusat di Cangking dengan
pemimpinnya Tuanku Nan Tuo.

Kerajaan Pagarruyung berubah coraknya dari Hindu-Buddha menjadi kerajaan


Islam setelah Sultan Alif memeluk agama Islam. Peristiwa ini kemudian diikuti pula
oleh masuk Islamnya rakyat Minangkabau yang sebelumnya sebagian masih menganut
menganut aninisme, dinanisme, atau Hindu-Buddha. Setelah menjadi kerajaan Islam, di
Minangkabau kemudian juga dikenal adanya Rajo Nan Tigo Selo yang terdiri dari Raja
Adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpurkudus, dan Raja Alam di Pagarruyung.

3.2 Saran
Sebagai rakyat Indonesia sudah seharusnya kita mengetahui dan mengenal
“Sejarah-sejarah” di Indonesia dengan baik. Maka dengan disusunya makalah yang
berjudul “Perkembangan Islam di Minangkabau” ini mudah-mudahan ada manfaat bagi
penulis dan pembaca, namun bagi pembaca yang haus akan ilmu dan belum puas dengan
pembahasan di atas, dikarenakan makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka penulis menyarankan bacalah buku-buku atau sumber-sumber yang
lain dan yang terpenting kaji lah Al-Qur’an maka niscaya tidak akan ada habisnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Shamad, I. A. (2005). Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat I. Seminar Hasil
Penelitian "Sejarah Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia". 1 / 05,
pp. 1-35. Bogor: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

Witrianto. (2010). Agama Islam Di Minangkabau. Event Sejarah "Pendidikan Dalam Perspektif
Sejarah" (pp. 1-16). Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Sidiq, Muh. (17 Mei 2010). " Teori Masuknya Islam di Ranah Minang". Redaktur: Tori Nuariza, Islam
Today, Ulas Nusa. Link: https://islamtoday.id/ulas-nusa/20200517161934-9517/teori-
masuknya-islam-di-ranah-minang/

Nasir, Muhammad. (17 Agustus 2019). "Islamisasi Minangkabau". Padang: Blogspot


Muhammad Nasir. Link: http://nasirsalo.blogspot.com/2019/08/islamisasi-
minangkabau.html

Anda mungkin juga menyukai