Anda di halaman 1dari 3

Asymmetric Warfare Dynamic

DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

Nama : Abdillah Satari Rahim


NIM : 120200102001
Mata Kuliah : Asymmetric Warfare Dynamic
Nama Dosen : Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, M.Si

“THE ETHICS, MORAL & LEGAL DIMENSIONS OF ASYMMETRIC


WARFARE”
RESUME

Seiring dengan perkembangan revolusi industri 4.0, khususnya


Internet of Things (IoT) dan teknologi persenjataan, banyak negara di dunia
menggerakkan sumber daya strategis melalui teknologi yang kompleks,
seperti tenaga listrik, perbankan/finansial, lalu lintas udara, minyak bumi,
gas, pelayanan publik, data publik, transportasi publik, telekomunikasi,
kesehatan, dan sumber daya strategis lainnya.
Namun, perkembangan teknologi informasi yang tentu membawa
kemudahan, efektivitas dan efisiensi, juga memberi arena baru bagi
peperangan asimetris yang mengeksploitasi kerentanan dalam pertahanan
dan keamanan suatu negara.
Dalam buku Asymmetric Warfare, karya Rod Thornton (2007),
Peperangan Asimetris didefinisikan sebagai seperangkat strategi, taktik,
dan operasi non-konvensional dan non-linear yang diadopsi suatu aktor,
baik negara maupun non-negara, untuk melemahkan kekuatan dan
mengalahkan lawan. Pada umumnya, pihak-pihak yang menggunakan
pendekatan asimetris adalah pihak yang lebih lemah atau tidak diuntungkan
dalam hal kekuatan jika dibandingkan dengan pihak lawan.
Karena pendekatan asimetris dilakukan untuk menghindari atau
mengelak dari konfrontasi langsung dengan mengekspolitasi kelemahan
(weakness) dan kerentanan (vulnerability) pihak lawan yang lebih kuat.
Karakteristik utama peperangan asimetris ini memiliki strategi
menggunakan aktor non-negara (perusahaan, organisasi media, bisnis,

1
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

gerakan pembabasan rakyat, kelompok lobi, kelompok agama, badan-


badan bantuan, dan aktor kekerasan non-negara seperti pasukan
paramiliter, dll), strategi pendadakan (strategic surprise), tidak terorganisir,
serta mencari kemenangan dengan merontokkan atau menyusutkan
kekuatan musuh, bukan dengan menghadapinya secara langsung.
Berbagai bentuk ancaman seperti peretasan ke infrastruktur kritis,
ancaman senjata nuklir, biologi, dan kimia (Nubika), UAV/Drone bunuh diri
(Suicide Drone), serta rudal jarak jauh masih terjadi sampai dengan saat
ini. Selain itu, pencurian data strategis, spionase dan propaganda di media
sosial, radikalisasi di dunia maya, terorisme dan berbagai ancaman siber
lainnya tengah berlangsung di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu,
banyak negara tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman
siber dan memperkuat pertahanan siber (Cyber Defence). Kesemua hal ini
juga mendorong adanya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang
kedua.
Pada sisi etika, moral dan hukum, para ilmuwan menyatakan,
peperangan asimetris masuk ke dalam kategori gray zone area, karena
jenis peperangan modern ini tidak masuk pada kategori peperangan
konvensional (high intensity) dan pada masa damai (low intensity)
sebagaimana yang diatur dalam hukum humaniter.
Dari sisi metode peperangan, peperangan asimetris tidak terjadi
dalam bentuk konvensional dengan angkatan perang dari suatu negara
yang saling berhadapan, namun seringkali menggunakan strategi non-
militer dengan non state actor, seperti gerilyawan, pasukan paramiliter,
proxy perusahaan, organisasi media, bisnis, kelompok lobi, agama, badan-
badan bantuan, yang merupakan masyarakat sipil.
Kemudian, seiring dengan berkembangnya teknologi, sasaran
peperangan simetris sangat mungkin dilakukan dengan peretasan
infrastruktur kritis, tenaga listrik, aliran uang, lalu lintas udara, minyak bumi,
gas, pelayanan publik, transportasi publik dan sumber daya strategis
lainnya. Dari sisi persenjataan, berkembangnya teknologi juga

2
Asymmetric Warfare Dynamic
DR. SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTOPATI, M.SI

memungkinkan adanya UAV/Drone bunuh diri (Suicide Drone), rudal jarak


jauh, pencurian data strategis, spionase dan propaganda di media sosial,
radikalisasi di dunia maya, terorisme dan pembelahan antar etnik dan
agama dalam suatu negara, serta berbagai ancaman siber lainnya.
Dari sisi korban, peperangan asimetris sangat mungkin menimbulkan
collateral damage yang berujung kepada kejahatan perang, di mana
masyarakat sipil / non-kombatan, perempuan dan anak-anak juga
merasakan dampak dari peperangan tersebut. Ke semua hal ini secara
nyata tidak diatur dalam sumber-sumber hukum humaniter, baik Konvensi
Jenewa, Konvensi Den Haag, dan protokol-protokol perang lainnya. Oleh
karena itu, banyak aktor, baik negara maupun non-negara, menggunakan
strategi, taktik dan metode peperangan asimetris untuk selain menghindari
tingginya biaya perang, juga menghindari ketatnya hukum perang yang
diatur secara internasional sebagai hukum humaniter.

Anda mungkin juga menyukai