Anda di halaman 1dari 207

KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER KOLOREKTAL

YANG BARU MENJALANI KOLOSTOMI


DENGAN END STOMA

TESIS

Oleh

RUTH DJ PAKPAHAN
137046019/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER KOLOREKTAL
YANG BARU MENJALANI KOLOSTOMI
DENGAN END STOMA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh
RUTH DJ PAKPAHAN
137046019/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Telah diuji

Pada tanggal: 14 September 2015

KOMISI PENGUJI TESIS


Ketua : Dra. Nurmaini, M.KM, Ph.D
Anggota : 1. Iwan Rusdi, S.Kp, MNs
2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D
3. Asrizal, S.Kep., Ns., M.Kep, WOC(ET)N
Judul Tesis : Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal yang

Baru Menjalani Kolostomi dengan End Stoma

Nama Mahasiswa : Ruth DJ Pakpahan

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2015

ABSTRAK

Periode paling penting pada kasus pembentukan stoma baru harus

menjadi perhatian para profesional kesehatan karena pembentukan stoma dapat

membawa dampak negatif yang mempengaruhi aspek kualitas hidup. Tujuan

penelitian ini untuk mengeksplorasi secara mendalam kualitas hidup pasien

kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Penelitian

ini dilaksanakan secara kualitatif dengan desain fenomenologi deskriptif. Metode

pengumpulan data adalah wawancara mendalam dan catatan lapangan. Jumlah

partisipan setelah saturasi data adalah 12 pasien kanker kolorektal yang baru

menjalani kolostomi yang dipilih dengan teknik purposive sampling dengan

kriteria yaitu pasien menggunakan kantong stoma jenis one piece yang dari segi

bentuknya merupakan tipe close end, warna stoma bag transparan, tidak memiliki

filter, menjalani perawatan stoma tidak lebih dari 3 bulan. Pelaksanaan

wawancara dilakukan di rumah partisipan dan di ruangan kemoterapi RSUP Haji

Adam Malik Medan. Hasil wawancara dianalisa dengan metode Colaizzi dan

iv
ditemukan 8 tema. Tema yang ditemukan yaitu mengalami gejala kanker

kolorektal sebelum dilakukan tindakan kolostomi, merasakan peran tenaga

kesehatan (dokter dan perawat) pada ostomate yang baru menjalani kolostomi,

mengalami penurunan kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari,

menjalani kehidupan baru yang menimbulkan stress dan perubahan emosi,

mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan adanya stoma baru, mendapat

dukungan dan perhatian dari orang yang berarti dalam menghadapi situasi baru

dengan adanya stoma, mengalami tantangan dalam menjalankan kegiatan

keagamaan, berupaya menerima stoma sebagai bagian dari tubuh. Berdasarkan

hasil penelitian disarankan agar perawat memberikan pelatihan berkelanjutan,

bimbingan dan layanan konseling, dukungan untuk mengidentifikasi dan

memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis sehingga pasien memiliki

kemandirian dalam merawat stoma secara independen dan dapat kembali ke

kehidupan sosial jika telah menerima pendidikan berkelanjutan selama transisi

dari rumah sakit dan setelah kembali ke rumah.

Kata Kunci : Kualitas Hidup, Kanker Kolorektal, Baru Menjalani Kolostomi

iv
Title of the Thesis : Quality of Life in Colorectal Cancer Patients with

New Formed End Stoma Colostomy

Name of Student : Ruth DJ Pakpahan

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical Surgical Nursing

Year : 2015

ABSTRACT

The most important period of new stoma case should be the attention of

health professionals since it can have negative influence on quality of life. The

purpose of the research was to deeply explore the quality of life of colorectal

cancer patients who had formed a new end stoma colostomy. The research used

qualitative method with phenomenological descriptive design. The data were

gathered by conducting in-depth interviews and field research records. The

samples were 12 colorectal cancer patients who had formed a new end stoma

colostomy, taken by using purposive sampling technique. With the criteria that

the patients used stoma bags of one piece type, in the form of close end type,

transparent stoma bags, without filter, and underwent stoma treatment less than 3

months. Interviews were done by using Colaizzi method and found 8 themes as

follows: the respondents underwent colorectal cancer syndrome before colostomy

was done, underwent the role of health care providers (doctors and nurses) in

ostomate that had just been undergone colostomy treatment, underwent the

iv
decrease in physical capacity in doing daily activity, underwent new life which

was rife with stress and emotion, were difficult to socialize by the existence of

new stoma, obtained support and attention from special persons in facing new

situation by the existence of stoma, faced challenge in conducting religious

services, accepted stoma as part of their bodies. It was recommended that nurses

provide continual training, guidance, counseling, and support for identifying and

fulfilling emotional and psychological needs so that the patients can be

independent in taking care of stoma and turn to social life after they had received

sustainable education during the transitional period from hospitalization to their

homes.

Keywords : Quality of Life, Colorectal Cancer, Had Formed a New Colostomy

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan kasihNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal yang Baru Menjalani Kolostomi

dengan End Stoma”. Tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam

menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Selama menyusun tesis ini, penulis memperoleh banyak pengalaman yang

berharga dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Nurmaini, M.KM, Ph.D selaku Pembimbing I, yang senantiasa

memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan

saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini.

4. Iwan Rusdi, S.Kp, MNS selaku Pembimbing II, yang juga senantiasa

memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan ilmu dan saran

yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini.

5. Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D selaku Penguji I yang telah memberikan saran

dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki kekurangan yang

terdapat dalam pembuatan tesis ini.

vii
6. Asrizal, S.Kep, Ns, M.Kep, WOC(ET)N selaku Penguji II yang telah

memberikan saran dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki

kekurangan yang terdapat dalam penyusunan tesis ini.

7. Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan ijin

pengambilan data penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Keluarga yang selalu memberikan semangat, motivasi dan dukungan yang

begitu besar sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.

Teristimewa untuk ibunda tercinta Meriati Simanungkalit, S.Pd yang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun materil dan menjadi motivasi

bagi penulis. Terima kasih buat kakanda Sulastri Pakpahan, S.ST, M.Keb,

Tiur Dewi Pakpahan, S.Si, Sofia L Pakpahan, SE dan adinda tersayang

Elisabeth Pakpahan, SE buat cinta dan kasih sayang tulus yang selalu

diberikan kepada penulis.

9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan Stambuk 2013

dan terkhusus untuk teman-teman Magister Keperawatan Konsentrasi

Keperawatan Medikal Bedah angkatan kedua yang telah saling

mengingatkan dan mendukung selama penulisan tesis ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih ada kekurangan, baik dari aspek

bahasa maupun isinya. Oleh karena itu penulis akan menerima saran dan

masukan yang sifatnya memperbaiki tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga

vii
hasil dari tesis ini dapat bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya

profesi keperawatan dan menjadi jembatan untuk karya-karya selanjutnya serta

memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Medan, 14 September 2015

Penulis

Ruth DJ Pakpahan

vii
RIWAYAT HIDUP

Nama : Ruth DJ Pakpahan

Tempat/Tanggal Lahir : Lumban Hariara II, 17 Juli 1988

Pekerjaan : PNS

Alamat Asal : Jalan Balige Air Panas Sipoholon Kabupaten

Tapanuli Utara

No telp : 081264851638

Riwayat Pendidikan

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri No 173133 Sipoholon, Taput 2000

SLTP SMP Negeri I Sipoholon, Taput 2003

SMA SMA Negeri I Sipoholon, Taput 2006

Strata–1 Fakultas Keperawatan Universitas 2011


Sumatera Utara, Medan
Ners Fakultas Keperawatan Universitas 2012
Sumatera Utara, Medan

Riwayat Pekerjaan

Instansi Jabatan Periode


STIKes Nauli Husada Sibolga Sekretaris Program Studi 2012-2013
STIKes Imelda Medan Staff Dosen Program 2013-2014
Studi S1 Keperawatan
PNS RSU Daerah Tarutung Staff Bidang 2015-Sekarang
Keperawatan

viii
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR SKEMA ......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Permasalahan.......................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 12


2.1 Konsep Kanker Kolorektal ..................................................... 12
2.2 Konsep Kolostomi .................................................................. 22
2.3 Konsep Kualitas Hidup .......................................................... 35
2.4 Konsep Studi Fenomenologi .................................................. 44
2.5 Landasan Teori Keperawatan ................................................. 51
2.6 Kerangka Konsep ................................................................... 55

BAB 3. METODE PENELITIAN.............................................................. 60


3.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 60
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 61
3.3 Partisipan Penelitian ............................................................... 62
3.4 Pengumpulan Data ................................................................. 63
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ........................................ 67
3.6 Metode Analisa Data .............................................................. 68
3.7 Tingkat Keabsahan Data (Trusthworthiness) ......................... 70
3.8 Pertimbangan Etik .................................................................. 73

BAB 4. HASIL PENELITIAN ................................................................... 76


4.1 Karakteristik Demografi Partisipan........................................ 76
4.2 Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal yang Baru
Menjalani Kolostomi .............................................................. 77

BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................. 125


5.1 Interpretasi Hasil Penelitian ................................................... 125
5.2 Keterbatasan Penelitian .......................................................... 159

x
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 161
6.1 Kesimpulan ............................................................................ 161
6.2 Saran....................................................................................... 162

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 166

LAMPIRAN .................................................................................................... 175

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi TNM dari Kanker Kolorektal...................................... 17

Tabel 2.2 Sistem Klasifikasi untuk Penentuan Staging Kanker kolorektal ... 18

Tabel 2.3 Prosedur Bedah untuk Kanker Kolorektal .................................... 20

Tabel 2.4 Domain Penilaian Kualitas Hidup WHOQOL .............................. 37

Tabel 2.5 Domain Penilaian Kualitas Hidup Pasien Ostomi......................... 38

Tabel 2.6 Literatur Penelitian Terkait Kualitas Hidup .................................. 43

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Partisipan ............................................... 76

Tabel 4.2 Matriks Kualitas Hidup Pasien kanker Kolorektal yang baru
Menjalani Kolostomi dengan End Stoma ....................................... 120

xiii
DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 59

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian


a. Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan Penelitian
b. Kuesioner Data Demografi
c. Panduan Wawancara
d. Field Note

Lampiran 2. Biodata Expert

Lampiran 3 Ijin Penelitian


a. Surat Izin Pengambilan Data dari Dekan Fakultas
Keperawatan Kepada Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan
b. Surat Ethical Clearance
c. Surat Izin Pengambilan Data dari Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan
d. Surat Keterangan telah Selesai Melakukan Penelitian

xiii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker adalah istilah yang digunakan pada tumor yang ganas, tumbuh

tidak terkendali, mengilfiltrasi jaringan sekitar, bermetastasis dan bila tidak

mendapat terapi efeknya akan membawa kematian (Daniels & Nicoll, 2012).

Kanker disebabkan oleh faktor eksternal (tembakau, organisme menular, bahan

kimia, dan radiasi) dan faktor internal (mutasi gen yang diturunkan, hormon,

kondisi kekebalan tubuh, dan mutasi yang terjadi dari proses metabolisme). Faktor

penyebab tersebut dapat bertindak bersama-sama atau secara berurutan memicu

dan meningkatkan perkembangan kanker (ACS, 2014).

Kanker merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

di seluruh dunia. Pada tahun 2012 sekitar 14 juta kasus baru dan 8,2 juta kematian

terjadi akibat kanker (WHO, 2012). Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan

International Agency for Research on Cancer (IARC) memprediksi akan terjadi

peningkatan penderita kanker sebesar 70% di seluruh dunia pada tahun 2030.

American Cancer Society (ACS) melaporkan pada tahun 2014, sekitar 585.720

orang di Amerika diperkirakan meninggal karena kanker, hampir 1.600 orang per

hari. Kanker yang paling umum didiagnosis di seluruh dunia, baik pada pria

maupun wanita, dan memiliki tingkat insiden yang tinggi setelah kanker paru-paru

dan kanker payudara adalah kanker kolorektal (WHO, 2012).

1
2

Karsinoma kolorektal merupakan tumor ganas epitelial pada usus besar

yang memanjang dari sekum hingga rektum (Smeltzer et al., 2010). Colorectal

Cancer (CRC) telah menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia

(Ignatavisius & Workman, 2013). Berdasarkan data WHO tahun 2012, insiden

kematian akibat kanker kolorektal sebanyak 694.000 dan melalui estimasi IARC

tahun 2012, insiden kanker kolorektal 16 kasus per 100.000 penduduk. Setiap

tahun, diperkirakan sebanyak 550.000 penduduk dunia meninggal akibat kanker

kolorektal (Brown & Dubois, 2005). Prevalensi kanker kolorektal yang semakin

meningkat di seluruh dunia menjadikannya sebagai salah satu masalah kesehatan

global yang serius. Colorectal Cancer menyumbang lebih dari 9% dari semua

kasus kanker baru. Tingkat kelangsungan hidup satu tahun dan lima tahun

diperkirakan masing-masing 83% dan 65%. Kanker kolorektal juga dilaporkan

sebagai kanker paling umum ketiga baik pada laki-laki dan perempuan di

Amerika Serikat (ACS, 2014). Diperkirakan 18%-35% dari 1,1 juta orang hidup

di Amerika Serikat dengan riwayat CRC (Mariotto et al., 2006). Kanker

kolorektal ini juga cenderung mengalami peningkatan di Asia, terutama Jepang

dan Korea (Leung, Ho, & Kim, 2006).

Risiko kanker kolorektal meningkat seiring bertambahnya usia. Pada tahun

2010, 90% kasus kanker kolorektal didiagnosis pada individu dengan usia di atas

50 tahun (ACS, 2014). Kebanyakan kasus kanker kolorektal ditemukan pada usia

di atas 40 tahun dan puncaknya pada usia 70 tahun. Faktor resiko kanker

kolorektal lebih sering terjadi akibat dari gaya hidup, di antaranya obesitas, diet

tinggi lemak, konsumsi daging merah, konsumsi makanan olahan, kurangnya


3

konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya olahraga

secara teratur. Prevalensi tinggi kanker kolorektal juga banyak ditemukan pada

populasi tingkat ekonomi menengah ke atas. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh

pola diet dan gaya hidup sehari-hari (Newton, 2009).

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan kejadian kanker

kolorektal yang cukup tinggi (Syamsuhidajat & Jong, 2004). Data yang

dikumpulkan dari 13 pusat kanker di Indonesia, kanker kolorektal merupakan

salah satu dari 5 kanker yang paling sering terjadi baik pada pria maupun wanita.

Jumlah penderita kanker usus besar dan rektum cukup banyak terjadi khususnya

di perkotaan (Soeripto, 2007). Data Kementerian Kesehatan diperoleh prevalensi

1,8 kasus per 100.000 penduduk (Depkes, 2008). Kasus kanker kolorektal ini

cenderung mengalami peningkatan sehingga menjadi salah satu program prioritas

dan kegiatan Yayasan Kanker Indonesia tahun 2012. Laporan data dari Direktorat

Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI tahun 2005 kasus kanker

kolorektal di seluruh Rumah Sakit di Indonesia adalah 3.806 kasus (8,2 %) dan

tahun 2006 adalah 3.442 kasus (8,11%) dari seluruh kasus keganasan. Menurut

data Instalasi Deteksi Dini dan Promosi Kesehatan RS Kanker Dharmais tahun

2013 terdapat 274 kasus baru kanker kolorektal dan 48 kasus kematian.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik,

terdapat sejumlah 210 orang kanker kolorektal dari tahun 2005 hingga 2007.

Insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2005 tercatat

sejumlah 39 orang diikuti tahun 2006 sebanyak 68 orang, dan pada tahun 2007

meningkat sebanyak 103 orang (Zendrato, 2009). Data rekam medik RSUP Haji
4

Adam Malik menunjukkan jumlah penderita kolorektal pada tahun 2014 sebanyak

181 orang dan 104 diantaranya telah menjalani kolostomi.

Peningkatan kasus kanker kolorektal membutuhkan penatalaksanaan yang

optimal. Tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolorektal adalah kolostomi

(Daniels & Nicoll, 2012). Kolostomi memungkinkan drainase atau evakuasi isi

usus mengalir langsung ke kantong eksternal. Konsistensi drainase tergantung

penempatan kolostomi, yang ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi pada

jaringan sekitar. Kolostomi merupakan penatalaksanaan bedah yang diperlukan

dalam pengobatan kanker kolorektal karena obstruksi, penyakit metastatik, atau

masalah medis lainnya (Sands & Marchetti, 2011). Kolostomi memungkinkan

feses tetap keluar dari kolon meskipun terjadi obstruksi pada kolon yang

diakibatkan oleh massa tumor. Kolostomi dilakukan pada sepertiga pasien

kolorektal (Smeltzer et al., 2010). Yayasan Kanker Indonesia melalui divisi

Indonesian Ostomy Association (INOA) tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah

kasus yang menggunakan stoma terus meningkat dan penyebab tersering di

Indonesia adalah karena keganasan.

Tujuan ostomi pada dasarnya adalah untuk menangani dan mengurangi

rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien, namun dalam banyak kasus dapat

menyebabkan tekanan intensif dan penderitaan bagi pasien, dan dapat

menyebabkan stress berat (Krouse, Grant, & Rawl, 2009). Evidence based

menunjukkan konsekuensi fisik dan psikososial terjadi pada pasien dengan

pemasangan ostomi (Baldwin et al., 2009; Shaffy, Kaur, Das, Gupta, 2014).

Terlepas dari jenis ostomi atau alasan pembuatan ostomi, prosedur yang
5

mengubah hidup ini sering mengakibatkan perubahan besar dalam status

fungsional, kesejahteraan, dan kualitas hidup (Siassi et al., 2008; Krouse, Grant,

& Ferrel, 2007; Symms et al., 2008).

Pembuatan kolostomi mempengaruhi beberapa domain dalam aspek

kesehatan terkait kualitas hidup (HRQOL) sehingga kualitas hidup pasien

kolostomi adalah aspek penting yang perlu dipahami lebih lanjut (Pittman, Kozel

& Gray, 2009). Kualitas hidup mencerminkan kepuasan pasien terhadap kondisi

fisik, sosial, spiritual, emosional dan fungsional (Lehto & Lehtinen, 2005).

Kualitas hidup pasien dengan ostomi sering ditinjau dalam 4 domain yaitu aspek

fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Grant et al., 2004). Pasien kanker kolorektal

selain harus berjuang dengan kanker, pemasangan kolostomi juga akan membawa

dampak yang kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap aspek-aspek

kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, dan spiritual (Grant et al., 2011). Dengan

kata lain, hal tersebut juga akan berdampak pada kepuasan, kebahagiaan, dan

kualitas hidup pasien (Sharour, 2013).

Penelitian yang dilakukan Richbourg, Thorpe dan Rapp (2007)

menunjukkan hasil bahwa masalah berat yang dialami oleh pasien dengan

kolostomi dapat menyebabkan stress berat di antaranya iritasi kulit (76%),

kebocoran kantong (62%), bau tidak sedap (59%), penurunan aktivitas yang

menyenangkan (54%), dan depresi atau kecemasan (53%). Penelitian ini didukung

oleh penelitian Karadag, Mentes, dan Uner (2003) yang menunjukkan bahwa

pasien khawatir dengan kebocoran dan bau dari kantong kolostomi, dan mungkin

akan menghindari interaksi dengan orang-orang, menjadi tertutup, dan merasa


6

sendiri. Seiring berjalannya waktu, rasa tidak aman ini dalam situasi sosial dan

kurangnya kepercayaan dapat menyebabkan isolasi sosial total.

Berdasarkan hasil penelitian Dabirian, Yaghmaei, Rassouli, & Tafreshi

(2010) menggunakan pendekatan fenomenologi menunjukkan bahwa pasien

dengan ostomi menghadapi berbagai tantangan termasuk perjuangan yang

mempengaruhi kualitas hidup dan diperoleh beberapa tema yaitu masalah fisik

berhubungan dengan kolostomi, fungsi psikologis, hubungan sosial dan keluarga,

saat bepergian atau travelling, status gizi, aktivitas fisik, fungsi seksual, ekonomi

isu nutrisi, dan isu-isu religius khususnya agama Islam yang mengutamakan

kebersihan terutama ketika sholat.

Hasil penelitian Shaffy et al. (2012) menunjukkan bahwa pasien dengan

kolostomi juga memiliki berbagai masalah fisik, gizi dan seksual yang signifikan

pasca operasi. Berbagai Subtema yang muncul terkait masalah fisik adalah

kurangnya penyesuaian dalam kegiatan hidup sehari-hari, pola tidur berubah

terkait takut kebocoran, nyeri atau ketidaknyamanan dan integritas kulit berubah

berhubungan dengan iritasi oleh isi stoma. Subtema terkait masalah seksual

adalah merasa malu, kecemasan, menahan diri dari seksual dan penyesuaian

terhadap kehidupan seksual, dampak pada hasrat seksual, perilaku seksual dan

kesehatan seksual karena ostomi, penolakan melakukan hubungan oleh pasangan

terkait kantong ostomi dan penerimaan pasangan dengan alat ostomi. Subtema

terkait masalah gizi adalah ketidaknyamanan dan penghindaran dengan makanan

tertentu dan modifikasi dengan makanan tertentu.


7

Beragamnya dampak kolostomi menjadikan aspek kualitas hidup pasien

harus menjadi perhatian penting bagi para profesional kesehatan karena dapat

menjadi acuan keberhasilan dari suatu tindakan atau intervensi atau terapi. Di

samping itu, data tentang kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk

pertimbangan merumuskan intervensi atau tindakan yang tepat bagi pasien

(Umpierrez, 2013).

Periode yang paling penting pada kasus pemasangan kolostomi adalah

beberapa hari sampai minggu-minggu pertama dalam tahap pasca-operasi setelah

stoma baru terbentuk. Disfungsi psikologis dan sosial dapat terjadi pada pasien

yang telah menjalani bedah kolostomi (Simmons, Smith, Bobb & Liles, 2007).

Pasien mengalami kesulitan untuk mengelola stoma dalam kehidupannya,

misalnya, mereka tidak tahu bagaimana mengganti kantong stoma dengan fasilitas

yang memadai (Brown & Randle, 2005). Setelah operasi ostomy telah dilakukan,

pasien mungkin mengalami tekanan psikologis yang disebabkan oleh perasaan

perubahan dalam citra tubuh, fungsi dan kontrol stoma serta pembatasan dalam

gaya hidup dan aktivitas fisik. Pasien dengan stoma baru mengalami

kekhawatiran tentang citra tubuh, bau, kebocoran, visibilitas alat dan persepsi

negatif adalah alasan utama yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan.

(Williams, 2005). Oleh karena itu, ini khusus saat pasien baru menjalani

kolostomi, jaminan dan dukungan sangat membantu (Simmons et al., 2007).

Hasil wawancara pendahuluan dengan salah seorang pasien kanker

kolorektal dengan kolostomi tipe end stoma yang menjalani kontrol ke poli bedah

mengatakan bahwa “saya mengalami iritasi di sekitar area stoma, saya juga
8

mengalami gangguan tidur, dan tidak nyaman dengan aroma tubuh dan saya juga

kesulitan mengganti kantong secara mandiri. Selain itu, saya juga tidak bisa

mengangkat benda yang berat. Bisakah Anda bayangkan bagaimana seseorang

yang selalu bersih, dengan tubuh yang harum, telah berubah menjadi seseorang

dengan bau badan yang buruk bahkan terkadang saya sendiri belum bisa

menerima keadaan ini!”. Kondisi ini tentu berpotensi memberikan dampak yang

buruk pada kualitas hidup pasien tersebut.

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menggali lebih

dalam bagaimana kualitas hidup pasien yang menjalani terapi pemasangan

kolostomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kualitas hidup dan

persepsi pasien yang dilakukan pemasangan kolostomi terhadap tingkat kesehatan

secara umum. Tanggapan dari pasien yang memiliki pengalaman jangka panjang

dapat memberikan informasi berharga untuk penyesuaian atau adaptasi terhadap

kolostomi. Pendekatan peneliti untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi

tantangan-tantangan khusus yang dihadapi pasien, proses adaptasi, dan strategi

yang mereka gunakan untuk perawatan diri yang akan mempengaruhi kualitas

hidup pasien (Krouse et al., 2009).

Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan fenomenologi sehingga

akan memperoleh berbagai informasi baru yang lebih banyak dan mendalam

terkait kualitas hidup pasien dengan kolostomi yang belum tentu dapat diperoleh

melalui desain kuantitatif.


9

1.2 Permasalahan

Prevalensi kanker kolorektal yang semakin meningkat di seluruh dunia

menjadikannya sebagai salah satu masalah kesehatan global yang serius. Kanker

yang paling umum didiagnosis di seluruh dunia, baik pada pria maupun wanita,

dan memiliki tingkat insiden yang tinggi salah satunya adalah kanker kolorektal.

Kolostomi merupakan tindakan yang dilakukan pada sepertiga pasien kolorektal.

Meskipun tujuan kolostomi pada dasarnya adalah untuk menangani dan

mengurangi rasa sakit atau ketidaknyamanan pada pasien namun dalam banyak

kasus justru dapat menyebabkan masalah dan penderitaan bagi pasien di

antaranya masalah fisik termasuk iritasi kulit, kebocoran kantong, bau tidak

sedap, gangguan body image, depresi, kecemasan, perubahan pada hubungan

sosial dan keluarga, saat bepergian atau travelling, perubahan aktivitas fisik,

fungsi seksual, kondisi ekonomi dan isu-isu religius.

Pasien dengan kolostomi akan menghadapi berbagai tantangan yang

mempengaruhi domain kualitas hidup seperti masalah fisik, psikologis, sosial dan

spiritual yang signifikan di samping harus berjuang melawan kanker. Hal ini juga

didukung melalui hasil survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara

singkat pada pasien kolostomi, diperoleh data bahwa pasien dihadapkan dengan

tantangan-tantangan yang berpotensi membawa dampak buruk dalam kualitas

hidup pasien. Pendekatan peneliti untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi

tantangan-tantangan khusus yang dihadapi pasien, proses adaptasi, dan strategi

yang mereka gunakan untuk perawatan diri yang akan mempengaruhi kualitas

hidup pasien.
10

Pengalaman dan tanggapan dari pasien kolostomi dapat memberikan

informasi berharga untuk memberikan intervensi terhadap penyesuaian maupun

adaptasi penggunaan kolostomi. Kondisi mengenai kualitas hidup pasien

kolostomi merupakan suatu fenomena yang menarik. Oleh karena itu, fenomena

yang dialami pasien kolostomi perlu digali lebih dalam dan dipahami. Penelitian

ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang dinyatakan dengan pertanyaan

“Bagaimanakah kualitas hidup pasien kanker kolorektal dengan kolostomi?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam

kualitas hidup pasien kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan

end stoma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktik Keperawatan (Nursing Practice)

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perawat klinis untuk

memperhatikan aspek kualitas hidup pasien dengan kolostomi dengan

menjalankan peran penting sebagai edukator dalam memberikan pelatihan dan

bimbingan berkelanjutan terkait kolostomi serta menciptakan lingkungan yang

mendukung sehingga pasien memiliki pengalaman dan kemampuan dalam

perawatan diri. Dengan demikian, pasien memiliki kesempatan terbaik untuk

kembali ke kehidupan mereka sebelumnya jika menerima pendidikan

berkelanjutan selama masa transisi dan pada akhirnya akan menjadikan kualitas

kehidupan yang lebih baik.


11

1.4.2 Pendidikan Keperawatan (Nursing Education)

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pengembangan ilmu keperawatan

medikal bedah dan komunitas terkait kualitas hidup pasien kolostomi serta

bermanfaat bagi institusi pendidikan untuk mempersiapkan mahasiswa yang akan

melakukan praktik lapangan dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan yang

holistik pada pasien dengan kolostomi baik yang berada di rumah sakit maupun

di komunitas.

1.4.3 Penelitian Keperawatan (Nursing Research)

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based dan

pertimbangan bagi penelitian keperawatan dalam melakukan penelitian

selanjutnya khususnya penelitian kualitatif yang berkaitan dengan kualitas hidup

pasien dengan kolostomi.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Kolorektal

2.1.1 Defenisi

Kolorektal mengacu kepada kolon dan rektum, yang bersama-sama

membentuk usus besar. Kanker kolorektal adalah kanker pada kolon atau rektum

dan merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia (Ignatavicius &

Workman, 2013). Kanker kolorektal dapat didefinisikan sebagai keganasan atau

pertumbuhan sel abnormal pada area kolon dan rektum yang terdapat pada kolon

asending, transversal, desending, sigmoid dan rektal (William & Hopper, 2003).

2.1.2. Faktor Resiko

Penyebab kanker kolorektal belum diketahui secara pasti tetapi faktor

resiko telah terindentifikasi yaitu konsumsi alkohol, merokok, obesitas, riwayat

gastrektomi, riwayat penyakit radang usus, diet tinggi lemak, tinggi protein, diet

rendah serat, kanker genital (kanker endometrium, kanker ovarium) atau kanker

payudara (Smeltzer et al., 2010).

Pasien yang memiliki riwayat keluarga (adik, saudara, atau anak) yang

didiagnosis dengan kanker kolorektal (CRC) memiliki tiga sampai empat kali

risiko mengalami kanker kolorektal. Autosom dominan yang diturunkan melalui

genetik dikenal sebagai Familial Adenomatosa Poliposis (FAP) menyumbang

1% dari CRC (McCance et al., 2010). Pada pasien yang masih muda, ribuan

polip adenomatous berkembang selama 10 sampai 15 tahun dan memiliki hampir

12
13

100% kesempatan untuk menjadi ganas. Hereditary Nonpolyposis Cancer

Colorectal Cancer atau HNPCC adalah gangguan lain dari autosomal dominan

dan menyumbang sebagian kecil dari semua kanker kolorektal. HNPCC juga

disebabkan oleh mutasi gen. Orang dengan mutasi gen ini memiliki kesempatan

80% untuk mengembangkan CRC pada rata-rata 45 tahun (Nussbaum et al.,

2007).

Gaya hidup menjadi faktor resiko dari penyakit kanker kolorektal.

Obesitas, merokok, alkohol, diet tinggi lemak, konsumsi daging merah, konsumsi

makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur, dan kurangnya olahraga

secara teratur (Lewis et al., 2011). Beberapa penelitian bahkan memaparkan

bahwa kurangnya konsumsi buah dan sayuran merupakan faktor resiko utama

dari kanker kolorektal (Stewart & Kleihues, 2003 dalam Ruddon, 2007).

2.1.3 Patofosiologi

Adenocarcinoma adalah tipe kanker kolorektal yang paling umum terjadi.

Tumor ini muncul dari jaringan epitel kelenjar usus besar, berkembang sebagai

proses multitahap, mengakibatkan sejumlah perubahan molekuler. Peningkatan

proliferasi dari mukosa kolon membentuk polip yang dapat berubah menjadi

tumor ganas. Kebanyakan CRC diyakini timbul dari polip adenomatosa yang

hadir sebagai tonjolan yang terlihat dari permukaan mukosa usus (McCance et

al., 2010).

Tumor dapat terjadi di lokasi yang berbeda pada kolon, dengan sekitar

dua pertiga terjadi di wilayah rectosigmoid. Persentase kanker kolon terjadi pada
14

kolon ascending 22%, kolon transversal 11%, kolon descending 6%, sigmoid

25%, rektum 30% (Ignatavicius & Workman, 2013).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CRC tergantung pada lokasi tumor. Namun, tanda-

tanda yang paling umum adalah pendarahan anus, anemia, fatigue, dan

perubahan konsistensi atau bentuk tinja. Kotoran dapat mengandung sejumlah

mikroskopis darah yang tidak terlihat, atau pasien mungkin memiliki feses

berwarna gelap atau berwarna merah. Darah biasanya tidak terdeteksi pada

tumor sisi kanan kolon tetapi umum terjadi pada tumor dari sisi kiri kolon dan

rektum. Manifestasi lain pada tumor kolon sisi kiri adalah konstipasi dan diare

yang terjadi bergantian, sensasi evakuasi yang tidak tuntas. Kanker pada kolon

sisi kanan biasanya asimptomatik, nyeri abomen yang tidak jelas atau kram pada

abdomen, nyeri kolik abdomen mungkin muncul (Lewis et al., 2011)

Tumor pada kolon tranversal dan descenden mengakibatkan gejala

obstruksi. Pasien dapat melaporkan nyeri, kembung, kram atau eliminasi bowel

tidak tuntas. Tumor pada rectosigmoid berhubungan dengan hematochezia

(keluarnya darah merah melalui rektum) dan mengedan. Pasien dapat

melaporkan nyeri tumpul. Tumor sisi kanan dapat tumbuh cukup besar tanpa

mengganggu pola usus karena konsistensi tinja lebih cair di bagian usus besar.

Tumor ini dapat menyebabkan ulserasi dan timbul perdarahan intermitten

sehingga kotoran dapat mengandung darah berwarna gelap. Massa dapat teraba

di kuadran kanan bawah, dan pasien sering menderita anemia akibat kehilangan

darah (Ignatavicius & Workman, 2013).


15

Pemeriksaan abdomen dimulai dengan pengkajian adanya distensi atau

massa. Peristaltik yang disertai bising usus bernada tinggi mungkin

menunjukkan obstruksi usus parsial akibat tumor. Total tidak adanya bising usus

menunjukkan obstruksi usus lengkap. Palpasi dan perkusi yang dilakukan untuk

menentukan pembesaran limpa atau hati atau massa yang hadir di sepanjang usus

besar. Pemeriksa juga melakukan pemeriksaan colok dubur untuk meraba massa

pada rektum dan kolon sigmoid (Ignatavicius & Workman, 2013).

2.1.5 Komplikasi

Kanker kolorektal (CRC) dapat bermetastasis dengan ekstensi langsung

atau dengan menyebar melalui darah atau getah bening. Tumor dapat menyebar

secara lokal ke dalam empat lapisan dinding usus dan masuk ke organ

sekitarnya. Hal ini bisa meluas ke dalam lumen usus atau menyebar melalui

sistem limfatik atau peredaran darah. Hati adalah daerah yang paling sering

mengalami metastasis melalui penyebaran peredaran darah. Metastasis ke paru-

paru, otak, tulang, dan kelenjar adrenal juga dapat terjadi (Ignatavicius &

Workman, 2013).

Komplikasi yang berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan tumor

secara lokal atau melalui penyebaran metastasis termasuk obstruksi usus atau

perforasi yang menyebabkan peritonitis, pembentukan abses, dan pembentukan

fistula ke kandung kemih atau vagina (Smeltzer et al., 2010). Tumor dapat

menyerang pembuluh darah yang berdekatan dan menyebabkan perdarahan.

Tumor yang tumbuh ke dalam lumen usus secara bertahap dapat menghambat

usus dan akhirnya mengobstruksi sepenuhnya. Tumor ini juga dapat meluas ke
16

luar dinding usus dapat menyebabkan tekanan pada organ sekitarnya (rahim,

kandung kemih, dan ureter) dan menyebabkan gejala (Ignativicius & Workman,

2013).

2.1.6 Prosedur Diagnostik Kanker Kolorektal

Prosedur diagnosis pada pasien kanker kolorektal dapat dikenali dari

tanda dan gejala yang telah diuraikan sebelumnya. Penunjang diagnostik perlu

segera dilakukan. Permulaan usia 50 tahun, baik pria maupun wanita berisiko

mengalami kanker kolorektal dan harus menjalani screening tests yang utama

untuk mendeteksi kanker. Uji diagnostik yang dirancang untuk menemukan

kanker dan polip secara dini lebih disukai dan pasien menjalani salah satu dari tes

tersebut. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi: 1) sigmoidoscopi

dilakukan setiap 5 tahun, 2) kolonoskopi dilakukan setiap 10 tahun, 3) barium

enema double contrast dilakukan setiap 5 tahun, 4) CT colonography atau virtual

colonoscopy dilakukan setiap 5 tahun. Pemeriksaan diagnostik yang utama untuk

mendeteksi kanker meliputi: 1) FOBT (Fecal Occult Blood Test) yang dilakukan

setiap tahun, 2) Fecal immunochemical test (FIT) yang dilakukan setiap tahun, 3)

Stool DNA untuk menunjukkan adanya penanda DNA yang menunjukkan

adenoma premalignant dan sel-sel kanker test (sDNA), interval waktunya tidak

menentu (Lewis et al., 2011).

Kolonoskopi adalah standar terbaik untuk mendeteksi CRC karena

seluruh kolon diperiksa (hanya 50% CRC yang dideteksi melalui sigmoidoscopi),

biopsi dapat dilakukan, dan polip dapat dengan segera diangkat dan dikirim ke

laboratorium untuk pemeriksaan histologi (Smeltzer et al., 2010; Lewis et al.,


17

2011, Ignatavicius & Workman, 2013). Pasien yang berisiko mengalami CRC

harus menjalani pemeriksaan kolonoskopi setiap 10 tahun yang dimulai pada usia

50 tahun (Lewis et al., 2011).

Setelah pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi jaringan menunjukkan

adanya diagnosis dari CRC, pemeriksaan laboratorium harus dilakukan termasuk

CBC untuk pemeriksaan anemia, studi koagulasi, tes fungsi hati. CT scan atau

MRI abdomen membantu untuk mendeteksi adanya metastase pada hati,

retroperitoneal dan pelvic, penetrasi tumor pada dinding usus. Tes fungsi hati

mungkin menunjukkan hasil yang normal walaupun metastase terjadi (Lewis et

al., 2011). Carcinoembryonic antigen (CEA) adalah glikoprotein kompleks yang

diproduksi oleh 90% kanker kolorektal. CEA sangat membantu dalam memonitor

penyakit berulang setelah menjalani pembedahan dan kemoterapi (Smeltzer et al,

2010).

2.1.7 Sistem Klasifikasi

Jenis terapi yang digunakan didasarkan pada stadium patologis penyakit.

Penentuan staging kanker kolorektal berdasarkan sistem TNM dari The American

Joint Committee on Cancer (AJCC) diperlihatkan pada tabel berikut (Lewis et al.,

2011):

Tabel 2.1 Klasifikasi TNM dari Kanker Kolorektal


Tumor Primer (T)
Tx Tumor primer tidak dapat dievaluasi
Tis Karsinoma in situ (kanker dini yang belum berkembang ke lapisan
mukosa)
T1 Tumor berkembang melampaui mukosa sampai ke submukosa
T2 Tumor tumbuh melalui submukosa sampai ke propia muscularis
T3 Tumor tumbuh melalui propia muscularis ke bagian subserosa tetapi
belum sampai ke organ atau jaringan yang berdekatan
T4 Tumor telah menyebar secara lengkap melalui dinding kolon atau
rektal dan ke jaringan atau organ yang berdekatan
18

Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N)


Nx Kelenjar getah bening regional tidak dapat dievaluasi
N0 Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional (kanker tidak
ditemukan pada kelenjar getah bening)
N1 Kanker ditemukan pada satu sampai tiga kelenjar limfe yang
berdekatan
N2 Kanker ditemukan pada 4 atau lebih kelenjar limfe yang berdekatan
Metastasis (M)
Mx Metastasis jauh tidak dapat dievaluasi
M0 Tidak ada metastasis jauh (kanker belum menyebar ke bagian lain dari
tubuh)
M1 Metastasis jauh (kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh)

Seperti kanker lainnya, prognosis memburuk dengan ukuran yang lebih

besar dan kedalaman tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis.

Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun adalah 90% jika kanker terlokalisir (terbatas

pada dinding usus), 68% jika kelenjar getah bening yang terlibat, dan 10% jika

metastasis jauh.

Tabel 2.2 Sistem Klasifikasi yang Digunakan untuk Penentuan Staging


Kanker Kolorektal (Dubois, 2008)
Duke’s Patologi Stadium TNM Prognosiss
A Tidak ada I T1 N0 M0 >90%
invasi
melampaui
submucosa
B1 Ekstensi I T2 N0 M0 85%
sampai ke
muskularis
B2 Ekstensi II T3 N0 M0 70%-80%
sampai atau
melampau
serosa
C Keterlibatan III Setiap T, N1 35%-65%
kelenjar limfe M0
D Metastase jauh IV Setiap T, 5%
Setiap N, M1
19

2.1.8 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal

Penatalaksanaan pada pasien dengan kanker kolorektal meliputi

penatalaksanaan bedah, kemoterapi, radiasi, dan keperawatan.

Penatalaksanaan bedah terhadap pasien kanker kolorektal tergantung

ukuran tumor, lokasi, tingkat metastasis, integritas usus, dan kondisi pasien

menentukan prosedur bedah yang dilakukan untuk kanker kolorektal. Operasi

pengangkatan tumor dengan area tepi yang bebas dari penyakit adalah metode

terbaik untuk memastikan pengangkatan CRC. Beberapa kelenjar getah bening

regional dikeluarkan dan diperiksa untuk adanya kanker. Jumlah kelenjar getah

bening yang terkena kanker adalah prediktor kuat dari prognosis (Ignatavicius, &

Workman, 2013).

Operasi yang paling umum dilakukan adalah reseksi kolon (pengangkatan

tumor dan kelenjar getah bening regional) dengan reanastomosis, kolektomi

(pengangkatan kolon) dengan kolostomi (sementara atau permanen) atau

ileostomi dan reseksi abdomino perineal (AP). Kolostomi merupakan prosedur

bedah dengan pembukaan usus besar ke permukaan perut. Pembedahan

kolostomi dapat berupa kolostomi sigmoid dan pengangkatan sebagian sigmoid,

rektum dan sfingter ani. Pada pasien palliative care, kolostomi ataupun ileostomi

permanen biasanya dibuat dengan tanpa mengangkat organ yang terkena kanker.

Reseksi AP dilakukan pada tumor rektal. Ahli bedah mengangkat kolon

sigmoid, rektum, dan anus melalui kombinasi insisi di perut dan sayatan

perineum. Reseksi segmental dengan anastomosis dibutuhkan untuk mengangkat

tumor dan sebagian kolon yang terkena pertumbuhan tumor, berikut dengan
20

pembuluh darah dan limfenya. Pengangkatan rektum (yang terkena kanker) tanpa

merusak anus disebut sebagai Low anterior Resection (LAR). Pada operasi ini,

setelah pengangkatan, kolon proksimal akan dihubungkan dengan bagian rektum.

Operasi ini biasa dilakukan pada pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau

III pada ½ bagian atas rektum (dekat perbatasan dengan kolon) (Ignatavicius &

Workman, 2013).

Tabel 2.3 Prosedur Bedah untuk Kanker Kolorektal di Berbagai Lokasi


Kolon (Ignatavicius & Workman, 2013)
Lokasi Tumor Tindakan pembedahan
Tumor kolon sisi kanan 1. Hemicolectomy kanan untuk lesi yang lebih
keci
2. Kolostomi ascending kanan atau ileostomi
untuk ukuran besar, lesi yang meluas
3. Cecostomy (pembukaan ke dalam sekum
dengan intubasi untuk dekompresi usus)
Tumor kolon sisi kiri 1. Hemicolectomy kiri untuk lesi yang lebih
kecil
2. Kolostomi desending untuk lesi yang lebih
besar
Tumor kolon sigmoid 1. Kolektomi sigmoid untuk lesi yang lebih
kecil
2. Kolostomi sigmoid untuk lesi yang lebih
besar
3. Reseksi Abdominoperineal untuk lesi yang
besar, tumor sigmoid rendah (dekat anus)
dengan kolostomi (rektum dan anus benar-
benar dibuang, meninggalkan luka perineum)
Tumor rectal 1. Reseksi dengan anastomosis atau prosedur
pull-through (mempertahankan sfingter anal
dan pola eliminasi normal)
2. Reseksi usus dengan kolostomi permanen
3. Reseksi Abdominoperineal dengan
kolostomi

Kemoterapi direkomendasikan ketika terdapat keterlibatan kelenjar getah

bening pada saat pembedahan atau metastase penyakit. Kemoterapi dapat

digunakan untuk mengecilkan tumor sebelum pembedahan, sebagai adjuvan

terapi setelah reseksi kolon, dan sebagai terapi paliatif untuk CRC yang tidak
21

dapat direseksi (Lewis et al., 2011). Kemoterapi adjuvan setelah operasi primer

dianjurkan untuk pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau tahap III untuk

mengganggu produksi DNA sel dan meningkatkan kelangsungan hidup

(Ignatavicius & Workman, 2013).

Pemberian terapi radiasi sebelum operasi belum menunjukkan perbaikan

tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan untuk kanker usus besar, tetapi

efektif dalam memberikan kontrol lokal atau regional dari pertumbuhan sel-sel

kanker (Ignatavicius & Workman, 2013). Terapi radiasi dapat digunakan

postoperatif sebagai terapi adjuvan untuk pembedahan dan kemoterapi atau

sebagai terapi paliatif untuk kanker yang telah mengalami metastase. Sebagai

terapi paliatif, tujuan utama adalah mengurangi ukuran tumor dan meringankan

gejala (Lewis et al., 2011).

Penatalaksanaan keperawatan pada pasien kanker kolorektal memiliki

tujuan utama termasuk pencapaian gizi yang optimal, manajemen keseimbangan

cairan dan elektrolit, penurunan kecemasan, edukasi tentang diagnosis, prosedur

pembedahan, dan perawatan diri setelah pulang dari rumah sakit, pemeliharaan

penyembuhan jaringan yang optimal, perlindungan peristomal kulit, edukasi

tentag irigasi kolostomi (dilakukan hanya pada kolostomi sigmoid), mengganti

appliance, mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran tentang kolostomi dan

dampak pada diri, menghindari komplikasi (Smeltzer et al., 2010).

Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah mempersiapkan pasien

untuk pembedahan, memberikan dukungan emosional, perawatan pascaoperasi,

mempertahankan nutrisi yang optimal, perawatan luka, pemantauan dan


22

mengelola komplikasi, mengganti dan memasang colostomy appliance, irigasi

kolostomi, mendukung citra tubuh yang positif, membahas masalah seksualitas,

mempromosikan perawatan berbasis home care dan community care (Smeltzer et

al., 2010).

2.2 Kolostomi

2.2.1 Definisi

Kolostomi adalah pembuatan stoma atau lubang pada kolon atau usus

besar (Smeltzer et al., 2010). Kolostomi merupakan tindakan pembedahan untuk

membuka jalan usus besar ke dinding abdomen anterior. Akhir atau ujung dari

usus besar yang dikeluarkan pada abdomen disebut sebagai stoma. Stoma itu

sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti mulut. Stoma bersifat basah,

mengkilat dan permukaannya berwarna merah, seperti membran mukosa pada

oral. Stoma tidak memiliki ujung syaraf sehingga tidak terlalu sensitif terhadap

sentuhan ataupun nyeri. Akan tetapi stoma kaya akan pembuluh darah dan

mungkin dapat berdarah jika dilakukan pengusapan. Hal ini termasuk normal,

hanya perlu diwaspadai jika darah yang keluar terus menerus dan dalam jumlah

banyak (Melville & Baker, 2011).

Kolostomi memungkinkan pasien dengan kanker kolorektal melakukan

proses eleminasi BAB dengan lancar. Akan tetapi, berbeda dengan proses

eliminasi normal, pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran feses. Feses yang

keluar dari stoma akan ditampung pada kantung kolostomi yang direkatkan pada

abdomen. Pada awal pembedahan, konsistensi feses akan tampak lebih cair,
23

namun akan membaik secara bertahap hingga mencapai konsistensi yang normal,

sesuai dengan letak stoma pada kolon (Ignatavicius & Workman, 2013).

2.2.2 Jangka Waktu Pemasangan Kolostomi

Kolostomi dilakukan untuk berbagai penyakit dan kondisi yang berbeda

dan tergantung pada kebutuhan pasien. Kolostomi dapat bersifat temporer (jangka

pendek) atau permanen (jangka panjang).

Kolostomi sementara (temporary) dilakukan untuk beberapa masalah

pada kolon dengan tujuan untuk memberikan bagian usus beristirahat. Bagian

usus tetap kosong untuk menjaga feses agar tidak masuk ke bagian dari usus

tertentu. Untuk melakukan hal ini, kolostomi jangka pendek (temporer) dibuat

sehingga usus dapat disembuhkan. Proses penyembuhan ini mungkin

memerlukan waktu beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Dalam

waktu yang tepat, kolostomi akan dikembalikan dan usus akan bekerja seperti itu

sebelumnya dan feses akan keluar melalui anus.

Kolostomi jangka panjang atau permanen dilakukan ketika bagian dari

usus besar atau rektum tidak mampu berfungsi akibat penyakit tertentu. Bagian

dari usus yang terkena penyakit diangkat atau secara permanen beristirahat.

Dalam hal ini, kolostomi diperkirakan tidak akan ditutup di masa depan (United

Ostomy Association of America [UOAA], 2011) .

2.2.3 Jenis Kolostomi

Kolostomi dilakukan baik pada bagian ascenden, transversal, descenden,

atau kolon sigmoid. Beberapa teknik digunakan untuk membentuk kolostomi.

Sebuah loop stoma dibuat dengan membawa loop dari usus ke permukaan kulit,
24

memutus dan membawa ke bagian dinding anterior, dan menjahit ke dinding

perut. Loop kolostomi biasanya dilakukan dalam kolon tranversal dan biasanya

bersifat sementara.

End stoma sering dibuat paling sering di bagian descenden atau kolon

sigmoid, ketika kolostomi dimaksudkan untuk menjadi permanen. End stoma

dibuat dengan memutuskan ujung usus bagian proksimal dan mengeluarkan

ujung usus proksimal tersebut melalui dinding abdomen sebagai stoma tunggal.

Usus bagian distal akan diangkat atau dijahit dan ditinggalkan dalam rongga

abdomen.

Kolostomi umum yang lain adalah double-barrel stoma, yang dibuat

dengan membagi usus dan membawa kedua bagian proksimal dan distal ke

permukaan abdomen untuk membuat dua stoma. Stoma proksimal adalah stoma

yang berfungsi dengan baik dan menghilangkan kotoran. Stoma distal dianggap

nonfungsi, meskipun mungkin mengeluarkan beberapa lendir. Stoma distal

kadang-kadang disebut sebagai fistula mukosa (Ignatavicius & Workman, 2013).

2.2.4 Masalah Kesehatan yang Terjadi Akibat Kolostomi

Masalah yang banyak terjadi pasca pembuatan kolostomi adalah iritasi

pada kulit di sekitar stoma (Smeltzer et al., 2010). Iritasi pada area kulit

peristomal banyak terjadi terutama pada lansia, disebabkan oleh lapisan epitel

dan lemak subkutan yang semakin tipis karena proses penuaan sehingga kulit

menjadi semakin mudah mengalami iritasi (Smeltzer et al., 2010). Pada dasarnya,

bahan pada kantong kolostomi yang menempel pada permukaan kulit sudah

didesain agar tidak menyebabkan iritasi pada kulit (WOCN, 2008). Ostomate
25

(individu yang memiliki stoma) dengan kulit yang sensitif mungkin

membutuhkan tes skin patch jika mengeluhkan adanya beberapa reaksi terhadap

penempelan beberapa kantong kolostomi.

Individu yang memiliki stoma memiliki resiko terkena infeksi Candida

albicans yang biasa dikenal sebagai infeksi jamur (Eucomed, 2012). Hal ini

dikarenakan kulit peristomal memiliki karakteristik hangat, lembap dan tertutup

(oleh kantong kolostomi) dimana lingkungan ini kondusif terhadap pertumbuhan

jamur. Kulit yang terkena infeksi ini akan berubah menjadi kemerahan dan terasa

gatal. Medikasi topical antifungal dapat dioleskan pada area yang terkena infeksi.

Rasa gatal, panas dan seperti terbakar pada area penempelan kantong

kolostomi mengindikasikan adanya lecet, ruam ataupun infeksi pada kulit

(WOCN, 2008). Hal terpenting dalam pencegahan infeksi pada kulit adalah

dengan melakukan perawatan kulit peristomal dengan baik. Pemasangan kantong

kolostomi yang sesuai dengan stoma merupakan pencegahan utama terjadinya

iritasi dan infeksi pada kulit. Skin barrier (dalam bentuk salep ataupun bedak)

dapat diberikan pada area peristomal 30 detik sebelum kantong kolostomi

ditempelkan pada kulit (Smeltzer et al., 2010).

Masalah lain yang biasa dikeluhkan oleh pasien adalah pengeluaran gas

dan bau dari stoma, konstipasi dan diare (Eucomed, 2012). Pengeluaran gas dan

bau pada stoma menjadi masalah pada ostomate karena berbeda dengan

pengeluaran melalui anus, pengeluarannya melalui stoma tidak dapat dikontrol.

Gas yang terdapat pada saluran pencernaan didapatkan dari beberapa jenis

makanan seperti makanan berpengawet, brokoli, kubis, jagung, timun, bawang,


26

dan lobak. Gas juga didapatkan dari menelan udara (secara tak sengaja) pada saat

berbicara, makan, merokok dan sebagainya (Eucomed, 2012). Oleh karena itu

ostomate dianjurkan untuk mengunyah makanan secara perlahan untuk

meminimalkan udara yang masuk. Bau pada gas atau feses yang dikeluarkan juga

dapat diakibatkan oleh beberapa makanan seperti telur, keju, ikan, bawang, dan

kubis.

Konstipasi dapat terjadi pada pasien akibat diet yang tidak seimbang, serta

intake makanan berserat ataupun cairan yang kurang (Gutman, 2011). Apabila

ostomate mengalami konstipasi maka perlu peningkatan asupan makanan berserat

seperti gandum, sayur, buah, dan asupan cairan. Hampton (2007)

merekomendasikan minimal konsumsi 8-10 gelas air per hari, atau 1,5 hingga 2

liter air per hari (dapat termasuk teh, kopi ataupun jus). Melakukan aktivitas fisik

ringan seperti bersepeda, jogging juga dapat membantu meningkatkan pergerakan

bowel dan mengatasi konstipasi.

Diare merupakan bertambahnya komposisi cairan pada feses disertai

dengan frekuensi BAB yang meningkat dari kebiasaan normal individu

(Eucomed, 2012). Akibat dari diare adalah hilangnya cairan dan elektrolit pada

tubuh indvidu. Diare umumnya terjadi pada pasien dengan ileostomi namun dapat

terjadi juga pada klien dengan kolostomi. Individu dengan pembuatan stoma di

kolon asenden dan transversal akan mengalami perubahan konsistensi feses

seperti diare, namun hal ini normal karena penyerapan air pada kolon asenden

dan transversal masih minimal. Penatalaksanaan diare, seperti halnya konstipasi,

meliputi manajemen diet. Pada saat diare terjadi, individu akan beresiko
27

kehilangan banyak kalium, sehingga butuh asupan makanan mengandung kalium

seperti pisang, jeruk, tomat, ubi, kentang, dan gandum (Canada Care Medical,

2010).

2.2.5 Manajemen Kolostomi

Kolostomi harus mulai berfungsi dalam 2 sampai 4 hari pasca operasi.

Ketika mulai berfungsi, kantong perlu sering dikosongkan karena pengumpulan

gas berlebih. Pengosongan dilakukan ketika feses sudah mencapai sepertiga

hingga setengah pada kantung kolostomi. Feses yang berbentuk cair keluar segera

setelah operasi, tetapi menjadi lebih solid, tergantung lokasi stoma (Ignatavicius

& Workman, 2013). Manajemen kolostomi dilakukan dengan memperhatikan

aspek-aspek berikut ini:

1. Sistem Pouching atau Kantong Kolostomi

Sistem pouching yang baik perlu mempertimbangkan panjang stoma,

kontur dan bentuk abdomen, lokasi stoma, bekas luka dan lipatan di dekat stoma,

dan tinggi dan berat badan semua harus dipertimbangkan. Sistem pouching yang

baik harus aman dan tahan bocor yang berlangsung hingga 3 hari, tahan bau,

melindungi kulit di sekitar stoma, hampir tidak terlihat di bawah pakaian, mudah

untuk dipakai dan dilepas.

Kantong kolostomi tersedia dalam berbagai model dan ukuran, tetapi

semua memiliki kantong kolektif untuk mengumpulkan feses yang keluar dari

stoma dan mempunyai bagian perekat (flange, barier kulit, atau wafer) yang

melindungi kulit di sekitarnya. Ada 2 jenis utama sistem pouching, yaitu: 1) One-

piece pouches yang melekat pada barier kulit, 2) Two-piece pouches terdiri dari
28

barier kulit dan kantong yang bisa dilepas dan dipasang kembali pada barier kulit.

Beberapa sistem pouching dapat dibuka di bagian bawah untuk memudahkan

pengosongan. Sistem lain ada yang tertutup dan dilepaskan ketika kantong penuh,

sistem lain memungkinkan perekat barier kulit untuk tetap pada tubuh sementara

kantong dapat dilepas, dicuci, dan digunakan kembali. Kantong terbuat bahan

yang tahan bau dan bervariasi dalam harga (UOAA, 2011).

2. Penutup Stoma (Stoma Covers)

Jika pasien dapat mengelola kolostomi dengan pengeluaran feses yang

reguler, pada waktu yang diharapkan, pasien dapat menggunakan penutup stoma

bukan selalu memakai kantong. Pasien dapat menempatkan kasa yang dilipat

rapi atau tissu, dioleskan dengan sedikit pelumas yang larut dalam air di atas

permukaan stoma, dan menutupinya dengan selembar plastik. Hal ini dapat

dibuat dengan pita perekat medikal, pakaian dalam, atau pakaian elastis. Stoma

cap yang lebih praktis juga tersedia (ACS, 2014).

3. Mengganti Sistem Pouching

Sistem pouching dirancang untuk lama pemakaian yang berbeda. Ada

sistem kantong yang diganti setiap hari, setiap 3 hari atau lebih, dan ada yang

hanya seminggu sekali. Beberapa kantong dapat dibersihkan dan digunakan

kembali. Tergantung pada jenis kantong yang digunakan. Dalam banyak kasus,

pagi hari sebelum makan atau minum adalah waktu terbaik untuk mengosongkan

kantong kolostomi (UOAA, 2011).


29

4. Perawatan kulit peristoma

Gunakan ukuran kantong yang tepat dan pembukaan barier kulit.

Pembukaan yang terlalu kecil dapat melukai stoma dan dapat menyebabkan

stoma membengkak. Jika pembukaan terlalu besar, output bisa mengiritasi kulit.

Lubang kantong harus sekitar 0,3 cm lebih besar dari stoma (Smeltzer et al.,

2010). Mengganti sistem pouching secara teratur perlu untuk menghindari

kebocoran dan iritasi kulit. Gatal dan terbakar adalah tanda-tanda bahwa kulit

perlu dibersihkan dan sistem pouching harus diganti. Jangan merobek sistem

pouching dari kulit atau mengganti lebih dari sekali sehari kecuali ada masalah.

Lepaskan barier kulit dengan lembut dan mendorong kulit jauh dari perekat

barier daripada menarik barier dari kulit. Bersihkan kulit sekitar stoma dengan

air. Keringkan area stoma sebelum mengenakan penutup, barier kulit, atau

kantong. Stoma diupayakan tertutup selama mandi (ACS, 2014).

Persiapan kulit mungkin termasuk mencukur rambut peristomal (bergerak

dari stoma luar) untuk mencapai permukaan yang halus, mencegah

ketidaknyamanan ketika appliance akan diangkat, dan meminimalkan risiko

folikel rambut yang terinfeksi. Menyarankan pasien untuk membersihkan sekitar

stoma dengan sabun lembut dan air sebelum memasang sebuah alat. Pasien juga

harus menghindari penggunaan sabun pelembab untuk membersihkan daerah

tersebut karena lubrikan dapat mengganggu adhesi atau perekatan alat.

Ajarkan pasien dan keluarga untuk menerapkan skin sealant (sebaiknya

tanpa alkohol) dan biarkan hingga kering sebelum penerapan alat (colostomy

bag) untuk memfasilitasi berkurangnya rasa sakit dari perekat ketika akan
30

diganti. Jika kulit peristomal menjadi kasar, bedak stoma atau pasta atau

kombinasi juga dapat diterapkan. Pasta atau lainnya pengisi krim juga digunakan

untuk mengisi celah-celah dan lipatan untuk membuat permukaan datar dari

kantong kolostomi. Jika pasien mengalami ruam karena jamur, krim antijamur

atau powder harus digunakan (Ignatavicius & Workman, 2013).

5. Nutrisi

Pengendalian gas dan bau dari kolostomi sering menjadi masalah penting

bagi pasien dengan ostomi baru. Kantong bocor atau tidak cukup tertutup adalah

penyebab bau pada umumnya, flatus juga dapat berkontribusi menjadi sumber

bau. Ingatkan pasien bahwa meskipun secara umum tidak ada makanan yang

dilarang untuk pasien dengan stoma, makanan dan kebiasaan tertentu dapat

menyebabkan flatus atau berkontribusi terhadap aroma ketika kantong terbuka.

Brokoli, kacang-kacangan, makanan pedas, bawang, kubis, kol, kembang kol,

mentimun, jamur, dan kacang polong sering menyebabkan flatus, seperti halnya

permen karet, merokok, minum bir, dan pola makan yang tidak teratur. Biskuit,

roti panggang, dan yoghurt dapat membantu mencegah gas. Asparagus, brokoli,

kubis, lobak, telur, ikan, dan bawang putih menyebabkan bau ketika kantong

terbuka. Buttermilk, jus cranberry, dan yogurt akan membantu mencegah bau.

Filter karbon, pengharum kantong akan membantu menghilangkan bau. Lubang

ventilasi yang memungkinkan pelepasan gas dari kantong ostomy melalui filter

penghilang bau yang tersedia dan dapat menurunkan bau (Gutman, 2011;

Iganatavicius & Workman, 2013).


31

Pasien dianjurkan makan dengan porsi kecil pada awalnya kemudian

secara bertahap. Minum banyak cairan minimal 5-6 delapan gelas air per hari

direkomendasikan. Dehidrasi dan hilangnya elektrolit (garam dan mineral) yang

mungkin jika cairan tidak cukup dikonsumsi dalam sehari. Tingkatkan asupan

cairan apabila pasien bekerja keras atau iklim panas (Ignatavicius & Workman,

2013).

6. Irigasi Kolostomi

Pasien dengan kolostomi sigmoid dapat mengambil manfaat dari irigasi

kolostomi untuk mengatur eliminasi. Namun, mayoritas pasien dengan kolostomi

sigmoid dapat mengatur pola eliminasi melalui diet. Irigasi sama dengan enema

tetapi diberikan melalui stoma bukan rektum (Lewis et al., 2011). Tujuan irigasi

kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mucus, feses sehingga

pasien dapat menjalankan aktivitas sosial dan bisnis tanpa rasa takut terjadi

drainase fekal. Dengan mengirigasi stoma pada waktu yang teratur terdapat

sedikit gas dan retensi cairan pengirigasi (Smeltzer et al., 2010).

7. Pengkajian Psikososial

Selain masalah fisik, pengkajian psikososial perlu dilakukan. Diagnosis

kanker dapat secara emosional menyebabkan masalah untuk pasien dan keluarga

atau orang terdekat, tetapi pengobatan dapat diterima karena dapat memberikan

harapan untuk mengendalikan penyakit. Eksplorasi reaksi terhadap penyakit dan

persepsi intervensi yang direncanakan. Reaksi pasien untuk operasi ostomi dapat

mencakup: 1) Takut tidak diterima oleh orang lain dan lingkungan, 2) Perasaan

duka yang berhubungan dengan gangguan citra tubuh, 3) Kekhawatiran tentang


32

seksualitas. Symms et al., (2008) dalam studi mereka menemukan bahwa veteran

laki-laki dengan ostomi usus mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan

aktivitas seksual dan keintiman merupakan tantangan terbesar. Kebanyakan

pasien memerlukan waktu 6 bulan sebelum mereka merasa nyaman dengan

perawatan ostomi (Smeltzer et al., 2010).

8. Pendidikan Kesehatan dan Perawatan di Rumah

Perawatan pasien dengan kolostomi didukung melalui proses rehabilitasi

setelah operasi yang mengharuskan pasien dan anggota keluarga belajar

bagaimana melakukan perawatan kolostomi sebelum pasien pulang. Pasien

dianjurkan untuk menghindari mengangkat benda berat atau mengejan pada

buang air besar untuk mencegah ketegangan pada area anastomosis. Jika pasien

menjalani bedah terbuka, pasien harus menghindari mengemudi selama 4 sampai

6 minggu untuk menyembuhkan sayatan.

Kesempatan yang adekuat untuk mempelajari keterampilan psikomotorik

yang diperlukan dalam perawatan kolostomi diberikan kepada pasien dan

keluarga. Rencana waktu latihan yang cukup untuk belajar bagaimana

menangani, memasang, dan menerapkan semua peralatan kolostomi. Pasien dan

keluarga atau caregiver lainnya perlu diajarkan tentang tampilan normal dari

stoma, tanda dan gejala komplikasi, pengukuran stoma, penggunaan, perawatan,

dan penerapan alat yang tepat untuk menutup stoma, langkah-langkah untuk

melindungi kulit yang dekat dengan stoma, perubahan nutrisi untuk mengontrol

gas dan bau, kembali ke aktivitas normal, termasuk bekerja, perjalanan, dan

hubungan seksual.
33

Pengukuran stoma diperlukan untuk menentukan ukuran yang benar dari

pembukaan stoma pada alat yang akan digunakan. Pembukaan harus cukup besar

tidak hanya untuk menutupi kulit peristoma tetapi juga untuk menghindari

trauma stoma besar. Stoma akan menyusut dalam waktu 6 sampai 8 minggu

setelah operasi. Oleh karena itu perlu diukur setidaknya sekali seminggu selama

ini dan sesuai kebutuhan jika mengalami kenaikan atau kehilangan berat badan.

Setelah menjalani kolostomi, perawatan di rumah perlu melakukan hal-hal

berikut: 1) menilai status gastrointestinal, termasuk intake dan kebiasaan diet dan

cairan, Adanya mual dan muntah, kenaikan atau penurunan berat badan, pola

eliminasi usus, karakteristik dan jumlah feses, bising usus, 2) menilai kondisi

stoma, termasuk: lokasi, ukuran, tonjolan, warna, dan integritas, tanda-tanda

iskemia, seperti warna kusam atau gelap atau memar keunguan, 3) kaji kulit

peristomal untuk ada tidaknya kulit yang mengalami eksoriasi, kebocoran di

bawah sistem drainase, alat yang sesuai dan efektivitas barier kulit dan alat, 4)

menilai kemampuan koping pasien dan keluarga, termasuk kemampuan

perawatan diri di rumah, perubahan citra tubuh dan fungsi, rasa kehilangan

(Ignatavicius & Workman, 2013).

Manajemen kolostomi akan memberikan perawatan yang berkualitas bagi

pasien. Ostomate pada dasarnya memiliki hak-hak (Ostomate Bill of Rights)

sebagai berikut yaitu: 1) Konseling preoperasi, 2) Konseling tentang letak stoma

yang tepat, 3) Memiliki stoma yang bentuknya baik, 4) Perawatan pasca operasi,

5) Memperoleh dukungan emosional, 6) Bimbingan individu dan keluarga, 7)

Informasi tentang peralatan yang diperlukan sesuai dengan indikasi, 8) Adanya


34

informasi di masyarakat tentang perkumpulan bagi para ostomate, 9)

Mendapatkan tindak lanjut dan supervisi sepanjang hidup, 10) Pelayanan dari tim

kesehatan yang professional, 11) Memperoleh informasi dan konseling dari

asosiasi ostomi dan anggotanya (UOAA, 2011).

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi atau masalah pada kolostomi dapat muncul setelah

pembedahan. Masalah yang paling umum setelah operasi kolostomi adalah

hernia di sekitar lokasi stoma. Hal ini ditandai dengan adanya tonjolan di kulit di

sekitar stoma, kesulitan irigasi dan obstruksi parsial. Mengangkat beban berat

harus dihindari segera setelah operasi dan hanya boleh dilanjutkan di bawah

bimbingan dokter. Berbagai masalah ini dapat dihindari jika area stoma ditandai

dengan perawat ostomi sebelum operasi. Lokasi yang banyak disukai terletak di

dalam otot rektus abdominis dekat garis tengah abdomen.

Komplikasi lain yang mungkin muncul dan memerlukan perawatan lebih

lanjut yaitu kram berat yang berlangsung lebih dari dua atau tiga jam, bau yang

tidak biasa yang berlangsung lebih dari seminggu, perubahan yang tidak biasa

dalam ukuran stoma dan penampilan, obstruksi pada stoma dan/atau prolaps

stoma, perdarahan berlebihan dari pembukaan stoma, cedera parah atau stoma

tersayat, perdarahan berkelanjutan pada pertemuan antara stoma dan kulit,

drainase berair yang berlangsung lebih dari lima atau enam jam, iritasi kulit

kronis, stenosis stoma atau penyempitan (UOAA, 2011; ACS, 2014).

Komplikasi umum lain adalah prolap stoma yang biasanya karena

obesitas, proses pembukaan dinding abdomen yang terlalu lebar, fiksasi bowel
35

pada dinding abdomen yang tidak adekuat ataupun akibat peningkatan tekanan

intra abdomen, perforasi akibat ketidaktepatan irigasi stoma, retraksi stoma,

impaksi fekal dan iritasi kulit, stenosis yang terjadi akibat adanya pembentukan

jaringan scar di sekitar stoma yang menyebabkan stoma berangsur terhimpit dan

menyempit (Smeltzer et al., 2010).

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Defenisi

Kualitas hidup (Quality of Life/QOL) adalah persepsi individu terhadap

posisi mereka dalam kehidupan ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai

dimana mereka tinggal, hubungan dengan tujuan hidup, standar hidup, harapan,

kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup

kesehatan fisik, status psikologis, tingkat ketergantungan, hubungan sosial,

keyakinan personal dan hubungannya dengan keinginan di masa yang akan

datang terhadap lingkungan mereka (WHOQOL, 1998). Menurut Polonsky

(2000), kualitas hidup didefenisikan sebagai perasaan individu tentang kesehatan

dan kesejahteraannya dalam area yang luas meliputi fungsi fisik, fungsi

psikologis dan fungsi sosial.

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang

menikmati kemungkinan dalam hidupnya, kenikmatan tersebut memiliki dua

komponen yaitu pengalaman, kepuasan dan kepemilikan atau pencapaian

beberapa karakteristik dan kemungkinan-kemungkinan tersebut merupakan hasil

dari kesempatan dan keterbatasan setiap orang dalam hidupnya dan

merefleksikan interaksi faktor personal lingkungan (Fallowfield, 2002).


36

Dalam istilah umum, kualitas hidup dianggap sebagai suatu persepsi

subjektif multidimensi yang dibentuk oleh individu terhadap fisik, emosional, dan

kemampuan sosial termasuk kemampuan kognitif (kepuasan) dan komponen

emosional atau kebahagiaan (Goz et al., 2007).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup

adalah persepsi atau pandangan subjektif individu terhadap kehidupannya dalam

konteks budaya dan nilai yang dianut oleh individu dalam hubungannya dengan

tujuan personal, harapan, standar hidup dan perhatian yang mempengaruhi

kemampuan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial dan

lingkungan.

2.3.2 Dimensi Kualitas Hidup

Menurut WHOQOL (World Health Organization Quality of Life) pada

tahun 1998 menyebutkan bahwa kualitas hidup terdiri dari 4 dimensi. Keempat

dimensi WHOQOL group meliputi:

1. Kesehatan fisik: Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan,

ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur

dan istirahat, aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.

2. Kesehatan psikologis: Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif

spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran

tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri.

3. Hubungan sosial: Terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual, dan

hubungan sosial
37

4. Lingkungan: Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik,

sumber penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan baru,

partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada waktu luang.

Ada enam domain yang dinilai pada kualitas hidup menurut WHO (1998).

Domain penilaian kualitas hidup tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.4 Domain Penilaian Kualitas Hidup (WHOQOL, 1998)

No Domain Aspek/Domain yang Dinilai


1 Kesehatan fisik Energi dan kelelahan
Nyeri dan ketidaknyamanan
Tidur dan istirahat
2 Psikologis Gambaran diri (body image) dan penampilan
Perasaan negatif
Perasaan positif
Konsep diri
Berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
3 Tingkat ketergantungan Pergerakan
Aktivitas sehari-hari
Ketergantungan terhadap subtansi obat dan
bantuan medis
Kemampuan bekerja
4 Hubungan social Hubungan personal
Dukungan sosial
Aktivitas seksual
5 Lingkungan Sumber financial
Kebebasan, keselamatan dan keamanan
Perawatan kesehatan dan social : kemudahan
akses dan kualitas
Lingkungan kesehatan
Kesempatan untuk mendapatkan informasi dan
keterampilan
Partisipasi dalam dan kesempatan rekreasi dan
waktu luang
Lingkungan fisik (polusi, bising, lalu lintas dan
cuaca)
Transportasi
6 Spiritual, agama dan Spiritual, agama dan keyakinan personal
keyakinan personal

Berdasarkan City of Hope Quality of Life for a Patient with an Ostomy

(COH-QOL-Ostomy) didasarkan pada konseptualisasi kualitas hidup yang


38

meliputi empat domain yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis,

kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan spiritual (Grant et al., 2004).

Tabel 2.5 Domain Penilaian Kualitas Hidup Pasien Ostomi

No Domain Defenisi
1 Kesehatan fisik Gejala fisik dan kemampuan fungsional

2 Psikologis Komponen emosional akibat penyakit termasuk


aspek positif serta aspek negatif
4 Hubungan social Peran pasien dalam keluarga dan masyarakat
termasuk pekerjaan, hubungan seksual, dan
hubungan personal
4 Spiritual Aspek agama dan eksistensial

2.3.3 Literatur Penelitian yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup

Pasien Kolostomi

Kualitas hidup sering digunakan oleh tenaga kesehatan dan peneliti, tetapi

tetap definisi ringkas sulit dipahami. Hal ini dapat didefinisikan secara luas

sebagai berbagai kondisi hidup yang dialami oleh individu (Felce & Perry 1995).

Aspek kualitas hidup mencakup keadaan pribadi seperti kondisi hidup, harta

benda, kesehatan fisik dan psikologis. Kualitas hidup juga mencakup kondisi

sosial seperti hubungan dengan keluarga, teman, spiritualitas atau agama, dan

konstruksi sosial seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan dalam masyarakat

individu. Hal ini lebih lanjut ditandai dengan kepuasan pribadi yang bervariasi

terhadap kondisi kehidupannya. Menurut Liu (1976) menyatakan bahwa ada

banyak definisi untuk kualitas hidup karena berkaitan dengan kehidupan manusia.

Berdasarkan penelitian Krouse et al. (2007) yang bertujuan untuk

membandingkan kualitas hidup pasien kanker kolorektal yang menggunakan


39

kolostomi dengan yang tidak menggunakan. Penelitian ini dilakukan tehadap

1457 responden kanker kolorektal dan 599 diantaranya hidup dengan kolostomi,

hasilnya menunjukkan bahwa terdapat dampak negatif kolostomi terhadap

kualitas hidup dan hampir keseluruhan responden mengalami kesulitan untuk

berdaptasi dengan kolostomi.

Masalah pasien terkait ostomi meliputi gangguan citra tubuh,

inkontinensia, bau, keterbatasan yang mempengaruhi hubungan sosial, travelling,

rekreasi dan fungsi seksual (Cohen, Minsky, & Schilsky, 2001). Ostomi akan

mempengaruhi beberapa domain kulitas hidup. Namun demikian, tidak ada

instrumen secara luas digunakan untuk mengukur QOL dalam praktik klinis

(Pittman, Kozell, & Gray, 2009).

Dampak kolostomi pada kualitas hidup pasien dapat dieksplorasi pada

berbagai domain. Penelitian keperawatan tentang kualitas hidup pasien dengan

ostomi yang dilakukan di City of Hope National Medical Center menyatakan

bahwa model kualitas hidup mencakup 4 domain yaitu kesejahteraan fisik,

psikologis, sosial, spiritual (Grant et al., 2004).

Dalam beberapa penelitian, nilai dimensi kualitas hidup lebih rendah dari

nilai awal pada periode postoperatif dini. Operasi juga membatasi kehidupan

sosial pasien untuk beberapa bulan. Setelah 3-6 bulan pertama, sebagian besar

pasien yang mampu beradaptasi menunjukkan nilai-nilai kualitas hidup kembali

seperti kondisi preoperatif. Meskipun fungsi emosional, kesehatan mental dan

perspektif masa depan mencerminkan sikap positif dan optimis setelah operasi,

persepsi tentang citra tubuh lebih buruk daripada periode awal yang dialami
40

sepanjang tahun setelah operasi. Hal Ini mungkin disebabkan oleh kesulitan

dalam menerima stoma atau bekas luka di abdomen (Camilleri & Steele, 2001).

Survei kualitas hidup pasien stoma menunjukkan bahwa pasien stoma

mengalami kesulitan berfungsi dalam lingkungan kerja dan sosial, memiliki

masalah dengan seksualitas dan citra tubuh, dan kesulitan beradaptasi dengan

fungsi stoma. Pasien menyatakan keprihatinan terkait dengan fungsi stoma itu

sendiri seperti mencari privasi untuk mengosongkan kantong, masalah kebocoran,

dan kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (Symm et al., 2008; Shaffy et

al., 2012).

Faktor lain terkait masalah fisik yang berkaitan dengan ostomy, termasuk

iritasi peristomal, bau, dan bising usus didentifikasi oleh beberapa peneliti

(Richbourg, 2007; Mitchell et al., 2007; Lynch et al., 2008). Masalah emosional

dan mental juga menjadi masalah yang sering menyebabkan dampak pada pasien.

Menurut Mitchell et al. (2007) lebih lanjut menunjukkan bahwa kebocoran dan

bau adalah sumber utama yang memalukan telah diidentifikasi pada pasien.

Selain masalah yang berhubungan dengan fisik, Coons et al. (2007),

menunjukkan masalah ekonomi terkait biaya kolostomi juga merupakan aspek

penting dalam kualitas hidup yang perlu dipertimbangkan. Aspek financial dan

ekonomi ini dapat mengakibatkan kualitas hidup menjadi negatif (Maydick,

2014). Bahkan pasien dapat kehilangan pekerjaan sebagai salah satu konsekuensi

dari stoma (Nichols & Riemer, 2008). Kolostomi dan masalah yang terkait juga

dapat mempengaruhi hubungan intim pasien dengan pasangan. Menurut Brown

dan Randle (2005), pasien dengan stoma cenderung khawatir tentang masalah
41

seksual, terutama pada periode awal setelah operasi dan pembentukan stoma

yang menyebabkan penurunan lebih lanjut dari kualitas hidup. Dalam sebuah

studi oleh Symms et al. (2008), hal itu menunjukkan bahwa hampir setengah dari

pasien yang aktif secara seksual sebelum operasi ostomi menjadi tidak aktif

setelah prosedur dilakukan. Oleh karena itu, rujukan untuk konseling dan evaluasi

kesehatan seksual perlu dilakukan.

Masalah spiritual juga merupakan aspek yang diidentifikasi pada pasien

dengan kolostomi. Penelitian Dabirian et al. (2011) menemukan data bahwa

partisipan terganggu dengan adanya kolostomi saat menjalankan ibadah. Dalam

agama Islam sangat penting harus bersih dan bebas dari feces, terutama ketika

berdoa sehingga perawat perlu memperhatikan dimensi spiritual dan ritual

keagamaan klien. Resiliensi atau kekuatan batiniah, menghargai kehidupan, rasa

syukur dan dukungan keluarga sebagai alasan untuk hidup setelah memiliki

ostomi menjadi harapan pasien ostomi (Grant et al., 2011).

Adanya kolostomi akan memicu beragam perubahan dalam kehidupan,

terkait dengan fisiologi gastrointestinal, gambaran diri dan harga diri, yang

akhirnya mempengaruhi kondisi afektif, keluarga dan kehidupan kerja dari

individu, sebagaimana telah dibuktikan juga oleh penelitian lain (Backes et al.,

2012).

Konseling adalah bagian penting dari perawatan kompleks yang

diperlukan untuk membantu pasien ostomi kembali menemukan rasa kontrol

dalam hidup. Konseling bukan membuat masalah hilang, tetapi membantu pasien

mengembangkan mekanisme koping untuk dapat beradaptasi dengan realitas


42

baru. Dalam menghadapi berbagai keterbatasan yang dialami pasien kolostomi,

dukungan keluarga dan dukungan pelayananan kesehatan profesional menjadi hal

fundamental yang diperlukan, elemen esensial untuk penerimaan ostomi tersebut,

rehabilitasi yang lebih cepat dan lebih efisien dan adaptasi yang baik ke dalam

kondisi hidup yang baru (Backes et al, 2012).

Penggunaan kolostomi menghadirkan tantangan untuk penyesuaian

dengan kondisi hidup yang baru dan pasien ostomi kadang-kadang hidup dengan

rasa kehilangan, kesedihan sebelum menemukan kekuatan dalam mengelaborasi

dan menerima kondisi barunya. Resolusi kesulitan yang dihadapi oleh pasien

dengan ostomi tersebut adalah terkait dengan disposisi internal, dukungan dari

keluarga, para profesional kesehatan dan penerimaan (Shaffy et al., 2012). Pasien

dengan ostomi perlu untuk menyesuaikan diri dan sampai mereka dapat percaya

bahwa hidup seoptimal mungkin dapat dicapai, kemudian perlu memobilisasi diri

untuk melakukan perawatan diri dan termotivasi untuk mengatasi kesulitan yang

berhubungan dengan ostomi dan merekonstruksi kehidupan mereka dengan

kondisi baru. Rasa kesulitan atau gangguan yang dialami harus diganti dengan

rasa kemungkinan dan keyakinan. Dalam hal ini, disorganisasi atau gangguan

dalam kehidupan yang disebabkan oleh penyakit perlu diperbaiki kembali

sebagai kesempatan untuk menata ulang kehidupan (Farias et al., 2004).

Penyedia layanan kesehatan harus membuat setiap usaha untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien ostomi dan perawat khususnya harus

menyadari bahwa pengetahuan dan keterampilan dapat membantu untuk

meningkatkan kualitas hidup sebelum dan sesudah operasi ostomi. Temuan-


43

temuan penelitian mengidentifikasi sejumlah tantangan dalam kualitas hidup

pasien dengan ostomi. Hasilnya dapat digunakan oleh penyedia layanan

kesehatan untuk membuat mendukung lingkungan yang mempromosikan kualitas

hidup yang lebih baik bagi pasien ostomi (Dabirian et al., 2010)

Berdasarkan tinjauan literatur penelitian, penulis dapat menyimpulkan

tema-tema terkait kualitas hidup pasien dengan kolostomi yang dirangkum dalam

tabel berikut:

Tabel 2.6 Literatur Penelitian Terkait Kualitas Hidup Pasien dengan


Kolostomi
No Domain Tema Terkait
1 Kesehatan fisik Odor / Gas
Kantong kolostomi bocor
Masalah iritasi kulit
Menghindari diet tertentu
Diare
Nyeri atau ketidaknyamanan
Gangguan tidur
Aktifitas fisik
2 Psikologis Depresi
Ansietas
Ketidakpastian
Takut akan rekurensi
Kesulitan bertemu orang-orang baru
Gangguan body image
Perasaan berguna
Privacy
3 Sosial Kegiatan Sosial
Hubungan pribadi
Isolasi
Tantangan dalam melakukan travelling
Kegiatan rekreasi
Masalah seksual
Rasa malu
Distress keluarga
Kemampuan bekerja
Masalah ekonomi
Pemilihan pakaian
4 Spiritual Kegiatan spiritual
Kegiatan keagamaan
Apresiasi terhadap kehidupan
Alasan untuk hidup
Dukungan religius
44

2.4 Konsep Studi Fenomenologi


Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh

Husserl dan Heidegger. Konsep ini merupakan suatu pendekatan untuk

mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Penelitian ini berfokus pada esensi

dan makna dari pengalaman tersebut (Polit & Beck, 2012). Fenomenologis

menyelidiki fenomena subjektif dalam keyakinan bahwa kebenaran kritis tentang

realitas didasarkan dalam pengalaman hidup masyarakat. Pendekatan

Fenomenologi sangat berguna ketika fenomena yang terjadi memiliki defenisi

dan dan konseptual yang masih sedikit. Topik yang tepat untuk fenomenologi

adalah pengalaman hidup manusia, bagi para peneliti bidang kesehatan, topik-

topik yang dimaksud seperti makna penderitaan, pengalaman tentang kekerasan

dan kualitas hidup dengan rasa nyeri kronis (Polit & Beck, 2012).

Phenomologist percaya bahwa pengalaman hidup memberi makna pada

persepsi masing-masing orang dari fenomena tertentu. Tujuan dari phenomologist

adalah untuk memahami pengalaman hidup dan persepsi. Phenomologist

memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang

realita berdasarkan pada pengalaman hidup manusia. Pengalaman dipandang oleh

phenomologist sebagai sesuatu yang penuh makna dan dialami secara sadar.

Pengalaman hidup manusia diartikan sebagai keterikatan fisik manusia terhadap

dunianya. Istilah fenomologi artikan sebagai “being-in the world” atau

“embodiment”. Dapat disimpulkan embodiment merupakan pengalaman manusia

secara sadar melalui interaksi tubuh dengan dunia (Polit & Beck, 2012).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan

memahami esensi atau makna dari pengalaman tersebut. Pengetahuan dan


45

pemahaman ini dilakukan oleh peneliti dengan berbagai cara. Peneliti berupaya

mengeksplorasi pengalaman yang dialami oleh partisipan melalui pengumpulan

informasi dan berusaha masuk dalam dunia partisipan tanpa mengarahkan

partisipan, sehingga pengalaman partisipan dapat dialami oleh dengan cara yang

sama. Biasanya, studi fenomenologis melibatkan sejumlah kecil studi partisipan,

umumnya 10 atau lebih sedikit. Untuk beberapa penelitian fenomenologi, tidak

cukup hanya pengumpulan informasi dari informan, tetapi juga upaya untuk

mengalami fenomena melalui partisipasi, observasi, dan refleksi introspektif

(Polit & Beck, 2012).

Ada beberapa varian dan metodelogi interpretasi fenomenologi. Polit dan

Beck (2012) menyatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian fenomenologi yaitu:

1. Descriptive Phenomology

Fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun 1962.

Jenis penelitian ditekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh

manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat,

diputuskan, dievaluasi, dilakukan. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu

bracketing, intuiting, analizing, dan describing.

Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri

dari praduga-praduga, keyakinan, atau pendapat terkait fenomena yang diteliti.

Bracketing tidak pernah dapat dicapai secara total, namun peneliti berusaha untuk

membebaskan diri dari setiap prasangka dalam upaya untuk menghadapi data

dalam bentuk murni. Bracketing adalah proses berulang-ulang yang melibatkan

proses mempersiapkan, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik sistematis


46

yang sedang berlangsung tentang efektivitas bracketing yang dilakukan. Intuting

merupakan langkah dimana kedua peneliti tetap terbuka terhadap makna yang

dikaitkan dengan fenomena yang dialami partisipan. Analiyzing merupakan

proses analisa yang data yang dilakukan beberapa fase seperti; mencari

pernyataan-pernyataan signifikan kemudian mengkategorikan dan menemukan

makna esensial dan fenomena yang dialami, describing merupakan tahap terakhir

dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini peneliti membuat narasi yang luas

dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.

Phenomologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif

adalah Collaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1966). Ketiga

phenomologist tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang fokus utamanya

adalah mengetahui deskripsi sebuah fenomena. Analisis fenomenologi

menggunakan ketiga metode tersebut melibatkan pencarian pola-pola umum,

tetapi ada beberapa perbedaan penting antara pendekatan ini.

Hasil dasar dari ketiga metode adalah deskripsi makna pengalaman, sering

melalui identifikasi tema-tema penting. Metode Colaizzi adalah satu-satunya

yang membutuhkan validasi dari hasil penelitan dengan menunjukkan kembali

tema yang diperoleh kepada partisipan. Analisis Giorgi bergantung hanya pada

peneliti. Pandangannya adalah bahwa tidak pantas untuk kembali kepada peserta

untuk memvalidasi hasil temuan atau menggunakan ahli eksternal untuk

meninjau hasil analisis. Metode Van Kaam mensyaratkan bahwa persetujuan

intersubjektif yang dicapai dengan ahli lainnya.


47

2. Interpretive phenomenology

Interpretive phenomenology dikembangkan oleh Heidegger pada tahun

1962 yang merupakan mahasiswa Husserl. Filosofi yang dianut oleh Heidegger

berbeda dengan Husserl, inti filosofinya ditekankan pada pemahaman dan

interpretatif atau penafsiran, tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia,

pengalaman hidup manusia merupakan suatu proses interpretatif dan pemahaman

yang merupakan ciri dasar keberadaan manusia.

Penelitian interpretatif bertujuan untuk menemukan pemahaman dari

makna dari pengalaman hidup dengan cara masuk kedalam dunia partisipan.

Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap bagian dan secara

keseluruhan. Istilah hermeneutics mengacu pada seni dan filosofi dalam

menafsirkan suatu objek seperti teks, karya seni. Tujuan fenomenologi

interpretatif adalah masuk ke dunia yang lain dan menemukan kebijaksanaan

praktis, kemungkinan, dan pemahaman yang ditemukan di sana.

Ahli fenomonologi untuk data analisa fenomenologi interpretatif adalah

Van Manen yang berpedoman pada filosofi Heidegger. Pendekatannya untuk

metode analisis data merupakan kombinasi dari karakteristik fenomenologi

deskriptif dan interpretatif (Polit & Beck, 2012).

Berdasarkan pendekatan Van Manen (1990) dalam Polit dan Beck (2012)

aspek tematik dari pengalaman dapat ditemukan atau diisolasi dari deskripsi

pengalaman partisipan dengan 3 metode yaitu the detailed or line-by-line

approach, the selective or highlighting approach dan the holistic approach. The

holistic approach, pendekatan peneliti melihat teks secara keseluruhan dan


48

mencoba untuk menemukan makna dari teks tersebut. The selective approach,

peneliti memberikan highlight atau menarik keluar pernyatan atau frase yang

terlihat esensial dari pengalaman yang diteliti. Pernyataan atau frase yang di-

highlight adalah pernyataan yang paling sering muncul tentang fenomena sesuai

dengan pernyataan penelitian. The detailed approach, peneliti menganalisa setiap

kalimat. Hasil dari ketiga metode tersebut akan ditemukan beberapa tema yang

merupakan objek refleksi dan interpretif melalui validasi hasil kepada partisipan.

Van Manen (1990 dalam Polit dan Beck, 2012) menekankan bahwa

pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktis menulis.

Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami

dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti dan dituangkan dalam

bentuk teks tertulis. Teks tertulis yang dibuat oleh penelitian harus dapat

mengarahkan pemahaman pembaca dan memahami fenomena tersebut. Van

Manen juga menyatakan identifikasi tema dari dekskripsi partisipan tidak hanya

diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh

dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang

dapat menyediakan kekayaan informasi pengalaman partisipan sehingga

meningkatkan wawasan bagi penelitian dalam melakukan interpretasi dan

pencarian makna dari suatu fenomena.

Studi fenomenologi cenderung mengandalkan sampel yang kecil. Salah

satu pedoman prinsip dalam memilih sampel untuk studi fenomenologi adalah

semua partisipan harus telah mengalami fenomena yang akan diteliti dan mampu

mengartikulasikan pengalaman hidup yang diteliti. Fenomenologi menggunakan


49

metode kriteria sampling, yaitu mempunyai partisipan mempunyai pengalaman

dengan fenomena yang akan diteliti (Polit & Beck, 2012).

Penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas

dan integritas dalam proses penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa

bagaimana tingkat keabsahan data pada penelitian kualitatif termasuk

fenomenologi. Tingkat keabsahan data dalam penelitian kualitatif dikenal dengan

istilah trustworthiness of data (rigour) (Lincon & Guba, 1985).

Lincoln dan Guba (1985) menyarankan empat kriteria untuk

mengembangkan trustworthiness dari penelitian kualitatif yaitu : kepercayaan

(credibility), kebergantungan (dependability), kepastian (confirmability), dan

pengalihan (transferability). Keempat kriteria mewakili secara paralel kriteria

positivis tentang validitas internal, reabilitas, objektivitas, dan validitas eksternal.

Kerangka kerja ini menyediakan landasan awal karena banyaknya kontroversi

tentang rigor data. Menanggapi berbagai kritik dan konseptualisasi yang

berkembang, kriteria kelima yang lebih khas dalam paradigma konstruktivis

ditambahkan yaitu authenticity (Guba & Lincoln, 1994)

Kredibilitas (credibility) mengacu pada keyakinan akan kebenaran data

dan interpretasi data. Peneliti harus berusaha untuk membangun kepercayaan

dalam kebenaran temuan bagi partisipan tertentu dan konteks penelitian. Lincoln

dan Guba (1985) menunjukkan bahwa kredibilitas melibatkan dua aspek:

pertama, melakukan penelitian dengan cara meningkatkan kepercayaan dari

temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kredibilitas

dalam laporan penelitian. Kriteria ini dapat dicapai dengan prolonged


50

engagement yakni menmbangun kepercayaan dengan partisipan untuk

mempelajari, budaya, sosial, setting, atau fenomena yang diteliti. Hal ini

bertujuan untuk menciptakan hubungan antara peneliti dengan partisipan dan

memperoleh data yang terpercaya (rigour). Selain itu, kredibilitas suatu

penelitian kualitatif dapat dicapai dengan menggunakan teknik observasi

persisten, triangulasi, peer debriefing, dan member checking.

Kriteria kedua adalah ketergantungan (dependability) yang mengacu pada

stabilitas (reliabilitas) data dari waktu ke waktu. Dependability dicapai apabila

temuan dari penelitian mempunyai hasil yang sama jika penelitian tersebut

direplikasi dengan partisipan dan konteks yang sama. Kredibilitas tidak dapat

dicapai tanpa adanya dependability, seperti validitas secara penelitian kuantitatif

tidak dapat dicapai tanpa adanya reabilitas. Hal ini berarti proses dari penelitian

tersebut dapat diaudit (Polit & Beck, 2012).

Konfirmabilitas mengacu pada objektivitas yaitu potensi keselarasan

antara dua atau lebih pihak independen tentang keakuratan data, relevansi, atau

makna. Kriteria ini berkaitan dengan penetapan bahwa data merupakan informasi

yang disediakan partisipan, dan interpretasi data tersebut tidak diciptakan oleh

peneliti. Temuan penelitian harus mencerminkan suara peserta dan kondisi

sebenarnya, bukan bias peneliti, motivasi, atau perspektif (Polit & Beck, 2012).

Transferabilitas mengacu pada potensi ekstrapolasi, yaitu sejauh mana

temuan dapat ditransfer atau dapat diaplikasikan dalam settting atau kelompok

lain. Lincoln dan Guba mencatat, tanggung jawab peneliti adalah memberikan

data deskriptif yang memadai sehingga konsumen dapat mengevaluasi penerapan


51

data ke konteks lain. Dengan demikian naturalis tidak dapat menentukan

keabsahan eksternal penelitian, tetapi hanya dapat memberikan thick description

yang diperlukan untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat suatu

transferabilitas untuk mencapai kesimpulan apakah transferabilitas dapat

dipikirkan sebagai suatu kemungkinan (Lincon & Guba, 1985 dalam Polit &

Beck, 2012).

Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti adil dan setia

menunjukkan berbagai realitas. Authenticity muncul dalam laporan penelitian jika

kehidupan partisipan yang sebenarnya diungkapkan sebagaimana realita

kehidupan mereka. Transkrip penelitian memiliki keaslian jika mampu mengajak

pembaca untuk merasakan pengalaman kehidupan yang digambarkan dan

memungkinkan pembaca untuk mengembangkan kepekaan dengan masalah yang

digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami

kehidupan yang digambarkan, dengan beragam suasana hati, perasaan, bahasa

pengalaman, dan konteks kehidupan (Guba & Lincoln, 1994 dalam Polit & Beck,

2012).

2.5 Landasan Teori Keperawatan

Adaptasi didefenisikan oleh Roy sebagai konsep yang dinamis, yaitu

sebuah proses dan merupakan sebuah hasil pemikiran dan perasaan seseorang,

individu, atau kelompok, penggunaan kesadaran dan pilihan untuk menciptakan

integrasi manusia dengan lingkungan. Roy mendefenisikan manusia sebagai

suatu sistem adaptif holistik yang berinteraksi secara konstan. Pengertian holistik

berasal dari asumsi filosofi humanistik yang mendasari model dan mengenai
52

pemikiran bahwa sistem fungsi manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh yang

berperan dalam mengungkapkan perilaku manusia (Roy & Andrew, 1999 dalam

Alligood & Tomey, 2006). Sistem adalah suatu kesatuan yang dihubungkan

karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling

ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses input,

output, kontrol dan umpan balik (Roy, 1991 dalam Alligood & Tomey, 2006).

1. Input

Roy (1991 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengidentifikasi bahwa input

sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari

lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan

yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal yaitu

stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera. Stimulus

kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal

maupun eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus residual yaitu

ciri-ciri tambahan dan faktor lingkungan yang ada dan relevan dengan situasi

yang ada meliputi kepercayaan, sikap, sifat individu berkembang sesuai

pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi.

2. Kontrol

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping

yang digunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang

merupakan subsistem. Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen

input, proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter

regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah
53

respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku

output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai

perilaku regulator subsistem.

Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.

Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik

untuk kognator subsistem. Proses Kognator kontrol berhubungan dengan fungsi

otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses

informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat

dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, penguatan

(reinforcement) dan pengertian yang mendalam (insight). Penyelesaian masalah

dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan

penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari

keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.

3. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau

secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar.

Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output

sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang inefektif. Respon yang

adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang mengarah kepada tujuan

yang diharapkan yaitu kesehatan, sedangkan respon yang inefektif merupakan

gangguan dari integritas individu yang tidak mendukung tujuan.

Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan

proses kontrol seseorang sebagai sistem adaptif. Roy memperkenalkan konsep


54

ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan

cognator dan mekanisme tersebut merupakan bagian subsistem adaptasi.

Teori adaptasi Callista Roy memandang klien sebagai suatu sistem

adaptasi. Sesuai dengan model Roy, tujuan dari keperawatan adalah membantu

seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep

diri, fungsi peran, dan hubungan interdependensi selama sehat dan sakit.

Kebutuhan asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak dapat beradaptasi

terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal.

Callista Roy mengemukakan konsep keperawatan dengan model adaptasi

yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai yang dimiliki

diantaranya Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan

oleh Roy, diantaranya: stimulus focal, stimulus kontekstual dan stimulus residual.

Sistem adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya: 1) Fungsi Fisiologis;

sistem adaptasi fisiologis diataranya adalah oksigenasi, nutrisi, eliminasi,

aktivitas dan istirahat, proteksi, 2) Konsep diri; berkaitan dengan kebutuhan

untuk mengetahui siapa dan bagaiman cara bertindak dalam masyarakat. Konsep

diri individu didefinisikan oleh roy sebagai gabungan dari keyakinan atau

perasaan individu tentang dirinya sendiri pada waktu tertentu. konsep diri

individu dipengaruhi dari aspek fisik (body image dan body sensation) dan

personal diri (konsistensi diri, ideal diri, dan moral etika-spiritual) 3) Fungsi

peran; proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana peran individu

dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain,

4) Interdependensi; interaksi terkait hubungan saling member dan menerima


55

dalam hal cinta, pneghormatan dan penghargaan dari orang-orang terdekat

(pasangan hidup, anak, teman dan hubungan dengan Tuhan). Tujuan dari 4

modus adaptasi ini adalah untuk mencapai integritas fisik, psikologis, dan sosial

(Roy & Andrew, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).

2.6 Kerangka Konsep Adaptasi Roy pada Pasien Kanker Kolorektal

dengan Kolostomi

Berdasarkan pendekatan teori Roy, pasien dengan kolostomi yang

disebabkan karena kanker kolorektal menunjukkan berbagai respon adaptasi

yang dialaminya selama didiagnosis menderita kanker sampai menjalani

kehidupan dengan adanya kolostomi. Respon yang dialami pasien tersebut dapat

digambarkan sesuai 4 modus adaptasi Roy.

Stimulus fokal pada pasien dengan kolostomi adalah proses penyakit

kanker itu sendiri, disfungsi eliminasi fekal, sedangkan stimulus kontekstual

muncul sebagai faktor yang memperkuat efek stimulus fokal, dalam hal ini terapi

dan pengobatan, manajemen kolostomi, dukungan sosial. Stimulus fokal dan

stimulus kontekstual ini akan dialami dan dirasakan pasien berdasarkan

pengalaman, keyakinan, dan sikap pasien. Kondisi ini merupakan ciri-ciri

tambahan yang merupakan stimulus residual.

Pasien mengalami reaksi kesedihan dari kehilangan bagian tubuh dan

perubahan dalam citra tubuh. Pasien mungkin merasa bukan seperti individu

normal, dan mungkin mengalami rasa malu dan isolasi sosial, sering mengalami

kecemasan dan ketakutan tentang kebocoran kantong kolostomi dan bau dan

suara flatus. Pasien memiliki keprihatinan tentang citra tubuh, aktivitas seksual,
56

tanggung jawab caregiver dan perubahan gaya hidup sehingga pasien mungkin

marah atau depresi.

Pasien dengan ostomi akan mengalami berbagai masalah yang akan

berdampak pada fungsi fisik, psikologis, hubungan sosial dan keluarga, spiritual,

ekonomi (Dabirian, et al., (2010); Sharour, 2013; Krouse et al., 2007). Modus

respon adaptasi fisiologis pada pasien dengan kolostomi secara umum adalah

eliminasi fekal melalui stoma, pengotrolan bau dan gas, pengaturan nutrisi,

perawatan kolostomi, aktivitas normal termasuk bekerja, perjalanan

(Ignatavicius & Workman, 2013).

Selain masalah fisik, masalah psikososial menjadi perhatian pada pasien

kolostomi. Reaksi pasien untuk operasi ostomi umumnya dapat mencakup takut

tidak diterima oleh orang lain dan lingkungan, perasaan duka yang berhubungan

dengan gangguan citra tubuh, kekhawatiran tentang seksualitas (Ignatavicius &

Workman, 2013). Berdasarkan penelitian Karadag et al. (2003) pasien dengan

ostomi sering khawatir dengan kebocoran dan bau dari kantong ostomi, dan

mungkin akan menghindari interaksi dengan orang-orang, menjadi tertutup, dan

merasa sendiri. Seiring berjalannya waktu, rasa tidak aman ini dalam situasi

sosial dan kurangnya kepercayaan dapat menyebabkan isolasi sosial total. Hal ini

akan menyebabkan dampak pada aspek konsep diri termasuk gambaran diri dan

harga diri (Backes et al., 2012). Respon adaptif pasien dengan kolostomi dapat

dicapai dengan adanya dukungan emosional yang tepat akan membantu

peningkatan konsep diri yang terkait dengan rasa percaya diri dan penghargaan

terhadap hidup mereka.


57

Modus adaptasi terkait fungsi peran pasien berhubungan dengan perasaan

pasien sebagai individu yang normal. Pasien dengan ostomi perlu untuk

menyesuaikan diri dan sampai mereka dapat percaya bahwa hidup seoptimal

mungkin dapat dicapai, kemudian perlu memobilisasi diri untuk melakukan

perawatan diri dan termotivasi untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan

dengan ostomi dan merekonstruksi kehidupan mereka dengan kondisi baru. Rasa

kesulitan atau gangguan yang dialami harus diganti dengan rasa kemungkinan

dan keyakinan. Dalam hal ini, disorganisasi atau gangguan dalam kehidupan

yang disebabkan oleh penyakit perlu diperbaiki kembali sebagai kesempatan

untuk menata ulang kehidupan (Farias et al., 2004).

Modus adaptasi interdependensi yang dialami pasien dengan kolostomi

tidak terlepas hubungannya dari dukungan sosial termasuk keluarga, teman dan

tenaga kesehatan. Konseling adalah bagian penting dari perawatan kompleks

yang diperlukan untuk membantu pasien ostomi kembali menemukan rasa

kontrol dalam hidup. Konseling bukan membuat masalah hilang, tetapi

membantu pasien mengembangkan mekanisme koping untuk dapat beradaptasi

dengan realitas baru. Dalam menghadapi berbagai keterbatasan yang dialami

pasien kolostomi, dukungan keluarga dan dukungan pelayananan kesehatan

profesional menjadi hal fundamental yang diperlukan, elemen esensial untuk

penerimaan ostomi tersebut, rehabilitasi yang lebih cepat dan lebih efisien dan

adaptasi yang baik ke dalam kondisi hidup yang baru (Backes et al, 2012).
58

Output dari modus adaptasi bisa sebagai respon yang adaptif atau respon

yang inefektif. Proses adaptasi pasien dengan kolostomi yang tercermin dalam

kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari diharapkan terjadi 6 sampai 8

minggu setelah pemasangan kolostomi (Lewis et al., 2011). Jika pasien

menerima perawatan yang tepat, pasien dapat beradaptasi dengan kolostomi dan

mendapatkan independensi setelah 2-3 minggu (Richbourg et al., 2007). Respon

yang adaptif dapat berdampak kepada peningkatan status kesehatan dan kualitas

hidup pasien. Tugas perawat sebagai tenaga kesehatan adalah mempertahankan

dan meningkatkan mekanisme koping yang adaptif yang dimiliki sehingga

mencapai kualitas hidup yang optimal. Dari pengertian di atas dapat

digambarkan melalui kerangka konsep sebagai berikut ini:


59

INPUT PROSES/KONTROL OUTPUT

STIMULUS FOKAL MODUS ADAPTASI


­ Terindentifikasi ADAPTIF DAN
kanker kolorektal Fungsi Fisiologis: INEFEKTIF
­ Disfungsi eliminasi ­ Eliminasi fekal melalui stoma,
fekal ­ Pengotrolan bau dan gas,
­ Kolostomi ­ Pengaturan nutrisi
­ Perawatan kolostomi, aktivitas
normal termasuk bekerja, perjalanan

STIMULUS Fungsi Psikologis: KUALITAS


KONTEKSTUAL ­ Gambaran diri HIDUP
­ Manajemen ­ Ideal diri
kolostomi ­ Harga diri Dieksplorasi dengan
­ Dukungan Sosial ­ Seksualitas 4 domain :
­ Spiritual 1. Domain Fisik
2. Domain
STIMULUS Psikologis
RESIDUAL Fungsi Peran :
­ Peran sebagai suami/istri 3. Domain Sosial
­ Pengalaman 4. Domain
­ Keyakinan ­ Peran sebagai ayah/ibu
­ Peran di masyarakat Spiritual
­ Sikap Individu (Grant et al., 2004)
Fungsi Interdependensi :
­ Ketergantungan terhadap keluarga
­ Ketergantungan terhadap pasangan
­ Ketergantungan terhadap tenaga
kesehatan
­ Ketergantungan terhadap orang lain

Skema 2.1 Kerangka Konsep Adaptasi Roy pada Pasien Kanker Kolorektal
dengan Kolostomi
60

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan desain fenomenologi deskriptif.

Fenomenologi deskriptif yang dikembangkan oleh Husserl menekankan aspek

terhadap deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia berdasarkan hal-hal

yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat, diputuskan, dievaluasi, dan

dilakukan (Polit & Beck, 2012). Fenomenologi deskriptif merupakan desain

penelitian yang melibatkan eksplorasi langsung, analisa data dan deskripsi dari

fenomena tertentu, sebebas mungkin dari dugaan yang belum teruji, yang

bertujuan mendapatkan hasil yang maksimal dari pengalaman individu

(Spiegelberg, 1975 dalam Streubert & Carpenter, 2011).

Fenomenologi merupakan suatu pendekatan untuk mengeksplorasi

pengalaman hidup manusia. Penelitian ini berfokus pada esensi dan makna dari

pengalaman tersebut. Phenomologist percaya bahwa pengalaman hidup memberi

makna pada persepsi masing-masing partisipan dari fenomena tertentu.

Phenomologist memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa

kebenaran tentang realita berdasarkan pada pengalaman hidup manusia.

Pengalaman hidup manusia diartikan sebagai keterikatan fisik manusia terhadap

dunianya. Istilah fenomologi diartikan sebagai “being-in the world” atau

“embodiment” yang berarti pengalaman manusia secara sadar melalui interaksi

tubuh dengan dunia (Polit & Beck, 2012).


61

Pengalaman partisipan dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan

memahami esensi atau makna dari pengalaman tersebut. Peneliti berupaya

mengeksplorasi pengalaman yang dialami oleh partisipan melalui pengumpulan

informasi dan berusaha masuk dalam dunia partisipan tanpa mengarahkan

partisipan, sehingga pengalaman partisipan dapat dialami oleh dengan cara yang

sama. Penelitian fenomenologi deskriptif memiliki empat langkah, yaitu

bracketing, intuiting, analizing, dan describing.

Penelitian ini difokuskan untuk mengeskplorasi kualitas hidup pasien

kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Kualitas

hidup pada dasarnya adalah pandangan subjektif individu terhadap kesehatan,

kesejahteraan serta kehidupannya sehingga kualitas hidup antara individu akan

berbeda dalam hubungannya dengan tujuan personal, harapan, standar hidup dan

perhatian yang mempengaruhi kemampuan fisik, psikologis, hubungan sosial dan

spiritual termasuk kemampuan kognitif dan komponen emosional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Sumatera Utara dengan mengambil data

pasien dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengambilan data tentang informasi

partisipan dilakukan di rumah sakit tersebut karena rumah sakit tersebut merupakan

pusat rujukan dari berbagai daerah di Propinsi Sumatera Utara. Hal ini didukung

dengan kondisi bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan

sehingga memudahkan peneliti mendapatkan data partisipan. Proses

pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015 dan analisa data

dilakukan bulan Juni-Juli 215.


62

3.3 Partisipan Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kanker kolorektal

yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Rekrutmen partisipan

dilakukan dengan teknik purposive sampling. Berdasarkan evidence based,

jumlah partisipan dilakukan terhadap 10-15 partisipan. Penelitian ini awalnya

direncanakan 14 orang, tetapi saat pengumpulan data 2 orang mengundurkan diri

saat sudah dilakukan wawancara setelah 20 menit dengan alasan lelah saat

dilakukan wawancara sehingga partisipan dalam penelitian ini menjadi 12 orang

tetapi sudah dicapai saturasi data yaitu informasi yang ditemukan telah

mengalami pengulangan dan mempunyai makna yang sama dengan partisipan

lainnya, sehingga tidak ada informasi yang terbaru. Saturasi data dicapai apabila

tidak ada informasi baru yang diperoleh melalui pengambilan data lebih lanjut

(Polit & Beck, 2012). Menurut Streubert dan Carpenter (2011), saturasi data

terjadi apabila informasi yang diberikan mengalami pengulangan (repetition) dari

data yang telah diperoleh dari partisipan-partisipan sebelumnya.

Keseluruhan partisipan pada penelitian ini telah memenuhi kriteria inklusi

yang telah ditetapkan peneliti. Kriteria tersebut yaitu pasien menggunakan

kantong stoma jenis one piece yang dari segi bentuknya merupakan tipe close

end, warna stoma bag transparan, tidak memiliki filter, menjalani perawatan

stoma tidak lebih dari 3 bulan, kondisi fisik dan kemampuan mental yang

memadai untuk berpartisipasi.


63

3.4. Pengumpulan Data

3.4.1 Alat Pengumpulan data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner data

demografi, pedoman atau panduan wawancara, field notes untuk mencatat respon

nonverbal partisipan dan voice recorder. Penelitian ini akan dilakukan dengan

mengumpulkan deskripsi yang mendalam tentang pengalaman partisipan dan

mengembangkan hubungan antara peneliti dan partisipan melalui wawancara

intensif (Polit & Beck, 2012).

Kuesioner data demografi digunakan untuk melengkapi pengumpulan

data yang mencakup inisial, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, suku,

status, tinggi badan, berat badan, lama menjalani kolostomi. Panduan wawancara

dibuat peneliti berdasarkan teori adaptasi Roy dan kualitas hidup. Panduan

wawancara tersebut berisi 5 pertanyaan terbuka. Hal-hal yang ditanyakan dalam

panduan wawancara berupa pengalaman dan kualitas hidup pasien kanker

kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Proses selanjutnya

adalah melakukan content validity kepada 3 orang expert keperawatan medikal

bedah.

Selain panduan wawancara, catatan lapangan (field note) merupakan

catatan tertulis tentang hal-hal yang didengar, dilihat, dialami, dalam rangka

pengumpulan data kualitatif. Catatan lapangan berupa dokumentasi respon

nonverbal selama proses wawancara berlangsung (Polit & Beck, 2012). Hasil

catatan lapangan pada penelitian ini berisi tanggal, waktu, suasana tempat,

deskripsi atau gambaran partisipan, serta respon nonverbal partisipan selama


64

proses wawancara. Hasil catatan lapangan tersebut memperkuat temuan

observasi sehingga memperkaya data yang diperoleh (thick description). Peneliti

menggunakan alat perekam suara atau voice recorder untuk merekam

wawancara. Kemudian hasil wawancara diketik dalam bentuk transkip.

3.4.2 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode

wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan durasi 50-65 menit.

Peneliti menyiapkan panduan pertanyaan yang menjadi pedoman dalam

melakukan wawancara. Peneliti berupaya mengeksplorasi pengalaman partisipan

sehingga partisipan berbicara dengan bebas tentang semua topik yang telah

dirangkum dalam panduan wawancara dan menceritakan seluruh pengalaman

dengan kata-kata partisipan sendiri. Teknik ini memastikan bahwa peneliti akan

mendapatkan semua informasi yang diperlukan dan memberikan kebebasan

kepada partisipan untuk memberikan ilustrasi dan penjelasan (Polit & Beck,

2012). Metode wawancara mendalam menggunakan panduan wawancara hanya

untuk memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara, menggali informasi,

data, dan selanjutnya tergantung dari teknik probing dari peneliti selama proses

wawancara (Polit & Beck, 2012).

3.4.3 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data akan dilaksanakan setelah memperoleh surat

keterangan lulus uji etik (ethical clereance) dan ijin penelitian dari Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Surat ijin penelitian tersebut

diserahkan ke bagian pendidikan dan pelatihan RSUP Haji Adam Malik, terkait
65

dengan akan diadakannya penelitian yang menjadikan pasien kolostomi yang

pernah dirawat 3 bulan yang lalu atau yang sedang menjalani kemoterapi untuk

menjadi partisipan penelitian. Berdasarkan ijin dari rumah sakit tempat

penelitian, peneliti mengunjungi rekam medik, ruang RB2A dan ruangan

Kemoterapi dan menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan meminta data

pasien kolostomi yang baru menjalani kolostomi.

Pilot study dilakukan kepada satu orang partisipan. Pilot study

mempelajari sejumlah kecil partisipan untuk mencegah kegagalan. Pilot study

sering disebut feasibility study (Polit & Beck, 2012). Pilot study bertujuan

sebagai latihan dalam melakukan teknik wawancara, membuat transkrip serta

melakukan analisis. Transkrip wawancara dan tabel analisis tema dari proses pilot

study dikonsultasikan kepada pembimbing. Setelah mendapat persetujuan

pembimbing, kemudian peneliti melanjutkan wawancara kepada partisipan

berikutnya.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan pendekatan

(prolonged engagement). Prolonged engagement penting untuk membangun

kepercayaan, pemahaman mendalam (in-depth understanding) dan hubungan

yang baik dengan partisipan, yang pada gilirannya membuat informasi yang

diperoleh lebih kaya dan akurat (Lincoln & Guba, 1985 dalam Polit & Beck,

2012). Prolonged engagement dalam penelitian ini dilakukan kepada partisipan

selama 1 minggu yang bertujuan untuk melakukan pendekatan dengan

mengunjungi partisipan yang bersedia ke rumahnya masing-masing,

meningkatkan hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan sekaligus


66

tahap pengenalan situasi, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data

yang dilakukan terhadap partisipan. Selanjutnya, partisipan yang berada di luar

kota seperti Aceh, Toba Samosir dan Siantar dilakukan prolonged engagement

melalui alat komunikasi.

Setelah melakukan prolonged engagement, langkah selanjutnya adalah

menjelaskan tujuan, manfaat serta proses pengumpulan data yang akan dilakun

dengan menggunakan alat perekam (audio recorder) dan meyakinkan partisipan

bahwa hasil wawancara baik dalam bentuk rekaman maupun transkrip tidak akan

diberitahu kepada pihak manapun, dan hanya digunakan untuk kepentingan

proses penelitian. Partisipan setuju setelah menandatangani lembar informed

consent.

Peneliti dan partisipan membuat kontrak waktu dan tempat untuk

wawancara. Wawancara dilakukan di ruangan yang telah disepakati antara

peneliti dan partisipan. Semua wawancara dilakukan dalam kondisi tenang,

nyaman dan menjaga privasi partisipan. Wawancara dilakukan dengan metode in-

depth interview dengan durasi wawancara sekitar 50-65 menit.

Pertanyaan yang ditanyakan selama wawancara berdasarkan panduan

wawancara yang telah disusun peneliti. Pertanyaan yang telah disusun dilanjutkan

dengan pertanyaan-pertanyaan dengan teknik probing. Teknik probing yang

dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih kaya dan detail (Polit &

Beck, 2012). Teknik probing dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan

seperti “Apa yang terjadi kemudian?”, “Kapan itu terjadi?”, “Bagaimana


67

perasaan Bapak/Ibu setelah kejadian tersebut?”, “Bisakah Bapak/Ibu menjelaskan

dengan memberikan contoh?”.

Peneliti juga berupaya tidak mengarahkan jawaban partisipan dan

membiarkan partisipan mengungkapkan pengalamannya secara bebas atas

pertanyaan yang diajukan selama proses wawancara sehingga data yang diperoleh

merupakan informasi yang sesuai dengan pengalaman partisipan yang

sebenarnya.

Peneliti kemudian mengajukan pertanyaan seperti “Apakah ada hal lain

yang ingin disampaikan?”. Setelah wawancara selesai peneliti menyarankan

partisipan untuk menghubungi peneliti baik secara langsung atau melalui telepon

jika partisipan merasa perlu menceritakan lebih lanjut tentang pengalamannya.

Transkrip wawancara yang dibuat oleh peneliti divalidasi oleh partisipan

untuk menambahkan, mengurangi serta meluruskan catatan dalam transkrip.

Peneliti juga melakukan analisis terhadap data yang didapat bersamaan dengan

proses bimbingan dengan dosen, dan penelitian terus dilakukan sampai tidak ada

lagi hal-hal yang ingin diketahui dari partisipan. Pencarian informasi dari

partisipan lain terus dilakukan sesuai dengan prosedur dan dihentikan setelah

tercapai saturasi data. Setelah semua partisipan melakukan validasi hasil transkrip

dan rekaman wawancara, untuk meyakinkan kesesuaian dengan fakta. Peneliti

melakukan terminasi akhir dengan partisipan dalam penelitian dan

menyampaikan bahwa proses penelitian telah selesai.


68

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu

kualitas hidup adalah pengalaman dan pandangan subjektif pasien kanker

kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma tentang kesehatan,

kesejahteraan serta kehidupannya dalam hubungannya dengan perhatian, tujuan

hidup, standar hidup, dan harapan.

3.6 Metode Analisa Data

Analisis data dilakukan setelah proses pengumpulan data. Proses analisis

data dalam penelitian ini dilakukan setelah selesai setiap proses wawancara,

yaitu bersamaan dengan dibuatnya transkrip data. Menurut Polit dan Beck

(2012), proses analisa data kualitatif terdiri dari menyusun transkrip,

mengorganisasikan data dengan menentukan pernyataan esensial dan

mengelompokkan data-data. Proses pengelompokan data ini disebut dengan

reduksi dimana data diubah menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya

mengembangkan skema kategori dan melakukan pengkodean data berdasarkan

kategori yang dibuat.

Proses analisis data dilakukan dengan pendekatan Colaizzi. Metode ini

dipilih karena memberikan langkah-langkah yang sederhana, jelas, dan

sistematis dan metode ini merupakan satu-satunya yang membutuhkan validasi

hasil kepada partisipan penelitian Polit & Beck (2012). Tahapan analisis data

secara operasional dan rinci dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:


69

1. Membuat transkrip data dengan cara mendengarkan hasil rekaman yang

kemudian hasil wawancara tersebut disusun dalam bentuk verbatim. Peneliti

memberikan nomor untuk setiap baris hasil transkrip. Penomoran tiap baris

ini membantu peneliti dalam menemukan kembali kutipan wawancara

partisipan. Transkrip pada penelitian ini juga mencatat data tentang identitas

partisipan, waktu wawancara, suasana lokasi wawancara, situasi wawancara

termasuk deskripsi partisipan serta catatan lapangan yang memuat informasi

nonverbal yang diperoleh selama wawancara.

2. Membaca berulang kali transkrip data yang ada sehingga peneliti dapat

menemukan pernyataan yang signifikan dan memberikan garis bawah pada

pernyataan-pernyataan penting partisipan. Pernyataan yang signifikan

diekstraksi dari masing-masing transkrip dan diberikan warna yang berbeda.

Dalam tahap analisis ini, peneliti berupaya untuk memformulasikan kembali

pernyataan signifikan umum diekstraksi dari transkrip partisipan.

3. Menentukan kategori. Peneliti menganalisis dengan mengorganisasikan data

yang diperoleh dengan mengembangkan suatu metode untuk mengklasifikasi

data. Tahap analisis data pada dasarnya adalah mereduksi data, data

dikonversi menjadi lebih kecil sehingga lebih dianalisa (Polit & Beck, 2012).

Reduksi data dilakukan dengan menyusun kategori. Beberapa pernyataan

yang mempunyai makna yang sama digabungkan menjadi satu kategori.

Peneliti akan mengelompokkan pernyataan-pernyataan yang signifikan ke

dalam suatu kategori.


70

4. Menentukan subtema atau tema. Peneliti menetapkan dan mengatur kategori

yang telah dirumuskan ke dalam kelompok sejenis. Kategori yang sejenis

digabungkan menjadi suatu subtema atau tema baru yang potensial.

5. Mengintegrasikan tema menjadi deskripsi lengkap dari fenomena yang

diteliti. Sebuah deskripsi yang lengkap dikembangkan melalui sintesis dari

semua kelompok tema yang diperoleh

6. Merumuskan deskripsi secara lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai

pernyataan yang jelas. Deskripsi hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam

penulisan laporan hasil penelitian

7. Menanyakan kembali partisipan tentang hasil temuan sebagai langkah

validasi akhir untuk memastikan bahwa hasil temuan peneliti merupakan

pengalaman partisipan yang sesungguhnya dan disetujui oleh partisipan

tersebut.

Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan bantuan software

Weft-QDA untuk memudahkan dalam pengorganisasian data. Program ini

memungkinkan seluruh data dimasukkan ke dalam komputer, setiap bagian dari

data akan diberi kode. Kemudian teks lain yang sesuai dengan kode tersebut

dikelompokkan kemudian dianalisa.

3.7 Tingkat Keabsahan Data (Trustworthiness of Data)

Penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas

dan integritas dalam proses penelitian melalui tingkat keabsahan data.

Pengecekan terhadap kesahihan data dapat dilakukan dengan lima cara yaitu
71

credibility, dependability, confirmability, transferability (Lincoln & Guba, 1985

dalam Polit & Beck, 2012), dan authenticity (Guba & Lincoln, 1994 dalam Polit

& Beck, 2012).

Uji credibility data akan dilakukan dengan prolonged engagement,

member checking, catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan

transkrip (Streubert & Carpenter, 2011). Penggunaan uji kredibilitas ini

dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam mengenai subjek

penelitian.

Prolonged engagement pada penelitian ini dilakukan dengan mengadakan

pertemuan dengan partisipan selama 1 minggu sebelum pengumpulan data.

Prolonged engagement bertjuan membangun kepercayaan dengan partisipan

untuk mempelajari, budaya, sosial, setting, atau fenomena yang diteliti. Oleh

karena itu, diharapkan hubungan yang terjalin antara peneliti dengan partisipan

cukup baik sehingga data yang diperoleh lebih terpercaya.

Catatan lapangan juga merupakan salah satu aspek kredibilitas yang akan

digunakan dalam penelitian ini. Catatan lapangan yang merupakan dokumentasi

respon nonverbal selama wawancara menambahkan informasi dari hasil

wawancara. Hasil wawancara yang direkam dan transkrip juga memperkuat

kredibilitas penelitian ini.

Selain itu, credibility dipertahankan dengan cara melakukan member

checking yang akan dilakukan kepada partisipan untuk memvalidasi hasil tematik

yang telah ditemukan. Member checking dilakukan dengan menjumpai langsung

partisipan dan mendiskusikan hasil tematik, laporan akhir atau deskripsi tema
72

yang telah dianalisa peneliti dan meminta partisipan membaca dan melihat

keakuratan transkrip tersebut, menanyakan kepada partisipan kesesuaian

ungkapan, kata kunci dan tema yang diperoleh dengan persepsi partisipan.

Partisipan diberikan hak untuk mengubah, menambah atau mengurangi kata

kunci atau tema yang sudah ditentukan.

Dependability sangat bergantung pada credibility. Hal ini berarti proses

dari penelitian tersebut dapat diaudit. Prinsip ini dipenuhi peneliti dengan cara

mempertahankan konsistensi teknik pengumpulan data dan melaporkan secara

detail setiap proses pengumpulan data kepada pembimbing untuk menilai apakah

proses dan hasil yang didapatkan sudah sesuai. Peneliti bertanggung jawab untuk

memberikan informasi yang cukup sehingga yang peneliti lain yang membaca

penelitian ini akan mencapai kesimpulan yang sama

Confirmability mengacu pada objektivitas yaitu potensi keselarasan antara

dua atau lebih pihak independen tentang keakuratan data, relevansi, atau makna.

Kriteria ini berkaitan dengan penetapan bahwa data merupakan informasi yang

disediakan partisipan dan interpretasi data tersebut tidak diciptakan oleh peneliti.

Temuan penelitian harus mencerminkan suara partisipan dan kondisi sebenarnya,

bukan bias peneliti, motivasi, atau perspektif. Peneliti akan melakukan

confirmability berupa audit trial dengan menunjukkan seluruh transkrip yang

sudah ditambahkan catatan lapangan, tabel pengkategorian tema dan tabel

analisis tema kepada kepada auditor independen dalam hal ini pembimbing untuk

dikonfirmasi sehingga lebih objektif.


73

Transferability mengacu pada potensi sejauh mana temuan dapat

diaplikasikan dalam tempat lain. Tanggung jawab peneliti dalam uji

transferability adalah memberikan data deskriptif melalui penyediaan laporan

penelitian dengan uraian yang rinci, jelas, sistematis dan dapat dipercaya (thick

description).

Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti jujur dalam menunjukkan

berbagai realitas. Authenticity dalam laporan penelitian ini dilakukan dengan

menyajikan pengalaman kehidupan partisipan yang diungkapkan sebagaimana

realita kehidupan mereka dengan beragam suasana hati, perasaan, bahasa

pengalaman, dan konteks kehidupan. Transkrip penelitian memiliki keaslian jika

mampu mengajak pembaca untuk merasakan pengalaman kehidupan yang

dideskripsikan dan memungkinkan pembaca untuk mengembangkan kepekaan

dengan masalah yang dideskripsikan.

3.8 Pertimbangan Etik

Pengambilan data akan dilakukan setelah mendapatkan ethical clearance

dari Komite Etik Penelitian Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Sumatera Utara. Peneliti menunjukkan tanggung jawab professional dengan

membangun kepercayaan dengan partisipan, mengantisipasi isu-isu etik yang

mungkin timbul selama proses penelitian kualitatif untuk melindungi hak subjek

penelitian (Creswell, 2007).

Selanjutnya, peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan memberikan

informed consent berisi informasi penelitian, menjelaskan tujuan penelitian,


74

prosedur, resiko, ketidaknyamanan dan keuntungan serta harapan atas partisipasi

individu dalam penelitian. Partisipan diberikan kebebasan (autonomy) untuk

memutuskan apakah dia bersedia menjadi partisipan. Partisipan berhak untuk

mengundurkan diri tanpa konsekuensi karena dalam penelitian ini partisipan

bersifat sukarela dan tidak dipaksa. Peneliti tidak mencantumkan nama partisipan

hanya inisial (anonymity), identitas partisipan dirahasiakan (confidentiality),

hanya informasi yang diperlukan yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Secara

operasional, peneliti memberikan lembaran informed consent yang bila disetujui

partisipan ditandatangani dan bila tidak, partisipan bebas atas tindakannya.

Individu memiliki kebebasan untuk memilih tanpa kontrol eksternal, partisipan

dapat menentukan akan berperan serta atau tidak dalam penelitian, partisipan

dapat saja menarik diri dari penelitian tanpa ada konsekuensi (Creswell, 2007).

Peneliti juga menjalankan standar etik beneficience, respect for human

dignity, dan justice (Polit & Beck, 2012). Prinsip beneficience dimaksudkan agar

penelitian ditujukan untuk menghasilkan manfaat bagi partisipan. Prinsip ini

dilakukan dengan memberikan kenyamanan dan menghindarkan partisipan dari

sesuatu hal yang merugikan (the right to freedom from harm and discomfort).

Peneliti memiliki kewajiban untuk menghindari, mencegah, atau meminimalkan

bahaya (nonmaleficence) dalam penelitian. Hak perlindungan dari pemanfaatan

atau eksploitasi (the right to protection from exploitation) berupa tidak

menjadikan partisipan rugi atau mengekspos kehidupan partisipan dengan

maksud untuk merusak kehidupan partisipan. Peneliti akan meyakinkan


75

partisipan bahwa partisipasi, informasi yang diberikan, tidak akan digunakan

untuk maksud yang negatif.

Peneliti akan tetap menghormati martabat partisipan (respect for human

dignity). Prinsip ini termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to

self determination) dan hak untuk keterbukaan (the right to full disclosure). Hak

penentuan nasib sendiri ditentukan sebagai respon otonomi. Calon partisipan

secara sukarela dapat memutuskan apakah akan mengambil bagian dalam studi,

tanpa resiko yang merugikan. Partisipan memiliki hak untuk mengajukan

pertanyaan, menolak untuk memberikan informasi, dan menarik diri dari

penelitian.

Prinsip etik justice akan diterapkan dengan mengutamakan hak partisipan

atas perlakuan yang adil dan hak privasi. Hak partisipan atas perlakuan yang adil

menyangkut pemerataan manfaat penelitian. Hak atas perlakuan yang adil berarti

bahwa peneliti akan menghormati semua perjanjian yang dibuat dengan

partisipan, menunjukkan rasa hormat terhadap keyakinan, kebiasaan, dan gaya

hidup dari berbagai latar belakang atau budaya, memberikan akses bagi partisipan

kepada peneliti untuk klarifikasi hal-hal yang diinginkan, menunjukkan sikap

sopan dan bijaksana setiap saat. Hak privasi (the right to privacy) diterapkan

peneliti dengan memastikan bahwa privasi partisipan dipertahankan. Partisipan

memiliki hak untuk mengharapkan bahwa data atau informasi yang diberikan

akan disimpan dalam kerahasiaan.


76

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Demografi Partisipan

Partisipan dalam penelitian berjumlah 12 orang pasien kanker kolostomi

yang baru menjalani kolostomi yang memenuhi kriteria penelitian. Mayoritas

partisipan menggunakan kantong stoma one piece yang dimodifikasi dengan

kantong plastik gula yang dilubangi sesuai lebarnya diameter stoma kemudian

ditempel menggunakan double tape. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik

partisipan yang akan dipaparkan mencakup jenis kelamin, usia, pendidikan

terakhir, suku, status, pekerjaan, agama dan lama menjalani kolostomi.

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.1) menunjukkan bahwa

mayoritas partisipan berjenis kelamin laki-laki (66,7%), usia partisipan 26-45

tahun (58,3%), pendidikan terakhir SMP (50%), suku Jawa (33,3%), status

menikah (91,7%), pekerjaan wiraswasta (33,3%), agama Islam (75%), lama

menjalani kolostomi 1-3 bulan (83,3%). Data demografi partisipan ditampilkan

secara rinci dalam bentuk tabel distribusi frekuensi pada di bawah ini.

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Partisipan


Data Demografi Partisipan F %
Jenis Kelamin
Laki-laki 8 66,7 %
Perempuan 4 33,3 %
Umur
26-45 tahun 7 58,3 %
46-55 tahun 3 25 %
>55 tahun 2 16,7 %
Pendidikan Terakhir
SMP 6 50 %
SMA 3 25 %
77

Diploma/PT 3 25 %
Suku
Batak Karo 1 8,3 %
Batak Toba 2 16,7 %
Batak Simalungun 1 8,3 %
Batak Mandailing 2 16,7 %
Jawa 4 33,3 %
Minang 2 16,7 %
Status Pernikahan
Menikah 11 91,7 %
Tidak Menikah 1 8,3 %
Pekerjaaan
PNS 3 25 %
Pegawai Swasta 2 16,7 %
Petani 1 8,3 %
Wiraswasta 4 33.3 %
Buruh 1 8,3 %
IRT/Tidak Bekerja 1 8,3 5 %
Agama
Islam 9 75 %
Kristen 3 25 %
Lama Menjalani Kolostomi
< 1 bulan 2 16,7 %
1-3 bulan 10 83,3 %

4.2 Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal yang Baru Menjalani

Kolostomi dengan End Stoma

Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil wawancara diperoleh beberapa

tema yaitu 1) Mengalami gejala kanker kolorektal sebelum dilakukan tindakan

kolostomi, 2) Merasakan peran tenaga kesehatan (dokter dan perawat) pada

ostomate yang baru menjalani kolostomi, 3) Mengalami penurunan kemampuan

tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, 4) Menjalani Kehidupan Baru yang

Menimbulkan Stress dan Perubahan Emosi, 5) Mengalami Kesulitan dalam

Bersosialisasi dengan Adanya Stoma Baru, 6) Mendapat Dukungan dan Perhatian

dari Orang Yang Berarti dalam Menghadapi Situasi Baru dengan Adanya Stoma,
78

7) Mengalami Tantangan dalam Menjalankan Kegiatan Keagamaan, 8) Berupaya

Menerima Stoma sebagai Bagian dari Tubuh.

Berdasarkan tema-tema yang diperoleh, terdapat 5 tema utama yang

sesuai dengan teori dan hasil systematic review, yaitu: 1) Mengalami penurunan

kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, 2) Menjalani

Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress dan Perubahan Emosi, 3) Mengalami

Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan Adanya Stoma Baru, 4) Mendapat

Dukungan dan Perhatian dari Orang Yang Berarti dalam Menghadapi Situasi

Baru dengan Adanya Stoma, 5) Mengalami Tantangan dalam Menjalankan

Kegiatan Keagamaan.

. Tema baru yang diperoleh dari hasil analisa data ada 3 yaitu: 1)

Mengalami gejala kanker kolorektal sebelum dilakukan tindakan kolostomi, 2)

Merasakan peran tenaga kesehatan (dokter dan perawat) pada ostomate yang baru

menjalani kolostomi dengan end stoma, 3) Berupaya Menerima Stoma sebagai

Bagian dari Tubuh. Tema-tema ini akan dibahas secara terperinci untuk

memaknai kualitas hidup pasien kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi

dengan end stoma.

4.2.1 Mengalami Gejala Kanker Kolorektal Sebelum Dilakukan Tindakan

Kolostomi

Gejala kanker kolorektal yang dirasakan partisipan sebelum dilakukan

operasi kolostomi berbeda-beda. Hal tersebut terlihat dari beberapa subtema

yaitu: 1) Mengalami perubahan eliminasi, 2) Mengalami perubahan pada


79

abdomen, 3) Mengalami fatigue, 4) Keluhan pada anus. Masing-masing subtema

dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengalami Perubahan Eliminasi

Manifestasi klinis kanker kolorektal salah satunya adalah perubahan

eliminasi bowel, umumnya berupa kontipasi dan diare yang terjadi bergantian,

sensasi evakuasi yang tidak tuntas. Berikut ini beberapa ungkapan dari

partisipan:

a. Merasakan Susah Buang Air Besar

Partisipan mengungkapkan keluhan susah buang air besar sebelum

menjalani kolostomi, seperti ungkapan partisipan berikut ini:

Sebelum-sebelumnya udah ada 2 bulan terakhir sebenarnya saya jarang


buang air besar ataupun kalo buang air besar rasanya..eee.. gak
puas…karena gak semua keluar…tetapi sebelumnya saya merasa itu hal
biasa…sehingga saya diamkan… tetapi sudah satu minggu terakhir saya
tidak buang air besar” [P1]

“Perutnya terasa sakit, susah BAB. BABnya susahnya gak lancar setiap
hari, bisa sih BAB Cuma dia kecil-kecil” [P9]

b. Merasakan Keluhan Sering Buang Air Besar

Partisipan juga mengungkapkan keluhan sering buang air besar selama

ini. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan berikut ini:

“Oh, sebelum operasi, saya itu..eee…itu apa namanya, selalu keluhan di


perut ini, susah itu buang angin ya, nahh…habis itu kalau beol kita itu
selalu mencret bentuknya. Itupun kalau buang angin, anginnya bauk
sekali, gak tau saya koq bisa sebauk itu” [P7]

“Ya bentar-bentar BAB, 5 menit sekali BAB” [P12]


80

c. Kotoran Bercampur Darah

Selain perubahan eliminasi, pasien juga mayoritas mengeluhkan

keluarnya kotoran yang bercampur darah. Manifestasi klinis ini juga dapat berupa

terdapatnya sejumlah mikrokopis darah yang tidak terlihat atau mungkin feses

pasien memiliki warna gelap atau berwarna merah. Hal ini terlihat dalam kutipan

transkrip berikut ini :

“Kayaknya…eee..sepertinya sih kayaknya kotoran saya bercampur darah


gitu bu, tapi karena saya gak mau mikir macam-macam gak terlalu saya
pikirkan bu, saya anggap aja karna salah makan” [P1]

“Bisa sih BAB cuma dia kecil-kecil sama ada campur darah” [P9]

d. Mengalami Perdarahan

Sebagian besar pasien karsinoma kolorektal yang terletak di bagian

distal sering mempunyai keluhan buang besar berdarah segar. Sumber perdarahan

segar yang terbanyak dari kanker terletak di bagian distal kolon dari kanker. Hal

ini ditunjukkan oleh ungkapan partisipan sebagai berikut:

“Maaf ngomong buk, bukan pakai celana, tapi pakai apa namanya,
emm,,, softek itu karna ada darah juga” [P2]

“Perdarahan memang saya melalui anus. banyak, saya bisa berjam-jam


di kamar mandi, banyak..bukan hanya darah dalam bentuk cairan tetapi
sudah dalam bentuk gumpalan-gumpalan juga, bahkan bisa sampai satu
minggu itu saya tidak BAB tetapi hanya darah yang keluar” [P4]

Perdarahan melalui rectal tersebut dapat menyebabkan hipovolemik.

Hal ini diungkapan oleh partisipan berikut :

“Warnanya agak kehitaman bercampur dengan kotoran, tapi kadang ada


darah segar juga, darahnya keluar sikit-sikit aja, keluarnya sesekali. Iya
saya sempat blooding, keluarnya banyak sekali dari anus, sampai saya
harus ditransfusi 4 kantong darah” [P9]
81

2. Mengalami Perubahan pada Abdomen

a. Merasakan Perut Membesar

Tumor pada kolorektal dapat menyebabkan obstruksi sehingga evakuasi

atau proses eliminasi bowel yang terganggu dengan manifestasi distensi

abdomen. Hal ini terlihat dalam beberapa ungkapan partisipan berikut ini:

“Dulu perut kita ini besar, kayak orang hamil sekitar 7 bulan [P2]

“Lumayanlah besar perutnya, agak merah dia, padat. Kayak ada


anginnya gitu kan” [P6]

“…perut saya jadi membatu dan keras” [P8]

b. Keluhan Susah Buang Angin

Proses obstruksi akibat adanya tumor menyebabkan evakuasi yang tidak

tuntas dan juga flatulence. Hal ini diungkapkan partisipan, antara lain:

“Krucuk,,,krucuk,,,krucuk jalan dia itu entah apa di dalam perut itu.


Memang kerasa kita mbak trus, kita gak bisa bohong, ini besar perut
saya, banyak saksinya yak an mbak. Dipegang perut saya kaya gini ya
jalan-jalan di perut. Krucuk-krucuk gitu, mau buang angin gak bisa” [P2]

“Susah buang angin, kembung, keluar sih tapi prosesnya itu agak..eemm,
anginnya itu keluar tapi…macam org masuk angin, agak muter-muter,
mulessssss banget, sakitttttttt bangettttt, mau keluar angin itu sakit” [P9]

c. Nyeri yang Dirasakan pada Area Perut

Pasien dengan kanker kolorektal dapat melaporkan nyeri akibat adanya

massa atau tumor pada kolon dan rectum. Hal ini diungkapkan partisipan, antara

lain:

“Terus terang ya gak bisa 1 keluarga gak bisa tidur menjaga kita. Karna
gitu kesakitannya sampai saya teriak-teriak karna kesakitan di area
perut” [P2]

“Berdenyut gitu di area perut sama di anus berdenyut-denyut gitu” [P12]


82

d. Merasakan Perut Kembung dan Tidak Nyaman Bernapas

Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan

menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi

feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah defekasi. Akibat lebih lanjutnya

ialah distensi dan menyebabkan penekanan pada abdomen yang dapat

menimbulkan gejala sesak napas. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai

berikut:

“Eeee sesak seperti gak nyaman bernafas, macam didesak angin yang di
dalam perut itu pernafasan saya karena kembung itu dan gak bisa BAB
dan perasaan saya gak bebas dan gak nyaman bernafas” [P1]

“Saya masuk angin, malas makan, kembung, akhirnya kembungnya udah


naik ke atas, saya udah mulai sesak napas” [P4]

3. Mengalami Fatigue

a. Merasa Kelelahan Berlebihan

Pertumbuhan sel kanker akan bersaing dan menguras tenaga dan

menghabiskan energi lebih cepat dari metabolisme dalam keadaan normal.

Keadaan ini akan membuat pasien merasakah kelelahan berlebihan. Hal ini

diungkapkan oleh beberapa partisipan, antara lain :

“Palingan saya rasa lemas bu, karena gak enak itu perut saya…ngapai-
ngapain pun lemas, gak enak rasanya perut ini, palingan golek aja di
tempat tidur” [P1]

b. Kondisi Fisik Melemah

Proses metabolisme yang meningkat akibat pertumbuhan sel kanker

menyebabkan kondisi fisik melemah. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan

berikut ini:
83

“Pada saat itu kondisi saya sangat lemah, kondisi fisik lemah, mental
juga lemah” [P4]

4. Keluhan Pada Area Anus

a. Adanya Benjolan pada Anus

Adanya tumor pada area rectal dapat menimbulkan adanya massa pada

daerah anal yang dapat menimbulkan gejala seperti ambeyen. Hal ini

diungkapkan partisipan sebagai berikut:

“…ada benjolan pada anus saya” [P8]

“Itulah ambeyen tadi, memang ada. Dia seperti ada tonjolan kecil
keluar” [P9]

“…cuman ada sedikit rasa kayak ambeyen gitu aja” [P11]

b. Merasakan Nyeri pada Daerah Anus

Selain itu, partisipan juga mengungkapkan adanya rasa nyeri pada daerah

anal. Hal ini terlihat dari ungkapan pertisipan berikut ini:

“Darah dari anus, sehingga bokongnya sakit…ya sakitnya luar biasa,


sampai saya gak bisa duduk, kadang tidur pun serba salah, duduk salah,
ya itu tadi, karena letak tumor saya itu memang hanya 2 cm di atas anus”
[P4]

4.2.2 Merasakan Peran Tenaga Kesehatan (Dokter dan Perawat) pada

Pasien yang Baru Menjalani Kolostomi

1. Mendapatkan Edukasi dari Tenaga Kesehatan (Dokter dan Perawat)

Pemberian edukasi oleh dokter dan perawat terdiri dari 3 kategori yaitu

edukasi yang diberikan tenaga kesehatan (dokter dan perawat) sebelum

kolostomi, penentuan letak stoma (stoma site marking), edukasi yang diberikan

tenaga kesehatan (dokter dan perawat) setelah kolostomi.


84

a. Edukasi yang diberikan tenaga kesehatan (dokter dan perawat) sebelum

kolostomi

Partisipan perlu diberikan edukasi sebelum kolostomi dilakukan.

Beberapa partisipan akan terganggu baik fisiologis dan psikologis saat mereka

divonis membutuhkan tindakan stoma. Hal ini dikarenakan partisipan akan

berduka karena kehilangan fungsi eliminasi normal. Hal ini sangat penting bagi

profesional kesehatan khususnya dokter dan perawat sebagai pemberi edukasi.

Beberapa edukasi yang diterima partisipan sebelum tindakan kolostomi dilakukan

diungkapkan oleh partisipan seperti berikut ini:

“Kemarin itu dijelaskan kalau akan dibuatkan lubang untuk BAB atau
kotoran gitu, minta persetujuan juga sama keluarga, untuk pembuatan
lobang yang disamping ini” [P2]

“Kemarin waktu sebelum operasi kan saya dikasih penjelasan katanya


saya akan dipasang usus di luar. Dulu kan belum ngerti maksudnya itu
gimana. Terus saya tanya-tanya lagi, nanti kamu BABnya di luar, tapi
kan nanti biasa aja dia bilang. Kamu juga nanti pakai kantongan.
Kantongannya itu ada nanti dijual di luar. Ada juga yang dari rumah
sakit. Dia bilangnya gitu” [P9]

“Dijelaskannya itulah bu, harus diangkat. Karna harus permanen jadi ya


itulah bu harus diangkat, kalau gak diangkat katanya bahaya, kan gitu
bu” [P11]

b. Menerima Penjelasan tentang Penentuan Letak Toma (Stoma Sitting)

Pemilihan lokasi stoma adalah sangat penting. pasien harus dapat

melihat dan merawat stoma. Sehari sebelum operasi, letak stoma harus ditentukan

setelah observasi pasien dalam rawatan dengan posisi berbaring, duduk dan

berdiri. Hal ini diungkapkan oleh beberapa partisipan, sebagai berikut :

“Kemarin itu gak tergambar sama saya gimana bentuk lobang itu, tidak
ditunjukkan, tapi dibilang akan dibuat lobang di sebelah kiri untuk tempat
buang air besar, eee….gitu dijelaskan,” [P1]
85

“Penjelasan kemarin sama dokter itu, katanya dicarikan tempat yang


ototnya lebih kuat, katanya gitu” [P11]

c. Edukasi yang diberikan tenaga kesehatan (dokter dan perawat) setelah

kolostomi

Perawat dan dokter perlu memberikan pendidikan kesehatan pada

pasien mengenai perawatan stoma harus menguasai mengenai cara menggunakan

produk tersebut sehingga pasien dapat merasakan manfaatnya. Berikut ini

beberapa ungkapan partisipan terkait edukasi yang diterima dari dokter dan

perawat setelah kolostomi, yaitu:

“Nah dijelaskan sama dokternya, istilahnya ususnya belum normal cara


menggilingnya” [P2]

“Juga dikasih penjelasan, yaa…cara membersihkannya trus variasi


kantong untuk kolostominya dijelaskan gitu” [P4]

“Kata dokter kemarin masih bisa disambung..Cuma musti menjalani


perawatan yang panjang lagi. Kemonya masih ada 4 kali lagi. Sinarnya
aja belum..”[P6]

Sebagian kecil partisipan mengungkapkan tidak mendapat edukasi tentang

perawatan dan cara mengganti dtoma. Hal ini terlihat dengan pernyataaan pasien

berikut ini:

“Eeee…Tidak ada saya diajarkan mengganti kantong itu, seingatku gak


ada..” [P8]

Maksudnya cara perawatan gitu gak ada dijelaskan, ya saya rawat


sendiri aja [P12]

2. Respon Terhadap Proses Edukasi

Proses edukasi yang diberikan tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan

perawat menunjukkan respon yang berbeda-beda pada pasien. Subtema ini terdiri
86

dari 2 kategori, yaitu puas dengan edukasi yang disampaikan, tidak puas dengan

edukasi yang disampaikan

a. Merasa kurang puas dengan edukasi yang disampaikan

Tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan perawat berperan penting

dalam pemberian edukasi untuk meningkatkan pemahaman partisipan tentang

tindakan kolostomi yang dilakukan serta proses perawatannya. Tujuannya untuk

meningkatkan penerimaan partisipan akan adanya perubahan lokasi eliminasi

sehingga mampu melakukan perawatan dengan mandiri. Edukasi yang diberikan

oleh tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan perawat terkait tindakan

kolostomi dan perawatannya masih dirasakan kurang memuaskan oleh beberapa

partisipan, seperti ungkapan partisipan berikut ini:

“Saya gak paham kali apa yang dijelaskan kemarin tentang operasi itu,
namanya saya kesakitan, gak pahamlah apa yang dijelaskan dokter sama
suster itu” [P2]

“Selama ini sih penyampaiannya sudah enak, pengobatan yang saya


jalanipun dijelaskan. Saya pun merasa nyaman. Perawatnya pun serius
menangani saya” [P7]

“Kita sebagai pasien kan punya hak tanya kan. Kadang ada saja dokter
ini yang “enggak gininya-gini, tenang ajalah”. Jadi kita sendiri pun
kurang puas” [P11]

b. Merasakan puas dengan edukasi yang disampaikan tenaga kesehatan

Respon yang berbeda diungkapkan oleh partisipan, yang mengungkapkan

kepuasan terhadap edukasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (dokter dan

perawat). Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan berikut:

“Waktu ke polikan, dianjurkan dokternya supaya jangan makan daging


ayam, susu kental manis. Kan bagus gitu, ada penjelasan sama kita”
[P12]
87

2.2.3 Mengalami Penurunan Kemampuan Tubuh dalam Melakukan

Aktivitas Sehari-hari

1. Menurunnya Kemampuan Melakukan Kegiatan yang Biasa Dilakukan

a. Tidak bisa mengangkat benda berat

Partisipan mengatakan mengalami beberapa keterbatasan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari setelah menggunakan ostomy bag terutama

dengan kemampuan mengangkat benda yang berat. Hal ini diungkapkan oleh

partisipan sebagai berikut:

“Saya sekarang yang paling saya rasakan itu, kalau dulu saya masih
bisa,,,saya kan ibu rumah tangga ya…saya nyuci, saya angkat kain
seember, saya jemur sendiri….kalau sekarang kalau nyuci pun harus
sikit-sikit saya, ngangkat kain yang sudah saya cuci, atau kerjaan yang
berat-berat, saya sudah gak kuat” [P1]

“Gak bisa angkat yang berat lagi lah, seperti bawang 1 goni, nyimpan-
nyimpan barang waktu saya masih jualan, sekarang gak lagilah” [P8]

“Ya, banyakan tidur bu. Karna masih ada rasa sakit ini berkelanjutan
dia” [P11]

b. Pergerakan Terbatas

Keterbatasan untuk melakukan aktivitas juga berdampak pada

pargerakan dan kemampuan berjalan. Hal ini dikeluhkan oleh beberapa partisipan

sebagai berikut:

“Karna gini kan kita risihh, gerak ke kiri atau ke kanan kan kita
risih…”[P2]

“Duduk normal kayak mbak itu saja saya belum bisa, kan sakit mbak
karna tumor itu di anusnya itu: [P4]

“Gak bisa gerak bebas kali kita, karna kalau kita bebas agak leluasa gak
bisa. Misalnya gini, saya mau ambil yan sana di atas meja itu, itu gak
bisa saya menjulurkan badan saya, harus geser lagi, gitu dia. Kalau
orang macam situ kan bisa mulurkan badan sampai situ, gak ada
88

bermasalah di perut. Kalau saya mulurkan badan saya kesana, ada


masalah di perut saya ini” [P7]

“Gak beraktivitas, belum bisa bergerak bebas karna takut luka bekas
operasinya robek” [P12]

“Gak bisa miring karna sakit itu dan belum sembuh lukanya. Kan kalau
miringpun tertarik ototnya itu, jadi mengganggu sambungan antara
stoma dan apa ini…emm kulit perut” [P11]

c. Aktivitas Berjalan Terganggu

Bahkan, beberapa partisipan mengeluhkan belum kurang nyaman saat

berjalan setelah menggunakan stoma bag. Hal ini diungkapkan oleh beberapa

partisipan, sebagai berikut :

“Kalau berjalan ya…eee…ada jugalah terasa kita agak aneh gitu sikit
kan. Langkah kita yang awalnya lebar-lebar harus pendek-pendek,
supaya rasa sakitnya itu gak muncul” [P7]

“Misalnya kita tarik napas yang panjang, takut lepas ususnya yang
dijahit di kulit perut itu, kalau kita tarik napas dalam gitu, terasa dia
aaaaakk gitu loh. Berjalan pun memang gak nyaman” [P6]

2. Mengalami Perubahan Kemampuan dalam Bekerja

a. Tidak Bisa Bekerja Berat

Proses penyakit dan adanya stoma menjadi kendala bagi partisipan dalam

melakukan pekerjaan. Sebagian besar berhenti dari pekerjaan, hal ini

diungkapkan partisipan, sebagai berikut:

“Karena badan sayapun selama ini mudah lelah…hmmm…kerja sedikit


maunya duduk, tiduran, itu yang saya rasakan bu” [P1]

“Memang bagaimana ya, memang sedih juga ya. Kita satu gak bisa kerja
berat” [P2]

b. Tidak Bekerja Setelah Kolostomi

“semenjak sakit ini gak kerja lagi, saya cuti sakit” [P4]
89

“Kalau untuk kerja kan, karna memang kita kan kerjanya di luar, jadi
agak susah. Kalau untuk kerja untuk sementara ini belum dulu” [P9]

3. Efek Penyakit dan Kolostomi pada Fungsi Tubuh

a. Ketidakmampuan Mengontrol BAB

Masalah yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah pengeluaran gas dan

BAB yang berbeda dengan pengeluaran melalui anus sehigga menyebabkan

pengeluaran feses dan gas menjadi tidak terkontrol. Hal ini diungkapkan oleh

beberapa partisipan, antara lain:

“Biasa nya kita terasa BAB di anus langsung kita ke kamar mandi. Ini
duduk pun bisa keluar. Kita di keramaianpun bisa keluar, kan gitu
gimanalah mba” [P2]

“Kalau kita dulu belum pakai stoma kan, bisa kita makan, kan gak
langsung keluar gitu. Tapi ini karena lebih pendek jalannya, bisa nanti
disitu kita makan langsung keluar dianya” [P4]

“Kemudian saat kita buang airpun gak terasa, gak sadar gitu. Gak sadar
juga bunyi atau keluar kotoran gimana” [P11]

b. Kehilangan Rahim dan Anus

“Daerahnya harus diluaskan 5 cm sekeliling dari batas kanker itu, gak


bisa ngepas gitu, karna dia kanker ganas, harus dilebihkan, karena dia
dilebihkan maka saya resikonya rahim juga diangkat, meskipun rahimnya
tidak terkena, tidak terkena kanker, tapi karna itu tadi kena daerah yang
dilebihkan itu kan, rahim diangkat dan karna tumor itu letaknya hanya 2
cm di atas anus, anuspun harus dibuang, tutup secara permanen dan saya
pakai kolostomi..”[P4]

c. Mengalami Penurunan Berat Badan

Kanker kolorektal menimbulkan pertumbuhan sel-sel abnormal yang

menyebabkan hipermetabolik dan manifestasi kanker menyebabkan perdarahan


90

yang menyebabkan anemia. Kondisi ini dapat menimbulkan perubahan BB. Hal

ini ditunjukkan dengan pernyataan sebagian besar partisipan berikut ini:

“Setelah dioperasi itu berat badan jadi kurang menjadi 40 kg,


sebelumnya 65 kilo. Mungkin karna saya rasakan sakit-sakit selama
setahun jadi 40 kilo, udah tinggal tulang aja kemarin” [P6]

“Timbanganlah sama warna kulit saya menghitam..dulu kan berat badan


saya 55 kg sekarang palingan 47 kg. dua bulan lalu sih masih 53, Cuma
karna saya muntah-muntah jadi turun 47 kg” [P9]

d. Mengalami Penurunan Memori

Kondisi baru dengan adanya stoma dan proses yang dialami setelah sakit

berdampak pada kapasitas memori partisipan. Hal ini diungkapkan seorang pasien

berikut:

“Apalagi kalau sakit ini kan pikiran saya terbatas, daya ingat saya pun
udah berkurang” [P11]

4. Mengalami Perubahan Kualitas Tidur

Sebagian besar partisipan mengalami masalah dengan gangguan tidur

karena keberadaan stoma bag berhubungan dengan rasa risih, takut kantong

kebocoran di malam hari, harus sering mengganti kantong dan tidak bebas miring

ketika berbaring. Hal ini dikeluhkan oleh partisipan sebagai berikut:

a. Tidur Terganggu Karena Takut Kotoran Merembes

“Mau telengkup, telentang, miring, gak ada masalah. Kalau mencret ini
yang susah, takutnya merembes, jadi harus lebih was-was, jadinya
tidurnya kadang gak nyenyak. Tapi itu hanya kalau mencret aja” [P9]

“Gak bisa bebas miring waktu tidur, kalau miring ke kiri gak bisa, paling
mereng dikit, kalau mereng habis gak bisa, yang kedua, manatau jadwal
buang kotorannya, terus lemnya lekang kan, bisa nanti kotorannya
kececer dan jatuh, jadi itu yang buat kita gak nyaman, ya tiap malam
harus sering ditengok, bentar-bentar ditengok. Tidur saya jadi terganggu,
gak nyamanlah..”[P12]
91

b. Penyebab Gangguan Tidur Karena Kepanasan

Selain itu pasien juga mengeluhkan merasa kepanasan semenjak

operasi. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan berikut ini:

“Di Langsa pun saya kepanasan tidur, semenjak saya operasi ini
perasaaan saya begitu. Kalau saya tidur ventilasinya kecil, saya buka
jendela, jendela itu gak saya tutup-tutup walaupun sudah malam.seharian
buka terus. Jadi rasanya angat badan ya, panaasss..semenjak operasi
saya rasakan seperti itu. Kalau gak ada ventilasi, wow ajab kali saya
rasanya, karna kepanasan kali saya. Gelisahlah namanya kan gak enak
tidurnya” [P7]

5. Mengalami Masalah pada Peristoma, Stoma dan Stoma bag

a. Mengalami Iritasi Peristoma

Masalah yang banyak terjadi pasca pembuatan stoma yang sering

dialami pasien adalah iritasi pada kulit sekitar stoma (peristoma). Hal ini

diungkapkan oleh beberapa partisipan yaitu:

“Cuman merahnya itu, cuma dua minggu lah dulu, hm… kalau saya tidak
lupa ya, merahnya itu di kulit dekat lobang itu [P1]

“Seminggu setelah operasi, trus setelah seminggu itu kitakan 1 hari pak ,
besok lagi kok terasa gatal ya kan, dibuka ya kan, udah merah itulah dia
infeksi” [P2]

“Selama setengah bulan itu terjadi iritasi terus. Banyak kali soalnya
cairan itu keluar” [P7]

Kulit peristomal memiliki karakteristik yang hangat, lembab dan tertutp

oleh kantong kolostomi sehingga sering menyebabkan infeksi. Kulit yang

mengalami iritasi tersebut berubah menjadi kemerahan, gatal, lecet atau timbul

luka. Hal ini terlihat pada beberapa ungkapan partisipan berikut ini :

“Karna dia setiap harinya kan gak kenak angin gitu kan. Karna kan buka
plastic, tutup plastik, buka terus tutup lagi. Nah gitu kan.. karna kan
setiap harinya gak pernah dilepas kantongnya, kan maunya dikasih juga
angin atau apa ya, sejam atau dua jam dibebaskan dari plastic itu, habis
92

itu kan dia pulih lagi ya kan.. inilah kan, kalao misalnya saya sudah ganti
pagi, terus nanti ada kotorannya saya ganti, pasang lagi, gitu-gitu aja
terus kan. Namanya lemnya langsung kenak ke kulit, ada sikit merah kan,
terus gak ada rasa gatal gitu”[P6]

“Kalau kenak kotoran, eee…memang rasanya gatal, dan lama-lama bisa


merah kulit di sekitar lobang ini, pernah sampai merah kali dan pedihh
karena kotoran saya encer dulu” [P1]

“Airnya atau cairannya itu kalau keluar agak panas sikit ya kan. Terus
dibersihkan atau disiram-siram. Cuman karna terus-menerus kan dia
licin…licin dan lecet dia. Muncullah bintil-bintil kecil gitu, ada juga luka
gitu kan” [P7]

b. Keluarnya cairan berbau dari stoma

Masalah yang dikeluhkan partisipan lainnya adalah keluarnya cairan

dari stoma baik cairan fisisologis maupun yang patologis. Hal ini diungkapkan

pasien sebagai berikut:

“Saya kan karna tumornya belum diangkat jadi masih mau ada keluar
cairan-cairan apa…. Ya cairan-cairan inilah, bauk…karna itu tadi
tumornya belum diangkat. Jadi kadang gak ada BABnya, tapi kalau
keluar cairannya tetap harus ganti, karna kan bauk dia. Cairannya warna
coklat kadang warna hitam” [P4]

“Kan apanya usus itukan merah, maulah berlendir kadang-kadang


keluarlah dari sini (sambil menunjukkan kantong) lendir warna putih.
Jadi dibilangnya itulah penyakit itu” [P8]

c. Mengalami komplikasi kolostomi

Masalah pada stoma dapat muncul setelah pembedahan kolostomi, di

antaranya ada yang mengalami retraksi dan iskemik. Hal ini diungkapkan oleh

partisipan, sebagai berikut:

“Kalau gagal itu kan udah lain cerita ya kan? Lobang itu masuk,
bukannya gagal tapi masuk stomanya. Pada saat mau operasi kedua itu
kubilang kan..” [P2]

“Disini juga tempatnya, tapi dia agak ke bawah kan, trus gak merah
seperti ini, adalah sikit merah, makin lama makin hitam, dalam satu
93

minggu menghitam macam kulit saya ini. Tempo dalam satu hari atau dua
hari setelah operasi udah Nampak dia gitu, trus layu, kalau layu itu kan
berwarna beda, kek gitulah” [P7]

Selain komplikasi pada stomanya sendiri, infeksi pada jahitan terjadi

karena kotoran merembes ke daerah jahitan. Hal ini diungkapkan oleh partisipan,

sebagai berikut :

“Lagian sempat juga dia infeksi. Kan ini kan ada jahitan juga disini bu.
Jahitan apalah namanya ini, selain yang di tempat stoma inilah. Jadi kan
pernah cairan dari stoma ini ngalir ke sini bu, apalagi ketika mereng
begini kan. Kita kan gak sadar kan, namanya kita tidur. Jadi, cairannya
itu merembes ke jahitan ini, padahal kan gak boleh kena cairan. Ada dia
2 cm itu, dari 10 cm ini, jadi dia jadi gak sempurna jahitannya itu” [P11]

d. Merasakan kendala dengan letak stoma

Stoma tidak boleh mengganggu lipatan kulit, luka operasi dan tonjolan

tulang karena untuk mencegah kebocoran. Stoma yang tidak benar dilakukan

akan menyebabkan penderitaan bagi pasien. Hal ini dikeluhkan oleh seorang

pasien, sebagai berikut :

“Pertamakan lokasinya di sini, pas dekat tulang ini, posisinya agak ke


bawah, memang menghambat” [P2]

“Menganggu gimana? ini kan tulangkan. istilahnya posisinya kan kita,


lubang anus tadi kan gak rata. Untuk memasang kantongnya pun payah.
Kata dokternya iya juga ya kan, Makanya itu tadi dinaikkan” [P2]

e. Stoma bag yang digunakan sering bocor

Kantong one piece yang hanya memiliki perekat double tape tanpa skin

barier atau kantong buatan sendiri dengan kantong plastik biasa sering

menimbulkan kantong bocor karena kotoran atau cairan yang mengenai perekat

kantong. Penyebab kantong yang diungkapkan beberapa partisipan karena


94

kotoran atau cairan yang merembes mengenai peristoma. Hal ini diungkapkan

pasien sebagai berikut:

“Kadang gak tau yah, seperti kantongnya itu bocor, hm…. Jadi kan ada
air-airnya tuh keluar dari kantong itu..hmm..akhirnya itu buat kulit saya
jadi merah” [P1]

“Sempatlah dulu kan mbak, terus terang…kita buka kantongannya, belum


sempat kita tutup lagi udah keluar lagi, eemm, mengucurlah dari
kantongnya kotoran itu” [P2]

f. Adanya bau yang muncul dari stoma bag

Pengendalian gas dan bau dari kantong stoma menjadi masalah penting

bagi pasien dengan stoma baru. Kantong tidak cukup tertutup , merembes atau

bocor adalah penyebab bau pada umumnya. Hal ini terlihat pada pernyataan

pasien berikut ini:

“Kalau saya buka sarung kita ini, bauk dia, mbak lah, tercium gak? Bau
kan, kadang kita buka sikit sarung ini, kek gini kan bau, terganggu kita”
[P2]

“Kendalanya itu di bauknya itu ya. Kalau udah isi aja, cepat dia itu
muncul bauknya kan, karna gak ada pengedap baunya itu gak ada” [P7]

“Baulah bu, seperti orang yang buang angin, ntah kek mana-manalah.
Keluarga kadang terganggu, jangan kan keluarga, saya sendiri ajapun
terganggu. Namanya dia kotoran, terbuka, truspun gasnya kan gak
tertampung semua” [P11]

g. Stoma bag yang digunakan tidak kedap bau

Masalah lain yang dialami partisipan terkait jenis kantong yang digunakan

adalah stoma bag tersebut tidak kedap bau. Hal ini terlihat dari ungkapan

partisipan berikut ini:

“Kendalanya itu di bauknya itu ya. Kalau udah isi aja, cepat dia itu
muncul bauknya kan, karna gak ada pengedap baunya itu gak ada” [P7]
95

“….seperti orang yang buang angin, ntah kek mana-manalah. Keluarga


kadang terganggu, jangan kan keluarga, saya sendiri ajapun terganggu.
Namanya dia kotoran, terbuka, truspun gasnya kan gak tertampung
semua” [P11]

h. Stoma bag yang digunakan sering lepas

Keluhan lain yang dirasakan partisipan terkait dengan jenis kantong

yang digunakan adalah kantong stoma lepas. Penyebab kantong lepas yang

diungkapkan oleh pasien termasuk karena keringat, kantong penuh, rembesan

cairan, pergerakan dan perekat yan tidak sempurna. Hal ini terlihat dari ungkapan

pernyataan beberapa partisipan berikut ini:

“Kalau pakai kantong biasanya itu kan yang ada lem atau perekatnya, kita
kan keringatan, jadi mau kantongnya itu lepas sendiri dia” [P4]

“Rembesan itu berupa cairan, cairan itu kan kalau kena meleleh dia itu,
kenak lemnya itu kan lekang dengan sendirinya, gak tahan lama, gitu dia”
[P7]

“Kantong yang murah ini kurang sempurna lengketnya ke kulit perut.


Lemnya kurang bagus, cepat lekang lemnya. Apalagi kita kalo banyak
aktivitas gerak langsung lepas” [P11]

6. Mengalami Dampak Setelah Kemoterapi

Kemoterapi umumnya merupakan terapi yang sebagian besar dijalani

oleh pasien kanker kolorektal yang mengalami keterlibatan kelenjar getah bening

atau metastase. Tujuan kemoterapi untuk mengecilkan tumor, namun

menimbulkan efek fisik pada partisipan.

a. Mual Muntah Setelah Kemoterapi

Keluhan fisik yang umum terjadi setelah kemoterapi adalah mual muntah.

Hal ini diungkapkan oleh partisipan, sebagai berikut:


96

“Ya sebelum kemolah penyakit saya ini muntah muncul, tapi jangan kian
sempat habis kemonya, makanya harus cepat-cepat dikemo” [P8]

b. Nafsu Makan Berkurang

Keluhan lain yang umum terjadi setelah kemoterapi adalah nafsu makan

yang berkurang. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan, sebagai berikut:

“Nafsu makan berkurang selama 3 hari setelah kemo. Baru habis itu balik
lagi nafsu makannya” [P6]

c. Rambut Rontok

Selain mual muntah dan nafsu makan yang menurun, dampak lain akibat

kemoterapi alah rambut rontok. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan berikut

ini:

“Rambut saya inipun udah banyak sekali yang rontok, udah banyaaakkk
bangeeeettt… ini dibantu pakai lidah buaya. Kalau gak undah botak
mungkin” [P9]

d. Merasakan badan panas dari dalam

“Setelah operasi itu kadang-kadang emm…siap kemo itu. Kan panas seluruh
tubuh, sakit bangetttt, sampai seminggu setelah itu sakit bangettt..masih
sakit loh” [P9]

e. Merasa Lemas

“Lemass kalilah pokoknya….seperti kita minum racun gitu. Terus gimanalah


ya, kayak gak emm..bertenaga gitu” [P11]

f. Keluhan diare
“Iya diare juga…cuma gak lama, paling diarenya satu hari udah, sekali
keluar udah, gitulah..habis itu gak lagi” [P12]

7. Merasakan Keluhan Akibat Penyebaran Penyakit

a. Penyebaran penyakit Pada Tulang Ekor dan Tulang Paha


97

Metastase kanker kolorektal terjadi apabila ada organ lain yang terkena.

Seorang pasien merasakan keluhan pada tulang ekor dan tulang paha. Hal ini

terlihat pada ungkapan pasien berikut ini:

“Saya rencana juga mau disinar katanya, untuk mengatasi tulang-tulang


saya yang sakit ini. Karna kanker saya ini udah stadium 4 ini. Jadi
kemungkinan hidup Cuma 10 %” [P11]

“Saya MRI nya di Materna karna lebih bagus di sana. Dilihatlah


gambarnya itu, udah kenak ke tulang ekor” [P11]

b. Menggunakan pain killer untuk mengurangi rasa sakit

Efek metastase tersebut yang menimbulkan keluhan sakit yang tidak

tertahankan sehingga pasien harus menggunakan morfin sebagai pain killer. Hal

ini terlihat pada pernyataan pasien berikut:

“Seperti ini kan tulang-tulang saya sakit. Ini aja saya taroh neurogesik
sejenis morfin dia untuk menahan rasa sakit. Hipavix ini saya buat untuk
menahan aja, seperti koyo dia bu. Mahal harganya, klo gak pake ini aku
udah melompat-lompat dan teriak-teriak nahan rasa sakitnya” [P11]

8. Mengalami Masalah dengan Nutrisi

a. Makanan Tertentu Menyebabkan Ketidaknyamanan

Makanan tertentu dapat menyebabkan masalah atau ketidaknyamanan

pada stoma. Masalah yang dilaporkan pasien itu seperti kondisi perut melilit, bau,

kembung, diare. Hal ini dikeluhkan oleh partisipan yang terlihat pada pernyataan

berikut:

“…kalau saya makan kol, eee.. saya suka saya makan kol, sering saya
makan, hmm…tapi setelah itu pasti perut saya kembung, dan bauk dari
kotoran saya agak lebih bauklah bu dari biasanya” [P1]

“Rasanya mencret ya, dulu ada makan yang agak pedas sikit, rasanya
gak nyaman perut, melilit-melilit gitu kan” [P7]
98

“Kalau makanan sekarang, susah dicerna. Kalau makan sayur encer


cairannya, dan ketika lancar BAB itulah yang membuat mencret dan
muntah” [P8]

b. Menghindari Makanan Tertentu

Dengan adanya masalah makanan setelah pembuatan stoma, partisipan

berupaya menghindari jenis makanan tertentu untuk mencegah terjadinya

masalah pada stoma dan system pencernaan. Makanan yang dihindari diantaranya

minuman dingin, nangka, kacang panjang, daun ubi, daging, penyedap makanan,

ikan bakar, ikan asin, makanan pedas. Hal ini diungkapkan oleh partisipan,

sebagai berikut:

“Terus karna kita minum air dingin. Kan gampang masuk angin” [P2]

“Kangkung, kacang panjang, daun ubi, itukan seratnya susah dicerna tuh.
Terus kayak daging ayam, semua serba daginglah, itu kan susah dicerna,
jadi saya gak makan itu lagi” [P4]

“Cuma setelah dioperasi itu, makanan yang emm…tentu yang saya


pantangkan lah gitu kan, terutama sekali mie instan, yang kedua penyedap
masakan” [P6]

“Kalau makan ayam potong takut saya penyakitnya kambuh lagi” [P6]

“Tapi kalau untuk penyakitnya saya gak boleh makan makanan yang
dibakar-bakar, ikan bakar, ayam bakar” [P9]

“Emm… makanan pedas pun saya hindarin sekarang” [P11]

“Yang dihindarin itu yang mengandung lemak, yang pedas-pedas kali juga
gak berani” [P12]

c. Melakukan Modifikasi Makanan

Modifikasi makanan dilakukan pasien dengan konsumsi makanan dan

minuman hangat, susu, ikan dan sayur, telor. Hal ini diungkapkan oleh partisipan

sebagai berikut:
99

“Jadi harus banyak makanan bergizi dan ditambah minum susu” [P2]

“Seharusnya kita itu yang hangat-hangatlah kita makan. Kalau air minum
yang saya lakukan selama 1 bulan itu saya minum air hangat, jadi gak
berangin kita kan. Makannya pun harus yang hangat-hangat.” [P7]

“….harus lebih banyak makan ikan sama sayur” [P9]

“Bubur kacang ijo, telor, abis itu jus jambu merah itu untuk meningkatkan
stamina saya” [P12]

4.2.4 Menjalani Situasi Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress dan

Perubahan Emosi

1. Respon Post Kolostomi

a. Respon Negatif Setelah Kolostomi

Stoma yang diletakkan pada permukaan dinding abdomen yang

digunakan sebagai alternatif untuk mengeluarkan feses sering menimbulkan

respon negatif pada pasien terutama pada awal setelah operasi kolostomi. Hal ini

diungkapkan oleh beberapa partisipan antara lain:

“Saya agak jijik lihatnya dan belum menerima kondisi saya gitu [P1]

“Terkejut saya siap operasi tiba-tiba ada nempel kantong di perut saya
ya kan [P2]

“Kan usus yang dikeluarin tuh, kita kan ngelihatnya seram aja. Mana
lagi waktu awal selesai operasi, masih besar dia, dia masih besar” [P4]

b. Respon Positif Setelah Kolostomi

Selain respon negatif, ada juga beberapa pasien yang menanggapi

perubahan saluran eliminasi menunjukkan sikap yang positif dengan keberadaan

stoma. Hal ini diungkapan oleh beberap partisipan, yaitu:


100

“Gak terkejut saya, karna sebelum operasi udah dijelaskan bakalan ada
jalan atau tempat membuang kotoran dari samping perut katanya kan,
nah itu..Cuma pas saya lihat, oh di sini rupanya dibikin lobangnya” [P6]

“Alhamdullilah saya gak takut, gak ada perasaan saya yang lain ,yang
penting dengan ditarok ini saya merasa aman dan nyaman, tidak ada
gelisahlah..perasaan yang gak enggak-enggak gak ada. Dalam hati saya
saya nyaman, gak sakit lagi perut saya” [P7]

2. Mengalami Perubahan Konsep Diri Ostomate

a. Ketidakpuasan pada Citra Diri dan Penampilan

Stressor berupa perubahan fungsi tubuh dapat menyebabkan perubahan

citra tubuh sehingga partisipan mengungkapkan merasa dirinya tidak normal

seperti dulu. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut:

“Kalau gak kian pacar saya masih ada lah. Karna malu dengan keadaan
sakit saya sekarang ini.. ntar deh kalau sehat berani menjalin hubungan
lagi” [P9]

“Saya jadi manusia cacat gini saya sudah terima” [P11]

b. Mengalami Kendala dalam Pemilihan Pakaian Setelah Kolostomi

Kantong kolostomi dapat membuat membuat benjolan di balik pakaian

dan dapat mengganggu penampilan. Pemilihan pakaian menjadi masalah pada

partisipan yang baru menjalani kolostomi. Hal ini diungkapkan partisipan,

sebagai berikut:

“Baju bisa dipakai yang mana aja makin besar makin kita nyaman tapi
takut. Kita kan banyak ketakutan kalau bajunya sempit,…nanti takutnya
jadi luka kan” [P7]

“Kalau bajupun harus yang besar sikit, terus kita keluarkan bajunya,
Untuk menutupi kantongnya, jadi pas jalan-jalan itu gak nampak bendol
ataupun nampak benjolan di perut saya” [P12]
101

Selain mengalami masalah dengan pakaian, beberapa partisipan juga

mengungkapkan hambatan dengan pemakaian celana. Hal ini dikeluhkan oleh

partisipan sebagai berikut:

“Tertekan kalau pakai celana yang lama. Jadi kalau untuk kayak kami
ini, bentuk celananya harus kayak celana Jojon gitu bu..tau kan bu?
Harus bisa dia ditarik sampai ke atas, begini ni..harus sampai melewati
kantong ini. Jadi dia bebas dia ini…stoma ini…bebas dia. Karna nanti
kalau dia berisi gas atau apa, langsung bengkak gitu kantongnya, kan
jelek kan, nonjol dia langsung” [P11]

“Masalahnya celana harus yang besar, pinggangnya harus yang besar,


kalau bisa pinggangnya pakai yang berkaret, karena….ususnya kalau
kenak kan sakit” [P12]

c. Merasakan Harga Diri Menurun

Harga diri tercermin dari penilaian diri sendiri dan orang lain.

Indivividu akan merasa harga dirinya tinggi bila diterima, dicintai, dihargai dan

merasa berguna bagi orang lain. Adanya stoma menyebabkan partisipan merasa

kurang berguna dan wibawa berkurang. Hal ini diungkapkan oleh partisipan

sebagai berikut:

“Sedihlah karna kita merasa kurang berguna, kayak gak


ada….ya….kayak gak ada manfaat kita” [P4]

“Dulunya kan kita masih sehat, bisa bekerja menafkahi keluarga, tenaga
masih kuat, dulu wibawa kita itu besar kita dalam keluarga. Tapi
sekarang kita ini tak ada apa-apanya…emm…wibawa itu jadi kecil”
[P12]

3. Mengungkapkan Perubahan Keadaan Perasaan

a. Mengungkapkan Keadaan Emosi yang Tidak Stabil

Perubahan eliminasi dan adanya menimbulkan berbagai dampak pada

partisipan. Partisipan yang masih dalam proses adapatasi menunjukkan dampak


102

psikologis dengan berbagai keadaan emosi. Hal ini diungkapkan partisipan

sebagai berikut:

“Saya sendiri sering merasa bersalah karena kondisi saya begini…dia


jadi susah, makanya dia mungkin kuat di depan saya, tapi saya sendiri
yang tidak kuat, karena kasihan saya melihatnya” [P1]

“Namanya orang sakit moodnya naik turun mbak” [P4]

“Emosi saya gak stabil. Saya masih sering merasa sedih dengan kondisi
saya ini. Lebih gampang sedih saya daripada senangnya” [P9]

“Karna kan apalagi belum menikah kan, rasa mindernya jauh lebih
banyak dari pada yang belum menikah. Itu aja yang paling membuat,
emmm yang paling susah menerima kenyataan kalau saya sakit seperti ini
“ [P9]

“Kalau di rumah sakit ini kan banyak yang kayak gini, kalau di rumah
saya sendiri gitu, di lingkungan kampong atau tetangga pun Cuma saya
sendiri. Jadi belum bisa menerima, masih meronta” [P12]

Perubahan yang terjadi setelah menjalani kolostomi bahkan sempat

menyebabkan partisipan kesembilan yang berusia paling muda (26 tahun) putus

asa dan berniat melakukan bunuh diri. Hal diungkapkan pasien sebagai berikut:

“Selama 2 bulan pertama, saya masih meratapi nasib saya, bahkan saya
pernah mau menabrakkan diri di rel kreta api. Tapi kalo diingat-ingat
lagi masih ada keluarga yang menyayangi gak jadi. Baru-baru ini aja
saya bisa menerima” [P9]

“Proses pengobatan saya ini masih panjang, tumornya belum diangkat,


masih mau dikemo, disinar, trus operasi lagi penutupan anus. Masih lama
masih panjang lagi, sempat frustasilah karna sudah bosan sakit terus”
[P2]

b. Mengungkapkan kondisi emosi yang baik

Pasien yang baru menjalani kolostomi akan menghadapi masalah yang

kompleks. Apabila perasaan positif yang terbentuk akan memudahkan partisipan


103

menghadapi perubahan. Berikut ungkapan partisipan yang menunjukkan keadaan

emosi yang stabil, yaitu:

“Gak ada rasa minder atau perasaan lain gak ada” [P6]

“Cemana ya, emm ya biasa aja, saya gak mau mikir macam-macam”
[P6]

4.2.5 Mengalami Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan Adanya Stoma

Baru

Tindakan kolostomi dan adanya stoma memberikan penderitaan dalam

berbagai aspek termasuk interaksi social. Setelah kembali dari rumah sakit

pasien menunjukkan perubahan dalam interaksi social.

1. Mengalami Perubahan Peran

Peran merupakan sarana untuk berperan dalam kehidupan social

termasuk posisi dan peran dalam keluarga dan masyarakat. Partisipan dengan end

stoma mengalami perubahan peran semenjak sakit dan menjalani proses

pemulihan setelah kolostomi. Perubahan peran ini terdiri dari tiga kategori yaitu

perubahan peran sebaga ayah dan perubahan peran sebagai istri, tidak

menunjukkan perubahan peran.

a. Perubahan Peran Sebagai Ayah

Tugas pokok ayah dalam keluarga sebagai tokoh utama yang mencari

nafkah untuk keluarga. Mencari nafkah merupakan suatu tugas yang berat.

Pekerjaan mungkin dianggap hanya sebagai suatu cara untuk memenuhi

kebutuhan utama dan kelangsungan hidup. Tindakan kolostomi dapat


104

menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan partisipan termasuk perubahan

peran. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan berikut ini:

“Ya…sedihnya karena gak bisa menafkahi lagi, gak bisa saya kerja, udah
gak kayak dulu lagi” [P12]

b. Perubahan Peran Sebagai Istri

Seorang ibu mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan suatu

keluarga, baik peranannya bagi suami maupun anaknya. Di dalam kehidupan

rumah tangga, seorang ibu berkewajiban untuk melayani suami dan anaknya

dalam semua aspek yang ada dalam kehidupan keluarganya. Tindakan kolostomi

dapat menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan partisipan termasuk

perubahan peran. Hal ini terlihat pada ungkapan partisipan berikut ini:

“Ya harusnya kan saya sebagai seorang ibu, harusnya ngurus anak,
sebagai seorang istri ngurus suami. Ini kan enggak..ngurus anak enggak,
ngurus suami enggak, malah saya yang diurus” [P4]

“Dulu sih saya yang menafkahi keluarga, tapi kan gak sanggup lagi saya
jadi tulang punggung keluarga. Sekarang istri sayalah bu..” [P11]

2. Mengalami Perubahan Hubungan Interpersonal

a. Mengalami Isolasi Sosial

Proses penyesuaian dengan adanya stoma menyebabkan isolasi sosial

pada partisipan. Hal ini menimbulkan gangguan dalam berhubungan yang

merupakan mekanisme pasien terhadap stoma yang menjadi ancaman dengan

cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Hal ini terlihat

dengan pernyataan beberapa partisipan berikut ini:

“Saya lebih memilih di rumah saja, takut saya orang lain di luaran sana
mencium bau dari kantong ini dan mereka menghindari saya atau
menutupi hidungnya, hmm,,,,pokoknya malu saya bu kalau keluar-keluar
rumah” [P1]
105

“Palingan saya menghindari tempat keramaian atau yang kumpul-


kumpul, baik ke pestapun gitu. Istri saya yang gantikan, istrilah sekarang
yang lebih aktif ke pesta atau ke tempat-tempat sosial gitulah. Saya lebih
baik di rumah saja” [P11]

b. Mengalami Hambatan dalam Bersosialisasi

Perubahan interaksi sosial yang dialami partisipan disebabkan adanya

factor-faktor yang menjadi hambatan dalam bersosialiasi. Hal diungkapkan

partisipan sebagai berikut:

“Saya tidak pernah pergi lagi kegiatan-kegiatan, malu nanti saya di


tempat rame pulak, ntah tembus kantongnya nanti jadi bau, atau kalo
kentut saya nanti mengganggu yang pesta. Taulah kau pesta orang batak
kan lamanya, makanya gak sanggup juga. Palingan saya pergi ke gereja
saja, disana kan palingan Cuma 2 jam ajanya” [P8]

“Mereka bercanda karna saya gak bisa nahan buang angin, biar saya
ketawa aja mungkin. Ya tapi memang kadang agak gak senang dengan
tingkah teman-teman, ya cuma itu tadi manusiawi koq mereka gitu”
[P11]

“Teman-teman kerja ya, itu tadi yang saya bilang. Mereka suka
mengejek-ngejek saya. Namanya saya masih muda kan, mereka selalu
berkata “apa masih bisa?” [P12]

c. Menghindari Berinteraksi dengan Orang Lain

Pasien yang baru menjalani kolostomi dan hidup dengan adanya stoma

mengalami perubahan dalam hubungan interpersonal. Hal ini diungkapkan

partisipan dengan pernyataan berikut ini:

“Kadang lihat orangnya juga sih mbak, yang mau ketemu itu siapa, itu
karna mood saya naik turun” [P4]

“Dulu saya ada pacar, setelah sakit, itu tadi karna emosi saya gak stabil
kan, minder juga saya sama pacar saya. Ya mending gak usahlah, agak-
agak menutup dirilah sama laki-laki. Karna kan malu saya. Karna kan
kadang kan saya kentut gak saya tau, kentutnya itu gak pelan kayak biasa,
kentutnya itu suaranya besar. Jadi kan kita agak minder kan. Jadi saya
agak menutup diri. Meskipun ada teman laki-laki yang tidak
106

mempermasalahkan sebenarnya, cuman kan gak…emmm, dari kita


sendiri merasa nanti deh,,,untuk saat ini masih menutup diri” [P9]

“Kalau sekarang saya kurangi aja bu bergaul, kalau gak terpaksa saya
lebih baik di rumah. Kadang-kadang saya banyak kegiatan di rumah
saja” [P11]

d. Mengalami Hambatan dalam Bepergian (Travelling)

Kemampuan pasien untuk melakukan perjalanan atau bepergian

mengalami perubahan setelah memakai kantong stoma dan keluhan dengan

kekuatan fisik. Partisipan mengungkapkan adanya kendala selama bepergian

akibat kesulitan mengganti kantong. Hal ini dikeluhkan oleh beberapa partisipan,

sebagai berikut:

“Cuma memang kalau saya ke pasar atau ke mall gak pernah lama-
lama” [P6]

“Kalau perjalanan jauh saya belum sanggup saya, lagian susah kalau
pergi-pergi bawa kantong ini, lebih baik di rumahlah dulu. Lagian saya
sudah tua, gak sanggup lagi pergi-pergi jauh”[P8]

“Pokoknya repot memang kalau pergi dari rumah, harus punya


persediaan kita dan ada perasaan gak nyaman, emmm was-was gitulah”
[P9]

3. Merasakan Perubahan dalam Aktivitas Seksual

a. Tidak melakukan hubungan seksual setelah kolostomi

Kolostomi dan adanya stoma dapat mempengaruhi hubungan intim

pasien dengan pasangan. Bahkan beberapa pasien yang sebelum operasi

kolostomi menjadi tidak aktif setelah menggunakan stoma. Hal ini dikeluhkan

oleh beberapa partisipan, sebagai berikut:

“Karnakan keadaan kita masih seperti ini. Tapi takutnya nanti karna
penyakit kita kan masih disini. Jadi untuk sementara tidak berhubungan
suami istri dulu. Ke depan belum taulah gimana” [P2]
107

“…trus gak percaya diri untuk melakukannya, takut tiba-tiba kotorannya


keluar dari kantong” [P7]

b. Melakukan hubungan seksual sebagai suatu kewajiban


Walaupun mayoritas pasien menjadi tidak aktif secara seksual, ada

sebagian kecil pasien yang tetap melakukan hubungan seksual dan menganggap

sebagai kewajiban. Hal ini disampaikan oleh partisipan sebagai berikut :

“Sebenarnya kalau saya ditanya, saya pun sudah gak mau lagi
melakukan hubungan suami istri, tapi kan gak mungkin…hm…karna
kewajiban sama suami” [P1]

c. Mengurangi frekuensi hubungan seksual


“…yang biasanya kita mengerjakan seperti itu 2 kali seminggu, ini jadi 1
kali seminggu. Cuman kan itu wajar aja karna kita takut juga,
emmm….kalau apa ya kan… nanti ada lagi timbul masalah lain, kan
gitu..” [P6]

d. Penurunan stamina dalam melakukan hubungan seksual


“Hehehehe…udah gak kuat lagi gitu eee melakukan hubungan suami istri,
dulu yang larinya 100, sekarang jadi 80 gitulah ibaratnya” [P12]

4. Merasakan Beban Finansial

a. Penghasilan tidak cukup membeli stoma bag

Mayoritas partisipan menyatakan mereka tidak meninggalkan pekerjaan

setelah operasi kolostomi dan penggunaan stoma bag, dan hal ini mempengaruh

penghasilan keluarga. Penghasilan yang berkurang menjadikan biaya pembelian

kantong dan perlengkapannya menyebabkan beban financial. Hal ini dikeluhkan

oleh beberapa partisipan, antar lain:

“Ya, gimanalah saya bilang ya pasti beratlah seperti membiayai anak


sekolah saya..”[P8]

“Emmm…saya pikir-pikir, dulu saya kan perokok, kalau sekarang saya


gak bekerja lagi, sangat mengganggu. Kalau dulu pengeluaran untuk
rokok lebih dari segitu. Cuma kita bisa bekerja gitu..kalau sekarang gak
bisa kerja, ya sekarang terasa kalilah dengan kondisi keuangan gitu..”
[P12]
108

b. Upaya mengatasi masalah financial

Beban dan tantangan ekonomi mengharuskan partisipan untuk

mengatasi kondisi ekonomi keluarga dengan berbagai cara diantarannya upaya

menghemat kantong, membuat kantong sendiri dan mencari pekerjaan yang

ringan. Hal ini diungkapkan oleh beberapa partisipan, sebagai berikut:

“Istilahnya kita mencari pekerjaan yang ringan gitu mba. Entah jualan-
jualan lah kita nanti, gitulah…Kita harus pasrahlah dengan keadaan ini”
[P2]

“Jadi hidup sekarang harus irit, harus prihatin yang hidup ini” [P7]

“Lebih hemat yang buat sendiri, apalagi disesuaikan dengan kondisi


pendapatan keluarga saat ini, sedikit banyaknya ada perubahan semenjak
saya sakit” [P12]

4.2.6 Mendapat Dukungan dan Perhatian dari Orang Yang Berarti dalam

Menghadapi Situasi Baru dengan Adanya Stoma

1. Mendapat Dukungan Emosional

a. Dukungan dari Keluarga

Kemampuan pasien menghadapi kondisi baru perlu mendapat dukungan

emosional dari keluarga dan lingkungan. Mayoritas partisipan mendapat

dukungan dari keluarga. Hal ini diungkapkan partisipan dalam pernyataan berikut

ini :

“Semua keluarga mendukung. itulah jalan terbaiknya untuk kesehatan


semua kita jalani, yang penting kita harus tabah menghadapinya, gitu
pesan keluarga saya” [P2]

b. Dukungan dari lingkungan

“Kalau bisa saya duduk aja, disuruh istirahat. Saling pengertian itu
besar dengan teman-teman kerja” [P7]]
109

“Tetangga saya sayang sama saya bu, mereka mengerti keadaan saya.
Mereka pun maklum kalau ada pesta, giliran saya yang seharusnya
marhobas atau berperan dalam acara adat, mereka maklum” [P11]

Berbeda halnya dengan partisipan lain, seorang partisipan

mengungkapkan tidak mendapat dukungan dari keluarga. Hal ini diungkapkan

partisipan sebagai berikut:

“Tapi kalaupun komunikasi selama ini bukan memberikan solusi yang


terbaik. Gitulah ya kan..jadi percuma aja rasanya komunikasi sama sama
orangtua saya kan” [P6]

2. Mendapat Dukungan Finansial

a. Bantuan Materi dari keluarga

Selain dukungan emosional, partisipan juga mendapatkan bantuan

finansial dari keluarga dan lingkungan. Hal ini diungkapkan partisipan sebagai

berikut:

“Saya dibantu, financial dibantu keluarga, ya…semua-semua dibantu


[P4]

b. Bantuan materi dari perkumpulan yang diikuti

“Kayak mana aku mau mambalas semua, itu kadang pikiran ku karna
orang itu salam selalu berisi udah itu paslah aku kayak orang mengemis.
Semua mengasih salam berisi dari kumpulan sitorus, manurung, si raja
sonang, samosir, gultom, kumpulan serikat, semua orang itu
berdatangan dari gereja karena saya gereja HKBP” [P8]

3. Mendapatkan Dukungan Fisik

a. Suami Merawat Selama Sakit

Perhatian dan dukungan yang diberikan keluarga termasuk dukungan

suami sangat bermanfaat bagi ostomate. Hal ini diungkapkan oleh seorang

partisipan yang dirawat suami selama sakit. Hal ini terlihat dari ungkapan

partisipan berikut ini:


110

“Suami sampai gak kerja karna ngurusin saya” [P4]

b. Keluarga mengantar berobat

Ada juga partisipan yang mendapatkan bantuan fasilitas dan diantar

selama berobat. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan berikut ini:

“Fasilitas dibantu, mau berobat diantarin kesana kemari” [P4]

4.2.7 Berupaya Menerima Stoma sebagai Bagian dari Tubuh

1. Kemandirian Ostomate yang Baru Menjalani Kolostomi

a. Waktu Mengganti Stoma Bag

Kantong kolostomi yang penuh akan menjadi berat dan dapat merusak

perlengketan kantong kolostomi dengan kulit abdomen, selain itu kantong akan

beresiko untuk robek atau rusak karena beban dalam kantong meningkat.

Beberapa partisipan mengungkapkan waktu yang berbeda-beda dalam mengganti

kantong. Hal ini diungkapkan partisipan sebagai berikut:

“Itu gak penuh-penuh….nah sikit ganti sikit ganti gitu aja…”[P2]

“Kalau sudah setengah baru saya ganti. Boros juga kalau gitu ada isinya
diganti” [P6]

“Ya, kalau mengganti ini, nanti kalau umpamanya jika saya rasakan
nanti gak enak artinya kotorannya sudah banyak jadi saya ganti lah”
[P8]

“Ya ¼ lah, karna kan BABnya gak tentu, mau juga Cuma sedikit, kadang-
kadang kayak orang normal. Tapi yang penting kalo kita merasa berat,
kan kita terasa kalau udah berat, kalau sudah terasa berat langsung
buang aja atau merasa gak nyaman yauda buang aja baru buat baru”
[P9]

“Kalaupun gak ada isinya kalau udah lekang karna keringatan, saya
ganti” [P12]
111

b. Frekuensi Mengganti Stoma Bag

Sama halnya dengan waktu mengganti kantong, partisipan juga

mengungkapkan frekuensi yang berbeda-beda dalam mengganti stoma bag. Hal

ini terlihat dengan ungkapan partisipan sebagai berikut:

“Akhirnya dalam satu hari, walapun harganya murah 6 ribu per lembar
tapi kan satu hari itu saya bisa 4-5 kali gitu ganti kantong karena
keringat itu. Jadi lepas sendiri dia” [P4]

“Kalau selama 1 bulan pertama itu mau 4 kali atau 5 kali ganti kantong”
[P6]

“Cuma karna kita banyak cairan keluar, ya 2 jam atau 3 jam udah harus
diganti” [P7]

“Itu kita ganti 10 kali, kadang pun lebih” [P12]

c. Mampu Mandiri Mengganti dan Merawat Stoma Bag

Tujuan edukasi setelah kolostomi adalah memandirikan partisipan..

Partisipan yang mandiri terlihat dengan ungkapan sebagai berikut:

“Gini….hmm…saya kan…mengganti kantong ini kan..eee…awalnya saya


belum bisa sendiri, anak saya yang mengganti di awal- awal pulang dari
rumah sakit kira-kira 2 minggulah” [P1]

“Allhamdulilah sejak dua malam ini udah bisa sendiri setelah 1 bulan
operasi kemarin, tapi ya kita tergantung kotoran nya tadi mba. Kalo kita
masuk angin, kotorannya kan berair. Kan bawahnya basah, pastikan kita
gak bisa sendiri, harus banguni istri untuk mengganti. Tapi kalau kotoran
keras kita gak masuk angin, kita bisa sendiri kan gak kotor semua karna
kotorannya keras, kan gitu sih. Hanya mengelap pakai tisu aja, kalau
udah bersih kita tutup lagi” [P2]

“Selama dirawat disitu perawat yang mengerjakan. Trus sehabis pulang


baru saya sendiri yang ganti kan” [P6]
112

d. Masih Bergantung dalam merawat stoma bag

Partisipan lain juga mengungkapkan belum bisa mandiri atau masih

tergantung dengan keluarga dalam merawat stoma. Hal ini diungkapkan pasien

sebagai berikut:

“Suami yang ganti, karna ini kan posisinya kalau kita baring kan kita
susah gantinya, mesti duduk kan, karna saya kan kendalanya kan disitu,
tumornya masih di situ” [P4]

“Adek saya, si Meilan itu itu yang membantu saya mengganti kantong
selama ini” [P9]

“Masih apalah bu…hmm… kurang anu, kurang ini kayaknya..kurang


yakin kalau ganti sendiri” [P11]

e. Cara Merawat Stoma yang Dilakukan Ostomate

Penggantian kantong kolostomi dimulai dengan melepaskan perlekatan

kantong kolostomi dengan kulit abdomen secara perlahan sambil sedikit menekan

kulit abdomen yang menempel dengan kantong, kemudian bersihkan stoma.

Stoma dibersihkan dengan Nacl. Kulit di sekitar stoma harus dijaga agar tetap

kering. Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit. Perawatan

kulit di sekitar stoma dilakukan bersamaan dengan penggantian kantong

kolostomi. Beberapa orang menggunakan air hangat saat melepaskan kantong

stoma dari kulit abdomen, agar lebih mudah dan nyaman pada kulit. Hal ini

diungkapkan dengan pernyataan pasien berikut:

“Jadi saya buka pelan-pelan kemudian..hmm..saya bersihkan kayak itu


kan…ada cairan.. eee, Nacl yang disuruh dulu dari rumah sakit” [P1]

“Kita kasih salep kulit itu, nah,, setelah itu kering barulah kami gak
berani make kantong itu lagi takut terjadi lagi iritasi” [P2]
113

“paling nanti kalau gak tahan lagi saya kasih bedak dingin itu yak an.
Ehhh bedak gatal itu, obat gatal itu maksud saya kalau ada merah atau
gatal kulitnya” [P6]

“Tapi saya atasi dengan pakai kapas, di pinggir-pinggirnya ini kan saya
buat kapas, kan kantongnya segi 4, di samping lemnya itu saya buat
kapas gitu, untuk apa namanya bentengan atau bendungan untuk
menahan cairan supaya gak terjadi iritasi tadi kan. Jadi cairannya bisa
terkumpul disitu” [P7]

“Dulu saya akalin pakai gitu, pakai stagen itu, biar gak merembes, gak
membasahi secara langsung karna terserap oleh stagen itu sendiri”
[P11]

“Pakai air panas atau air hangat untuk compress kalau ada merah gitu”
[P12]

2. Menggunakan Stoma Bag Hasil Kreativitas Sendiri

a. Stoma yang digunakan terbuat plastik gula dan batok kelapa

Jenis stoma yang digunakan pertisipan terdiri dari berbagai macam,

tetapi mayoritas membuat kantong dengan kreativitas sendiri diantaranya

menggunakan plastik gula atau menggunakan batok kelapa. Hal ini diungkapkan

partisipan sebagai berikut:

“Dari awal saya pakai yang ini bu yang kayak plastik ini, harganya 10
ribu 1 biji” [P1]

“Kitakan sekarang pakai yang istilahnya kita beli sendiri, kita beli
kantong yang setengah kilo. Sama double tip. Kalau kita beli yang
kantong setengah kilo, harganya berapalah ya kan mbak, lagian kan
dapat banyak. Nanti kita beli double tip, segulung itukan sepuluh ribu ya
kita bikin sendiri” [P2]

“Jadi kan batoknya itu dikikis supaya…apa…supaya mulus kan baloknya


itu, direbus juga, kemudian dilubangi sesuai dengan besar stoma. Baru
plastiknya ini dilengketkan dengan double tip” [P4]
114

b. Adanya ketidaknyamanan yang bersumber dari stoma bag

Penggunaan kantong one piece dengan perekat langsung pada kantong

atau kantong buatan sendiri dengan menggunakan plastic dapat menimbulkan

ketidaknyamanan. Hal ini diungkapkan beberapa partisipan sebagai berikut:

“Rasanya gimana yaa.. kita duduk keluar teruuuus aja, istilahnya air tadi
kan gitu sih. Ya orang udah memaklumi, Cuma kan kita ini rasanya cemana
yaa..Ya risihlah kan gitu, ya kan bau” [P2]

“Kalau plastic itu kan panas dia, kalau pakai kantong itu kan panas. Tempel
langsung ke kulit kita” [P4]

“Kalau saya beli kantong kan harganya 6 ribu kalau gak salah satu bag kan.
Satu bal itu 60 ribu. Itu plastiknya itu keras gak nyaman kenak kulit perut
ini. Eee..selain plastiknya keras jadi lemnya kurang lengket gitu, dan
harganyapun tinggi, gak terjangkau sama pendapatan saya kan gitu kan. Itu
makanya saya mengambil tindakan sendiri” [P6]

“Udah sakit muncul pulak diare. Nah inilah yang paling repot. Saya harus
bersihkan, dilap lagilah kan, terus ganti kantong yang baru. Udah
dibersihkan, diganti, eh keluar lagi dia. Itu kadang rasanya
bikin….arghhhhh…gitu. gak enak kali, repot kali rasanya” [P11]

“Takutnya copot aja, nanti kotorannya jatuh dan berserak, gitu aja, itu yang
buat gak nyaman” [P12]

c. Kenyamanan dengan stoma bag buatan sendiri

Selain mengeluhkan ketidaknyamanan dengan kantong, beberapa

partisipan mengungkapkan merasa nyaman dengan kantong buatan sendiri. Hal

ini terlihat dengan ungkapan pasien berikut ini :

“Yang buat sendiri ini lah selama ini, ya lebih nyaman ya.. Kadang-kadang
kita bisa menyetel sendiri. Istilahnya ini kurang ini kita tambahkan lagi, ini
bocor, yang ini bocor kita tambah kan lagi” [P2]

“Emmm fungsinya batok kelapa ini, supaya gak panas, dia menyerap
keringat” [P4]

“Lebih kuat dia kalau yang buat sendiri..lagian lebih nyaman saya
pakainya. Karna lebih lembek plastiknya ya kan“[P6]
115

3. Melakukan Penyesuaian dengan Adanya Stoma

Stressor berupa perubahan hidup dengan adanya stoma membentuk

mekanisme koping yang berbeda-beda. Partisipan melakukan strategi adaptasi

untuk dapat menyesuaikan kehidupan baru setelah menjalani kolostomi. Hal ini

terlihat dari pernyataan partisipan berikut:

a. Memilih Pasrah

“Kita selalu mengingat yang memberi hidup, selalu kita sebut setiap saat.
Semua kan sama Dia nyawanya. Saya pasrah dan ikhlas saja” [P7]

“Berpasrah sama Tuhan. Yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan


saya walaupun kondisi saya seperti ini. Pasti semua adalah jalanNya
yang terbaik. Itu aja sih.. itu yang menguatkan saya” [P11]

b. Menjalani Dengan Tabah dan Sabar

“Bagaimana yah….kita yang harus sabar, sabar menjalani ini semua,


lama...lama...lama kan udah jadi kebiasaanlah dengan adanya stoma
atau lubang anus di samping [P2]

“Harus tegar, harus tabahlah demi masa depan anak lah dan istri. Kita
sendiri kita jangan terpuruk dalam keadaan kayak gini” [P2]

c. Tidak Mau Terlalu Memikirkan Penyakit

“Dipikir-pikirin terus penyakitnya juga merugikan saya sendiri, akhirnya


saya ga mau mikirin mikirin penyakit, yang penting saya berusaha,
berdoa, berobat, dan mulai membuka dirilah“[P4]

“Orang-orang kan gak tau semua tentang kondisi saya. Jadi saya anggap
biasa saja semua” [P6]

“Bawa santai aja. Gak usah pikirin yang berat-berat karna penyakit ini
aja udah berat. Orang di rumah gak ada kerjaan, duduk, nonton tv, gitu-
gitu aja sih. Saya gak mau mikirin yang aneh-aneh, dibawa santai aja”
[P9]

d. Mendekatkan Diri Dengan Sang Pencipta

“Saya banyak mendekatkan diri lah sama Sang Pencipta” [P4]


116

e. Tetap Bersemangat

“Ya dari saya sendiri harus kuat menghadapinya. Harus bisa menafkahi
walaupun keadaan kayak gini. Semua itukan bisa dijalani walaupun
dalam keadaan ini ya harus bisalah, menerima tetap semangat lah gitu
[P2]

“Saya bersemangat karna anak-anak juga. Anak-anak masih kecil butuh


biaya dan kasih sayang dari bapak atau ibunya ya kan..[P6]

4. Perilaku Adaptasi ostomate yang Dilakukan Ostomate

a. Perilaku Adaptif

Proses adaptasi dan pembentukan mekanisme koping menghasilkan

perilaku yang adaptif dan inefektif. Ungkapan partisipan berikut menunjukkan

perilaku adaptasi yang adaptif. Hal ini diungkapkan dengan partisipan sebagai

berikut:

“Kalau sempat saya malas-malasan atau tidur-tiduran, masa depan


mereka akan terancam, kan gitu kan. Kalau terancam kan kita yang
kasihan karna merasa bersalah gak bisa menafkahi mereka. Itu aja yang
membuat saya semangat” [P6]

“Saya kalau bergerak santai aja pelan-pelan aja kegiatannya kan, gak
berani kita hantam…apa namanya sperti orang sehat gak ada hambatan”
[P7]

“Saya buatlah hipavix di pinggirannya itu biar ketat gitu lemnya dan gak
mudah jatuh. Jadi makin lengket dia, kalaupun tersenggol atau
bagaimana gak sangsi kita lepas” [P11]

“Terkadang saya pakai mengkung sejenis kain seperti kain gurita untuk
anak bayi itu, biar kantongnya gak jatuh. Ataupun kadang saya buat
double itunya…lemnya atau double tipnya di kiri dan kanan kantong. Dan
saya merasa lebih nyamanlah” [P12]

b. Perilaku Inefektif

Selain perilaku yang adaptif, ada juga beberapa partisipan yang

mengungkapkan perilaku inefektif. Hal ini terlihat dengan ungkapan berikut:


117

“Sebenarnya itupun saya harus rutin mengganti, tetapi karena


membelinya tadi…akhirnya..ya…saya tahan-tahankanlah bu, kalaupun
itu kadang sudah mulai bau, karena mungkin saya buang angin atau
mungkin karena kotorannya, tapi kalau masih sedikit
kotorannya….hm….kadang saya tahankan bu bauknya….untuk
menghemat kantong” [P1]

“Saya gak mau, gak mau perduli saya. Saya yang sakit, kek mana
caranya mengganti kantongnya saya gak perduli. Orang..eemmm…masih
kek gini aku yah, kok sekarang aku begini ya? Ya masih muncul
perasaan-perasaan yang seperti itu” [P9]

“Saya males ngobrol mbak, karna…ya itu tadi, karna saya merasa sedih
dengan penyakit saya. Itu kan buat kita murung. Akhirnya setiap orang
datang jenguk, mau keluarga, mau teman, kita malas ngobrol, ya diam
aja, yang ngobrol suami saya” [P4]

4.2.8 Mengalami Tantangan dalam Menjalakan Kegiatan Keagamaan

1. Mengalami Perubahan dalam Kegiatan Agama

a. Tidak Melaksanakan Kegiatan Ibadah

Mayoritas partisipan beragama Islam (75%) dan sebagian besar

mengalami gangguan kegiatan spiritual terutama terkait dengan sholat dan tidak

mengikuti kegiatan perwiritan. Hal ini diungkapkan partisipan sebagai berikut:

“Kalau sementara ini saya bisa kok sholat, yaa…kita tergantunglah kan
diterima gak diterima itu, keadaan kita gini kan gimana…..ya yang
penting kita sholat, tapi nanti kalau udah gak bocor itu tadi gak keluar
apa-apa, kita macam biasa” [P2]

“Sebulanan juga, jadi saya gak sholat pada waktu itu” [P9]

“Gak pernah lagi, sama sekali gak pernah lagi saya sholat” [P12]

Bahkan seorang partisipan tidak sholat sama sekali dan akan melakukan

sholat apabila mendapat penjelasan dari Ustad. Hal ini terlihat dengan pernyataan

berikut:
118

“Saya belum puas kalau belum dijelaskan pak Ustad gitu eee…tokoh
agama yang betul-betul mau saya tanyakan juga, kek mana solusinya
gitu..kalaupun saya pakai kantong seperti ini gimana biar tetap bisa
sholat, gitu…gimana solusinyalah” [P12]

b. Kendala dalam Mengikuti Kegiatan Ibadah

Selain umat Muslim, partisipan yang beragama Nasrani juga

mengemukakan kendala tidak dapat menjalankan kegiatan ibadah. Hal ini

diungkapkan partisipan berikut ini:

“Belum bisa, kalau ke gereja atau partangiangan saya belum bisa.


Pertama nanti gak enaknya, kalau saya emmm….coba ibu bayangkan,
kalau misalnya lagi berdoa atau berkhotbah, saya buang angin, itu kan
udah jadi batu sandungan bagi orang-orang nanti. Kalau orang-orang
ketawa kan nanti jadi gak, emmmm, sakral lagi nanti gak hikmat lagi
gitu” [P11]

c. Adanya Isu Religius

Dalam agama Islam sangat penting harus bersih dan bebas dari feses

terutama ketika sholat. Adanya isu dan anggapan najis, kurang bersih dan kurang

yakin diterima diungkapkan oleh beberapa partisipan sebagai berikut:

“Karena ini kan eee najis kalau di Islam ya, jadi saya gak sholat lah bu,
sempat 2 minggu itu saya gak sholat karena anggapan najis itu bu” [P1]

“Karna kita sholat itu kan sebenarnya harus suci, betul-betul bersih ya
kan. Jadi dengan adanya kantong ini saya merasa kurang bersih rasanya
jadi dihentikan dulu” [P6]

“Nah, itulah, masih belum yakin juga itu diterima atau enggak, walaupun
saya tau itu niat, tapi masih belum percaya juga” [P6

2. Mendapatkan Dukungan Spiritual

a. Dukungan Kelompok Keagamaan


119

Selain melakukan hubungan ritual agama, partisipan juga mendapatkan

dukungan dari kelompok keagamaan. Hal ini terlihat dari pernyataan partisipan

berikut:

“Ada didatangkan Ustad ke rumah untuk memotivasi saya. Karna waktu


itu memang saya putus asa sih. Jadi didatangin Ustad ke rumah saya
untuk motivasi saya. Ya alhamdullilah saya termotivasi sih memang [P4]

“Jadi kalau digereja gak dilihat mereka saya, apalagi kami kan
partangiangan hari kamis, tapi kalau misalnya jadwal berobat saya hari
kamis saya gak datang jadi orang itu sudah tahu hari kamis saya
kemoterapi, trus didoakan orang itu saya [P8]

3. Berusaha Menyesuaikan Diri dengan Kegiatan Ibadah Setelah Menggunakan

Stoma Bag

Adanya isu religius dan hambatan dalam melakukan kegiatan spiritual,

sehingga partisipan melakukan adaptasi dalam kegiatan spiritual.

a. Wudhu tanpa air

Hal ini diungkapkan partisipan berikut:

“Ibadahnya berjalan seperti biasa palingan wudhunya, gak lagi wudhu


air, hanya Thayamum aja. Kan kita kalau Muslim, kan biasanya sholat
kan wudhu pakai air, ini kalau gak bisa, ya boleh ke dinding aja, gak
sampai ke dinding ke batas tempat tidur, gini ajapun bisa [P4]

b. Pergi Sendiri ke Mesjid

“Lebih baik saya nyaman, kalau saya mau ke mesjid, saya sendiri aja,
saya gak harus ikut kumpulan sana kumpulan sini. Yang ada, jadi
pembicaraaan, perdebataan, gak boleh gitu ya kan [P7]

c. Berdoa dalam hati


“Lebih baik saya berdoa di rumah kan. Berdoa saya sama keluarga saya
kan Tuhan dengar juga [P11]

“Emmm kalau berdoa, iya sih tapi dalam hati saja, tapi gak sholat lagi
[P12]
120

Tabel 4.2.
Matriks Tema
Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal yang Baru Menjalani
Kolostomi dengan End Stoma
No Tema 1: Mengalami Gejala Kanker Kolorektal Sebelum
Dilakukan Tindakan Kolostomi
1 Sub Tema: Kategori :
1. Mengalami Perubahan a. Merasakan susah buang air besar
eliminasi b. Merasakan keluhan sering buang
besar
c. Kotoran bercampur darah
d. Mengalami perdarahan
2. Mengalami Perubahan
pada Abdomen a. Merasakan perut membesar
b. Keluhan susah buang angin
c. Nyeri yang dirasakan pada area
perut
d. Merasakan perut kembung dan
tidak nyaman bernapas

3. Mengalami Fatigue a. Merasakan kelelahan berlebihan


b. Kondisi fisik melemah

4. Keluhan pada anus a. Adanya Benjolan di anus


b. Merasakan nyeri pada daerah anus

Tema 2: Merasakan Peran Tenaga Kesehatan (Dokter dan


Perawat) pada Pasien yang Baru Menjalani Kolostomi
2 Sub Tema: Kategori
1. Mendapatkan Edukasi a. Edukasi yang diberikan tenaga
dari Tenaga Kesehatan kesehatan (dokter dan perawat)
(Dokter dan Perawat) sebelum kolostomi
b. Menerima penjelasan tentang
penentuan letak stoma (stoma site
marking)
c. Edukasi yang diberikan tenaga
kesehatan (dokter dan perawat)
sebelum kolostomi

2. Respon terhadap proses a. Merasa kurang puas dengan


edukasi edukasi yang disampaikan
b. Merasakan puas dengan edukasi
yang disampaikan
121

Tema 3: Mengalami Penurunan Kemampuan Tubuh dalam


Melakukan Aktivitas Sehari-hari
3 Sub Tema: Kategori:
1. Menurunnya a. Tidak bisa mengangkat benda
kemampuan melakukan berat
kegiatan yang biasa b. Pergerakan terbatas
dilakukan c. Aktivitas berjalan terganggu

2. Mengalami perubahan a. Tidak bisa bekerja berat


kemampuan dalam b. Tidak bekerja setelah kolostomi
bekerja
a. Ketidakmampuan mengontrol
3. Merasakan efek penyakit BAB
dan kolostomi terhadap b. Kehilangan rahim dan anus
fungsi tubuh c. Mengalami Penurunan berat
badan
d. Mengalami penurunan memori

a. Tidur terganggu karena takut


4. Mengalami perubahan kotoran merembes
kualitas tidur b. Penyebab gangguan tidur karena
kepanasan

a. Mengalami Iritasi Peristoma


5. Mengalami Masalah b. Keluarnya cairan berbau dari
pada Peristoma dan stoma
Stoma dan Stoma bag c. Mengalami komplikasi kolostomi
d. Merasakan kendala dengan letak
stoma
e. Stoma bag yang digunakan sering
bocor
f. Adanya bau yang muncul dari
stoma bag
g. Stoma bag yang digunakan tidak
kedap bau
h. Stoma bag yang digunakan sering
lepas

a. Mual muntah setelah kemoterapi


6. Mengalami dampak b. Nafsu makan berkurang
setelah kemoterapi c. Rambut rontok
d. Merasaka badan panas di dalam
e. Merasa Lemas
f. Keluhan diare
122

a. Metastase pada tulang ekor dan


7. Merasakan keluhan tulang paha
akibat penyebaran b. Menggunakan pain killer untuk
penyakit mengurangi rasa sakit

a. Makanan Tertentu Menyebabkan


8. Mengalami masalah Ketidaknyamanan
dengan nutrisi b. Menghindari makanan tertentu
c. Melakukan modifikasi makanan

Tema 4 : Menjalani Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress


dan Perubahan Emosi
4 Sub Tema: Kategori:
1. Respon post kolostomi a. Respon negatif setelah kolostomi
b. Respon Positif Setalah Kolostomi

2. Mengalami perubahan a. Ketidakpuasan pada citra diri dan


konsep diri Penampilan
b. Mengalami kendala dalam
pemilihan pakaian setelah
kolostomi
c. Merasakan harga diri menurun

3. Mengungkapkan a. Mengungkapkan keadaan emosi


perubahan keadaan yang tidak stabil
perasaan b. Mengungkapkan kondisi emosi
yang baik

Tema 5: Mengalami Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan


Adanya Stoma Baru
5 Sub Tema: Kategori:
1. Mengalami Perubahan a. Perubahan Peran sebagai ayah
peran b. Perubahan Peran sebagai ibu

2. Mengalami perubahan a. Mengalami isolasi sosial


dalam hubungan b. Mengalami hambatan dalam
interpersonal bersosialisasi
c. Menghindari Berinteraksi dengan
Orang Lain
d. Mengalami Hambatan dalam
Bepergian (Travelling)
123

3. Merasakan perubahan a. Tidak melakukan hubungan


dalam aktivitas seksual seksual setelah kolostomi
b. Melakukan hubungan seksual
karena kewajiban
c. Mengurangi frekuensi
berhubungan seksual dikurangi
e. Penurunan stamina dalam
melakukan hubungan seksual

4. Merasakan Beban a. Penghasilan tidak cukup membeli


Finansial stoma bag
b. Upaya mengatasi masalah
finansial

Tema 6: Mendapat Dukungan dan Perhatian dari Orang Yang


Berarti dalam Menghadapi Situasi Baru dengan Adanya Stoma
6 Sub Tema: Kategori:
1. Mendapatkan dukungan a. Dukungan dari keluarga
emosional b. Dukungan dari lingkungan

2. Mendapatkan dukungan a. Bantuan materi dari keluarga


finansial b. Bantuan materi dari perkumpulan
yang diikuti

3. Mendapatkan dukungan a. Suami merawat selama sakit


Fisik b. Keluarga mengantar berobat

Tema 7: Berupaya Menerima Stoma Sebagai Bagian dari Tubuh


7 Sub Tema: Kategori:
1. Kemandirian a. Waktu mengganti stoma bag
Ostomate yang baru b. Frekuensi mengganti stoma bag
menjalani kolostomi c. Mampu Mandiri Mengganti dan
Merawat Stoma Bag
d. Masih Bergantung dalam merawat
stoma bag
e. Cara merawat stoma yang dilakukan
ostomate

2. Menggunakan stoma a. Stoma yang digunakan terbuat plastik


bag hasil kreativitas gula dan batok kelapa
sendiri b. Adanya ketidaknyamanan yang
bersumber dari stoma bag
c. Kenyamanan dengan stoma bag
buatan sendiri
124

3. Melakukan a. Memilih pasrah


penyesuaian dengan b. Menjalani dengan tabah dan sabar
adanya stoma c. Tidak Mau Terlalu Memikirkan
Penyakit
d. Mendekatkan Diri Dengan Sang
Pencipta
e. Tetap semangat

4. Perilaku Adaptasi a. Perilaku adaptif


ostomate b. Perilaku inefektif

Tema 8: Mengalami Tantangan dalam Menjalankan Kegiatan


Keagamaan
8. Sub Tema: Kategori:
1. Mengalami a. Tidak Melaksanakan kegiatan
perubahan dalam ibadah
kegiatan agama b. Kendala dalam melakukan kegiatan
ibadah
c. Adanya isu religius
2. Mendapatkan
Dukungan Spiritual a. Dukungan Kelompok Keagamaan

3. Berusaha
menyesuaikan diri a. Wudhu tanpa air
dengan kegiatan b. Pergi sendiri ke Mesjid
ibadah setelah c. Berdoa dalam hati
menggunakan
stoma bag
125

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Interpretasi Hasil Penelitian

Penelitian ini berfokus pada kualitas hidup pasien kanker kolorektal yang

baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Partisipan yang terpilih sesuai

dengan kriteria inklusi penelitian dan berasal dari wilayah Propinsi Sumatera

Utara. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengidentifikasi 8 tema. Tema

tersebut adalah 1) Mengalami gejala kanker kolorektal sebelum dilakukan

tindakan kolostomi, 2) Merasakan peran tenaga kesehatan (dokter dan perawat)

pada ostomate yang baru menjalani kolostomi, 3) Mengalami penurunan

kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, 4) Menjalani

Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress dan Perubahan Emosi, 5) Mengalami

Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan Adanya Stoma Baru, 6) Mendapat

Dukungan dan Perhatian dari Orang Yang Berarti dalam Menghadapi Situasi

Baru dengan Adanya Stoma, 7) Mengalami Tantangan dalam Menjalankan

Kegiatan Keagamaan, 8) Berupaya Menerima Stoma sebagai Bagian dari Tubuh.

Selanjutnya peneliti akan membahas secara rinci masing-masing tema yang

teridentifikasi.
126

5.1.1 Mengalami Gejala Kanker Kolorektal Sebelum Dilakukan Tindakan

Kolostomi

Kanker kolorektal merupakan keganasan atau pertumbuhan sel abnormal

pada area kolon dan rectum yang terdapat pada kolon ascenden, transversal,

descenden, sogmoid dan rectum. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh tema

tentang gejala kanker kolorektal yang dirasakan sebelum dilakukan tindakan

kolostomi. Tema ini terdiri dari beberapa subtema yaitu: 1) Mengalami

Perubahan eliminasi, 2) Mengalami perubahan pada abdomen, 3) Mengalami

Fatigue, 4) Keluhan pada anus.

Gejala kanker kolorektal yang dirasakan dan umumnya dilaporkan

sebagai keluhan mayoritas partisipan adalah terkait perubahan eliminasi.

Perubahan pada eliminasi yang diungkapkan partisipan termasuk keluhan susah

buang air besar, jarang buang air besar, tidak puas saat buang air, bahkan ada

juga keluhan buang air setiap 5 menit, keluhan selalu diare. Hal ini sesuai dengan

teori yang menyatakan bahwa manifestasi klinis pada tumor kolon sisi kiri adalah

konstipasi dan diare yang terjadi bergantian, sensasi evakuasi yang tidak tuntas

(Lewis et al., 2011). Hasil studi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Hamilton dan Sharp (2004) yang menyatakan bahwa dua gejala yang dirasakan

pasien yang terbukti memiliki nilai prediktif tinggi untuk terdiagnosa kanker

kolorektal adalah saat timbulnya pendarahan dari rektum dan perubahan

kebiasaan buang air besar. Perubahan eliminasi yang dimaksud adalah terkait

munculnya gejala kesulitan eliminasi bowel atau peningkatan frekuensi eliminasi

terutama jika gejala tersebut bertahan lebih dari enam minggu.


127

Gejala lain yang dialami partisipan adalah fatigue. Subtema ini

menunjukkan ungkapan-ungkapan partisipan seperti sering merasa lemas,

kondisi fisik lemah, dan cepat lelah. Kelelahan atau fatigue menjadi gejala yang

paling umum dan mengganggu pada penderita kanker dan rejimen pengobatan

kanker (Weiss & Goodnough, 2005).

Kelelahan dialami oleh sebagian besar pasien kanker kolorektal. Fatigue

muncul sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala kelelahan digambarkan sebagai

gejala tunggal atau sebagai terjadi dalam kombinasi dengan gejala lainnya.

Intensitas kelelahan bervariasi dari perasaan kelelahan sampai keletihan, dan

memiliki efek pada kegiatan fisik, kehidupan sosial dan suasana hati. Untuk

beberapa pasien, partisipan merasa lelah dan tidak bisa berbuat apa-apa, hanya

dapat duduk, berdiri atau berbaring, atau melakukan kegiatan sehari-hari di

tempat tidur (Visovsky & Schneider, 2003).

Perdarahan menjadi salah satu subtema yang diperoleh dari hasil

wawancara. Beberapa partisipan mengungkapkan keluarnya darah dalam bentuk

gumpalan darah sampai perdarahan serius yang mengharuskan transfusi darah.

Hal ini sesuai dengan konsep bahwa manifestasi klinis kanker kolorektal yang

paling umum adalah pendarahan anus, anemia, fatigue, dan perubahan

konsistensi atau bentuk tinja. Kotoran dapat mengandung sejumlah mikroskopis

darah yang tidak terlihat, atau pasien mungkin memiliki feses berwarna gelap

atau berwarna merah. Darah biasanya tidak terdeteksi pada tumor sisi kanan

kolon tetapi umum terjadi pada tumor dari sisi kiri kolon dan rektum (Lewis et

al., 2011).
128

Pendarahan dubur adalah gejala awal yang terjadi pada kanker kolorektal,

pelayanan kesehatan primer memiliki peran penting dalam deteksi awal. Rujukan

tepat waktu dan efisien yang mengarah ke diagnosis dini kanker kolorektal dapat

berkontribusi untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Pedoman di Inggris saat

ini merekomendasikan rujukan pasien berusia 40 tahun dan lebih tua yang

melaporkan pendarahan dubur dengan perubahan kebiasaan buang air besar

terhadap baik penurunan atau peningkatan frekuensi eliminasi yang menetap

selama 6 minggu atau lebih atau pasien berusia di atas 60 tahun harus segera

dirujuk akan jika mengalami pendarahan melalui anus atau kebiasaan buang air

besar berubah tanpa gejala pada anus selama 6 minggu atau lebih (National

Institute for Health and Clinical Excellence, 2005; Hamilton & Sharp, 2004).

Subtema lain terkait tema gejala kanker kolorektal yang dirasakan adalah

adanya keluhan pada anus seperti nyeri pada anus, munculnya benjolan di anus

dan keluhan duduk tidak nyaman karena benjolan tersebut. Gejala mirip dengan

gejala hemoroid sehingga pada awalnya mayoritas partisipan mengganggap

mereka mengalami ambeyen dan menkonsumsi obat untuk mengatasi gejala

tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rai &

Kelly (2007) yang menyatakan terdapat beberapa yang keluhan yang unik pada

penderita kanker kolorektal misalnya, perdarahan rektum yang mungkin

disebabkan oleh hemoroid.


129

5.1.2 Merasakan Peran Tenaga Kesehatan (Dokter dan Perawat) pada

Ostomate yang Baru Menjalani Kolostomi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran tenaga kesehatan baik

dokter dan perawat sangat penting bagi pasien kanker kolorektal yang baru

menjalani kolostomi. Tema ini terdiri dari dua subtema yaitu 1) Mendapatkan

edukasi dari tenaga kesehatan (dokter dan perawat), 2) Respon terhadap proses

edukasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa pemberian edukasi pre

kolostomi yang diperoleh partisipan hanya sebatas bahwa stoma akan dibuat di

sebelah kiri abdomen dan partisipan akan melakukan eliminasi melalui stoma

tersebut dan stoma tersebut bersifat permanen. Sementara, hasil penelitian

menunjukkan bahwa pasien stoma juga ingin mengetahui tentang pengetahuan

dasar tentang anatomi stoma yang berarti mereka ingin tahu bagaimana stoma

akan dibuat di dinding perut, 77,33% pasien tidak memiliki pengetahuan yang

relevan tentang anatomi stoma sehingga membutuhkan pendidikan yang

signifikan (Swan, 2010). Selaras dengan penelitian tersebut, Toth (2010)

menyebutkan bahwa 91,67% dari pasien ingin membiasakan diri dengan

pengetahuan medis tentang stoma. Pemahaman yang tidak cukup tentang

anatomi dan fungsi stoma akan menyebabkan kecemasan atau bahkan

kesalahpahaman pengobatan. Oleh karena itu, memberikan pengetahuan dasar

medis yang relevan diperlukan untuk meningkatkan self recognition atau

pengakuan diri pasien stoma, menurunkan kecemasan dan stres, dan

meningkatkan kemampuan beradaptasi di masyarakat.


130

Edukasi preoperasi memiliki efek yang signifikan untuk proses

rehabilitasi pasien stoma. Sebagian besar pasien stoma merasa bahwa sebagian

besar ketakutan pasca operasi dan kecemasan terlepas apabila pasien telah

memiliki persiapan psikologis untuk pembuatan stoma. Hasil penelitian Toth

(2010) menunjukkan bahwa edukasi preoperatif memungkinkan pasien dan

keluarga mereka untuk mulai belajar tentang perawatan stoma dan penggunaan

peralatan ostomi sebelum operasi pada saat kondisi pasien masih sedikit

terganggu dibandingkan pada periode pasca operasi.

Di sisi lain, Rutledge, Thompson, dan Boyd (2003) menyatakan bahwa

edukasi tentang stoma lebih efektif jika dilakukan preoperatif. Dengan demikian

akan menghasilkan kemampuan untuk melakukan perawatan diri dengan adanya

stoma dan proses discharge yang lebih singkat dari rumah sakit. Hal ini juga

mengurangi intervensi terkait stoma di masyarakat yang mungkin memberikan

efek buruk pada kesejahteraan atau kualitas hidup pasien. Selain itu, Persson dan

Hellstrom (2002) menyarankan bahwa memperkenalkan pasien stoma yang telah

sukses beradaptasi untuk berbagi pengalaman harus diberikan pendidikan

preoperasi untuk meningkatkan kepercayaan pasien untuk menghadapi operasi

kolostomi.

Selain edukasi preoperasi, penentuan letak stoma yang juga memainkan

peran penting dalam rehabilitasi pasien. Hasil wawancara dengan seorang

partisipan mengungkapkan penjelasan tentang letak stoma tidak dijelaskan

dengan detail hanya akan dicarikan lokasi yang ototnya kuat. Masalah besar dapat

timbul jika pasien tidak dapat melakukan perawatan diri karena stoma sulit dilihat
131

atau jika iritasi kulit terjadi karena produk tidak dapat ditempatkan dengan benar

pada abdomen (Black, 2000). Penentuan letak stoma harus dilakukan oleh

perawat spesialis perawatan stoma (SCNS) atau perawat berpengalaman yang

telah menjalani pelatihan (Rutledge et al., 2003). Lokasi yang dipilih harus jelas

ditandai dengan spidol permanen dan dapat ditutupi dengan pembalut transparan.

Penentuan letak stoma sebelum operasi dilakukan dengan mengkaji abdomen

dalam posisi telentang, duduk, dan berdiri, sehingga penentuan lokasi menjadi

optimal. Persiapan tersebut dapat membantu mengurangi masalah pasca operasi

seperti kebocoran, tantangan pemasangan, kebutuhan kantong yang mahal, iritasi

kulit, rasa sakit, dan masalah pakaian. Penempatan yang optimal dapat

mengakibatkan komplikasi yang tidak perlu dan dapat berdampak negatif

terhadap kesehatan psikologis dan emosional, sedangkan penempatan yang baik

meningkatkan kemungkinan kebebasan pasien dalam perawatan stoma dan

dimulainya kembali aktivitas normal (Toth, 2010).

Prosedur stoma site marking berupa: 1)Memeriksa perut dengan

berpakaian pasien, 2) Mengkaji abdomen saat terlentang, berdiri, duduk,

membungkuk, 3) Mengidentifikasi lipatan kulit, lipatan, masalah kulit, bekas

luka, penonjolan tulang, 4) Menarik garis imajiner di mana sayatan akan dibuat 5)

Memilih titik 5 cm dari sayatan dengan 5 -7 cm dari permukaan datar, 6)

Mengidentifikasi dan menandai tepi otot rektus abdominalis 7) Memilih area

yang terlihat pasien, tetapi di bawah belt line, 8) Memeriksa tanda yang akan

dibuat pada saat posisi terlentang pasien, berdiri, duduk, membungkuk, 9) tanda

yang telah dibuat ditutup dengan transparan dressing (WOCN, 2008).


132

Hasil penelitian Person et al. (2012) kepada 105 pasien stoma

menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien yang dilakukan stoma site marking

sebelum operasi secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan pasien tanpa

tanda stoma sebelumnya (p <0,05), parameter kesejahteraan pasien secara

signifikan lebih baik, dan tingkat komplikasi lebih rendah. Penentuan letak

stoma preoperasi (stoma site marking) sangat penting untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien pasca operasi, meningkatkan kemandirian, dan mengurangi

tingkat komplikasi pasca operasi. Peran terapis enterostomal sangat penting

dalam perawatan pre dan pasca operasi kolostomi.

Kepuasan partisipan terhadap proses edukasi juga aspek yang diutarakan

oleh partisipan. Salah seorang partisipan menyampaikan ketidakpuasan dengan

proses edukasi. Hasil penelitian Swan (2010), edukasi dengan cara menggurui

adalah cara untuk memberikan pendidikan kepada partisipan yang tidak

merangsang minat belajar pasien. Di sisi lain, karena kesibukan kerja dan

kurangnya waktu, edukasi sering diberikan dalam situasi terburu-buru dan

pengetahuan yang diberikan tidak mendalam sehingga pasien tidak bisa

memahami informasi secara maksimal. Selanjutnya, penelitian Mitchell et al.,

(2007) menunjukkan bahwa tingkat penguasaan pasien stoma tentang manajemen

ostomi tidak relevan dengan usia dan latar belakang pendidikan, tetapi

dipengaruhi oleh metode pendidikan saat memberikan pengetahuan tentang

perawatan stoma . Akibatnya, selama prosedur pendidikan, multi metode edukasi

harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasien.


133

Konseling adalah bagian penting dari perawatan kompleks yang

diperlukan untuk membantu pasien ostomi kembali menemukan rasa kontrol

dalam hidup. Konseling bukan membuat masalah hilang, tetapi membantu pasien

mengembangkan mekanisme koping untuk dapat beradaptasi dengan realitas

baru. Dalam menghadapi berbagai keterbatasan yang dialami pasien kolostomi,

dukungan keluarga dan dukungan pelayananan kesehatan profesional menjadi hal

fundamental yang diperlukan, elemen esensial untuk penerimaan ostomi tersebut,

rehabilitasi yang lebih cepat dan lebih efisien dan adaptasi yang baik ke dalam

kondisi hidup yang baru (Backes et al., 2012). Penyedia layanan kesehatan harus

membuat setiap usaha untuk meningkatkan kualitas hidup di mereka pasien

ostomy, dan perawat khususnya harus menyadari bahwa pengetahuan dan

keterampilan dapat membantu untuk meningkatkan kualitas hidup sebelum dan

sesudah kolostomi (Black, 2004).

5.1.3 Mengalami Penurunan Kemampuan Tubuh dalam Melakukan

Aktivitas Sehari-hari

Hasil penelitian ini mengdentifikasi tema yang menunjukkan bahwa

partisipan mengalami penurunan kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas

sehari-hari terdiri dari beberapa subtema yaitu 1) menurunnya kemampuan

melakukan kegiatan yang biasa dilakukan, 2) mengalami perubahan kemampuan

dalam bekerja, 3) merasakan efek penyakit dan kolostomi terhadap fungsi tubuh,

4) mengalami perubahan kualitas tidur, 5) mengalami masalah pada peristoma,


134

stoma dan stoma bag, 6) mengalami dampak setelah kemoterapi, 7) merasakan

keluhan fisik akibat penyebaran penyakit, 8) mengalami masalah dengan nutrisi.

Kolostomi adalah prosedur bedah yang bertujuan untuk mengurangi

gejala gastrointestinal dan mencegah perkembangan penyakit, tetapi perubahan

yang tak terelakkan timbul dalam perubahan penampilan secara fisik sehingga

menyebabkan fungsi fisik terganggu dan terganggunya sejumlah aspek dari

kehidupan pribadi pasien (Dabirian, 2011). Berdasarkan data karakteristik

demografi partisipan menunjukkan mayoritas usia partisipan 26-45 tahun

(58,3%), dalam hal ini berada pada rentang usia produktif, sementara hasil

wawancara yang dilakukan ditemukan data bahwa partisipan mengungkapkan

telah mengalami perubahan dalam melakukan kegiatan yang biasa dilakukan

sebelum menjalani kolostomi. Hal ini terlihat dari kategori yang diperoleh dari

analisa data diantaranya tidak dapat kerja berat, pergerakan terbatas, aktivitas

berjalan terganggu. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi kemampuan partisipan

untuk beraktivitas. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Shaffy et al. (2012), yang menunjukkan bahwa partisipan melaporkan bahwa

mereka tidak bisa mengangkat benda beratnya lebih dari 5 kg. Hal ini juga

didukung dengan penelitian Dabirian et al. (2011) yang menemukan data bahwa

kebanyakan partisipan melaporkan keterbatasan dalam aktivitas fisik setelah

kolostomi. partisipan melaporkan mengalami penurunan kegiatan yang biasa

dilakukan dan keterbatasan dalam mengangkat benda berat. Pasien seharusnya

dianjurkan untuk menghindari mengangkat benda berat atau mengejan pada


135

buang air besar untuk mencegah ketegangan pada area anastomosis (Ignatavicius

& Workman, 2013).

Masalah lain yang biasa dikeluhkan oleh pasien adalah ketidakmampuan

mengontrol eliminasi. Adanya pembukaan pada anterior dinding abdomen

menciptakan masalah baru karena kurangnya kontrol sfingter dan efek iritasi dari

aliran feses pada kulit di sekitarnya. Hasil dari penelitian, ostomate telah

mengeluh iritasi dan ruam di sekitar lokasi stoma, gangguan tidur, bau, dan gas

yang tidak terkontrol. Pengeluaran gas dan bau pada stoma menjadi masalah pada

ostomate karena berbeda dengan pengeluaran melalui anus, pengeluarannya

melalui stoma tidak dapat dikontrol. Gas yang terdapat pada saluran pencernaan

didapatkan dari beberapa jenis makanan seperti makanan berpengawet, brokoli,

kubis, jagung, timun, bawang, dan lobak. Gas juga didapatkan dari menelan udara

(secara tak sengaja) pada saat berbicara, makan, merokok dan sebagainya

(Eucomed, 2012). Oleh karena itu ostomate dianjurkan untuk mengunyah

makanan secara perlahan untuk meminimalkan udara yang masuk. Bau pada gas

atau feses yang dikeluarkan juga dapat diakibatkan oleh beberapa makanan

seperti telur, keju, ikan, bawang, dan kubis.

Pengendalian gas dan bau dari kolostomi sering menjadi masalah penting

bagi pasien dengan ostomi baru. Kantong bocor atau tidak cukup tertutup adalah

penyebab bau pada umumnya, flatus juga dapat berkontribusi menjadi sumber

bau. Meskipun secara umum tidak ada makanan yang dilarang untuk pasien

dengan stoma, makanan dan kebiasaan tertentu dapat menyebabkan flatus atau

berkontribusi terhadap aroma ketika kantong terbuka. Brokoli, kacang-kacangan,


136

makanan pedas, bawang, kubis, kol, kembang kol, mentimun, jamur, dan kacang

polong sering menyebabkan flatus, seperti halnya permen karet, merokok,

minum bir, dan pola makan yang tidak teratur. Biskuit, roti panggang, dan

yoghurt dapat membantu mencegah gas. Asparagus, brokoli, kubis, lobak, telur,

ikan, dan bawang putih menyebabkan bau ketika kantong terbuka. Buttermilk,

jus cranberry, dan yogurt akan membantu mencegah bau. Filter karbon,

pengharum kantong akan membantu menghilangkan bau. Lubang ventilasi yang

memungkinkan pelepasan gas dari kantong ostomy melalui filter penghilang bau

yang tersedia dan dapat menurunkan bau (Gutman, 2011; Ignatavicius &

Workman, 2013).

Survei deskriptif dengan mengumpulkan data yang terkait dengan

rekomendasi diet individu dan pembatasan diet bagi pasien dengan ostomi

menunjukkan hasil penelitian bahwa 88,4% responden tidak mengikuti diet

khusus, 11,6% melakukan modifikasi diet. Makanan yang menyebabkan masalah

termasuk buah-buahan segar, kacang-kacangan, kelapa, dan sayuran seperti

jagung, popcorn, kubis, kacang-kacangan, dan bawang. Mayoritas masalah yang

dilaporkan karena makanan tersebut adalah penyumbatan dan peningkatan gas

(Persson & Hellstrom, 2002).

Selain masalah tersebut, partisipan juga mengalami perubahan kualitas

tidur dengan adanya stoma. Penyebab gangguan tidur yang diungkapkan

partisipan diantaranya adanya perasaan risih ketika berbaring, tidur tidak nyenyak

kalau lagi diare, takut kotoran merembes, tidur terganggu karena bolak-balik

ganti kantong, tidak bebas untuk miring. Hal ini sejalan dengan penelitian
137

Baldwin et al. (2009) yang menunjukkan bahwa masalah tidur dan istirahat

mencapai korelasi yang lebih tinggi dengan skor rata-rata dari domain fisik dan

menunjukkan bahwa adanya stoma bag menyebabkan gangguan tidur pada pasien

kanker kolorektal dan pada pasien dengan stoma yang secara signifikan

mengganggu kualitas hidup. Gangguan tidur ini terkait dengan kehadiran stoma,

terutama selama bulan-bulan pertama setelah operasi dan ketakutan tentang masa

depan.

Penggunaan stoma bag menjadi masalah yang diungkapkan oleh

partisipan. Keseluruhan partisipan dalam penelitian ini menggunakan kantong

one piece. Kekurangan kantong yang dirasakan partisipan terdiri dari beberapa

kategori yaitu kantong bocor, bau yang muncul dari kantong, kantong tidak kedap

bau, kantong mudah lepas. Hal ini tidak sejalan dengan asosiasi ostomi di

Amerika Serikat (UOAA) tahun 2011 yang menyatakan bahwa sistem pouching

yang baik harus aman dan tahan bocor yang berlangsung hingga 3 hari, tahan

bau, melindungi kulit di sekitar stoma, hampir tidak terlihat di bawah pakaian,

mudah untuk dipakai dan dilepas.

Masalah lain terkait kantong adalah bau yang muncul dari kantong. Salah

satu partisipan mengungkapkan bahwa kantong one piece yang digunakan tidak

kedap bau. Pengendalian gas dan bau dari kolostomi sering menjadi masalah

penting bagi pasien dengan ostomi baru. Kantong bocor atau tidak cukup tertutup

adalah penyebab bau pada umumnya, flatus juga dapat berkontribusi menjadi

sumber bau (Eucomed, 2012).


138

Kondisi lain yang banyak diungkapkan oleh partisipan adalah terkait

iritasi kulit di sekitar stoma yang terdiri dari beberapa koding yaitu adanya

merah, gatal, pedih, sakit, lecet, bintik-bintik di sekitar kulit. Hal ini sejalan

dengan teori yang menyatakan bahwa masalah yang banyak terjadi pasca

pembuatan kolostomi adalah iritasi pada kulit di sekitar stoma. Iritasi pada area

kulit peristomal banyak terjadi terutama pada lansia, disebabkan oleh lapisan

epitel dan lemak subkutan yang semakin tipis karena proses penuaan sehingga

kulit menjadi semakin mudah mengalami iritasi (Smeltzer et al., 2010). Pada

dasarnya, bahan pada kantong kolostomi yang menempel pada permukaan kulit

sudah didesain agar tidak menyebabkan iritasi pada kulit (WOCN, 2008).

Ostomate (individu yang memiliki stoma) dengan kulit yang sensitif mungkin

membutuhkan tes skin patch jika mengeluhkan adanya beberapa reaksi terhadap

penempelan beberapa kantong kolostomi.

Individu yang memiliki stoma juga memiliki resiko terkena infeksi

Candida albicans yang biasa dikenal sebagai infeksi jamur (Eucomed, 2012). Hal

ini dikarenakan kulit peristomal memiliki karakteristik hangat, lembap dan

tertutup (oleh kantong kolostomi) dimana lingkungan ini kondusif terhadap

pertumbuhan jamur. Kulit yang terkena infeksi ini akan berubah menjadi

kemerahan dan terasa gatal.

Rasa gatal, panas dan seperti terbakar pada area penempelan kantong

kolostomi mengindikasikan adanya lecet, ruam ataupun infeksi pada kulit

(WOCN, 2008). Hal terpenting dalam pencegahan infeksi pada kulit adalah

dengan melakukan perawatan kulit peristomal dengan baik. Pemasangan kantong


139

kolostomi yang sesuai dengan stoma merupakan pencegahan utama terjadinya

iritasi dan infeksi pada kulit. Skin barrier (dalam bentuk salep ataupun bedak)

dapat diberikan pada area peristomal 30 detik sebelum kantong kolostomi

ditempelkan pada kulit (Smeltzer et al., 2010).

Masalah lain yang diungkapkan partisipan adalah munculnya masalah

pada stoma. Masalah pada stoma ini terdiri berupa keluarnya cairan berbau,

komplikasi kolostomi, dan kendala dengan letak stoma. Stoma harus mulai

berfungsi dalam 2 sampai 4 hari pasca operasi. Ketika mulai berfungsi, kantong

perlu sering dikosongkan karena pengumpulan gas berlebih. Pengosongan

dilakukan ketika feses sudah mencapai sepertiga hingga setengah pada kantung

kolostomi. Feses yang berbentuk cair keluar segera setelah operasi, tetapi menjadi

lebih solid setelah beberapa minggu (Ignatavicius & Workman, 2013).

Ostomate dalam penelitian ini mengeluhkan mengalami komplikasi yaitu

stoma masuk, stoma berwarna hitam sehingga harus menjalani dua kali operasi.

Komplikasi atau masalah pada kolostomi dapat muncul setelah pembedahan.

Masalah yang paling umum setelah operasi kolostomi adalah prolap stoma yang

biasanya karena obesitas, proses pembukaan dinding abdomen yang terlalu lebar,

fiksasi bowel pada dinding abdomen yang tidak adekuat ataupun akibat

peningkatan tekanan intra abdomen, perforasi akibat ketidaktepatan irigasi

stoma, retraksi stoma, impaksi fekal dan iritasi kulit (Smeltzer et al., 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahjoubi et al. (2005) yang

dilakukan secara retrospektif menunjukkan bahwa komplikasi kolostomi dan

factor yang mempengaruhi tejadinya komplikasi diidentifikasi dari 330 pasien


140

stoma. Komplikasi awal (early complication) dikelompokkan sebagai komplikasi

yang terjadi sebelum 1 bulan. Komplikasi ini terdiri dari nyeri pada area stoma,

iritasi kulit, prolaps, infeksi peristomal, dan komplikasi psikososial yang

mencakup gangguan aktivitas sosial, seksual, aktivitas personal. Sementara late

complication berupa hernia, iritasi dermal dalam waktu yang lama, retraksi dan

stenosis.

Masalah pada stoma yang lain yang diungkapkan oleh partisipan adalah

adanya kendala dengan letak stoma. Posisi stoma berada di bawah dekat dengan

tulang panggul. Kondisi ini mengganggu partisipan saat mengganti stoma bag

atau memakai celana. Berbagai masalah ini dapat dihindari jika area stoma

ditandai (stoma site marking) oleh perawat ostomi sebelum operasi. Lokasi yang

banyak disukai terletak di dalam otot rektus abdominis dekat garis tengah

abdomen (Ignatavicius & Workman, 2013).

Mayoritas partisipan dalam penelitian ini telah menjalani kemoterapi.

Dampak kemoterapi yang dilaporkan partisipan di antaranya adanya mual

muntah, nafsu makan berkurang, badan panas, lemas, diare, rambut rontok.

Kemoterapi direkomendasikan ketika terdapat keterlibatan kelenjar getah bening

pada saat pembedahan atau metastase penyakit. Kemoterapi dapat digunakan

untuk mengecilkan tumor sebelum pembedahan, sebagai adjuvan terapi setelah

reseksi kolon, dan sebagai terapi paliatif untuk CRC yang tidak dapat direseksi

(Lewis et al., 2011). Kemoterapi adjuvan setelah operasi primer dianjurkan untuk

pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau tahap III untuk mengganggu
141

produksi DNA sel dan meningkatkan kelangsungan hidup (Ignatavicius &

Workman, 2013).

Kemoterapi digunakan untuk mengurangi kemungkinan metastasis,

mengecilkan ukuran tumor atau memperlambat pertumbuhan tumor yang lambat.

Hal ini dapat digunakan setelah operasi (adjuvant), sebelum operasi

(neoadjuvant), atau sebagai terapi utama (paliatif). Efek samping dari

capecitabine yang umum terjadi setelah kemoterapi termasuk mulut sakit,

mucositis, mual dan muntah, diare, penipisan rambut dan neutropenia. Efek

samping tambahan yang khusus untuk obat tertentu misalnya sindrom tangan-

kaki dikaitkan dengan mati rasa atau kesemutan di tangan atau kaki (neuropati

perifer) jika menggunakan oxaliplatin. Reaksi individu berbeda tetapi cenderung

kumulatif sehingga sangat penting bahwa gejala-gejala tersebut perlu dipantau

(Taylor, 2012).

Kemoterapi adalah pengobatan pilihan untuk kanker kolorektal yang telah

bermetastase. 5FU adalah pengobatan utama sampai diperoleh penemuan terbaru

dari tiga agen kemoterapi. Kombinasi pengobatan kemoterapi telah menunjukkan

hasil yang lebih baik daripada penggunaan perawatan kemoterapi tunggal; yang

paling umum adalah oxaliplatin dan 5FU, oxaliplatin dan capecitabine, dan

irinotecan dan 5FU. Saat ini, pengobatan lini pertama untuk kanker kolorektal

lanjut adalah 5-FU/leucovorin dalam kombinasi dengan irinotecan, karena tingkat

respon yang lebih tinggi dengan terapi dan waktu perkembangan kanker yang

menjadi lebih lama. Efek toksisitas terapi ini termasuk penekanan sumsum

tulang, neuropati perifer, kelelahan, rambut rontok, diare, mukositis dan


142

sariawan, dan perubahan kulit. Tergantung pada toksisitas dan bagaimana efek

samping mempengaruhi kehidupan sehari-hari individu, dosis pengobatan

mungkin perlu dimanipulasi. Pilihan pengobatan kemoterapi tergantung pada

tujuan yang telah ditetapkan. Harapan bisa berkisar dari menyembuhkan kanker

sampai meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup. Pertimbangan pemberian

kemoterapi harus memperhatikan status usia, kinerja agen kemoterapi, fungsi

hati, dan komorbiditas (Ruddon, 2007).

Kanker kolorektal yang dialami partisipan kebanyakan sudah mencapai

stadium III dan IV. Salah satu partisipan yang didiagnosis kanker kolorektal

stadium IV mengeluhkan mengalami metastase pada tulang ekor dan dibuktikan

dengan hasil MRI. Kanker kolorektal dapat menyebar melalui kelenjar limfe dan

pembuluh darah. Sel kanker dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain

umumnya lebih sering ke hati. Kanker menyebar ke vena melalui vena porta.

Metastase jauh dapat terjadi pada organ lain seperti tulang, paru, ginjal yang

terjadi pada stadium lanjut (Smeltzer et al., 2010).

5.1.4 Menjalani Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress dan

Perubahan Emosi

Hasil penelitian menunjukkan partisipan mengalami perubahan antara

lain 1) Respon post kolostomi, 2) mengalami perubahan konsep diri ostomate, 3)

mengungkapkan perubahan keadaan perasaan.

Respon post kolostomi merupakan topik lain yang menarik yang telah

diungkapkan oleh partisipan. Partisipan mengungkapkan terkejut, takut dan tidak


143

menerima adanya stoma. Ketika pertama kali melihat stoma pada dinding

abdomen, sebagian besar pasien mengalami rasa takut, kehilangan,

ketidakberdayaan dan bahkan merasa jijik sehingga mengarah kepada keadaan

emosi dan mental yang tidak stabil. Untuk membantu pasien melewati periode

sulit dan mengatasi kondisi psikologis, perawat harus mengasosiasikan anggota

keluarga untuk memahami status psikologis pasien dan sabar untuk memberikan

dukungan dan dorongan yang memadai. Di sisi lain, mendidik dan mendorong

pasien untuk melakukan perawatan stoma secara independen juga berguna untuk

rehabilitasi psikologis (Richbourg et al., 2007).

Perasaaan negatif yang diungkapkan oleh partisipan diantaranya adanya

perasaan cemas, malu, tidak percaya diri, sulit menerima keadaan, emosi tidak

stabil, kecewa, putus asa, bahkan ada yang berniat bunuh diri. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Shaffy et al., (2014) yang menunjukkan bahwa pasien

pasca operasi akan sering melaporkan hilangnya kepercayaan, kemandirian dan

martabat, serta kekhawatiran akan adanya penolakan dan ejekan. Temuan serupa

dengan penelitian ini di mana partisipan memiliki perasaan ketakutan,

kecemasan, ketakutan, frustrasi, penolakan, ejekan dan rasa bersalah,

ketidakpuasan dengan penampilan karena adanya stoma.

Beberapa partisipan mengungkapkan ketidakpuasan dengan citra diri dan

penampilan. Partisipan mengungkapkan perasaan malu dengan keadaan sekarang,

merasa sebagai manusia cacat, sedih dengan tampilan diri. Citra tubuh dapat

didefinisikan sebagai persepsi fisik terhadap penampilan dan fungsi yang

terbentuk secara bertahap, yang dapat terganggu dengan mudah, khususnya pada
144

ostomate. Evakuasi yang tidak terkendali, kegiatan rekreasi yang terbatas, flatus

yang tidak terkontrol, takut akan penampilan diri yang tidak bersih, malu, takut

bau, masalah yang berkaitan privasi, gangguan citra tubuh dan aktivitas seksual

yang terbatas telah didokumentasikan dalam sebuah studi oleh Swan (2010).

Dalam studi lain ditemukan bahwa pasien dengan stoma mengalami depresi,

kesendirian, dan kesedihan yang berasal akibat rendah diri dan perubahan yang

tidak diinginkan dalam body image yang lebih sering terlihat pada pasien muda

dan perempuan (Smith, 2007).

Perubahan konsep diri yang diungkapkan partisipan terlihat pada kategori

merasakan harga diri menurun. Beberapa partisipan merasa sedih karena merasa

kurang berguna dan wibawa menurun setelah menjalani kolostomi. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Fallowfield, (2002) yang menunjukkan

bahwa harga diri pasien ostomi yang kelompok kontrol lebih rendah dari

kelompok intervensi dan terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik.

Pemilihan pakaian juga merupakan masalah yang diungkapkan oleh

partisipan. Beberapa partisipan menghindari pakaian yang ketat karena takut akan

melukai stoma atau adanya ketakutan stoma bag akan terlihat di balik pakaian

sehingga partisipan memilih pakaian yang besar dan longgar. Partisipan juga

mengeluh tidak bisa memakai semua jenis celana sehingga hanya memakai

celana tertentu dengan pinggang harus berkaret.

Pada dasarnya tidak dibutuhkan pakaian khusus untuk dipakai sehari-hari,

tetapi perlu beberapa penyesuaian yang mungkin diperlukan untuk kenyamanan

dan preferensi. Kantong kolostomi yang relatif datar dan sulit untuk terlihat di
145

balik pakaian. Tekanan dari pakaian elastis tidak akan membahayakan stoma atau

menghambat fungsi usus, namun pita pinggang ketat yang langsung pada stoma

harus dihindari. Keluhan-keluhan sebelum operasi akan berkurang, mungkin

nafsu makan telah kembali dan dapat menambah berat badan. Hal ini dapat

mempengaruhi pakaian yang dipilih dibandingkan karena sistem pouching itu

sendiri. Pakaian nyaman seperti celana bahan katun, t-shirt, atau kamisol dapat

memberikan dukungan tambahan pada kantong, keamanan, dan bantuan

menyembunyikan kantong. Penutup kantong yang sederhana dapat menambah

kenyamanan dengan menyerap keringat tubuh dan juga menjaga kantong plastik

dari tidak langsung melekat pada kulit. Pria dapat memakai celana boxer atau

celana pendek jenis joki (UOAA, 2011).

5.1.5 Mengalami Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan Adanya Stoma

Baru

Penggunaan stoma bag akan memicu beragam perubahan dalam

kehidupan partisipan. Perubahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini

termasuk mengalami kesulitan bersosialisasi. Tema ini dari beberapa subtema

yaitu 1) Mengalami perubahan peran, 2) mengalami perubahan dalam hubungan

interpersonal, 3) merasakan perubahan dalam aktivitas seksual, 4) merasakan

beban finansial.

Mayoritas partisipan yang telah menikah (91,7%) mengeluhkan adanya

perubahan peran dalam keluarga baik sebagi istri dan suami. Hal ini sesuai

dengan penelitian Nichols & Riemer (2008) yang menunjukkan adanya


146

penyesuaian peran dalam pernikahan setelah menggunakan pada pasien dengan

kolostomi permanen.

Hubungan interpersonal yang dialami partisipan juga merupakan aspek

yang diidentifikasi dalam penelitian ini. Subtema ini terdiri dari beberapa

kategori yaitu isolasi sosial, mengalami hambatan dalam bersosialisasi,

menghindari interaksi dengan orang lain, mengalami hambatan dalam bepergian.

Isolasi sosial yang dialami partisipan mengakibatkan partisipan tidak bersedia

bersosialisasi dan memilih berdiam di rumah, malas berkomunikasi dengan orang

lain dan menutup diri. Masalah ini diutarakan mayoritas partisipan khususnya

pada bulan pertama post kolostomi. Hubungan interpersonal didefinisikan

sebagai kemudahan untuk berhubungan maupun berinteraksi dengan orang lain.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Karadag et al., (2003) yang

melaporkan bahwa pasien dengan stoma khawatir tentang kebocoran dan bau dari

kantong, dan mungkin karena menghindari interaksi dengan orang, menjadi

introvert, dan menikamti kesendirian. Kondisi ini pada ahirnya akan

menimbulkan rasa tidak aman ini dalam situasi sosial dan kurangnya kepercayaan

yang dapat menyebabkan isolasi total sosial.

Dalam sebuah studi yang menyelidiki persepsi ostomate tentang persiapan

untuk operasi dan koping selanjutnya, juga adanya stoma bag merupakan hal

yang paling sering dirasakan sulit sehingga dapat menyebabkan

ketidaknyamanan sosial, rasa malu dan bahkan jijik (Swan, 2010). Studi lain

menunjukkan bahwa pasien dengan stoma memiliki tingkat depresi lebih tinggi

dan keterlibatan yang kurang dalam kegiatan sosial dibandingkan dengan mereka
147

yang menjalani reseksi usus untuk diagnosis yang sama (Camilleri & Steele,

2001).

Meskipun pada umumnya tidak ada hambatan bagi pasien dengan stoma

untuk melakukan perjalanan atau bepergian, namun mayoritas partisipan

mengungkapkan keluhan tidak pernah lagi bepergian, tidak sanggup melakukan

perjalanan jauh, kendala lain merasa repot apabila bepergian, bahkan kalau keluar

dari rumah dalam waktu yang relatif cepat. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Krouse, Grant, & Ferrell (2007) yang menunjukkan adanya

pembatasan bepergian bagi pasien dengan ostomi sebagai salah satu masalah

dalam kualitas kehidupan.

Kolostomi dan masalah yang terkait juga dapat mempengaruhi hubungan

intim pasien dengan pasangan. Berdasarkan karakteristik data demografi bahwa

mayoritas partisipan sudah menikah (91,7%), dan sebagian besar dari partisipan

yang telah menikah tersebut mengalami beberapa masalah seksual, terutama

periode setelah operasi. Beberapa dari mereka memiliki kehidupan seksual yang

normal karena merasa hal tersebut sebagai kewajiban tetapi sebagian besar

partisipan melaporkan bahwa ada perubahan luar biasa dalam kehidupan seksual.

Perasaan tidak percaya diri dengan adanya stoma, merasa tidak kuat melakukan

hubungan. Beberapa menyesuaikan dengan mengurangi frekuensi berhubungan

seksual bahkan ada yang tidak aktif berhubungan seksual setelah menggunakan

stoma bag. Temuan ini konsisten dalam tiga studi yang menyatakan kehidupan

seksual partisipan setelah kolostomi dan dilaporkan mengalami penurunan


148

keinginan untuk melakukan hubungan seksual yang akhirnya mengakibatkan

kehidupan seksual tidak aktif (Symms et al., 2008).

Menurut Brown dan Randle (2005), pasien dengan stoma cenderung

khawatir tentang masalah seksual, terutama pada periode awal setelah operasi

dan pembentukan stoma yang menyebabkan penurunan lebih lanjut dari kualitas

hidup. Dalam sebuah studi oleh Junkin & Beitz (2005), menunjukkan bahwa

hampir setengah dari pasien yang aktif secara seksual sebelum operasi ostomi

menjadi tidak aktif setelah prosedur dilakukan. Oleh karena itu, rujukan untuk

konseling dan evaluasi kesehatan seksual perlu dilakukan. Symms et al., (2008)

dalam studi mereka menemukan bahwa veteran laki-laki dengan ostomi usus

mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan aktivitas seksual dan

keintiman merupakan tantangan terbesar. Kebanyakan pasien memerlukan waktu

6 bulan sebelum mereka merasa nyaman dengan perawatan ostomi (Smeltzer et

al., 2010).

Seksualitas adalah fenomena yang kompleks yang mempengaruhi citra

tubuh, perasaan, dan hubungan interpersonal. Seksualitas terkait erat dengan citra

tubuh. Banyak pasien dengan stoma memiliki kekhawatiran bahwa daya tarik

seksual mereka menurun. Pasien dengan stoma mengalami beberapa

ketidakpastian tentang daya tarik seksual dan mengatasi kesulitan ini dengan cara

yang berbeda. Beberapa ingin menunjukkan diri mereka sendiri dan melihat

bagaimana respon pasangan. Jika pasangan tidak melihat stoma sebagai masalah,

mereka bisa lebih mudah menerima stoma sebagai bagian dari diri mereka

sendiri. Beberapa menyembunyikan stoma bag ketika membuka baju, menjaga


149

agar tidak terlihat oleh pasangan karena anggapan tidak sempurna. Beberapa

takut membahas seks dengan pasangan, khawatir dengan reaksi pasangan. Citra

tubuh dan seksualitas adalah faktor utama dalam menentukan efek stoma pada

kualitas hidup seseorang (Shaffy et al., 2012).

Selain itu, masalah ekonomi menjadi aspek yang menarik yang

diidentifikasi dalam penelitian ini. Subtema ini terdiri dari kategori beban

financial dan upaya mengatasi financial. Beban financial yang diungkapkan

partisipan disebabkan oleh penghasilan keluarga yang tidak mencukupi dan

beban untuk membeli kantong. Hasil penelitian Coons et al. (2007) menunjukkan

masalah ekonomi terkait biaya kolostomi juga merupakan aspek penting dalam

kualitas hidup yang perlu dipertimbangkan. Aspek financial dan ekonomi ini

dapat mengakibatkan kualitas hidup menjadi negatif (Maydick, 2014). Bahkan

pasien dapat kehilangan pekerjaan sebagai salah satu konsekuensi dari stoma

(Nichols & Riemer, 2008).

Data karakteristik demografi partisipan menunjukkan hasil bahwa

mayoritas partisipan berada pada usia 26-45 tahun (58,3%) dan pekerjaan

wiraswasta (33,3%). Usia produktif dengan rentang usia 18-45 tahun, merupakan

usia dimana manusia sudah matang secara fisik dan biologis. Menurut Hurlock

(1994) bahwa tugas perkembangan usia produktif adalah penyesuaian pekerjaan,

penyesuaian perkawinan, penyesuaian terhadap hubungan sosial. Dari tugas dan

tanggung jawab yang harus diemban pada usia produktif sangat membutuhkan

kondisi yang sehat jasmani dan rohani, agar supaya tugas dan tanggungjawab

dapat terlaksana dengan baik. Usia produktif juga disebut dengan “masa krisis’
150

dalam kehidupan seseorang karena masa tersebut menuntut perubahan dalam

sikap, nilai dan peran. Keadaan ini sangat terasa bagi partisipan karena dengan

kondisi kanker kolorektal dan penggunaan stoma bag menyebabkan kemampuan

fisik terbatas didalam menjalankan tugas perkembangannya.

Aspek citra tubuh dan penampilan, harga diri, perasaan negatif, dan

kemampuan berpikir, belajar, memori dan konsentrasi, berhubungan signifikan

secara statistik. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi bahwa pasien kanker dengan

ostomi menghadapi beberapa masalah, termasuk kehilangan kondisi kehidupan

yang lebih baik, yang dapat menyebabkan isolasi psikologis dan sosial, dan

terlebih lagi menyebabkan perubahan citra tubuh dan harga diri yang rendah,

perasaan negatif yang mempengaruhi hubungan sosial dan kemampuan belajar.

Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa semuaaspek berkorelasi dengan skor

rata-rata yang diperoleh dalam hubungan Sosial yang menunjukkan bahwa

kanker kolorektal dengan stoma akan mempengaruhi hubungan sosial pasien

(Mitchell et al., 2007).

5.1.6 Mendapat Dukungan dan Perhatian dari Orang yang Berarti dalam

Menghadapi Situasi baru dengan Adanya Stoma

Mendapat dukungan dan perhatian dari orang yang berarti dalam

menghadapi situasi baru dengan adanya stoma merupakan tema yang

diidentifikasi dalam hasil penelitian ini. Dukungan dan perhatian yang diperoleh

partisipan baik berupa dukungan emosional, dukungan financial dan dukungan

fisik.
151

Dukungan sosial (social support) didefenisikan oleh Gottlieb (1983)

sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah

laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam

lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat

memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku

penerimanya. Hasil penelitian Pitman et al. (2008) mengemukakan bahwa secara

teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian

yang dapat menyebabkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi

dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada

kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress.

Partisipan dalam penelitian ini memperoleh dukungan emosional dari

keluarga terutama dari suami dan anak-anak. Dukungan lain juga berasal dari

tetangga dan teman dekat. Dukungan emosional yang paling besar dapat berasal

dari keluarga terutama suami dan anak. Dukungan emosional dapat berupa

perhatian, motivasi, kasih sayang, pengertian, doa. Lukbin & Larsen (2006)

menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial, kunjugan oleh teman dan

berpartisipasi dalam kegiatan kelompok berhubungan dengan kualitas hidup yang

lebih tinggi pada penderita penyakit kronis.

Bentuk dukungan sosial yang diperoleh dalam penelitian ini adalah

dukungan financial dan dukungan fisik. Dukungan tersebut merupakan dukungan

instrumental. Bentuk dukungan financial diperoleh partisipan dengan bantuan

materi yang diberikan keluarga untuk meringankan biaya pengobatan. Bentuk

dukungan fisik pada penelitian ini adalah suami yang sampai rela tidak bekerja
152

untuk mengurus pasangan, mendampingi dan mengantarkan berobat ke rumah

sakit dan anak-anak membantu meringankan pekerjaan partisipan di rumah.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa partisipan yang mendapat

dukungan sosial dari keluarga menunjukkan optimisme terhadap kehidupannya

dan adanya keyakinan terhadap kesembuhan setelah menjalani kolostomi.

Sedangkan partisipan yang tidak mendapat dukungan keluarga mengungkapkan

lebih pasrah terhadap kehidupannya dan adanya anak-anak membuat bersemngat

menjalani kehidupan.

Persepsi terhadap adanya dukungan sosial yang kuat dari teman-teman

dan keluarga dianggap sebagai aspek penting untuk penerimaan positif dari

ostomate, orang-orang dengan dukungan sosial terbatas diidentifikasi mengalami

proses adaptasi yang lebih sulit. Studi menunjukkan bahwa pemahaman, bantuan

dan dukungan dari lingkungan sosial meningkatkan penerimaan diri seseorang

dengan adanya stoma (Martinsson & Josefsson, 1991)

Dukungan sosial menjadi menjadi hal yang penting dan esensial bagi

individu dengan ostomi. Dukungan tersebut harus terdiri dari bagian kehidupan

individu yaitu, keluarga, teman-teman, profesional kesehatan dan individu lain

yang berarti bagi pasien dengan ostomi, sehingga mencapai hubungan pribadi

yang baik. (Dabirian et al, 2011).

5.1.7 Mengalami Tantangan dalam Menjalankan Kegiatan Keagamaan

Temuan penting lain dalam penelitian ini berkaitan dengan kegiatan

agama dan ibadah partisipan. Tema ini mencerminkan partisipan mengalami


153

tantangan dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Partisipan melaporkan

adanya perubahan dalam melakukan kegiatan agama setelah menjalani kolostomi

dan adanya isu-isu religus terkait adanya stoma. Temuan penting lain dalam

penelitian ini berkaitan dengan isu-isu agama. Mayoritas partisipan dalam

penelitian ini melaporkan bahwa ritual keagamaan mereka berubah setelah

menjalani kolostomi tersebut. Data karakteristik demografi partisipan

menunjukkan mayoritas partisipan beragama Islam (75%). Sebagian besar

partisipan yang beragama Islam tidak lagi aktif melakukan sholat atau mengikuti

kegiatan perwiritan, karena adanya isu-isu religius seperti najis, kurang bersih,

tidak yakin ibadahnya diterima. Partisipan yang beragama Kristen tidak

melakukan kegiatan ibadah di gereja karena takut tiba-tiba tidak dapat

mengontrol eliminasi dan flatus selama mengikuti kegiatan ibadah. Partisipan

lebih suka menjalankan kegiatan ibadah di rumah.

Hasil serupa dengan masalah kegiatan ibadah yang diidentifikasi dalam

studi lain yang menunjukkan pelepasan diri dari ritual keagamaan karena adanya

isi stoma bag (Baldwin et al., 2008). Studi lain yang dilakukan dengan

memberikan instrumen kualitas hidup divalidasi untuk 257 orang yang hidup

dengan ostomi di 13 kota di Eropa dan Mediterania, mayoritas responden yang

menjalani reseksi abdomino-perineal dan kolostomi melaporkan bahwa

presponden merasa terdorong untuk berhenti berdoa dan berpuasa (Holzer et al,

2005).

Dalam sebuah studi deskriptif eksploratif di Taiwan dilaporkan bahwa ada

hubungan yang pasti antara kesejahteraan spiritual dan penyesuaian psikologis


154

pada pasien kanker dan stoma (Li et al., 2012). Temuan dalam penelitian

menunjukkan bahwa peserta, yang mengalami kesejahteraan spiritual merasa

lebih mudah untuk menerima keberdaan stoma sehingga merasa lebih mudah

untuk mengatasi dan tetap melanjutkan hidup dengan gaya hidup sehari-hari.

Hal ini didukung oleh penelitian tentang kualitas hidup yang dilakukan di

Mesir pada 28 pasien dengan stoma, mengungkapkan bahwa 61% pasien merasa

tidak layak melakukan shalat berjamaah karena merasa najis (Black, 2009).

Sejalan dengan penelitian tersebut, Kuzu et al. (2002) menjelaskan bahwa ritual

keagamaan terganggu yang dikaitkan dengan berbagai alasan seperti pasien tidak

dapat menerima keadaan mereka sendiri karena kenajisan, ketidakmampuan

untuk melakukan doa sesuai dengan aturan agama dan perasaan tidak layak.

Sejalan dengan hal tersebut, Dabirian et al. (2011) menemukan data

bahwa partisipan terganggu dengan adanya kolostomi saat menjalankan ibadah.

Dalam agama Islam sangat penting harus bersih dan bebas dari feces, terutama

ketika berdoa sehingga perawat perlu memperhatikan dimensi spiritual dan ritual

keagamaan klien. Resiliensi atau kekuatan batiniah, menghargai kehidupan, rasa

syukur dan dukungan keluarga sebagai alasan untuk hidup setelah memiliki

ostomi menjadi harapan pasien ostomi (Grant et al., 2011). Seperti kebanyakan

agama lainnya, penting dalam Islam harus bersih dan bebas dari feces, terutama

ketika berdoa, sehingga perawat perlu memperhatikan aspek spiritual dengan

mengoptimalkan kebersihan pasien dengan optimal (Dabirian, 2011).


155

5.1.8 Berupaya Menerima Stoma Sebagai Bagian dari Tubuh

Kolostomi telah menyebabkan adanya perubahan dalam hidup pasien.

Pasien harus menerima kondisi kehidupan yang baru karena adanya stoma.

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan upaya ostomate yang baru menjalani

kolostomi menerima kehidupan baru. Tema ini terdiri dari beberapa kategori

yaitu 1) Kemandirian ostomate yang baru menjalani kolostomi, 2) menggunakan

stoma bag hasil kreativitas sendiri, 3) melakukan penyesuaian dengan adanya

stoma, 4) perilaku adaptasi yang dilakukan ostomate

Kemandirian ostomate terlihat dari kemampuan mengelola dan

memajemen adanya stoma bag. Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi

mengganti stoma bag yang dilakukan partisipan bervariasi mulai dari 1 sampai 5

kali sehari dengan waktu mengganti stoma mulai dari terisi sedikit, terisi ½, terisi

sedikit, terasa berat, atau karena bau muncul partisipan mengganti stoma bag

yang baru. Kolostomi harus mulai berfungsi dalam 2 sampai 4 hari pasca operasi.

Ketika mulai berfungsi, kantong perlu sering dikosongkan karena pengumpulan

gas berlebih. Pengosongan dilakukan ketika feses sudah mencapai 1/3 hingga 1/2

pada kantung kolostomi. Feses yang berbentuk cair keluar segera setelah operasi,

tetapi menjadi lebih solid, tergantung lokasi stoma (Ignatavicius & Workman,

2013).

Jenis kantong yang digunakan partisipan pada umumnnya jenis one piece

yang menggunakan plastik gula. Tetapi dengan berbagai alasan, partisipan

memodifikasi kantong dengan membuat kreativitas sendiri. Jenis kantong buatan

sendiri tersebut dibuat dari bahan kantong plastic ukuran ½ atau ¼ kg dengan
156

membuat lobang sesuai ukuran stoma, kemudian perekatnya menggunakan

double tip atau hipavix. Salah seorang partisipan juga membuat kreativitas

kantong dengan menggunakan batok kelapa dan plastik gula.

Stoma hasil kreativitas partisipan sering menjadi sumber

ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan dengan kantong yang diungkapkan

partisipan temasuk risih, kantong panas, kulit bergaris dibuat kantong, tidak

nyaman di perut, repot mengganti, takut kantong lepas, perasaan was-was

kantong bocor. Meskipun sebagian besar partisipan mengungkapkan

ketidaknyamanan dengan kantong, salah seorang partisipan justru

mengungkapkan bahwa dengan membuat stoma bag sendiri, partisipan dapat

menyetel sendiri hal-hal yang kurang dengan kantongnya dan merasa stoma bag

buatan sendiri lebih nyaman di perut. Partisipan lain juga mengungkapkan hal

yang sama bahwa dengan pemakaian kantong buatan sendiri yang terbuat dari

batok kelapa lebih nyaman karena batok kelapa tersebut dapat menyerap keringat

dan tidak panas di kulit.

Sistem pouching yang baik perlu mempertimbangkan panjang stoma,

kontur dan bentuk abdomen, lokasi stoma, bekas luka dan lipatan di dekat stoma,

dan tinggi dan berat badan semua harus dipertimbangkan. Sistem pouching yang

baik harus aman dan tahan bocor yang berlangsung hingga 3 hari, tahan bau,

melindungi kulit di sekitar stoma, hampir tidak terlihat di bawah pakaian, mudah

untuk dipakai dan dilepas.

Sistem pouching dirancang untuk lama pemakaian yang berbeda. Ada

sistem kantong yang diganti setiap hari, setiap 3 hari atau lebih, dan ada yang
157

hanya seminggu sekali. Beberapa kantong dapat dibersihkan dan digunakan

kembali. Tergantung pada jenis kantong yang digunakan. Dalam banyak kasus,

pagi hari sebelum makan atau minum adalah waktu terbaik untuk mengosongkan

kantong kolostomi (UOAA, 2011).

Metode merawat stoma yang dilakukan partisipan dilakukan dengan

mencegah jangan sampai kotoran mengenai kulit, menggunakan alat dan bahan

untuk merawat stoma termasuk penggunaan Nacl, betadin, tisu basah untuk

membersihkan stoma. Pengguanaan bedak dan stagen untuk mencegah iritasi

pada stoma. Mengganti sistem pouching secara teratur perlu untuk menghindari

kebocoran dan iritasi kulit. Gatal dan terbakar adalah tanda-tanda bahwa kulit

perlu dibersihkan dan sistem pouching harus diganti. Jangan merobek sistem

pouching dari kulit atau mengganti lebih dari sekali sehari kecuali ada masalah.

Melepaskan barier kulit dengan lembut dan mendorong kulit jauh dari perekat

barier daripada menarik barier dari kulit, membersihkan kulit sekitar stoma

dengan air, kemudia dikeringkan sebelum mengenakan penutup, barier kulit,

atau kantong. Stoma diupayakan tertutup selama mandi (ACS, 2014).

Persiapan kulit mungkin termasuk mencukur rambut peristomal (bergerak

dari stoma luar) untuk mencapai permukaan yang halus, mencegah

ketidaknyamanan ketika appliance akan diangkat, dan meminimalkan risiko

folikel rambut yang terinfeksi. Menyarankan pasien untuk membersihkan sekitar

stoma dengan sabun lembut dan air sebelum memasang sebuah alat. Pasien juga

harus menghindari penggunaan sabun pelembab untuk membersihkan daerah

tersebut karena lubrikan dapat mengganggu adhesi atau perekatan alat.


158

Kemampuan partisipan untuk beradaptasi tergantung stressor dan

karakteristik individu. Berdasarkan hasil penelitian ini, partisipan melakukan

berbagai penyesuaian yang menimbulkan perilaku adaptasi baik perilaku yang

adaptif maupun perilaku inefektif. Partisipan menunjukkan sikap pasrah,

menjalani hidup dengan tabah dan sabar, tidak mau terlalu memikirkan penyakit,

tetap semangat, mendekatkan diri kepada Pencipta.

Dalam istilah psikologi, adaptasi mengacu pada penyesuaian individu

terhadap lingkungan atau suatu keadaan. Hal ini melibatkan banyak lapisan

fungsi yang mencakup tingkat fisik, kognitif dan emosional. Adaptasi mengacu

kepada proses penanganan yang mendukung kesejahteraan psikologis. Individu

dengan stoma harus menghadapi perubahan substansial dalam perubahan

eliminasi bowel dan dan citra tubuh. Proses transformatif ini membutuhkan aspek

baik penyesuaian psikologis dan sosial. Penyesuaian dengan adanya stoma,

didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap dampak keseluruhan dari stoma

termasuk self care, citra tubuh dan kualitas hidup. Individu akan menggunakan

berbagai sumber daya untuk merespon tantangan hidup dengan stoma. Proses ini

termasuk menggunakan sumber daya dalam diri mereka sendiri, penerimaan dan

dukungan dari orang lain yang signifikan dalam hidup pasien (Strode, 2012).

Banyak penderita kanker kolorektal dengan stoma, yang telah mampu

memanajemen hidup mereka ke dalam kehidupan yang lebih baik, menunjukkan

keterampilan koping kognitif dan perilaku yang dapat menjadi contoh kepada

penderita yang lain. Strategi adaptasi ini berguna bagi mereka yang baru
159

menjalani kolostomi maupun bagi mereka yang memiliki mengatasi kesulitan

adaptasi atau yang perilakunya inefektif (Hornbrook et al., 2008).

Berdasarkan penelitian Krouse et al. (2007) yang bertujuan untuk

membandingkan kualitas hidup pasien kanker kolorektal yang menggunakan

kolostomi dengan yang tidak menggunakan. Penelitian ini dilakukan tehadap

1457 responden kanker kolorektal dan 599 diantaranya hidup dengan kolostomi,

hasilnya menunjukkan bahwa terdapat dampak negatif kolostomi terhadap

kualitas hidup dan hampir keseluruhan responden mengalami kesulitan untuk

berdaptasi dengan kolostomi.

Selain perilaku adaptif, beberapa partisipan juga mengungkapkan adanya

perilaku inefektif seperti belum bisa beradaptasi dengan lingkungan, kehilangan

semangat, takut ditinggalkan keluarga, sedih. Hal ini lebih banyak terlihat pada

ungkapan partisipan yang baru menjalani kolostomi kurang dari 1 bulan (16,7%)

dibandingkan dengan partisipan yang telah menjalani kolostomi selama 1-3 bulan

(83,3%). Bahkan salah seorang partisipan yang berusia 26 tahun mengungkapkan

tidak mau mengganti kantong karena merasa jijik, tidak mau perduli cara

mengganti kantong.

Penggunaan kantong kolostomi memang menghadirkan tantangan untuk

penyesuaian dengan kondisi hidup yang baru dan pasien ostomi kadang-kadang

hidup dengan rasa kehilangan, kesedihan sebelum menemukan kekuatan dalam

mengelaborasi dan menerima kondisi barunya. Resolusi kesulitan yang dihadapi

oleh pasien dengan ostomi tersebut adalah terkait dengan disposisi internal,

dukungan dari keluarga, para profesional kesehatan dan penerimaan (Shaffy et


160

al., 2012). Pasien dengan ostomi perlu untuk menyesuaikan diri dan sampai

mereka dapat percaya bahwa hidup seoptimal mungkin dapat dicapai, kemudian

perlu memobilisasi diri untuk melakukan perawatan diri dan termotivasi untuk

mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan ostomi dan merekonstruksi

kehidupan mereka dengan kondisi baru. Rasa kesulitan atau gangguan yang

dialami harus diganti dengan rasa kemungkinan dan keyakinan. Dalam hal ini,

disorganisasi atau gangguan dalam kehidupan yang disebabkan oleh penyakit

perlu diperbaiki kembali sebagai kesempatan untuk menata ulang kehidupan

(Farias et al., 2004).

5.2 Keterbatasan Penelitian

Peneliti memiliki keterbatasan menentukan partisipan karena partisipan

yang memenuhi kriteria inklusi maksimal 3 bulan setelah menjalani kolostomi

dengan end stoma yang diperoleh dari data rekam medik RSUP HAM hanya

sekitar 20 orang yang berasal dari berbagai wilayah di Propinsi Sumatera Utara.

Peneliti mengalami kesulitan menghubungi partisipan karena nomor telepon

berubah dibandingkan dengan data yang diperoleh dari rekam medik.

Keterbatasan lain yang dihadapi peneliti adalah dalam melakukan kontrak

waktu dengan partisipan karena mayoritas partisipan yang telah dihubungi dan

bersedia berpartisipasi dalam penelitian berada di luar kota Medan di antaranya

Lubuk Pakam, Serdang Bedagai, Aceh, Toba Samosir, Siantar. Prolonged

engagement yang dilakukan kepada partisipan yang berada di daerah Aceh,

Tobasa dan Siantar dilakukan melalui alat komunikasi. Wawancara selanjutnya


161

dilakukan di ruang kemoterapi RSUP Haji Adam Malik ketika partisipan

dijadwalkan melakukan kemoterapi. Partisipan yang berada di kota Medan dan

ditemui di rumah tetapi kondisi lingkungan rumah yang terkadang kurang

kondusif membuat peneliti tidak cukup sekali datang saja, tapi bisa 2 kali untuk

dapat menggali fenomena yang dialami partisipan.


162

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Peneliti mengidentifikasi delapan tema terkait kualitas hidup pasien

kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma. Tema

tersebut adalah 1) Mengalami gejala kanker kolorektal sebelum dilakukan

tindakan kolostomi, 2) Merasakan peran tenaga kesehatan (dokter dan perawat)

pada ostomate yang baru menjalani kolostomi, 3) Mengalami penurunan

kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, 4) Menjalani

Kehidupan Baru yang Menimbulkan Stress dan Perubahan Emosi, 5) Mengalami

Kesulitan dalam Bersosialisasi dengan Adanya Stoma Baru, 6) Mendapat

Dukungan dan Perhatian dari Orang yang Berarti dalam Menghadapi Situasi Baru

dengan Adanya Stoma, 7) Mengalami Tantangan dalam Menjalankan Kegiatan

Keagamaan, 8) Berupaya Menerima Stoma sebagai Bagian dari Tubuh.

Hasil penelitian berdasarkan tema-tema yang telah diidentifikasi bahwa

ostomate yang baru menjalani kolostomi dengan end stoma mengalami

penurunan aspek kualitas hidup yang mencakup domain fisik, psikologis, sosial

dan spiritual. Masalah yang pada umumnya banyak diungkapkan partisipan

adalah masalah yang berkaitan dengan domain fisik yang bersumber dari

ketidakmampuan memanajemen adanya stoma baru dan penggunaan stoma bag

yang tidak standar.


163

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, diberikan beberapa saran terhadap pihak

rumah sakit, pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan.

6.2.1 Praktik Keperawatan dan Rumah Sakit

1. Bagi Tenaga Kesehatan (Dokter dan Perawat)

Peran tenaga kesehatan sangat penting untuk membantu ostomate

beradaptasi dengan fase baru setelah menjalani kolostomi melalui edukasi pre

operasi, stoma site marking, dan edukasi pasca operasi. Jika ostomate menerima

perawatan yang tepat, mereka dapat mengatasi adanya stoma dan dapat

melanjutkan kehidupan yang independen dengan waktu yang relatif singkat.

Sebagian besar masalah yang dialami oleh ostomate berkaitan dengan

pengalaman dan keahlian mereka dalam perawatan stoma. Ostomate memiliki

kesempatan terbaik untuk kembali ke kehidupan sosial jika mereka menerima

pendidikan berkelanjutan tentag perawatan stoma selama transisi dari rumah sakit

dan setelah kembali ke rumah. Perawat memiliki peran penting untuk

memberikan layanan konseling dan intervensi skill building agar ostomate

termotivasi dan memiliki rasa percaya diri dan mampu mengelola adanya stoma

sehingga berdampak kepada peningkatan aspek kualitas hidup. Interaksi antara

tenaga kesehatan (dokter dan perawat) dan ostomate serta support system harus

bersinergi untuk memberikan kesempatan bagi ostomate dalam mengekspresikan

kebutuhan kebutuhan emosional, spiritual dan psikologis dan aspek lain yang

berkaitan dengan kualitas hidup.


164

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam manajemen

kolostomi agar menghasilkan perawatan berkualitas bagi ostomate, tenaga

kesehatan baik dokter maupun perawat perlu memperhatikan dan memberikan

hak pasien sebagai ostomate (ostomate bill of rights). Dengan demikian,

diharapkan tenaga kesehatan baik dokter dan perawat bekerja sama memberikan

hak-hak pasien tersebut yaitu: 1) Konseling preoperasi, 2) Konseling tentang

letak stoma yang tepat, 3) Memiliki stoma yang bentuknya baik, 4) Perawatan

pasca operasi, 5) Memperoleh dukungan emosional, 6) Bimbingan individu dan

keluarga, 7) Informasi tentang peralatan yang diperlukan sesuai dengan indikasi,

8) Adanya informasi di masyarakat tentang perkumpulan bagi para ostomate, 9)

Mendapatkan tindak lanjut dan supervisi sepanjang hidup, 10) Pelayanan dari tim

kesehatan yang profesional, 11) Memperoleh informasi dan konseling dari

asosiasi ostomi dan anggotanya.

2. Bagi Manajemen Rumah Sakit

Penelitian ini merekomendasikan kepada manajemen rumah sakit tentang

perlunya aplikasi stoma site marking yang harus dilakukan oleh perawat spesialis

perawatan stoma (Stoma Care Nurse Specialist [CNS]) atau Stomal Therapy

Nurse (STN). Masalah besar dapat timbul jika pasien tidak dapat melakukan

perawatan diri karena stoma sulit dilihat atau jika iritasi kulit terjadi karena

produk tidak dapat ditempatkan dengan benar pada abdomen. Penempatan yang

tidak benar dapat mengakibatkan komplikasi dan dapat berdampak negatif

terhadap kesehatan psikologis dan emosional, sedangkan penempatan yang benar


165

meningkatkan kemungkinan kebebasan pasien dalam perawatan stoma dan

dimulainya kembali aktivitas normal. Dengan demikian, pihak rumah sakit perlu

meningkatkan skill perawat dengan memberikan kesempatan pelatihan tentang

perawatan stoma sampai memiliki kemampuan, pengalaman, terlatih dan

tersertifikasi dalam melakukan perawatan pada pasien ostomi yang pada akhirnya

meningkatkan kemandirian pasien dalam dan peningkatan kualitas hidup pasien.

Penelitian ini juga merekomendasikan kepada pihak manajemen rumah

sakit sebaiknya menggunakan sistem pouching atau stoma bag yang standar.

Pasien yang akan pulang ke rumah sebaiknya disarankan untuk menggunakan

kantong stoma yang nyaman sesuai dengan kebutuhan pasien agar rasa percaya

diri pasien meningkat, jenis one piece drainable, memiliki filter atau stoma bag

dengan sistem two piece pouches. Pasien yang baru menjalani kolostomi perlu

memperoleh informasi bahwa sistem pouching yang baik harus aman dan tahan

bocor yang berlangsung hingga 3 hari, tahan bau, melindungi kulit di sekitar

stoma, hampir tidak terlihat di bawah pakaian, mudah untuk dipakai dan dilepas.

Bagi pasien yang tidak mampu, perawat dapat mengajarkan agar

memodifikasi kantong stoma contohnya dengan cara menggunakan kantong

plastik gula yang ditempel menggunakan double tape atau plastik tersebut hanya

dilubangi sesuai lebarnya diameter stoma pada bagian tengah atas, kemudian

bagian sisi kiri dan kanannya diberi tali untuk ikat pinggang. Tetapi aspek yang

paling penting diperhatikan adalah edukasi perawatan stomanya walaupun

menggunakan kantong yang tidak standar.


166

6.2.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini juga direkomendasikan bagi institusi pendidikan agar

mempersiapkan mahasiswa yang akan melakukan praktik lapangan dalam

mengaplikasikan asuhan keperawatan yang holistik pada pasien kanker

kolorektal yang baru menjalani kolostomi baik yang masih berada di rumah sakit

maupun yang telah kembali ke komunitas sehingga membantu meningkatkan

kualitas hidup pasien.

6.2.3 Penelitian Keperawatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melakukan

penelitian kualitatif yang lebih mendalam terhadap tema-tema yang telah

diperoleh. Penelitian selanjutnya disarankan dapat menggali tentang kualitas

hidup pasien dengan kanker kolorektal yang baru menjalani kolostomi dengan

end stoma dengan merekrut lebih banyak partisipan atau menggunakan berbagai

metodologi fenomenologi sehingga bisa didapatkan hasil dengan tema-tema

lainnya yang belum didapatkan dalam penelitian ini dan diperoleh perbandingan

dengan hasil penelitian ini.


167

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2014). Cancer facts and figure 2014. Atlanta:
American Cancer Society Incorporation. Diunduh dari
http://www.cancer.org/acs/groups/content/acspc-042151.pdf.

American Cancer Society. (2014). Colostomy : A Guide. Atlanta: American


Cancer Society Incorporation. Diunduh dari
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/002823-pdf.

Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2006). Nursing theorist and their work. Six
Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Baldwin, C. M., Grant ,M., Wendel, C., Hornbrook. M.C., Herrinton, L.J.,
McMullen, C., Krouse, R.S. (2009). Gender differences in dleep
disruption and fatigue on quality of life among persons with ostomies.
Journal of Clinical Sleep Medicine, 5(4), 335– 343

Backes, M. T. S., Backes , D. S., & Erdmann, A. L. (2012). Feelings and


expectations of permanent colostomy Patients. Journal of Nursing
Education and Practice, 2 (3), 1-7. doi: 10.5430/jnep.v2n3p9.

Black, P. (2000). Holistic Stoma Care. London: Balliere Tindall.

Black, P.K. (2004). Psychological, sexual, and cultural issues for patients with
the stoma. Journal Nursing, 13 (1), 692–695

Black, P. 2009. Cultural and religious beliefs in stoma care nursing. British
Journal of Nursing, 18(13): 790-793.

Brown, H., & Randle, J. (2005). Living with a stoma: A review of the literature.
Journal of Clinical Nursing, 14, 74-81.

Brown, J. R., & DuBois, R. N. (2005). A molecular target for colorectal cancer
prevention. J. Clin. Oncol, 23(12), 2840-2855.

Baldwin, C. M., Grant, M, Wendel, C,, Rawl, S., Schmidt, C,M., Ko, C.( 2008).
Influence of intestinal stoma on spiritual quality of life of U.S. veterans.
Journal Holistic Nursing, 26, 185‑94.

Cohen A. M, Minsky B. D, Schilsky R. L. (2001). Cancer of the colon. In: Devita


L.T, Hellman S., Rosenberg S.A., eds. Cancer: Principles and Practice of
Oncology. (5th ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
168

Coons, S. J., Chongpison, Y., Wendel, C. S., Grant, M., Krouse, R. S. (2007).
Overall quality of life and difficulty paying for ostomy supplies in the
Veterans Affairs ostomy health-related quality of life study: an exploratory
analysis. Med Care, 45(9), 891-895.

Canada Care Medical. (2013). Colostomy care. Diunduh dari http://


www.canadacaremedical.com/ostomy/ColostomyCare.php

Camilleri, B., J., Steele, R. J. C. (2001). Prospective analysis of quality of life and
survival following mesorectal excision for rectal cancer. Br J Surg, 88,
1617–1622.

Cresswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry research design: choosing among five
approaches. (2nd ed). London: Sage Publications.

Daniels, R., & Nicoll, L. H. (2012). Contemporary medical surgical nursing.


United State of America: Cengage Learning

Dabirian, A., Yaghmaei, F., Rassouli, M., Tafreshi, M. Z. (2011). Quality of life
in ostomy patients: a qualitative study. Journal of Patient Prefer
Adherence. 21(5), 1-5. doi: 10.2147/PPA.S14508.

Depkes. (2008). Deteksi Dini Kanker Usus Besar. Diunduh dari


(http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/KankerUsus011106.htm.

Dubois. (2008). Neoplasms of the large intestine. (23rd ed). Philadelphia:


Saunders.

Eucomed Medical Technology. (2012). Access to ostomy supplies and


innovation: guiding principles for European payers. Diunduh dari http://
www.medtecheurope.org/uploads/Modules/Publications/ostomybackgrou
nd-paper.pdf.

Fallowfield, L. (2002). Quality of life: a new perspective for cancer patients. Nat
Rev Cancer, 2, 873–879.

Farias, D. H. R, Gomes, G. C., Zappas, S. (2004). Living with an ostomy:


knowing to better care. Cogitare enferm, 9(1), 25-32.

Felce, D., & Perry, J. (1995). Quality of life: its definition and measurement. Res
Dev Disabil, 16 (1), 51-74.

Felder, B.E. (2004). Hope & coping in patients with cancer diagnosis. Journal of
Cancer Nursing, 27(4), 320-324
169

Flanagan, J., & Holmes, S. (2000). Social perception of cancer and their impact:
implications for nursing practice arising from the literature. Journal of
Advanced Nursing, 32(3), 740-749.

Gao, F., Cheng, K., Zhao, F., Chen, Y., Li, L.H., Dong, H. (2001). Prevalence
and characteristics of anemia in patients with solid cancers at diagnosis in
Southwest China. Asian Pacific J Cancer , 12, 2825-2828.

Grant, M., Ferrel, B., Dean, G., Uman, G., Chu, D., Krouse, R. (2004). Revision
and psychometric testing of the city of hope quality of life–ostomy
questionnaire. Kluwer Academic Publishers, 13, 1445–1457.

Grant et al. (2011). Gender Differences in Quality of Life Among Long-Term


Colorectal Cancer Survivors With Ostomies. Oncology Nursing Forum,
38 (5), 1-11.

Gutman, N. (2011). Colostomy guide. Diunduh dari http://www.ostomy.org/


ostomy_info/pubs/ColostomyGuide.pdf.

Goz, F., Karaoz, S., Ekis, S., Cetin, I. (2007), Effect of the diabetic patient’s
perceived social support on their quality of life. Journal of Clinical
Nursing, 16, 1353-1360.

Gottlieb, B.H. 1983. Social Support Strategies Guidelines for Mental Health
Practices. London: Sage Publications

Hampton, S. (2007). Care of a colostomy. Journal of Community Nursing, 21(9),


20-24.

Hamilton, W., & Sharp, D. (2004). Diagnosis of Colorectal cancer in primary


care: the evidence base for guidelines. Family Practice; 21 (1), 99-106.

Hornbrook, M.C., McMillan, C., Grant, M., et al. (2008). The greatest challenges
reported by long-term colorectal cancer survivors with stomas. Journal of
Supportive Oncology, 6, 175-82.

Holzer B, Matzel K, Schiedeck T, et al. (2005) Do geographic and educational


factors influence the quality of life in rectal cancer patients with a
permanent colostomy?, Diseases of the Colon and Rectum, 48, 9-16.

Hurlock, E. (1994). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical-surgical nursing,


patient-centered collaborative care. (7th ed.). United State of America:
Saunders Elsevier.
170

International Agency for Research on Cancer (IARC). (2014). World cancer


report. Diunduh dari http://www.iarc.fr/en/publications/books/wcr/wcr-
order.php.

Junkin, J., & Beitz, J. (2005). Sexuality and the person with a stoma. Journal of
Wound, Ostomy and Continence Nursing, 32(2), 121-28.

Kirkevold, M., & Bergland, A. (2007). The quality of qualitative data: Issues to
consider when interviewing participants who have difficulty providing
detailed accounts of their experiences. International Journal of
Qualitative Studies on Health and Wellbeing, 2, 68–75.

Krouse, R., Grant, M., & Ferrell, B. (2007). Quality of life outcomes in 599
cancer and non-cancer patients with colostomies. J Surg Res, 138, 79–87.

Krouse R. S., Herrinton, L. J., & Grant, M. (2009). Health-related quality of life
among long-term rectal cancer survivors with an ostomy: manifestations
by sex. JClin Oncology, 27(28), 4664–70.

Krouse R. S., Grant M., & Rawl S. M. (2009) Coping and acceptance: The
greatest challenge for veterans with intestinal stomas. Journal of
Psychosomatic Research, 66, 227-232.

Karadag, A., Mentes, B., Uner, A., Irkorucu, O., Ayaz, S., & Ozdan, S. (2003).
Impact of stomatherapy on quality of life in patients with permanent
colostomies or ileostomies. International Journal of Colorectal Disease,
18, 234-238.

Kuzu, M.A., Topcu, O., Ucar, K., Ulukent, S., Unal, E., Erverdi, N., & Demirci,
S. (2002). Effect of sphinctersacrificing surgery for rectal carcinoma on
quality of life in Muslim patients. Diseases of the Colon &Rectum,
45(10): 1359–1366.

Lehto, U. S., & Lehtinen, K. (2005). Predictors of quality of life in newly


diagnosed melanoma and breast cancer patients. Ann Oncol, 16(5), 805-
816.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Buher, L., Camera, I. M. (2011).
Medical-Surgical Nursing. (8th ed.). Missouri: Mosby Elsevier.

Leung, W. K, Ho, K. Y., Kim, W. H. (2006). Colorectal neoplasia in Asia: a


multicenter colonoscopy survey in symptomatic patients. Gastrointestinal
Endoscopy, 64, 751-759.
171

Liu, B. C. (1976). Quality of Life Indicators in US Metropolitan Areas: A


Statistical Analysis. New York: Praeger Publishers
Li, C., Rew, L. & Hwang, S. (2012). The relationship between spiritual well-
being and psychosocial adjustment in Taiwanese patients with colorectal
cancer and a colostomy. Journal ofs Wound Ostomy Continence Nursing,
39(2), 161-169.

Lubkin, M., I., & Larsen, D. P. (2006). Chronic Illness Impact and Intervention,
6th ed, Massachusetts: Jones and Barlett Publisher

Maydick, D.R. (2014). Individuals with ostomy: quality of life and out of pocket
financial cost for ostomy management. Nursing economy journal, 32 (4),
1-8.

Mariotto, A.B., Yabroff, K.R., Feuer, E.J., De Angelis, R., & Brown, M. (2006).
Projecting the number of patients with colorectal carcinoma by phases of
care in the US: 2000–2020. Cancer Causes and Control, 17, 1215–1226.
doi:10.1007/s10552-006-0072-0.

Mattioli. (2008). The meaning of hope and social support in patients receiving
chemotherapy, Oncology Nursing Forum, 35(5), 822-829.

Martinsson, E.S., & Josefsson, M. (1991) Working capacity and quality of life
after undergoing an ileostomy. Journal of Advance Nursing, 16, 1035-41.

Melville, D., & Baker, C. (2011). Ileostomies and colostomies. Intestinal Surgery
I, 29 (1), 39–43. doi: 10.1016/j.mpsur.2010.10.001.

McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L., & Rote, N. R. (2010).


Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children,
6th ed. St. Louis: Mosby.

Mitchell, K. A., Rawl, S. M., & Schmidt, C. M. (2007). Demographic, clinical,


and quality of life variables related to embarrassment in veterans living
with an intestinal stoma. Journal Wound Ostomy Continence Nurs, 34,
524–532.

Mahjoubi, B., Moghimi, A., Mirzael, R., & Bijari, A. (2005). Evaluation of the
end colostomy complications and the risk factors influencing them in
Iranian patients, Colorectal Disease,7, 582-587

National Institute for Health and Clinical Excellence. (2005). Referral Guidelines
for Suspected Lower Gastrointestinal Cancer. NICE: London

Nussbaum R. L., McInnes R. R., & Willard H. F. (2007). Thompson and


Thompson’s genetics in medicine. Philadelphia: Saunders.
172

Nichols, T., & Riemer, M. (2008). The impact of stabilizing forces on


postsurgical recovery in ostomy patients. Journal Wound Ostomy
Continence Nurs, 35, 316–320.

Newton, S. (2009). Oncology nursing advisor comprehensive guide to clinical


practice. St. Louis: Mosby.

Otto, E.S. (2001). Oncology Nursing, 4th ed, Philadelpia: Mosby

Pittman, J., Rawl, S., Schmidt, C. M. (2008). Demographic and clinical factors
related to ostomy complications and quality of life in veterans with an
ostomy. Journal Wound Ostomy Continence Nurs, 35(5), 493-503.

Pittman, J., Kozell, K., & Gray, M. (2009) Should WOC nurses measure health-
related quality of life in patients undergoing intestinal ostomy surgery?
Journal Wound Ostomy Continence Nurs, 36(3), 254–65.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2012). Nursing research : generating and assessing
evidence for nursing practice. (9th ed.). Newyork: Lippincott Williams &
Wilkins

Persson, E., & Hellstrom, A.L. (2002). Experiences of Swedish men and women
6 to 12 weeks after ostomy surgery. Journal of Wound, Ostomy, and
Continence Nursing, 29 (2), 103-108.

Rai, S., & Kelly, M.J. (2007). Prioritization of colorectal referrals: a review of the
2-week wait referral system. Colorectal Disease, 9 (3), 195-202.

Ruddon, R., W. (2007). Cancer biology. (4th ed.). New York: Oxford Iniversity
Press, Inc.

Richbourg, L, Thorpe J. M., & Rapp C. G. (2007). Difficulties experienced by the


ostomate after hospital discharge. Journal Wound Ostomy Continence Nurs,
34, 70–79.

RS Dharmais. (2013). Deteksi dini dan promosi kesehatan : kanker kolorektal


(usus besar dan rektum). Diunduh dari
http://www.dharmais.co.id/index.php/kanker-kolon.html.

Rutledge, M., Thompson, M.J., & Boyd-Carson, W. (2003). Effective stoma


sitting. Journal of Nursing Standard, 18 (12) 43-44

Saldana, J. (2011). Fundamentals of qualitative research. New York: Oxford


University Press, Inc.
173

Syamsuhidajat, R, Jong, W. D, (eds). 2004. Buku ajar Ilmu Bedah (2nd ed).
Jakarta. EGC

Sands, L. & Marchetti, F. (2011). Intestinal stomas. The Ascrs textbook of colon
and rectal surgery. (2nd ed.) Eds. Beck, D., Roberts, P. & Saclarides.

Siassi, M., Hohenberger, W., Losel, F., Weiss, M. (2008). Quality of life and
patient’s expectations after closure of a temporary stoma. International
Journal Colorectal Disease, 23, 7‑12.

Swan, E. (2010). Colostomy, management and quality of life for the patient.
British Journal of Nursing, 19, 1346-1350.

Symms, M. R., Rawl, S. M., Grant, M., Wendel, C. S., Coons, S. J., Hickey, S.
(2008). Sexual health and quality of life among male veterans with
intestinal ostomies. Clinical Nurse Specialist, 22(1), 30-40.

Shaffy, Kaur, S., Das, K., Gupta, R. (2012). Physical, nutritional and sexual
problems experienced by the patients with colostomy/ileostomy: A
qualitative study. Nursing and Midwifery Research Journal, 8(3), 1-13.

Shaffy, Kaur, S., Das, K., Gupta, R. (2014). Psychosocial experiences of the
patients with colostomy/ileostomy : A qualitative study. Indian Journal of
Social Psychiatry, 30 (1), 28-34.

Sharour, L. A. (2013). Changes in Quality of Life among Jordanian Colorectal


Cancer Patients: A Qualitative Study. Journal of Education and Practice,
4(25), 1-9.

Soeripto. (2007). Gastro-intestinal cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of


Cancer Prevention. Diunduh dari (http://www.apocp.org/
cancer_download/Soeripto.pdf

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Medical
surgical nursing. (12th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Smith, D. M., Loewenstein, G., Rozin, P., Sherriff, R. L., Ubel, P. A. (2007).
Sensitivity to disgust, stigma, and adjustment to life with a colostomy. J
Res Pers, 41, 787–803.
Streubert, H. J., & Carpenter, D. R. (2011). Qualitatif research in nursing:
Advancing the humanistic imperative. Philadelphia: J.B. Lippincott
Company.

Szczepkowski, M. (2002). Do we still need a permanent colostomy in XXI-st


century?, Acta Chir Iugosl, 49(2), 45-55.
174

Strode, J.D. (2012). How do people adjust to living with a stoma? A nurse's
search of the literature. The Waikato Institute of Technology School of
Health. Diunduh dari http://researcharchive.wintec.ac.nz

Toth, P. (2010). Ostomy pearls: a concise guide to stoma siting, pouching


systems, patient education and more. Adv Skin Wound Care. 16, 146–152.

Taylor, C. (2012). Best practice in colorectal cancer care. Nursing Times,


108(10): 12, 22-25.

Umpierrez, F. & Hernan, A. (2013). Living with an ostomy: Perceptions and


expectations from a social phenomenological perspective. Journal of
Universidade Federal de Santa Catarina Santa Catarina Brasil, 22(3),
687-694.

United Ostomy Association of America. (2011). Colostomy Guide. Diunduh dari


http://www.ostomy.org/uploaded/files/ostomy_info/ColostomyGuide.pdf?
direct=

Visovsky, C.,& Schneider, S., ( 2003) "Cancer-Related Fatigue. Online Journal


of Issues in Nursing, 8 (3). Diunduh dari
www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeri
odicals/OJIN/TableofContents/Volume82003/No3Sept2003/HirshArticle/
CancerRelatedFatigue.aspx

Weiss, G., & Goodnough, L. T. (2005). Anemia of chronic disease. N Engl J


Med, 352, 1011-1023.

William, L. S., & Hopper, P. D. (2003). Understanding medical surgical nursing.


Philadelphia : Davis Company.

WOCN Society. (2008). Basic ostomy skin care.diunduh dari http://www.


ostomy.org/ostomy_info/wocn/wocn_basic_ostomy_skin_care.pdf.

World Health Organization (WHO). (2012). Worldwide cancer incidence


statistics. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs297/en/.

WHOQOL Group. (1998a). The World Health Organization Quality of Life


assessment (WHOQOL): Development and general psychometric
properties. Social Science and Medicine Journal, 46, 1569–1585.

WHOQOL Group. (1998b). Development of the World Health Organization


WHOQOL-BREF quality of life assessment. Psychol Med, 28, 551–558.
175

Yayasan kanker Indonesia (YKI). (2012). Bidang kegiatan YKI. Diunduh dari
http://yayasankankerindonesia.org/tentang-ykia01/.

Zendrato, Tuhozaro. (2009). Karakteristik penderita kanker kolorektal yang


rawat inap di RSUP H. Adam Malik Tahun 2005-2007. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14655.

Zhang, Y. (2008). Encyclopedia of global health. Thousand Oaks, CA: SAGE


Publications, Inc. doi: 104135/9781412963855.

.
LAMPIRAN 1

INSTRUMEN PENELITIAN

176
177

PENJELASAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ruth DJ Pakpahan

NIM : 137046019)

Program Studi : S2 Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Keperawatan,

Universitas Sumatera Utara.

Judul Penelitian : Kualitas Hidup Pasien Kanker Kolorektal dengan

Kolostomi

Saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam

penelitian ini. Sebagai partisipan keikutsertaan Bapak/Ibu tidak akan memberikan

dampak/resiko ataupun pengaruh yang merugikan. Untuk itu apabila timbul hal–

hal yang menyebabkan ketidaknyamanan, Bapak/Ibu berhak secara penuh untuk

mengundurkan diri atau menolak menjadi partisipan. Peneliti menjamin

kerahasiaan informasi dan identitas yang diberikan dan digunakan hanya untuk

kepentingan penelitian.

Saya akan melengkapi data-data Bapak/Ibu sesuai dengan pedoman yang

saya buat. Kemudian saya akan melakukan wawancara mendalam dengan

mengajukan beberapa pertanyaan terbuka sesuai dengan pedoman wawancara.

Wawancara akan dilakukan selama 60-90 menit sesuai dengan kesepakatan

antara saya dengan Bapak/Ibu. Apabila ditemukan kekurangan informasi maka

akan dilakukan wawancara selanjutnya sesuai dengan waktu yang disepakati

bersama. Selama wawancara berlangsung, Bapak/Ibu diharapkan menyampaikan


178

pengalamannya secara terbuka mengenai pengalaman Bapak/Ibu selama

menjalani kehidupan dengan penggunaan kolostomi.

Selama proses wawancara berlangsung, saya akan menggunakan alat

bantu penelitian berupa catatan dan alat perekam suara untuk membantu

kelengkapan pengumpulan data. Hal ini sangat penting untuk melengkapi

prosedur penelitian sehingga informasi yang diperoleh dapat dijamin

keabsahannya.

Setelah melakukan wawancara, Bapak/Ibu dapat membaca seluruh hasil

pengumpulan data atau transkrip wawancara. Bila ada yang kurang berkenan atau

ada informasi yang akan ditambahkan, Bapak/Ibu berhak memberikan masukan

untuk kelengkapan penelitian ini. Melalui penjelasan yang singkat ini, saya

sangat mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian

ini. Atas kesediaan Bapak/Ibu, peneliti mengucapkan terimakasih.

Medan,…………………2015

Peneliti

(………………………….)
179

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN PENELITIAN

Setelah membaca dan mendengarkan penjelasan peneliti tentang

penelitian ini, maka saya memahami bahwa tujuan penelitian ini sangat

bermanfaat. Saya mengerti bahwa penelitian ini melindungi dan menjunjung

tinggi hak-hak saya sebagai partisipan. Dengan ini, saya menyatakan kesediaan

untuk menjadi partisipan penelitian secara sukarela. Saya berhak mengundurkan

diri kapan saja apabila suatu saat ada hal-hal yang membuat saya keberatan dan

tidak bisa melanjutkan sebagai partisipan.

Saya menyadari keikutsertaan saya menjadi partisipan penting bagi

peningkatan kualitas hidup pasien kanker kolorektal dengan kolostomi. Dengan

menandatangani surat persetujuan ini, berarti saya telah menyatakan bersedia ikut

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Medan,…………………2015

Partisipan

(………………………….)
180

DATA DEMOGRAFI PARTISIPAN

Petunjuk Pengisian
Isilah data dibawah ini dengan tepat dan benar. Berilah tanda√)( pada
pilihan jawaban yang telah disediakan. Isilah titik-titik jika ada pertanyaan yang
harus dijawab.

Data Demografi
1. Inisial :…………………
2. Jenis Kelamin :
Laki-laki Perempuan
3. Umur : …………… Tahun
4. Pendidikan Terakhir :
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Diploma/Perguruan Tinggi
5. Suku :
6. Agama :
7. Status :
8. Pekerjaaan :
9. Lama menjalani kolostomi
:……….Bulan/Tahun
181

PANDUAN WAWANCARA

No. Partisipan :
Tanggal :
Lokasi :

Pertanyaan Penelitian :
1. Bagaimana pengalaman Bapak/Ibu terkait perawatan, pengobatan dan

penjelasan dari tenaga kesehatan (dokter dan perawat) sebelum dilakukan

kolostomi?

2. Bagaimana pengalaman Bapak/Ibu dalam merawat stoma (membuka/melepas

stoma bag, membuang feses, mengganti/memasang stoma bag)?

3. Apakah hal-hal yang tidak Bapak/Ibu ketahui tentang perawatan stoma dan

peristomal pada end stoma?

4. Bagaimana dampak kolostomi dengan end stoma bagi kehidupan Bapak/Ibu?

5. Bagaimana Bapak/Ibu beradaptasi, menjalani kehidupan, aktivitas sehari-hari

dan harapan dengan kolostomi tipe end stoma?


182

FORMAT CATATAN LAPANGAN (FIELD NOTE)

Inisial Partisipan : Kode Partisipan :

Tempat Wawancara : Waktu Wawancara :

Suasana tempat saat akan dilakukan wawancara :

Gambaran partisipan saat dilakukan wawancara :


a. Posisi :

b. Non Verbal :

Gambaran Respon Partisipan selama Wawancara Berlangsung :

Gambaran Suasana Tempat selama Wawancara Berlangsung :

Respon Partisipan selama terminasi :


183

LAMPIRAN 2

BIODATA EXPERT
184

BIODATA EXPERT

1. Edy Mulyadi, S.Kep, Ns, M.Kep, RN, WOC(ET)N

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cut Nyak Dhien Langsa

2. Asrizal, S.Kep, Ns, M.Kep, WOC(ET)N

Staf Dosen Departemen Keperawatan Medikal Bedah Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara

3. Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB

Staf Dosen Departemen Keperawatan Medikal Bedah Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara


185

LAMPIRAN 3

SURAT IJIN PENELITIAN


186
187
188
189

Anda mungkin juga menyukai