Anda di halaman 1dari 56

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

WHO telah menyatakan tuberkulosis sebagai emerging disease, karena

angka kejadiannya yang terus meningkat sejak tahun 2000. Angka kejadian

tuberkulosis di Indonesia juga terus meningkat. Berdasarkan Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, tuberkulosis merupakan penyebab kematian

nomor dua setelah penyakit jantung (Kardiyudiani dan Susanti, 2019).

Pada tahun 2016 secara global terdapat 10.4 juta kasus insiden TBC yang

setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk, dimana Indonesia masuk dalam

lima negara dengan insiden kasus tertinggi yang terdiri atas negara India,

Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Selain itu, Indonesia juga termasuk

dalam negara dengan beban tinggi/ high burden countries (HBC) untuk TBC

berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Indonesia

bersama 13 negara masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator, sehingga

Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit. (Kemenkes

RI, 2018)

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI 2018, angka

notifikasi kasus/case notification rate (CNR) yang merupakan jumlah semua

kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di

suatu wilayah tertentu, apabila dikumpulkan menggambarkan kecenderungan


2

meningkat dari tahun 2016 hingga 2017. Pada tahun 2016 CNR per 100.000

penduduk di

Indonesia sebesar 139, sedangkan pada tahun 2017 mengalami

peningkatan menjadi 161 per 100.000 penduduk di Indonesia. Untuk wilayah

Jawa Timur, berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2017 angka

notifkasi kasus juga mengalami peningkatan dari tahun 2016 hingga 2017, dimana

pada tahun 2016 diperoleh CNR sebesar 127 per 100.000 penduduk dan tahun

2017 sebesar 139 per 100.000 penduduk.

Menurut Data Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban 2016, CNR seluruh

kasus TB sebesar 86,41% per 100.000 penduduk, mengalami peningkatan dari

tahun 2015 dengan CNR 75,11% per 100.000. Sedangkan berdasarkan data Dinas

Kesehatan Kabupaten Tuban, Puskesmas Palang mengalami peningkatan yang

signifikan pada tahun 2018, dimana pada tahun 2016 ditemukan kasus TB yang

ditangani sebesar 59 orang, tahun 2017 sebesar 59 orang dan pada tahun 2018

sebesar 73 orang.

TB dapat diderita oleh semua orang, namun penyakit ini berkembang pesat

pada orang yang hidup dalam kemiskinan, kelompok terpinggirkan, dan populasi

rentan lainnya. Penyebab utama TB meningkat antara lain karena : a) kemiskinan

pada kelompok masyarakat negara yang sedang berkembang, b) tidak

memadainya komitmen politik dan pendanaan serta tidak memadainya organisasi

pelayanan TB, tidak memadainya tatalaksana kasus, salah persepsi terhadap

manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara

yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat, c) perubahan


3

demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur

kependudukan, d) dampak pendemik HIV (Manalu Helper, 2010). Hal tersebut

didukung dengan data Susenas 2017, dimana Indonesia dengan kepadatan

penduduk sebesar 136,9 per km2 dengan jumlah penduduk miskin pada September

2017 sebesar 10,12% (Kemenkes RI, 2018).

Selain itu, derajat kesehatan juga mempengaruhi berkembangnya penyakit

tuberkulosis. Derajat kesehatan terdiri atas beberapa faktor, yaitu lingkungan,

perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor yang memiliki pengaruh

besar adalah faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang dapat merugikan

bagi kesehatan. Faktor lingkungan meliputi ventilasi, kepadatan hunian, suhu,

pencahayaan, dan kelembapan. Sedangkan faktor perilaku meliputi kebiasaan

merokok, meludah atau membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin

tidak menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka jendela. (Wulandari A .A,

dkk., 2015)

Untuk menanggulangi meningkatnya TB, pemerintah memiliki upaya

pencegahan dan pengendalian pada faktor risiko TB dengan cara: Membudayakan

perilaku hidup bersih dan sehat; membudayakan perilaku etika berbatuk,

melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya

sesuai dengan standar rumah sehat; peningkatan daya tahan tubuh; penanganan

penyakit penyerta TBC; penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan

(Kemenkes RI, 2018)


4

Sebagai tenaga kesehatan harus mampu menerapkan progam tersebut,

dimana kita mampu bergerak dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan

rehailitatif. Promotif dapat dilakukan dengan mengajarkan perilaku hidup bersih

dan sehat, preventif dapat dilakukan berupa peningkatan daya tahan tubuh dan

mengajarkan etika berbatuk yang benar, serta pemeliharaan lingkungan. Upaya

kuratif yaitu dengan mensukseskan OAT untuk kesembuhan penderita TB, dan

tahap rehabilitative yaitu dengan berperilaku hidup sehat dan menghindari

pencetus dari penyakit tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat dirumuskan pertanyaan

penilitian sebagai berikut : Bagaimana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Pada

Klien dengan Tuberculosis (TBC) Paru di Puskesmas Palang Kecamatan Palang

Kabupaten Tuban?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan Asuhan Keperawatan Pada klien Tuberculosis (TBC)

Paru di wilayah kerja Puskesmas Palang Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengkaji klien dengan Tuberculosis (TBC) Paru

2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Tuberculosis (TBC)

Paru
5

3. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien dengan Tuberculosis (TBC)

Paru

4. Melaksanakan intervensi keperawatan pada klien dengan dengan Tuberculosis

(TBC) Paru

5. Mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan dengan

Tuberculosis (TBC) Paru

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

1 Ikut serta memberikan masukan ilmu pengetahuan dan pengalaman khususnya

pada dunia keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien

dengan Tuberculosis (TBC) Paru.

2 Menambah wawasan bagi peneliti mengenai pengetahuan asuhan keperawatan

pada klien dengan Tuberculosis (TBC) Paru.

3 Mengembangkan kemampuan peneliti dalam mengaplikasikan

pengetahuannya dalam masalah nyata yang ada di masyarakat.

1.4.2 Bagi Tempat Penelitian

1. Dapat memberikan masukan pada tempat penelitian dalam pemberian asuhan

keperawatan pada klien dengan Tuberculosis (TBC) paru.

2. Dapat digunakan sebagai sebagai bahan masukan untuk mempertimbangkan

dan evaluasi dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan

khususnya pada klien dengan Tuberculosis (TBC) Paru di Puskesmas Palang

Kecamatan Palang Kabupaten Tuban


6

1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan

informasi agar dapat mengembangkan penelitian selanjutnya tentang klien

dengan Tuberculosis (TBC) paru.

2. Memberikan masukan kepada ilmu keperawatan dalam melakukan asuhan

keperawatan secara nyata dengan menggunakan metode proses keperawatan

secara professional.

3. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memecahkan masalah

keperawatan.
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi

kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu

pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis

paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan

20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar. Diperkirakan bahwa

sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. tuberculosis (Djojodibroto,

2009).

Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit

ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan

nodus limfe (Somantri Irman, 2007).

Tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan

melalui udara (airbone). Pada hampir semua kasus, infeksi tuberculosis didapat

melalui inhalasi partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 µm). Droplet

dikeluarkan selama batuk, tertawa, bersin. Nucleus yang terinfeksi kemudian

terhirup oleh individu yang rentan (hospes). Sebelum infeksi pulmonari dapat
8

terjadi, organisme yang terhirup terlebih dahulu harus melawan mekanisme

pertahanan paru dan masuk jaringan paru (Asih Niluh Gede Y., 2003).

2.1.2 Klasifikasi

Tuberkulosis pada manusia ditemukan dalam dua bentuk, yaitu:

1. Tuberkulosis primer, jika terjadi pada infeksi yang pertama kali

2. Tuberkulosis sekunder, kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan

aktif setelah bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi

tuberculosis dewasa. Mayoritas terjadi karena adanya penurunan imunitas,

misalnya karena malnutrisi, penggunaan alcohol, penyakit maligna, diabetes,

AIDS, dan gagal ginjal (Somantri Irman, 2009).

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) :

1. Tuberculosis paru. Tuberculosis paru adalah tuberculosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan

kelenjar pada hilus.

2. Tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar limfe, tulang, persendian, kuliy, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

Klien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB

paru.
9

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberculosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.

d. 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak

ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negative

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria

diagnostic TB paru BTA negative harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative.

b. Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian anibiotika non OAT, bagi

pasien dengan HIV negative.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


10

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa

positif atau negative.

2. Kasus yang sebelumnya diobati

a. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

b. Kasus setelah putus berobat (default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.

c. Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

3. Kasus pindahan (transfer in)

Adalah pasien yang dipindahkan register lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

4. Kasus lain :

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti :

a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya.


11

b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya.

c. Kembali diobati dengan BTA negative.

(Kemenkes RI, 2011)

2.1.3 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri

atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-

0,6 µm. sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan

terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini

adalah aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang

memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apical/apeks paru. Daerah ini menjadi

predileksi pada penyakit tuberkulosis (Somantri Irman, 2009).

2.1.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan penyakit TB adalah sebagai berikut.

1. Faktor Umur

Insiden tertinggi tuberculosis paru-paru biasanya mengenai usia

dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah

kelompok usia produktif, yaitu 15-50 tahun.

2. Faktor Jenis Kelamin

TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru.


12

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan

seseorang, di antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB paru sehingga dengan pengetahuan yang cukup,

maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan

sehat. Selain itu, tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap

jenis pekerjaannya.

4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan fakto risiko apa yang harus dihadapi

setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan

partikel debu di daerah terpapar akan memengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran pernapasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan

morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernapasan dan

umumnya TB paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga memengaruhi pendapatan keluarga

yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari di antara

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan. Selain itu, akan memengaruhi

kepemilikan rumah (konstruksi rumah).

Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah UMR akan

mengonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan

bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan

akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi, di antaranya TB paru.

Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang


13

kurang, maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat

kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB

paru.

5. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko

untuk mendapat kanker paru-paru, penyakit jantung coroner, bronkitis kronis,

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena

TB paru sebanyak 2,2 kali.

Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari

50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.

Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya

infeksi TB paru

6. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak

sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila

salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular

kepada anggota keluarga yang lain.

7. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas

jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik

atau kurang leluasa, dapat dipasang genting kaca. Cahaya ini sangat penting
14

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya

basil TB. Oleh karena itu, rumh yang sehat harus mempunyai jalan masuk

cahaya yang cukup.

Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi

lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama

apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman

dalam waktu yang lebih cepat daripada yang melalui kaca berwarna.

Penularan kuman TB paru relative tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar

matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur, risiko

penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

8. Ventilasi

Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi

akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah. Di samping itu,

kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara di dalam ruangan

naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembapan ini akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-

bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

9. Kondisi Rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan

penyakit TB. Atap, dinding, dan lantai dapat menjadi tempat

perkembangbiakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan akan


15

menyebabkan penumpukan debu sehingga akan dijadikan sebagai media yang

baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycobacterium tuberculosa.

10. Kelembapan Udara

Kelembapan udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,

dimana kelembapan yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar

22°C -30°C. Kuman TB paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari

langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang

gelap dan lembap.

11. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang

mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita TB paru berat dibandingkan

dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada

seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respons

immunologik terhadap penyakit.

12. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikn, keadaan

sanitasi lingkungan, gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan

pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam

memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status

gizi. Apabila status gizi buruk, akan menyebabkan kekebalan tubuh menurun

sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru.


16

13. Perilaku

Perilaku terdiri atas pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan

penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya, dan cara

pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit

dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya

(Suryo Joko, 2010).

2.1.5 Patofisiologi

Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M. tuberculosis. Bakteri

menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat

bertumpuk. Perkembangan M. tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area

lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memberikan

respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan

aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis

menghancurkan (melisiskan) basil dari jaringan normal. Reaksi jaringan ini

mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan

bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu

setelah terpapar bakteri.

Interaksi antara M. tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa

awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.

Granuloma terdisi atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh

makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa

jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi

yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya
17

membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal

ini akan menjadi kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian

bakteri menjadi nonaktif.

Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka

penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat

infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif.

Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan

membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,

mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan

seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini

berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan

10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang

dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda,

kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh

tuberkel (Somantri Irman, 2007).


18

Pathway
19

Gambar 2.1 Pathway TB Paru

(Nurarif A. H. dan Kusuma H., 2016)

2.1.6 Manifestasi Klinis

Pada banyak individu yang terinfeksi tuberkulosis adalah asimptomatis.

Pada individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap sehingga gejala

tersebut tidak dikenali sampai penyakit telah masuk tahap lanjut. Bagaimanapun,

gejala dapat timbul pada individu yang mengalami imunosupresif dalam beberapa

minggu setelah terpajan oleh basil. Manifestasi klinis yang umum termasuk

keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan nafsu makan),

dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari, berkeringat malam dan

ansietas umum sering tampak. Dyspnea, nyeri dada, dan hemoptysis adalah

temuan yang umum (Asih Niluh Gede Y., 2003).

2.1.7 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Medis

Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga

bagian, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active case

finding).
20

Pencegahan Tuberkulosis Paru

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul

erat dengan penderita tuberculosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi

tes tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif, maka

pemeriksaan radiologis. Bila tes tuberculin positif, maka pemeriksaan

radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih

negative, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi

hasil tes tuberculin dan diberikan kemoprofilaksis.

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok

populasi tertentu.

3. Vaksinasi BCG.

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12

bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri

yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi

yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis

sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:

a) Bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberculin positif karena

risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB,

b) Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tuberculin positif

yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular,

c) Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberculin dari negative

menjadi positif,
21

d) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif

jangka panjang,

e) Penderita diabetes mellitus.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis

kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit

oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan

Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia - PPTI).

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga

untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta

memutuskan mata rantai penularan. Untuk pentalaksanaan pengobatan

tuberculosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk

diketahui.

Mekanisme Kerja Obat Anti-Tuberkulosis (OAT)

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

a) Ektraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan

Streptomisin (S),

b) Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid

(INH),
22

2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)

a) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniaid

b) Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan

Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid

(Z),

3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

a) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam

para-amino salisilik (PAS), dan sikloserine,

b) Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid

dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif

(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri

atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai

dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,

Streptomisin, dan Etambutol (Depkkes RI, 2004).

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih

dahulu berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan

bakteriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping

itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal

sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).

DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu:
23

1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan

dalam penanggulangan TB,

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung,

sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis

dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana

tersebut,

3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan

langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua

bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari,

4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.

5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada

urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi

dalam empat kategori sebagai berikut.

1. Kategori I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita

dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan

neurologis, dan penderita dengan sputum negative tetapi kelainan parunya

luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya.

Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua

bulan. Bila selama dua bulan sputum menjadi negative, maka dimulai fase
24

lanjutan. Bila setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif

diperpanjang 2-4 minggu lagi (dalam program P2TB Depkes diberikan 1

bulan dan dikenal sebagai obat sisipan), kemudian diteruskan dengan fase

lanjutan tanpa melihat apakah sputum sudah negative atau belum. Fase

lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis, TB milier,

spondiolitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan diberikan lebih lama,

yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan. Sebagi panduan alternative

pada fase lanjutan ialah 6 HE.

2. Kategori II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap

positif. Fase intensif dalam bentuk 2HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase

intensif sputum menjadi negative, baru diteruskan ke fase lanjutan. Bila

setelah tiga bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang

1 bulan lagi dengan HRZE (juga dikenal sebagai obat sisipan). Bila setelah

empat bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari.

Kemudian, periksa biakan dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan

dengan fase lanjutan.

Bila penderita mempunyai data resisten sebelumnya dan ternyata

bakteri masih sensitive terhadap semua obat dan setelah fase intensif sputum

menjadi negative maka fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan

pengawasan ketat. Bila data menunjukkan resisten terhadap H atau R, maka

fase lanjutan harus diawasi dengan ketat. Tetapi jika data menunjukkan

resisten terhadap H dan R, maka kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil.


25

Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila dapat dilakukan pengawasan atau 5 HRE

bila tidak dapat dilakukan pengawasan.

3. Kategori III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan

parunya tidak meluas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam

kategori I. Pengobatan yang diberikan:

2 HRZ/6 HE

2 HRZ/4 HR

2 HRZ/4 H3R3

4. Kategori IV

Kategori IV adalah tuberculosis kronis. Prioritas pengobatan rendah

karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk negara

kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur

hidup. Untuk negara maju atau pengobatan secara idividu (penderita mampu),

dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua

seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan

sebagainya (Muttaqin Arif, 2014).

Tabel 2.1 Panduan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Rekomendasi Dosis
(mg/kgBB)
Obat anti-TB
Aksi Potensi
Esensial Per Minggu
Per Hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
26

Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15


Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45
(Muttaqin Arif, 2014)
Penatalaksanaan yang diberikan bisa berupa metode preventif dan

kuratif yang meliputi cara-cara seperti berikut ini.

1. Penyuluhan

2. Pencegahan

3. Pemberian obat-obatan, seperti:

a) OAT (Obat Anti-Tuberkulosis);

b) Bronkodilator;

c) Ekspektoran;

d) OBH; dan

e) Vitamin.

4. Fisioterapi dan rehabilitasi

5. Konsultasi secara teratur

(Somantri Irman, 2009)

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Meningkatkan Bersihan Jalan Napas

a. Dorong peningkatan asupan cairan

b. Ajarkan tentang posisi terbaik untuk memfasilitasi drainase.

Dukung Kepatuhan Terhadap Regimen Terapi

a. Jelaskan bahwa TB adalah penyakit menular dan bahwa meminum

obat adalah cara paling efektif dalam mencegah transmisi.


27

b. Jelaskan tentang medikasi, jadwal, dan efek samping; pantau efek

samping obat anti-TB.

c. Instruksikan tentang risiko resistensi obat jika regimen medicasi tidak

dijalankan dengan ketat dan berkelanjutan.

d. Pantau tanda-tanda vital dengan saksama dan observasi suhu atau

perubahan status klinis pasien.

e. Ajarkan pemberi asuhan bagi pasien yang tidak dirawat inap untuk

memantau suhu tubuh dan status pernapasan pasien; laporkan setiap

perubahan pada pernapasan pasien ke tenaga kesehatan primer.

Meningkatkan Aktivitas dan Nutrisi yang Adekuat

a. Renacanakan jadwal aktivitas progresif bersama pasien untuk

meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dan kekuatan otot.

b. Susun rencana pelengkap (komplementer) untuk meningkatkan nutrisi

yang adekuat. Regimen nutrisi makanan dalam porsi sedikit namun

sering dan suplemen nutrisi mungkin bermanfaat dalam memenuhi

kebutuhan kalori harian.

c. Identifikasi fasilitas (misalnya, tempat penampungan, dapur umum,

Meals on Wheels) yang menyediakan makanan di lingkungan tempat

tinggal pasien dapat meningkatkan kemungkinan pasien dengan

sumber daya dan energy terbatas untuk memperoleh asupan yang lebih

bernutrisi.

Mencegah Penyebaran Infeksi TB


28

a. Jelaskan dengan perlahan kepada pasien tentang tindakan kebersihan

yang penting dilakukan, termasuk perawatan mulut, menutup mulut

dan hidung ketika batuk dan bersin, membuang tisu dengan benar, dan

mencuci tangan.

b. Laporkan setiap kasus TB ke departemen kesehatan sehigga orang

yang pernah kontak dengan pasien yang terinfeksi selama stadium

menular dapat menjalani skrining dan kemungkinan terapi, jika

diindikasikan.

c. Informasikan pasien mengenai risiko menularkan TB ke bagian tubuh

lain (penyebaran atau perluasan infeksi TB ke lokasi lain selain paru

pada tubuh dikenal sebagai TB miliar).

d. Pantau pasien secara cermat untuk mengetahui adanta TB miliar:

Pantau tanda-tanda vital dan pantau lonjakan suhu tubuh serta

perubahan fungsi ginjal dan kognitif; beberapa tanda fisik dapat

diperlihatkan pada pemeriksaan fisik dada, tetapi pada stadium ini

pasien mengalami batuk hebat dan dyspnea. Penanganan TB miliar

sama seperti penanganan untuk TB pulmonal. (Brunner & Suddarth,

2013)

2.1.8 Komplikasi

Tanpa pengobatan, tuberculosis bisa berakibat fatal. Penyakit

aktif yang tidak diobati biasanya menyerang paru-paru, tetapi bisa

menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran darah. Komplikasi

tuberculosis meliputi:
29

1) Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan merupakan

gejala komplikasi tuberculosis yang umum terjadi pada setiap

penderita penyakit ini.

2) Kerusakan sendi. Atritis tuberculosis biasanya menyerang pinggul

dan lutut.

3) Infeksi pada meningen (meningitis). Hal ini dapat menyebabkan

sakit kepala yang berlangsung lama atau intermiten yang terjadi

selama berminggu-minggu.

4) Masalah hati atau ginjal. Hati dan ginjal membantu menyaring

limbah dan kotoran dari aliran darah. Fungsi ini menjadi terganggu

jika hati atau ginjal terkena tuberculosis.

5) Gangguan jantung. Meskipun jarang terjadi, tuberculosis dapat

menginfeksi jaringan yang mengelilingi jantung, menyebabkan

pembengkakan, dan tumpukan cairan yang dapat mengganggu

kemampuan jantung untuk memompa secara efektif. (Kardiyudiani

dan Susanti, 2019)

2.1.9 Pencegahan

Pencegahan terhadap infeksi TBC dapat dilakukan dengan berbagai cara

antara lain menghidari ruangan tertutup dengan ventilasi udara ruangan yang

kurang, menggunakan tutup mulut dan masker apabila akan berkontak atau masuk

ke lingkungan yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi TBC dan melalukan

vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG). Vaksinasi dapat mencegah M.

tuberculosis di dalam tubuh, namun tidak dapat mencegah infeki awal yang telah
30

terjadi. Vaksinasi dianjurkan terhadap anak-anak dan orang dewasa di bawah 5

tahun yang berisiko tinggi terhadap terkenanya infeksi TBC. Hal ini dimaksudkan

untuk mencegah terkenanya atau berkembangnya TBC yang lebih kronis seperti

TBC meningitis. (Syamsudin dan Keban S. A., 2013)

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

1. Biodata

Penyakit tuberculosis dapat menyerang semua umur, mulai dari anak-

anak sampai dengan orang dewasa dengan komposisi antara laki-laki dan

perempuan yang hampir sama. Biasanya timbul di lingkungan rumah dengan

kepadatan tinggi yang tidak memungkinkan cahaya matahari dapat masuk ke

dalam rumah.

Tuberculosis paru (TB) pada anak dapat terjadi pada usia berapa pun,

namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun. Anak lebih sering

mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary) dibanding TB paru-paru

dengan perbandingan 3:1. TB luar paru-paru merupakan TB yang berat,

terutama ditemukan pada usia < 3 tahun. Angka kejadian (prevalensi) TB paru

pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah masa remaja,

dimana TB paru-paru menyerupai kasus pada orang dewasa (sering disertai

lubang/kavitas pada paru-paru). Dari aspek sosioekonomi, penyakit

tuberculosis paru sering diderita oleh klien dari golongan ekonomi menengah

ke bawah.
31

2. Riwayat Kesehatan

Keluhan yang sering muncul antara lain sebagai berikut.

a. Demam: subfebris, febris (40-41°C) hilang timbul.

b. Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, sebagai reaksi tubuh

untuk membuang/mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk

kering sampai dengan batuk purulen (menghasilkan sputum) timbul

dalam jangka waktu lama (> 3 minggu).

c. Sesak napas: timbul pada tahap lanjut ketika infiltrasi radang sampai

setengah paru.

d. Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang

sampai ke pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.

e. Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan dan berat badan

menurun, sakit kepala, nyeri otot, serta berkeringat pada malam tanpa

sebab.

f. Pada atelektasis terdapat gejala berupa: sianosis, sesak napas, dan

kolaps. Bagian dada klien tidak bergerak pada saat bernapas dan

jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto torak tampak bayangan

hitam pada sisi yang sakit dan diafragma menonjol ke atas.

g. Perlu ditanyakan dengan siapa klien tinggal, karena biasanya penyakit

ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi merupakan

penyakit infeksi menular.


32

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi

pemeriksaan fisik umum per sistem dari observasi keadaan umum,

pemeriksaan tanda-tanda vital, sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler,

sistem pencernaan, sistem indra, sistem saraf, sistem musculoskeletal,

sistem integumen, sistem endokrin, sistem perkemihan, sistem reproduksi,

dan sistem imun. Pemeriksaan terfokuskan pada sistem pernapasan secara

menyeluruh.

Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara

selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain

itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas

compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru

biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi

napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya

meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi

pernpasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit

penyulit seperti hipertensi.

Sistem Pernapasan

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan

pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan

auskultasi
33

Inspeksi

Klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya

penrunan proporsi diameter bentuk dada antero posterior dibandingkan

proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya

efusi pleura yang massif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga

dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang

disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang

membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostal space (ICS)

pada sisi yang sakit.

Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya

gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika

terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru

biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi

napas, dan menggunakan obat bantu napas. Tanda lainnya adalah klien

dengan TB paru juga mengalami efusi pleura yang massif, pneumothoraks,

abses paru masif, dan hidropneumothoraks. Tanda-tanda tersebut membuat

gerakan pernapasan menjadi tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah

pada sisi yang sakit pergerakan dadanya tertinggal.

Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan

TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya

peningkatan produksi sekret dan sekresi sputum yang purulent. Periksa

jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya


34

bronkhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi

sputum yang sangat banyak.

Palpasi

Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhea menunjukkan, meskipun tidak

spesifik penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai adanya

efusi pleura masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea ke

arah berlawanan dari sisi sakit.

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa

komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas

biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya

penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB

paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.

Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat

meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang

dibagikan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon

bronkhial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama

pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada

disebut taktil fremitus. Adanya penurunan taktil fremitus pada klien

dengan TB paru biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi

efusi pleura massif, sehingga hantaran suara menurun karena transmisi

getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga pleura.


35

Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan

didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien

dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan

didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai

banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai

pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperrresonan terutama jika

pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi)

pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk

mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya

ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbicara

disebut sebagai resonan vocal. Klien dengan TB paru yang disertai

komplikasi seperti efusi pleura dan pneumothoraks akan didapatkan

penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

Sistem Kardiovaskuler

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi :

Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan

fisik, konjungtiva anemis pada TB paru dengan hemoptoe

masif dan kronis, adanya sianosis perifer apabila gangguan

perfusi jaringan berat.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah


36

Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru

dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat

Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan

biasanya tidak didapatkan.

Sistem Pencernaan

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan,

dan penurunan berat badan.

Sistem Perkemihan

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake

cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena

hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar

terbiasa dengan sering yang berwarna jingga pekat dan berbau yang

menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum

OAT terutama Rifampisin.

Pengkajian Sekunder

a. Ativitas: keletihan, nyeri dada dan dispnea saat beraktivitas, tanda

vital berubah saat beraktivitas.

b. Istirahat: insomnia, dyspnea saat istirahat.

c. Integritas ego : ansietas, stress, marah, takut, dan mudah tersinggung.

d. Eliminasi : penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih pada

malam hari, diare/konstipasi.

e. Makanan/cairan : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penurunan

berat badan, turgor kulit buruk, kehilangan otot/lemak subkutan.


37

f. Hygiene : kurang perawatan diri akibat kelemahan.

g. Interaksi sosial : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular,

perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.

(Kardiyudiani dan Susanti, 2019 dan Doenges, 1999)

Pemeriksaan Tambahan

1. Sputum Culture : untuk memastikan M. tuberculosis pada tahap aktif

penyakit

2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan tahan asam): positif untuk BTA

3. Tes Kulit Montoux (PPD. OT): reaksi positif (area indurasi 10 mm atau

lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradermal)

mengindikasikan infeksi lama dana adanya antiodi, tetapi tidak

mengindikasikan penyakit sedang aktif.

4. Chest X-ray: dapat memperlihatkan infiltasi kecil pada lesi awal di

bagian atas paru-paru, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik

atau cairan pleura. Perubahan yang mengindikasikan TB yang lebih

berat dapat mencakup area berlubang dan fibrosa.

5. Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan

CSF, serta biopsi kulit): postif untuk M. tuberculosis

6. Needle biopsy of lung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel-

sel besar yang mengindikasikan nekrosis


38

7. Elektrolit: mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya

infeksi; misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, dapat

ditemukan pada TB paru-paru kronis lanjut.

8. ABGs: mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa kerusakan

paru-paru

9. Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan

bronkhus atau kerusakan paru-paru karena TB.

10. Darah: lekositosis, LED meningkat

11. Tes fungsi paru-paru: VC menurun, dead space meningkat, TLC

meningkat, dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan gejala

sekunder dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru-paru dan penyakit

pleura. (Muttaqin Arif, 2014)

Diagnosis Tb Paru

Pemeriksaan sputum adalah penting, diagnosis paru pada orang

dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan

darah secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila

sedikitnya dua dari tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu

specimen positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen

dada atau pemeriksaan dahak SPS ulang.

a. Kalau hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB paru BTA positif.

b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB paru maka pemeriksaan SPS

diulangi.
39

Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan

lain, misalnya biakan.

Bila ketiga specimen dahaknya negative, diberikan anti biotic

spectrum luas (misalnya kontrimoksazol atau amoksilin) selama 1-2 minggu.

Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB paru,

ulangi pemeriksaan dahak SPS :

a. Kalau hasil SPS posiif : didiagnosis sebagai penderita TB paru BTA

positif.

b. Kalau hasil SPS tetap negative : lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,

untuk mendukung diagnosis TB.

c. Bila hasil rontgen mendukung TB paru, didiagnosis sebagai penderita

TB paru BTA negative rontgen positif.

d. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB paru : penderita tersebut bukan

TB paru.

(Darliana D., 2011)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1 Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan

ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi pada jalan napas,

bronkospasme.

2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, hipertensi

pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan

penurunan curah jantung.

3 Hipertermia berhubungan dengan reaksi inflamasi


40

4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual, dyspnea.

5 Resiko infeksi

(Nurarif A. H. dan Kusuma H., 2016)

2.2.3 Perencanaan Keperawatan

Diagnosa 1 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan

dengan bronkospasme, sekresi mucus yang kental, hemoptisi,

kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema tracheal/faringeal.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi,

kebersihan jalan napas kembali efektif.

Kriteria hasil :

a. klien mampu melakukan batuk efektif

b. pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot

bantu napas. Bunyi napas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan

normal.

Intervensi :

1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan

penggunaan otot bantu napas).

Rasional : penurunan bunyi napas menunjukkan atelectasis, ronkhi

menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi

yang selanjutnya dapat menimbulkan pengguanaan otot bantu napas dan

peningkatan kerja pernapasan.


41

2. Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum,

dan adanya hemoptysis.

Rasional : pengeluaran akan sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi

dan hidrasi yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan

(kavitasi) paru atau luka bronchial dan memerlukan intervensi lebih

lanjut.

3. Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan bantu klien berlatih napas

dalam dan batuk efektif.

Rasional : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan

upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelectasis dan

meningkatkan gerakan sekret ke jalan napas besar untuk dikeluarkan.

4. Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 mL/hari kecuali tidak

diindikasikan.

Rasional : hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan

mengefektifkan pembersihan jalan napas.

5. Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, bila perlu lakukan pengisapan

(suction).

Rasional : mencegah obstruksi dan aspirasi. Pengisapan diperlukan bila

klien tidak mampu mengeluarkan sekret.

6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT

Rasional : pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase

intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang

digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
42

yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,

INH, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol.

7. Agen mukolitik

Rasional : agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan

sekret atau paru untuk memudahkan pembersihan.

8. Bronkodilator

Rasional : bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan

trakeobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara

9. Kortikosteroid

Rasional : kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada

hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

Diagnosa 2 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru,

hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan

asidosis laktat dan penurunan curah jantung.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah intervensi, pertukaran gas klien

terpenuhi.

Kriteria hasil :

1. Melaporkan adanya/penurunan dyspnea.

2. Klien menunjukkan tidak ada gejala distress pernapasan.

3. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat

dengan gas darah arteri dalam rentang normal.

Intervensi :
43

1. Kaji dyspnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,

ekspansi thoraks, dan kelemahan.

Rasional : TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian

kecil bronchopneumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis,

efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan

bervariasi dari gejala ringan, dyspnea berat, sampai distress

pernapasan.

2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis, dan perubahan

warna kulit, termasuk membrane mukosa dan kuku.

Rasional : akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang

sehat dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.

3. Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya

untuk klien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.

Rasional : membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah

kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan

udara melalui paru dan mengurangi napas pendek.

4. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan bantu kebutuhan

perawatan diri sehari-hari sesuai keadaan klien.

Rasional : menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan

perapasan dan dapat menurunkan beratnya gejala.

5. Kolaborasi pemeriksaan AGD.


44

Rasional : penurunan kadar O2 (PO2) dan/ saturasi dan peningkatan

PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program

terapi.

6. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.

Rasional : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi

akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.

7. Kortikosteroid.

Rasional : kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada

hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

Diagnosa 3 : hipertermia berhubungan dengan reaksi inflamasi.

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi, klien dalam

suhu normal

Kriteria hasil :

1. Suhu tubuh dalam rentang normal

2. Nadi dan RR dalam rentang normal

Intervensi :

1. Monitor suhu lingkungan sesering mungkin.

Rasional : mengidentifikasi seberapa besar derajat demam pasien.

2. Monitor tekanan darah, nadi, dan pernapasan.

Rasional : mengetahui keadaan umum pasien.

3. Berikan kompres hangat.

Rasional : menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi perpindahan

panas.
45

4. Monitor warna dan suhu kulit.

Rasional : untuk mengetahui suhu kulit.

5. Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan cairan intravena.

Rasional : dapat menyeimbangkan pengeluaran yang adekuat.

Diagnosa 4 : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi,

keletihan, anoreksia atau dyspnea, dan peningkatan

metabolisme tubuh.

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi, intake nutrisi

klien terpenuhi

Kriteria hasil :

1. Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang

menjadi adekuat

2. Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Intervensi:

1. Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan

berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat

mual/muntah, dan diare.

Rasional : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk

menetapkan pilihan intervensi yang tepat.

2. Fasilitasi klien untuk memperoleh diet biasa yang disukai klien

(sesuai indikasi).
46

Rasional : memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki

intake gizi.

3. Pantau intake dan output, timbang berat badan secara periodic

(seminggu sekali).

Rasional : berguna dalam mengukur keefektifan intake gizi dan

dukungan cairan.

4. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan

serta sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan per oral.

Rasional : menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa

sputum atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat

merangsang pusat muntah.

5. Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi

sering.

Rasional : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan energy

besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.

6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis

diet yang tepat.

Rasional : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup

untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energy dan kalori

sehubungan dengan status hipermetabolik klien.

7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein

serum, dan albumin.


47

Rasional : menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan

intervensi selanjutnya.

8. Kolaborasi untuk pemberian multivitamin.

Rasional : multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

vitamin yang tinggi sekunder dari peningkatan laju metabolisme

umum.

Diagnosa 5 : Resiko infeksi berhubungan dengan reaksi inflamasi

Tujuan : setelah 3x24 jam dilakukan intervensi, diharapkan tidak

terjadi penyebaran infeksi.

Kriteria hasil :

1. Pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat

2. Tidak muncul tanda-tanda infeksi lanjutan

3. Tidak ada anggota keluarga yang tertular

Intervensi :

1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

Rasional : mengurangi resiko penyebaran infeksi.

2. Batasi pengunjung bila perlu.

Rasional : mengidentifikasi resiko penularan kepada orang lain.

3. Gunakan alat pelindung untuk batuk/bersin.

Rasional : mencegah terjadinya penularan infeksi.

4. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai resep dan

pentingnya tidak menghentikan/tidak putus obat.

Rasional : mempercepat proses penyembuhan.


48

5. Kaji pentingnya mengikuti dan kultur ulang secara periodic terhadap

sputum.

Rasional: mengawasi ketidakefektifan obat dan efek serta respon

pasien terhadap terapi.

6. Pertahankan teknik isolasi.

Rasional : mengurangi resiko penularan pada orang lain.

(Nurarif A. H. dan Kusuma H., 2016 dan Utomo Y. W., 2014)

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan

rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan

guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi

adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk

menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu, kemampuan

melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi

sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan

advokasi, dan kemampuan evaluasi. (Asmadi, 2008)

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil

akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan

melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi


49

menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari

siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke

dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment)

(Asmadi, 2008).
50

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian mencakup rancangan penelitian yang direncanakan

untuk melakukan studi kasus. Pada bab ini akan dijelaskan tentang pendekatan

atau desain penelitian, subyek penelitian, batasan istilah, lokasi dan waktu

penelitian, prosedur penelitian, teknik dan instrumen pengumpulan data,

keabsahan data, dan analisis data.

3.1 Pendekatan (Desain Penelitian)

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dalam bentuk studi kasus untuk

mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan medical bedah pada klien dengan

tuberculosis (TBC) paru.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asuhan keperawatan yang

meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,

pelaksanaan keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Disini peneliti ingin

menggambarkan atau mendeskripsikan mengenai gambaran tentang asuhan

keperawatan medical bedah pada klien dengan tuberculosis (TBC) paru di

Puskemas Palang Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

3.2 Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian keperawatan adalah

individu dan keluarga dengan kasus yang akan diteliti secara rinci dan mendalam.

Adapun subyek penelitian yang akan diteliti minimal berjumlah dua kasus dengan
51

masalah keperawatan yang terjadi pada individu dengan tuberculosis (TBC) paru

di Puskesmas Palang Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

3.3 Batasan Istilah (Definisi Operasional)

Menjelaskan semua istilah penelitian yang digunakan dan batasan yang

berhubungan dengan judul penelitian.

Tabel 3.1 Batasan istilah


Batasan Istilah Definisi Operasional
Asuhan keperawatan klien Serangkaian kegiatan atau tindakan yang
dengan TB paru diberikan melalui praktik keperawatan
kepada klien yang menderita TB paru
melalui proses keperawatan, meliputi:
pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Tuberkulosis paru Penyakit tuberkulosis paru merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis yang
dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru-paru.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Palang Kecamatan Palang

Kabupaten Tuban. Untuk waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret 2019.

3.5 Prosedur Penelitian

Penelitian diawali dengan penyusunan usulan penelitian dengan

menggunakan metode studi kasus. Setelah disetujui oleh penguji proposal maka

penelitian dilanjutkan dengan kegiatan pengumpulan data. Data penelitian berupa


52

hasil pengukuran, observasi, wawancara terhadap kasus yang dijadikan subyek

penelitian.

3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Pada sub bab ini dijelaskan terkait metode pengumpulan data yang

digunakan ;

Wawancara (hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang – dahulu - keluarga dll). Sumber data dari klien, keluarga klien,

perawat lainnya.

Observasi dan pemeriksaan fisik dengan pendekatan IPPA : Inspeksi, Palpasi,

Perkusi, Auskultasi pada sistem tubuh klien.

3.6.2 Intrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrumen pengumpulan data menggunakan format pengkajian

asuhan keperawatan medical bedah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan

alat-alat pengukuran fisiologis seperti tensimeter, termometer, stetoskop,

timbangan, alat pengukur tinggi badan, pen light.

3.7 Keabsahan Data

Keabsahan data dimaksudkan untuk membuktikan kualitas data/informasi

yang di peroleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan validitas

tinggi. Disamping integritas peneliti (karena peneliti menjadi instrumen utama),

keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan/tindakan,

sumber informasi tambahan menggunakan triagulasi dari tiga sumber data utama
53

yaitu klien, perawat dan keluarga klien yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

Dalam penyusunan asuhan keperawatan medical bedah pada klien dengan

tuberculosis (TBC) paru, dimulai dari mewawancarai klien. Setelah data

terkumpul, mengklarifikasi data ke petugas kesehatan terdekat. Dari data yang

sudah diklarifikasi dilanjutkan dengan pengajuan data kepada dosen pembimbing

untuk dikonsultasikan dalam pembuatan proposal. Setelah mendapat persetujuan,

pembimbing melakukan pengujian. Selanjutnya dilakukan implementasi

keperawatan, setelah itu dilakukan evaluasi keperawatan.

3.8 Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak penelitian di lapangan, sewaktu

pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data dilakukan

dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang

ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang

digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban dari penelitian yang

diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk

menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik analisis digunakan dengan cara

observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk

selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan teori yang ada sebagai bahan

untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.


54

3.9 Jadwal Kegiatan

Januari Februari Maret April Mei


No Jenis Kegiatan
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Pengumpulan
√ √
bahan pustaka
2 Penyusunan dan
pengajuan √ √ √ √ √
usulan penelitian
3 Permintaan surat
rekomendasi
untuk
pengambilan
data
4 Pengambilan
dan
pengumpulan
data
5 Pengolahan data
6 Analisa data
7 Penyusunan
laporan hasil
penelitian
55

DAFTAR PUSTAKA

Asih Niluh Gede Yasmin (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC.
Asmadi (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed. 12. Jakarta: EGC
Darliana D. (2011). Manajemen Pasien Tuberculosis Paru. Idea Nursing Journal
Volume 2 Nomor 1 (29-30) tanggal 10 Februari 18.55 WIB
Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban (2016). Profil Kesehatan Kabupaten Tuban
Tahun 2016.
(http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOT
A_2016/3523_Jatim_Kab_Tuban_2016.pdf) tanggal 9 Desember 2018 jam
09.25 WIB
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur Tahun 2017.
(http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-
2017.pdf) tanggal 9 Desember 2018 jam 09.20 WIB
Djojodibroto R. Darmanto (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta:
EGC.
Doenges M. E, dkk (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Kardiyudiani dan Susanti (2019). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta:
Pustaka Baru.
Kementerian Kesehatan RI (2011). Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberculosis. (https://med.unhas.ac.id/farmakologi/wp-
content/uploads/2014/10/Pedoman-Nasional-Penanggulangn-TB-
2011.pdf) tanggal 10 Februari 2019 jam 13.25 WIB
Kementerian Kesehatan RI (2018). Info DATIN Tuberkulosis 2018.
(http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin%20tuberkulosis%202018.pdf)
tanggal 9 Desember 2018 jam 09.10 WIB
Manalu Helper S. H. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB
Paru dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Volume
9 Nomor 4, (1340) (https://media.neliti.com/media/publications/77451-ID-
faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kejadian.pdf) tanggal 10 Februari 2019
jam 18.15 WIB.
Muttaqin Arif (2014). Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
56

Nurarif A. H. dan Kusuma H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus Edisi Revisi
Jilid 2. Jogjakarta : Mediaction
Somantri Irman (2007). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Somantri Irman (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Suryo Joko (2010). Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapsan.
Yogyakarta: B First.
Syamsudin dan Keban S. A. (2013). Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan Saluran
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Utomo Y. W. (2014). Asuhan Keperawatan Pada An. C dengan Gangguan Sistem
Pernapasan: TB Paru di Ruang Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali.
(5-7) (http://eprints.ums.ac.id/30767/9/NASKAH_PUBLIKASI.pdf)
tanggal 10 Februari 2019 jam 18.25 WIB.
Wulandari A. A. dkk (2015). Faktor Risiko dan Potensi Penularan Tuberkulosis
Paru di Kendal, Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
Volume 14 Nomor 1, (7)
(https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/10031) tanggal 8
Februari 2019 jam 17.50 WIB.

Anda mungkin juga menyukai