Anda di halaman 1dari 185

Prof.

Dr. Budihardjo M.Ag.


Prof. Dr. Budihardjo M.Ag.

ISBN 978-623-6862-24-7

9 786236 862247
PENGANTAR
ILMU TAFSIR AL-QUR`ÂN

Prof. Dr. Budihardjo M.Ag.

Editor:
Ahmad Mifdlol Muthohar

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
PENGANTAR ILMU TAFSIR AL-QUR`ÂN

Penulis:
Prof. Dr. Budihardjo M.Ag.

Editor:
Ahmad Mifdlol Muthohar

Cetakan: 2020

15,5 x 23 cm; vii + 176 hlm.

ISBN: 978-623-6862-24-7

Penerbit:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Salatiga
Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga
E-mail: lp2miainsalatiga@gmail.com

Anggota IKAPI & APPTI

All right reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari
penerbit.
KATA PENGANTAR

A lhamdulillah, puji syukur disampaikan ke hadirat Allah


swt., Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah
memberikan limpahan karunia-Nya, berupa potensi ber­pikir,
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini yang berjudul
Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur`ân. Buku yang ada di tangan
pembaca ini adalah materi yang perlu diketahui dan diajarkan
kepada para siswa, mahasiswa, dan bagi siapa saja yang ingin
mendalami ilmu tafsir al-Qur`ân.
Selesainya penulisan buku ini, penulis meng­ucap­­kan
banyak terima kasih kepada direktur pasca sarjana yang telah
men­dorong terbitnya buku yang sederhana ini, tentu­­nya kepa­
da banyak pihak yang juga telah memberikan bantuan kepada
penulis, baik moril maupun materiil, yang tidak mungkin
dapat disebutkan satu persatu, semoga men­jadi amal shalih
dan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT
Semoga buku ini dapat menjadi sumbangan ilmiah, dan
memenuhi secercah harapan bagi yang ingin mendalami dan
mempelajari ilmu tafsir al-Qur’ân. Saran dan kritik senan­
tiasa penulis harapkan dari semua pihak, demi untuk kesem­
purnaan buku ini.
Akhir kata, kepada Allah SWT. penulis mohon taufiq dan
hidayah-Nya, semoga buku ini diterima sebagai amal bakti
yang berguna dan bermanfaat, amin.

Salatiga, 23 November 2020


Penulis

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
‫ ض ` ء‬dh
‫ ب‬b ‫ ط‬th
‫ ت‬t ‫ ظ‬zh
‫ ث‬ts ‫‘ ع‬
‫ ج‬j ‫ غ‬gh
‫ ح‬h ‫ ف‬f
‫ خ‬kh ‫ ق‬q
‫ د‬d ‫ ك‬k
‫ ذ‬dz ‫ ل‬l
‫ ر‬r ‫ م‬m
‫ ز‬z ‫ ن‬n
‫ س‬s ‫ و‬w
‫ ش‬sy ‫ ه‬h
‫ ص‬sh ‫ ي‬y

B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap

C. Vokal Pendek
Vokal pendek fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan
dhammah ditulis u

v
D. Vokal Panjang
Vokal Panjang ditulis: a - â i - î u - û

E. Kata sandang Alif + lam


Kata sandang alif + lam ditulis al- (dengan tanda peng­
hubung)

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................... iii


Pedoman Transliterasi.......................................................... v
Daftar Isi ................................................................................ vii
Bab I ‘Ulûm Al-Qur`Ân................................................ 1
Bab II Nuzûl Al Qur`Ân................................................ 13
Bab III Asbâb Al-Nuzûl................................................... 18
Bab IV Al-Makkî Dan Al-Madanî..................................... 22
Bab V Al-Naâsikh Dan Al-Mansûkh............................ 27
Bab VI Al-Munâsabah..................................................... 34
Bab VII Fawâtih Al-Suwar............................................... 46
Bab VIII Al-Muhkam Dan Al-Mutasyâbih...................... 53
Bab IX Mukjizat Al-Qur`Ân........................................... 62
Bab X Rasm Al-Qur`Ân................................................. 76
Bab XI Kisah-Kisah Dalam Al-Qur`Ân......................... 88
Bab XII Amtsâl Al-Qur`Ân.............................................. 96
Bab XIII Aqsâm Alqur`Ân................................................. 113
Bab XIV Metode Penafsiran Al-Qur`Ân.......................... 120
Bab XV Kaidah-Kaidah Tafsir.......................................... 150
Daftar Pustaka....................................................................... 173

vii
BAB
I

‘ULÛM AL-QUR`ÂN

1. Pengertian ‘Ulûm Al-Qur`ân


Kata ‘ulûm (‫ )علوم‬bentuk jamak dari kata ‘ilm berarti ilmu.
Kata ‫ القرآن‬merupakan isim mashdar yang sepadan dengan
qiraât (Sâlim Muhsin, t.th.: 4). Kata tersebut mempunyai arti
pe­ngumpulan dan penghimpunan (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, 1967, V: 78). Menurut al-Râghib al-Ashfahânî kata
tersebut berarti kumpulan beberapa huruf dan beberapa kata,
sehingga satu dengan yang lainnya menjadi rapi. Kitab suci
yang diturunkan pada Nabi SAW dinamai al-Qur`ân karena
merupakan kumpulan dan himpunan intisari semua ilmu pe­
ngetahuan (1992: 668-669). Menurut Ibrâhîm Anîs kata qara`a
bila dihubungkan dengan kalam Allah berarti kalam Allah
yang perlu dibaca (Ibrâhîm Anîs et.all, 1972: 722). Jadi al-
Qur`ân menurut bahasa dapat berarti himpunan, kumpulan
dan bacaan.
Sedangkan al-Qur`ân menurut istilah, ada beberapa pen­
dapat, yaitu:
Menurut Shubhî al-Shâlih, al Qur’an adalah kalam Allah
yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tertulis dalam mushhaf, dinukilkan secara mutawâtir dan
merupakan ibadah bagi yang membacanya (Shubhî al-Shâlih,
1977: 21).
Menurut Muhammad Ismâ’îl Ibrâhîm, al-Qur`ân adalah
kalam Tuhan yang diturunkan melalui al-Rûh al-Amîn (M­a­
laikat Jibril) kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Nabi

1
Muhammad SAW. sebagai hidayah (petunjuk) bagi seluruh
umat manusia (Ismâîl Ibrâhîm, t.th.:12).
Menurut Muhammad Sâlim Muhsin, al-Qur`ân adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad
SAW., tertulis di dalam mushhaf, dinukilkan kepada kita
dengan mutawâtir, ibadah bagi orang yang membacanya dan
di­akhiri dengan surat yang terpendek (Sâlim Muhsin, t.th.: 5).
Menurut Muhammad Abû Syahbah, al-Qur`ân adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada junjungan kita Muham­
mad SAW. yang lafazhnya merupakan mukjizat , ibadah bagi
yang membacanya, dinukilkan secara mutawâtir, berfaedah
untuk menguatkan dan meyakinkan, ditulis dalam mushhaf, di­
awali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri surat al-Nâs, meru­
pakan petunjuk Allah kepada makhluk-Nya, hukum Tuhan
untuk penghuni dunia, penutup kitab-kitab samawy dan untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat (Abû Syahbah,
1969: 7).
Dari penjelasan berbagai pendapat tersebut, menunjuk­
kan bahwa pengertian yang disampaikan oleh Muhammad
Abû Syahbah adalah pengertian yang paling panjang, sebab
beliau menjelaskan faedah al Qur’an yaitu untuk menguat­
kan dan meyakinkan serta sebagai petunjuk, penutup semua
kitab-kitab samawi yang diawali dengan surat al-Fâtihah dan
diakhiri denga surat al-Nâs. Sedangkan yang lainnya tidak
men­cantumkan hal itu, kecuali Muhammad Ismâ’îl Ibrâhîm
(14) memberi keterangan al Qur’an sebagai petunjuk, namun
beliau tidak mencantumkan sebagai mukjizat, ibadah bagi yang
membacanya, ditulis dalam mushhaf dan dinukilkan secara
mu­tawâtir. Muhammad Sâlim Muhsin, tidak mencantumkan
kata mukjizat dalam menyampaikan pendapatnya tentang
pengertian al Qur’ant. Pendapat Shubhi al-Shâlih, menurut pe­
nulis adalah yang paling baik tetapi perlu ditambah kalimat:
disampaikan melalui malaikat Jibril, diawali dengan surat al-
Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs.

2 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Berdasarkan beberapa pengertian al-Qur`ân tersebut di­
atas, dapat dipahami bahwa pengertian al-Qur`ân mengan­
dung beberapa unsur antara lain yaitu:
a. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.,
b. Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.,
c. Dinukilkan secara mutawâtir.,
d. Membacanya bernilai ibadah,
e. Tertulis dalam mushhaf, diawali dengan surat al-Fâtihah
dan diakhiri dengan surat al-Nâs.

Banyak sekali rumusan mengenai pengertian al-Qur`ân,


namun pada prinsipnya sama, yaitu bahwa al-Qur`ân adalah
kalam Allah, merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, ditulis dalam mushhaf,
dinukilkan secara mutawâtir merupakan ibadah bagi yang mem­
bacanya, diawali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan
surat al-Nâs.
Sedangkan pengertian ‘Ulûm al-Qur`ân adalah pemba­
hasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur`ân al-karîm
dari segi turunnya, urutannya, kodifikasinya, penulisannya,
bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukh­
nya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan ter­
hadapnya, dan sebagainya (Muhammad ‘Abd al-‘Azîm al-
Zarqanî, I, 1988: 27).

2. Hubungan dan Urgensinya dengan Tafsir


Sebelum menjelaskan hubungan dan urgensinya dengan
tafsir, perlu dijelaskan pengertian tafsir.
Kata tafsir berasal dari fassara – yufassiru berarti menje­
las­kan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah
ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan ke­pada
Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya, dan

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 3
mengeluarkan hukum serta hikmahnya (Al-Suyûthî, 1318 H:
174).
Jadi hubungan antara ‘Ulûm al-Qur`ân dan tafsir adalah
sangat erat sekali. Sebab pemahaman terhadap‘Ulûm al-Qur`ân
dapat menentukan bagi setiap orang yang ingin me­naf­­sir­kan
ayat-ayat al-Qur`ân dengan benar, tepat dan dapat diper­
tanggungjawabkan. Jadi, ‘Ulûm al-Qur`ân harus dikuasai oleh
mufassir sebelum ia memberikan penafsiran atau pen­jelas­an
tentang ayat-ayat al-Qur`ân. Seorang mufassir, di sam­ping
harus menguasai ‘Ulûm al-Qur`ân, ia juga harus me­nguasai
antara lain: Ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu Usulul
Fiqh, ilmu kalam, dan ilmu Qira`ah.
Pemahaman ‘Ulûm al-Qur`ân juga berfungsi sebagai
standard terhadap tafsir yang disusun oleh mufassir, sehingga
dapat dibedakan antara tafsir yang benar dan tafsir yang tidak
benar.

3. Pokok-pokok Isi Al-Qur`ân


Secara garis besar isi pokok al-Qur`ân adalah meliputi
akidah, ibadah dan mu’amalah, akhlak, hukum, sejarah, serta
dasar-dasar sains. Pokok-pokok tersebut bisa dijelaskan seba­
gai berikut :

a. Akidah
Menurut bahasa akidah berarti keyakinan atau keper­ca­
yaan. Menurut istilah, akidah yaitu suatu kepercayaan yang
diyakini kebenarannya di dalam hati, diucapkan dengan lisan,
dan diamalkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku se­
hari-hari.
Akidah atau keyakinan yang harus dipercayai dan di­
yakini yaitu iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para
rasul dan hari akhir.

4 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


b. Akhlak
Menurut bahasa akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Menurut istilah, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia yang muncul spontan dalam tingkah laku hidup se­
hari-hari.
Fungsi akhlak yang utama adalah dapat mendidik jiwa
manusia, memperbaiki urusan pribadi dan memper­baiki urus­­­
an antara pribadi dan masyarakat, juga dapat mem­per­ingat­
kan akhlak yang buruk, yang dapat membinasa­ kan sifat
ke­manusiaan yang utama yang dapat menyebabkan keseng­
saraan hidup.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam ajar­­
an Islam. Hal ini sesuai dengan hadîts, yaitu :

َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم إِنَّ َما بُ ِع ْث ُت ِ ُلتَم‬


‫ِّم‬ َّ ‫الل ِه َص َّلى‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫ َع ْن أَبِي ُه َرْيـ َرَة َق‬...
َ ‫ال َق‬
A(Ahmad bin Hanbal, no. 8595( ‫ال ْخ َل ِق‬ َْ ‫َصالِ َح‬
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasululllah SAW.: Se­
sung­guhnya aku diutus untuk menyempurnakan kesalehan akhlak”.

Kata al-shâlih maksudnya adalah orang yang mengikuti


pe­raturan yang ditentukan dan tidak berbuat kerusakan.
Akhlak Nabi SAW senantiasa menjadi teladan, dan pa­
nut­an bagi umat yang mengharapkan kebahagiaan dunia
dan akhirat, sebab akhlak Nabi SAW benar-benar akhlak yang
agung, seperti tertulis dalam Q.S. al-Qalam /68: 4

.‫َوإِنَّ َك لَ َعلى ُخ ُل ٍق َع ِظي ٍم‬


Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Hadîts berikut ini menjelaskan tentang khlak yang terbaik:

َ ِ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم أَ ْك َم ُل الْ ُم ْؤِمن‬


‫ين‬ َّ ‫الل ِه َص َّلى‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫ َع ْن أَبِي ُه َرْيـ َرَة َق‬...
َ ‫ال َق‬
)Al-Dârimi no. 2672( ‫سُنـ ُه ْم ُخ ُلقًا‬ َ ‫إِي َمانًا أَ ْح‬

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 5
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasululllah SAW.: Orang
mukmin yang paling sempurna adalah yang terbaik akhlak­nya”.

Untuk itu, umat manusia seharusnya mengikuti akhlak


beliau Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan Q.S. al-Ahzâb/
33: 21

َّ ‫ان يَـر ُجو‬ َّ ِ ‫ان لَ ُك ْم ِفي َر ُس‬


‫الل َه َوالَْيـ ْوَم ْال ِخ َر َوذ ََك َر‬ ْ َ ‫ول الل ِه أُ ْس َوٌة َح َسنَ ٌة لِ َم ْن َك‬ َ ‫َد َك‬ْ ‫لَق‬
َّ
‫الل َه َكثِ ًيرا‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Kitab suci al-Qur`ân ,banyak memberikan pelajaran kepada


umat manusia tentang perilaku terpuji dan akhlak mulia.

c. Hukum
Al-Qur`ân adalah merupakan sumber pokok hukum Islam
yang mengatur tata kehidupan dunia yang aman, damai, se­
jah­
tera, bahagia, adil, dan makmur, selamat di dunia dan
akhirat.
Al Qur’an mengandung hukum-hukum praktis, baik
yang mengatur hubungan dengan Allah maupun yang meng­
atur hubungan antara sesama manusia. Termasuk dalam hal
tersebut adalah masalah ibadah seperti: shalat, puasa, zakat,
shadaqah; masalah-masalah hukum perkawinan dan perce­­
raian serta hal-hal yang berhubungan dengan keduanya, se­
perti: mahar, nafkah, pengasuhan anak, penyusuan, dan
nasab; masalah–masalah hukum muamalah tentang harta,
seperti: jual beli, sewa, upah, gadai, hutang piutang ; masalah
hukum peperangan dan perdamaian, termasuk juga masa­
lah musyawarah, keadilan, dan persamaan hak untuk umat
manusia.

6 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Beberapa ayat yang menjelaskan hukum-hukum yaitu
antara lain:
1). Hukum perkawinan, antara lain: Q.S. al-Baqarah/2: 22,
Q.S. al-Nisâ’/4: 22, 23, dan 24, Q.S. al-Nûr /24: 32, Q.S. al-
Mumtahanah/ 60: 10 dan 11
2). Hukum waris, antara lain: Q.S. al-Baqarah /2: 180, Q.S. al-
Nisâ’ /4: 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 176, Q.S. al-Mâidah /5: 106,
3). Hukum Perjanjian, antara lain: Q.S. al-Baqarah /2: 279,
280, dan 282, Q.S. al-Anfâl /8: 56 dan 58, Q.S. at-Taubah /9:
4
4). Hukum Pidana, antara lain: Q.S. al-Baqarah /2: 178, Q.S.
al-Nisâ’/4: 92 dan 93, Q.S. al-Mâidah /5: 38, Q.S. Yûnus
/10: 27, Q.S. al-Isrâ` /17: 33.
5). Hukum Perang, antara lain: Q.S. al-Baqarah /2: 190, 191,
192, dan 193, Q.S. al-Anfâl /8: 39 dan 41, Q.S. at-Taubah
/9: 5, 29, dan 123, Q.S.al-Hajj/22: 39-40
6). Hukum antar negara (Internasional), antara lain: Q.S. al-
Hujjarat /49: 38
7). Prinsip-Prinsip Disiplin, antara lain: Q.S. al-Nisâ’/4: 59

d. Kisah
Banyak ayat-ayat al-Qur`ân yang menjelaskan tentang kisah
orang-orang terdahulu, yaitu para nabi dan umatnya, dengan
maksud agar umat Islam dapat mengambil pelajaran guna
mem­bangun kemaslahatan umat di zaman Nabi Muhammad
dan umat sesudahnya.
Contoh ayat yang berisi kisah misalnya Q.S. al-Baqarah /2:
132

‫ين َف َل تَ ُموتُ َّن إ َِّل‬ ِّ ‫اص َطفَى لَ ُك ُم‬


َ ‫الد‬ َّ ‫ِن‬
ْ ‫الل َه‬ َّ ‫ُوب يَابَنِ َّي إ‬
ُ ‫يم بَنِي ِه َويَـ ْعق‬
ُ ‫َوَو َّصى بِ َها إِْبـ َرا ِه‬
َ ‫َوأَْنـتُ ْم ُم ْس ِل ُم‬
‫ون‬
Dan Ibrâhîm telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya`qûb. (Ibrâhîm berkata): "Hai anak-anakku!

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 7
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka jangan­
lah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri".

Menurut ayat tersebut Nabi Ibrâhîm telah mewasiatkan


(washshâ) prinsip ajaran kepada anak-anaknya. Kata washshâ
mempunyai arti menyampaikan sesuatu pada sesuatu yang
lain (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, VI, 1967: 116). Maksudnya,
wasiat adalah seseorang yang memberikan nasihat kepada
orang lain agar berbuat sesuai dengan nasihat itu (Al-Râghib
al-Ashfahânî, 1992: 873 ), atau pesan yang disampaikan kepada
pihak lain secara tulus, menyangkut hal kebaikan (M. Quraish
Shihab, 2000, 1: 312).
Dalam ayat ini, Allah memilihkan agama untuk Nabi
Ibrâhîm dan keturunannya adalah agama yang intinya meng­
ajarkan berserah diri kepada Tuhan, maka mereka harus ber­
pegang teguh selama hidup dan mengamalkan dengan sebaik-
baiknya sampai akhir hayatnya (mati)(Ismâ`îl Ibn Katsîr, 1997:
2; 132).

e. Ibadah dan Muamalah


Tugas utama diciptakannya manusia di muka bumi ini
adalah untuk beribadah yaitu suatu bentuk kegiatan peng­
hambaan atau pengabdian seorang makhluk kepada Khaliq­
nya (Allah). Ibadah ini menjadi sarana “Hablun min Allâh”,
yaitu hubungan kepada Allah, dan “Hablun min al-Nâs, yaitu
hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Ibadah kepada Allah, misalnya: kewajiban shalat fardlu,
zakat, haji, puasa, dan shadaqah. Ibadah sesama manusia,
misal­­nya: persoalan harta, musyawarah, kemaslahatan se­sama,
dan tolong-menolong .

f. Dasar-dasar Sains (Ilmu Pengetahuan)


Islam sangat mengecam kebodohan sebab kebodohan itu
akan menjadi sumber utama kemunduran dan kehancuran ;

8 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


sebaliknya Islam mendorong agar manusia menjadi orang-
orang yang berilmu, berpengetahuan, berpengalaman dan ber­
kebudayaan.
Dalam al-Qur`ân banyak terdapat ayat-ayat yang menje­
laskan tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan agar dapat di­
gali dan dikembangkan oleh manusia yang mau berpikir untuk
memenuhi keperluan hidupnya.
Dalam QS al-’Alaq, lima ayat yang turun pertama menje­
laskan tentang betapa pentingnya membaca dengan berulang-
ulang, sebab siapa saja yang ingin belajar, maka ia harus
mem­baca secara berulang-ulang. Pendidikan dan pengajar­
an, amat penting bagi manusia diseluruh alam. Membaca dan
menulis adalah dua komponen yang melahirkan proses pen­
didikan dan pengajaran maka, melalui bacaan manusia akan
memperoleh berbagai pengetahuan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Sedangkan dengan tulisan, generasi terdahulu
dapat mewariskan berbagai pengetahuan dan pengalaman
kepada generasi berikutnya. Pendidikan pada hakekatnya me­
nunjukkan bahwasanya Allah itu Maha Bijaksana dan Maha
Pemurah tehadap hamba-Nya. Bukti dari pemikiran ini ada­
nya perintah untuk membaca dan adanya pendidikan lewat
“pena”. Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah meng­
adakan perubahan pada diri manusia dan untuk meng­gali
potensi-potensi yang dimiliki manusia agar mampu meng­
amalkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. (Budihardjo,
2005: 58).
Adapun di antara ayat-ayat yang membahas dasar-dasar
sains antara lain sebagai berikut:
1). Ilmu Kedokteran: QS al-Mu’minûn/23: 12-13, QS al-
Syûrâ/42: 80, dan QS al-Nahl /16: 66-68.
2). Ilmu Farmasi: QS Yûnus/10: 57, QS al-Isrâ`/17: 82, dan
QS Yâsin/36: 39-40.
3). IPA: QS Ibrâhîm/14: 32, QS Saba’/34: 34, dan QS al-
Nahl/16: 65

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 9
4). Ilmu Pertanian: QS al-Ra’d /13: 13
5). Ilmu Astronomi, Ilmu Falak: QS Yûnus /10: 5, dan QS
Ibrâhîm/14 : 33

Perhatikan skema isi pokok ajaran al Qur’an berikut ini :

$/485¶Ç1

'DVDU6DLQV
.LVDK
$NLGDK

$NKODN ,EDGDK +XNXP


0XDPDODK

4. Kedudukan Al-Qur`ân
Al-Qur`ân merupakan sumber utama dan pertama seba­
gai dasar pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Al-Qur`ân adalah sumber utama dan pertama ajar­
an-ajaran agama Islam. Al-Qur`ân yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, selain berisi pokok-pokok agama,
juga mengandung segala sesuatu yang dibutuhkan bagi ke­
pentingan hidup dan kehidupan manusia baik yang bersifat
pribadi maupun kehidupan kemasyarakatan, baik untuk ke­
hidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi ; baik be­rupa
nilai-nilai moral dan norma-norma hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Khaliq (penciptanya) maupun
yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dan meng­
atur hubungan manusia dengan makhluk-makhluk lain yang
erada di sekitarnya.
Bukti bahwa al-Qur`ân merupakan sumber utama dan
per­tama sebagai dasar pedoman yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia adalah hadîts berikut:

10 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


‫ْضي‬ ِ ‫َال َك ْي َف تَـق‬ َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم بَـ َع َث ُم َعاذًا إِلَى الْيَ َم ِن َفـق‬
َّ ‫الل ِه َص َّلى‬ َّ ‫ول‬ َ ‫ أَ َّن َر ُس‬...
َّ ‫ول‬
‫الل ِه‬ ِ ‫ِسنَّ ِة َر ُس‬ َّ ‫اب‬
َ ‫الل ِه َق‬ ِ َ‫ال َفإ ِْن لَ ْم يَ ُك ْن ِفي ِكت‬ َ ‫الل ِه َق‬ َّ ‫اب‬ ِ َ‫َال أَْق ِضي بِ َما ِفي ِكت‬ َ ‫َفـق‬
ُ ‫ال َفب‬
َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َق‬
‫ال‬ َّ ‫الل ِه َص َّلى‬
َّ ‫ول‬ ِ ‫ال َفإ ِْن لَ ْم يَ ُك ْن ِفي ُسنَّ ِة َر ُس‬ َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َق‬
َّ ‫َص َّلى‬
.... ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم‬َّ ‫الل ِه َص َّلى‬
َّ ‫ول‬ ِ ‫ول َر ُس‬ َ ‫ال الْ َح ْم ُد لَِّل ِه الَّ ِذي َوَّف َق َر ُس‬ َ ‫أَ ْجتَ ِه ُد َرأْيِي َق‬
)al-Turmudzi no. 1246) 6

Bahwasanya Rasulullah saw. mengutus Mu’âdz ke Yaman, kemu­


dian beliau bertanya: Bagaimana kamu memutuskan sesuatu?
Mu’âdz menjawab: Aku memutuskan dengan Kitab Allah. Rasu­
lullah bertanya lagi: Bagaimana jika di dalam Kitab Allah tidak
ada?. Mu’âdz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Rasulullah
ber­tanya lagi: Bagaimana jika di dalam Sunnah Rasulullah tidak
ada?. Mu’âdz menjawab: Aku berijtihad sesuai dengan pemi­kiran­
ku. Rasulullah bersabda: Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah SAW.

5. Fungsi Al-Qur`ân
Al-Qur`ân diturunkan mempunyai banyak fungsi, di­
antaranya yang paling pokok adalah sebagai berikut
a. Sumber Pokok Ajaran Islam
Fungsi al-Qur`ân diturunkan adalah sebagai pokok ajar­
an Islam, yang mendasari ajaran-ajaran hukum, dan pera­
turan bagi umat manusia.
Dasarnya antara lain Q.S. al-Nisâ`/ 4: 105

‫ين‬ َّ ‫اك‬
َ ِ‫الل ُه َوَل تَ ُك ْن لِ ْل َخائِن‬ ِ ‫اب بِالْ َح ِّق لِتَ ْح ُك َم بَـ ْي َن الن‬
َ ‫َّاس بِ َما أَ َر‬ َ َ‫إِنَّا أَْنـ َزلْنَا إِلَْي َك الْ ِكت‬
‫َخ ِصي ًما‬
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan­
lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(mem­bela) orang-orang yang khianat.

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 11
b. Peringatan dan Pelajaran bagi Manusia
Manusia mempunyai sifat lupa, sebab manusia dalam
bahasa Arabnya adalah kata insân berasal dari kata nasiya
yang berarti lupa, maka fungsi turunnya al-Qur`ân adalah
juga sebagai pemberi peringatan dan pemberi pelajaran
bagi kehidupan manusia.
Dalam memberi peringatan kepada manusia, al-Qur`ân
seringkali menjelaskan melalui kisah-kisah dalam al-
Qur`ân, baik kisah yang bersifat positif maupun yang ber­
sifat negatif yang pernah terjadi atau dialami oleh orang-
orang terdahulu, dengan maksud agar manusia masa
sekarang dapat mengambil pelajaran atau menjadi­kan­
nya sebagai peringatan baginya. Contoh nya adalah Q.S.
Yûnus /10: 2

َ ‫َّاس َوبَ ِّش ِر الَّ ِذ‬


‫ين َءا َمنُوا أَ َّن‬ َ ‫َّاس َع َجبًا أَ ْن أَ ْو َحْيـنَا إِلَى َر ُج ٍل ِمْنـ ُه ْم أَ ْن أَنْ ِذ ِر الن‬
ِ ‫ان لِلن‬ َ ‫أَ َك‬
‫ِين‬ ِ ‫ِن َه َذا لَ َس‬
ٌ ‫اح ٌر ُمب‬ َّ ‫ون إ‬ َ ‫ال الْ َكا ِف ُر‬
َ ‫ِم َق‬ ْ ‫لَ ُه ْم َق َد َم ِص ْد ٍق ِع ْن َد َربِّه‬
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyu­
kan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah peringatan
kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa
mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka".
Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muham­mad)
benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”.

12 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


BAB
II

NUZÛL AL QUR`ÂN

1. Pengertian Nuzûl Al-Qur`ân


Kata nuzûl ‫نزل – ينزل – نزوال‬bberarti turunnya sesuatu dari atas
ke bawah (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, 1967, V:.)417(
Nuzûl al-Qur'ân atau turunnya al-Qur`ân berarti turun
dari atas ke bawah. Maksudnya karena ketinggian keduduk­
an al-Qur`ân dan agungnya ajaran-ajaran yang dibawa yang
menjadi pedoman hidup manusia untuk kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat.
Ayat-ayat pertama turun adalah Q.S. al-‘Alaq/96: 1- 5

َْ ‫ُّك‬
)3(‫ال ْك َرُم‬ َ ‫)اْقـ َرأْ َوَرب‬2(‫ان ِم ْن َع َل ٍق‬ َ ‫ِّك الَّ ِذي َخ َل َق‬
ِ ْ ‫)خ َل َق‬1(
َ ‫النْ َس‬ َ ‫ِاس ِم َرب‬ ْ ‫اْقـ َرأْ ب‬
5 – 1 :‫) العلق‬5(‫ان َما لَ ْم يَـ ْع َل ْم‬ ِ ْ ‫) َع َّل َم‬4(‫الَّ ِذي َع َّل َم بِالْ َق َل ِم‬
َ ‫النْ َس‬
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.

Ayat tersebut turun pada malam Senin 17 Ramadhan, ke­
tika beliau berada di gua Hira', bertepatan pada bulan Juli 610
M. Dasar-dasar yang menunjukkan bahwa al-Qur`ân turun di
bulan Ramadhan adalah:
a. Q.S. al-Qadar/97: 1 - 5

ْ ‫) لَْيـ َل ُة الْق‬2(ِ‫َدر‬
‫َد ِر َخْيـ ٌر ِم ْن‬ ْ ‫اك َما لَْيـ َل ُة الْق‬ ْ ‫إِنَّا أَْنـ َزلْنَا ُه ِفي لَْيـ َل ِة الْق‬
َ ‫) َوَما أَ ْد َر‬1(ِ‫َدر‬

13
‫) َس َل ٌم ِه َي‬4( ‫ِم ِم ْن ُك ِّل أَ ْم ٍر‬ ِ ‫وح ِفي َها بِإِذ‬
ْ ‫ْن َربِّه‬ ُّ ‫) تَـَنـ َّز ُل الْ َم َلئِ َك ُة َو‬3(ٍ‫أَلْ ِف َش ْهر‬
ُ ‫الر‬
)5(ِ‫َجر‬ ْ ‫َحتَّى َم ْط َل ِع الْف‬
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'ân) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan
itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) ke­
sejah­teraan sampai terbit fajar.

b. Q.S. al-Baqarah/2: 185

ْ ‫ات ِم َن الْ ُه َدى َوالْف‬


ِ ‫ُرَق‬
....‫ان‬ ِ ‫ان ُه ًدى لِلن‬
ٍ َ‫َّاس َوبَـِّيـن‬ ُ ‫ُرَء‬ َ ‫ان الَّ ِذي أُنْز‬
ْ ‫ِل ِفي ِه الْق‬ َ ‫َش ْه ُر َرَم َض‬
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'ân sebagai
pe­­­tunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai pe­
tunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Malam diturunkannya Al-Qur'ân pada bulan ramadhan


dinamakan juga malam lailah al-Qadar dan lailah mubârakah.
Lailah al-Qadar telah disebutkan sebelumnya (QS al Qadr/97:
1) dan lailah mubârakah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-
Dukhân/44: 3

َ ‫إِنَّا أَْنـ َزلْنَا ُه ِفي لَْيـ َل ٍة ُمبَا َرَك ٍة إِنَّا ُكنَّا ُم ْن ِذر‬
‫ِين‬
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.

Sedangkan ayat terakhir yang diturunkan adalah Q.S. al-


Mâidah 5: 3

ْ ‫يت لَ ُك ُم ال‬
.... ‫ِْس َل َم ِدينًا‬ ُ ‫ الَْيـ ْوَم أَ ْك َم ْل ُت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْم ُت َع َل ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َوَر ِض‬...
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu.

14 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


2. Nama-nama Al-Qur'ân
Dasar pemberian nama al-Qur‘ân, misalnya pada Q.S. al-
Isrâ’ /17: 9

.... ‫ان يَـ ْه ِدي لَِّلتِي ِه َي أَْقـ َوُم‬ َّ ‫إ‬


ْ ‫ِن َه َذا الْق‬
َ ‫ُرَء‬
Artinya: Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk ke­
pada (jalan) yang lebih lurus ….

Diantara nama-nama al-Qur‘ân adalah sebagai berikut:


a. Al-Kitâb, disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah (/2: 2

ُ َ‫َذلِ َك الْ ِكت‬


َ ‫اب َل َريْ َب ِفي ِه ُه ًدى لِ ْل ُمتَّ ِق‬
‫ين‬
Artinya: “Inilah al-Kitâb (al-Qur‘ân) yang tidak ada keraguan
pada­nya, sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”

b. Al-Furqân, artinya pembeda antara yang hak dan yang


batil, misalnya disebutkan dalam Q.S. al-Furqân /25: 1

َ ‫ان َع َلى َع ْب ِد ِه لِيَ ُك‬ َّ


َ ‫ون لِ ْل َعالَ ِم‬
‫ين نَ ِذ ًيرا‬ ْ ‫تَـبَا َر َك ال ِذي نَـ َّز َل الْف‬
َ ‫ُرَق‬
Artinya : Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqân (Al
Qur'ân) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam.

c. Al-Dzikir, artinya peringatan yakni peringatan bagi manu­


sia yang lupa dan lalai, misalnya dalam Q.S. al-Hijr/ 15: 9

ِّ ‫إِنَّا نَ ْح ُن نَـ َّزلْنَا‬


َ ‫الذْك َر َوإِنَّا لَ ُه لَ َحا ِف ُظ‬
‫ون‬
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur`ân,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

d. Tanzîl, berarti yang diturunkan, misalnya Q.S. al-Syu’arâ’/


26: 192-193

َْ ‫وح‬
ُ ‫ال ِم‬
‫ين‬ ُّ ‫ نَـ َز َل بِ ِه‬.‫ين‬
ُ ‫الر‬ ُ ‫َوإِنَّ ُه لََتـ ْنز‬
َ ‫ِيل َر ِّب الْ َعالَ ِم‬

Nuzûl Al Qur`Ân | 15
Artinya : Dan sesungguhnya Al-Qur`ân ini benar-benar diturun­
kan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh al-Rûh al
Amîn (Jibril),

3. Hikmah Turunnya Al Qur’an Secara Berangsur-angsur


Hikmah turunnya al-Qur`ân secara bertahap bisa disebut­
kan sebagai berikut:
a. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah
b. Sebagai tantangan dan mukjizat
c. Mempermudah penghafalan dan pemahamannya
d. Menunjukkan adanya kesesuaian dengan peristiwa-pe­
ristiwa dan pentahapan penetapan hukum
e. Sebagai bukti yang pasti bahwa al-Qur`ân diturunkan
benar-benar dari Allah Yang Maha Bijakasana dan Maha
Terpuji (Mannâ’ Qaththân, 1973: 107 – 115).

4. Faedah Turunnya al Qur’an secara berangsur-angsur


dalam proses Pendidikan dan Pengajaran
Proses belajar-mengajar berlandaskan dua dasar, yaitu
yang pertama adalah perhatian terhadap tingkat pemikiran
siswa dan yang kedua adalah pengembangan potensi akal, jiwa,
dan jasmani siswa melalui sesuatu yang dapat membawanya
ke arah yang lebih baik dan mengarahkan pada peningkatan .
Hikmah turunnya al-Qur`ân bertahap itu menunjukkan
bahwa metode pendidikan dan pengajaran tidak dapat dilak­
sanakan sekaligus, namun bertahap. Hal ini berfaedah guna
mengaplikasikan kedua dasar tersebut. Sebab turunnya al-
Qur`ân itu telah meningkatkan pendidikaan umat Islam secara
bertahap dan berproses secara alami guna memper-baiki jiwa
manusia, meluruskan perilakunya, membentuk kepribadian
dan menyempurnakan eksistensinya.
Lima ayat yang turun pertama (QS al ’Alaq:1-5) men­
jelaskan betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran.

16 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Pendidkan dan pengajaran itu sangat penting bagi manusia,
sehingga perlu jenjang pendidikan yang berkelanjutan dan
perlu diulang-ulang.
Membaca dan menulis dua komponen yang melahirkan
proses pendidikan dan pengajaran. Melalui bacaan, manusia
memperoleh ilmu pengetahuan, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Sedangkan melalui tulisan, generasi ter­
da­hulu dapat mewariskan ilmu pengetahuan dan pengalam­
an kepada generasi berikutnya. Pendidikan, pada hakikatnya
untuk memperlihatkan ke Mahabijaksanaan dan ke Maha­­mu­
rah­an Tuhan terhadap hamba-Nya. Hal ini tercermin dengan
ada­nya perintah membaca dan adanya pengajaran dari Allah
melalui “pena”, sebelum Allah melanjutkan turunnnya wahyu
dan perintah-perintah selanjutnya.
Pendidikan sangat penting bagi manusia agar manusia
dapat mengadakan perubahan dalam dirinya, dan meng­gali
potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga dapat diaktuali­
sasi­ kan (Budihardjo, 2005 : 9). Al-Qur`ân yang diturunkan
se­­­­cara bertahap merupakan contoh yang baik dalam pe­nyu­
sunan kurikulum pengajaran, memilih metode yang se­suai dan
menyusun buku pelajaran.

Nuzûl Al Qur`Ân | 17
BAB
III

ASBÂB AL-NUZÛL

1. Pengertian Asbâb al-Nuzûl


Kata asbâb bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab.
Kata nuzûl adalah isim mashdar dari nazala yang berarti me­
nurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, V, 1967: 417).
Sedangkan menurut istilah, Asbâb al-Nuzûl adalah peris­
tiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, di mana
ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur‘ân tentang
peristiwa yang terjadi atau mengomentarinya (M. Quraish
Shihab, 1984: 3).

2. Tujuan al-Qur‘ân diturunkan


Tujuan terpenting al-Qur‘ân diturunkan adalah agar ma­
nusia tidak tersesat. Kitab suci al-Qur‘ân menjadi petunjuk bagi
umat manusia, sehingga perjalanan hidupnya dapat menca­
pai kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah SWT menurunkan
al-Qur‘ân agar manusia mendapat petunjuk dan bimbingan,
sehingga mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa.

3. Cara Turunnya al-Qur`ân


Pada pembahasan masalah ini akan diungkapkan tentang
cara-cara al-Qur‘ân diturunkan. Allah SWT menurunkan
wahyu kepada Nabi Muhammad SAW melalui bermacam-

18
macam cara. Proses wahyu diturunkan kepada Nabi SAW
dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Tanpa melalui perantara yaitu sebagai berikut:
1). Mimpi yang benar di dalam tidur
2). Dari balik tabir
b. Dengan perantaraan malaikat Jibril yaitu sebagai berikut:
1). Terdengar suara gemuruh seperti suara lebah atau ge­
merincingnya lonceng dengan suara yang amat kuat.
Cara ini menurut Nabi SAW merupakan cara yang di­
rasa paling berat.
2). Jibril menjelma menjadi bentuk manusia yaitu sebagai
seorang laki-laki. Cara ini lebih ringan dari pada cara
sebelumnya, sebab adanya kesesuaian bentuk antara
keduanya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang


sumber ajaran agama Islam dalam menetapkan hukum, lihat­
lah skema berikut ini :

$O4XU¶kQ

$O+DGvVW

,MPk·

4L\kV

5DKPDWEDJLVHOXUXKDODP

5. Hikmah al-Qur`ân Diturunkan Berangsur-angsur


Al-Qur‘ân al-Karim diturunkan secara berangsur-angsur
kepada Nabi Muhammad SAW yaitu selama 22 tahun 2 bulan

Asbâb Al-Nuzûl | 19
dan 22 hari di dua tempat yaitu di wilayah Makkah dan wilayah
Madinah. Turunnya al-Qur‘ân secara berangsur-angsur itu
mengandung beberapa hikmah, di antaranya adalah sebagai
berikut:
a. Agar mudah dihafal, ditulis, dipahami, dan dilaksanakan
oleh manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan.
b. Dapat meneguhkan hati Nabi karena sering berkomuni­
kasi dengan malaikat Jibril berkenaan dengan suatu pe­
ristiwa dan keadaan tertentu.
c. Untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan perma­sa­
lahan yang muncul, sehingga menimbulkan kesan di hati
umat manusia.
d. Dapat meringankan bagi umat Islam dalam upaya melak­
sanakan perintah kebaikan dan proses meninggalkan
sikap mental dan tradisi masyarakat jahiliyah yang negatif
secara sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur.

Proses turunnya al-Qur‘ân secara bertahap atau berangsur-


angsur, bila dikaitkan dengan proses kegiatan belajar mengajar
adalah bahwa seorang guru dalam memberikan pengajaran
kepada siswanya harus tahap demi tahap, sedikit demi se­dikit
sehingga siswa dapat memahami dan mencerna serta me­lak­
sanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik.

6. Beberapa Riwayat Sebab Turun


Apabila terdapat beberapa riwayat mengenai sebab turun­
nya suatu ayat, maka sikap mufassir sebagai berikut:
a. Apabila bentuk redaksi riwayat tidak tegas, misalnya:
”Ayat ini turun mengenai urusan ini” atau ”aku mengira
ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini
tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat tersebut,
sebab maksud riwayat-riwayat itu adalah penafsir­an dan
penjelasan bahwa hal itu termasuk dalam makna ayat

20 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


dan kesimpulan darinya, bukan menyebutkan sebab
turunnya.
b. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas,
misalnya: ”Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang
riwayat yang lain menyebutkan sebab turunnya dengan
tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang
menyebutkan sebab turunnya dengan tegas.
c. Apabila terdapat riwayat yang banyak dan semua me­
negaskan sebab turun, sedang salah satunya shahih dan
yang lain tidak shahih, maka yang dipakai riwayat yang
shahih.
d. Apabila terdapat riwayat-riwayat yang sama-sama shahih,
namun terdapat segi yang memperkuat salah satu­nya atau
terdapat riwayat yang lebih kuat atau lebih shahih, maka
riwayat yang lebih kuat itulah yang dipakai
e. Apabila terdapat riwayat-riwayat yang sama-sama shahih,
dan tidak dapat dicari yang mana lebih kuat, maka ri­
wayat-riwayat itu dikompromikan, sehingga sebab turun­
nya terjadi karena bebarapa riwayat, karena di antara
sebab-sebab itu jarak waktunya berdekatan.
f. Apabila terdapat riwayat-riwayat yang tidak dapat di­
kompromikan, karena di antara sebab-sebab itu jarak
waktunya berjauhan, maka hal itu menunjukkan bahwa
ayat itu turun berulang-ulang.

Asbâb Al-Nuzûl | 21
BAB
IV

AL-MAKKÎ DAN AL-MADANÎ

1. Pengertian al-Makkî dan al-Madanî


Al-Makkî (‫ )املكى‬dari segi bahasa berarti kelompok Makkah
atau golongan Makkah. Sedangkan al-Madanî berarti kelom­
pok Madinah atau golongan Madinah.
Menurut istilah ada perbedaan antara Makkî dan Madanî.
Untuk membedakan antara Makkî dengan Madanî, para ulama
mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing me­
miliki dasarnya sendiri-sendiri, yaitu.
Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makkî adalah kelom­
pok ayat yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan
di Mekah. Sedangkan Madanî adalah kelompok ayat yang di­
turunkan setelah hijrah meskipun bukan di Medinah. Tegas­
nya, ayat yang diturunkan sesudah hijrah meskipun diturun­
kan di Mekah atau Arafah, adalah Madanî misalnya seperti ayat
yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekah, yaitu
Q.S. al-Nisa’/4: 58

‫ات إِلَى أَ ْه ِل َها‬ َّ ‫ِن‬


َْ ‫الل َه يَْأ ُم ُرُك ْم أَ ْن تُـ َؤُّدوا‬
ِ َ‫ال َمان‬ َّ ‫إ‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat ke­
pada yang berhak

Ayat tersebut diturunkan di Mekkah, dekat Ka’bah pada


waktu penaklukan kota Mekkah, yang waktunya adalah se­
sudah hijrah. Jadi ayat tersebut termasuk kelompok ayat Madanî.

22
Kedua: Dari segi tempat diturunkannya. Makkî ialah yang
diturunkan di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah dan
Hudaibiyah Sedangkan. Madani adalah yang diturunkan di
Medinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil’. Pen­
dapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara kon­
krit, sebab ayat yang diturunkan dalam perjalanan, di Tabuk
atau di Baitul Makdis tidak termasuk ke dalam salah satu ke­
lompok bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan Makkî dan
tidak juga dinamakan Madanî. Dan hal ini juga mengakibat­
kan bahwa ayat yang diturunkan di Mekah sesudah hijrah
ada­lah disebut Makkî.
Ketiga: Dari segi sasarannya. Makkî adalah ayat yang se­
ruannya ditujukan kepada penduduk Mekah dan Madanî ada­
lah ayat yang seruannya ditujukan kepada penduduk Medinah.
Berdasarkan pendapat ini, para pendukung pendapat menya­
takan bahwa ayat al-Qur`ân yang mengandung seruan yâ
ayyuhan nâs (‫َّاس‬ ُ ‫ )يَاأَُّيـ َها الن‬adalah kelompok Makkî ; sedang ayat
yang mengandung seruan ya ayyuhal lazina âmanu (‫ين‬ َ ‫يَاأَُّيـ َها الَّ ِذ‬
‫ ) َءا َمنُوا‬adalah kelompok Madanî, kecuali Q..S. al-Baqarah, walau­
pun terdapat ‫َّاس‬ ُ ‫يَاأَُّيـ َها الن‬. Namun termasuk kelompok Madanî.
Misalnya, Q.S. al-Baqarah/2: 21

‫ُون‬ َ ‫َك ْم َوالَّ ِذ‬


َ ‫ين ِم ْن َقـ ْب ِل ُك ْم لَ َع َّل ُك ْم تَـَّتـق‬ ُ ‫َّك ُم الَّ ِذي َخ َلق‬
ُ ‫َّاس ا ْعبُ ُدوا َرب‬
ُ ‫يَاأَيُّـ َها الن‬
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

2. Faedah Mengetahui Makkî dan Madanî


Pengetahuan tentang Makkî dan Madanî banyak faedahnya,
di antaranya adalah:
a. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`ân,
sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat
membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkan­
nya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi

Al-Makkî Dan Al-Madanî | 23


pegangan adalah pengertian umum lafal, bukan sebab
yang khusus, sehingga dapat membedakan antara ayat
yang nasikh dengan yang mansukh bila di antara kedua
ayat terdapat makna yang kontradiktif.
b. Meresapi gaya bahasa al-Qur`ân dan memanfaatkannya
dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab se­
tiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan
apa yang dikehendaki oleh situasi, mempunyai arti yang
khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa
Makkî dan Madanî dalam al-Qur`ân pun memberikan pe­
mahaman bagi orang yang mempelajarinya sebuah metode
penyampaian dakwah.
c. Mengetahui sejarah hidup Nabi SAW melalui ayat-ayat
al-Qur`ân, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah se­
jalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwanya,
baik pada periode Mekah maupun periode Medinah, sejak
permulaan turunnya wahyu hingga sampai dengan ayat
terakhir yang diturunkan.

3. Ciri-ciri Makkî dan Ciri Khas Temanya


a. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “sajdah”
(‫)سجدة‬
b. Setiap surat yang mengandung lafal kallâ )ّ‫)كال‬.
c. Setiap surat yang mengandung yâ ayyuha al-nâs (‫َّاس‬ ُ ‫يَاأَُّيـ َها الن‬.),
kecuali Surat al-Hajj yang pada akhir surat terdapat yâ
َ ‫)يَاأَُّيـ َها الَّ ِذ‬, sebagian besar ulama
ayyuhal ladzîna âmanû (‫ين َءا َمنُوا‬
berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkî.
d. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat
terdahulu, kecuali surat al-Baqarah.
e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis, ke­
cuali surat al Baqarah.
f. Setiap surat yang dibuka dengan huruf al-tahajji (huruf-
huruf hijaiyah atau huruf-huruf potongan), seperti ,‫ طه‬,‫ن‬

24 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


‫امل‬, kecuali surat al-Baqarah dan Ali ‘Imrân. Sedangkan surat
al Ra’d masih diperselisihkan.

4. Ciri-ciri Makkî dari Segi Tema dan Gaya Bahasanya


Ciri-ciri Segi Tema dan Gaya Bahasanya antara lain:
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah,
membuktikan mengenai risalah, hari kebangkitan dan
hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, surga
dan nikmatnya, neraka dan kepedihan siksanya, argu­
men­tasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan
bukti-bukti rasional dan ayat-ayat tentang kauniah.
b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan
dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu
masyarakat; pengungkapan dosa orang musyrik dalam
bentuk penumpahan darah, larangan memakan harta anak
yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi pe­
rem­puan dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
sebagai pelajaran bagi umat sehingga dapat mengetahui
nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan se­
bagai hiburan bagi Rasulullah sehingga beliau tetap tabah
dalam menghadapi gangguan dakwahnya dan merasa
yakin akan menang.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang me­
ngesankan, singkat padat pernyataannya, di telinga terasa
menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati,
dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-
lafal sumpah; seperti pada surat yang pendek-pendek.

5. Ciri-ciri Madanî dan Ciri Khas Temanya


a. Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi).
b. Setiap surat yang di dalamnya disebutkan orang-orang

Al-Makkî Dan Al-Madanî | 25


munafik, kecuali surat al-’Ankabût.
c. Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli
Kitab.

6. Ciri-ciri Madanî dari Segi Tema dan Gaya Bahasanya


Ciri-ciri Madanî dari segi tema dan gaya bahasa sebagai
berikut :
a. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, wa­
ris­
an, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional,
baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan
masalah perundang-undangan.
b. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam,
penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap
kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebe­
naran dan perselisihan mereka setelah datangnya ilmu
pada mereka karena adanya rasa dengki di antara sesama
mereka.
c. Mengungkap perilaku orang-orang munafik, mengana­
lisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan
bahwa mereka itu berbahaya bagi agama.
d. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya
bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tuju­
an dan sasarannya.

26 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


BAB
V

AL-NAÂSIKH DAN AL-MANSÛKH

1. Pengertian Nasakh
Kata nasakh dari segi bahasa berarti:
a. Izâlah (‫ )إزالة‬berarti menghilangkan atau menghapuskan
b. Tabdîl (‫ )تبديل‬berarti mengganti atau menukar
c. Tahwîl (‫ ( حتويل‬berarti memalingkan, mengalihkan, atau
mengubah
d. Naql (‫ )نقل‬berarti menukilkan atau memindahkan sesuatu
dari satu tempat ke tempat yang lain.

Nasakh menurut istilah yaitu mengangkat suatu hukum


syara’ dengan dalil syara’. Batasan ini dikatakan sebagai ter­
minologi yang paling mengena dan sesuai dengan bahasa Arab
tentang makna nasakh yang berarti menghilangkan dan meng­
angkat ke tempat yang lain
Menurut al-Syâthibî, nasakh menurut istilah diperluas
cakupan pengertiannya oleh para ulama mutaqaddimîn, yaitu :
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh
hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum
yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang
belum bersyarat(al-Syâthibî, III, 1975: 108).

27
2. Syarat-syarat penerapan nasakh
Ketentuan yang dikaitkan sebagai syarat penerapan nasakh,
di antaranya adalah:
a. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang
dan tidak dapat dikompromikan
b. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan ayat-ayat
tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai
mansûkh, dan yang datang kemudian sebagai nasikh
c. Yang dapat menasakh al-Qur’ân hanyalah wahyu Allah
(Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqâni, II, 1988: 209).

3. Alasan Pendukung dan Penolak Nasakh dalam Al-Qur’ân


Adanya perbedaan pendapat sama sekali tidak menun­
jukkan adanya kontradiksi dalam ayat-ayat al-Qur’ân, se­
hingga salah satu ayat yang kontradiktif tersebut dibatalkan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini bukan sekadar
“justifikasi apologis,” tetapi simaklah firman Allah QS. al-
Nisâ’/4 89 :

َّ ‫ان ِم ْن ِع ْن ِد غَي ِر‬


)82(‫اختِ َل ًفا َكثِ ًيرا‬
ْ ‫الل ِه لَ َو َج ُدوا ِفي ِه‬ ْ َ ‫ان َولَ ْو َك‬ ْ ‫ون الْق‬
َ ‫ُرَء‬ ُ ‫أَ َف َل يَـتَ َدبـ‬
َ ‫َّر‬
«Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? Sean­
dai­nya Al-Qur`ân itu datang bukan dari Allah, tentulah mereka
akan mendapatkan di dalamnya pertentangan (kontradiksi) yang
banyak).

Ayat tersebut menunjukkan seakan-akan antara ayat


dengan ayat mengandung perbedaan atau kontradiksi. Dari
sinilah, kemungkinan munculnya perbedaan antar umat Islam
tentang adanya nasakh.
Berikut ini disampaikan pendapat yang mendukung
nasakh dan menolaknya.

28 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


a. Alasan Yang Mendukung Nasakh
Pentahapan turunnya al-Qur’ân , Allah telah menampak­
kan hikmah dalam mendidik makhluk-Nya, dan menunjuk­
kan bukti kepada manusia bahwa al-Qur’ân adalah benar-benar
datang dari Allah. Maka Allahlah yang menghapuskan mana
yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki-
Nya pula, tanpa campur tangan seorang manusiaapun.
Jumhur Ulama (sebelum Abu Muslim yang wafat tahun
322 H), mengakui adanya nasakh dalam al-Qur’ân sebagai
suatu hal yang dapat diterima akal dan memang telah terjadi
(Shubhi al-Shâlih, 1977: 262) , yaitu nasakh kitab dengan kitab
dalam hal yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Lebih lanjut pendukung nasakh mengemukakan alasan
secara tegas, di antaranya: Ibnu Katsîr mengatakan, tidak ada
alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya nasakh atau
pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Allah mene­
tapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja
yang dikehendaki untuk ditetapkan-Nya (Isma’îl Ibn Katsîr, I,
t.t.: 151).
Di antara ayat yang dijadikan dalil bahwa nasakh itu
memang benar-benar ada, misalnya firman Allah Q.S. al-
Baqarah/2: 106

َّ ‫ِخي ٍر ِمْنـ َها أَ ْو ِم ْث ِل َها أَلَ ْم تَـ ْع َل ْم أَ َّن‬


‫الل َه َع َلى ُك ِّل‬ ْ َ ‫َما نَـ ْن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة أَ ْو نُـ ْن ِس َها نَْأ ِت ب‬
)106(‫َش ْي ٍء َق ِد ٌير‬
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (ma­
nusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripada­
nya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengeta­
hui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

b. Alasan Yang Menolak Adanya Nasakh Dalam Al-Qur’ân


Ulama ulama yang menolak nasakh adalah bahwa jika
nasakh ada dalam al-Qur’ân berarti ada hukum Tuhan yang
di­batalkan. Dan Tuhan membatalkan hukum yang sudah

Al-Naâsikh Dan Al-Mansûkh | 29


diturunkan-Nya adalah merupakan suatu kemustahilan, dan
tidak mungkin terjadi karena akan berarti:
1). Ketidaktahuan Tuhan, sehingga Dia perlu mengganti
atau membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain.
2). Menunjukkan kesia-sia-an dan permainan belaka.

Abû Muslim al-Asfahânî, menolak nasakh karena ber­


tentangan dengan firman Allah Q.S. Fushilat/ 41: 42

ٌ ‫َل يَْأتِي ِه الْبَا ِط ُل ِم ْن بَـ ْي ِن يَ َديْ ِه َوَل ِم ْن َخ ْل ِف ِه تَـ ْنز‬


)42(‫ِيل ِم ْن َح ِكي ٍم َح ِمي ٍد‬
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`ân) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Kata al-Bâthil dalam ayat tersebut berarti “pembatalan”,


jadi yang dimaksud dengan nasakh adalah takhshîs, untuk
menghindari pendirian arti membatalkan suatu hukum yang
diturunkan Allah. Selain itu kata âyatin (‫ ) َءايَ ٍة‬dalam QS al-
Baqarah/2: 106 dan dalam QS al-Nahl/16: 101 tidak berarti
ayat-ayat , tetapi menunjukkan arti syari'at, yaitu syariat yang
terdapat dalam kitab-kitab terdahulu, dan itulah yang dihapus
oleh Tuhan dengan al-Qur’ân. Sedangkan lafal nasakh dalam
ayat tersebut berarti memindahkan ayat dari lauh mahfûzh
diturunkan kepada manusia di bumi (Mukhtar Yahya, dan
Fathurrahman, 1986: 425).
Alasan-alasan tersebut di atas ditolak oleh pendukung
nasakh, terutama QS Fushilat/41: 42 dikatakan bahwa, ayat ini
tidak berbicara tentang pembatalan, tetapi “kebatilan” yang
mempunyai arti lawan dari kebenaran. Kemudian Quraish
Shihab menambahkan, bahwa: “Hukum Tuhan yang dibatal­
kan-Nya bukan berarti sesuatu yang batil, karena sesuatu yang
dibatalkan penggunaannya adalah karena adanya perkem­
bangan dan kemaslahatan pada suatu waktu dan bukan ber­
arti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan
se­suatu yang tidak benar, sehingga dengan demikian yang di­

30 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


batalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar,
bukan sesuatu yang batil (M.Quraish Shihab, 1992: 146).
Pedoman untuk menetapkan nâsikh mansûkh, dapat di­
fahami juga sebagai syarat-syarat penerapannya, yaitu :
1). Adanya nukilan yang tegas dari Rasulullah atau dari sa­
habat-sahabat yang dengan tegas menyatakan : ayat ini
dinasakh oleh ayat itu.
2). Ke-mansûkh-an suatu ayat ditetapkan bila terdapat per­
tentangan suatu ayat dengan ayat yang lain yang tak dapat
dipertemukan, serta diketahuinya sejarah mana ayat yang
diturunkan terdahulu dan mana yang diturunkan kemu­
dian.
3). Dalam menetapkan nasakh, maka pendapat para ahli tafsir
dan hasil ijtihad para mujtahid tidak dapat dijadikan
dasar atau pedoman, bila tidak ada nukilan yang benar
dan bila tanpa pertentangan yang nyata, sebab menasakh
suatu hukum berarti mengangkat suatu hukum yang
telah ditetapkan pada masa Nabi.
4). Pegangan dalam melakukan nasakh, tidak lain adalah dalil
naql dan sejarah, bukan pendapat dan atau hasil ijtihad.

4. Perbedaan Antara Nasakh dengan Takhshîsh


a. Takhshîs ialah membatasi jumlah Afrâdul ’âmm, sedangkan
nasakh adalah membatalkan hukum yang telah ada dan
diganti dengan hukum yang baru (tabdîl).
b. Takhshîs (mukhashish) bisa dengan kata-kata dari al Qur’an
dan hadits dan dengan dalil-dalil syara’ yang lain seperti
ijma’ Qiyas dan juga dengan dalil akal. Sedangkan nasakh
hanya dilakukan dengan kata-kata dari al Qur’an saja.
c. Takhshîs hanya masuk kepada dalil ’âmm. Sedangkan
nasakh bisa masuk kepada dalil âmm maupun dalil khâsh.
d. Takhshîs hanya masuk kepada ranah hukum saja. Sedang­
kan nasakh dapat masuk kepada ranah hukum maupun
membatalkan berita-berita dusta.

Al-Naâsikh Dan Al-Mansûkh | 31


Berikut ini contoh nasakh

:‫المنسوخ‬
َْ ‫ُكتِ َب َع َل ْي ُك ْم إِذَا َح َض َر أَ َح َدُك ُم الْ َم ْو ُت إ ِْن تَـ َر َك َخْيـ ًرا الْ َو ِصيَّ ُة لِ ْل َوالِ َديْ ِن َو‬
َ ‫الْقـ َرب‬
‫ِين‬
)180:‫ين(البقرة‬ َ ‫وف َح ًّقا َع َلى الْ ُمتَّ ِق‬
ِ ‫بِالْ َم ْع ُر‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, ber­
wasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

:‫الناسخ‬

‫ِن ُك َّن نِ َسا ًء َفـ ْو َق اْثـنََتـ ْي ِن‬ ُْ ‫لذَك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ‬


ْ ‫الْنـَثـَيـ ْي ِن َفإ‬ َّ ِ‫الل ُه ِفي أَ ْوَل ِدُك ْم ل‬
َّ ‫يك ُم‬ ُ ‫وص‬
ِ ُ‫ي‬
‫اح ٍد ِمْنـ ُه َما‬ ِ ‫ِّص ُف َوِ َلبَـ َويْ ِه لِ ُك ِّل َو‬ ِ ‫َفـ َل ُه َّن ثُـ ُلثَا َما تَـ َر َك َوإ ِْن َكانَ ْت َو‬
ْ ‫اح َد ًة َفـ َل َها الن‬
ْ ‫ل ِّم ِه الُّثـ ُل ُث َفإ‬
‫ِن‬ ُ ِ ‫ِن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه َولَ ٌد َوَوِرثَ ُه أَبَـ َوا ُه َف‬ َ ‫الس ُد ُس ِممَّا تَـ َر َك إ ِْن َك‬
ْ ‫ان لَ ُه َولَ ٌد َفإ‬ ُّ
‫وصي بِ َها أَ ْو َديْ ٍن َءابَاؤُُك ْم َوأَْبـنَاؤُُك ْم َل‬ ِ ُ‫الس ُد ُس ِم ْن بَـ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة ي‬ ُ ِ ‫ِخ َوٌة َف‬
ُّ ‫ل ِّم ِه‬ ْ ‫ان لَ ُه إ‬َ ‫َك‬
:‫ان َع ِلي ًما َح ِكي ًما(النساء‬ َ ‫الل َه َك‬ َّ ‫ِن‬ َّ ‫ِيض ًة ِم َن‬
َّ ‫الل ِه إ‬ َ ‫ون أَيُّـ ُه ْم أَْقـ َر ُب لَ ُك ْم نَـ ْف ًعا َفر‬
َ ‫تَ ْد ُر‬
)11
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mem­
punyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pem­
bagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tua­mu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara

32 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menge­tahui lagi
Maha Bijaksana.

Berikut ini contoh takhshîsh

ِ ‫الصالِ َح‬
‫ات‬ َ ‫)إ َِّل الَّ ِذ‬2(ٍ‫ان لَ ِفي ُخ ْسر‬
َّ ‫ين َءا َمنُوا َو َع ِم ُلوا‬ ِ ْ ‫ِن‬
َ ‫النْ َس‬ َّ ‫)إ‬1(ِ‫َوالْ َع ْصر‬
)3(ِ‫ِالص ْبر‬ َ ‫اص ْوا بِالْ َح ِّق َوتَـ َو‬
َّ ‫اص ْوا ب‬ َ ‫َوتَـ َو‬
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

5. Hikmah Keberadaan Nasakh


Hikmah nasakh, yaitu :
a. Memelihara kemaslahatan hamba.
b. Menunjukkan adanya pengembangan persyariatan hukum
sampai ketingkat kesempurnaan sesuai dengan per­kem­
bangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
c. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya
perintah yang kemudian dihapus.
d. Menginginkan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab nasikh itu, apabila ketentuan lebih berat daripada
ke­tentuan mansukh, berarti mengandung penambahan
pahala. Sebaliknya, jika nasikh lebih mudah daripada ke­
tentuan mansûkh, itu berarti menunjukkan adanya ke­
mudahan bagi umat (Mannâ’ al-Qaththân, 1973: 240).

Al-Naâsikh Dan Al-Mansûkh | 33


BAB
VI

AL-MUNÂSABAH

1. Pengertian Munâsabah
Kata munâsabah berasal dari kata ‫> مناسبة‬- ‫> يناسب‬- ‫ناسب‬. Kata
tersebut bentuk tsulatsi mujaradnya ‫(نسب‬nasaba) yang berarti
hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Ahmad bin Faris
bin Zakariya, V, 1967: 423). Kata nasab juga dapat berarti ketu­
runan, sebab keturunan itu adalah adanya hubungan antara
orang tua dengan anak-anaknya. Munâsabah beararti muqârabah
( ‫ ) مقاربة‬atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini tentunya bisa
terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan terse­
but dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga
terjadi pada sebagaiannya saja.
Dengan demikian munâsabah menurut istilah adalah ada­
nya kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan
ayat atau surat dengan surat, atau munâsabah adalah kemirip­
an yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’ân baik
pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang menghubung­kan
antara uraian yang satu dengan yang lainnya.

2. Pembagian Munâsabah
Munâsabah dibagi menjadi 7 macam, yaitu:
a. Antara surat dengan surat sebelumnya.
b. Nama surat dengan tujuan turunnya.
c. Antara ayat dengan ayat
d. Kalimat demi kalimat dalam ayat.

34
e. Penutup ayat (fashilah) dengan kandungan ayatnya.
f. Awal uraian surat dengan akhir uraiannya.
g. Penutup surat terdahulu dengan awal uraian surat be­
rikutnya(M. Quraish Shihab, 1984: 6).

Dalam membahas ketujuh macam munâsabah tersebut,


di sini akan dikemukakan secara berurutan, yaitu sebagai be­
rikut:

a. Antara surat dengan surat Sebelumnya


Contoh antara Q.S. Quraisy/106 dan Q.S. al-Ma’ûn/ 107.

‫) َفـ ْلَيـ ْعبُ ُدوا َر َّب َه َذا الَْبـ ْي ِت‬2(‫الص ْي ِف‬ ِّ ‫ِم ر ِْح َل َة‬
َّ ‫الشتَا ِء َو‬ ْ ‫ِيل ِفه‬
َ ‫) إ‬1(‫ش‬ ٍ ْ‫ِِيل ِف ُقـ َري‬
َ‫ل‬
ٍ ‫) الَّ ِذي أَ ْط َع َم ُه ْم ِم ْن ُج‬3(
)4( ‫وع َوَءا َمَنـ ُه ْم ِم ْن َخ ْو ٍف‬
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.

ُّ ‫) َوَل يَ ُح‬2(‫يم‬ َّ ِّ ‫أَ َرأَيْ َت الَّ ِذي يُ َك ِّذ ُب ب‬


‫ض َع َلى َط َعا ِم‬ َ ِ‫) َف َذلِ َك ال ِذي يَ ُدُّع الْيَت‬1(‫ين‬ ِ ‫ِالد‬
‫ين ُه ْم‬ َ ‫) الَّ ِذ‬5(‫ون‬َ ‫ِم َسا ُه‬ْ ‫ين ُه ْم َع ْن َص َلتِه‬ َ ‫) الَّ ِذ‬4(‫ين‬
َ ‫) َفـ َويْ ٌل لِ ْل ُم َص ِّل‬3(‫ين‬ِ ‫الْ ِم ْس ِك‬
َ ‫ون الْ َما ُع‬
)7(‫ون‬ َ ‫) َويَ ْمَنـ ُع‬6(‫ون‬
َ ‫يُـ َرا ُء‬
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang
yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang ber­guna.

Hubungan antara dua surat tersebut adalah:


1). Dalam surat Quraisy, Allah membebaskan manusia dari
kelaparan, sedangkan dalam surat al-Ma’ûn, Allah men­
cela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi
makan orang miskin.

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 35
2). Dalam surat Quraisy, Allah memerintahkan agar manu­
sia menyembah-Nya, sedangkan dalam surat al-Ma’ûn,
Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan riya’

Contoh yang lain adalah Q.S. al-Lahab/111 dan Q.S. al-


Ikhlâs/112

َ ‫) َسيَ ْص َلى نَا ًرا ذ‬2(‫) َما أَ ْغنَى َع ْن ُه َمالُ ُه َوَما َك َس َب‬1(‫تَـبَّ ْت يَ َدا أَبِي لَ َه ٍب َوتَ َّب‬
‫َات‬
)5 ) ‫) ِفي ِجي ِد َها َح ْب ٌل ِم ْن َم َس ٍد‬4(‫) َوا ْم َرأَتُ ُه َحمَّالَ َة الْ َح َط ِب‬3(‫لَ َه ٍب‬
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa.Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa
yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang ber­
gejolak. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

‫) َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ُك ُف ًوا‬3(‫) لَ ْم يَِل ْد َولَ ْم يُولَ ْد‬2(‫الص َم ُد‬ َّ )1(‫الل ُه أَ َح ٌد‬


َّ ‫الل ُه‬ َّ ‫ُق ْل ُه َو‬
)4(‫أَ َح ٌد‬
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia”.

Hubungan antara dua surat tersebut adalah:


1). Surat al-Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu
tak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walau­
pun pendukung-pendukungnya bekerja keras, sedang­
kan surat al-Ikhlâsh mengemukakan bahwa ajaran tawhîd
dalam Islam adalah tawhîd yang semurni-murninya.
2). Antara dua surat tersebut ada kesesuaian melalui wazan
(timbangan). Jika diperhatikan ayat terakhir Q.S. al-Lahab
diakhiri dengan dâl dan setiap akhir ayat dari Q.S. al-Ikhlâs
diakhiri dengan dâl juga.

b. Nama surat dengan tujuan turunnya.


Nama surat dengan tujuan turunnya dapat dikaji dari
nama-nama surat yang menjadi inti pembahasan surat terse­

36 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


but. Misalnya Q.S. al Baqarah/2: 67 – 73 sebagai berikut:

ِ ‫َرًة َقالُوا أَتَـت‬ َّ َّ ‫وسى لِ َق ْوِم ِه إ‬


‫ال‬َ ‫َّخ ُذنَا ُه ُزًوا َق‬ َ ‫ِن الل َه يَْأ ُم ُرُك ْم أَ ْن تَ ْذبَ ُحوا بَـق‬ َ ‫ال ُم‬ َ ‫َوإِ ْذ َق‬
‫ال إِنَّ ُه‬
َ ‫َّك يُـَبـيِّ ْن لَنَا َما ِه َي َق‬ َ ‫) َقالُوا ا ْدُع لَنَا َرب‬67(‫ين‬ َ ‫ون ِم َن الْ َجا ِه ِل‬ َّ ‫أَ ُعوُذ ب‬
َ ‫ِالل ِه أَ ْن أَ ُك‬
‫) َقالُوا‬68(‫ون‬ َ ‫ِك ٌر َع َوا ٌن بَـ ْي َن َذلِ َك َفاْفـ َع ُلوا َما تُـ ْؤَم ُر‬ ْ ‫ِض َوَل ب‬ ٌ ‫َرٌة َل َفار‬ َ ‫ُول إِنَّـ َها بَـق‬
ُ ‫يَـق‬
‫ْرا ُء َفا ِق ٌع لَ ْونُـ َها تَ ُس ُّر‬
َ ‫َرٌة َصف‬ َ ‫ُول إِنَّـ َها بَـق‬ ُ ‫ال إِنَّ ُه يَـق‬
َ ‫َّك يُـَبـيِّ ْن لَنَا َما لَ ْونُـ َها َق‬
َ ‫ا ْدُع لَنَا َرب‬
‫َر تَ َشابَ َه َع َلْيـنَا َوإِنَّا إ ِْن َشا َء‬ َ ‫ِن الَْبـق‬ َّ ‫َّك يُـَبـيِّ ْن لَنَا َما ِه َي إ‬َ ‫) َقالُوا ا ْدُع لَنَا َرب‬69(‫ِين‬ َ ‫النَّا ِظر‬
َْ ‫ول تُثِ ُير‬ َّ
‫ض َوَل تَ ْس ِقي الْ َح ْر َث‬ َ ‫ال ْر‬ ٌ ُ‫َرٌة َل َذل‬ َ ‫ُول إِنَّـ َها بَـق‬
ُ ‫ال إِنَّ ُه يَـق‬
َ ‫) َق‬70(‫ون‬ َ ‫الل ُه لَ ُم ْهتَ ُد‬
)71(‫ون‬ َ ‫ُم َس َّل َم ٌة َل ِشيَ َة ِفي َها َقالُوا ْال َن ِج ْئ َت بِالْ َح ِّق َف َذبَ ُحو َها َوَما َكا ُدوا يَـ ْف َع ُل‬
َ ‫ِج َما ُك ْنتُ ْم تَ ْكتُ ُم‬ َّ ‫ادا َرأْتُ ْم ِفي َها َو‬ َّ ‫ْسا َف‬
‫اض ِربُوُه‬ْ ‫)َفـ ُق ْلنَا‬72(‫ون‬ ٌ ‫الل ُه ُم ْخر‬ ً ‫َوإِ ْذ َقـَتـ ْلتُ ْم نَـف‬
)73(‫ون‬ َ ‫ِيك ْم َءايَاتِ ِه لَ َع َّل ُك ْم تَـ ْع ِق ُل‬
ُ ‫الل ُه الْ َم ْوتَى َويُر‬ َّ ‫بِبـ ْع ِض َها َك َذلِ َك يُ ْحيِي‬
َ
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesung­
guhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan
kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada
Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
jahil". Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina
apa­kah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah ke­
pada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah ber­
firman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning,
yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang
yang memandangnya." Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah
akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” Musa
berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 37
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak berca­
cat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata: “Sekarang barulah
kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Ke­
mudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah), ketika kamu mem­
bunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh
tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama
ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: ”Pukullah mayat
itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah
Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan
memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu
mengerti

Dalam ayat-ayat di atas Allah menjelaskan tentang ke­


maha­kuasaan-Nya dalam menghidupkan seorang yang telah
mati, sehingga dengan demikian tujuan Surat al-Baqarah ada­
lah menyangkut kekuasaan Allah dan keimanan kepada hari
kemudian.

c. Hubungan antara ayat dengan ayat


Hubungan ayat-ayat al-Qur’ân minimal ada dua cara
yang ditempuh :
1). Menghubungkan kalimat-kalimat terdahulu dengan ka­
limat dan atau akhir kalimat pada suatu ayat dengan awal
kalimat ayat berikutnya.
2). Menghubungkan masalah yang dibahas ayat terdahulu
dengan masalah pada ayat kemudian; masalah-masalah
tersebut dapat berupa hasil pengelompokkan bebe­ rapa
ayat. Contoh antara ayat dengan ayat, Q. S. Al-Ghâsiyah/88
: 17 - 20

‫) َوإِلَى‬18(‫الس َما ِء َك ْي َف ُرِف َع ْت‬


َّ ‫) َوإِلَى‬17(‫َت‬ ْ ‫ِل َك ْي َف ُخ ِلق‬ َ ‫أَ َف َل يَـ ْن ُظ ُر‬
ِ ْ ‫ون إِلَى‬
ِ ‫الب‬
)20( ‫ض َك ْي َف ُس ِط َح ْت‬ َْ ‫) َوإِلَى‬19(‫ال َك ْي َف نُ ِصبَ ْت‬
ِ ‫ال ْر‬ ِ َ‫الْ ِجب‬
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-

38 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia di­
hamparkan?

Dalam ayat-ayat di atas terdapat unta, langit, gunung dan


bumi. Perlu diketahui bahwa ayat-ayat tersebut menggam­
barkan masyarakat Arab Badui primitif yang hidupnya ber­
pindah-pindah. Binatang unta bagi orang-orang Badui yang
primitif itu merupakan binatang yang sangat vital, dan ke­
hidupan mereka adalah bergantung dari unta-unta tersebut.
Unta-unta itu perlu digembala agar mendapatkan makan dan
minum. Makanannya berupa rerumputan, menjadi subur
perlu ada hujan; begitu juga dengan minumnya. Hal inilah
yang me­nyebabkan mereka menengadah ke langit agar turun
hujan. Sedngkan agar mereka tidak kehujanan dan kepanasan,
mereka membutuhkan tempat berteduh dan berlindung agar
aman, yaitu di gunung-gunung. Mereka berpindah dari satu
gunung ke gunung yang lain sesuai dengan keperluannya,
maka urutan dari unta, langit, gunung, dan bumi harus urut
seperti disebutkan dalam ayat tersebut (al-Zarkasyi, I, 1988: 73),
dan tidak dapat dibolak-balik.

d. Kalimat demi kalimat dalam suatu ayat


Al-Biqâ’i berpendapat bahwa semua ayat Al-Qur’ân,
bahkan kalimat demi kalimat mempunyai hubungan yang
sangat erat. Beliau berkata: “Sampai-sampai terkadang saya
ber­fikir berbulan-bulan untuk menemukannya dan setelah
saya kemukakan hubungan tersebut para ulama mengakui dan
mengaguminya”. Abu Su’ud menegaskan bahwa hubungan-
hubungan tersebut tidak mutlak harus ada pada setiap ayat
(M. Quraish Shihab, 1984: 9).
Contohnya adalah firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 24

ُ ‫ِن لَ ْم تَـ ْف َع ُلوا َولَ ْن تَـ ْف َع ُلوا َفاتَّـقُوا النَّا َر الَّتِي َوُقوُد َها الن‬
‫َّاس َوالْ ِح َجا َرُة أُ ِع َّد ْت‬ ْ ‫َفإ‬
)24( ‫ِين‬ َ ‫لِ ْل َكا ِفر‬

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 39
Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak
akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-
orang kafir.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang-orang kafir


tidak mampu melayani tantangan dalam ayat tersebut, karena
mereka sadar bahwa al-Qur’ân bersumber dari Allah, dan su­
sunan bahasa maupun keserasian maknanya sangat menga­
gumkan, sehingga sebenarnya dalam hati mereka merasa yakin,
tetapi lidah mereka menolak.
َْ diperkuat oleh kalimat ‫ َولَ ْن َتـ ْف َعلُوا‬. Muna­
Jadi kalimat ‫ل َتـ ْف َعلُوا‬
sabah dalam ayat ini menegaskan adanya ta’kid (penguat) yang
ditujukan kepada orang-orang yang ragu pada masa turun­nya
ayat ini sampai masalah datangnya hari akhir Tantangan yang
dikemukakan ayat ini sungguh mengagumkan, dan yang lebih
mengagumkan lagi adalah kepastian tentang ketidakmam­
puan bagi siapapun untuk membuat semacamnya.

e. Penutup ayat (fâshilah) dengan kandungannya


Pada dasarnya ada empat macam fâshilah:
1). Kandungan ayat mengharuskan adanya fashilah tersebut
karena kalau tidak, ia tidak memberi arti yang sempurna
atau bisa menimbulkan kesalah pahaman. Contohnya ada­
lah firman Allah Q.S. al-Ahzâb/33: 25

َّ ‫ان‬
‫الل ُه‬ َ َ‫ين الْ ِقت‬
َ ‫ال َوَك‬ َّ ‫ِم لَ ْم يَـنَالُوا َخيـرا َوَكفَى‬
َ ِ‫الل ُه الْ ُم ْؤِمن‬ ًْ َ ‫الل ُه الَّ ِذ‬
ُ ‫ين َكف‬
ْ ‫َروا بِ َغ ْي ِظه‬ َّ ‫َوَرَّد‬
)25(‫َق ِويًّا َعزِي ًزا‬
Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan
mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keun­
tungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min
dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

2). Tambahan penjelasan, (biasanya untuk menyesuaikan


dengan fâshilah ayat sebelumnya). Contohnya firman

40 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Allah Q.S. al-Naml/27: 80

َ ‫الد َعا َء إِذَا َولَّ ْوا ُم ْدبِر‬


)80(‫ِين‬ ُّ ‫الص َّم‬
ُّ ‫إِنَّ َك َل تُ ْس ِم ُع الْ َم ْوتَى َوَل تُ ْس ِم ُع‬
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang
tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membe­
lakang.

3). Lafazh fâshilah sudah disebutkan dari celah-celah redaksi


ayat pada permulaan, pertengahan dan pada akhir re­
daksi­nya. Contohnya firman Allah Q.S. Thâhâ/20: 61

َ ‫اب َوَق ْد َخ‬


‫اب‬ َّ ‫وسى َوْيـ َل ُك ْم َل تَـ ْفَتـروا َع َلى‬
ٍ ‫الل ِه َك ِذبًا َفـيُ ْس ِحتَ ُك ْم بِ َع َذ‬ َ ‫َق‬
َ ‫ال لَ ُه ْم ُم‬
ُ
)61(‫َم ِن اْفـَتـ َرى‬
Berkata Musa kepada mereka: "Celakalah kamu, janganlah kamu
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka Dia mem­binasa­
kan kamu dengan siksa". Dan sesungguhnya telah merugi orang
yang mengada-adakan kedustaan.

4). Arti kandungan fashilah telah disinggung dari celah-celah


ayat. Contoh Q.S. Yâsîn/36: 37

َّ ‫َوَءايٌَة لَ ُه ُم‬
َ ‫الل ْي ُل نَ ْس َل ُخ ِم ْن ُه الَّنـ َها َر َفإِذَا ُه ْم ُم ْظ ِل ُم‬
)37( ‫ون‬
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta
merta mereka berada dalam kegelapan,

َ ‫َخ ِمنْ ُه الَّنـ َه‬


Kalimat ‫ار‬ ُ ‫( نَ ْسل‬Kami tanggalkan siang) telah me­
ngandung pengertian bahwa ‫ ُه ْم ُم ْظلِ ُمو َن‬mereka berada dalam
kegelapan.

f. Hubungan awal uraian surat dengan akhir uraiannya.


Hubungan awal uraian surat dengan akhir uraiannya tidak
harus ayat yang terakhir, namun bisa pada ayat bagian akhir.
Seperti contoh dalam QS al Mukminun. Ayat terakhir dari

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 41
surat ini adalah ayat 118, dan munâsabahnya ada pada Q.S.
al-Mu’minun/23 117.

َ ُ‫َق ْد أَْفـ َل َح الْ ُم ْؤِمن‬


)1( ‫ون‬
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

َ ‫َإِنَّ ُه َل يُـ ْف ِل ُح الْ َكا ِف ُر‬


)117(‫ون‬
… Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.
Munâsabah ayat awal menjelaskan bahwa orang-orang
mu’min itu bertentangan dengan orang-orang kafir. Orang-
orang mu’min itu beruntung, sedang orang-orang kafir tidak
beruntung.

g. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal uraian


surat berikutnya.
Penutup surat terdahulu misalnya Q.S. al-Nisâ’/4: 172
– 174, dan 176 dengan awal surat berikutnya, yaitu Q.S. al-
Mâidah/5: 1
Q.S. al- Nisâ’/4: 172 – 174, dan 176

‫ون َوَم ْن يَ ْسَتـ ْن ِك ْف‬ َّ ‫ون َع ْب ًدا لَِّل ِه َوَل الْ َم َلئِ َك ُة الْ ُمق‬
َ ُ‫َرب‬ َ ‫يح أَ ْن يَ ُك‬ ُ ‫لَ ْن يَ ْسَتـ ْن ِك َف الْ َم ِس‬
‫ين َءا َمنُوا َو َع ِم ُلوا‬ َ ‫) َفأَمَّا الَّ ِذ‬172(‫َع ْن ِعبَا َدتِ ِه َويَ ْستَ ْكب ِْر َف َسيَ ْح ُش ُرُه ْم إِلَْي ِه َج ِمي ًعا‬
‫استَ ْكَبـ ُروا‬ ْ ‫اسَتـ ْن َكفُوا َو‬
ْ ‫ين‬ َ ‫ِم أُ ُجوَرُه ْم َويَزِي ُد ُه ْم ِم ْن َف ْض ِل ِه َوأَمَّا الَّ ِذ‬ ْ ‫ات َفـُيـ َوِّفيه‬
ِ ‫الصالِ َح‬ َّ
‫) يَاأَيُّـ َها‬173(‫الل ِه َولِيًّا َوَل نَ ِص ًيرا‬ َّ ‫ون‬ ِ ‫ون لَ ُه ْم ِم ْن ُد‬ َ ‫َفـُيـ َع ِّذبُـ ُه ْم َع َذابًا أَلِي ًما َوَل يَ ِج ُد‬
‫) يَ ْسَتـ ْفتُونَ َك ُق ِل‬174(‫ِّك ْم َوأَْنـ َزلْنَا إِلَْي ُك ْم نُوًرا ُمبِينًا‬ ُ ‫َّاس َق ْد َجا َءُك ْم بُـ ْرَها ٌن ِم ْن َرب‬ ُ ‫الن‬
‫س لَ ُه َولَ ٌد َولَ ُه أُ ْخ ٌت َفـ َل َها نِ ْص ُف َما تَـ َر َك‬ ِ ‫يك ْم ِفي الْ َك َللَ ِة إ‬ َّ
ُ ِ‫الل ُه يُـ ْفت‬
َ ‫ِن ا ْم ُرٌؤ َه َل َك لَْي‬
‫ان ِممَّا تَـ َر َك َوإ ِْن َكانُوا‬ ِ َ‫ِن َكانَـتَا اْثـنََتـ ْي ِن َفـ َل ُه َما الُّثـ ُلث‬ْ ‫َو ُه َو يَ ِرثُـ َها إ ِْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ َها َولَ ٌد َفإ‬
‫ِك ِّل‬ َّ ‫الل ُه لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِض ُّلوا َو‬
ُ ‫الل ُه ب‬ َّ ‫الْنـَثـيـي ِن يُـبـيِّ ُن‬ ِّ َّ
َ ْ َ ُْ ‫ِخ َوًة ر َِج ًال َونِ َسا ًء َف ِللذَك ِر ِم ْث ُل َحظ‬ ْ‫إ‬
)176(‫يم‬ ٌ ‫َش ْي ٍء َع ِل‬
Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan
tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada

42 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan
ber­buat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala
mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-
Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan
diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang
pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pe­
lindung dan penolong selain daripada Allah. Hai manusia, se­­
sung­ guhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhan­­mu, (Muham­mad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami
turun­­kan kepada­mu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan pe­rem­puan,
maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) ke­
padamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Menge­
tahui segala sesuatu.

Q.S. al-Mâidah/5: 1

َْ ‫ين َءا َمنُوا أَ ْوُفوا بِالْ ُعقُوِد أُ ِح َّل ْت لَ ُك ْم بَهِي َم ُة‬


‫الْنـ َعا ِم إ َِّل َما يُـْتـ َلى َع َل ْي ُك ْم‬ َ ‫يَاأَيُّـ َها الَّ ِذ‬
َّ ‫ِن‬
)1(‫الل َه يَ ْح ُك ُم َما يُرِي ُد‬ َّ ‫َغْيـ َر ُم ِح ِّلي‬
َّ ‫الص ْي ِد َوأَْنـتُ ْم ُح ُرٌم إ‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Di­
halalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan ber­
buru ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 43
Firman Allah Q.S. al- Nisâ’/4: 172 – 174, dan 176 meme­
rintahkan untuk berlaku adil dan meng Esa kan Allah, tidak
sombong, dan diserukan kepada manusia khususnya me­
nyang­kut harta warisan harus dilaksanakan pembagiannya
sesuai dengan aturan, sedangkan Q.S. al-Mâidah/5: 1 meme­
rintahkan agar orang beriman memenuhi segala macam per­
janjian baik kepada Allah, maupun terhadap sesama manusia.
Contoh lain, misalnya Q.S. al Hajj/22: 77 dijelaskan dengan
Q.S. al Mu’minun/23: 1- 11 Setiap surat yang datang ke­mudi­
an merupakan penjelasan terperinci tentang masalah tertentu
dari Surat sebelumnya, sebagai berikut:

Firman Allah Q.S. al Hajj/22 : 77

َ ‫َواْفـ َع ُلوا الْ َخْيـ َر لَ َع َّل ُك ْم تُـ ْف ِل ُح‬


‫ون‬
… dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Q.S. al Mu’minun/23 : 1- 11

َّ ‫ين ُه ْم َع ِن‬
‫الل ْغ ِو‬ َ ‫) َوالَّ ِذ‬2(‫ون‬ ِ ‫ِم َخ‬
َ ‫اش ُع‬ ْ ‫ين ُه ْم ِفي َص َلتِه‬ َ ‫)الَّ ِذ‬1(‫ون‬ َ ُ‫َق ْد أَْفـ َل َح الْ ُم ْؤِمن‬
‫)إ َِّل‬5(‫ون‬ َ ‫ِم َحا ِف ُظ‬ ْ ‫وجه‬ ِ ‫ُر‬ُ ‫ين ُه ْم لِف‬ َ ‫) َوالَّ ِذ‬4(‫ون‬ َ ‫لزَكا ِة َفا ِع ُل‬ َّ ِ‫ين ُه ْم ل‬َ ‫) َوالَّ ِذ‬3(‫ون‬ َ ‫ِض‬ ُ ‫ُم ْعر‬
‫) َف َم ِن اْبـَتـ َغى َوَرا َء َذلِ َك‬6(‫ين‬ َ ‫ِم أ ْو َما َم َل َك ْت أَيْ َمانُـ ُه ْم َفإِنَّـ ُه ْم َغْيـ ُر َم ُلوِم‬ ْ ‫اجه‬ِ ‫َع َلى أَ ْزَو‬
‫ين ُه ْم َع َلى‬ َ ‫) َوالَّ ِذ‬8(‫ون‬ َ ‫ِم َو َع ْه ِد ِه ْم َرا ُع‬ْ ‫ين ُه ْم ِ َل َمانَاتِه‬ َ ‫) َوالَّ ِذ‬7(‫ون‬ َ ‫َفأُولَئِ َك ُه ُم الْ َعا ُد‬
‫ُون الْ ِف ْرَد ْو َس ُه ْم ِفي َها‬ َ ‫ين يَ ِرث‬َ ‫)الَّ ِذ‬10(‫ُون‬ َ ‫)أُولَئِ َك ُه ُم الْ َوا ِرث‬9(‫ون‬ َ ‫ِم يُ َحا ِف ُظ‬ ْ ‫َص َل َواتِه‬
)11(‫ون‬ َ ‫َخالِ ُد‬
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
ber­guna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-
orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan

44 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan
mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Kata ‫ ُتـ ْفلِ ُحو َن‬bagian penutup atau akhir surat al-Hajj di­
jelaskan dalam Q.S. al- Mu’minûn/23 yaitu dengan adanya
َ ‫ أَْفـل‬. Jadi rincian “orang-orang yang beruntung” itu di­
kata ‫َح‬
jelaskan secara terperinci dalam Q.S. al Mu’minun/23: 1 - 11.

‘Ulûm Al-Qur`Ân | 45
BAB
VII

FAWÂTIH AL-SUWAR

1. Pengertian Fawâtih al-Suwar


Kata Fawâtih bentuk jamak fatihah Kata fâtihah dari fataha –
yaftahu- fathan berarti membuka. Jadi fâtihah berarti pembuka.
Kata al-suwar bentuk jamak dari sûrah. Fawatih al-suwar ber­
arti pembuka-pembuka surat atau yang dipermulaan dari se­
tiap surat dalam al-Qur`ân.

2. Bentuk-bentuk Pembuka Surat


Bentuk-bentuk Pembuka Surat dalam al-Qur`ân adalah
se­bagai berikut:

a. Sanjungan atau Pujian ( ‫ ) الثناء‬ada dua macam, yaitu:


1). Menetapkan sifat-sifat terpuji dengan ‫احلمد هلل‬dan, ‫تبارك‬
2). Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif dengan , ‫سبحان‬
‫ يُ َسبِّ ُح‬, ‫سبَّ َح‬,
َ dan ‫سبِّ ِح‬.
َ
Contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
Kalimat ‫ احلمد هلل‬ada pada lima surat, yaitu Q.S.al-Fâtihah/1,
Q.S. al-An’âm/6, Q.S. al-Kahfi/18, Q.S. Saba`/34, dan pada
Q.S. Fâthir/35. Ayat-ayat tersebut adalah:
a). Q.S.al-Fâtihah/1

َ ‫الْ َح ْم ُد لَِّل ِه َر ِّب الْ َعالَ ِم‬


‫ين‬
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

46
b). Q.S. al-An’âm/6: 1

َ ‫ُم الَّ ِذ‬


‫ين‬ ُّ ‫ض َو َج َع َل‬
ِ ‫الظ ُل َم‬
َّ ‫ات َوالنُّوَر ث‬ َْ ‫ات َو‬
َ ‫ال ْر‬ َّ ‫الْ َح ْم ُد لَِّل ِه الَّ ِذي َخ َل َق‬
ِ ‫الس َم َو‬
َ ُ‫ِم يَـ ْع ِدل‬
‫ون‬ ُ ‫َكف‬
ْ ‫َروا ب َِربِّه‬
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi,
dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang
kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.

c). Q.S. al-Kahfi/18


َ َ‫الْ َح ْم ُد لَِّل ِه الَّ ِذي أَْنـ َز َل َع َلى َع ْب ِد ِه الْ ِكت‬
‫اب َولَ ْم يَ ْج َع ْل لَ ُه ِع َو َجا‬
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-
Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan ke­
bengkokan di dalamnya;

d). Q.S. Saba`/34

‫ض َولَ ُه الْ َح ْم ُد ِفي ْال ِخ َرِة‬ َْ ‫ات َوَما ِفي‬


ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫الْ َح ْم ُد لَِّل ِه الَّ ِذي لَ ُه َما ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬
ُ ‫يم الْ َخب‬
‫ِير‬ ُ ‫َو ُه َو الْ َح ِك‬
Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat.
Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

e). Q.S. Fâthir/35

‫ض َجا ِع ِل الْ َم َلئِ َك ِة ُر ُس ًل أُولِي أَ ْجنِ َح ٍة َمْثـنَى‬ َْ ‫ات َو‬


ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫الْ َح ْم ُد لَِّل ِه َفا ِط ِر‬
ِ ‫الس َم َو‬
َّ ‫ِن‬
‫الل َه َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ٌير‬ َّ ‫َوث َُل َث َوُربَ َاع يَزِي ُد ِفي الْ َخ ْل ِق َما يَ َشا ُء إ‬
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang men­
jadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus ber­
bagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing
(ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Fawâtih Al-Suwar | 47
Kalimat ‫ تبارك‬ada pada dua surat, yaitu pada Q.S. al-Furqan/
25, dan pada Q.S. al-Mulk/67. Ayat-ayat tersebut adalah:
1). Q.S. al-Furqân/25: 1

َ ‫ان َع َلى َع ْب ِد ِه لِيَ ُك‬ َّ


َ ‫ون لِ ْل َعالَ ِم‬
‫ين نَ ِذ ًيرا‬ ْ ‫تَـبَا َر َك ال ِذي نَـ َّز َل الْف‬
َ ‫ُرَق‬
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqân (Al Qur’ân)
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam.

2). Q.S. al-Mulk/67

‫تَـبَا َر َك الَّ ِذي بِيَ ِد ِه الْ ُم ْل ُك َو ُه َو َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد ٌير‬


Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu,

Contoh ayat yang menggunakan ‫ سبحان‬dalah pada Q.S. al-


Isrâ`/17

‫ال ْق َصى الَّ ِذي‬


َْ ‫ان الَّ ِذي أَ ْس َرى بِ َع ْب ِد ِه لَْي ًل ِم َن الْ َم ْس ِج ِد الْ َح َرا ِم إِلَى الْ َم ْس ِج ِد‬ َ ‫ُس ْب َح‬
َّ ‫بَا َرْكنَا َح ْولَ ُه لِنُ ِريَ ُه ِم ْن َءايَاتِنَا إِنَّه ُه َو‬
‫الس ِمي ُع الْبَ ِص ُير‬
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil AQ.S.ha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Contoh ayat yang menggunakan ‫ َسبَّ َح‬adalah pada Q.S. al-


Hadîd/58

ُ ‫ض َو ُه َو الْ َعزِي ُز الْ َح ِك‬


‫يم‬ َْ ‫ات َو‬
ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫َسبَّ َح لَِّل ِه َما ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertas­bih
kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu.

48 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Kata ‫ َسبَّ َح‬juga ada di Q.S. al-Hasyr /59, dan al-Shaff/61

Contoh ayat yang menggunakan ‫ يُ َسبِّ ُح‬ada pada Q.S.


Jumu’ah/ 62

)1(‫وس الْ َعزِي ِز الْ َح ِكي ِم‬ ُّ ‫ض الْ َم ِل ِك الْق‬


ِ ‫ُد‬ َْ ‫ات َوَما ِفي‬
ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫يُ َسبِّ ُح لَِّل ِه َما ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬
Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.

Selain pada Q.S. Jumu’ah/ 62, juga ada pada Q.S. al-
Taghâbun/64

Ayat yang menggunakan kata ‫ َسبِّ ِح‬hanya ada pada satu


surat yaitu Q.S. al-A’lâ/87

َْ ‫ِّك‬
)1(‫ال ْع َلى‬ َ ‫اس َم َرب‬
ْ ‫َسبِّ ِح‬
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi

b. Huruf-huruf Hijaiyah )‫)الحروف التهجى‬


Huruf-huruf hijaiyyah ini adalah huruf-huruf potongan
dalam awal surat. Huruf-huruf potongan tersebut adalah:
1). Satu huruf ‫ ن‬, ‫ ق‬,‫ ص‬. Bentuk tersebut ada pada Q.S. al-
Qalam/68, pada Q.S. Qâf/50, dan pada Q.S. Shâd/38.
2). Dua huruf ‫ حم‬, ‫ يس‬, ‫ طس‬, ‫ طه‬. Bentuk tersebut ada pada
sepuluh surat. Tiga bentuk ‫ يس‬, ‫ طس‬, ‫ طه‬ada pada surat:
Q.S. Thâhâ, Q.S. Thâsîn, dan Q.S. Yâsîn. Bentuk ‫ حم‬ter­
dapat pada tujuh surat, yaitu: Q.S. Mu’min/40, Q.S.
Fushilat/41, Q.S. al-Syûra/42, Q.S. al-Zukhruf/43, Q.S.
al-Dukhân/ 44, Q.S. al-Jâtsiyah/45, dan Q.S. al-Ahqâf/46.
Dan khusus pada Q.S. al-Syûra/42 bentuk ‫ حم‬terdapat pada
ayat pertama dan pada ayat kedua terdapat huruf ‫عسق‬.
3). Tiga huruf ‫ امل‬,‫ الر‬,‫ طسم‬, ‫عسق‬. Bentuk ‫ امل‬pada Q.S. al-
Baqarah/2, Q.S. Ali ‘Imrân/3, Q.S. al-‘Ankabût/29, Q.S.
al-Rûm/30, Q.S. Luqmân/31, dan Q.S. al-Sajdah/32.

Fawâtih Al-Suwar | 49
Bentuk ‫ الر‬pada surat Q.S. Yûnus, Q.S. Hûd, Q.S. Ibrâhim,
dan Q.S. al-Hijr. Bentuk ‫ طسم‬pada Q.S. al-Syu’arâ/26,
dan pada Q.S. al-Qashash/28. Bentuk ‫ عسق‬pada Q.S. al
al-Syûra/42 sesudah bentuk ‫حم‬. Jadi bentuk ‫ عسق‬ini hanya
satu-satunya dan ada pada ayat ke dua.
4). Empat huruf‫ املر‬, ‫ املص‬. Bentuk ‫ املر‬pada Q.S. al-Ra’d/13,
dan bentuk ‫ املص‬pada Q.S. al-A’râf/7.
5). Lima huruf ‫ كهيعص‬hanya ada pada Q.S. Maryam/19.

c. Al-Nidâ` )‫)النداء‬
Bentuk al-Nidâ` (panggilan) ada pada sepuluh surat,
dengan rincian sebagai berikut:
1). َ ‫ يَاأَُّيـ َها الَّ ِذ‬. Bentuk ini ada pada tiga surat, yaitu pada
‫ين َءا َمنُوا‬
Q.S. al-Maidâh/5, Q.S. al-Mumtahanah/60, dan pada Q.S.
al-Hujurât/49.
2). ُّ ِ ‫ يَاأَُّيـ َها الن‬Bentuk ini ada pada tiga surat, yaitu Q.S. al-
‫َّب‬
Thalâq/65, Q.S. al-Ahzâb/33, dan pada Q.S. al-Tahrîm/66
3). ‫ يَاأَُّيـ َها الْ ُم َّدِّثـ ُر‬Bentuk ini hanya ada pada Q.S. al-Muddatsir/74.
4). ‫َّاس‬ُ ‫ يَاأَُّيـ َها الن‬. Bentuk ini ada pada dua surat, yaitu pada Q.S.
al-Nisâ`/4, dan pada Q.S. al-Hajj/22
ُ ‫ يَاأَُّيـ َها الْ ُمزَّم‬Bentuk ini hanya ada pada Q.S. al-Muzammil/73
5). ‫ِّل‬

d. Jumlah Khabariyah )‫)الجمل الخبريّة‬


Jumlah Khabariyah ini ada 23 surat (al-Zarkasyi, I, 1988:
229) antara lain menggunakan kalimat: ‫ال‬ ِ ‫ يَ ْسأَلُونَ َك َع ِن الَْْنـ َف‬pada
Q.S. al-Anfal/8, ‫اء ٌة ِم َن اللَّ ِه‬ َ ‫ َبـ َر‬pada Q.S. al-Tawbah/9, ‫أَتَى أَ ْم ُر اللَّ ِه‬
pada Q.S. al-Nahl/16, ‫َّاس‬ ِ ‫ اْقـَتـ َر َب لِلن‬pada Q.S. al-Anbiya`/21, ‫قَ ْد‬
َ ‫ أَْفـل‬pada Q.S. al-Mu’minun/23, ‫ورٌة أَْنـ َزلْنَا َها‬
‫َح الْ ُم ْؤِمنُو َن‬ َ ‫ ُس‬pada Q.S. al-
Nur/24, ‫اب ِم َن اللَّ ِه‬ ِ َ‫ِيل الْ ِكت‬
ُ ‫ َتـنْز‬padaQ.S. al-Zumar/39, ‫ين َك َف ُروا‬ َ ‫ الَّ ِذ‬pada
Q.S. Muhammad/ 47, ‫ إِنَّا َفـتَ ْحنَا‬pada Q.S. al-Fath/48, ‫السا َع ُة‬ َّ ‫اْقـَتـ َربَ ِت‬
pada Q.S. al-Qamar/54

50 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


e. Wawu al-Qasam (‫القسم‬ ‫) واو‬
Wawu al-Qasam adalah huruf wawu yang berarti demi
menunjukkan sumpah. Wawu al-qasam ini ada pada 15 surat
(al-Zarkasyi, I, 1988: 229) antara lain: ِ َّ‫الصاف‬
‫ات‬ َّ ‫ َو‬pada Q.S. al-
Shâffât/37, ‫ات‬ َّ ‫ َو‬pada Q.S. al-Dzâriyât/51, ‫الطوِر‬
ِ َ‫الذا ِري‬ ُّ ‫ َو‬pada Q.S.
ْ ‫ َوالن‬pada Q.S. al-Najm/53, ‫ َوالْ ُم ْر َس َل ِت‬pada Q.S. al-
al-Thûr/52, ‫َّج ِم‬
Mursalât/77, ‫ات‬ ِ ‫ َوالنَّا ِزَع‬pada Q.S. al-Nâzi’ât/79, dan ‫الس َما ِء‬ َّ ‫ َو‬pada
Q.S. al-Burûj/85.

f. Al-Syarth (‫)الشرط‬
Kalimat syarat ini ada pada tujuh surat, yaitu ‫إِذَا َوَقـ َع ِت‬
‫ الْ َواقِ َع ُة‬pada Q.S. al-Waqi’ah/56, ‫ إِذَا َج َاء َك الْ ُمنَافِقُو َن‬pada Q.S. al-
Munafiqun/63, ‫ت‬ َّ ‫ إِذَا‬pada Q.S. al-Takwir/81, ‫الس َم ُاء‬
ْ ‫الش ْم ُس ُك ِّوَر‬ َّ ‫إِذَا‬
‫ اْنـ َف َط َر ْت‬pada Q.S. al-Infithar/82, ‫الس َم ُاء انْ َش َّق ْت‬ َّ ‫ إِذَا‬pada Q.S. al-
Inssiqaq/84, ‫ض‬ ُ ‫ إِذَا ُزلْ ِزلَ ِت الَْ ْر‬pada Q.S. al-Zilzalah/99, dan ‫إِذَا َج َاء‬
‫ نَ ْص ُر اللَّ ِه‬pada Q.S. al-Nashr/110.

g. Pembukaan dengan fi’il Amr (‫)اإلستفتاح باألمر‬


Pembukaan dengan fi’il Amr atau kata perintah ada pada
َّ َ ‫وحي إ‬
enam surat, yaitu: ‫ِل‬ َ ِ ُ‫ُل أ‬
ْ ‫ ق‬pada Q.S. al-Jin/72, ‫ِّك‬ ْ ‫ اْقـ َرأْ ب‬pada
َ ‫ِاس ِم َرب‬
Q.S. al-‘Alaq/96, ‫ُل يَاأَُّيـ َها الْ َكافِ ُرو َن‬
ْ ‫ ق‬pada Q.S. al-Kafirun/109, ‫ُل ُه َو‬ ْ‫ق‬
‫ اللَّ ُه أَ َح ٌد‬pada Q.S. al-Ikhlash/112, ‫ُل أَ ُعوُذ‬ ْ ‫ ق‬pada Q.S. al-Falaq/113,
dan pada Q.S. al-Nas/114.

h. Al-Du’a ( ‫) الدعاء‬
Pembukaan dengan do’a ini ada pada tiga surat yaitu ‫َويْ ٌل‬
َ ‫لِل ُْم َط ِّف ِف‬pada Q.S. al-Muthaffifîn/83, ‫ َويْ ٌل لِ ُك ِّل َُه َزٍة لُ َم َزٍة‬pada Q.S. al-
‫ني‬
Humazah/104, ‫ب‬ َّ َ‫ َتـبَّ ْت يَ َدا أَِب لََ ٍب َوت‬pada Q.S. al-Lahab/111.

Fawâtih Al-Suwar | 51
i. Al-Ta’lil (‫)التعليل‬
Al-Ta’lil ini hanya ada pada Q.S. Quraisy/106: 1

ٍ ْ‫ِِيل ِف ُقـ َري‬


‫ش‬ َ‫ل‬
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy

3. Kedudukan Huruf-huruf Hijaiyah


Pembuka surat yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah atau
potongan huruf termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Terhadap
potongan huruf ini para ulama terdapat dua pendapat
Pertama, ulama yang memahaminya sebagai hal yang ra­
hasia yang hanya bisa diketahui maknanya oleh Allah saja.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa potongan-po­
tong­an huruf itu mempunyai arti yang dapat difahami oleh
manusia, sehingga dapat diketahui pengertian dan penafsir­an
maknanya. Misalnya pendapat dari Ibn ‘Abbas yang menje­
laskan bahwa ‫ امل‬yang dimaksud adalah ‫ أنا اهلل أعلم‬sedangkan ‫الر‬
‫ حم ن‬sing­katan dari ‫الر محن‬.

4. Pendapat Ulama tentang Huruf-huruf Hijaiyyah


Pendapat Ulama tentang Huruf-huruh Hijaiyyah pada
pem­buka surat antara lain sebagai berikut:
a. Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa huruf-huruf hijaiyah
pada pembuka surat merupakan nama surat, sumpah
Allah, agar menarik perhatian bagi yang mende­ngarkan­
nya, dan huruf yang dipakai adalah sebanyak separoh
dari keseluruhan huruf-huruf hijaiyyah. Huruf tersebut
adalah: alif, lâm, mim, shâd, râ`, kâf, hâ`, yâ`, ‘ain, thâ`, sîn, khâ`,
qâf, dan nûn (al-Zarkasyi, I, 1988: 214 – 215).
b. Rasyid Ridha berpendapat bahwa huruf-huruf hijaiyyah
pada pembuka surat adalah merupakan tanbîh (peringat­
an) kepada orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang
Yahudi di Madinah.

52 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


BAB
VIII

AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYÂBIH

1. Pengertian Muhkam dan Mutasyâbih


Muhkam dari kata ahkama. Kata ahkama bentuk tsulasi
mujarrad nya adalah hakama yang berarti mencegah (Ahmad
bin Fâris bin Zakariyâ, II, 1967: 91) dan memutuskan(al-Râghib
al-Ashfahânî, t.t..: 126). Kata muhkam berarti yang dikokoh­
kan, yang diputuskan, dan yang dicegah..
Muhkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dan yang salah, dan memi­sah­
kan urusan yang lurus dani yang sesat. Jadi, kalam muhkam
adalah perkataan yang seperti itu sifatnya (Mannâ` al-Qaththân,
1973: 215).
Muhkam terdapat beberapa pengertian antara lain:
a. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya
b. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah.
c. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui
secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain.

Dari ketiga pendapat tersebut, menurut penulis, dapat di­


simpulkan bahwa muhkam menurut istilah adah ayat yang
kuat dan jelas maknanya, tidak memerlukan keterangan, dan
tidak mengandung kemungkinan adanya nasakh
Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-Qur`ân bahwa
seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam
Q.S. Fushilat/41: 3:

53
َ ‫اب ُف ِّص َل ْت َءايَاتُ ُه ُقـ ْرَءانًا َع َربِيًّا لِ َق ْوٍم يَـ ْع َل ُم‬
‫ون‬ ٌ َ‫ِكت‬
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
Arab, untuk kaum yang mengetahui,

Dan ditegaskan pula dalam Q.S. Hud /11 : 1

َّ ‫اب أُ ْح ِك َم ْت َءايَاتُ ُه ث‬
‫ُم ُف ِّص َل ْت ِم ْن لَ ُد ْن َح ِكي ٍم َخبِي ٍر‬ ٌ َ‫الر ِكت‬
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan
dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,

Dalam ayat-ayat di atas berarti bahwa “al-Qur`ân itu se­


luruhnya muhkam”, maksudnya al-Qur`ân itu kata-katanya
kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang
hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang
dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘amm atau
muhkam dalam arti umum.
Sedangkan Mutasyâbih adalah bentuk isim fâ’il dari
tasyâbaha berarti saling ada keserupaan atau saling ada kesa­
maan atau salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.
Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya ke­
miripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Perhatikan firman Allah Q.S. al-Baqarah/ 2: 25

َْ ‫َّات تَ ْجرِي ِم ْن تَ ْحتِ َها‬


‫الْنـ َها ُر‬ ٍ ‫ات أَ َّن لَ ُه ْم َجن‬ ِ ‫الصالِ َح‬
َّ ‫ين َءا َمنُوا َو َع ِم ُلوا‬ َ ‫َوبَ ِّش ِر الَّ ِذ‬
‫ُك َّل َما ُرِزُقوا ِمْنـ َها ِم ْن ثَ َم َرٍة ِرْزًقا َقالُوا َه َذا الَّ ِذي ُرِزْقـنَا ِم ْن َقـ ْب ُل َوأُتُوا بِ ِه ُمتَ َشابِ ًها‬
ٌ ‫َولَ ُه ْم ِفي َها أَ ْزَو‬
َ ‫اج ُم َط َّه َرٌة َو ُه ْم ِفي َها َخالِ ُد‬
‫ون‬
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki
buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-

54 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-
isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

Maksud dari kalimat ‫ابًا‬ِ ‫ َوأُتُوا بِ ِه ُمتَ َش‬dalam ayat tersebut


adalah bahwa sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan
sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan
hakikatnya. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamail (sama)
dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah
kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya mem­
betulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-Qur`ân bahwa
seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam
Q.S. al-Zumar/39: 23

َّ
ِ ‫الل ُه نَـ َّز َل أَ ْح َس َن الْ َح ِد‬
‫يث ِكتَابًا ُمتَ َشابِ ًها َمثَانِ َي‬
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-
Qur`ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang....

Dengan demikian, jika dilihat dari ayat tersebut, maka “


al-Qur`ân itu ayat-ayatnya mutasyabih”, maksudnya bahwa
al-Qur`ân itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagi­
an yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan
seba­giannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula
maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al- ‘amm
atau mutasyabih dalam arti umum.
Mutasyabih ada beberapa pengertian antara lain:
a. Mutasyabih hanya bisa diketahui maksudnya oleh Allah
sendiri.
b. Mutasyabih mengandung banyak wajah.
c. Mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk
kepada ayat-ayat yang lain.

Dari ketiga pendapat tersebut, menurut penulis, dapat


disimpulkan bahwa mutasyabih menurut istilah adalah ayat
yang mengandung beberapa pengertian, memerlukan kete­

Al-Muhkam Dan Al-Mutasyâbih | 55


rangan, dan kemungkinan hanya Allah yang Maha Menge­ta­
hui yang bisa mengetahui maknanya
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pe­
ngertian secara mutlak atau umum sebagaimana di atas tidak
menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, per­
nyataan “al-Qur`ân itu ayat-ayatnya muhkam” adalah dengan
pengertian itqan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa
dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini
karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-
makna­nya sesuai sekalipun lafal-lafalnya berbeda-beda.
Jika al-Qur`ân memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak
akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia
akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya.
De­mikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada per­
tentangan dan perselisihan dalam al-Qur`ân. Hal ini sesuai
dengan Q.S. al-Nisâ`/4: 82

َّ ‫ان ِم ْن ِع ْن ِد غَي ِر‬


‫اختِ َل ًفا َكثِ ًيرا‬
ْ ‫الل ِه لَ َو َج ُدوا ِفي ِه‬ ْ َ ‫ان َولَ ْو َك‬ ْ ‫ون الْق‬
َ ‫ُرَء‬ ُ ‫أَ َف َل يَـتَ َدبـ‬
َ ‫َّر‬
“Dan seandainya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka akan mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya.”

Jadi al-Qur`ân sendirilah yang menjelaskan bahwa ayat-


ayatnya ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih. Hal ini
dijelaskan dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 7

‫اب َوأُ َخ ُر‬ ِ َ‫ات ُه َّن أُ ُّم الْ ِكت‬ ٌ ‫ات ُم ْح َك َم‬ ٌ َ‫اب ِم ْن ُه َءاي‬ َ َ‫ُه َو الَّ ِذي أَْنـ َز َل َع َل ْي َك الْ ِكت‬
‫ون َما تَ َشابَ َه ِم ْن ُه ابْتِ َغا َء الْ ِفْتـنَ ِة َوابْتِ َغا َء‬َ ‫ِم َزيْ ٌغ َفـيَتَّبِ ُع‬ْ ‫ين ِفي ُقـ ُلوبِه‬َ ‫ات َفأَمَّا الَّ ِذ‬ ٌ ‫ُمتَ َشابِ َه‬
‫ون َءا َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ َ ُ‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم يَـقُول‬ َ ‫اس ُخ‬ ِ ‫الر‬ َّ ‫تَْأوِي ِل ِه َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل‬
َّ ‫الل ُه َو‬
َْ ‫َربِّـنَا َوَما يَ َّذَّك ُر إ َِّل أُولُو‬
ِ َ‫اللْب‬
‫اب‬
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok
isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka

56 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-
orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.

2. Perbedaan Pendapat tentang Kemungkinan Terjadi


Tasyabuh
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ayat-ayat al-
Qur`an ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka
per­
bedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat
yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan.
Perbedaan pendapat ini misalnya masalah waqaf dalam
Q.S. Ali Imran: 7

‫ون َءا َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َربِّـنَا‬


َ ُ‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم يَـقُول‬ ِ ‫الر‬
َ ‫اس ُخ‬ َّ ‫َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل‬
َّ ‫الل ُه َو‬
... padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami."

Apakah kedudukan lafal ‫الْ ِع ْل ِم‬ ِ ‫الر‬


‫اس ُخو َن ِف‬َّ ‫ َو‬sebagai mubtada’
yang khabarnya adalah ‫َيـ ُقولُو َن‬, dengan‫( و‬wawu) sebagai huruf
isti‘naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafal ‫َم‬ ُ ‫َوَما َيـ ْعل‬
َّ‫ تَْأوِيلَ ُه إَِّل الل ُه‬ataukah ia ma’tûf, sedang lafal ‫ َيـ ُقولُو َن‬menjadi hâl dan
waqafnya pada lafal ‫اس ُخو َن ِف الْ ِع ْل ِم‬ ِ ‫الر‬
َّ ‫َو‬
Pendapat pertama ini diikuti oleh sejumlah ulama; di­
antaranya adalah Ubai bin Ka’b, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, sejum­
lah sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain,
dengan keterangan yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
mustadrak-nya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:

Al-Muhkam Dan Al-Mutasyâbih | 57


‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم َءا َمنَّا بِ ِه‬ ‫الر ِ‬
‫اس ُخ َ‬ ‫َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل َّ‬
‫الل ُه َو َّ‬
‫‪Dan dengan qira’ah Ibn Mas’ud:‬‬

‫إن تأويله إال عند اهلل والراسخون في العلم يقولون آمنا به‬
‫‪Dan ayat itu sendiri juga menyatakan celaan terhadap‬‬
‫‪orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan mensifatinya‬‬
‫­‪sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada kesesat‬‬
‫‪an dan ada upaya membuat fitnah (Mannâ` al-Qaththân, 1973:‬‬
‫‪217).‬‬

‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َه ِذ ِه‬‫الل ِه َص َّلى َّ‬ ‫ول َّ‬‫الل ُه َعْنـ َها َقالَ ْت تََل َر ُس ُ‬ ‫‪َ ...‬ع ْن َعائِ َش َة َر ِضي َّ‬
‫َ‬
‫اب َوأُ َخ ُر‬ ‫ات ُه َّن أُ ُّم الْ ِكتَ ِ‬ ‫َ‬
‫ات ُم ْحك َم ٌ‬ ‫اب ِم ْن ُه آيَ ٌ‬ ‫ْاليَ َة ُه َو الَّ ِذي أَْنـ َز َل َع َل ْي َك الْ ِكتَ َ‬
‫ون َما تَ َشابَ َه ِم ْن ُه ابْتِ َغا َء الْ ِفْتـنَ ِة َوابْتِ َغا َء‬ ‫ين ِفي ُقـ ُلوبِه ْ‬
‫ِم َزيْ ٌغ َفـيَتَّبِ ُع َ‬ ‫ات َفأَمَّا الَّ ِذ َ‬ ‫ُمتَ َشابِ َه ٌ‬
‫ون آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ ‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم يَـقُولُ َ‬ ‫اس ُخ َ‬ ‫الر ِ‬ ‫تَْأوِي ِل ِه َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل َّ‬
‫الل ُه َو َّ‬
‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َفإِذَا‬‫الل ِه َص َّلى َّ‬ ‫ول َّ‬ ‫ال َر ُس ُ‬ ‫اب‪َ .‬قالَ ْت َق َ‬ ‫َربِّـنَا َوَما يَ َّذَّك ُر إ َِّل أُولُو َْ‬
‫اللْبَ ِ‬
‫اح َذ ُرو ُه ْم (البخارى‪:‬‬ ‫الل ُه َف ْ‬‫ين َسمَّى َّ‬ ‫ون َما تَ َشابَ َه ِم ْن ُه َفأُولَئِ ِك الَّ ِذ َ‬ ‫ين يَـتَّبِ ُع َ‬ ‫َرأَيْ ِت الَّ ِذ َ‬
‫‪)4183‬‬
‫ ‬ ‫‪“…Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah membaca ayat ini‬‬

‫اب َوأُ َخ ُر‬ ‫ات ُه َّن أُ ُّم الْ ِكتَ ِ‬ ‫ات ُم ْح َك َم ٌ‬ ‫اب ِم ْن ُه آيَ ٌ‬ ‫ُه َو الَّ ِذي أَْنـ َز َل َع َل ْي َك الْ ِكتَ َ‬
‫ون َما تَ َشابَ َه ِم ْن ُه ابْتِ َغا َء الْ ِفْتـنَ ِة َوابْتِ َغا َء‬ ‫ات َفأَمَّا الَّ ِذ َ‬
‫ين ِفي ُقـ ُلوبِه ْ‬
‫ِم َزيْ ٌغ َفـيَتَّبِ ُع َ‬ ‫ُمتَ َشابِ َه ٌ‬
‫ون آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ ‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم يَـقُولُ َ‬ ‫اس ُخ َ‬ ‫الر ِ‬ ‫تَْأوِي ِل ِه َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل َّ‬
‫الل ُه َو َّ‬
‫َربِّـنَا َوَما يَ َّذَّك ُر إ َِّل أُولُو َْ‬
‫اللْبَ ِ‬
‫اب‬
‫ ‬ ‫‪Kemudian berkata : “Apabila kamu melihat orang yang mengikuti‬‬
‫­‪ayat-ayat mutasyabihat mereka itu disinyalir Allah. Maka was‬‬
‫”‪padalah terhadap mereka.‬‬

‫‪Pendapat kedua menyatakan bahwa “wawu” sebagai‬‬


‫‪huruf ‘athaf. Pendapat ini disampaikan oleh segolongan ulama‬‬
‫‪yang dipelopori oleh Mujahid.‬‬

‫| ‪58‬‬ ‫‪Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.‬‬


Mujahid berkata : Saya telah membacakan mushaf kepada
Ibn Abbas mulai dari Fatihah sampai tamat. Saya pelajari
sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya
tentang tafsirannya.
Pendapat ini dipilih juga oleh al-Nawawi. Beliau berkata
dalam Syarah Muslim-nya bahwa beliau menegaskan, inilah
pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah me­
nyeru hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat
diketahüi maksudnya oleh mereka (Mannâ` al-Qaththân, 1973:
217).

3. Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh


Sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Qur`an adalah
karena ketersembunyian maksud dan bahwa ketersembunyi­
an itu bisa kembali pada lafal atau kepada makna atau kepada
lafal dan makna sekaligus.
Contoh ketersembunyian lafal ada pada Q.S. ‘Abasa/80: 31

)31(‫َوَف ِاك َه ًة َوأَبًّا‬


dan buah-buahan serta rumput-rumputan,

Lafal ‫ َأَبًّا‬dalam ayat tersebut karena ganjilnya dan jarang­


nya digunakan. Lafal yang sering digunakan adalah lafal ‫ بأ‬yang
berarti ayah. Lafal ‫ َأَبًّا‬tersebut ganjil kalau diartikan dengan
ayah, sebab tidak cocok dengan ayat berikutnya Q.S. ‘Abasa/80:
32 yaitu )32( ‫ َمتَا ًعا لَ ُك ْم َوِلَْنـ َعا ِم ُك ْم‬. untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu. Jadi lafal ‫ َأَبًّا‬berarti rerum­putan,
karena buah-buahan dan rerumputan sebagai makanan yang
disenangi oleh binatang ternak.
Contoh lainnya adalah ketersembunyian makna tentang
sifat-sifat Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 115

ٌ ‫اس ٌع َع ِل‬
)115( ‫يم‬ َّ ‫ِن‬
ِ ‫الل َه َو‬ َّ ‫ِب َفأَْيـنَ َما تُـ َولُّوا َفـثَ َّم َو ْج ُه‬
َّ ‫الل ِه إ‬ ُ ‫َولَِّل ِه الْ َم ْشر‬
ُ ‫ِق َوالْ َم ْغر‬

Al-Muhkam Dan Al-Mutasyâbih | 59


Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Contoh lainnya lagi adalah ketersembunyian makna


tentang sifat-sifat Allah dalam Q.S. al-Baqarah.2: 255

‫ات َوَما ِفي‬ َّ ‫الل ُه َل إِلَ َه إ َِّل ُه َو الْ َح ُّي الْ َقيُّوُم َل تَْأ ُخ ُذ ُه ِسنَ ٌة َوَل نَـ ْوٌم لَ ُه َما ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬ َّ
َّ
‫ِم َوَما َخ ْل َف ُه ْم َوَل‬ْ ‫ض َم ْن ذَا ال ِذي يَ ْش َف ُع ِع ْن َد ُه إ َِّل بِإِ ْذنِ ِه يَـ ْع َل ُم َما بَـ ْي َن أَيْ ِديه‬ َْ
ِ ‫ال ْر‬
‫ض َوَل يَـئُوُد ُه‬ َْ ‫ات َو‬
َ ‫ال ْر‬ ِ ‫الس َم َو‬َّ ‫ِش ْي ٍء ِم ْن ِع ْل ِم ِه إ َِّل بِ َما َشا َء َو ِس َع ُك ْر ِسيُّ ُه‬ َ ‫ون ب‬َ ‫يط‬ ُ ‫يُ ِح‬
)255( ‫يم‬ ُ ‫ِحف‬
ُ ‫ْظ ُه َما َو ُه َو الْ َع ِل ُّي الْ َع ِظ‬
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan
di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-
Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara ke­
duanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Makna ‫ َو ْج ُه اللَّ ِه‬dalam Q.S. al-Baqarah/2: 115 dan ‫َو ِس َع ُك ْر ِسيُّ ُه‬
dalam Q.S. al-Baqarah/2: 255 adalah contoh ketersembunyi­
an makna.
Contoh ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus
ada pada Q.S. al-Baqarah/2: 189

‫وت‬َ ُ‫س الْب ُِّر بِأَ ْن تَْأتُوا الُْبـي‬َ ‫َّاس َوالْ َح ِّج َولَْي‬
ِ ‫يت لِلن‬ ُ ‫ال ِه َّل ِة ُق ْل ِه َي َم َوا ِق‬
َْ ‫يَ ْسأَلُونَ َك َع ِن‬
‫الل َه لَ َع َّل ُك ْم‬
َّ ‫وت ِم ْن أَْبـ َوابِ َها َواتَّـقُوا‬َ ُ‫ِم ْن ُظ ُهوِرَها َولَ ِك َّن الْب َِّر َم ِن اتَّـقَى َوأْتُوا الُْبـي‬
)189(‫ون‬ َ ‫تُـ ْف ِل ُح‬
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari

60 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Sebab turun ayat di atas adalah berdasar riwayat Ibn Abî


Hâtim dan al-Hakîm. Al-Hakîm menshahihkan riwayat ter­­
sebut. Riwayat tersebut bersumber dari Jabir yang menga­ta­­kan
: Orang-orang Quraisy yang diberi julukan al-Hams (Ksa­tria)
menganggap baik apabila mereka melakukan ihram masuk
melalui pintunya, sedang orang-orang Anshar dan orang-
orang Arab lainnya tidak melalui pintunya. Pada suatu hari,
Rasulullah SAW keluar melalui pintunya dan diikuti oleh
Quthbah bin ‘Amir al-Anshârî yang diketahui oleh orang-
orang lain, maka mereka mengadu pada Rasulullah, wahai
Rasulullah Quthbah bin ‘Amir adalah seorang yang me­nyim­
pang, sebab dia keluar bersamamu melalui pintunya. Rasu­
lullah bertanya kepada Quthbah, kenapa engkau berbuat se­
perti itu?, Quthbah menjawab: saya hanya mengikuti apa yang
tuan lakukan. Rasulullah bersabda: Aku ini seorang ksatria.
Quthbah menjawab: Saya-pun penganut agamamu, maka
turunlah ayat tersebut (al-Suyûthî, t.t.: 27).
Ayat di atas dapat dipahami oleh orang-orang yang me­
ngetahui adat bangsa Arab Jahiliyah. Sehubungan dengan
riwayat sebab turunnya, maka ketersembunyian maksud ayat
tersebut kembali pada lafal karena ringkasnya. Ayat tersebut
jika dijelaskan maksudnya akan berbunyi :

‫بحج أو عمرة‬
ّ ‫وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها إذا كنتم محرمين‬
Maksud ketersembunyiannya itu juga kembali pada
makna, karena di samping membentangkan lafalnya, maka
juga harus mengetahui adat istiadat bangsa Arab Jahiliyah.

Al-Muhkam Dan Al-Mutasyâbih | 61


BAB
IX

MUKJIZAT AL-QUR`ÂN

1. Pengertian Mukjizat
Kata Mukjizat dari bahasa Arab mu’jizah berasal dari
kata ‫( أعجز‬a’jaza) yang berarti ‫( أضعف‬adh’afa). Kata ‫ أعجز‬bentuk
tsulatsi mujarradnya ‫‘( عجز‬ajiza) yang berarti lemah. Kata ‫أعجز‬
atau ‫ أضعف‬berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Pelakunya dinamai ‫( معجز‬mu’jiz) dan bila kemampuan mele­
mahkan pihak lain itu amat menonjol sehingga mampu mem­
bungkamkan lawan, maka ia dinamai ‫( معجزة‬mu’jizah). Tam­
bahan ta’ marbuthah (‫ ) ة‬pada akhir kata itu mengandung makna
mubâlaghah atau superlatif (M. Quraish Shihab, 1977: 23).
Sedangkan mukjizat menurut istilah adalah suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang mampu melemahkan orang-orang
yang tidak percaya, diberikan kepada Nabi Muhammad SAW,
sebagai bukti kenabiannya, ditantangkan kepada orang-orang
yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa,
namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.

2. Unsur-Unsur yang Menyertai Mukjizat


Unsur-unsur tersebut adalah :

a. Peristiwanya luar biasa


Peristiwa-peristiwa alam, misalnya, yang terlihat sehari-
hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena
ia telah merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan

62
luar biasa adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan sebab
dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
Dengan demikian hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun
sekilas terlihat ajaib atau luar biasa, namun karena ia dapat di­
pelajari maka ia tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa”
dalam definisi diatas.

b. Terjadi pada seorang Nabi


Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar kebiasaan pada diri
siapa pun. Namun apabila terjadi bukan pada seorang yang
nabi, maka ia tidak bisa dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu
yang luar biasa tampak atau terjadi pada diri seorang yang
kelak bakal menjadi nabi. Ini pun tidak dinamai mukjizat te­
tapi dinamai irhâsh.
Nabi Muhammad SAW. adalah nabi terakhir, maka tidak
mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggal beliau, tetapi
ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat lagi terjadi
dewasa ini.

c. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan ke­


nabian
Tentu saja tantangan ini harus berbarengan dengan pe­
ngakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya.
Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu
yang sejalan dengan ucapan sang nabi. Kalau misalnya ia ber­
kata, “Batu ini dapat berbicara,” tetapi ketika batu tersebut
berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”
maka keluarbiasaan ini bukanlah suatu mukjizat tetapi ihanah
atau istidrãj.

d. Tantangan tidak mampu atau gagal dilayani


Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, maka
ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.
Perlu digaris bawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus
benar-benar bisa dipahami oleh yang ditantang, sehingga

Mukjizat Al-Qur`Ân | 63
untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek
kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai
dengan bidang keahlian umatnya pula
Adapun tahapan tantangan al-Qur`ân adalah sebagai be­
rikut:
1). Pembuatan semisal al-Qur`ân. Hal ini dijelaskan dalam
Q.S. al-Isrâ`/17: 88

َ ُ‫ان َل يَْأت‬
‫ون بِ ِم ْث ِل ِه‬ ْ ‫س َوالْ ِج ُّن َع َلى أَ ْن يَْأتُوا بِ ِم ْث ِل َه َذا الْق‬
ِ ‫ُرَء‬ ِ ْ ‫اجتَ َم َع ِت‬
ُ ْ‫الن‬ ْ ‫ُق ْل لَئِ ِن‬
)88(‫ِيرا‬ ً ‫ض َظه‬ َ ‫َولَ ْو َك‬
ٍ ‫ان بَـ ْع ُض ُه ْم لَِبـ ْع‬
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur`ân ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
2). Pembuatan sepuluh surat saja yang semisal. Hal ini di­
jelaskan Q.S. Hûd/11: 13

ِ ‫استَ َط ْعتُ ْم ِم ْن ُد‬


‫ون‬ ٍ َ‫ون اْفـَتـ َرا ُه ُق ْل َف ْأتُوا بِ َع ْش ِر ُس َوٍر ِم ْث ِل ِه ُم ْفَتـ َري‬
ْ ‫ات َوا ْد ُعوا َم ِن‬ َ ُ‫أَ ْم يَـقُول‬
)13(‫ين‬ َّ
َ ‫الل ِه إ ِْن ُك ْنتُ ْم َصا ِد ِق‬
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-
Qur`ân itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah
sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) se­
lain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
3). Pembuatan satu surat saja yang semisal. Hal ini dijelas­
kan Q.S. al-Baqarah/2: 23

ُ ‫َوإ ِْن ُك ْنتُ ْم ِفي َريْ ٍب ِممَّا نَـ َّزلْنَا َع َلى َع ْب ِدنَا َف ْأتُوا ب‬
‫ِسوَرٍة ِم ْن ِم ْث ِل ِه َوا ْد ُعوا ُش َه َدا َءُك ْم‬
)23(‫ين‬ َّ ‫ون‬
َ ‫الل ِه إ ِْن ُك ْنتُ ْم َصا ِد ِق‬ ِ ‫ِم ْن ُد‬
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur`ân yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal al-Qur`ân itu dan ajaklah penolong-pe­
nolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

64 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Hal itu dijelaskan pula dalam Q.S. Yûnus/10: 38
َّ ‫ون‬
‫الل ِه إ ِْن ُك ْنتُ ْم‬ ِ ‫استَ َط ْعتُ ْم ِم ْن ُد‬ ُ ‫ون اْفـَتـ َرا ُه ُق ْل َف ْأتُوا ب‬
ْ ‫ِسوَرٍة ِم ْث ِل ِه َوا ْد ُعوا َم ِن‬ َ ُ‫أَ ْم يَـقُول‬
)38(‫ين‬ َ ‫َصا ِد ِق‬
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buat­
nya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka
cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah
siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Sejarah menginformasikan adanya upaya-upaya menan­


dingi al-Qur`ân. Contohnya dari seorang yang mengaku nabi,
yaitu Musailamah al-Kadzdzab seorang Arab dari Yaman,
antara lain sebagai berikut:

‫الفيل ما الفيل‘ وما أدريك ما الفيل ‘ له خرطوم طويل ‘ وذنب أثيل‘ وماذاك‬
.‫من خلق ربّنا بقليل‬
Gajah, apakah gajah itu, tahukah engkau apakah gajah itu?. Dia
mem­punyai belalai yang panjang, dan ekor yang mantap. Itu
bukan­­lah bagian dari ciptaan Tuhan kita yang kecil. (M. Quraish
Shihab, 1997: 270).

‫يا ضفدع بنت ضفدعين ن ّقّى ما تنقّين نصفك فى الماء و نصفك فى الطين ال‬
.... ‫الماء تكدرين وال الشارب تمنعين‬
Wahai katak anak dua katak. Bersihlah apa yang engkau bersihkan.
Separuhmu di air, dan separuhmu dilumpur. Engkau tidak menge­
ruhkan air, dan tidak menghalangi orang minum ....

.... ‫إن شانئك هو الكافر‬ ّ ‫إنّا أعطيناك الجماهر‬


ّ ‫فصل لربّك وجاهر‬
Sesungguhnya kami telah memberimu pengikut yang banyak, maka
sembahlah tuhanmu dan perlihatkanlah. Sesungguhnya orang yang
membencimu adalah kafir .

Mukjizat Al-Qur`Ân | 65
3. Tujuan Adanya Mukjizat
Setiap nabi dipastikan mempunyai mukjizat. Sedangkan
tujuan adanya mukjizat al-Qur`ân itu antara lain sebagai be­
rikut:
a. Untuk membuktikan kebenaran para nabi. Keluarbiasaan
yang tampak atau terjadi pada mereka itu diibaratkan
sebagai ucapan Tuhan : “Apa yang dinyatakan sang Nabi
adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah
Aku melakukan mukjizat itu”.
b. Untuk membuktikan bahwa ajaran-ajaran itu benar-benar
wahyu dari Allah melalui hamba-hamba pilihan-Nya dan
untuk membuktikan kebenaran ajaran Allah yang dibawa
para nabi yang diutus Nya.

4. Cara Memahami Kemukjizatan Al-Qur`ân


Ada tiga hal yang perlu diperhatikan guna memper­mudah
pemahaman terhadap bukti-bukti itu.

a. Kepribadian Nabi Muhammad Saw.


Nabi Muhammad Saw. seorang yang tidak gila kedu­
dukan, harta, dan wanita. Hal ini dibuktikan, ketika beliau
diminta agar memberhentikan dakwahnya. Jika beliau mau
menerima permintaan tokoh-tokoh kaum musyrik Makkah itu
mereka akan memberikan kepadanya kedudukan, harta, dan
wanita. namun semua itu ditolaknya, bahkan ketika itu beliau
menjawab:
“Walau matahari diletakkan di tangan kananku, dan bulan di
tangan kiriku, tidak akan kutinggalkan misiku sampai berhasil
atau aku gugur mempertahankannya, “jawab beliau.

b. Kondisi Masyarakat Saat Turunnya Ayat


Tentu banyak sisi dan banyak hal dari kondisi masyara­
kat yang dapat dikemukakan, namun yang terpenting dalam

66 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


konteks uraian tentang mukjizat ini adalah perkembangan
ilmu pengetahuan, kemampuan ilmiah masyarakat Arab, serta
perkembangan sain dan kemampuan ilmiah masyarakat umat
manusia pada umumnya.
Al-Qur`ân menamai masyarakat Arab sebagai masyara­
kat ummiyyin. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata ummiy
yang terambil dari kata umm yang arti harfiahnya adalah ibu
dalam arti bahwa seorang ummiy adalah yang keadaannya
sama dengan keadaan pada saat dilahirkan oleh ibunya dalam
hal kemampuan membaca dan menulis.
Kemampuan tulis baca di kalangan masyarakat Arab -
khusus­nya pada awal masa Islam - sangat minim, sampai-sam­
pai ada riwayat yang menyebut jumlah mereka yang pandai
menulis ketika itu tidak lebih dari belasan orang.
Jika demikian, pengetahuan masyarakat non-Arab pada
masa turunnya al-Qur`ân bukan atas dasar metode ilmiah yang
sistematik dan atau pengamatan dari hasil percobaan-per­co­
baan dalam dunia empiris.
Semuanya itu kemudian mengantarkan ilmuwan untuk
berkata bahwa masyarakat manusia secara umum belum lagi
memiliki ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Memahami kondisi masyarakat dan perkembangan pe­
nge­tahuan pada masa turunnya al-Qur`ân maka hal ini akan
menunjang bukti kebenaran al-Qur`ân saat disadari betapa
kitab suci ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak
dikenal kecuali pada masa-masa sesudahnya.

c. Masa dan Cara Kehadiran Al-Qur`ân


Hal ketiga yang tidak kurang pentingnya dalam upaya
lebih meyakinkan tentang kemukjizatan al-Qur`ân adalah masa
dan cara turunnya wahyu al-Qur`ân kepada Nabi Muham­mad
Saw.
Banyak aspek uraian yang berkaitan dengan topik ini,
tetapi yang perlu digarisbawahi dalam konteks pembuktian

Mukjizat Al-Qur`Ân | 67
kemukjizatan al-Qur`ân adalah :
1). Kehadiran wahyu al-Qur`ân di luar kehendak Nabi Mu­
ham­mad Saw.
2). Kehadirannya secara tiba-tiba.

Menyangkut butir pertama, baik untuk diketahui bahwa


tidak jarang Nabi Muhammad Saw. membutuhkan penje­
lasan bagi sesuatu yang sedang dihadapinya tetapi penjelasan
yang dinantikan itu tak kunjung datang. Buktinya setelah
se­puluh kali menerima wahyu yang dimulai dengan awal
surah (1) Iqra’, (2) Al-Qalam, (3) Al-Muddatstsir, dan (4) Al-
Muzzammil, kemudian (5) surah Al-Masad, (6) At-Takwîr, (7)
Sabbi­hisma, (8) Alam Nasyrah, (9) A1-’Ashr dan (10) Al-Fajr,
tiba-tiba wahyu terputus kehadirannya. Sekian lama beliau
menanti dan mengharap tetapi Malaikat Jibril - pem­ bawa
wahyu - tidak kunjung datang, maka timbul rasa ge­lisah di
hati Nabi SAW. Sedemikian besar kegelisahan itu, sampai-
sampai ada yang menyatakan bahwa beliau nyaris men­­jatuh­
kan diri dari puncak gunung. Orang-orang musyrik Makkah
pun mengejek beliau dengan berkata, “Tuhan telah mening­
galkan Muhammad dan membencinya.” Kegelisahan ini baru
berakhir dengan turunnya Q.S. al-Dhuha/93: 1 - 3

َّ ‫) َو‬1(‫الض َحى‬
َ ‫) َما َوَّد َع َك َرب‬2(‫الل ْي ِل إِذَا َس َجى‬
)3(‫ُّك َوَما َقـ َلى‬ ُّ ‫َو‬
Demi al-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak mening­
galkan kamu dan tidakpula membenci.

Adanya sumpah Allah terhadap Muhammad dengan


tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu waktu dhuha, dan waktu
malam dengan kegelapannya. Isi sumpah tersebut bahwa me­
nunjukkan bahwa Allah tidak meninggalkannya dan tidak
membencinya. Hal ini menunjukkan pula bahwa wahyu ada­
lah wewenang-Nya. Jadi, andaikata Nabi Saw. menantikan
ke­hadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu

68 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


tak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu merupakan
ketetapan-Nya, bukan hasil perenungan Nabi SAW.

5. Mukjizat al-Qur`ân Dari Aspek Kebahasaan


Mukjizat para nabi selalu disesuaikan dengan kondisi
masyarakat masa nabi yang diutus.. Misalnya pada masa nabi
Musa, masyarakat pada masa itu terkenal dengan sihir, maka
mukjizat nabi Musa antara lain adalah tongkat yang dilem­
parkan bisa berubah menjadi ular. Hal ini dijelaskan dalam Q.S.
al-A’râf /7: 107, dan 117

)107(‫َفأَلْقَى َع َصا ُه َفإِذَا ِه َي ثُـ ْعبَا ٌن ُمبِي ٌن‬


Maka Mûsâ menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat
itu menjadi ular yang sebenarnya.

َ ‫َف َما يَْأ ِف ُك‬


)117(‫ون‬ َ ‫وسى أَ ْن أَلْ ِق َع َص‬
ُ ‫اك َفإِذَا ِه َي تَـ ْلق‬ َ ‫َوأَ ْو َحْيـنَا إِلَى ُم‬
Dan Kami wahyukan kepada Mûsâ: “Lemparkanlah tongkatmu!”
Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka
sulapkan.

Sedangkan masyarakat Arab pada masa nabi Muhammad,


keahlian mereka adalah bahasa dan sastra Arab, sehingga
pada waktu itu di mana-mana terjadi perlombaan menyusun
syair atau khutbah, petuah, dan nasihat. Syair-syair yang di­
nilai indah, digantung di Ka’bah, sehingga terkenal dengan
mu’alaqat, sebagai penghormatan kepada penggubahnya seka­
ligus untuk dapat dinikmati oleh pembacanya. Pemenang
lomba syair-syair itu mendapat kedudukan yang sangat isti­
mewa dalam masyarakat Arab.
Oleh karena masyarakat pada masa itu keahliannya di­
bidang bahasa dan sastra, maka salah satu mukjizat yang
paling hebat untuk nabi Muhammad adalah al-Qur`ân yang
mem­punyai keunikan dan keistimewaan dari segi bahasa dan

Mukjizat Al-Qur`Ân | 69
sastra, sehingga mampu menandingi keahlian masyarakat
Arab.
Adapun mukjizat al-Qur`ân dari aspek kebahasaan, antara
lain:

a. Susunan Kata dan Kalimat Al-Qur`ân


Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau ke­
mukjizatan pesan kandungan al-Qur`ân, terlebih dahulu ia
akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan su­
sunan kata dan kalimatnya. Beberapa hal tersebut, antara lain,
menyangkut :

1). Nada dan Langgamnya Indah


Jika Anda mendengar ayat-ayat al-Qur`ân, hal pertama
yang terasa di telinga adalah nada dan langgamnya. Ayat-ayat
al-Qur`ân walaupun (sebagaimana ditegaskan-Nya) bukan
syair atau puisi, namun terasa dan terdengar mempunyai ke­
unikan dalam irama dan ritmenya.
Cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The
Meaning of Glorious Qur’an, menulis, bahwa Al-Qur`ân mem­
punyai simfoni yang tidak ada taranya di mana setiap nada-
nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan
atau bersuka-cita.

2). Singkat dan Padat


Tidak mudah menyusun kalimat singkat tetapi sarat
makna, karena pesan yang banyak bila anda tak pandai me­­
milih kata dan menyusunnya pasti memerlukan kata yang
banyak pula.
Contoh ayat yang singkat dan padat dalam adalah Q.S.
al-Baqarah/2: 120
َّ ‫َو‬
ٍ ‫الل ُه يَـ ْرُز ُق َم ْن يَ َشا ُء بِ َغ ْي ِر ِح َس‬
‫اب‬
… Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-
Nya tanpa batas.

70 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Ayat di atas bisa mengandung arti :
a). Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-
Nya tanpa ada yang berhak mempertanyakan kepada-
Nya mengapa Dia memperluas rezeki kepada seseorang
dan mempersempit kepada yang lain.
b). Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-
Nya tanpa Dia (Allah) memperhitungkan pemberian itu
(karena Dia Maha Kaya, sama dengan seorang yang tidak
mempedulikan pengeluarannya).
c). Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa yang
diberi rezeki tersebut dapat menduga kehadiran rezeki itu.
d). Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa yang
bersangkutan dihitung secara detail amal-amalnya.
e). Allah memberikan rezeki kepada seseorang dengan jumlah
rezeki yang amat banyak sehingga yang bersangkutan
tidak mampu menghitungnya. (M. Quraish Shihab, 1977:
121).

3). Memuaskan Para Pemikir


Baca dan perhatikan contoh Q.S. Yãsin/36: 78-82, berikut:

‫) ُق ْل يُ ْحيِي َها‬78(‫يم‬ ٌ ‫ال َم ْن يُ ْحيِي الْ ِع َظا َم َو ِه َي َرِم‬ َ ‫َو َض َر َب لَنَا َمثَ ًل َونَ ِس َي َخ ْل َق ُه َق‬
َّ ‫) الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ْم ِم َن‬79(‫يم‬
‫الش َج ِر‬ ٌ ‫ِك ِّل َخ ْل ٍق َع ِل‬ُ ‫َّل َم َّرٍة َو ُه َو ب‬ َ ‫الَّ ِذي أَنْ َشأَ َها أَو‬
‫ض‬ َْ ‫ات َو‬
َ ‫ال ْر‬ ِ ‫الس َم َو‬ َّ ‫س الَّ ِذي َخ َل َق‬ َ ‫) أَ َولَْي‬80(‫ون‬ َ ‫ال ْخ َض ِر نَا ًرا َفإِذَا أَْنـتُ ْم ِم ْن ُه تُوِق ُد‬ َْ
‫) إِنَّ َما أَ ْم ُرُه إِذَا أَ َرا َد َش ْيئًا‬81(‫يم‬ ُ ‫بِقَا ِد ٍر َع َلى أَ ْن يَ ْخ ُل َق ِمْثـ َل ُه ْم بَـ َلى َو ُه َو الْ َخ َّل ُق الْ َع ِل‬
)82(‫ون‬ ُ ‫ُول لَ ُه ُك ْن َفـيَ ُك‬ َ ‫أَ ْن يَـق‬
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: “Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang mencip-takannya kali yang pertama.
Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan
yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-
tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” Dan tidakkah Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali

Mukjizat Al-Qur`Ân | 71
jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia ber­kuasa.
Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Se­sungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanya­lah berkata
kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.

Jika diperhatikan dengan baik, kandungan ayat-ayat


di atas sungguh-sungguh sangat jelas, dan lurus maknanya,
orang awampun dapat mengetahui bagaimana manusia di­
bang­kitkan pada hari kiamat. Ayat tersebut menjelaskan per­
umpamaan yang aneh dan tidak masuk akal menyangkut
kekuasaan Allah dan kodrat-Nya yang menghidupkan orang
mati. Orang itu sendiri sudah melupakan asal kejadian dirinya
sendiri, namun Allah dapat menghidupkannya kembali dari
tulang belulang yang telah hancur.
Menurut Filosof Muslim Al-Kindi, ayat ini menegaskan
bahwa :
Pertama, keberadaan kembali sesuatu setelah kepunahan­
nya adalah bisa atau mungkin terjadi, karena menghimpun
sesuatu yang telah terpisah-pisah atau mengadakan sesuatu
yang tadinya belum pernah ada, lebih mudah daripada me­
wujudkannya pertama kali. Tetapi bagi Allah tidak ada istilah
“lebih mudah atau lebih sulit”. Hakikat ini diungkapkan oleh
ayat di atas ketika Allah menyatakan:

َ ‫ُق ْل يُ ْحيِي َها الَّ ِذي أَنْ َشأَ َها أَو‬


.... ‫َّل َم َّرٍة‬
Katakanlah bahwa ía akan dihidupkan oleh yang menciptakannya
kali pertama (sebelum ia mewujud pertama kali).

Kedua, kehadiran atau wujud sesuatu dari sumber yang


ber­lawanan dengannya bisa terjadi, sebagaimana terciptanya
api dari daun hijau yang mengandung air. Ini diinformasikan
oleh ayat yang berbunyi:

َّ ‫الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ْم ِم َن‬


َْ ‫الش َج ِر‬
....ِ‫ال ْخ َضر‬
Yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau ….

72 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Ketiga, menciptakan manusia dan menghidupkannya se­
telah kematian sama mudahnya dengan menciptakan alam
raya yang sebelumnya belum ada. Ini bisa dipahami dari

‫ض بِقَا ِد ٍر َع َلى أَ ْن يَ ْخ ُل َق ِمْثـ َل ُه ْم‬ َْ ‫ات َو‬


َ ‫ال ْر‬ َّ ‫س الَّ ِذي َخ َل َق‬
ِ ‫الس َم َو‬ َ ‫ أَ َولَْي‬.…
Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu ber­
kuasa menciptakan yang serupa dengan itu?

Keempat, untuk menciptakan dan atau melakukan sesuatu,


betapapun agungnya ciptaan itu, bagi Tuhan tidak diperlukan
adanya waktu atau materi, dan ini berbeda dengan makhluk
yang selalu membutuhkan keduanya. Ini bisa dipahami dari
‫ ُك ْن َفـيَ ُكو ُن‬Jadilah, maka terjadilah ia.
4). Memuaskan Akal dan Jiwa
Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa, atau akal
dan kalbu. Daya pikir mendorongnya antara lain untuk mem­
berikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pan­
dangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk
mengekspresikan keindahan, dan mengembangkan imajinasi.
Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya terse­
but dalam saat yang sama.
Namun bahasa al-Qur`ân mampu menggabungkan kedua
hal tersebut. Karena itu, ketika al-Qur`ân menjelaskan tentang
hukum, bahasanya tidak kaku. Misalnya tentang wajibnya
puasa dalam Q.S. al-Baqarah/2: 183 – 184

َ ‫الصيَا ُم َك َما ُكتِ َب َع َلى الَّ ِذ‬


‫ين ِم ْن َقـ ْب ِل ُك ْم لَ َع َّل ُك ْم‬ َ ‫يَاأَيُّـ َها الَّ ِذ‬
ِّ ‫ين َءا َمنُوا ُكتِ َب َع َل ْي ُك ُم‬
ً ‫ان ِم ْن ُك ْم َمر‬
‫ِيضا أَ ْو َع َلى َس َف ٍر َف ِع َّد ٌة ِم ْن أَيَّا ٍم‬ ٍ ‫)أَيَّا ًما َم ْع ُدوَد‬183(‫ُون‬
َ ‫ات َف َم ْن َك‬ َ ‫تَـَّتـق‬
....‫أُ َخ َر‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang
siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu

Mukjizat Al-Qur`Ân | 73
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ….

Ayat di atas dinyatakan “diwajibkan atas kamu ” , bukan


“Allah mewajibkan atas kamu” Hal ini mengisyaratkan bahwa
manusia sendiri akan dengan sadar mewajibkan dirinya ber­
puasa, karena ia menyadari betapa pentingnya dan betapa
besarnya manfaat berpuasa.

5). Keindahan dan Ketepatan Maknanya


Tidak semua orang dapat menjelaskan keindahan bahasa
al-Qur`ân, namun bagi yang memiliki rasa bahasa Arab atau
pengetahuan tentang tata bahasa Arab akan mampu menje­
laskannya.
Berikut ini contoh keindahan dan ketepatan maknanya,
yaitu: Q.S. Al-Zumar/39: 71 dan 73 sebagai berikut :

َ ‫َّم ُزَم ًرا َحتَّى إِذَا َجا ُءو َها ُفتِ َح ْت أَْبـ َوابُـ َها َوَق‬
‫ال لَ ُه ْم‬ َ ‫َروا إِلَى َج َهن‬ ُ ‫ين َكف‬ َ ‫يق الَّ ِذ‬َ ‫َو ِس‬
.... ‫ِّك ْم‬ُ ‫ات َرب‬
ِ َ‫ون َع َل ْي ُك ْم َءاي‬
َ ‫َخ َزنَـُتـ َها أَلَ ْم يَْأتِ ُك ْم ُر ُس ٌل ِم ْن ُك ْم يَـْتـ ُل‬
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rom­
bongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah
pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
"Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu ….

Kemudian bandingkan dengan Q.S. Az-Zumar/39 73

‫ال‬ َ ‫يق الَّ ِذ‬


َ ‫ين اتَّـ َق ْوا َربَّـ ُه ْم إِلَى الْ َجنَّ ِة ُزَم ًرا َحتَّى إِذَا َجا ُءو َها َوُفتِ َح ْت أَْبـ َوابُـ َها َوَق‬ َ ‫َو ِس‬
َ ‫لَ ُه ْم َخ َزَـنُـت َها َس َل ٌم َع َل ْي ُك ْم ِط ْبتُ ْم َفا ْد ُخ ُلو َها َخالِ ِد‬
:‫ين‬
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam
surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka
sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan ber­
katalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilim­
pahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini,
sedang kamu kekal di dalamnya”.

74 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Antara QS az Zumar ayat 71 dan 73 menggambarkan
ka­limat yang serupa, namun penyebutan nama kelompok,
tempat hunian, serta ucapan para malaikat penjaga neraka
dan surga. Penjaga neraka bertanya ”Apakah belum pernah
datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan
ke­­pada­mu ayat-ayat Tuhanmu”. Penjaga surga berkata: ”Ke­
sejah­teraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka
masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”. Hal itu
menunjukkan keadaan orang kafir dan orang bertakwa sangat
berbeda.
Namun yang perlu dicermati ada perbedaan kecil pada
uraian tentang penghuni surga, yang sepintas boleh jadi ada
yang berkata tidak perlu. Perbedaan tersebut adalah penam­
bahan huruf ‫( و‬wawu) pada kata ‫( فتحت‬futihat) untuk penghuni
surga sehingga ayatnya berbunyi ‫( وفتحت‬wa futihat) ; tetapi huruf
tersebut tidak terdapat dalam uraian tentang penghuni neraka.
Kenapa untuk penghuni neraka tidak ada ‫( و‬wawu), se­
dang­kan untuk penghuni surga ada tambahan ‫( و‬wawu). Untuk
menjelaskan hal itu pahamilah terlebih dahulu ilustrasi be­
rikut:
Jika seseorang mengantarkan seorang penjahat ke pen­
jara, maka ketika seseorang sampai di pintu penjara, ia akan
menemukan pintu itu tertutup rapat. Pintu baru dibuka bila
terpidana akan dimasukkan ke dalamnya, namun jika sese­
orang itu dinanti-nantikan kedatangannya dan diharapkan
ke­hadirannya karena baiknya, pintu gerbang telah terbuka
lebar sebelumnya sebagai pengharapan atas kehadirannya dan
untuk menyambutnya, sehingga bukan seperti keadaan pen­
jahat mau dipenjara.
Jadi tambahan huruf ‫(و‬wawu) pada QS az Zumar ayat 73
menggambarkan terbukanya pintu itu menunjukkan pada ke­
baikan atau penghormatan.

Mukjizat Al-Qur`Ân | 75
BAB
X

RASM AL-QUR`ÂN

1. Pengertian Rasm Al-Qur`ân


Kata rasm adalah bentuk isim mashdar dari rasama –
yarsumu yang berarti menggambar, atau menulis. Kata rasm
al-Qur`ân berarti penulisan al-Qur’ân, atau dapat berarti pem­
bu­kuan al-Qur`ân.
Pengertian Rasm al-Qur`ân menurut istilah adalah pem­
bukuan, atau penulisan mushaf al-Qur`ân yang dilakukan
dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya mau­
pun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
Rasm al-Qur`ân juga sering disebut jam’u al-Qur`ân atau
pengumpulan al-Qur`ân atau disebut juga kodifikasi al-Qur`ân.

2. Al-Qur`ân Pada Masa Nabi


Nabi Muhammad SAW sebagai rasul penerima wahyu
dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, beliau dikenal
sebagai orang yang ummi. Keadaan serupa juga dialami oleh
kebanyakan orang Arab di kalangan kaumnya ketika itu. Hal
ini sesuai dengan Q.S. al-Jumu’ah/62: 2

‫ِم َويُـ َع ِّل ُم ُه ُم‬ ِّ ُْ ‫ُه َو الَّ ِذي بَـ َع َث ِفي‬


ْ ‫ِم َءايَاتِ ِه َويُـ َزكيه‬
ْ ‫ول ِمْنـ ُه ْم يَـْتـ ُلوا َع َل ْيه‬
ً ‫ين َر ُس‬
َ ِّ‫ال ِّمي‬
ٍ ‫اب َوالْ ِح ْك َم َة َوإ ِْن َكانُوا ِم ْن َقـ ْب ُل لَ ِفي َض َل ٍل ُمب‬
‫ِين‬ َ َ‫الْ ِكت‬
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada

76
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab
dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

Walaupun kebanyakan orang Arab ummi, namun pada


masa itu ada beberapa orang yang memiliki kefasihan bahasa
yang tinggi, kecepatan menghafal, memiliki otak yang cerdas,
seperti terlihat pada kemampuan mereka menghafal kum­
pulan syair. (Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm Muhammad ‘Abd al-
‘Azhîm al-Zarqânî, I, 1988.: 240)
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memberikan per­­
hatian untuk menghafal dan menguasai pemahaman ayat-ayat
Al-Qur`ân yang diturunkan kepadanya. Beliau me­nyam­paikan
al-Qur`ân, mengajarkan kepada para sahabat, dan mendorong
mereka untuk menghafalnya. Cara seperti itu dapat terlak­sana
sebab ayat-ayat al-Qur`ân diturunkan secara bertahap, ada
kala­nya satu ayat, atau beberapa ayat (Mushthafâ Shâdiq al-
Râfi’i, I, t.t.: 33).
Beberapa orang sahabat yang mengetahui banyak tentang
al-Qur`ân diminta oleh Nabi untuk mengajarkannya. Di antara­
nya adalah ‘Utsmân bin ‘Affân, Ali bin Abi Thâlib, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsâbit, Abdullah bin Mas’ûd, Abû Durda, dan
Abû Musâ Al Asy’âri (Shubhî al-Shâlih, 1988: 68).
Nabi SAW juga mengangkat beberapa orang yang ter­
percaya untuk menulis ayat-ayat al-Qur`ân, di antara mereka
itu adalah: Khalifah empat, Mu’awiyyah, Zaid bin Tsâbit,
Ubay bin Ka’ab, Khâlid bin Walîd, dan Tsâbit bin Qais (Shubhî
al-Shâlih, 1988: 69).
Nabi Muhammad senantiasa berusaha memantapkan ha­­­
falannya dan hafalan para sahabat. Ia membacakan al-Qur`ân
kepada mereka, membaca al-Qur`ân setiap malam, dan waktu
salat. Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad setiap tahun
untuk mengecek hafalannya, kecuali pada tahun ke­ matian
beliau, Malaikat Jibril datang dua kali (Muhammad ‘Abd al-
‘Azhîm al-Zarqânî, I, t.t.: 234).

Rasm Al-Qur`Ân | 77
Penulisan ayat-ayat al-Qur`ân adalah berdasarkan pe­
tunjuk dari Nabi SAW., baik dalam penulisannya maupun
urutannya. Penulisan ayat-ayat al Qur’an dilakukan di bebe­
rapa tempat seperti pada kulit binatang, pelepah pohon kurma,
dan pada tulang-tulang. Tulisan-tulisan tersebut diserahkan ke­
pada Nabi SAW. untuk disimpan dan masing-masing sahabat
juga menyimpannya untuk diri sendiri di rumah, dan mereka
juga disuruh menghafalnya. Apabila Nabi SAW menerima
wahyu, beliau memanggil beberapa orang penulis untuk me­
nulisnya dan memberitahukan tempatnya pada surat tertentu
(’Abd al-Azîz ’Abd al-Mu’thi ’Arafah, 1985: 34).
Perhatian Nabi Muhammad yang sungguh-sungguh
pada pemeliharaan autensitas al-Qur`ân tampak pada larangan
beliau yang disampaikan kepada para sahabat ketika itu agar
tidak menulis apapun yang mereka terima dari Nabi SAW ke­
cuali al-Qur`ân. (’Abd al-Azîz ’Abd al-Mu’thi ’Arafah, 1985: 34)
Karena adanya larangan itu, maka percampuran antara
ayat al-Qur`ân dan hadits Nabi dapat dihindari dalam catatan
yang mereka buat. Selain itu para penulis wahyu juga mem­buat
salinan untuk dirinya sendiri selain tulisan yang diserahkan
kepada Nabi SAW. (Shubhî al-Shâlih, 1988: 74).

3. Al-Qur`ân Pada Masa Khalifah Abû Bakar


Abû Bakar memangku jabatan sebagai khalifah setelah
Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Pada masa pemerintahan
Abu Bakar, muncul orang-orang yang mengaku nabi, dan
banyak orang yang murtad. Musailamah, misalnya, ia me­nga­
ku nabi dan berhasil mempengaruhi Bani Hanifah, pen­duduk
Yamâmah.
Abû Bakar menghadapi orang-orang murtad itu dengan
gigih. Pada tahun 12 H beliau mengirim pasukan berkekuat­
an 4000 prajurit ke Yamamah dibawah pimpinan Khâlid bin
Walîd .

78 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Pada masa Khalifah Abû Bakar, sedikitnya ada 70 peng­
hafal al-Qur`ân yang mati syahid dalam peperangan me­
luruskan orang-orang yang murtad itu. Ketika itu Umar bin
Khattab merasa cemas karena banyaknya pengahafal al-
Qur`ân yang wafat, oleh karena itu Umar bin Khatthab mengaju­
kan usul kepada khalifah Abû Bakar agar mengumpulkan
al-Qur`ân menjadi satu. Dengan berbagai pertimbangan Abû
Bakar menerima usulan Umar, sehingga dibentuklah tim pe­
nulis al-Qur`ân yang diketuai oleh Zaid bin Tsâbit. Pilihan
ini, karena ia memiliki beberapa kelebihan yaitu,bahwa ia
termasuk orang yang hafal al-Qur`ân, ia juga salah seorang
sekretaris Nabi dalam penulisan wahyu, dan ia juga ikut me­
nyaksikan pembacaan al-Qur`ân yang terakhir pada akhir
masa hidup Nabi SAW ; ia juga masih muda, memilki akal yang
cerdas, memegang teguh amanah, dan berakhlak mulai, serta
teguh dalam menjalankan ajaran agama. (Muhammad ‘Abd al-
‘Azhîm al-Zarqânî, t.t.: 244).
Zaid bin Tsabit mengumpulkan kepingan bahan yang di­
pergunakan untuk menulis al-Qur`ân dan mendatangi orang-
orang yang hafal al Qur’an. Ia menulis al-Qur`ân pada lem­
baran lalu menyerahkannya kepada Abû Bakar. Setelah Abû
Bakar wafat mushhaf tersebut diserahkan kepada Umar bin
Khattab, dan setelah Umar bin Khattab wafat mushhaf ter­
sebut diserahkan kepada Khafsoh untuk disimpan.

4. Al-Qur`ân Pada Masa Utsmân bin ’Aff ân


Sebelum uraian tentang Al-Qur`ân pada masa Utsmân
bin Affân, perlu dijelaskan mengenai al-Qur`ân pada masa
khalifah Umar bin Khattab sebab banyak dari kaum muslimin
yang menanyakan bagaimana al Qur’an pada masa Umar. Ke­
tika Abû Bakar wafat, maka beliau digantikan oleh Umar.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Umar pernah meng­
ajukan usul kepada khalifah Abû Bakar agar mengumpulkan

Rasm Al-Qur`Ân | 79
al-Qur`ân menjadi satu. Setelah Umar menggantikan Abû
Bakar sebagai khalifah, Umar ingin membukukan kembali
al-Qur`ân. Sebelum melaksanakan niat mulia itu, Umar me­
lakukan salat istikharah, namun merasa tidak ada petunjuk
dari Allah, dan Nabi Muhammad sendiri waktu masih hidup,
beliau tidak mewasiatkan untuk membukukan al Qur’an, maka
Umar tidak jadi melakukan niat mulianya itu.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, wilayah kekuasa­
an Islam sudah semakin luas, dan umat Islam telah tersebar
ke berbagai penjuru , sehingga pemeluk agama Islam bukan
hanya orang-orang Arab saja.
Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan al-Qur`ân
yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda.
Misalnya penduduk Syam membaca al-Qur`ân sesuai qirâat
Ubay bin Ka’ab; penduduk Kufah mengikuti qiraât Abdullah
bin Mas’ûd; penduduk Damaskus dan Himsa mengambil
qiraât Miqdad bin al-Aswad; dan penduduk Basrah mengikuti
qiraât Abû Musâ al-Asy’ari (Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-
Zarqânî, t.t.: 248). Maka sangat disayangkan bahwa masing-
masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya
ada­­lah yang terbaik, bahkan di antara mereka hampir terjadi
per­tumpahan darah. Kemudian seorang sahabat bernama
Hudzaifah mengajukan usul kepada khalifah ‘Utsmân bin
‘Affân untuk menulis mushaf yang dapat diterima oleh semua
pihak. Dan banyak di antara mereka terdapat generasi baru
yang tidak mengerti bahwa al-Qur`ân itu diturunkan dengan
tujuh huruf, maksudnya dapat dibaca dengan beberapa qiraât
yang berbeda, lagi pula pada masa itu belum ada mushaf yang
bisa menjadi rujukan dalam menyelesaikan perselisihan di se­
tiap wilayah.
Maka dibentuklah tim khusus untuk penulisan mushaf
al-Qur`ân sebagaimana yang diharapkan. Tim khusus itu di­
ketuai oleh Zaid bin Tsâbit dengan anggota Abdullah bin
Zubair, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam dan Said bin ’Ash.

80 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Mereka melakukan penulisan al-Qur`ân dengan berpedom­
an pada mushaf yang ada pada Hafshah serta hafalan dari
para sahabat. Penulisan al-Qur`ân ini sering disebut dengan
mushaf ‘Utsmani atau Rasm al-Utsmani.
Jumlah mushaf yang ditulis pada masa ’Utsman bin ’Affan
tidak disepakati. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
mushaf diperbanyak menjadi 4 (empat) yang kemudian di­
kirim ke Kufah, Basrah, Syam dan yang satu ada di tangan
khalifah sendiri di Madinah. Pendapat lain mengatakan
mushaf diperbanyak menjadi 7 (tujuh) dengan menambahkan
satu naskah dikirim ke Mekkah, satu naskah ke Yaman, dan
satu naskah lagi ke Bahrain (Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-
Zarqânî, t.t.: 303).
Kemudian untuk naskah yang lainnya ditiadakan (dengan
dibakar) karena dikhawatirkan akan menimbulkan perbe­da­
an. Di dalam bahasa Arab terdapat tiga macam metode pe­
nulisan, yaitu penulisan ’Utsmani, penulisan ’Arûd (ilmu untuk
menimbang syair) dan penulisan biasa yaitu tata cara menulis
yang biasa digunakan dalam tulis menulis harian.
Dengan adanya penulisan al-Qur`ân yang dilakukan pada
masa Khalifah ‘Utsman ini sangat besar faedahnya bagi umat
Islam, setidaknya dapat menyatukan kaum muslimin dalam
membaca al Qur’an pada satu macam mushhaf saja seragam
ejaan dan tulisannya, serta seragam pula bacaannya.
Penulisan al-Qur`ân pada masa Ustman ini dilakukan pada
akhir tahun 24 H. dan permulaan tahun 25 H. Penyusunan
surat dan ayat pada mushaf al-Qur`ân ’Utsmani ini adalah se­
perti yang ada pada masa sekarang ini.

5. Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an


Sepeninggalan Utsman, mushaf al-Qur’an belum diberi
tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat.
Karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke berbagai

Rasm Al-Qur`Ân | 81
penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya, dirasa perlu
adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari ke­
keliruan membaca dan memahami al-Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa khalifah Mua­
wiyyah bin Abû Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abû al-Aswad
al-Duali. Konon beliau pernah mendengar orang membaca
Q.S. al-Taubah/9: 3 berbunyi: ….‫َوَر ُسولُُه‬ َ ‫…أَ َّن اللَّ َه بَرِي ٌء ِم َن الْ ُم ْشرِك‬,
‫ني‬
akan tetapi orang tersebut kata rasuluhu dibaca rasulihi (Shubhi
Shalih, t.t.: 92). Oleh karena itu, ia yang memberi harakat atau
baris yang berupa titik merah pada mushaf al-Qur’an. Untuk
“a” (fathah) disebelah atas huruf, “u” (dlammah) di depan
huruf dan “i” (kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah
berupa huruf lipat dua dengan dua titik di atas huruf (Said
Agil Husin. Al Munawar, 2002: 22).
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa khalifah Abdul
Malik ibn Marwan (65-68 H). Dua orang murid Abu al-Aswad
al-Duali, yaitu Nasar ibn Ashim dan Yahya ibn Ya’mar mem­
beri tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ba”, “ta”,
“tsa”. (Said Agil Husin. Al Munawar, 2002: 22).
Dalam berbagai sumber diriwayatkan bahwa ‘Ubaidillah
bin Ziyad (w. 67 H) memerintah kepada seorang yang berasal
dari persia untuk menambah huruf alif (mad) pada dua ribu
kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya,
kanat menjadi kaanat. Adapun penyempurnaan tanda-tanda
baca lain dilakukan oleh Imam Khalid ibn Ahmad pada tahun
162 H (Shubhi Shalih, t.t.: 106) (Said Agil Husin Al Munawar,
2002: 23).

DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar, Said Agil Husin.2002.Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Shubhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, t.t.

82 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Sejarah Pemberian Tanda Baca dan Tajwid
Red: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/
islam-nusantara/09/07/09/61193-sejarah-pemberian-
tanda-baca-dan-tajwid diakses 29 nopember 2016

Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya


mem­baca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu
masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda
bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khu­
la­
faur Rasyidin. Jangankan harakat fathah (baris atas),
kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun
(tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda
baca) saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah mem­
baca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul
(tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali
huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya.
Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho’, dan
sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi
hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan
lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua itu tentu­
nya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan
tabiit tabiin.Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik
dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti
Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan
Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran
tanpa ada syakal. Pemberian titik dan baris pada mushaf
Alquran ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada
zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Mua­­
wiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk me­
le­
takkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam
bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H),
khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah
se­orang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf,
untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu
huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu

Rasm Al-Qur`Ân | 83
titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa
dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta
bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah
kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke
Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi
umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkan­
lah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda
baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman baca­
an Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab
ataupun non-Arab (‘ajami). Baru kemudian, pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris
berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk mem­
perindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca
Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pem­
berian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad
Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka
kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga
yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam
pada kalimat-kalimat yang ada. Kemudian, pada masa
Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad
untuk semakin mempermudah orang untuk membaca
dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain
Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang
berupa isymam, rum, dan mad. Sebagaimana mereka juga
membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan
mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti
membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan iden­
titas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama,
tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain. Tanda-tanda
lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi’,
yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya,
berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan
tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat,
seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sen­diri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di
seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa
yang dianutnya, mereka mudah membaca Al­­quran. Ini

84 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam mem­
bawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam mem­
baca Alquran.dia/sya/berbagai sumber. Pe­­me­­liha­­raan
Alquran dari Masa ke Masa Dalam Alquran surah Al-Hijr
(15) ayat 9, Allah berfirman, ‘’Sesungguhnya, Kami-lah
yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang men­­
jaga­nya.’’ Ayat ini memberikan jaminan tentang kesu­cian
dan ke­murnian Alquran selama-lamanya hingga akhir
zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam,
termasuk di zaman Rasulullah SAW, yang hafal Alquran.
Dengan adanya umat yang hafal Alquran, Alquran pun
akan senan­tiasa terjaga hingga akhir zaman. Selanjutnya,
demi me­mudahkan umat membaca Alquran dengan baik,
mushaf Alquran pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah
melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal
Alquran). Alquran pertama kali dicetak pada tahun 1530
Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece).
Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Alquran
yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman
mencetak Alquran di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun
1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Lihat RS Abdul Aziz,
Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Kini, Alquran telah dicetak
di berbagai negara di dunia. Pemeliharaan Alquran tak
berhenti sampai di situ. Di sejumlah negara, didirikan lem­­
baga pendidikan yang dikhususkan mempelajari Ulum
Alquran (ilmu-ilmu tentang Alquran). Salah satu materi
pelajaran yang diajarkan adalah hafalan Alquran. Di In­do­
nesia, terdapat banyak lembaga pendidikan yang meng­
ajak penuntut ilmu ini untuk menghafal Alquran, mulai
dari pendidikan tinggi, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ)
hingga pesantren yang mengkhususkan santrinya meng­­
hafal Alquran, di antaranya Pesantren Yanbuul Quran di
Kudus (Jateng). Demi memotivasi umat untuk mening­
katkan hafalannya, kini diselenggarakan Musa­baqah
Hifzhil Quran (MHQ), dari tingkatan satu juz, lima juz, 10
juz, hingga 30 juz. ‘’Sebaik-baik kamu adalah orang yang
mem­pelajari Alquran dan mengajarkannya.’’ (HR Bukhari).
Adanya lembaga penghafal Alquran ini maka kemurnian

Rasm Al-Qur`Ân | 85
dan keaslian Alquran akan senantiasa terjaga hingga akhir
zaman. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda,
para penghafal Alquran ini akan ditempatkan di surga.
Wa Allahu A’lam.
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Alquran berasal
dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang
dibaca berulang-ulang. Kata ‘Alquran’ adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja (fi’il madli) qaraa yang
arti­nya membaca. Para pakar mendefinisikan Alquran se­
bagai kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di
mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir dan bagi
orang yang membacanya termasuk ibadah. Al-Qur’anu
huwa al-kitabu al-Mu’jiz al-Munazzalu ‘ala Muhammadin
bi wasithah sam’in aw ghairihi aw bilaa wasithah. Ada
juga yang mendefinisikannya sebagai firman Allah yang
tiada tandingannya. Diturunkan kepada Nabi Muham­
mad SAW, penutup para Nabi dan Rasul, dan ditulis pada
mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita
secara mutawatir yang dimulai dengan surat Alfatihah
dan ditutup dengan surat Annas. Alquran terdiri atas
114 surat serta 30 juz dengan jumlah ayat lebih dari 6.000
ayat. Kalangan ulama masih berbeda pendapat me­nge­
nai jumlah ayat Alquran. Ada yang menyebutkan jum­
lah­nya sebanyak 6.236 ayat, 6.666 ayat, 6.553 ayat, dan
sebagainya. Perbedaan penghitungan jumlah ayat ini
karena banyak ulama yang belum sepakat apakah kali­
mat Bismillahirrahmanirrahim yang ada di pembukaan
surah dan huruf Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Yaa Sin,
Shad, dan Qaaf termasuk ayat atau bukan. Inilah yang
me­­­nye­babkan adanya perbedaan mengenai jumlah ayat.
Namun demikian, hal itu tidak menimbulkan perpecahan
di antara umat. Alquran diturunkan secara berangsur-
angsur selama kurang lebih 23 tahun. Para ulama mem­
bagi masa penurunan ini menjadi dua periode, yaitu pe­
riode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah
berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah
SAW. Sementara itu, periode Madinah dimulai sejak

86 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun. Sedang­
kan, menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat
di­bagi kepada surat-surat Makkiyah (ayat-ayat Alquran
yang turun di Makkah) dan Madaniyah (diturunkan di
Madinah). Surat-surat yang turun sebelum Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah,
sedang­ kan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Se­
men­­ tara itu, dari segi panjang-pendeknya, surat-surat
yang ada dalam Alquran terbagi menjadi empat bagi­
an. Pertama, As-Sab’u al-Thiwaal (tujuh surat yang pan­­
jang), yaitu Albaqarah, Ali Imran, Annisa’, Al A’raf, Al
An’am, Almaidah, dan Yunus. Kedua, surat-surat yang
memiliki seratus ayat lebih (Al Miuun), seperti surat
Hud, Yusuf, Mu’min, dan sebagainya. Ketiga, surat-
surat yang jumlah ayatnya kurang dari seratus ayat (Al
Mat­saani), seperti surat  Al Anfal, Alhijr, dan sebagainya.
Ke­­­­­empat, surat-surat pendek (Al-Mufashshal), seperti
surat Adhdhuha, Al Ikhlas, Alfalaq, Annas, dan sebagai­
nya. sya   REPUBLIKA - Minggu, 22 Februari 2009       
Penulis : dia/sya/berbagai sumber  

Rasm Al-Qur`Ân | 87
BAB
XI

KISAH-KISAH DALAM AL-QUR`ÂN

1. Pengertian Kisah Dalam Al-Qur`ân


Menurut bahasa kisah-kisah bahasa Arabnya Qashash
(‫ )قصص‬merupakan bentuk jamak dari Qishah (‫قصة‬ ّ ). Kata ter­
sebut dari fi’il qashsha yang berarti mengikuti sesuatu( Ahmad
bin Fâris bin Zakariyâ, V, 1967: 11) maka kata tersebut dapat
berarti kisah, cerita, berita, atau keadaan. Sedangkan menurut
istilah Qashash al-Qur`ân adalah kisah-kisah dalam al-Qur`ân
tentang para Nabi dan Rasul, umat mereka, serta peristiwa-
perstiwa yang benar-benar terjadi.

2. Faedah Kisah Dalam Al-Qur`ân


a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan me­
ne­rangkan pokok-pokok syariat yang disampaikan para
Nabi.
b. Memantapkan hati Rasulullah SAW. dan umatnya dalam
mengamalkan agama Allah (Islam) dan menguatkan ke­
percayaan para mukmin tentang akan datangnya per­
tolongan Allah bagi orang mukmin dan kehancuran bagi
orang-orang yang sesat.
c. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dalam berdakwah
dan merupakan peringatan bahwa para Nabi yang ter­
dahulu adalah benar.
d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. dalam
dakwahnya,dan dengan tepat beliau telah menerang­kan

88
keadaan umat-umat terdahulu.
e. Menyingkap kebohongan-kebohongan ahli kitab yang
telah menyembunyi-kan isi dan ajaran kitab mereka yang
murni dan untuk mengoreksi pendapat mereka.
f. Menanamkan akhlâk al-karîmah dan budi pekerti yang
mulia.
g. Menarik perhatian para pendengar yang diberikan pe­
lajaran kepada mereka.

3. Kisah Ditinjau dari Waktu


Kisah jika ditelusuri dari keterangan al-Qur`ân, ditinjau
dari segi waktunya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
Pertama: Kisah masa lalu. Salah satu kisah macam ini
contohnya adalah kisah yang terdapat dalam QS al-Shâffât
yang selain memperingatkan orang musyrik Arab Mekkah
kepada ’azab Allah yang sangat pedih yang akan dirasakan­
nya nanti di neraka, dalam surat ini juga terdapat kisah bebe­
rapa Nabi,misalmnya :
a. Kisah Nabi Nûh AS dalam Q. S. al-Shâffât/37: 75-82

)76(ِ ‫) َونَ َّجْيـنَا ُه َوأَ ْه َل ُه ِم َن الْ َك ْر ِب الْ َع ِظيم‬75( ‫ون‬ َ ُ‫وح َفـ َلنِ ْع َم الْ ُم ِجيب‬
ٌ ُ‫َد نَا َدانَا ن‬ ْ ‫َولَق‬
‫وح ِفي‬
ٍ ُ‫)س َل ٌم َع َلى ن‬78(َ َ ‫) َوتَـ َرْكنَا َع َل ْي ِه ِفي ْال ِخر‬77(‫ين‬
‫ِين‬ َ ‫ُريَّـتَ ُه ُه ُم الْبَا ِق‬
ِّ ‫َو َج َع ْلنَا ذ‬
)81( ‫ين‬ َ ِ‫) إِنَّ ُه ِم ْن ِعبَا ِدنَا الْ ُم ْؤِمن‬80( ‫ين‬ َ ِ‫) إِنَّا َك َذلِ َك نَ ْجزِي الْ ُم ْح ِسن‬79(َ‫الْ َعالَ ِمين‬
)82( ‫ِين‬ َ ‫ْرْقـنَا ْال َخر‬ َ ‫ُم أَغ‬ َّ ‫ث‬
Sesungguhnya Nûh telah menyeru Kami: maka sesungguhnya
sebaik-baik yang memperkenankan (adalah Kami). Dan Kami telah
menyelamatkannya dan pengikutnya dari bencana yang besar.
Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan
keturunan. Dan Kami abadikan untuk Nûh itu (pujian yang baik)
di kalangan orang-orang yang datang kemudian; "Kesejahteraan
dilimpahkan atas Nûh di seluruh alam". Sesungguhnya demikian­
lah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Kisah-Kisah dalam Al-Qur`Ân | 89


Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang
beriman. Kemudian Kami tenggelamkan orang-orang yang lain.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Nûh dikabulkan


do’anya oleh Allah sehingga Nabi Nûh dan pengikutnya
diselamatkan dari bencana banjir besar, dan ditengge­lam­
kanlah orang-orang yang mendustakannya.
b. Kisah Nabi Ibrahim AS dalam Q. S. al-Shâffât/37: 91 – 99

ْ ‫) َفـ َر َاغ َع َل ْيه‬92(‫ُون‬


‫ِم‬ َ ‫) َما لَ ُك ْم َل تَـ ْن ِطق‬91(‫ون‬ َ ‫َال أََل تَْأ ُك ُل‬َ ‫ِم َفـق‬ ْ ‫َفـ َر َاغ إِلَى َءالِ َهتِه‬
)94( ‫ون‬ َ ‫) َفأَْقـَبـ ُلوا إِلَْي ِه يَزُِّف‬93(‫ين‬ ِ ‫ِم َض ْربًا بِالْيَ ِم‬ ْ ‫) َفـ َر َاغ َع َل ْيه‬93(‫ين‬ ِ ‫َض ْربًا بِالْيَ ِم‬
‫) َقالُوا اْبـنُوا لَ ُه بُـْنـيَانًا‬96(‫ون‬ َ ‫َك ْم َوَما تَـ ْع َم ُل‬ َّ ‫) َو‬95(‫ون‬
ُ ‫الل ُه َخ َلق‬ َ ُ‫ون َما تَـ ْن ِحت‬َ ‫ال أَتَـ ْعبُ ُد‬
َ ‫َق‬
‫ال إِنِّي‬ َ ‫) َوَق‬98( ‫ين‬ َْ ‫) َفأَ َرا ُدوا بِ ِه َك ْي ًدا َف َج َع ْلنَا ُه ُم‬97(‫َفأَلْقُوُه ِفي الْ َج ِحي ِم‬
َ ‫ال ْس َف ِل‬
ِ ‫ذَا ِه ٌب إِلَى َربِّي َسَيـ ْه ِد‬
)99(‫ين‬
Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala
mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu
tidak menjawab?" Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil
memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian
kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata:
"Apa­kah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu". Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk
(membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang
me­nyala-nyala itu". Mereka hendak melakukan tipu muslihat
kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.
Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada
Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.

Ayat di atas, menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim telah


menghancurkan berhala-berhala kaumnya sendirian se­
hingga kaumnya bermaksud hendak membunuhnya.
Maka didirikanlah oleh mereka bangunan untuk mem­
bakar Nabi Ibrahim AS dengan bara api yang menjilat-
jilat. Namun Alah SWT menyelamatkannya, dengan

90 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


menjadikan api itu menjadi dingin dan dan tidak meng­
hanguskan bagi Nabi Ibrahim

Kedua: Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa-


pe­ris­tiwa yang terjadi pada zaman Rasul SAW atau masa se­
karang. Seperti: peperangan Badr dan Uhud sebagaimana di­
sebutkan dalam Q.S. Ali Imran/3: 121 -129,

‫)إِ ْذ‬121(‫يم‬ ٌ ‫الل ُه َس ِمي ٌع َع ِل‬ َّ ‫ال َو‬ َ ِ‫ِّئ الْ ُم ْؤِمن‬
ِ َ‫ين َمقَا ِع َد لِ ْل ِقت‬ ُ ‫َوإِ ْذ َغ َد ْو َت ِم ْن أَ ْه ِل َك تُـَبـو‬
)122(‫ون‬ َ ُ‫الل ِه َفـ ْليََتـ َوَّك ِل الْ ُم ْؤِمن‬
َّ ‫الل ُه َولُِّيـ ُه َما َو َع َلى‬
َّ ‫ْش َل َو‬ َ ‫ان ِم ْن ُك ْم أَ ْن تَـف‬ِ َ‫َّت َطائِ َفت‬ْ ‫َهم‬
ُ ‫)إِ ْذ تَـق‬123(‫ون‬ َ ‫الل َه لَ َع َّل ُك ْم تَ ْش ُك ُر‬ َّ ‫الل ُه بِب ْد ٍر َوأَْنـتُ ْم أَ ِذلٌَّة َفاتَّـقُوا‬
َّ ‫َد نَ َصرُك ُم‬
‫ُول‬ َ َ ْ ‫َولَق‬
)124(‫ين‬ َ ِ‫ُّك ْم بِثَ َلثَ ِة َء َال ٍف ِم َن الْ َم َلئِ َك ِة ُمْنـ َزل‬ ُ ‫ين أَلَ ْن يَ ْك ِفيَ ُك ْم أَ ْن يُ ِم َّدُك ْم َرب‬
َ ِ‫لِ ْل ُم ْؤِمن‬
‫ِخ ْم َس ِة َء َال ٍف‬ َ ‫ُّك ْم ب‬ ُ ‫بَـ َلى إ ِْن تَ ْصب ُِروا َوتَـَّتـقُوا َويَْأتُوُك ْم ِم ْن َفـ ْوِرِه ْم َه َذا يُ ْم ِد ْدُك ْم َرب‬
‫الل ُه إ َِّل بُ ْش َرى لَ ُك ْم َولِتَ ْط َمئِ َّن ُقـ ُلوبُ ُك ْم بِ ِه‬ َّ ‫) َوَما َج َع َل ُه‬125(‫ين‬ َ ‫ِم َن الْ َم َلئِ َك ِة ُم َس ِّوِم‬
‫َروا‬ ُ ‫ين َكف‬ َ ‫ْط َع َط َرًفا ِم َن الَّ ِذ‬ َ ‫)لَِيـق‬126(‫الل ِه الْ َعزِي ِز الْ َح ِكي ِم‬ َّ ‫َّصر إ َِّل ِم ْن ِع ْن ِد‬
ُ ْ ‫َوَما الن‬
‫ِم أَ ْو‬ْ ‫وب َع َل ْيه‬ َ ُ‫ال ْم ِر َش ْي ٌء أَ ْو يَـت‬ َْ ‫س لَ َك ِم َن‬ َ ‫)لَْي‬127(‫ِين‬ َ ‫أَ ْو يَ ْكبَِتـ ُه ْم َفـَيـْنـ َق ِلبُوا َخائِب‬
‫ض يَـ ْغ ِف ُر لِ َم ْن‬ ِ ‫ال ْر‬َْ ‫ات َوَما ِفي‬ ِ ‫الس َم َو‬َّ ‫) َولَِّل ِه َما ِفي‬128(‫ون‬ َ ‫يُـ َع ِّذبَـ ُه ْم َفإِنَّـ ُه ْم َظالِ ُم‬
)129(‫يم‬ ٌ ‫الل ُه َغفُوٌر َر ِح‬ َّ ‫يَ َشا ُء َويُـ َع ِّذ ُب َم ْن يَ َشا ُء َو‬
Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah)
ke­luargamu akan menempatkan para mu'min pada bebe­rapa tempat
untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Me­
ngetahui, ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena
takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu.
Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mu'min ber­
tawakkal. Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan
Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah.
Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-
Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mu'min:
"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan
tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" ya (cukup), jika
kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu
dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima

Kisah-Kisah dalam Al-Qur`Ân | 91


ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan
pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira
bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (Allah menolong kamu dalam perang Badar dan
memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-
orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka
kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah mene­
rima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim. Kepunyaan Allah apa yang ada
di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa
yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki; dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Contoh-contoh yang lain misalnya perang Hunain dan


Tabuk yang disebutkan dalam Q.S. al-Tawbah/9: 38-43, perang
Ahzab dalam Q.S. al- Ahzab/33: 19-20, dan peristiwa Isra’ Nabi
Muhammad SAW dalam Q. S. Al-Isra’/17: 1.
Ketiga: Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi dan orang-orang yang tidak dapat
dipastikan era/masa kenabiannya. Seperti kisah orang-orang
yang pergi dari kampung halamannya dalam jumlah ribu­
an (hanya) karena takut mati sebagaimana yang disebutkan
dalam Q.S. al-Baqarah/2: 243

َّ ‫َال لَ ُه ُم‬
‫الل ُه ُموتُوا‬ ٌ ُ‫ين َخ َر ُجوا ِم ْن ِديَا ِرِه ْم َو ُه ْم أُل‬
َ ‫وف َح َذ َر الْ َم ْو ِت َفـق‬ َ ‫أَلَ ْم تَـ َر إِلَى الَّ ِذ‬
َ ‫َّاس َل يَ ْش ُك ُر‬
‫ون‬ ِ ‫َّاس َولَ ِك َّن أَ ْكَـث َر الن‬
ِ ‫الل َه لَ ُذو َف ْض ٍل َع َلى الن‬ َّ ‫ِن‬ َّ ‫ُم أَ ْحيَا ُه ْم إ‬
َّ ‫ث‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari
kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya)
karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ”Mati­
lah kamu”, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya
Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan
manusia tidak bersyukur.

92 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


‫­‪Contoh yang lain misalnya kisah Thâlût dan Jalût yang ter‬‬
‫‪dapat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 246-252.‬‬

‫ِي لَ ُه ُم اْبـ َع ْث لَنَا َم ِل ًكا‬ ‫وسى إِ ْذ َقالُوا لِنَب ٍّ‬ ‫يل ِم ْن بَـ ْع ِد ُم َ‬ ‫ِس َرائِ َ‬
‫ل ِم ْن بَنِي إ ْ‬ ‫أَلَ ْم تَـ َر إِلَى الْ َم َ ِ‬
‫ال أََّل تُـقَاتُِلوا َقالُوا َوَما‬ ‫ال َه ْل َع َس ْيتُ ْم إ ِْن ُكتِ َب َع َل ْي ُك ُم الْ ِقتَ ُ‬ ‫ِيل َّ‬
‫الل ِه َق َ‬ ‫نُـقَاتِ ْل ِفي َسب ِ‬
‫ال‬‫ِم الْ ِقتَ ُ‬ ‫الل ِه َوَق ْد أُ ْخر ِْجنَا ِم ْن ِديَا ِرنَا َوأَْبـنَائِنَا َفـ َلمَّا ُكتِ َب َع َل ْيه ُ‬ ‫ِيل َّ‬ ‫لَنَا أََّل نُـقَاتِ َل ِفي َسب ِ‬
‫ون لَ ُه الْ ُم ْل ُك‬ ‫ين(‪َ )246‬قالُوا أَنَّى يَ ُك ُ‬ ‫الل ُه َع ِليم ب َّ‬
‫ِالظالِ ِم َ‬ ‫تَـ َولَّ ْوا إ َِّل َق ِل ًيل ِمْنـ ُه ْم َو َّ‬
‫ٌ‬
‫اص َطفَا ُه‬ ‫ِن َّ‬
‫الل َه ْ‬ ‫ال إ َّ‬ ‫ال َق َ‬ ‫َع َلْيـنَا َونَ ْح ُن أَ َح ُّق بِالْ ُم ْل ِك ِم ْن ُه َولَ ْم يُـ ْؤ َت َس َع ًة ِم َن الْ َم ِ‬
‫اس ٌع‬ ‫الل ُه َو ِ‬ ‫الل ُه يُـ ْؤتِي ُم ْل َك ُه َم ْن يَ َشا ُء َو َّ‬ ‫َع َلي ُك ْم َوَزا َد ُه بَس َط ًة ِفي الْ ِع ْل ِم َوالْ ِجس ِم َو َّ‬
‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫وت ِفي ِه َس ِكينَ ٌة ِم ْن‬ ‫ِن َءايَ َة ُم ْل ِك ِه أَ ْن يَْأتِيَ ُك ُم التَّابُ ُ‬ ‫ال لَ ُه ْم نَبُِّيـ ُه ْم إ َّ‬‫يم(‪َ )247‬وَق َ‬ ‫َع ِل ٌ‬
‫ِن ِفي َذلِ َك َليَ ًة‬ ‫ون تَ ْح ِم ُل ُه الْ َم َلئِ َك ُة إ َّ‬
‫ال َها ُر َ‬ ‫وسى َوَء ُ‬ ‫ال ُم َ‬ ‫َرب ُ‬
‫ِّك ْم َوبَ ِقيَّ ٌة ِممَّا تَـ َر َك َء ُ‬
‫يك ْم‬ ‫ِن َّ‬
‫الل َه ُم ْبتَِل ُ‬ ‫ال إ َّ‬ ‫وت بِالْ ُجنُوِد َق َ‬ ‫ين(‪َ )248‬فـ َلمَّا َف َص َل َطالُ ُ‬ ‫لَ ُك ْم إ ِْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤِمنِ َ‬
‫س ِمنِّي َوَم ْن لَ ْم يَ ْط َع ْم ُه َفإِنَّ ُه ِمنِّي إ َِّل َم ِن ا ْغَتـ َر َف غ ْ‬
‫ُرَف ًة‬ ‫ِب ِم ْن ُه َفـ َل ْي َ‬ ‫بَِنـ َه ٍر َف َم ْن َشر َ‬
‫ين َءا َمنُوا َم َع ُه َقالُوا َل َطا َق َة‬ ‫بِيَ ِد ِه َف َش ِربُوا ِم ْن ُه إ َِّل َق ِل ًيل ِمْنـ ُه ْم َفـ َلمَّا َجا َوَزُه ُه َو َوالَّ ِذ َ‬
‫الل ِه َك ْم ِم ْن ِفئَ ٍة َق ِلي َل ٍة‬ ‫ُّون أَنَّـ ُه ْم ُم َل ُقو َّ‬ ‫ين يَ ُظن َ‬ ‫ال الَّ ِذ َ‬‫وت َو ُجنُوِد ِه َق َ‬ ‫ِجالُ َ‬ ‫لَنَا الَْيـ ْوَم ب َ‬
‫وت َو ُجنُوِد ِه‬ ‫ِين(‪َ )249‬ولَمَّا بَـ َرُزوا لِ َجالُ َ‬ ‫الصابِر َ‬ ‫الل ُه َم َع َّ‬ ‫الل ِه َو َّ‬ ‫ْن َّ‬ ‫َغ َلبَ ْت ِفئَ ًة َكثِ َيرًة بِإِذ ِ‬
‫ِين(‪)250‬‬ ‫ِغ َع َلْيـنَا َصْبـ ًرا َوثَـبِّ ْت أَ ْق َدا َمنَا َوانْ ُص ْرنَا َع َلى الْ َق ْوِم الْ َكا ِفر َ‬ ‫َقالُوا َربَّـنَا أَ ْفر ْ‬
‫الل ُه الْ ُم ْل َك َوالْ ِح ْك َم َة َو َع َّل َم ُه‬ ‫وت َوَءاتَا ُه َّ‬ ‫الل ِه َوَقـتَ َل َدا ُوُد َجالُ َ‬ ‫ْن َّ‬ ‫َفـ َه َزُمو ُه ْم بِإِذ ِ‬
‫ض َولَ ِك َّن َّ‬ ‫َس َد ِت َْ‬ ‫ِممَّا يَ َشا ُء َولَ ْوَل َد ْف ُع َّ‬
‫الل َه ذُو‬ ‫ال ْر ُ‬ ‫ض لَف َ‬ ‫الل ِه الن َ‬
‫َّاس بَـ ْع َض ُه ْم بَِبـ ْع ٍ‬
‫الل ِه نَـْتـ ُلو َها َع َل ْي َك بِالْ َح ِّق َوإِنَّ َك لَ ِم َن‬ ‫ات َّ‬ ‫ين(‪)251‬تِ ْل َك َءايَ ُ‬ ‫َف ْض ٍل َع َلى الْ َعالَ ِم َ‬
‫ين(‪)252‬‬ ‫الْ ُم ْر َس ِل َ‬
‫ ‬ ‫‪Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil‬‬
‫‪sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang‬‬
‫‪Nabi mereka: ”Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami‬‬
‫‪berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka‬‬
‫­‪menjawab: ”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berpe‬‬
‫‪rang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: ”Mengapa‬‬
‫‪kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya‬‬

‫‪Kisah-Kisah dalam Al-Qur`Ân‬‬ ‫‪| 93‬‬


kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-
anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,
mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka.
Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. Nabi
mereka mengatakan kepada mereka: ”Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: ”Bagai­
mana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengen­
dalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata: ”Sesungguhnya
Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan peme­
rintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dan Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: ”Sesungguhnya tanda ia akan menjadi
raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat kete­
nangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa
dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesung­guhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang
yang beriman. Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia
berkata: ”Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu
sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia
pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali men­
ceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian
mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.
Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia
telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum ber­­
kata: ”Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan
Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka
akan menemui Allah berkata: ”Berapa banyak terjadi golongan
yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan
izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Tatkala
mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan
tentaranya) berdo`a: ”Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas
diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami
terhadap orang-orang kafir”. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan
tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud
membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud)
pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan

94 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan
sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mem­
punyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. Itu adalah
ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan
sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi
yang diutus.

4. Hikmah Pengulangan Kisah


Sebuah kisah bisa disebutkan beberapa kali dalam bentuk
yang berbeda-beda, kadang pendek, kadang-kadang panjang.
Pengulangan kisah ini mengandung hikmah yaitu sebagai be­
rikut:
a. Menandaskan balaghahnya dalam bentuk yang paling
tinggi. Di antara keistimewaan balaghahnya itu dapat me­
nerangkan satu makna dalam berbagai susunan, se­hingga
akan terasa indah dan enak bila dibaca dan di­dengar­kan.
b. Menampakkan kemukjizatan. Yaitu dengan menyebutkan
suatu makna dalam berbagai bentuk struktur perkataan
yang tidak dapat ditandingi oleh para sastrawan Arab.
c. Memberikan perhatian penuh pada kisah dimaksud; dan
untuk menguatkan (ta`kîd).95
d. Karena adanya perbedaan tujuan yang disesuaikan dengan
situasi. Misalnya disuatu tempat kisah diterangkan hanya
sebagian saja yang diperlukan, namun di tempat lain di­
se­butkan secara lebih sempurna, karena hal itu dirasa
sebagai sesuatu yang sesuai dengan situasi.

Kisah-Kisah dalam Al-Qur`Ân | 95


BAB
XII

AMTSÂL AL-QUR`ÂN

1. Pengertian Ilmu Amtsâl Al-Qur`ân


Menurut bahasa amtsâl berasal dari kata matsal atau mitsl
yang berarti menunjukkan perbandingan atau penyerupaan
antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, V, 1967: 296).
Sedangkan menurut istilah, amtsâl adalah suatu ungkap­
an perkataan tentang sesuatu yang diumpamakan dengan
se­suatu perkataan yang lain, di mana di antara keduanya itu
untuk menjelaskan dan memberi gambaran kepada yang lain
(Mahmûd bin Syarîf, 1965: 115).

2. Rukun Amtsâl al-Qur`ân


Adapun rukun amtsâl ada empat, yaitu:
a. Wajh al-Syibbhi )‫)وجه الشبه‬
Yaitu pengertian yang bersama-sama yang ada pada
musyabbah dan musyabbah bih.
b. Alat Tasybih ( ‫)أداة التشبيه‬
Yaitu kaf, mitsil/matsal, kaanna, dan semua lafaz yang
me­nunjukkan makna perserupaan.
c. Musyabbah (‫)مشبّه‬
Yaitu sesuatu yang diserupakan (menyerupai) musyabbah
bih.
d. Musyabbah bih (‫)مشبّه به‬
Yaitu sesuatu yang diserupai oleh musyabbah.

96
Contoh amtsâl dalam al-Qur`ân adalah firman Allah QS al
’Ankabut/29:41

َّ ‫وت اتَّ َخ َذ ْت بَـ ْيتًا َوإ‬


‫ِن أَ ْو َه َن‬ َّ ‫ون‬
ِ ُ‫الل ِه أَ ْولِيَا َء َك َمثَ ِل الْ َع ْن َكب‬ ِ ‫ين اتَّ َخ ُذوا ِم ْن ُد‬ َ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ‬
)41 :29 ‫ون ( العنكبوت‬ ِ ُ‫وت لََبـ ْي ُت الْ َع ْن َكب‬
َ ‫وت لَ ْو َكانُوا يَـ ْع َل ُم‬ ِ ُ‫الُْبـي‬
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba
kalau mereka mengetahui.

Firman Alah Q.S. al-‘Ankabût/29: 41 tersebut alat tasybih­


nya adalah ِ‫( كَمَثَل‬matsal disertai dengan kâf), yang men­jadi
wajhu al-syibhi adalah yang paling lemah ( ‫) أهون‬. Musyabbahnya
َ َ‫ين َّاتَ ُذوا ِم ْن ُدو ِن اللَّ ِه أَ ْولِي‬
adalah ‫اء‬ َ ‫ الَّ ِذ‬yang dimaksud adalah orang-
orang musyrik, dan ‫وت‬ ِ ُ‫ لََبـيْ ُت الْ َعنْ َكب‬adalah musyabbah bihnya.
Dan firman Allah QS Ibrahim/14:18

ِ ‫يح ِفي يَـ ْوٍم َع‬


‫اص ٍف َل‬ ِّ ‫اشتَ َّد ْت بِ ِه‬
ُ ‫الر‬ ْ ‫ِم أَ ْع َمالُ ُه ْم َك َرَما ٍد‬
ْ ‫َروا ب َِربِّه‬ َ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ‬
ُ ‫ين َكف‬
)18 :14 ‫الض َل ُل الْبَ ِعي ُد (إبراهيم‬ َّ ‫ون ِممَّا َك َسبُوا َع َلى َش ْي ٍء َذلِ َك ُه َو‬ َ ‫يَـ ْق ِد ُر‬
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka
adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari
yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat
sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang
demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Dalam Q.S. Ibrâhîm/14: 18 tersebut alat tasybihnya adalah


‫( َك‬kaf), yang menjadi wajhu al-syibhi adalah mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka
َ ‫الَّ ِذ‬
usahakan (‫) َل َيـ ْق ِد ُرو َن ِمَّا َك َسبُوا َعلَى َش ْي ٍء‬. Musyabbahnya adalah ‫ين‬
‫ َك َف ُروا ب َِرِّبِ ْم أَ ْع َمالُُ ْم‬, yang dimaksud adalah orang-orang kafir yang
ingkar kepada Allah, dan ‫ف‬ ٍ ‫اص‬
ِ ‫يح ِف َيـ ْوٍم َع‬ِّ ‫ َرَما ٍد ْاشتَ َّد ْت بِ ِه‬adalah
ُ ‫الر‬
musyabbah bihnya.

Amtsâl Al-Qur`Ân | 97
Dua ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa
orang-orang musyrik yang menghormati, yang meminta per­
tolongan dan perlindungan, dan yang menyembah dan ber­
tuhan kepada selain Allah, mereka tidak akan mendapat­kan
sesuatu apapun kecuali hal-hal yang berlawanan dengan ha­
rapan mereka. Perumpamaan ini sangat sesuai dan mengena
sekali untuk menunjukkan pada kebatilan perbuatan syirik,
ke­rugian orang-orang musyrik dan kesia-siaan harapan me­
reka. Jika dikatakan bahwa sesungguhnya mereka menge­
tahui bahwa selemah-lemah rumah adalah rumah laba-laba,
tetapi mengapa mereka menjadi tidak menyadari hal itu. Ini­
ُ ‫( لَ ْو َكاُنـ ْوا َيـ ْعل‬kalau mereka me­
lah yang diisyaratkan kalimat ‫َم ْو َن‬
nge­­tahui). Jawabannya adalah bahwa sebenarnya Allah tidak
pernah menghilangkan pengetahuan orang-orang musyrik
tentang lemahnya sembahan-sembahan mereka, melainkan
mereka tidak menyadari bahwa pengambilan pelindung-pe­
lin­dung selain Allah itu merupakan kelemahan dan bahkan
dengan perbuatannya itu, mereka menduga akan menda­pat­
kan kemuliaan dan kekuatan.
Pada contoh yang kedua Allah mengumpamakan per­
buatan orang-orang kafir adalah karena kebatilan dan kesia-
siaannya yaitu bagaikan abu yang ditiup angin keras pada hari
yang ada angin kencang. Perbuatan mereka sia-sia dan per­
cuma karena tidak berdasarkan iman dan ihsan, dan karena
tidak ditujukan kepada Allah serta tidak bersandar kepada
aturan-aturan-Nya. Perbuatan-perbuatan itu seperti abu yang
beterbangan ditiup angin kencang,sementara pelakunya tidak
dapat berbuat apa-apa bahkan ketika sedang berada pada hari/
masa mereka sangat membutuhkan, serta tidak dapat meng­
ambil manfaat apapun dari apa yang diperbuatnya di dunia.
Dan tidak ada pahala ataupun manfaat yang dapat mereka
lihat dan mereka ambil dari perbuatannya.

98 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


3. Macam-macam Amtsâl dalam al-Qur`ân
Amtsâl dalam al-Qur`ân dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Zhâhir Musharrah bih ( ‫مصرح به‬
ّ ‫)ظاهر‬
b. Kâmin la Dzikrâ li al-Matsal fîh )‫)كامن ال ذكرى للمثل فيه‬

Adapun penjelasanya sebagai berikut:

a. Zhâhir Musharrah bih ( ‫مصرح به‬


ّ ‫)ظاهر‬
Kata zhâhir bentuk isim fâ’il dari zhahara yang berarti
muncul, tampak, dan jelas. Kata musharrah bentuk isim maf’ul
yang berarti jelas dan terang. Jadi Zhâhir Musharrah bih adalah
amtsâl yang ditegaskan dalam al-Qur`an tampak jelas terda­
pat lafal matsal atau amtsâl. Amtsâl semacam ini banyak sekali
dalam al-Qur`an, contohnya adalah :
1). Firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 14 – 19

‫ِم َقالُوا إِنَّا َم َع ُك ْم إِنَّ َما‬ ْ ‫ين َءا َمنُوا َقالُوا َءا َمنَّا َوإِذَا َخ َل ْوا إِلَى َشيَا ِطينِه‬ َ ‫َوإِذَا لَقُوا الَّ ِذ‬
)15(‫ون‬ ْ ‫ِم َويَ ُم ُّد ُه ْم ِفي ُط ْغيَانِه‬
َ ‫ِم يَـ ْع َم ُه‬ ْ ‫ِئ بِه‬ َّ
ُ ‫)الل ُه يَ ْسَتـ ْهز‬14( ‫ُون‬
َ ‫نَ ْح ُن ُم ْسَتـ ْه ِزئ‬
)16(‫ين‬ َ ‫ِح ْت تِ َجا َرتُـ ُه ْم َوَما َكانُوا ُم ْهتَ ِد‬
َ ‫الض َللَ َة بِالْ ُه َدى َف َما َرب‬ َّ ‫اشَتـ َرُوا‬ْ ‫ين‬ َ ‫أُولَئِ َك الَّ ِذ‬
َّ ‫اسَتـ ْوَق َد نَا ًرا َفـ َلمَّا أَ َضا َء ْت َما َح ْولَ ُه َذ َه َب‬
‫الل ُه بِنُوِرِه ْم َوتَـ َرَك ُه ْم‬ ْ ‫َمَثـ ُل ُه ْم َك َمثَ ِل الَّ ِذي‬
‫) أَ ْو َك َصيِّ ٍب‬18(‫ون‬ َ ‫)ص ٌّم بُ ْك ٌم ُع ْم ٌي َفـ ُه ْم َل يَـ ْر ِج ُع‬17(
ُ َ ‫ات َل يُـ ْب ِص ُر‬
‫ون‬ ٍ ‫ِفي ُظ ُل َم‬
‫الص َوا ِع ِق‬ َّ ‫ِم ِم َن‬ ْ ‫ون أَ َصابِ َع ُه ْم ِفي َءاذَانِه‬ َ ‫ات َوَر ْع ٌد َوبَـ ْر ٌق يَ ْج َع ُل‬ ٌ ‫الس َما ِء ِفي ِه ُظ ُل َم‬
َّ ‫ِم َن‬
)19(‫ِين‬ َ ‫يط بِالْ َكا ِفر‬ ٌ ‫الل ُه ُم ِح‬َّ ‫َح َذ َر الْ َم ْو ِت َو‬
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman,
mereka mengatakan: “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kem­
bali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesung­
guhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-
olok”. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan
mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah
orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat pe­
tunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menya­
lakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah

Amtsâl Al-Qur`Ân | 99
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan me­
reka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan
buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit
disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga­
nya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

Ayat tersebut menjelaskan corak orang-orang munafiq


yang mana Allah telah mendatangkan agama yang ber­isi
petunjuk dan syariat yang mengandung ajaran demi ke­­­
bahagiaan dan kebaikan bagi mereka, tetapi mereka hanya
beriman di bibir saja, tidak mau menggunakan akal, bahkan
mereka menyombongkan diri dan sengaja ber­ paling
dari ajaran-ajaran yang sudah jelas arah dan tujuan­nya.
Mereka itu diumpamakan seperti orang yang menyalakan
api, yang menyinari dengan jelas di antara orang-orang
mu`min yang ada di sekitar mereka, tetapi orang-orang
mu­nafiq buta dan tuli, maksudnya mereka tidak mau me­­
nerima petunjuk-petunjuk Allah, maka antara mereka
dan cahaya ada tabir yang mencegah, dan menutupnya
dengan sungguh-sungguh, maka mereka hidup jauh dari
ke­benaran, hidup dalam kegelapan karena tidak men­­
dapat cahaya, mereka bingung karena hidup dalam kese­
satan, kegelapan dan kebatilan,serta mereka tidak bisa
hidup nikmat sebagaimana orang-orang mu`min yang
hidup dalam kebaikan, mendapat cahaya, dan men­dapat
pe­tunjuk dari Allah.
Kemudian digambarkan situasi hujan yang lebat di­
sertai gelap gulita, guruh dan kilat untuk perumpamaan
mereka yang tuli, bisu, dan buta. Kemudian kemunafik­
an mereka diumpamakan seperti orang yang menyalakan
api agar menerangi mereka pada waktu malam hari di
sekeliling mereka. Namun api itu tidak dapat menerangi
mereka, karena sinar dan cahayanya terpadamkan oleh

100 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


hujan yang lebat diikuti oleh tiupan angin yang sangat
kencang, yang memadamkan asap api, dan mencerai-
berai­kan lidah api, akhirnya mereka bingung, betul-betul
terpukul dalam kegelapan yang benar-benar gelap gulita,
tidak mengetahui apa yang ada di sekitarnya, dan tidak
bisa menjaga diri mereka (Mahmud bin Syarif, 1985: 13 –
14).
Dengan demikian nampak jelaslah perbedaan per­um­
pamaan orang mu`min dan orang-orang munafiq.
2). Firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 265

‫ِم َك َمثَ ِل َجنَّ ٍة‬


ْ ‫ُسه‬ َّ ‫ُون أَ ْم َوالَ ُه ُم ابْتِ َغا َء َمر َضا ِة‬
ِ ‫الل ِه َوتَـ ْثبِيتًا ِم ْن أَْنـف‬ ْ َ ‫َوَمثَ ُل الَّ ِذ‬
َ ‫ين يُـ ْن ِفق‬
َّ ‫ِل َف َط ٌّل َو‬
‫الل ُه بِ َما‬ ٌ ‫ِن لَ ْم يُ ِصْبـ َها َواب‬ ْ ‫ِل َفآتَ ْت أُ ُك َل َها ِض ْعف َْي ِن َفإ‬ ٌ ‫ب َِرْبـ َوٍة أَ َصابَـ َها َواب‬
)265(‫ير‬ ٌ ‫ون بَ ِص‬َ ‫تَـ ْع َم ُل‬
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya
karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram
oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali
lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis
(pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.

Ayat tersebut menjelaskan perumpamaan orang-orang


yang menafkahkan hartanya hanya karena untuk mencari
ridha Allah SWT. dan merupakan keputusan hati nurani
mereka sendiri, yaitu dalam keikhlasan dan kedermawan­
an yang terdapat pada diri mereka sendiri. Keikhlasan hati
mereka itu diperumpamakan bagaikan taman yang indah,
terdapat di dalaamnya pohon-pohon yang besar, rindang
lagi subur, banyak kebaikannya serta kebagusannya, yang
kesemuanya itu sesuai dengan kelapangan hati mereka,
maka mereka akan mendapat rizki yang banyak bagaikan
hujan yang lebat karena banyaknya infak. Dan apabila
mendapat rizki yang sedikit bagaikan hujan gerimis, ka­
rena mereka tetap menginfakkan ala kadarnya, maka

Amtsâl Al-Qur`Ân | 101


kebaikan orang-orang yang riya’ dan orang-orang yang
tujuan mereka hanya ingin mendapat pujian, maka hujan
lebat dan gerimis diibaratkan dengan adanya kelapang­
an rizki (Muhammad Rasyid Ridhâ, III, t.t.: 68). Dengan
penjelasan tersebut memberikan gambaran agar manusia
senang menginfakkan sebagian rizki mereka untuk men­
cari ridha Allah tanpa ingin pamrih apapun kecuali hendak
mencari ridha Allah semata.

b. Kâmin la Dzikrâ li al-Matsal fîh


Kata kâmin merupakan bentuk isim fâ’il dari kata kamina
yang berarti bersembunyi. Sedang dzikrâ adalah bentuk isim
mashdar yang berasal dari kata dzakara yang berarti menyebut
atau menuturkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
Kâmin la Dzikrâ li al-Matsal fîh adalah bentuk perumpamaan
yang lafazh matsal-nya tersembunyi, tidak disebutkan secara
langsung dalam ayat.
Berikut ini disampaikan contoh-contoh sebagai berikut:
1). Sebaik-baik urusan adalah pertengahan. Dalam bentuk ini
terdapat pada empat tempat yaitu:
a). Q.S. al-Baqarah/2: 68
ٌ ‫ض َو َل ِب ْكرٌ عَ َو‬
.... ‫ان َبي َْن َذلِ َك‬ ٌ ‫ار‬ َ َ
ِ ‫ ل ف‬...
… yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu....
b). Q.S. al-Furqan/25: 67

َ ‫َوالَّ ِذ‬
َ ‫ين إِذَا أَْنـ َفقُوا لَ ْم يُ ْس ِرُفوا َولَ ْم يَـ ْقُتـ ُروا َوَك‬
‫ان بَـ ْي َن َذلِ َك َقـ َوا ًما‬
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pem­­
belanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

c). Q.S. al-Isra`/17: 29

)17( .... ‫َوَل تَ ْج َع ْل يَ َد َك َم ْغ ُلولَ ًة إِلَى ُعنُ ِق َك َوَل تَـ ْب ُس ْط َها ُك َّل الْبَ ْس ِط‬

102 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada leher­
mu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal….

d). QS al Isra’/17:110

ً ‫ِص َلتِ َك َوَل تُ َخا ِف ْت بِ َها َواْبـتَ ِغ بَـ ْي َن َذلِ َك َسب‬


)110( ‫ِيل‬ َ ‫ َوَل تَ ْج َه ْر ب‬...
… janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu"

2). Orang yang tidak tahu tentang sesuatu akan menyusahkan


dirinya sendiri. Dalam bentuk ini ada pada dua tempat
yaitu:
- Q.S. Yûnus/10: 39

.... ‫ِم تَْأوِي ُل ُه‬ ُ ‫بَ ْل َك َّذبُوا بِ َما لَ ْم يُ ِح‬


ْ ‫يطوا بِ ِع ْل ِم ِه َولَمَّا يَْأتِه‬
Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang
mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum
datang kepada mereka penjelasannya.
- Q.S. al-Ahqâf/: 11

َ ُ‫ َوإِ ْذ لَ ْم يَـ ْهتَ ُدوا بِ ِه َف َسَيـقُول‬...


ٌ ‫ون َه َذا إِ ْف ٌك َق ِد‬
)11(‫يم‬
… Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya
maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama".

3). Waspadalah terhadap kejahatan dari orang yang mana


anda telah berbuat baik padanya. Bentuk ini ada pada Q.S.
al-Tawbah/9: 74
ْ ‫للاُ َو َرسُ ولُ ُه ِم ْن َف‬
.... ‫ضلِ ِه‬ ُ ‫ َو َما َن َقمُوا إِ َّل أَ ْن أَ ْغ َن‬...
َّ ‫اه ُم‬
dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena
Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada
mereka….

Amtsâl Al-Qur`Ân | 103


4). Berita tidak sesuai dengan kenyataan. Bentuk ini ada pada
Q.S. al-Baqarah/2: 260

َ ‫ أَ َولَ ْم تُـ ْؤِم ْن َق‬...


.... ‫ال بَـ َلى َولَ ِك ْن لِيَ ْط َمئِ َّن َقـ ْلبِي‬
Belum yakinkah kamu?". Ibrâhîm menjawab: "Aku telah meya­
kininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)"….
5). Aktifitas yang diberkahi. Bentuk ini ada pada Q.S. al-al-
Nisâ`/4: 100

.... ‫ض ُم َرا َغ ًما َكثِ ًيرا َو َس َع ًة‬


ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫ِيل‬
َْ ‫الل ِه يَ ِج ْد ِفي‬ ِ ‫اج ْر ِفي َسب‬
ِ ‫َوَم ْن يُـ َه‬
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak….
6). Sebagaimana anda lakukan terhadap orang lain, begitulah
dilakukan orang terhadap anda. Bentuk ini ada pada Q.S.
al-al-Nisâ`/4: 123

.... ‫ َم ْن يَـ ْع َم ْل ُسوًءا يُ ْج َز بِ ِه‬...


… Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu ….
7). Apa yang anda laksanakan, anda akan mengetahui hasil­
nya. Bentuk ini ada pada Q.S. al- Q.S. al-Furqân/25: 42

ً ‫اب َم ْن أَ َض ُّل َسب‬


)42(‫ِيل‬ َ ‫ين يَـ َر ْو َن الْ َع َذ‬ َ ‫ َو َس ْو َف يَـ ْع َل ُم‬....
َ ‫ون ِح‬
… Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab,
siapa yang paling sesat jalannya.
8). Seorang mukmin tidak akan masuk ke dalam lubang yang
sama sampai dua kali. Bentuk ini ada pada Yusuf/12: 64

.... ‫ال َه ْل َءا َمنُ ُك ْم َع َل ْي ِه إ َِّل َك َما أَ ِم ْنتُ ُك ْم َع َلى أَ ِخي ِه ِم ْن َقـ ْب ُل‬
َ ‫َق‬
Berkata Ya`qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya
(Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan
saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?"….

104 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


9). Barang siapa menolong orang zhalim ia akan terjerumus
didalamnya. Bentuk ini ada pada Q.S. al-Hajj/22: 4

)4(ِ‫الس ِعير‬ ِ ‫ُكتِ َب َع َل ْي ِه أَنَّ ُه َم ْن تَـ َوَّل ُه َفأَنَّ ُه يُ ِض ُّل ُه َويَـ ْه ِدي ِه إِلَى َع َذ‬
َّ ‫اب‬
yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang
berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan mem­
bawanya ke azab neraka.

10). Buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Bentuk ini
ada pada Q.S. Nûh/71: 27

ِ ‫ َوَل يَِل ُدوا إ َِّل َف‬...


)27(‫اج ًرا َك َّفا ًرا‬
..., dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat
ma`siat lagi sangat kafir....

11). Dinding-dinding itu mempunyai telinga. Bentuk ini ada


pada Q.S. al-Tawbah/9: 47

… ‫ون لَ ُه ْم‬ ُ ‫ َوِف‬.…


َ ‫يك ْم َسمَّا ُع‬
… sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka men­
dengarkan perkataan mereka....
12). Orang bodoh mendapat rizki, sedang orang yang pandai
tidak mendapat apa-apa. Bentuk ini ada pada Q.S. al-
Maryam/19: 75

.... ‫الر ْح َم ُن َم ًّدا‬ َّ ‫ان ِفي‬


َّ ‫الض َللَ ِة َفـ ْليَ ْم ُد ْد لَ ُه‬ َ ‫ُق ْل َم ْن َك‬
Katakanlah: "Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka
biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi­
nya....

13). Yang halal sulit dicari dan yang haram mudah dicari.
Bentuk ini ada pada Q.S. al-A’râf/7 : 163

َ ُ‫ِم ُش َّرًعا َويَـ ْوَم َل يَ ْسبِت‬


.... ‫ون‬ ْ ‫ إِ ْذ تَْأتِيه‬...
ْ ‫ِم ِحيتَانُـ ُه ْم يَـ ْوَم َس ْبتِه‬

Amtsâl Al-Qur`Ân | 105


…di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di se­
kitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari
yang bukan Sabtu ….

4. Tujuan Amtsâl
Al-Qur`ân adalah mu’jizat yang diberikan kepada Nabi
besar Muhammad SAW. yang sebagian isinya berbentuk amtsâl
,sebagai salah satu uslub yang ada dalam al-Qur`ân.
Allah SWT menyebutkan amtsâl merupakan pengajaran
yang tinggi atau istimewa nilainya bagi manusia dalam ma­­
salah-masalah yang penting, seperti ketauhidan dan keadaan
orang yang meyakini Keesaan-Nya, syirik dan orang yang
ber­buat syirik, serta amal perbuatan yang bersifat umum.
Kesemuanya itu mempunyai maksud menjelaskan pe­
ngertian-pengertian yang bermanfaat dan perumpamaan-per­
umpamaan yang dapat dan mudah dimengerti oleh panca
indera manusia , sehingga seakan-akan pembaca mengeta­hui
makna-makna matsal tersebut seperti melihat dengan mata
kepala sendiri secara langsung ; yang demikian ini termasuk
petunjuk dan pertolongan dari Sang Pencipta yang diberikan
kepada para hamba-Nya.
Allah SWT telah mengumpamakan wahyu dan ilmu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada beberapa
ayat ; tentang hujan dan gerimis yang turun dari langit ; dan
me­ngumpamakan hati manusia seperti tanah dan lembah.
Efektivitas wahyu dan ilmu di dalam hati manusia bagaikan
efektivitasnya gerimis dan hujan yang menyirami tanah, maka
tanah itu akan menjadi baik dan subur karena menerima air
sehingga tumbuhlah rerumputan dan tumbuh-tumbuhan yang
banyak. Hal demikian itu merupakan perumpamaan hati
ma­nusia yang baik yang mau memahami wahyu dan kalam
Allah yang dibawa oleh Rasul dan akalnya mau menerima dan
mau mengamalka ilmu dan ajaran yang dibawa oleh Rasul.
Sebaliknya tanah yang tidak dapat menahan air tidak akan

106 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


tumbuh rerumputan atau tumbuh-tumbuhan merupakan per­
umpamaan hati manusia yang tidak mau menerima wahyu
yang berarti tidak mempunyai ilmu yang bisa memelihara diri­
nya serta tidak memiliki amal (‘Abd al-Rahmân Nâshir al-
Sa’adi, t.t.: 367 – 369).
Tujuan dari amtsâl dalam al-Qur`ân antara lain adalah
untuk peringatan, nasehat, saran, teguran, penghargaan, pe­
ne­tapan, penertiban pengertian yang dapat diterima oleh
akal, penggambaran dalam bentuk yang mudah diterima oleh
inde­rawi, menjelaskan tingkatan pahala, memuji dan men­cela,
mengganjar dan menyiksa, memuliakan dan merendahkan
suatu perkara, menetapkan dan membatalkan suatu perkara
(Badr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, I, 1988:
573).
Gambaran perumpamaan dalam al-Qur`ân dengan ber­
bagai tujuan yang banyak itu dapat memudahkan manusia
untuk memahaminya dengan baik, karena disesuaikan dengan
alam nyata, sehingga manusia akan bisa dan mau mengingat
ajaran itu dengan baik, seperti Q.S. Ibrâhîm ayat 24 dan 25
berikut ini:

َّ ‫أَلَ ْم تَـر َكي َف َضر َب‬


ٌ ‫الل ُه َمثَ ًل َك ِل َم ًة َطيِّبَ ًة َك َش َج َرٍة َطيِّبَ ٍة أَ ْص ُل َها ثَاب‬
‫ِت َوَفـ ْرُع َها ِفي‬ َ ْ َ
َّ
‫َّاس لَ َعل ُه ْم‬ َْ َّ
َ َ‫ِب الل ُه ال ْمث‬
ِ ‫ال لِلن‬ ُ ‫ْن َربِّـ َها َويَ ْضر‬ِ ‫ين بِإِذ‬ َّ
ٍ ‫)تُـ ْؤتِي أُ ُك َل َها ُكل ِح‬24(‫الس َما ِء‬
َّ
)25(‫ون‬ َ ‫يَـتَ َذَّك ُر‬
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat per­
umpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akar­nya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu mem­beri­
kan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
mem­buat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.

Setelah manusia mengingat-ingat dengan baik sesuai


dengan akalnya, maka mereka agar berfikir untuk taat dan
tunduk kepada Allah dengan penuh kesadaran, seperti Q.S.

Amtsâl Al-Qur`Ân | 107


al-Hasyr/59: 21 berikut:

َّ ‫اش ًعا ُمتَ َص ِّد ًعا ِم ْن َخ ْشي ِة‬


ِ ‫ان َع َلى َجبَ ٍل لَ َرأَْيـتَ ُه َخ‬
‫الل ِه َوتِ ْل َك‬ َ ْ ‫لَ ْو أَْنـ َزلْنَا َه َذا الْق‬
َ ‫ُرَء‬
َّ ‫َّاس لَع َّل ُهم يـتـف‬ ُ َ‫ال ْمث‬َْ
)21(‫ون‬ َ ‫َك ُر‬ َ َ ْ َ ِ ‫ال نَ ْض ِربُـ َها لِلن‬
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah
disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan
itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.

Dengan berfikir untuk taat dan tunduk kepada Allah


itu, manusia akan merasa bergairah dan bergembira dalam
me­laksanakan perbuatan yang baik, karena mereka menge­ta­
hui akan mendapat balasan yang lebih banyak, seperti Q.S. al-
Baqarah/2: 261

‫ِل ِفي ُك ِّل‬ َّ ‫ِيل‬


َ ‫الل ِه َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة أَْنـبَتَ ْت َس ْب َع َسنَاب‬ ِ ‫ُون أَ ْم َوالَ ُه ْم ِفي َسب‬ َ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ‬
َ ‫ين يُـ ْن ِفق‬
)261(‫يم‬ ٌ ‫اس ٌع َع ِل‬ َّ ‫الل ُه يُ َضا ِع ُف لِ َم ْن يَ َشا ُء َو‬
ِ ‫الل ُه َو‬ َّ ‫ُس ْنبـ َل ٍة ِمائَ ُة َحبَّ ٍة َو‬
ُ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.

5. Tuntunan yang Terkandung dalam Ayat-Ayat Amtsâl


Adanya pembahasan tentang tuntunan yang terkandung
dalam ayat-ayat amtsâl, berarti telah membahas bagian dari
al-Qur`ân. Oleh Karena itu, pembahasannya tidak terlepas
dari bahasa kandungan al-Qur`ân secara umum. Paling tidak
ada dua maksud utama al-Qur`ân itu diturunkan, yakni,
mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw, dan sumber petunjuk
bagi manusia agar dapat dijadikan pedoman bagi hidup dan
kehidupannya (Mahmûd Syaltût, t.t.: 486-487).

108 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Guna terwujudnya maksud tersebut, al-Qur`ân memuat
berbagai petunjuk, keterangan, uraian, prinsip, hukum, nilai,
perumpamaan, dan konsep. Hal itu terkadang diungkapkan
dalam bentuk global atau detail, dan tersurat atau tersirat
(Jalaludin Rahmat, 1992: 8).
Tuntunan yang terkandung dalam ayat-ayat yang
berbentuk amtsâl secara khusus dapat juga diklasifikasi kepada
beberapa bagian, antara lain sebagai berikut:

a. Masalah Aqidah
Allah adalah nama wujud Maha Tinggi. Selain lafal
“Allah” terdapat lafal-lafal lain yang merupakan nama-nama
wujud Maha Tinggi Allah yaitu antara lain al-Rahmân, al-Rahîm,
al-Malik, al-Quddûs, al-Salâm, al-Mu`min, al-Muhaimin, al-‘Azîz,
al-Jabbâr, al-Mutakabbir, al-Khâliq, al-Bâri`, al-Mushawwir, dan
lain-lain, dari antara nama-nama terbaik (al-Asmâ’ al-Husnâ)
Tuhan.
Kaum musyrikin menuduh Nabi Muhammad tidak kon­
sisten dalam mengajarkan paham ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada saat itu, al-Qur`ân mulai banyak menggunakan nama
al-Rahmân, waktu itu tidak dikenal orang Arab. Pan­dangan
mereka yang keliru itu, jika dzat Yang Mutlak itu mem­punyai
nama lain, berarti ia tidak Maha Esa, melainkan berbilang
sebanyak nama yang digunakan. Maka turunlah Q.S. al-Isrâ’/
17: 110 berikut:

َْ ‫الر ْح َم َن أَيًّا َما تَ ْد ُعوا َفـ َل ُه‬


َ ‫ال ْس َما ُء الْ ُح ْسنَى َوَل تَ ْج َه ْر ب‬
‫ِص َلتِ َك‬ َّ ‫ا ْد ُعوا‬
َّ ‫الل َه أَ ِو ا ْد ُعوا‬
ً ‫َوَل تُ َخا ِف ْت بِ َها َواْبـتَ ِغ بَـ ْي َن َذلِ َك َسب‬
‫ِيل‬
“Katakan (hai Muhammad), serulah olehmu sekaliah (nama)
Allah, atau serulah olehmu sekalian (nama) al-Rahmân, nama
manapun yang kamu serukan, maka bagi Dia adalah nama-nama
yang terbaik”. Dan janganlah engkau Muhammad mengeraskan
salatmu, jangan pula kau lirihkan, dan carilah jalan tengah antara
keduanya”.

Amtsâl Al-Qur`Ân | 109


Ayat ini memberikan petunjuk kepada Nabi Muhammad
dalam menghadapi mereka, yang mengandung makna bahwa
manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan me­
namakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan
nama-nama-Nya yang paling baik (al-Asmâ’ al-Husnâ) (Sayyid
Quthub, 1967, Jilid XIV: 73).
Kata ganti nama “Dia” dalam kalimat: Maka bagi Dia
adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu, mengacu
tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahmân”, melainkan
kepada sesuatu yang dinamai, yaitu dzat (esensi) wujud Yang
Maha Mutlak itu. Suatu nama tidaklah diberikan kepada
nama lain, tetapi kepada sesuatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat
Yang Maha Esa itulah yang bernama al-Rahmân atau Allah.
Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukan nama-Nya, melainkan
dzat atau esensi-Nya. Sebab Dia mempunyai banyak nama.
Oleh karena itu, paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada
nama, melainkan kepada esensi. Dan tauhid yang benar adalah
tauhid al-dzat bukan tauhid al-ism (tauhid esensi, bukan tauhid
nama) (Nurcholis Madjid, 1994: 455-458).

b. Masalah Akhlak
Ayat-ayat dalam bentuk amtsâl memberi motifasi agar
manusia selalu berhias dengan akhlak mulia, contoh Q.S. al-
Baqarah/2: 261

‫ِل ِفي ُك ِّل‬ َّ ‫ِيل‬


َ ‫الل ِه َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة أَْنـبَتَ ْت َس ْب َع َسنَاب‬ ِ ‫ُون أَ ْم َوالَ ُه ْم ِفي َسب‬ َ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ‬
َ ‫ين يُـ ْن ِفق‬
ٌ ‫اس ٌع َع ِل‬
‫يم‬ َّ ‫الل ُه يُ َضا ِع ُف لِ َم ْن يَ َشا ُء َو‬
ِ ‫الل ُه َو‬ َّ ‫ُس ْنبـ َل ٍة ِمائَ ُة َحبَّ ٍة َو‬
ُ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.

110 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Ayat tersebut merupakan bentuk tamtsil yang memberi
motifasi agar umat manusia mau menafkahkan hartanya karena
Allah dengan gambaran bahwa orang yang menafkahkan
harta yang dimilikinya di jalan-Nya akan dilipat gandakan
pahalanya sampai tujuh ratus kali.
Sesuatu yang bersifat ma’qûl (abstrak) diamtsâlkan dalam
bentuk makhsûs (konkrit) yang dapat dilihat secara indrawi,
sehingga akal mudah menerimanya. Pengertian-pengertian
yang bersifat abstrak sulit tertanam dalam benak kecuali
dituangkan dalam bentuk indrawi yang lebih dekat pada
pemahaman. Hal ini misalnya pada firman Allah QS al-
Baqarah/2: 17 berikut:

ْ ‫َمَثـ ُل ُه ْم َك َمثَ ِل الَّ ِذي‬


َّ ‫اسَتـ ْوَق َد نَا ًرا َفـ َلمَّا أَ َضا َء ْت َما َح ْولَ ُه َذ َه َب‬
‫الل ُه بِنُوِرِه ْم َوتَـ َرَك ُه ْم‬
‫ون‬ ٍ ‫ِفي ُظ ُل َم‬
َ ‫ات َل يُـ ْب ِص ُر‬
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat.

Ayat tersebut menjelaskan perumpamaan orang-orang


yang munafik seperti menyalakan api, namun setelah api itu
menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya api
tersebut, sehingga mereka dalam keadaan gelap gulita, gelap
hatinya, tidak mampu melihat kebenaran.
Bahasa amtsâl dalam al-Qur`ân mengandung tuntunan
yang banyak antara lain: peringatan, nasihat, saran, teguran,
penghargaan, penetapan, penertiban yang dapat diterima
oleh akal, penggambaran dalam bentuk yang mudah diterima
oleh inderawi, penjelasan tentang tingkat pahala, memuji
dan mencela, mengganjar dan menyiksa, memulyakan dan
merendahkan suatu perkara, menetapkan dan membatalkan
suatu perkara (Badr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allâh al-
Zarkasyî, I, 1988: 573).

Amtsâl Al-Qur`Ân | 111


Berbagai tuntunan gambaran amtsâl dalam al-Qur`ân ini
dapat memudahkan umat manusia untuk memahami dengan
baik, karena disesuaikan dengan alam nyata, sehingga mereka
mau dan bisa mengingat ajaran-ajaran-Nya dengan baik dan
mau mentaatinya dengan penuh kesadaran.

112 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


BAB
XIII

AQSÂM ALQUR`ÂN

1. Pengertian Aqsâm al-Qur`ân


Menurut bahasa Aqsâm adalah bentuk jamak dari Qasam
terdiri dari huruf qâf, sîn, mîm yang mempunyai dua arti
dasar, pertama berarti kebagusan dan keelokan, dan kedua
berarti pembagian sesuatu (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ,
1967, V: 86). Kata tersebut bisa berarti sumpah, (al-Râghib al-
Ashfahânî, 1992: 670) dan jika dihubungkan dengan al-Qur`ân
berarti sumpah, sebab sumpah itu menunjukkan kebagusan
dan keelokan dari suatu perjanjian. Adapun menurut istilah
yang dimaksud dengan ilmu Aqsâm al-Qur`ân ialah ilmu yang
membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam
ayat-ayat al-Qur`ân.

2. Unsur-Unsur Qasam Dan Ungkapan


Unsur-unsur Qasam ada tiga yaitu :
a. Fi’il yang berbentuk muta’addi (aqsama) dengan diawali
huruf ‫( ب‬ba’), huruf ‫( ت‬ta`), dan‫( و‬wawu qasam).
Sighat Qasam yang berbentuk uqsimu tidak akan berfungsi
tanpa dita’adiyahkan dengan huruf ‫( ب‬ba’). Contohnya
adalah :

.... ‫ِم إِنَّـ ُه ْم لَ َم َع ُك ْم‬ َّ ‫ين أَ ْقس ُموا ب‬ َّ َ ‫ُول الَّ ِذ‬
ْ ‫ِالل ِه َج ْه َد أَيْ َمانِه‬ َ َ ‫ين َءا َمنُوا أَ َه ُؤَل ِء ال ِذ‬ ُ ‫َويَـق‬
)53 :5 ‫(المائدة‬

113
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-
orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah,
bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" ….

‫وت بَـ َلى َو ْع ًدا َع َل ْي ِه َح ًّقا َولَ ِك َّن‬ َّ ‫ِم َل يَـبـ َع ُث‬ َّ
ُ ‫الل ُه َم ْن يَ ُم‬ ْ ْ ‫َوأَ ْق َس ُموا بِالل ِه َج ْه َد أَيْ َمانِه‬
)38 :16 ‫ (النحل‬... ‫ون‬ ِ ‫أَ ْكَثـ َر الن‬
َ ‫َّاس َل يَـ ْع َل ُم‬
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang
sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang yang
mati”. (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan mem­bang­kit­
kannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi
ke­banyakan manusia tiada mengetahui.....

Kadangkala qasam disebutkan dengan huruf ‫( ت‬ta’ ).


Contoh dengan huruf ‫( ت‬ta’ ) adalah firman Allah QS al
Anbiya/21: 57 berikut:

َ ‫الل ِه ََل ِكي َد َّن أَ ْصنَا َم ُك ْم بَـ ْع َد أَ ْن تُـ َولُّوا ُم ْدبِر‬


)57(‫ِين‬ َّ َ‫َوت‬
Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.

Kadangkala dalam suatu ayat langsung disebutkan


dengan ‫( و‬wawu qasam) pada isim dzahir. Wawu al-Qasam
adalah huruf wawu yang berarti demi yang menunjuk­
kan sumpah.
Contoh qasam dengan wawu al-qasam adalah firman
Allah QS al Syam/91:1 berikut:

)1( ‫س َو ُض َحا َها‬ َّ ‫َو‬


ِ ‫الش ْم‬
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari

Dan firman Allah QS al Syams/91:4 berikut:

َّ ‫َو‬
)4(‫الل ْي ِل إِذَا يَـ ْغ َشىها‬
Demi malam apabila menutupi (cahaya) siang.

114 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


b. Muqsam bih
Muqsam bih ialah lafaz yang terletak sesudah adat/huruf
qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah
yang juga disebut sebagai syarat.
Dalam Al-Qur`ân Allah bersumpah dengan Zat-Nya
sendiri Yang Maha Suci atau dengan tanda-tanda ke­
kuasaan-Nya Yang Maha Besar.
Allah bersumpah dengan dzat-nya sendiri yang ter­
dapat dalam al-Qur`an pada tujuh tempat, yaitu:
- Q.S. al-Yunus/10: 53

َ ‫َويَ ْسَتـ ْنبِئُونَ َك أَ َح ٌّق ُه َو ُق ْل إِي َوَربِّي إِنَّ ُه لَ َح ٌّق َوَما أَْنـتُ ْم بِ ُم ْع ِجز‬
)53(‫ِين‬
Dan mereka menanyakan kepadamu: “Benarkah (azab yang
dijanjikan) itu?” Katakanlah: “Ya, demi Tuhan-ku, sesung­
guh­nya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa
luput (daripadanya)”.

- Q.S. al-Saba`/34: 3

ُ ‫السا َع ُة ُق ْل بَـ َلى َوَربِّي لَتَْأتَِيـن‬


‫َّك ْم َعالِ ِم الْ َغ ْي ِب َل‬ َّ ‫َروا َل تَْأتِينَا‬ُ ‫ين َكف‬َ ‫ال الَّ ِذ‬َ ‫َوَق‬
‫ض َوَل أَ ْص َغ ُر ِم ْن َذلِ َك َوَل‬ َْ ‫ات َوَل ِفي‬
ِ ‫ال ْر‬ َّ ‫َرٍة ِفي‬
ِ ‫الس َم َو‬ ُ ‫يَـ ْع ُز ُب َع ْن ُه ِمْثـق‬
َّ ‫َال ذ‬
)3(‫ِين‬ ٍ ‫اب ُمب‬ ٍ َ‫أَ ْكَبـ ُر إ َِّل ِفي ِكت‬
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu
tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang,
demi Tuhanku Yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya
kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi
daripada-Nya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang
ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan
yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)",

- Q.S. al-Thaghabun/64: 7

‫ُم لَُتـنََّبـ ُؤ َّن بِ َما َع ِم ْلتُ ْم‬


َّ ‫َروا أَ ْن لَ ْن يُـْبـ َعثُوا ُق ْل بَـ َلى َوَربِّي لَتُْبـ َعثُ َّن ث‬ َ ‫َزَع َم الَّ ِذ‬
ُ ‫ين َكف‬

Aqsâm Alqur`Ân | 115


َّ
ٌ ‫َوَذلِ َك َع َلى الل ِه يَ ِس‬
)7(‫ير‬
Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali
tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi
Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan
diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Ketiga ayat tersebut di atas memerintahkan agar Nabi


bersumpah dengan dzat-Nya.
- Q.S. al-Nisa`/4: 65

‫ُم َل يَ ِج ُدوا ِفي‬ َ ‫ون َحتَّى يُ َح ِّك ُم‬


َّ ‫وك ِفي َما َش َج َر بَـْيـَنـ ُه ْم ث‬ َ ُ‫ِّك َل يُـ ْؤِمن‬َ ‫َف َل َوَرب‬
)65(‫ِم َح َر ًجا ِممَّا َق َض ْي َت َويُ َس ِّل ُموا تَ ْس ِلي ًما‬
ْ ‫ُسه‬ِ ‫أَْنـف‬
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.

- Q.S. al-Hijr/15: 92

َ ‫ِّك لَنَ ْسأَلََّنـ ُه ْم أَ ْج َم ِع‬


)92(‫ين‬ َ ‫َفـ َوَرب‬
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.
- Q.S. al-Maryam/19: 68

َ ‫ُم لَنُ ْح ِض َرنَّـ ُه ْم َح ْو َل َج َهن‬


)68(‫َّم ِجثِيًّا‬ َّ ‫ِّك لَنَ ْح ُش َرنَّـ ُه ْم َو‬
َ ‫الشيَا ِط‬
َّ ‫ين ث‬ َ ‫َفـ َوَرب‬
Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka
bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke
se­keliling Jahannam dengan berlutut.

- Q.S. al-Ma’arij/70: 40

َ ‫ِب إِنَّا لَقَا ِد ُر‬


)40(‫ون‬ ِ ‫َف َل أُ ْق ِس ُم ب َِر ِّب الْ َم َشار‬
ِ ‫ِق َوالْ َم َغار‬

116 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat
terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesung­
guhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.

Allah bersumpah dengan makhluk-Nya banyak sekali


dalam al-Qur`ân. Misalnya:
- Q.S. al-Fajr/89: 14

)14(‫َّك لَبِالْ ِم ْر َصا ِد‬ َّ ‫إ‬


َ ‫ِن َرب‬
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.

- Q.S. al-Fajar/89: 1 – 6

َّ ‫) َو‬3(ِ‫الش ْف ِع َوالْ َوتْر‬


‫) َه ْل ِفي‬4(ِ‫الل ْي ِل إِذَا يَ ْسر‬ َّ ‫) َو‬2(ٍ‫ال َع ْشر‬ ٍ َ‫) َولَي‬1(ِ‫َجر‬ْ ‫َوالْف‬
َ ‫)أَلَ ْم تَـ َر َك ْي َف َفـ َع َل َرب‬5(ٍ‫َذلِ َك َق َس ٌم لِ ِذي ِح ْجر‬
)6(‫ُّك بِ َعا ٍد‬
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang
ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat
sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu ber­
buat terhadap kaum ‘Aad?,

c. Muqsam ‘Alaih
Muqsam ‘alaih ialah bentuk jawaban dari syarat yang telah
disebutkan sebelumnya (muqsam bih). Posisi muqsam ‘alaih
terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban aqsam.
Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk
men­taukid pada muqsam ‘alaih dan ( mentahkîqkannya).
Untuk fi‘il mâdhi yang mutasharif yang tidak didahului
ma’mûl, maka jawaban qasamnya seringkali mengguna­
kan lam ( ‫ ) ل‬atau qod ( ‫) قد‬.
Contohnya adalah: Q.S. al-Syams/91: 10

َ ‫َوَق ْد َخ‬
)10(‫اب َم ْن َد َّسا َها‬
Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya

Aqsâm Alqur`Ân | 117


Adapun ungkapan qasam bermacam-macam, yaitu:
1). Secara Dzâhir (terang)
Ungkapan sumpah (qasam) dzahir ialah qasam yang
di­sebutkan fi’il qasam dan muqsam bihnya. Contohnya
adalah
- Q.S. al-Qiyamah/78: 1

)1( ‫َل أُ ْق ِس ُم بَِيـ ْوِم الْ ِقيَا َم ِة‬


Aku bersumpah dengan hari kiamat.

- Q.S. al-Balad/90: 1

)1(‫َل أُ ْق ِس ُم بِ َه َذا الَْبـ َل ِد‬


Aku bersumpah dengan kota ini (Mekah),

2). Secara Dhamîr (samar)


Ungkapan sumpah dhamir adalah ungkapan sumpah
yang tidak menggunakan fi’il qasamnya dan tidak
pula muqsam bihnya, namun qasam hanya ditunjuk­kan
oleh adanya lam ( ‫ ) ل‬taukid yang masuk pada jawaban
qasam. Misalnya firman Allah Q.S. Ali ’Imrân/3: 186
berikut:

‫اب ِم ْن‬ َ َ‫ين أُوتُوا الْ ِكت‬َ ‫ُس ُك ْم َولَتَ ْس َم ُع َّن ِم َن الَّ ِذ‬ ِ ‫لَتُْبـ َل ُو َّن ِفي أَ ْم َوالِ ُك ْم َوأَْنـف‬
َ ‫َقـ ْب ِل ُك ْم َوِم َن الَّ ِذ‬
َّ ‫ين أَ ْش َرُكوا أَذًى َكثِ ًيرا َوإ ِْن تَ ْصب ُِروا َوتَـَّتـقُوا َفإ‬
‫ِن َذلِ َك ِم ْن َع ْزِم‬
)186(ِ‫ال ُمور‬ ُْ
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan diri­
mu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari
orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-
orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak
yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut
diutamakan.

118 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


3. Faedah Penggunaan Qasam Dalam Al-Qur`ân
Qasam (sumpah) di dalam Al-Qur`ân berfaedah untuk :
a. Tawhîd, yaitu ajaran bahwa Allah benar-benar Esa, se­
hingga Qasam itu berfaedah untuk meyakinkan sesuatu
yang masih diragukan oleh hamba-Nya.
b. Tahqîq, yaitu mempertegas, dan memperkuat untuk mem­
buktikan kesesuaian sehingga orang tidak dapat me­nolak­
nya dan akan mempercayainya (mengingkarinya).
c. Untuk kesempurnaan, dan kekuatan hujjah ; sebab segala
sesuatu itu dapat dipastikan keberadaannya dengan dua
cara, yaitu dengan persaksian dan dengan sumpah.

Aqsâm Alqur`Ân | 119


BAB
XIV

METODE PENAFSIRAN AL-QUR`ÂN

1. Pengertian Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara penyelidikan, yaitu cara melaksanakan sesuatu atau cara
mencapai pengetahuan (Hassan Shadily, Jilid IV, 1989: 2230).
Setiap ilmu pengetahuan mempunyai obyek telaahnya
sendiri, maka masing-masing cabang ilmu pengetahuan mem­
punyai metode sendiri.
Yang dimaksud dengan metode penafsiran al-Qur`ân
adalah cara-cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân yang dilak­
s­anakan dengan cara tertetntu.

2. Pembagian Metode Tafsir


Al-Farmawî berpendapat bahwa metode Tafsîr ada empat
yaitu:
a. Metode al-Tahlîlî ‫التّحليلى‬
b. Metode Ijmâlî ‫اإلمجاىل‬
c. Methode al-Muqâran ‫املقارن‬
d. Metode al-Mawdhu’î ‫( املوضوعى‬Abd al-Hayyi al-Farmawî,
1988: 23).

Penjelasan dari masing-masing metode tersebut sebagai


berikut:

120
a. Methode Al-Tahlîlî (‫)التّحليلى‬
Al-Tahlîlî (‫ )التّحليلى‬bentuk mashdar dari hallala )‫) لّل‬berakar
kata dari halla )‫حل‬ ّ ) berarti membuka sesuatu (Ahmad bin
Faris bin Zakariyâ, II, 1967: 20). Hallala berarti menjelaskan
bagian-bagian serta fungsinya masing-masing.
Metode al-Tahlîlî menurut istilah adalah metode Tafsîr
yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur`ân dari seluruh aspek-
aspek­ nya dan mengungkapkan maksud-maksudnya secara
ter­perinci sesuai dengan urutan ayat dan surat al Qur’an
mushhaf ’Utsmani.
Al-Tafsîr al-Tahlîlî adalah suatu metode tafsîr yang ber­
maksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari
se­luruh aspeknya. Di dalam tafsîr tahlili, mufassir meng­
ikuti urutan ayat dan surat sebagaimana yang telah disusun
di dalam mushhaf ’Utsmani. Mufassir memulai uraian­ nya
dengan mengemukakan arti kosa kata yang diikuti dengan
pen­je­lasan mengenai arti global ayat. Mufassir juga menge­
mukakan munâsabah (korelasi) ayat-ayat, dan menjelaskan hu­
bungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, membahas
sabab-al nuzûl (latar belakang turunnya ayat) jika ada, dan me­
nyampaikan dalil-dalil dari hadits, atau dari sahabat, dan atau
dari para tâbi’în.
Dalam tafsirnya, mufassir biasanya tidak akan lepas dari
latar belakang pendidikannya; dan membahas kebahasaan
dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami
nash al-Qur`ân tersebut.
Ditinjau dari segi kecenderungan para mufassir, metode
tahlîlî ini dapat dibedakan kepada :
1). Al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr (‫)التّفسري باملأثور‬
2). Al-Tafsîr bi al-Ra’yi (‫)التّفسري بالرأي‬
3). Al-Tafsîr al-Shufî (‫)التّفسري بالصوىف‬
4). Al-Tafsîr al-Fiqhî (‫)التّفسري الفقهى‬
5). Al-Tafsîr al-Falsafî (‫)التّفسري الفلسفى‬

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 121


6). Al-Tafsîr al-’Ilmî (‫)التّفسري العلمى‬
7). Al-Tafsîr al-Adabî al-Ijtima’i (‫)التّفسري األدىب االجتماعى‬

Penjelasan dari masing-masing metode ini sebagai berikut:

a). Al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr


Al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah menafsirkan ayat dengan
ayat, ayat dengan hadits Nabi SAW, menjelaskan makna se­
bagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat;
atau menafsirkan ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau
menafsirkan ayat dengan hasil ijtihad para tâbi’în. Semakin
jauh rentang zaman dari masa Nabi SAW dan para sahabat,
maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat al-Qur`ân
semakin bervariasi dan berkembang (Muhammad Husain al-
Dzahabi, I, 1961: 152).
Al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr ini perkembangannya ada dua pe­
riode yaitu:
Pertama, periode lisan. Periode ini lazim disebut periode
periwayatan (‫) املرحلة الروائية‬ atau pengajaran secara langsung
(‫)الشفهية املرحلة‬. Periode ini adalah pada masa Rasulullah, dan
masa para sahabat, yakni abad pertama dan kedua hijriyah.
Para sahabat menukil atau menafsirkan dari Rasulullah SAW,
atau oleh sahabat dari sahabat, atau oleh tâbi’în dari saha­
bat, dengan cara penukilan yang dapat dipercaya, teliti, dan
dengan memperhatikan jalur periwayatan.
Kedua: Periode Penulisan atau pembukuan )‫(مرحلة التدوين‬.
Pada periode ini, al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr dibukukan segala yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW., dan para sahabat., baik
dari permulaan tahun 100 atau 200 hijriyyah (‘Ali Hasan al-
‘Âridh, 1992: 47). Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat di
dalam kitab-kitab hadits. Setelah tafsîr resmi menjadi disiplin
ilmu yang otonomi, maka ditulislah, dan terbitlah karya-
karya tafsir yang secara khusus memuat al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr
lengkap dengan jalur sanad sampai kepada Nabi SAW, kepada

122 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


para sahabat, kepada tâbi’în,dan tâbi’i al-tâbi’în (‘Abd al-Hayy
al-Farmawî, 1988: 26).
Misalnya kitab tafsîr karya Ibn Jarir ath Thobari me­nge­
mukakan berbagai pendapat dan menganalisisnya, kemudian
ia melakukan tarjîh terhadap salah satu pendapat yang dinilai
paling absah. Ibnu Jarir dalam tafsirnya juga mengemuka­kan
penjelasan i’rab kalimat. Kemudian pada bagian akhir ia baru
mengambil kesimpulan hukum yang mungkin bisa ditarik dari
ayat-ayat al-Qur`ân yang ditafsirkannya (Muhammad Husain
al-Dzahabi, I, 1961: 142).
Perkembangan selanjutnya muncullah mufassir-mufassir
yang membukukan al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr tanpa mengemuka­
kan sanad periwayatannya, dan kebanyakan dari mereka itu
mengemukakan pendapat-pendapat tertentu dalam kitab tafsir
mereka. Tafsîr mereka juga tanpa membedakan antara yang
shahih dan yang tidak sahih. Hal inilah yang menjadi penye­
bab para pembaca dan peneliti tidak tertarik kepada isi kitab
tafsîr mereka, karena khawatir dan ada kecurigaan akan ke­
mungkinan adanya unsur pemalsuan. Kasus semacam ini
ada di berbagai karya tafsîr (Muhammad Husain al-Dzahabi,
I, 1961: 154). Maka terhadap hal ini perlu adanya studi kritis
yang dilakukan untuk menemukan dan menyingkap riwayat-
riwayat palsu dari tafsir mereka.
Adapun contoh kitab al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr ini, antara lain:
a). ‫ جامع البيان ىف التّفسري القرآن العظيم‬oleh Ibn Jarîr al-Thabarî
b). ‫معامل التنزيل‬oleh al-Baghawî
c). ‫تفسري القرآن العظيم‬Ibn Katsîr
d). ‫ الدر املنثور ىف التفسري باملأثور‬Karya al-Suyuthî
e). ‫البحر‬oleh Abu Laits al-Samarqandî

b). Al-Tafsîr bi al-Ra’yi


Al-Ra’yu berarti melihat atau berpendapat atau terkenal
dengan istilah ijtihad. Sedangkan Al-Tafsîr bi al-Ra’yi menurut
istilah adalah menafsirkan ayat al-Qur`ân dengan jalan ijtihad.

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 123


Menyusun tafsir dengan ijtihadi ini harus betul-betul me­
ngetahui perihal bahasa Arab, mengenai sebab turunnya ayat,
nâsikh-mansûkh, munâsabah, dan hal-hal lain yang diperlukan
oleh lazimnya seorang mufassir.
Latar belakang lahirnya corak tafsîr ini adalah karena
para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan ilmu
keIslaman telah berkembang pesat, sehingga muncullah ber­
bagai karya dari berbagai disiplin ilmu. Saat inilah karya tafsîr
juga ikut bermunculan dan diwarnai oleh latar belakang pen­
didikan masing-masing penyusunnya. Dan masing-masing
mufassir mempunyai kecenderungan dan arah pembahas­
an tersendiri, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya
misalnya:
a). Aspek balaghah terdapat pada tafsir karya Imam al-
Zamakhsyarî
b). Aspek hukum syariah terdapat pada tafsir karya Imam
al-Qurthubî
c). Aspek keindahan bahasa terdapat pada tafsir karya Abû
al-Su’ûd
d). Aspek qirâat terdapat pada tafsir karya Imam al-Naizâburî
dan al-Nasafî
e). Aspek aliran-aliran Kalam dan Filsafat terdapat pada karya
Imam al-Râzî.

Fenomena yang demikian itu terjadi karena seorang ulama


di samping sebagai mufassir sekaligus juga sebagai ahli bahasa,
ahli filsafat (filosof), ahli fikih, ahli falak, mutakallim, dan lain
sebagainya.
Kecenderungan dalam tafsir seperti ini sering muncul di
dalam karya tafsir mereka, sehingga apabila kandungan suatu
ayat mempunyai hubungan dengan bidang ilmu yang men­jadi
keahliannya, ia akan menuangkan ide-ide ilmunya tersebut
ke dalam karya tafsirnya, dan bisa jadi ia akan asyik dengan
ilmunya, sampai-sampai mengesampingkan ilmu tafsirnya.

124 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Tafsîr bi al-Ra’yi ini dapat diterima sepanjang mufassir­nya
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan terdahulu,
dan selama mufassirnya menjauhi lima hal sebagai berikut:
a). Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak
Allah di dalam kalam-Nya, tanpa memiliki persyaratan
se­bagai mufassir.
b). Memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya
wewenang Allah yang mengetahuinya.
c). Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
d). Menghindari tafsîr yang ditulisnya itu untuk kepenting­an
mazhab semata, di mana ajaran mazhab dijadikan dasar
utama sementara kajian tafsîrnya itu sendiri di­nomor­
duakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan.
e). Menghindari menafsirkan pasti (qath’i), di mana seorang
mufassir, tanpa alasan, mengklaim bahwa itulah satu-satu­
nya maksud Allah (Muhammad Husain al-Dzahabi, 1961:
275).

Apabila seorang mufassir tidak menghindari kelima hal


tersebut, maka ia dipandang sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya
tercela dan harus ditolak.
Kitab-kitab Tafsîr bi al-Ra’yi antara lain:
a). ‫ مفاتح الغيب‬karya al-Fakhr al-Râzî
b). ‫ أنوار التنزيل و أسرار التأويل‬karya al-Baidhawî
c). ‫ مدارك التنزيل وحقائق التأويل‬karya al-Nasafî
d). ‫ التنزيل ىف معاىن لباب التأويل‬karya al-Khazin
e). ‫ روح املعاىن ىف تفسري القرآن والسبع املثاىن‬karya al-Alûsî.
c). al-Tafsîr al-Shûfi
Ketika ilmu-ilmu agama, kebudayaan Islam, dan ilmu
pengetahuan lain berkembang, maka ilmu tashawufpun ber­
kem­bang, sehingga berkembanglah al-Tafsîr al-Shufi. Karya al-
Tafsir al-Shufi ini ada dua, yaitu: teoritis dan praktis.

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 125


1). Tashawuf Teoritis ( ‫)النظرى) التصوف‬
Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan meng­
kaji al-Qur`ân berdasar teori-teori mazhab dan sesuai
dengan ajaran-ajaran madzab mereka. Mereka berupaya
maksimal untuk menemukan di dalam al-Qur`ân ter­
se­
but, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran
mereka, namun mereka terlalu berlebih-lebihan di dalam
memahami ayat-ayat dan dalam menafsirkannya sering
keluar dari arti zhahir yang dimaksud oleh syara’.
Kitab tafsir yang berupa penafsiran ayat-ayat al-Qur`ân
secara tashawuf teoritis antara lain kitab al-Futuhât al-
Makkiyyah )‫(الفتوحات املكيّة‬dan kitab al-Fushush )‫((الفصوص‬Abd
al-Hayy al-Farmawî, 1988: 30).
2). Tashawuf Praktis ) ‫العملى التصوف‬
Tashawuf Praktis adalah tashawuf yang mempraktikkan
gaya hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur malam
hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenik­
matan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat, dan
meleburkan diri kedalam ketaatan kepada Allah Ta’ala
(‘Ali Hasan al-‘Âridh, 1992: 67).

Tafsîr dari para tokoh aliran ini dinamakan dengan al


Tafsîr al-Isyârî, yaitu menta’wil ayat-ayat berbeda dengan arti
zhahirnya, berdasar isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya
tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dikom­
promikan dengan arti zhahir yang dimaksudkan (Muhammad
Husain al-Dzahabî, I, 1961: 18).
Corak tafsîr semacam ini sudah dikenal sejak turunnya
al-Qur`ân di masa Rasulullah SAW. Hal ini telah diisyaratkan
oleh firman Allah Q.S. al-Nisâ`/4: 78

ٍ ‫أَْيـنَ َما تَ ُكونُوا يُ ْدرُِك ُك ُم الْ َم ْو ُت َولَ ْو ُك ْنتُ ْم ِفي بُـ ُر‬
‫وج ُم َشيَّ َد ٍة َوإ ِْن تُ ِصْبـ ُه ْم َح َسنَ ٌة يَـقُولُوا‬
َّ ‫الل ِه َوإ ِْن تُ ِصبـ ُه ْم َسيِّئَ ٌة يَـقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِد َك ُق ْل ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬
‫الل ِه‬ َّ ‫َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِد‬
ْ
)78(‫ون َح ِديثًا‬ َ ‫ون يَـ ْف َق ُه‬َ ‫ال َه ُؤَل ِء الْ َق ْوِم َل يَ َكا ُد‬ِ ‫َف َم‬

126 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan
jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah
dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”.
Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?

Hal-hal tentang tashawuf tersebut telah diberitahukan


oleh Rasulullah, dan para sahabat telah mengenal dan
memperbincangkannya. Tashawuf Praktis ini sudah ada sejak
zaman Rasulullah sebagaimana halnya dengan Tafsîr bi al-
Ma’tsûr.
Penafsiran Tashawuf Praktis ini dapat diterima dengan
beberapa syarat sebagai berikut :
a). Tidak menafikan arti zhahir ayat
b). Didukung oleh dalil syara’ tertentu.
c). Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal
d). Mufassirnya tidak boleh mengklaim bahwa itulah satu-
satunya tafsîr yang dimaksud dan menafikan sepenuh­
nya arti zhahir, akan tetapi ia harus mengakui arti zhahir
tersebut lebih dahulu (Muhammad Husain al-Dzahabi,
III, 1961: 43).

Di antara kitab tafsîr tashawuf praktis ini adalah:


a). ‫تفسري القرآن العظيم‬karya al-Tusturi
b). ‫ حقاق التفسري‬karya al-Salamî
c). ‫ عرائس البيان ىف حقائق القرآن‬karya al-Syairâzî.

d. Al-Tafsîr al-Fiqhî
Al-Tafsîr al-Fiqhî lahir bersamaan lahirnya al-Tafsîr bi al-
Ma’tsûr, dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW, tanpa pem­
bedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan
kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung oleh al-
Qur`ân langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau langsung

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 127


menjawab. Jawaban Rasulullah ini, di satu pihak, adalah al-
Tafsîr bi al-Ma’tsûr, dan di lain pihak sekaligus sebagai al-Tafsîr
al-Fiqhî.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat langsung mencari
keputusan hukum dari al-Qur`ân dan berusaha mencari ke­
simpulan hukum syariah berdasarkan hasil ijtihad. Hasil
ijtihad mereka ini disebut al-Tafsîr al-Fiqhî. Demikian pula hal­
nya terjadi di masa dan di kalangan para tâbi’în. Jadi al-Tafsîr
al-Fiqhî adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân bidang hukum
syari’ah dengan dasar ijtihadi.
Al-Tafsîr al-Fiqhî ini terus tumbuh dan berkembang pesat
bersamaan dengan berkembangnya ijtihad. Hasilnya terus
berkembang dan bertambah serta disebarluaskan dengan baik,
jauh dari tendensi hawa nafsu dan berbagai kepentingan.
Sua­sana semacam ini berlangsung sejak turunnya al-Qur`ân
sampai dengan masa munculnya berbagai mazhab fiqih.
Pada masa lahirnya mazhab fiqih, muncullah masalah-
masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya dari
ulama terdahulu karena hal tersebut belum pernah terjadi di
zaman mereka, maka para imam di zaman ini terpaksa harus
memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut dengan me­
rujuk langsung pada al-Qur`ân, dan al-Sunnah, serta sumber
hukum lainnya, kemudian mereka mencari ke­ sim­pulan
hukum yang dirasa kuat menurut nalar mereka dan meya­kini­
nya sebagai hukum yang benar dan didukung dengan dalil-
dalil dan bukti-bukti yang kuat.
Masing-masing mazhab dalam masa ini berusaha
menafsirkan dan menta’wilkan ayat-ayat al-Qur`ân, sehingga
dapat dijadikan dasar penguat mazhabnya. Hal ini membuat
sebagian dari mereka kadang terlalu berlebihan di dalam men­
ta’wilkan ayat-ayat, sehingga keluar dari makna dan maksud
yang dikandung oleh lafazh-lafazh al-Qur`ân itu sendiri.
Al-Tafsîr al-Fiqhî ini ada di berbagai kitab fikih yang
di­susun oleh tokoh -tokoh mazhab; terutama setelah masa

128 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


penulisan al-Qur`ân, sesuai dengan pandangan mazhab
masing-masing.
Kitab-kitab Tafsîr al Fiqhî ini antara lain:
1). ‫ أحكام القرآن‬karya al-Jashshash
2). ‫ أحكام القرآن‬karya Ibn al-Arabi
3). ‫ القرآن اجلامع ألحكام‬karya al-Qurthubî

e. al-Tafsîr al-Falsafi
Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan
budaya ini, gerakan penerjemah tumbuh dan giat dilaksanakan
di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendahara­
an ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, ter­
masuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.
Tokoh-tokoh Islam yang membaca buku-buku filsafat ini
terbagi kepada dua golongan,yaitu:
Pertama, golongan yang menolak filsafat, karena mereka
berpendapat bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama.
Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berupaya
menjauhkan umat dari padanya (Muhammad Husain al-
Dzahabî, III, 1961: 83). Diantara tokoh yang bersikap keras
adalah al-Imam al-Ghazali dengan karyanya ‫حجة اإلسالم‬
ّ (Hujjah
al-Islâm) dan al-Fakhr al-Râzî dengan karyanya ‫مفاتيح الغيب‬
(Mafâtih al-Ghaib). Al-Fakhr al-Râzî dalam tafsîrnya men­
jelaskan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan
agama, khususnya dengan al-Qur`ân, dan akhirnya beliau
dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang
beliau anggap memadai.
Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima filsafat,
meski di dalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan
nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromi­kan
atau mencari titik temu antara filsafat dan agama. Namun
usaha mereka ini belum berhasil mencapai titik temu, melain­
kan masih berupa usaha pemecahan masalah secara setengah-
setengah (Muhammad Husain al-Dzahabi, III, 1961: 84). Hal

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 129


ini disebabkan karena penjelasan mereka tentang ayat-ayat
al-Qur`ân semata-mata masih dari sudut pandang teori-teori
filsafat, yang di dalamnya banyak hal yang tidak mungkin di­
terapkan dan atau dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur`ân .
Karya tafsir dari para filosof ini belum ada yang menulis
secara lengkap, tetapi hanya sebagian pemahaman terhadap
al-Qur`ân secara parsial yang dimuat di dalam kitab filsafat
yang mereka tulis (Muhammad Husain al-Dzahabi, III, 1961:
84).

f. Al-Tafsîr al-’Ilmi
Al-Qur`ân menyuruh umat manusia memperhatikan alam.
Allah SWT di samping menyuruh hamba-Nya memperhatikan
wahyu-Nya yang tertulis, sekaligus menganjurkan hamba-Nya
agar memperhatikan wahyu-Nya yang tampak, yaitu alam.
Karena inilah, banyak ayat al-Qur`ân yang diakhiri dengan ka­
limat yang menyuruh manusia berfikir, dan memahami sains,
seperti pada Q.S. al-An’âm/6: 65 berikut:

َ ‫ات لَ َع َّل ُه ْم يَـ ْف َق ُه‬


.‫ون‬ ِ َ‫… انْ ُظ ْر َك ْي َف نُ َص ِّر ُف ْالي‬
Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran
Kami silih berganti agar mereka memahami (nya).

dan juga pada firman Q.S. al-A’râf/7: 176 berikut:

َّ ‫ص الْقَصص لَع َّل ُهم �ي�تف‬


… ‫ون‬
َ ‫َك ُر‬ َ َ ْ َ َ َ ِ ‫َفا ْق ُص‬
...Maka ceritakanlah( kepada mereka )kisah-kisah itu agar me­
reka berfikir.

Ayat-ayat tersebut mengajak kepada umat manusia agar


memahami, meneliti dan berfikir tentang kawniyah, terutama
para ahli balaghah yang mempunyai sarana dan kompetensi
untuk itu, dibanding para tokoh bidang ilmu lainnya. Kiranya,
tak seorangpun yang mampu mengetahui dan merasakan
keindahan bahasa kecuali para ahli balaghah, dan tidak se­

130 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


orangpun yang dapat membedakan permata yang berharga
dari lainnya kecuali orang yang sangat berpengalaman.
Kitab-kitab al-Tafsîr al-’Ilmi ini antara lain adalah: ‫مفاتيح‬
‫ الغيب‬hasil karya al-Imam al-Fakhr al-Râzi, ‫ إحياء علوم الدين‬karya
al-Imam al-Ghazali, dan ‫ جواهر القرآن‬yang merupakan hasil karya
al-Imam al-Suyûthi
Menurut hemat penulis, tafsir ‘Ilmi ini dapat masuk
dalam kajian tafsir tematik atau tafsir mawdhu’i yang dibahas
dalam bagian metode tafsir dalam buku ini. Sebab tafsir ini
mem­bahas topik tertentu atau masalah-masalah tertentu yang
dapat menjawab hal-hal yang diperlukan dan sesuai dengan
per­kembangan zaman. Tafsir ‘Ilmi dapat dilaksanakan, bahkan
perlu dikembangkan sepanjang tidak bertentangan dengan
dalil ‘aqli dan dan dalil naqli.

g. Al-Tafsîr al-Adabî al-Ijtima’î


Kata al-Adabî dari kata ‫( أدب‬aduba) berarti melatih diri untuk
bertingkah laku yang baik. Lalu kata adab yang merupakan
bentuk ism mashdar diartikan sebagai kaedah-kaedah, norma-
norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang, khusus­
nya seniman dalam bertingkah laku pada kehidupannya, dan
dalam mengungkapkan karya seni atau sastra budaya yang
di­upayakannya (Ibrâhîm Anîs et.all, I , t.t.: 9).
Kata al-Ijtimâ’î adalah bentuk ism mashdar dari kata ijtama’a.
Kata ijtama’a bentuk tsulatsi mujarrad-nya jama’a berarti meng­
himpun sesuatu (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, I, 1967: 479),
atau menyatukan sesuatu. Kata isim mashdar ijtama’a adalah
ijtimâ’ berarti banyak bergaul (Ibrahim Anis et all, I, t.t.., 135)
maka dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan ke­masya­
rakatan. Al-Tafsîr al-Adabî al-Ijtima’î berarti tafsir yang bercorak
sastra budaya dan sosial kemasyarakatan.
Al-Tafsîr al-Adabî al-Ijtima’î menurut istilah adalah tafsir
yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur'an dari
segi ketelitian redaksi al-Qur'ân, menyusun kandungan ayat

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 131


tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan
tujuan utama turunnya al-Qur'ân, yaitu pembawa petunjuk
bagi kehidupan manusia, lalu dihubungkan dengan hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat, dan pembangunan
dunia (M. Quraish Shihab, 1984: 1).
Metode tafsîr ini, jika dicermati ada empat unsur pokok
yang menjadi cirinya, yaitu:
1). Ungkapan-ungkapan redaksi ayat-ayat al-Qur`ân secara
teliti
2). Uraian makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur`ân ter­
sebut disampaikan dengan gaya bahasa (balâghah) yang
indah dan menarik.
3). Menitik beratkan pada tujuan utama turunnya al-Qur`ân
4). Menghubungkan nash-nash al-Qur`ân yang tengah dikaji
dan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.

Kitab Tafsîr al-Adabî al-Ijtima’î itu antara lain:


1). ‫ تفسري املنار‬karya Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2). ‫ تفسرياملراغى‬karya al-Maraghy )w 1945 M).
3). ‫تفسري القرآن الكرمي‬, karya al-Syeikh Mahmud Syaltut

Keunggulan dan kekurangan Tafsir Tahlîlî


Sebagaimana metode-metode yang ada lainnya, metode
tahlîlî tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari tafsir metode tahlili di antaranya1:
1. Mempunyai ruang lingkup yang luas
Sebagaimana telah disebutkan di muka, tafsir metode
tahlîlî memungkinkan mufasir membawanya ke dalam dua
bentuk: ma’tsur dan ra’y. Bentuk ra’y sendiri masih dapat
dikembangkan menjadi berbagai corak penafsiran sesuai
dengan keahlian dan kecederungan (kejiwaan) mufasir­
nya. Dengan keluasan ruang lingkupnya, tahlîlî dapat

1
M. Quraish Shihab, 1984: 1.

132 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya pe­
nafsiran Alquran.
2. Memuat berbagai ide dan gagasan
Karena keluasan ruang lingkupnya, mufasir pun relatif
mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan
gagasan-gagasan baru. Sehingga dapat dipastikan, pesat­
nya perkembangan tafsir metode tahlili disebabkan oleh
kebebasan tersebut. Selain mempunyai kelebihan, me­
tode tahlili tidak luput dari kekurangan.

Adapun kekurangan dari metode tahlili di antaranya:


1. Menyebabkan petunjuk Alquran (tampak) parsial
Metode tahlîlî memungkin mufasir memberi penafsiran
yang berbeda pada satu ayat dengan ayat lain yang se­rupa.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian ter­ hadap
ayat-ayat atau lafadz-lafadz yang serupa. Bisa di­ sebut,
dalam metode tahlili, terdapat unsur ketidak kon­sis­ten­an
mufasir. Meski demikian, ketidaksonsistenan ini meru­
pa­kan konsekuensi logis dari penafsiran metode tahlîlî,
karena dalam metode ini, mufasir tidak dibebani ke­ha­
rusan untuk mengomparasikan ayat dengan ayat.
2. Melahirkan penafsiran subjektif
Keluasan ruang lingkup metode tahlîlî, selain merupa­
kan kelebihan, juga merupakan akar dari keterpelesetan
mufasir pada penafsiran Alquran secara subjektif. Entah
disadari atau tidak oleh mufasir, terbukanya pintu pe­
nafsiran yang lebar pada metode ini terkadang membuat
mufasir menafsirkan Alquran berdasarkan hawa nafsu
dengan mengesampingkan kaidah-kaidah yang berla­ku.
Akibatnya, penafsiran menjadi kurang tepat, sehingga
maksud ayat pun menjadi berubah.
Sikap subjektif pada penafsiran metode tahlili men­
capai dominasinya terutama pada bentuk tafsir ra’yi. Se­
hingga penafsiran bukan lagi sekadar berubah dan kurang

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 133


tepat, bahkan jauh menyimpang dari maksud ayat. Umum­
nya, sikap subjektif tersebut berangkat dari fa­ natis­me
terhadap mazhab secara berlebihan.
Kuatnya dominasi penafsiran subjektif, tidak lain juga
merupakan konsekuensi logis dari metode tahlîlî, karena
dalam metode ini, sikap subjektif mendapat tempat lebih
luas dibanding pada metode penafsiran yang lain. Kon­disi
demikian akhirnya membuat metode ini dirasa kurang
representatif dari sudut pandang objektivitas dan signifikansi
keilmuan.
3. Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat.
Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam lingkungan Islam,
memiliki andil besar tersebar luasnya Israiliyyat. beserta
pengaruhnya di kalangan umat Islam, tidak terkecuali di
kalangan mufassir. Kaitannya dengan tafsir metode tahlîlî,
keluasan ruang lingkup metode tahlili berimbas pada ke­
leluasaan mufasir dalam mengajukan ide, gagasan, dan
pemikiran. Termasuk juga pemikiran Israiliyyat.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan Israiliyyat sepan­


jang keberadaannya tidak dikaitkan dengan upaya pe­ ma­
haman Alquran (penafsiran). Tapi bila terjalin hubungan antara
Israiliyyat dengan penafsiran Alquran, terbentuklah opini
tung­gal: kisah Israiliiyat tersebut merupakan petunjuk Allah.
Padahal, belum tentu ada kecocokan antara kisah Israiliyyat
tersebut dengan maksud Allah.
Perlu diketahui bahwa Secara etimologi, Israiliyyat ber­
asal dari kata Israil yang merupakan kata nisbah kepada bani
Israil. Israil berasal dari bahasa Ibrani yang berarti hamba
Allah. Secara terminologi, Israiliyyat merupakan budaya Ya­
hudi yang bersumber dari Taurat, Zabur, Asfar Musawiyah, dan
Talmud, termasuk seluruh keterangannya yang berisi dongeng
dan khurafat yang dikembangkan oleh Yahudi dari masa ke
masa.

134 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa Israilliyat
adalah kisah-kisah terdahulu yang masuk ke dalam Tafsir me­
lalui Ahli Kitab yang telah masuk Islam karena adanya ke­
sesuaian antara kisah-kisah yang ada di dalam Kitab-kitab
Samawi dengan Kitab Suci Al-Qur’an. Israiliyat adalah kabar-
kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang
Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang
Nashara. Contoh kisah-kisah Israiliyat:

a. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut


adaah haq.
Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya me­
riwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia me­
nga­ takan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai
Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab
suci kami, pent.) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan
se­
mua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari,
pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas
satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah
berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, ter­­tawa­
lah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-
gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena mem­
benarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa
Jalla:

ٌ ‫ات َم ْط ِوي‬
‫َّات‬ َّ ‫ض َج ِمْيـ ًعا َقـ ْب َضتُ ُه يَـ ْوَم الْ ِقيَا َم ِة َو‬
ُ ‫الس َما َو‬ ُ ‫َوَما َق َد ُروا اهللَ َح َّق َق ْد ِرِه َوا َأل ْر‬
َ ‫بِيَ ِم ْينِ ِه ۚ ُس ْب َحانَ ُه َوتَـ َعالَى َعمَّا يُ ْشرُِك‬
‫ون‬
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan
yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.
Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 135


b. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan
bahwa kisah tersebut adalah dista, maka ini adalah
bathil.
Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir
radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi
apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya
nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

ُ ‫نِ َساؤُُك ْم َح ْر ٌث لَّ ُك ْم َف ْأتُوا َح ْرث‬


‫َك ْم أَنَّى ِش ْئتُ ْم‬
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu
menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

b. Metode Ijmâlî ) )‫اإلجمالى‬


Kata Ijmâlî dari ajmala. Kata ajmla bentuk mujarrad tsulatsi­
nya jamula mempunyai dua arti, pertama kumpulan dan ke­
agungan akhlak, ke dua berarti baik (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, I, 1967: 481). Tafsir Ijmâlî ( ‫ )اإلمجاىل‬dalam metode tafsir
berarti tafsir global. Tafsîr Ijmâlî menurut istilah yaitu me­
nafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân ayat demi ayat dan surat demi
surat, sesuai dengan urutannya dalam mushhaf ‘Utsmani,
dengan ringkas, singkat dan global, mudah dimengerti, tanpa
uraian panjang lebar.
Dengan metode ini, mufassir berbicara kepada pembaca
dengan cara yang termudah dalam menjelaskan arti ayat,
sehingga mudah bagi mereka untuk mengetahui kandungan
al-Qur`ân , misalnya nûr diartikan petunjuk, sehingga pembaca
merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-
Qur`ân dan cara penyajiannya mudah dan indah. Jika ada sebab
turun ayat disebutkan, sehingga dapat menjelaskan arti ayat
yang sesuai dengan peristiwa, dan mengemukakan hadits
Rasulullah SAW atau pendapat ulama salaf yang shalih.
Kitab-kitab Tafsîr Ijmâlî antara lain:

136 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


1). ‫ تفسري اجلاللني‬hasil karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dan Jalâl al-
Dîn al-Mahallî
2). ‫ التفسري الوسيط‬karya Committee Ulama Lembaga Pengkajian
Universitas al-Azhar Mesir
3). ‫ التفسريامليسر‬karya Syaikh Abd al-Jalîl ‘Isa
4). ‫ التفسري املختصر‬karya Committee Ulama Majlis Tinggi Urusan
Umat Islam, Mesir.

c. Metode al-Muqâran ‫المقارن‬


Al-Muqâran ( ‫ ) املقارن‬berasal dari kata ‫ يقارن – قارن‬, dari segi
bahasa berarti membandingkan diantara dua sesuatu.
Metode Al-Muqâran, menurut istilah adalah suatu metode
tafsir al-Qur`ân dengan cara membandingkan ayat dengan
ayat yang lain, yaitu ayat yang mempunyai kemiripan redaksi
dalam dua masalah atau lebih, atau kasus yang berbeda dan
yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama
atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat dengan
hadits–hadits yang tampak bertentangan, serta mem­ban­ding­
kan pendapat-pendapat antar mufassir menyangkut pe­nafsiran
al-Qur`ân (Al-Farmawî, 1988: 46).
Unsur-unsur yang diperbandingkan menurut penjelas­an
di atas dapat dikelompokkan menjadi:
1). Ayat dengan ayat. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu:
a). Ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang
sama, tetapi redaksinya berbeda.
Misalnya Q.S. Ali ’Imr ân/3: 126 dan Q.S. al-Anfâl/8:
10 sebagai berikut:

َّ ‫َّصر إ َِّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ َّ


‫الل ِه‬ ُ ْ ‫َوَما َج َع َل ُه الل ُه إ َِّل بُ ْش َرى لَ ُك ْم َولِتَ ْط َمئِ َّن ُقـ ُلوبُ ُك ْم بِ ِه َوَما الن‬
)126 :‫الْ َعزِي ِز الْ َح ِكي ِم ( ال عمرن‬
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu
melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu,

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 137


dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu
hanya­lah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

َّ ‫َّصر إ َِّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ َّ


َّ ‫الل ِه إ‬
‫ِن‬ ُ ْ ‫َوَما َج َع َل ُه الل ُه إ َِّل بُ ْش َرى َولِتَ ْط َمئِ َّن بِ ِه ُقـ ُلوبُ ُك ْم َوَما الن‬
)10 :8 ‫يم( األنفال‬ ٌ ‫الل َه َعزِي ٌز َح ِك‬ َّ
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
ten­teram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijak­
sana.

Dua ayat tersebut dalam kasus yang berbeda, walau­


pun sama-sama tentang pemberian pertolongan dari
Allah kepada kaum muslimin. Firman Allah Q.S. Ali
’Imrân/3: 126 berhubungan dengan perang Uhud
se­dangkan Q.S. al-Anfâl/8: 10 berhubungan dengan
perang Badar.
b). Perbandingan unsur ayat dengan ayat lainnya yang
membahas kasus yang sama, tetapi redaksinya yang
berbeda. Misalnya antara Q.S. al-An’âm/6: 151 dan
Q.S. al-Isrâ`/17: 31

:6 ‫ (األنعام‬.... ‫ َوَل تَـ ْقُتـ ُلوا أَ ْوَل َدُك ْم ِم ْن إِ ْم َل ٍق نَ ْح ُن نَـ ْرُزُق ُك ْم َوإِيَّا ُه ْم‬...
)151
… janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada
mereka…

ُ ‫َوَل تَـ ْقُتـ ُلوا أَ ْوَل َدُك ْم َخ ْشيَ َة إِ ْم َل ٍق نَ ْح ُن نَـ ْرُزُقـ ُه ْم َوإِي‬
:17 ‫ (اإلسراء‬.... ‫َّاك ْم‬
)31
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka
dan juga kepadamu ....

138 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Dua ayat tersebut dalam kasus yang sama, yaitu tentang
larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskin­
an. Namun mukhathabnya berbeda, yang pertama adalah
orang-orang miskin dengan redaksi ‫ ِم ْن إِ ْم َل ٍق‬, sedang
yang kedua orang-orang kaya dengan redaksi ‫ َخ ْشيَ َة إِ ْم َل ٍق‬.
Pemahaman tentang perbedaan sasaran yang dituju dapat
dipahami dari perbedaan redaksi pada kedua ayat diatas,
dalam ayat pertama menggunakann redaksi ‫من امالق‬, ke­
laparan terjadi. Ayat kedua menggunakan redaksi‫خشية‬
‫امالق‬sasaran yang dituju adalah orang-orang kaya, yang
berarti kelaparan belum tentu terjadi.
Kata ‫ من امالق‬dan ‫ حنن نرزقكم وإياهم‬mengisyaratkan bahwa
orang miskin mengalami kelaparan, tidak boleh mem­
bunuh anak-anaknya dengan alasan apapun, termasuk
ke­laparan yang dialaminya. Sebab, Allah yang menjamin
rizqi kepada anak-anak. Sedangkan pada ayat kedua
‫ خشية امالق‬dan ْ‫ َْننُ نَـرْزُقـُهُمْ وَإِيَّاكُم‬mengisyaratkan kelapar­an
itu sendiri belum terjadi, hanya saja mereka khawatir
akan hartanya yang akan semakin berkurang dengan ke­
hadiran anaknya.
2). Ayat dengan hadits yang membahas kasus yang sama,
tetapi dengan pengertian yang tampak berbeda, atau
malah bertentangan.
Contoh Q.S. al-Naml/27: 23

ٌ ‫إِنِّي َو َج ْد ُت ا ْم َرأَ ًة تَ ْم ِل ُك ُه ْم َوأُوتِيَ ْت ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َولَ َها َع ْر ٌش َع ِظ‬


27 /‫يم (النمل‬
) 23:
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan dia di anugrahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar .

Ayat diatas dibandingkan dengan Hadits berikut:

‫ِي َص َّلى‬
َّ ‫ِك ِل َم ٍة أَيَّا َم الْ َج َم ِل لَمَّا بَـ َل َغ النَّب‬ َّ ‫َد نَـ َف َعنِي‬
َ ‫الل ُه ب‬ َ ‫ َع ْن أَبِي بَ ْك َرَة َق‬...
ْ ‫ال لَق‬

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 139


‫ال لَ ْن يُـ ْف ِل َح َقـ ْوٌم َولَّ ْوا أَ ْم َرُه ْم ا ْم َرأَ ًة‬
َ ‫ِسا َم َّل ُكوا اْبـنَ َة ِك ْس َرى َق‬
ً ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم أَ َّن َفار‬
َّ
)6570 ‫ نمرة‬:‫(البخاري‬
… dari Abu Bakrah berkata: Sungguh Allah telah memberikan
manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat pada hari-hari perang
Jamal, ketika kabar sampai kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa
Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
(pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. “ (al-Bukhâri,
1977: No. 657 )

Tafsiran dari ayat diatas adalah Burung Hud-hud meng­


hadap dan menyampaikan pada Nabi Sulaiman, aku
telah datang dari negeri Saba’, aku melihat di sana se­
orang wanita yang menjadi ratu dan mengusai seluruh
negeri. Aku dapati kerajaan Saba’ itu suatu kerajaan besar
lengkap dengan tentaranya dan aparat pemerintahannya,
namun sang ratu dan seluruh rakyatnya menyembah dan
ber­sujud kepada matahari, tidak menyembah Allah (Ibn
Katsir, Juz III, 2006: 346)
Asbabul Wurud Hadits di atas berawal da’wah yang
dilakukan Rasulullah ke berbagai daerah dan negara di
antaranya dengan mengirim surat kepada pem­ besar-
pem­besar kerajaan. Salah satu kerajaan yang men­da­pat­
kan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisah­nya:
Rasulullah mengutus ’Abdullah bin Hudzafah al-Sami
untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bahrain. Se­
telah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat ter­sebut
kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rasu­lullah, ia
menolak dan bahkan menyobek-nyobek surat­nya. Peris­
tiwa ini didengar Rasulullah, kemudian beliau bersabda:
”Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-
robek (diri dan kerajaan) orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian, terjadi suksesi dan
pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang

140 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


raja. Kerajaan tersebut mengalami kekacauan selama
kurang lebih tiga tahun. Pada akhirnya, diangkatlah
Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra) sebagai
ratu karena ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh
dalam peristiwa tersebut. Hal ini terjadi sekitar tahun 9
H. Mendengar hal ini, Rasulullah bersabda : ”Tidak akan
beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.
Dari ayat dan hadits tersebut ada pendapat yang
mengharamkan kepala negara perempuan mendasarkan
argumennya terutama pada Q.S. al-Nisa/ 4: 34 yang ber­
bunyi:

‫ض َوبِ َما أَْنـ َفقُوا ِم ْن‬ َّ ‫ون َع َلى النِّسا ِء بِ َما َف َّض َل‬
ٍ ‫الل ُه بَـ ْع َض ُه ْم َع َلى بَـ ْع‬ َ ‫ال َقـوَّا ُم‬ُ ‫الر َج‬
ِّ
َ
َّ ‫الل ُه َو‬َّ ‫ات لِ ْل َغي ِب بِ َما َح ِف َظ‬ ْ ‫أَ ْم َوالِه‬
َ ‫اللتِي تَ َخا ُف‬
‫ون‬ ْ ٌ ‫ات َحا ِف َظ‬ ٌ َ‫ات َقانِت‬ُ ‫الصالِ َح‬َّ ‫ِم َف‬
‫ِن أَ َط ْعنَ ُك ْم َف َل تَـْبـ ُغوا‬
ْ ‫اض ِربُو ُه َّن َفإ‬
ْ ‫اج ِع َو‬ ِ ‫نُ ُشوَزُه َّن َف ِع ُظو ُه َّن َوا ْه ُج ُرو ُه َّن ِفي الْ َم َض‬
َّ ‫ِن‬َّ ‫ِيل إ‬
)34 :4/‫ِيرا (ْالنساء‬ ً ‫ان َع ِليًّا َكب‬
َ ‫الل َه َك‬ ً ‫ِن َسب‬ َّ ‫َع َل ْيه‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dari kedua nash tersebut kalangan ahli fiqih salaf, ter­


masuk mazhab empat berpendapat bahwa al-imam harus
dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki se­
orang perempuan. Ibnu Katsir, misalnya, dalam Tafsir
Ibnu Katsir dalam menafsiri Q.S. al-Nisa/ 4: 34 menya­
takan: Laki-laki adalah pemimpin wanita, karena laki-laki

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 141


lebih utama dari perempuan. Itulab sebabnya kenabian
dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja yang agung;
… begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya… Ibnu
Abbas berkata “Laki-laki pemimpin wanita” maksudnya
sebagai amir yang harus ditaati oleh wanita (Ibn Katsir,
Juz I, 1991: 465).
Sementara Ulama yang membolehkan wanita men­
duduki jabatan qadhi atau hakim antara lain Abu Hanifah,
Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir at-Tabari. Muhammad Sayid
Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, me­
nyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi
jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik
sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun po­
sisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip
majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara
tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran
memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah
ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya
apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya
Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini.
Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak
akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi
berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu
yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara
umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki
jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta
besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja
perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-
Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena
ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah
tidak boleh bagi wanita. (Harian Okaz Arab Saudi, edisi 
28 Muharram 1429, 39 mengutip dari majalah Ad-Din wal
Hayat Mesir).

142 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


3). Perbandingan pendapat para Mufassir
Dalam langkah ini yang dilakukan mufassir adalah me­
ninjau berbagai pendapat mufassir berkenaan dengan
penafsiran ayat-ayat tersebut. dengan cara mufassir perlu
menelaah berbagai kitab tafsir berkenaan dengan pe­
naf­siran ayat yang sedang dibahasnya. Dalam menelaah
kitab-kitab tafsir itu yang menjadi perhatian adalah pola
penafsiran yang diterapakan oleh pengarangnya. Se­
hingga mufassir muqarin akan memperoleh gambaran
yang luas sekali mengenai penafsiran satu ayat. Dengan
demikian dia tidak apriori (beranggapan sebelum menge­
tahui) menerima atau menolak suatu tafsir.

Contoh Q.S. al-Kâfirun/109: 1-5 yang berbunyi:

‫) َوَل‬3(‫ون َما أَ ْعبُ ُد‬


َ ‫) َوَل أَْنـتُ ْم َعابِ ُد‬2(‫ون‬ َ ‫ُق ْل يَاأَيُّـ َها الْ َكا ِف ُر‬
َ ‫) َل أَ ْعبُ ُد َما تَـ ْعبُ ُد‬1(‫ون‬
ِ ‫) لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِد‬5(‫ون َما أَ ْعبُ ُد‬
)6(‫ين‬ َ ‫) َوَل أَْنـتُ ْم َعابِ ُد‬4(‫أَنَا َعابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم‬
1. Katakanlah: Wahai orang-orang kafir! 2. Aku tidak akan me­
nyem­bah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi pe­
nyembah apa yang kamu sembah. 5. dan kamu tidak pernah pula
menjdi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untuk mullah
agamamu, dan untuk akulah agamaku”(al-Kâfirun/109: 1-5)

Jika diperbandingkan redaksi ayat-ayat dalam Surat al-


kâfirun itu tampak jelas, ayat ke-2 dan ke-4 ungkapannya
ber­beda meskipun maksudnya sama, yakni nabi Muhammad
tidak menyembah apa yang disembah oleh orang musyrik
Makkah. Kemudian ayat ke-3 dan ke-5 yang membawa redaksi
persis sama, tapi jika dibandingkan dengan redaksi pada ayat
2 dan 4 jelas terlihat perbedaan, baik dari segi pengungkapan
maupun kata yang digunakannya. Di penutup ayat ke-4 Allah
menggunakan kata kerja lampau ( fi’il mâdhi) ”‫ ”عبد مت‬sementara
pada akhir ayat 3 dan 5 digunakan kata kerja masa sekarang
(fi’ il mudhâri) ”‫“اعبد‬.

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 143


Sepintas ayat 2 dan 4 tampak berkonotasi, tapi sebenarnya
mempunyai konotasi berbeda yang tidak ada pada yang lain.
Redaksi, ‫ ال اعبد ما تعبدون‬yang bermakna : ”saya tidak menyembah
apa yang sedang kalian sembah”. Pengertian ini diambil dari kata
kerja yang dipakai dalam ayat itu, yaitu fi’il mudhâri’ yang
didahului oleh ”‫ “ال‬yang berarati ‘tidak’ (nafy). Sedangkan
redaksi "‫ "وال أنا عابد ما عبدمت‬mengandung makna, ”saya tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah”. Pengertian
ini dipahami dari konotasi kata sifat (isim fâ’il)” yang berarti
“penyembah”. Isim fâ’il menunjukkan pada ketiga masa itu:
lampau, sekarang, dan akan datang.”
Para mufassir sepakat bahwa Pengulangan ayat ini ber­
fungsi untuk menyangatkan dan perbandingan antara waktu
sekarang-waktu mendatang artinya sampai kapanpun akidah
tidak boleh berubah (Asrori, 2012: 120). Dengan demikian
redaksi ayat 4 itu mempertegas apa yang telah di­nyatakan di
dalam ayat 2 diberi spasi dengan penggalan ayat sebelumnya,
sehingga dapat di­pahami bahwa Nabi Muhamad tidak menjadi
penyembah apa yang disembah oleh orang kafir Makkah, baik
dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Dengan uraian itu
jelaslah bahwa masing-masing redaksi membawa pesan yang
berlainan, dan bahkan redaksi yang keempat mengandung
makna yang lebih luas dari yang dikandung oleh redaksi yang
ke-2.
Yang menjadi permasalahan bagi Mufassir dalam redaksi
Surat al-Kâfirun adalah perbedaan pemakaian kata kerja. Pada
Akhir ayat ke 4 digunakan kata kerja masa lampau (fi’il Mâdhi),
sementara pada ayat 2, 3, dan 5 digunakan kata kerja masa kini
(fi’il mudhâri), maka terlihat ada hubungannya dengan situasi
dan kondisi yang ada pada waktu ayat itu diturunkan, baik
menyangkut diri Nabi maupun keadaan orang orang Quraisy
yang selalu merongrong dakwah beliau dan memusuhinya.
Kaum Quraisy yang diseru Nabi untuk masuk Islam
setelah menjadi penyembah berhala jauh sebelum Nabi di­

144 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


angkat menjadi Rasul. Oleh karena itu, supaya cocok dengan
latar belakang yang telah mewarnai masa lampau mereka,
maka tidak ada jalan lain kecuali menggunakan kata kerja masa
lalu (Fi’il Madhi): ‫ ما عبدمت‬Apabila hal itu diungkapkan dengan
menggunakan kata kerja masa sekarang ) fi’il Mudhâri’) ‫ما تعبدون‬,
maka akan tidak sesuai dengan pengalaman yang mereka
alami secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Dalam kaitan ini timbul perbedaan pendapat al-Zama­
khsyari, misalnya, menyatakan ‫ الأعبد‬dalam ayat 2 menunjuk­
kan kepada masa depan karena ‫ ال‬hanya bisa masuk pada fi’i’l
mudhâri’ ‫ ما تعبدون‬yang mempunyai makna Istiqbâl (akan datang).
Sedangkan ‫ ما‬hanya masuk pada fi’il mudhori yang mempunyai
makna hal (sekarang). Jadi ‫ ال اعبد‬menurut pendapat ini berarti
”Saya tidak akan menyembah”, dan ” ‫ ما اعبد‬Apa yang sedang saya
sembah”. Jumhur ulama atau paling tidak para mufassir tidak
setuju pendapat ini.
Diantara yang paling keras menolak pendapat ini adalah
Abu Hayyan, sebagaiman dikatakannya ”Pendapat itu tidak
benar, kecuali dilihat dari sudut kebiasaannya karena ada
yang masuk kepada fi’il mudhari’ yang mengandung makna
hal )‫ حال‬dan ‫ (ما‬ada pula yang masuk pada fi’il mudhari yang
mengandung makna istiqbal”.
Abu Al Su’ud juga berpendapat seperti ini. Di samping
itu ada pendapat lain dari Ibn Taymiyah yang diriwayatkan
oleh Ibn Katsir, katanya: ”Maksud firmanNya ‫ال اعبد ما تعبدون‬
ialah menafikan perbuatan karena diungkapkan dalam
kalimat ‫ والاناعابد ماعبدمت‬ialah menafikan penerimaan terhadap
perbuatan itu secara total, Maka seolah-olah ia menafikan
perbuatan itu dan sekaligus tidak menerimanya." Dalam tafsir
Jalalain disebutkan ‫ ال اعبد‬termasuk ‫( احلا ل‬al-hal) dan ‫وال انا عا بد‬
termasuk ‫ االستقبا ل‬Jalâluddin, 1991: 824) .
Jika diperbandingkan pendapat para mufassir itu dapat
disimpulkan ke dalam dua hal. Mereka yang mengatakan
bahwa Nabi telah beribadah sebelum menjadi Rasul adalah

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 145


dalam pengertian beliau telah mempercayai keesaan Allah
dan tidak menyekutukan-Nya. Sebaliknya mereka yang ber­
pendapat bahwa Nabi tidak beribadah kepada Allah sebelum
menjadi Rasul adalah dalam pengertian ibadah sebagaimana
diajarkannya setelah turunnya wahyu.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian me­
ngenai mufassir, yaitu:
a). Kondisi sosial politik pada masa seorang mufassir hidup.
b). Kecenderungan dan latar belakang pendidikannya.
c). Pendapat yang dikemukakannya, apakah pendapat pri­
badi atau pengembangan pendapat sebelumnya, atau
juga pengulangannya
d). Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melaku­
kan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang
pendapat tersebut, baik menguatkan atau melemahkan
pendapat-pendapat mufassir yang diperbandingkannya.

d. Metode al-Mawdhu’î ‫الموضوعى‬


1). Pengertian al-Mawdhu’î
Kata al-mawdhû’i ‫ املوضوعى‬berasal dari kata mawdhû’ yang
dari segi bahasa berarti tema pokok atau topik (Munir al-
Ba’labakkî, 1974: 962). Kata mawdhû’ jika ditambah ya’ nisbah
menjadi mawdhû’i yang berarti bersifat tema atau tematik.
Metode tafsir al-mawdhû’i menurut istilah adalah me­
nafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan menghimpun ayat-ayat
al-Qur`ân yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya ber­
dasar kronologi , dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
Tafsîr al-mawdhû’i ini adalah metode yang ditempuh se­
orang mufassir dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur`ân
yang berbicara pada satu topik atau satu pengertian, dan satu
tujuan dari berbagai surat dalam al-Qur`ân, walaupun ayat-
ayat tersebut cara turunnya berbeda waktu, dan tempat turun­
nya .

146 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


2). Langkah-langkah dalam tafsîr ini adalah sebagai berikut:
a). Memilih topik dari ayat-ayat al-Qur`ân yang akan diteliti
dalam topik penelitiannya
b). Menghimpun ayat-ayat yang berhubungan dengan topik
yang menjadi tujuan pembahasan
c). Menyusun urutan ayat sesuai dengan waktu turunnya,
disertai pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya.
d). Memahami hubungan ayat-ayatnya dalam suratnya
masing-masing
e). Menyusun pembahasan topik dalam bentuk yang sesuai
kerangka yang teratur, sempurna, dan utuh (outline)
f). Melengkapi topik pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dalam masalah topiknya, sehingga dapat me­­
nyempurnakan pembahasan, dan semakin jelas
g). Mengkaji ayat-ayat yang menjadi topik secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sejenis, atau
meng­kompromikan antara yang umum (’ âm) dan yang
khusus (khâsh), yang mutlak dan yang muqayyad (terikat),
atau ayat yang dzahirnya bertentangan, atau ayat yang
nâsikh dan mansûkh, sehingga ke semuanya bertemu dalam
satu muara, tidak ada perbedaan atau pemaksaan dari
sebagian ayat-ayat (’Abd al-Hayy al-Farmawî, 1988: 61-
62).

Keutamaan dan Keterbatasan


1. Keutamaannya
Keutamaan atau keistimewaan metode mawdhû’i antara
lain:
a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
b. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits
Nabi adalah satu cara terbaik dalam menafsirkan al-
Qur`ân.
c. Kesimpulan yang dihasilkan adalah dari petunjuk al-
Qur`ân tanpa mengemukakan berbagai pembahasan

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 147


terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode
ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh
al-Qur`ân bukan bersifat teoritis semata yang tidak
dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan
begitu dapat membawa hamba-Nya kepada pen­­dapat
al-Qur`ân sebagai kitab suci, dan dapat mem­­bukti­kan
keistimewaan al-Qur’ân.
d. Metode ini dapat menjawab anggapan adanya ayat-
ayat yang bertentangan dalam al-Qur’ân, sekaligus
dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur`ân se­
jalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
ke­hidupan masyarakat.
e. Metode ini dapat mengantarkan untuk sampai kepada
suatu maksud dan hakikat suatu persoalan dengan
cara yang lebih mudah.

Hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang tafsir


’Ilmî bahwa tafsir ilmi bisa masuk dalam kajian tafsir
tematik. Sebab tafsir ini membahas tentang topik tertentu
atau masalah-masalah tertentu yang bisa menjawab hal-
hal yang perlu dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Tafsir tematik ini perlu dikembangkan sepanjang
tidak bertentangan dengan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
2. Keterbatasannya
Keterbatasan-keterbatasan methode ini dapat dikatakan
sebagai kekurangannya, yang antara lain :
a. Menafsirkannya terbatas pada satu masalah yang telah
ditetapkan sehingga masalah lain dalam ayat yang
sama tidak disinggung, seperti penyebutan minuman
keras, judi, dan berhala-berhala sembahan dalam Q.S.
al Mâidah/5: 90 yang berbunyi:

‫س ِم ْن َع َم ِل‬ َْ ‫اب َو‬


ٌ ‫ال ْزَل ُم ر ِْج‬ َْ ‫ين َءا َمنُوا إِنَّ َما الْ َخ ْم ُر َوالْ َم ْي ِس ُر َو‬
ُ ‫النْ َص‬ َ ‫يَاأَيُّـ َها الَّ ِذ‬
َ ‫اجتَنِبُوُه لَ َع َّل ُك ْم تُـ ْف ِل ُح‬
‫ون‬ ِ ‫الش ْي َط‬
ْ ‫ان َف‬ َّ

148 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
men­dapat keberuntungan.

jika salah satunya dipilih dan dibahas, misalnya ma­


salah penyembahan berhala saja, maka minuman
keras, judi dan mengundi nasib pasti tidak diuraikan
atau dibahas.
b. Seorang mufassir mawdhû’i adalah orang yang tahu
se­dikit dari yang banyak sekalipun mendalam, atau
dapat dikatakan tahu banyak dari yang sedikit.
c. Bahwa seorang mufassir menafsirkan secara mawdhû’i
belumlah tuntas mengemukakan seluruh kandungan
ayat kecuali yang ditetapkan sebelumnya sehingga
dengan demikian dia tidak terpengaruh oleh kan­dung­
an atau isyarat-isyarat yang tidak sejalan dengan pokok
bahasan yang ditemukan dalam ayat-ayat di­maksud.

Beberapa Contoh Tafsîr Mawdhu’i:


1. ‫ املرأة ىف القرآن‬karya Ustadz Abbas al-‘Aqqad.
2. ‫ الربا ىف القرآن‬karya Abu al-Â’la al-Mawdudi
3. ‫ العقيدة ىف القرآن الكرمي‬karya Muhammad Abu Zahrah
4. ‫ اإلنسان ىف القرآن الكرمي‬karya Ibrahim Mahna
5. ‫ مقومات اإلنسانية ىف القرآن الكرمي‬karya Ibrahim Mahna
6. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat hasil karya M. Quraish Shihab.

Metode Penafsiran Al-Qur`Ân | 149


BAB
XV

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR

1. Pengertian Kaidah Tafsir


Kaidah-kaidah tafsir dalam bahasa arabnya disebut qawâid
al-tafsîr. Kata qawâid adalah isim jamak, bentuk mufradnya
adalah qâ’idah yang berarti asas, yang menjadi dasar, secara
umum tidak menimbulkan perselisihan. (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, 1967, V: 108).
Ahmad Warson Munawwir mengartikan kata qâ’idah
dengan dasar, asas dan pondamen (Ahmad Warson
Munawwir, 1984: 1224). Dengan demikian menurut hemat
penulis, kata qawâid dapat berarti aturan-aturan, pondasi,
pedoman, atau asas.
Kata qawâid digunakan dalam al-Qur`ân pada tiga tempat,
yaitu
a. Q.S. al-Baqarah/2: 127

َّ ‫يل َربَّـنَا تَـ َقبَّ ْل ِمنَّا إِنَّ َك أَنْ َت‬


‫الس ِمي ُع‬ ْ ‫يم الْ َق َوا ِع َد ِم َن الَْبـ ْي ِت َوإ‬
ُ ‫ِس َما ِع‬ ُ ‫َوإِ ْذ يَـ ْرَف ُع إِْبـ َرا ِه‬
ُ ‫الْ َع ِل‬
‫يم‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-
dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
b. Q.S. al-Nahl/16: 26

‫ْف ِم ْن‬
ُ ‫السق‬
َّ ‫ِم‬ َّ ‫ِم َفأَتَى‬
ُ ‫الل ُه بُـْنـيَانَـ ُه ْم ِم َن الْ َق َوا ِع ِد َف َخ َّر َع َل ْيه‬ َ ‫َق ْد َم َك َر الَّ ِذ‬
ْ ‫ين ِم ْن َقـ ْب ِله‬

150
)26(‫ون‬ ُ ‫ِم َوأَتَا ُه ُم الْ َع َذ‬
َ ‫اب ِم ْن َح ْي ُث َل يَ ْش ُع ُر‬ ْ ‫َفـ ْوِقه‬
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah meng­
adakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka
dari dasar-dasarnya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka
dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang
tidak mereka sadari.

c. Q.S. al-Nur/24: 60.

‫اح أَ ْن يَ َض ْع َن ثِيَابَـ ُه َّن‬ ً ‫ون نِ َك‬ َّ ‫ِّسا ِء‬


ٌ َ‫ِن ُجن‬َّ ‫س َع َل ْيه‬
َ ‫احا َفـ َل ْي‬ َ ‫اللتِي َل يَـ ْر ُج‬ َ ‫َوالْ َق َوا ِع ُد ِم َن الن‬
َّ ‫ْن َخيـر لَ ُه َّن َو‬
)60(‫يم‬ ٌ ‫الل ُه َس ِمي ٌع َع ِل‬ ٌ ْ َ ‫ات بِزِينَ ٍة َوأَ ْن يَ ْسَتـ ْع ِفف‬
ٍ ‫َغْيـ َر ُمتََبـ ِّر َج‬
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka
dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 127 dan Q.S. al-


Nahl/16: 26 kata qawâid berarti dasar-dasar atau fondasi, se­
dangkan kata qawâid dalam Q.S. al-Nur/24 tidak ada hu­
bungannya dengan arti tersebut, karena kata qawaid dalam
ayat tersebut berarti perempuan-perempuan yang tua.
Sedangkan kata tafsir, berasal dari fassara yang berarti
menjelaskan dan menerangkan sesuatu. (Ahmad bin Fâris bin
Zakariyâ, 1967, IV: 504). Al-Râghib al-Ashfahânî mengartikan
kata al-fasr dengan menjelaskan arti sesuatu sesuai dengan
akal. (1992 :636). Dengan demikian tafsir menurut bahasa ber­
arti menjelaskan dan menerangkan sesuatu sesuai dengan akal.
Tafsir menurut istilah, terdapat pendapat dari beberapa
ahli antara lain: Menurut al-Zarqânî, tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang al-Qur`ân al-Karim dari segi petun­juk­nya
sesuai dengan kehendak Allah SWT dan sesuai dengan ke­
mampuan manusia (Muhammad Abd al-Azîm al-Zarqânî, II,
T.th.: 3). Menurut al-Zarkasyî, tafsir adalah ilmu yang dike­

Kaidah-Kaidah Tafsir | 151


tahui untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, me­­
nge­luarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya (Badr
al-Dîn Muhammad bin Abd Allah al-Zarkasyî, I, 1988: 33).
Menurut al-Dzahabî, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia yang me­
liputi pemahaman makna dan penjelasan yang di­ ingin­­
kan
(Muhammad Husain al-Dzahabî, I, 1976: 134).
Adanya perbedaan pada definisi tersebut menurut M.
Quraish Shihab (1992: 15) adalah akibat perbedaan para ahli
tafsir tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadi­
kan patokan dalam memahami kalam Allah dalam al-Qur`ân.
Definisi yang lebih populer menurut beliau, tafsir adalah se­
suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman
Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Menurut hemat penulis, walaupun ada perbedaan pen­
dapat dari para ahli tafsir tersebut, dapat dikatakan tafsir
adalah suatu usaha untuk memahami kalam Allah akan makna-
maknanya, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pe­tunjuk-pe­
tunjuk yang terdapat di dalam al-Qur`ân sesuai dengan kadar
kemampuan manusia.
Jadi maksud dari kaidah-kaidah tafsir atau qawâid al-tafsir
adalah aturan aturan dasar yang menjadi patokan atau ukuran
untuk memahami makna-makna, hukum-hukum, hikmah-
hikmah dan petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam al-
Qur`ân.

2. Macam-Macam Kaidah Tafsir


Sebelum menguraikan tentang macam-macam kaidah
tafsir perlu diketahui lebih dulu tentang syarat-syarat mufassir.
Menurut M. Quraish Shihab syarat-syarat bagi penafsir (mufas­
sir) adalah :
a. Mengetahui bahasa Arab dalam berbagai bidangnya.

152 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


b. Mengetahui tentang ilmu-ilmu al-Qur`ân, sejarah turun­
nya, hadist-hadist Nabi dan Ushul Fikih.
c. Mengetahui tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan
d. Mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi
bahasan ayat (M. Quraish Shihab, 1992: 15).

Beliau menambahkan beberapa pembatasan menyangkut


perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu
tentang perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan
dan tentang bahasa (M. Quraish Shihab, 1992: 79).
Badr al-Dîn Muhammad bin Abd Allah al-Zarkasyî ( II,
1988: 176), mengemukakan bahwa sebaik-baik metode tafsir
adalah menafsirkan Al-Qur`ân dengan al-Qur`ân. Kaidah-
kaidah tafsir, sebagaimana dijelaskan sebelumnya banyak,
namun yang terpenting ada empat, yaitu; penukilan dari
sunnah Rasulullah, mengambil dari perkataan sahabat, meng­­
ambil dari kaidah umum bahasa dan menafsirkan sesuai
dengan makna kalam dan hukum (Badr al-Dîn Muhammad bin
Abd Allah al-Zarkasyî 1988: 178). Menurut Muhammad Husain
al-Dzahabî (I, 1976: 29), kaidah-kaidah tafsir harus ada hadits-
hadits Nabi, ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar hukum Islam.
Dengan penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaidah-
kaidah tafsir sangat banyak, oleh karena itu penulis akan men­­
jelaskan kaidah-kaidah tafsir yang dirasa sangat penting, yaitu
meliputi kaidah qur`âniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa dan
kaidah ilmu pangetahuan.
Uraian penjelasan dari masing-masing kaidah adalah se­
bagai berikut :

a. Kaidah Qur`âniyah
Kaidah Qur`âniyah yang dimaksud adalah menafsirkan
al-Qur`ân dengan al-Qur`ân, sebab telah kita ketahui bahwa
al-Qur`ân adalah kalam Allah, sehingga Dia-lah Yang Maha
Tahu tentang tafsir al-Qur`ân. Hal itu sesuai dengan firman
Allah Q.S. al-Qiyâmah/75: 19

Kaidah-Kaidah Tafsir | 153


َّ ‫ُم إ‬
‫ِن َع َلْيـنَا بَـيَانَ ُه‬ َّ ‫ث‬
"Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasan­
nya.“

Dengan ayat tersebut jelaslah bahwa Allah memberikan


penjelasan antara ayat yang ada dalam al-Qur`ân dengan ayat
yang lain dalam al-Qur`ân itu pula. Dengan demikian kaidah
yang pertama harus dikuasai oleh mufassir adalah kaidah
Qur`âniyah.
Dalam kaidah Qur`âniyah ini, hal-hal yang perlu dicermati
antara lain sebagai berikut:
1). Ayat Muhkamât dan Mutasyâbihât
Kata Muhkamât adalah bentuk isim maf’ûl berasal dari
kata ahkama. Kata ahkama itu bentuk tsulasi mujarradnya
adalah hakama yang berarti mencegah (Ahmad bin Fâris
bin Zakariyâ, 1967, II: 91). Sedangkan kata muhkam, me­­­
nurut Muhammad Abû Zahrah (1958: 123) adalah lafal yang
maksudnya dapat difahami karena sudah jelas makna­nya
dan tidak perlu adanya takwîl maupun takhshîsh. Menurut
Badr al-Dîn Muhammad bin Abd Allah al-Zarkasyî (II
1988: 79) muhkam adalah apa yang sudah jelas kete­­
rangannya untuk perintah maupun larangan, serta halal
maupun haram. Menurut Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin
Abî Bakr al-Suyûtî (I, 1987: 5) menjelaskan bahwa ayat-
ayat muhkamât adalah ayat-ayat yang jelas maknanya,
mudah difahami, tidak membutuhkan takwil dan tidak
membutuhkan penjelalasan dari ayat lain.
Kata mutasyâbihât adalah bentuk isim fâ’il berasal dari
kata tasyâbaha. Kata tasyâbaha berasal dari tiga huruf syîn,
bâ’, dan hâ’, yang berarti adanya ketidaksamaan faham
dari makna-maknanya. Penjelasan maksud ayat-ayat
mutasyâbihât yang lebih tegas adalah dari pendapat Jalâl
al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî, (I, 1987: 6),
yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti yang samar-samar,

154 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


sulit dimengerti dan tidak dapat difahami kecuali dengan
adanya penjelasan dari ayat lain.
Bukti bahwa dalam al-Qur`ân terdapat ayat-ayat
muhkamât dan mutasyâbihât dijelaskan dalam Q.S. Ali
‘Imrân/3: 7

‫اب َوأُ َخ ُر‬ ِ َ‫ات ُه َّن أُ ُّم الْ ِكت‬ ٌ ‫ات ُم ْح َك َم‬ ٌ َ‫اب ِم ْن ُه َءاي‬ َ َ‫ُه َو الَّ ِذي أَْنـ َز َل َع َل ْي َك الْ ِكت‬
‫ون َما تَ َشابَ َه ِم ْن ُه ابْتِ َغا َء الْ ِفْتـنَ ِة َوابْتِ َغا َء‬َ ‫ِم َزيْ ٌغ َفـيَتَّبِ ُع‬ْ ‫ين ِفي ُقـ ُلوبِه‬َ ‫ات َفأَمَّا الَّ ِذ‬ ٌ ‫ُمتَ َشابِ َه‬
‫ون َءا َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬ َ ُ‫ون ِفي الْ ِع ْل ِم يَـقُول‬ َ ‫اس ُخ‬ ِ ‫الر‬ َّ ‫تَْأوِي ِل ِه َوَما يَـ ْع َل ُم تَْأوِي َل ُه إ َِّل‬
َّ ‫الل ُه َو‬
َْ ‫َربِّـنَا َوَما يَ َّذَّك ُر إ َِّل أُولُو‬
ِ َ‫اللْب‬
‫اب‬
Dia-lah yang menurunkan al Kitab (al-Qur`ân) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok
isi al-Qur`ân dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melain­kan orang-orang yang berakal..

Berdasar penjelasan ayat tersebut diketahui bahwa


ayat-ayat muhkamât itu lebih banyak daripada ayat-ayat
mutasyâbihât.
Contoh ayat muhkamât adalah al-Baqarah/2: 43 berikut:

َ‫الزَكاة‬ َّ ‫َوأَ ِقي ُموا‬


َّ ‫الص َل َة َوَءاتُوا‬
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ....

Contoh ayat mutasyâbihât adalah Q.S. Thâhâ/20: 5 berikut:

ْ ‫الر ْح َم ُن َع َلى الْ َع ْر ِش‬


‫اسَـت َوى‬ َّ
Tuhan Maha Pemurah dan bersemayam di atas "arsy".

Kaidah-Kaidah Tafsir | 155


Dari contoh ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah
itu materi, karena bersemayam, namun terdapat kete­
rangan dari ayat lain, yaitu firman Allah Q.S. al-Syûrâ/42:
11 berikut:

.... ‫س َك ِم ْث ِل ِه َش ْي ٌء‬
َ ‫ لَْي‬...
… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia ….

Makna ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada se­


suatupun yang serupa dengan Allah, berarti Allah tidak
menetap di suatu tempat, maka perlu adanya takwil.
Takwil dari ayat tersebut maksudnya adalah sifat Allah
yang menunjukkan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.
2). Asmâ` Al-Husnâ pada akhir ayat
Kata asmâ`, merupakan isim jamak, bentuk mufradnya
adalah ism. Sedangkan al-Husnâ` adalah isim tafdhil berasal
dari husn merupakan lawan dari kata qubh (Ahmad bin
Fâris bin Zakariyâ, 1967, II: 243). Kata qubh berarti sesuatu
yang tidak sesuai dengan pandangan mata dan sesuatu
perbuatan maupun hal ihwal yang tidak sesuai dengan
hati nurani (al-Râghib al-Ashfahânî, 1992: 335). Dengan
demikian husn dapat berarti baik, dan husnâ berarti yang
terbaik, sedangkan yang dimaksud Asmâ` al-Husnâ adalah
nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat
Allah SWT.
Ayat-ayat al-Qur`ân banyak diakhiri dengan Asmâ` al-
Husnâ. Hal tersebut berarti permasalahan yang dibicara­
kan, seperti : syariat, perintah, dan penciptaan yang di­
sebutkan dalam al Qur’an itu semua berasal dari ayat-ayat
Allah atau setidak-tidaknya ada kaitannya. Oleh karena
itu sangat banyak manfaatnya memahami maksud Allah
pada ayat-ayat yang diakhiri dengan Asmâ` al-Husnâ.
Contoh ayat yang diakhiri dengan salah satu asmâ` al-
husnâ adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 29 berikut:

156 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


َّ ‫اسَتـ َوى إِلَى‬
‫الس َما ِء َف َسوَّا ُه َّن َس ْب َع‬ َّ ‫ض َج ِمي ًعا ث‬
ْ ‫ُم‬ َْ ‫ُه َو الَّ ِذي َخ َل َق لَ ُك ْم َما ِفي‬
ِ ‫ال ْر‬
ٌ ‫ِك ِّل َش ْي ٍء َع ِل‬
‫يم‬ ُ ‫ات َو ُه َو ب‬
ٍ ‫َس َم َو‬
Dia-lah (Allah) yang telah menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu sekalian kemudian dia berkehendak menciptakan langit
kemudian dijadikannya tujuh langit. Atas segala sesuatu Dia Maha
Mengetahui

Bagian akhir dari ayat tersebut adalah salah satu Asmâ` al-
ٌ ِ‫ َعل‬. Kata ini menjadi dasar untuk menafsir­
Husnâ yaitu kata: ‫يم‬
kan tentang penciptaan bumi dan langit serta menjelaskan
planet-planet di angkasa luar. Oleh karena itu dalam me­
nafsirkan ayat tersebut harus didasari dengan iman kepada
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Penulisan adanya dasar rasa Iman dalam ayat tersebut telah
diperingatkan oleh ayat sebelumnya, yaitu Q.S. Al-Baqarah/2:
28 berikut:

ُ ‫ُم يُ ْحي‬
َّ ‫ُم يُ ِميتُ ُك ْم ث‬ َّ ‫ون ب‬
َ ‫ُم إِلَْي ِه تُـ ْر َج ُع‬
‫ون‬ َّ ‫ِيك ْم ث‬ َّ ‫ِالل ِه َوُك ْنتُ ْم أَ ْم َواتًا َفأَ ْحيَ ُاك ْم ث‬ ُ ‫َك ْي َف تَ ْكف‬
َ ‫ُر‬
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati,
lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan
dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikem­
balikan?

Pengertian Asmâ` al-Husnâ yang terdapat dalam al-Qur`ân,


ada yang berhubungan dengan dzat Allah, berhubungan
dengan penciptaan, berhubungan dengan cinta kasih Allah,
ke­agungan dan kemuliaan Allah serta ada yang berhubung­­
an dengan ilmu Allah.

b. Kaidah Sunnah
Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah sama
dengan hadist, yaitu segala sabda, perbuatan, taqrir, hal ihwal
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW(M. Syuhudi
Ismail, 1988: 25). Jadi, yang dimaksud dengan kaidah sunnah
adalah menafsirkan al-Qur`ân melalui panjelasan Nabi.

Kaidah-Kaidah Tafsir | 157


Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. al-Nahl/16: 44

َّ ‫َّاس ما نُـ ِّز َل إِلَيهِم ولَع َّل ُهم يـتـف‬ ِّ ‫الزبُ ِر َوأَْنـ َزلْنَا إِلَي َك‬
‫ون‬
َ ‫َك ُر‬ ََ ْ َ َ ْ ْ َ ِ ‫الذْك َر لِتَُبـيِّ َن لِلن‬ ْ ِ َ‫بِالَْبـِّيـن‬
ُّ ‫ات َو‬
keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami tu­
run­kan kepadamu Al-Qur`ân, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan,

Dan dijelaskan juga dalam Q.S. Al-Nahl/16: 64

ْ ‫اب إ َِّل لِتَُبـيِّ َن لَ ُه ُم الَّ ِذي‬


‫اخَتـ َلفُوا ِفي ِه َو ُه ًدى َوَر ْح َم ًة لِ َق ْوٍم‬ َ َ‫َوَما أَْنـ َزلْنَا َع َل ْي َك الْ ِكت‬
َ ُ‫يُـ ْؤِمن‬
‫ون‬
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`ân) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.

Dalam dua ayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah


Saw. mempunyai tugas mejelaskan kepada umat manusia me­
ngenai permasalahan yang belum diketahui atau mengenai
permasalahan diperselisihkan.
Contoh ayat yang ditafsirkan Rasulullah adalah Q.S. Al-
Fatihah /1: 7

َ ِّ‫الضال‬
)7(‫ين‬ َّ ‫ِم َوَل‬ ِ ‫ِم غ َْي ِر الْ َم ْغ ُض‬
ْ ‫وب َع َل ْيه‬ َ ‫اط الَّ ِذ‬
ْ ‫ين أَْنـ َع ْم َت َع َل ْيه‬ َ ‫ِص َر‬
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat..”

َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َق‬


ٌ ‫ال الَْيـ ُهوُد َم ْغ ُض‬
‫وب‬ َّ ‫ِي َص َّلى‬
ِّ ‫ َع ْن َع ِد ِّي بْ ِن َحاتِ ٍم َع ْن النَّب‬...
)2878 :‫ (هلترمذى‬.... ‫َّصا َرى ُض َّل ٌل‬ َ ‫ِم َوالن‬ْ ‫َع َل ْيه‬
… dari ‘Adiy bin Hâtim dari nabi SAW. Bersabda: Orang Yahudi
itu dimurkai, dan orang Nashrani itu tersesat....

158 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


3. Kaidah Bahasa
Kaidah bahasa yang dimaksud adalah menyangkut kaidah
bahasa Arab. Sebab al-Qur`ân diturunkan berbahasa Arab.
Hal tersebut, antara lain, dijelaskan dalam firman Allah Q.S.
Yûsuf/12: 2 berikut:

َ ‫إِنَّا أَْنـ َزلْنَا ُه ُقـ ْرَءانًا َع َربِيًّا لَ َع َّل ُك ْم تَـ ْع ِق ُل‬


‫ون‬
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

Menurut ayat tersebut al-Qur`ân diturunkan mengguna­


kan bahasa Arab, sehingga kaidah bahasa Arab menjadi pen­
ting bagi seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur`ân, jika
tidak menguasai kaidah bahasa Arab maka tentu akan me­ne­
mui kesulitan.
Di bidang bahasa ini, seorang mufassir, di samping harus
memperhatikan struktur, kaidah-kaidah kebahasaan, dan kon­
teks pembicaraan dalam ayat, juga harus memperhatikan
penggunaan bahasa al-Qur`ân pada setiap kosa kata dan men­
dahulukan memahami kosa kata tersebut dari pada pengertian
yang dikenal pada masa pra Islam. Bahkan secara umum tidak
dibenarkan menggunakan pengertian-pengertian baru yang
ber­kembang kemudian.
Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus
Qur`âni bagi satu kosa kata atau terdapat petunjuk bahwa
pengertian Qur`âni tersebut bukan seperti itu yang dimaksud
oleh ayat, maka seorang mufassir mempunyai kebebasan me­
milih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari
sekian banyak arti yang dimungkinkan oleh penggunaan ba­
hasa al Qur’an (M. Quraish Shibab, 1992: 82).
Adapun kaidah-kaidah bahasa yang berhubungan dengan
tafsir, yang perlu diketahui antara lain sebagai berikut:
a). Dhamîr
Dhamîr adalah kata ganti nama atau benda (Ahmad
Warson Munawwir, 1984: 886). Sedangkan Jalâl al-Dîn

Kaidah-Kaidah Tafsir | 159


‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî (1987: 506 – 5011)
men­­je­laskan bahwa kata ganti nama tersebut bisa berfung­
si untuk mengganti, menempati lafal-lafal yang banyak
dengan sempurna, sebab awal mula tujuan diletakkan­
nya dhamîr adalah agar susunan kalimat menjadi singkat.
Beliau juga menjelaskan bahwa dalam perubahan dhamîr,
yang penting untuk diperhatikan adalah tempat kembali
dhamîr, macam-macam dhamîr, lafal, dan makna yang ter­
kandung di dalamnya.
Contoh dhamîr sesuai dengan Q.S. al-Ahzâb/33: 35
adalah :

َ ‫الصا ِد ِق‬
‫ين‬ َّ ‫ات َو‬ ِ َ‫ين َوالْقَانِت‬َ ِ‫ات َوالْقَانِت‬ِ َ‫ين َوالْ ُم ْؤِمن‬ َ ِ‫ات َوالْ ُم ْؤِمن‬
ِ ‫ين َوالْ ُم ْس ِل َم‬
َ ‫ِن الْ ُم ْس ِل ِم‬َّ ‫إ‬
َ ‫ات َوالْ ُمتَ َص ِّد ِق‬
‫ين‬ ِ ‫اش َع‬ ِ ‫ين َوالْ َخ‬ ِ ‫ات َوالْ َخ‬
َ ‫اش ِع‬ ِ ‫الصاب َِر‬
َّ ‫ِين َو‬ َّ ‫ات َو‬
َ ‫الصابِر‬ ِ ‫الصا ِد َق‬ َّ ‫َو‬
َ ‫الذ ِاكر‬
‫ِين‬ َّ ‫ات َو‬ ِ ‫وج ُه ْم َوالْ َحا ِف َظ‬ َ ‫ات َوالْ َحا ِف ِظ‬
َ ‫ين ُفـ ُر‬ ِ ‫الصائِ َم‬ َّ ‫ين َو‬ َ ‫الصائِ ِم‬
َّ ‫ات َو‬ ِ ‫َوالْ ُمتَ َص ِّد َق‬
َّ ‫ات أَ َع َّد‬
‫الل ُه لَ ُه ْم َم ْغ ِف َرًة َوأَ ْج ًرا َع ِظي ًما‬ َّ ‫الل َه َكثِيرا َو‬
ِ ‫الذ ِاك َر‬ َّ
ً
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan pe­rempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang meme­lihara kehor­
matannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.
Dalam ayat tersebut dhamîr hum befungsi mengganti dua
puluh kata mulai dari kata al-muslîmîn sampai dengan
kata al-dzâkirât. Dengan adanya dhamîr hum tidak perlu
meng­ulang kata-kata yang banyak, dan kalimatnya tetap
sempurna dan menjadi singkat.
b). Isim Nâkirah dan Ma’rifah
Isim nâkirah adalah isim yang tidak memberi pengertian
secara jelas (Hifni Bik Nashif, T.th.: 48) atau isim yang me­

160 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


nunjukkan pada sesuatu yang belum/tidak tertentu (Alî
al-Jârim dan Mushthafâ Amîn, T.th.: 108).
Sedangkan Isim ma’rifah adalah isim yang sudah mem­
beri pengertian dengan jelas (Hifni Bik Nashif, t.th.: 48)
atau isim yang menunjukkan pada sesuatu yang sudah
ter­­tentu (‘Alî al-Jârim dan Mushthafâ Amîn, T.th.: 108).
Fungsi dari isim nâkirah dalam al-Qur`ân adalah se­
bagai­mana dijelaskan oleh Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân
bin Abî Bakr al-Suyûtî (I, 1987: 514 - 515), sebagai berikut:
1). Untuk menunjukkan satu atau seseorang, contohnya
Q.S. Yâsîn/36: 20

َ ‫َو َجا َء ِم ْن أَ ْق َصى الْ َم ِدينَ ِة َر ُج ٌل يَ ْس َعى َق‬


َ ‫ال يَاَقـ ْوِم اتَّبِ ُعوا الْ ُم ْر َس ِل‬
‫ين‬
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An
Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikuti­
lah utusan-utusan itu,
2). Untuk menunjukkan macam atau jenis, contohnya Q.S.
al-Anbiyâ’/21: 50

....‫َو َه َذا ِذ ْك ٌر ُمبَا َر ٌك أَْنـ َزلْنَا ُه‬


Dan al-Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mem­
punyai berkah yang telah Kami turunkan....
3). Untuk memuliakan atau mengagungkan, contohnya
Q.S. al-Baqarah/2: 279

‫وس أَ ْم َوالِ ُك ْم‬ َّ ‫ِحر ٍب ِم َن‬


ُ ‫الل ِه َوَر ُسولِ ِه َوإ ِْن تُـ ْبتُ ْم َفـ َل ُك ْم ُرُء‬ ْ َ ‫ِن لَ ْم تَـ ْف َع ُلوا َف ْأ َذنُوا ب‬
ْ ‫َفإ‬
َ ‫ون َوَل تُ ْظ َل ُم‬
‫ون‬ َ ‫َل تَ ْظ ِل ُم‬
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan meme­rangi­
mu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagi­mu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.

Kaidah-Kaidah Tafsir | 161


4). Untuk menunjukkan banyak contohnya Q.S. al-Syûrâ/
26: 41

َ ‫ أَئِ َّن لَنَا ََل ْج ًرا إ ِْن ُكنَّا نَ ْح ُن الْ َغالِب‬...


‫ِين‬
…. "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang
besar jika kami adalah orang-orang yang menang?"

5). Untuk menghinakan atau merendahkan, contohnya


Q.S. al-Jâtsiyah/45: 32

.... ‫السا َع ُة إ ِْن نَ ُظ ُّن إ َِّل َظنًّا‬


َّ ‫ ُقـ ْلتُ ْم َما نَ ْدرِي َما‬...
… niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari
kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga
saja …."

6). Untuk menyudutkan, contoh Q.S. al-Tawbah/9: 72

َّ ‫ِض َوا ٌن ِم َن‬


.... ‫الل ِه أَ ْكَبـ ُر‬ ْ ‫ َور‬...
…dan keridlaan Allah adalah lebih besar…

Adapun bentuk isim ma’rifah adalah berfungsi untuk men­


jelaskan suatu isim yang sudah tertentu. Sedangkan yang
termasuk isim ma’rifah adalah:
1). Dhamîr. Adanya dhamir pada suatu isim, maka isim ter­
sebut menjadi ma’rifah

2). Al-’alam, contohnya Q.S. al-Fath/48: 29 dan QS al


Lahab/111:1

َّ ‫ول‬
.... ‫الل ِه‬ ُ ‫ُم َح َّم ٌد َر ُس‬
Muhammad adalah utusan Allah ....

‫تَـبَّ ْت يَ َدا أَبِي لَ َه ٍب َوتَ َّب‬


Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan dia akan binasa.

162 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Isim isyârah, contohnya Q.S. al-Baqarah/2: 2
3).

ُ َ‫َذلِ َك الْ ِكت‬


َ ‫اب َل َريْ َب ِفي ِه ُه ًدى لِ ْل ُمتَّ ِق‬
‫ين‬
Kitab (al-Qur`ân) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa.

4). Isim mawsûl contohnya QS al Baqarah/2: 3

َ ‫الص َل َة َوِممَّا َرَزْـقنَا ُه ْم ُـي ْن ِفق‬


‫ُون‬ َ ‫ون بِالْ َغ ْي ِب َويُ ِقي ُم‬
َّ ‫ون‬ َ ‫الَّ ِذ‬
َ ُ‫ين ُـي ْؤِمن‬
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang men­
dirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.

5). Isim yang diiringi al-mudhâf pada isim ma’rifah, contoh


Q.S. al-Baqarah/2: 19

‫ون أَ َصابِ َع ُه ْم ِفي‬


َ ‫ات َوَر ْع ٌد َوبَـ ْر ٌق يَ ْج َع ُل‬ َّ ‫أَ ْو َك َصيِّ ٍب ِم َن‬
ٌ ‫الس َما ِء ِفي ِه ُظ ُل َم‬
َ ‫يط بِالْ َكا ِفر‬
‫ِين‬ َّ ‫الص َوا ِع ِق َح َذ َر الْ َم ْو ِت َو‬
ٌ ‫الل ُه ُم ِح‬ َّ ‫ِم ِم َن‬
ْ ‫َءاذَانِه‬
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit
disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga­
nya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

Isim yang dima’rifahkan dengan nidâ’, contoh Q.S. al-


6).
Baqarah/2: 21

‫ُون‬ َ ‫َك ْم َوالَّ ِذ‬


َ ‫ين ِم ْن َقـ ْب ِل ُك ْم لَ َع َّل ُك ْم تَـَّتـق‬ ُ ‫َّك ُم الَّ ِذي َخ َلق‬
ُ ‫َّاس ا ْعبُ ُدوا َرب‬
ُ ‫يَاأَيُّـ َها الن‬
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

c). Mufrad dan Jamak


Mufrad adalah isim yang menunjukkan satu dan jamak
adalah isim yang menunjukkan jumlah tiga atau lebih.
Isim mufrad dalam al-Qur`ân bisa untuk menunjuk­
kan makna khusus dan isim jamak untuk menunjukkan

Kaidah-Kaidah Tafsir | 163


isyarat tertentu, bisa juga isim jamak yang tertulis tetapi
yang dimaksud adalah mufrad atau sebaliknya.
Di dalam al-Qur`ân juga terdapat isim mufrad dan isim
jamak disebutkan dalam bentuk berlawanan atau setara
satu sama lain.
1). Contoh bentuk berlawanan Q. S. al-Ahzâb/33: 43

.... ‫ات إِلَى النُّوِر‬ ُّ ‫ لِي ْخر َِج ُكم ِم َن‬...


ِ ‫الظ ُل َم‬ ْ ُ
…supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya
(yang terang) ....

2). Contoh bentuk setara Q. S. al-Nahl/16: 78

َْ ‫البْ َصا َر َو‬


.... ‫ال ْفئِ َد َة‬ َّ ‫ َو َج َع َل لَ ُك ُم‬...
َْ ‫الس ْم َع َو‬
…dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati
….

d). Isim Mutarâdif


Isim mutarâdif adalah isim yang mempunyai arti serupa
atau sama. Dalam al-Qur`ân terdapat beberapa kata yang
apabil dilihat sepintas maknanya seolah-olah sama, namun
bila diteliti secara cermat dan mendalam ternyata ter­
dapat perbedaan, sebagai contoh misalnya kata al-hasan,
al-khayr, al-shâlih, al-thayyib dan al-ma’rûf semua kata ter­
sebut mempunyai arti kebaikan. Setelah dikaji lebih
cermat dan mendalam, maka al-hasan adalah lawan kata
dari al-qubh (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, 1967, II: 67)
dan kata qubh artinya adalah sesuatu yang tidak sesuai
dengan pandangan mata dan suatu perbuatan maupun
hal ihwal yang tidak sesuai dengan hati nurani(Al-Râghib
al-Ashfahânî, 1992: 651). Kata al-hasan dalam kamus al-
Munawwir diartikan bagus, baik, cantik, elok dan indah
(Ahmad Warson Munawwir, 1984: 285) sebab kata-kata
itu adalah termasuk hal yang menyenangkan dan meng­

164 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


gembirakan serta sesuai dengan pandangan mata dan
hati nurani. Kata al-khair berarti condong dan cen­derung,
lawan kata al-syarr. Maksud al-khair adalah se­suatu yang
disenangi orang dan al-syarr adalah sesuatu yang tidak
disenangi setiap orang (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ,
1967, II: 232). Kata al khair juga berarti sesuatu yang se­
muanya disenangi seperti akal, keadilan, anugerah, dan
sesuatu yang bermanfaat (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1992:
300) atau dapat berarti kebaikan, faedah, harta benda atau
kekayaan, dan lebih baik (Ahmad Warson Munawwir,
1984: 408).Kata al-Shâlih lawan dari fasad (Ahmad bin Fâris
bin Zakariyâ, 1967, III: 302) dan fasad berarti keluarnya
sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak
(Al-Râghib al-Ashfahânî, 1992: 636). Kata al-shâlih juga
berarti orang yang masuknya pada sesuatu dalam kese­
imbangan,baik sedikit maupun banyak. Kata al-shâlih
menurut Ibrâhîm Anîs (II, 1972: 572) adalah bentuk isim
fâ’il berasal dari fi’il shalaha/shaluha - yashluhu yang berarti
tidak berbuat kerusakan. Jadi al-shâlih berarti orang yang
berbuat keseimbangan atau keadilan, baik sedikit mau­pun
banyak, dan tidak membuat kerusakan. Kata al-thayyib
merupakan lawan kata dari al-khabîts (Ahmad bin Fâris
bin Zakariyâ, 1967, III: 435). Kata al-khabîts berarti sesuatu
yang dibenci karena hina dan rendah (Al-Râghib al-
Ashfahânî, 1992: 272).Kata al-thayyib berarti sesuatu yang
dirasakan lezat oleh panca indera dan hati sanubari (Al-
Râghib al-Ashfahânî, 1992: 527). Kata al-ma’rûf merupakan
isim maf’ûl yang berasal dari ‘arafa yang berarti sesuatu
yang berturut-turut dan berhubungan antara satu sama
lain (Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, 1967, IV: 28), sehingga
al-ma’rûf berarti sesuatu yang diketahui kebaikannya, dari
segi akal dan syara’. maka dalam bahasa Indonesia, ber­
arti mengetahui. Kata al-ma’rûf yang dimaksudkan adalah
semua perbuatan yang diketahui kebaikannya, baik di­

Kaidah-Kaidah Tafsir | 165


tinjau dari akal maupun syara’, lawan katanya adalah
munkar yaitu sesuatu yang diingkari kebaikannya oleh
akal maupun syara’ (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1992: 561).
Contoh ayat yang menggunakan al-ma’rûf adalah Q.S.
Luqmân/31 :15

ِ ‫س لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم َف َل تُ ِط ْع ُه َما َو َص‬
‫احْبـ ُه َما ِفي‬ َ ‫اك َعلى أَ ْن تُ ْشر‬
َ ‫ِك بِي َما لَْي‬ َ ‫َوإ ِْن َجا َه َد‬
ُّ
.... ‫الدْنـيَا َم ْع ُروًفا‬
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan ma’rûf (baik) ….

dan contoh kata thayyib adalah Q.S. al-Baqarah/2; 168

.... ‫ض َح َل ًل َطيِّبًا‬ َْ ‫َّاس ُك ُلوا ِممَّا ِفي‬


ِ ‫ال ْر‬ ُ ‫يَاأَيُّـ َها الن‬
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi thayyib (baik) dari
apa yang terdapat di bumi….

Kata ma’rûf dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa anak


disuruh agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya se­
suai dengan kebaikan yang telah ia ketahui. Sedangkan
thayyib adalah sesuatu yang dirasakan lezat oleh panca
indera dan hati sanubari, berarti berhubungan dengan
makan­an yang baik.
e). Soal dan jawab
Bentuk soal dan jawab dalam al-Qur`ân, ada yang ber­
urutan langsung dalam arti ayat yang berikutnya merupa­
kan jawaban dari ayat yang sebelumnya dan jawaban
pada hakekatnya harus sesuai dengan pertanyaan sebe­
lum­­nya.
Contoh bentuk soal jawab adalah Q. S. al-Baqarah/2: 189

‫َّاس َوالْ َح ِّج‬ ُ ‫ ُق ْل ِه َي َم َوا ِق‬jawabannya adalah ‫ال ِه َّل ِة‬


ِ ‫يت لِلن‬ َْ ‫يَ ْسأَلُونَ َك َع ِن‬

166 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan ( ibadah) haji.

Contoh bentuk soal jawab yang lain adalah Q.S. al-


An’âm/6: 63 -64

‫يك ْم ِمْنـ َها َوِم ْن ُك ِّل َك ْر ٍب‬ َّ ‫ ُق ِل‬.…ِ‫ات الْ�ب ِّر َوالْب ْحر‬
ُ ‫الل ُه يُـنَ ِّج‬ ُ ‫ُق ْل َم ْن ُ�ينَ ِّج‬
َ َ ِ ‫يك ْم ِم ْن ُظ ُل َم‬
Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
bencana di darat dan di laut …. Katakanlah: "Allah menyelamatkan
kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan,
kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya."

4. Kaidah Ushûl
Kata ushûl berasal dari kata ashl yang berarti asas(Ahmad
Warson Munawwir, 1984: 30). Adapun yang dimaksud dengan
ushûl adalah metode-metode yang menjelaskan tentang jalan
agar dapat memberikan pemahaman dalam mengeluarkan
hukum-hukum dari dalil-dalilnya(Muhammad Abû Zahrah,
1958: 7). Kaidah ushûl menjadi penting, karena dengan kaidah
ushûl ini seseorang dapat mengistimbathkan hukum-hukum
dari ayat-ayat al-Qur`ân.
Berkaitan dengan kaidah ushul ada hal-hal yang perlu
kita cermati, antara lain sebagai berikut :
a). Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah apa yang menunjukkan pada satu topik
tanpa dikaitkan dengan kaitan apapun (Abdul Wahhâb
al-Khalâf, 1978: 192) atau Mutlaq adalah lafal yang me­
nunjukkan pada topik tanpa ada ikatan, penghimpunan
atau sifat (Muhammad Abû Zahrah, 1958: 7). Sedangkan
muqayyad adalah apa yang menunjukkan kepada suatu
kata yang dikaitkan dengan lafal dengan kaitan apa saja
(Abdul Wahhâb al-Khalâf, 1978: 192) atau suatu lafal
yang menunjukkan kepada sesuatu yang ada ikatannya
(Muham­mad Abû Zahrah, 1958: 7).

Kaidah-Kaidah Tafsir | 167


Contoh Mutlaq adalah Q. S. al-Mujâdilah/58: 3

‫ون لِ َما َقالُوا َفـتَ ْح ِر ُير َرَقـبَ ٍة ِم ْن َقـ ْب ِل‬


َ ‫ُم يَـ ُعوُد‬ ْ ‫ون ِم ْن نِ َسائِه‬
َّ ‫ِم ث‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
َ ‫ين يُ َظا ِه ُر‬
.... ‫اسا‬ َّ ‫أَ ْن يَـتَ َم‬
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itu bercampur.

Kata ‫( رَقـبَ ٍة‬raqabah) dalam ayat tersebut mutlaq, sebab kata


itu tidak ada ikatan, batasan atau tidak dikaitkan dengan
sesuatu apapun juga.
Contoh muqayyad adalah Q. S. al-Mujâdilah/58: 4

َّ ‫َف َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد َف ِصيَا ُم َش ْه َريْ ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ِم ْن َقـ ْب ِل أَ ْن يَـتَ َم‬


.... ‫اسا‬
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atas­
nya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya ber­
campur….

Kata ‫ي‬ ِ ْ ‫( َش ْه َريْ ِن ُمتَتَابِ َع‬syahrayn mutatâbi’ain) dalam ayat ter­


sebut muqayyad, sebab lafal syahrayn dibatasi dengan
mutatabi’ain yang berarti dilaksanakan dua bulan berturut-
turut.
b). ‘Âm dan Khâs
Yang dimaksud ‘Âm adalah ditempatkan secara bahasa
mencakup secara keseluruhan dan berlaku untuk semua
individu (Abdul Wahhâb al-Khalâf, 1978: 181). Sedang
khâs adalah lafal yang dipergunakan untuk menunjukkan
pada seseorang (Abdul Wahhâb al-Khalâf, 1978: 191).
Pembicaraan dalam masalah ‘am dan khâs terdapat
kaidah yang berbunyi:

‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬


(al-‘ibratu bi ‘umûm al-Lafzh lâ bi khushûsh a-sabab)

168 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Perlu diketahui bahwa lafal dalam al-Qur`ân diturun­
kan dalam rangka memberi jawaban atas permasalahan
atau merupakan sebab dari suatu peristiwa yang terjadi
(Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm Al-Zarqâni, I, 1988: 123),
namun harus diketahui bahwa al-Qur`ân merupakan pe­
tunjuk bagi seluruh umat manusia maka walaupun turun­
nya ayat-ayat al-Qur`ân itu karena menjawab suatu per­
masalahan tertentu, tetapi lafalnya harus dipakai untuk
pengertian umum. Sebagai contoh dalam firman Allah Q.
S. al-Nûr/24: 6

ُ ‫اج ُه ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ْم ُش َه َدا ُء إ َِّل أَْنـف‬


‫ُس ُه ْم َف َش َها َد ُة أَ َح ِد ِه ْم أَ ْربَ ُع‬ َ ‫ون أَ ْزَو‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
َ ‫ين يَـ ْرُم‬
َ ‫الصا ِد ِق‬
‫ين‬ َّ ‫ات ب‬
َّ ‫ِالل ِه إِنَّ ُه لَ ِم َن‬ ٍ ‫َش َها َد‬
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri,
maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

Ayat tersebut diturunkan dengan sebab Hilal menuduh


istrinya berzina. Dengan demikian sebab turun ayat ini
bersifat khusus, namun ayat tersebut menggunakan lafal
alladzîna yang bersifat umum. Dengan demikian ayat ter­
sebut berlaku bagi semua orang dalam masalah hukum
li’ân.
c). Manthûq dan Mafhûm
Manthûq yaitu pengertian yang ditunjuk oleh lafal yang
ada di tempat pengucapannya. Sedangkan mafhûm adalah
pengertian yang ditunjuk oleh lafal tidak berada pada
tempat pengucapannya (Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin
Abî Bakr al-Suyûthî, II, T.th.: 88 – 89).
Contohnya adalah firman Allah Q. S. al-Isrâ`/17: 23

ْ ‫ُّك أََّل تَـ ْعبُ ُدوا إ َِّل إِيَّا ُه َوبِالْ َوالِ َديْ ِن إ‬
‫ِح َسانًا إِمَّا يَـْبـ ُل َغ َّن ِع ْن َد َك الْ ِكَبـ َر أَ َح ُد ُه َما‬ َ ‫َوَق َضى َرب‬
‫ُل لَ ُه َما أُ ٍّف َوَل َـتْـن َه ْرُه َما َوُق ْل لَ ُه َما َـق ْوًل َكرِي ًما‬ ْ ‫أَ ْو ِك َل ُه َما َف َل َـتق‬

Kaidah-Kaidah Tafsir | 169


Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan me­
nyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara ke­
dua­nya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam peme­
liharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Pengetian manthûq dalam ayat tersebut yaitu adanya la­


rangan mengatakan ‫ف‬ ٍّ ُ‫( أ‬uffin) atau “ah” pada kedua orang
tua. Sedangkan pengertian mafhûmnya adalah adanya larang­
an melakukan perbuatan yang melebihi kata-kata uffin yaitu
larangan memukul dan menyiksa orang tua.

5. Kaidah Ilmu Pengetahuan


Al-Qur`ân memerintahkan setiap orang agar berfikir, maka
tentunya setiap orang akan menggunakan akal fikirannya
antara lain berdasarkan ilmu pengetahuan (M. Quraish Shihab,
1992: 80). Ciri khas yang nyata dari ilmu pengetahuan adalah
bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap
salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di
abad modern.
Dengan keterangan di atas menunjukkan bahwa pemi­
kiran seorang dapat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu dalam menafsirkan al-Qur`ân
perlu adanya kaidah ilmu pengetahuan.
Adapun kaidah ilmu pengetahuan, secara garis besar bisa
dijelaskan sebagai berikut:
a. Ilmu Balaghah
Dalam ilmu balaghah, mencakup tiga masalah ilmu yaitu
ma’âni, bayân dan badî’.
Ilmu ma’âni adalah ilmu untuk mengetahui hal ihwal
lafal bahasa Arab yang sesuai dengan situasi dan kondisi
(Hifni Bik Nashif, t.th.: 107).

170 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


Ilmu bayân adalah ilmu yang membahas masalah
tasybîh, majâz dan kinâyah (Hifni Bik Nashif, t.th.: 123).
Ilmu badî’ adalah ilmu untuk mengetahui aspek ke­
indahan kalimat yang sesuai dengan keadaan (Hifni Bik
Nashif, t.th.: 132).
b. Ilmu Qira`ât
Ilmu qira`ât adalah ilmu untuk mengetahui cara-cara
mengucapkan atau melafalkan al-Qur`ân.
c. Ilmu Ushûluddin
Ilmu Ushûluddin adalah ilmu untuk mengetahui tentang
pokok-pokok agama.
d. Ilmu Asbâb al Nuzûl
Ilmu Asbâb al Nuzûl adalah pengetahuan yang berhubung­
an dengan sebab-sebab turunnya ayat al-Qur`ân. Dengan
mengetahui Asbâb Nuzûl ayat-ayat al-Qur`ân akan lebih
mudah dipahami artinya, dan dipahami maknanya, serta
menghilangkan keragu-raguan dalam menafsirkan al-
Qur`ân.
e. Ilmu Qishash
Ilmu Qishash adalah ilmu untuk mengetahui tentang
kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu sebagai penje­
lasan yang bersifat umum dalam al-Qur`ân.
f. Ilmu Nâsikh Mansûkh
Ilmu Nâsikh Mansûkh adalah ilmu untuk mengetahui ayat-
ayat yang mengganti dan yang diganti.
g. Ilmu penunjang lainnya
Ilmu penunjang lainnya yang dimaksud adalah penge­
tahuan tentang perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan.

Pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam pe­


nafsiran ayat-ayat al-Qur`ân harus dibatasi (M. Quraish Shihab,
1992: 81). Hal itu menunjukkan bahwa dalam penafsiran ayat-
ayat al-Qur`ân perlu ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian.

Kaidah-Kaidah Tafsir | 171


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`ân, (Malaysia: Sakhr, 1997).


Anîs, Ibrâhîm et.all, al-Mu’jam al-Wasîth, I, ( Kairo: T.p., 1972).
’Arafah, ’Abd al-Azîz ’Abd al-Mu’thi, (Beirut: ’Alim al-Kutub,
1985).
Al-‘Âridh, ‘Ali Hasan, Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij, terj
Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodogi Tafsir, (Jakarta:
Rajawali, 1992).
Al-Ashfahânî, Al-Râghib, Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Damsyiq:
Dâr al-Qalam, 1992).
Asrori, Tafsir Al-Asraar, (Yogyakarta: Darkuti Offset, 2012).
Al-Ba’labakkî , Munir, al-Mawrid, (Beirut: Dâr al-’Ilmi li al-
Malâyîn, 1974).
Al-Bukhâri, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim, Shahih al-Bukahri, (Malaysila, Shakhr, 1977).
Al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
juz I, III, (Mesir: Dâr al-Kutub al-Hadîts, 1961).
Al-Farmawî, ’Abd al-Hayy, Muqaddimah fi al-Tafsîr al-Mawdhû’i,
(Mesir: T.P, 1988).
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999).
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta:
Penerbit Teraju, 2004).
Ibn Katsîr, Ismâ`îl, Tafsîr al-Qur`ân al-’Azhîm, (Malaysia: Sakhr,
1997).
Ibn Zakariyâ, Ahmad bin Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah,I, II,
III, IV, V, VI, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1967).
Ibrâhîm, Ismâ’îl, al-Qur`ân wa I’jâzuh al-’Ilmi, (Kairo: Dâr al-
Fîkr al-‘Arabî, T.th.).

173
al-Jârim, ‘Alî dan Amîn , Mushthafâ, al-Nahw al-Wadhih, II,
(Mesir: T.p, T.th.).
Mahmûd bin Syarîf, al-Amtsâl fî al-Qur`ân, ( Mesir: Dâr al-
Ma’ârif, 1965)
Muhsin, Sâlim, Târîkh al-Qur`ân al-Karîm, (Madînah: Muassasah
Syabâb al-Jâmi’ah, T.th.).
Madjid, Nurcholis, Masalah Simbol dan Simbolisme Dalam
Ekspresi Keagamaan. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.).
Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fi ’Ulum al-Qur`ân, ( T.Tp.:
Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).
Mûsâ, Kâmil dan Dahrûj, ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur`ân,
(Bairut: Silisilah al-‘Ulûm al-Qur`âniyah, 1992)
Nashif, Hifni Bik, Qawaid al-lughah al-‘Arabiyah, II, (Surabaya:
Al-Makatabah Siqafiyah, T.th.)
Al-Nisâbûrî, Asbâb al-Nuzul, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988)
Quthub, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur`ân, XIV, (Beirut: Ihyâ’ al-
Turâts al-‘Arabi, 1967).
Al-Râfi’i, Mushthafâ Shâdiq, I’Jâz al-Qur`ân, I, (Beirut: Dâr al-
Fikr, t.t.)
Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Damsyiq:
Dâr al-Qalam, 1992).
Râsyid Ridhâ, Muhammad, Tafsîr al-Qur`ân al-Hakîm, III, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, t.t..)
Al-Sa’âdi, ‘Abd al-Rahmân Nâshir, al-Qawâid al-Hisân li Tafsir
al-Qur`ân, (Riyâdh: al-Ma’ârif, t.t.)
Shaleh, Qamaruddin dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung:
Diponegoro, 1993)
Al-Shabûni, Muhammad ‘Ali, Al-Tibyân fî ’Ulûm Al-Qur`ân,
(Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, 1390)
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`ân, (Bandung: Mizan,
1992)
______________, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada
Sastra dan Budaya, dan Kemasyarakatn, (Ujung Pandang:
IAIN Alauddin, 1984)
______________, Mukjizat al-Qur`ân, Ditinjau Dari Aspek Keba­
hasaan, Isyarat Ilmiyah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung:
Mizan, 1997)

174 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.


______________, Metode Penyusunan Tafsîr yang Berorientasi
pad Sastra, Budaya, dan Kemasyarakatan , (Ujung Pandang:
IAIN Alauddin, 1984)
______________, Tafsîr al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur`ân, Volume 1, 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
______________, Tafsîr al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur`ân, volume 6,7, 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
al-Syâthibî, al-Muwafaqât fî Ushûl al-Syarî’ât, III, (Beirût: Dâr al-
Ma’ârif, 1975)
Syaltût, Mahmûd, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. (T.Tp.: Dâr al-
Qalam, 1966)
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakr, Lubâb
al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh
al-Hadîtsah, t.t.)
______________, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, I, (Al-Qâhirah:
Mushthafâ al-Bâbi al-Halabî, 1987)
Yahya, Mukhtar, dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan
Fikih Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986).
Al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allâh, al-
Burhan fi ‘Ulum al-Qur`ân, I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988)
Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Irfân fi
‘Ulum al-Qur`ân, I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988).
Jalâluddîn Muhammad bin Ahmad Al Mahallî dan Jalâluddîn
Abdur Rahmân Abî Bakar al- Suyûtî , Tafsîr Al Qur’ân Al
Adzîm , (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1991).
Ibrahim, Sulaiman. Hermeneutika Teks; Sebuah Wacana dalam
Metode Tafsir Alquran. Hunafa: Jurnal Studi Islamika (Vol.
11, No.1, Juni 2014: 2341).
Mu’ammar, M. Arfan & Hasan, Abdul Wahid. Cet II 2013. Studi
Islam Perspektif Insider/Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD.
Mulyono, Edi, dkk. Cet. II 2013. Belajar Hermeneutika; Dari
Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogya­
karta: IRCiSoD.
Mustaqim Abdul. Cet III 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta: LKiS.
Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron, ed. 2002. Studi Al­
quran Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

‘Ulûm Al-Qur`Ân
Daftar Pustaka | 175
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Alquran.
Ciputat: Lentera Hati.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.

176 | Prof. Dr. B u d i h a r d j o M.Ag.

Anda mungkin juga menyukai