Anda di halaman 1dari 6

Asymmetric Warfare Dynamic

DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

Nama : Abdillah Satari Rahim


NIM : 120200102001
Mata Kuliah : Asymmetric Warfare Dynamic
Nama Dosen : Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, M.Si

“INTELLIGENCE IN ASYMMETRIC WARFARE”


RESUME

Perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional dan


nasional memiliki potensi ATHG yang dapat membahayakan keselamatan,
keamanan dan keutuhan NKRI. Saat ini, terjadi pergeseran ancaman militer
atau konvensional ke ancaman non-militer, yang dalam perkembangannya
dikenal sebagai ancaman hibrida. Ancaman hibrida mengubah perspektif
ancaman terhadap keamanan nasional di masa mendatang. Ancaman ini
bersifat kompleks, non-state actor / proxy, multidimensional, dan non-linear,
serta asimetris dengan daya destruktif yang seringkali melebihi dari
ancaman militer. Sebagai contoh, saat ini, ancaman nuklir, biologi, kimia
(nubika), serta radiasi dan siber telah terjadi di berbagai belahan dunia,
termasuk Covid-19.
Lebih lanjut, dalam hal disrupsi teknologi, dibutuhkan kemampuan
SDM Intelijen yang berkualitas untuk menguasainya, yaitu teknologi
intelijen, siber, personal intelijen KIT dan teknologi masa depan (finansial,
robotik, artifisial intelijen, dll). Dari sisi geopolitik dam geostrategis, posisi
strategis Indonesia yang berada di titik tumpu Samudera Pasifik dan Hindia,
serta pertentangan Klaim China terhadap LCS dan konsep stabilitas
kawasan Indo Pasifik Amerika Serikat memberi arti bahwa Indonesia harus
siap menjadi pengaruh dan kekuatan regional yang signifikan. Secara
khusus, ancaman peperangan asimetris perlu menjadi perhatian dari dunia
intelijen Indonesia.
Intelijen adalah upaya deteksi dan peringatan dini (early warning)
dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap

1
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

hakikat ancaman kepentingan dan keamanan nasional. Intelijen dapat


dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sebagai bahan keterangan yang sudah diolah dan dianalisis
2. Sebagai organisasi: Mengenai Efisiensi, Efektifitas dan
Produktivitas
3. Sebagai Kegiatan: Mengenai Penyelidikan, Pengamanan dan
Penggalangan

Secara khusus, fungsi intelijen adalah mengumpulkan informasi yang


telah diolah dan dianalisis secara cepat dan akurat (velox et exactus) yang
diberikan kepada single user, yaitu Presiden, sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan untuk menghindari adanya pendadakan
strategis (strategic surprises). Dalam konteks menghadapi peperangan
asimetris, fungsi intelijen, khususnya dalam metode pengumpulan data
(tradecraft) menjadi penting guna menghindari adanya pendadakan
strategis dan bentuk non konvensional yang menjadi ciri dari peperangan
asimetris itu sendiri.
Dalam buku Roger W Barnett, Asymmetrical Warfare adalah salah
satu dari banyak terminologI yang menggambarkan bentuk perang atau
konflik selain perang konvensional. Di negara China, para ilmuwan mereka
sering menyebut terminology ini dengan nama perang tak terbatas
(Unrestricted Warfare). Sementara di Rusia, para pejabat pertahanan
menggunakan istilah Soft Power dan Perang Generasi Baru (New
Generation Warfare). Di Amerika Serikat, para pejabat dan ilmuwan mereka
menggunakan terminologi Konflik Zona Abu-abu (Gray Zone Conflicts),
Peperangan Hibrida (Hybrid Warfare), Peperangan Asimetris (Asymmetric
Warfare) dan Irregular Warfare.
Namun, terminologi dan nomenklatur yang secara resmi digunakan
dalam doktrin militer AS dan direktif dari Departemen Pertahanan (DoD)
adalah Irregular Warfare, yang menggambarkan adanya penekanan pada
elemen non-militer dan tidak mematikan (nonlethal) dari bentuk peperangan

2
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

baru ini. Sebenarnya, peperangan asimetris telah ada selama ratusan


tahun. Istilah ini awalnya popular berawal dari artikel Andrew J.R Mack
(1975) di World Politics, berjudul Why Big Nations Lose Small Wars.
Andrew J.R Mack menyatakan, “asimetris” secara sederhana diartikan
sebagai kesenjangan kekuatan yang signifikan antara pihak-pihak yang
bertentangan dalam konflik. Namun, biasanya dimenangkan oleh
pihakpihak berkekuatan lemah,. “Kekuatan” ini diartikan secara luas berupa
kekuatan material, jumlah tentara yang besar, persenjataan canggih,
ekonomi yang maju, dan seterusnya. Istilah ini semakin populer saat perang
dingin sampai dengan saat ini.
Secara umum, peperangan asimetris ini memiliki strategi
menggunakan non state aktor (perusahaan, organisasi media, bisnis,
gerakan pembabasan rakyat, kelompok lobi, kelompok agama, badan-
badan bantuan, dan aktor kekerasan non-negara seperti pasukan
paramiliter, dll), strategi pendadakan (strategic surprise), tidak terorganisir,
serta mencari kemenangan dengan merontokkan atau menyusutkan
kekuatan musuh, bukan dengan menghadapinya. Selain itu, seiring dengan
perkembangan Internet of Things (IoT), maka peretasan ke infrastruktur
kritis, pencurian data strategis, spionase dan propaganda di media sosial,
radikalisasi di dunia maya, terorisme dan berbagai ancaman siber lainnya
tengah berlangsung di berbagai belahan dunia.
Oleh karena itu, banyak negara tengah merumuskan strategi untuk
menghadapi ancaman siber dan memperkuat pertahanan siber (Cyber
Defence). Kesemua hal ini juga mendorong adanya Revolutionary in
Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan fokus menghadapi Hybrid
Warfare. Seiring dengan perkembangan teknologi, intelijen harus menjadi
foreknowledge untuk mampu mengidentifikasi perkembangan-
perkembangan ancaman yang menjadi ciri peperangan asimetris. Di
antaranya adalah penggunaan UAV/Drone bunuh diri (suicide drone) yang
memberi arena baru bagi kelompok-kelompok teroris maupun separatis
untuk mengeksploitasi kerentanan dari suatu negara.

3
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

Perkembangan ini juga sangat mungkin diadopsi oleh kelompok


teroris dan separatis di Indonesia mengingat mudahnya drone didapatkan
dengan harga yang cukup murah dan perakitan yang mudah. Belum lagi,
banyak Foreign Fighter ISIS asal Indonesia yang pasti sudah memiliki
kemampuan untuk menggunakannya. Oleh karena itu, kesiapsiagaan
sistem penangkal/anti-drone juga regulasi mengenai penggunaan drone,
khususnya pada infrastruktur kritis dan strategis seperti istana presiden,
kantorkantor kementerian, bandara, perbankan dan finansial, transportasi
publik, pusat tenaga listrik, dll perlu menjadi perhatian.
Revolusi Industri 4.0, khususnya perkembangan Internet of Things
(IoT) membuat banyak negara di dunia, termasuk Indonesia,
menggerakkan sumber daya yang strategis melalui teknologi yang
kompleks, seperti tenaga listrik, aliran uang, lalu lintas udara, minyak bumi,
gas, pelayanan publik, transportasi publik dan sumber daya strategis
lainnya. Namun, hal ini tentu membawa kerentanan (vulnerability) dalam
konteks keamanan nasional di suatu negara. Sebagai contoh kasus di
Ukrania yang dilumpuhkan akses listrik di negaranya, Kota Baltimore AS
yang dilumpuhkan akses pelayanan publiknya, dan baru-baru ini di
Perancis, di mana . perusahaan listrik, rumah sakit, pabrik mobil, bank
nasional, perusahaan pos, transportasi publik, operator bandara,
perusahaan kereta api negara, serta fasilitas penelitian nuklir lumpuh
diserang peretas.
Meskipun negara-negara tersebut berhasil memulihkan dengan upaya
yang keras dan waktu yang cukup lama. Namun, dampak kerugian,
kerusakan dan eskalasi teror yang ditimbulkan tidak kalah kuat dari perang
konvensional. Studi Pusat Pengkajian Terorisme dan Konflik Sosial
Universitas Indonesia menyebutkan, dari 75 narapidana terorisme,
diperlukan hanya kurang dari 1 tahun mulai dari terpapar ideologi
radikalisme hingga menjadi pelaku teror. Pemicunya adalah narasi atau
konten di media sosial.

4
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

Saat ini, paparan radikalisme melalui konten media sosial beredar luas
24 jam tanpa henti. Selama 2017-2019, terdapat 50 channel yang memuat
konten radikal di Telegram. Diperkirakan ada lebih dari 200 channel serupa
dengan konten menolak paham keberagaman hingga mengajak melakukan
kekerasan, termasuk kepada aparat pemerintah dengan
mengatasnamakan agama. Setiap channel menyebarkan 80-150 pesan
radikal setiap hari. Rata-rata orang yang terpapar berlangganan 5-10
saluran, Artinya, mereka dapat terpapar 1000 pesan berisi konten
radikalisme per harinya. Kesemua bentuk peperangan asimetris terkini ini,
harus menjadi fokus analisis intelijen sebagai first line of defense dalam
mengisi the blind side of decision making

5
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

Anda mungkin juga menyukai