Anda di halaman 1dari 10

TEMA :

Mengupas Aktivitas Masyarakat Dalam Komunikasi Media

JUDUL BUKU :

Fact or Fake

JUDUL TULISAN :

Siapa Dibelakang Opini Kita ?

MATA KULIAH : Sistem Komunikasi Indonesia

NAMA : Nabila Firdausiyah

NIM : 201310040311235

Kelas : Ikom B

Dosen : Nurudin, M.Si


SIAPA DIBELAKANG OPINI KITA?

Oleh Nabila Firdausiyah

Komunikasi merupakan dasar bagi kelangsungan hidup manusia. Tak ada kegiatan
manusia yang tak membutuhkan komunikasi. Semua lapisan masyarakat tak memandang
subjek apapun itu, tanpa sadar telah menempatkan komunikasi sebagai peringkat atas dalam
kehidupan. Seorang ibu membeli bahan makanan di pasar tentunya melakukan komunikasi
antar pedagang dan pembeli. Ayah yang bekerja untuk menghasilkan uang juga
menggunakan komunikasi di dalamnya. Bahkan remaja yang sedang kasmaran,
membutuhkan komunikasi untuk dapat menyatakan perasaannya. Siapa yang tak
membutuhkan komunikasi ? Anak bayi juga berkomunikasi. Jangan dikira bahwa komunikasi
hanya berkaitan dengan bahasa yang dikeluarkan oleh mulut. Komunikasi tak sesederhana
itu. Komunikasi banyak menyangkut unsur di dalamnya, seperti : gerak tubuh, warna, bau,
simbol, dan lain-lain. Anak bayi yang belum bisa berbahasa, turut melakukan komunikasi
dengan caranya sendiri, menangis adalah salah satu caranya. Tanpa komunikasi, tujuan hidup
manusia dari yang sederhana hinga yang terbesar, mustahil akan tercapai.

Jika komunikasi memang sepenting ini, apakah komunikasi itu adalah sebuah sistem ?
Ya, komunikasi merupakan sebuah sistem. Sistem yang berada di dalam sistem sosial dan
sistem politik. Mengapa dengan dua sistem ini ? Karena komunikasi sendiri tercipta dari
unsur sosial yang notabennya ilmu sosial menurunkan ilmu politik. Ilmu politik yang
sejatinya membahas mengenai bagaimana cara agar dapat mencapai suatu tujuan, inilah salah
satu jawabannya, yakni komunikasi. Dengan berkomunikasi, manusia dapat mencapai tujuan
kehidupan mereka. Siapa sangka hal yang sepele dalam kehidupan, menjadi predikat sistem,
hingga muncullah Sistem Komunikasi Indonesia.

Untuk menjelaskan apa sebenarnya Sistem Komunikasi Indonesia itu, sebelumnya


kita haruslah mengerti apa sistem itu ? Sistem berasal dari kata systema, yang memiliki arti
keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, 1974). Sedangkan
definisi komunikasi bisa begitu sangat luas. Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai
“berbagai pengalaman”. Namun, cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah
dengan menjawab pertanyaan dari model komunikasi Lasswell ; Who Says, What In, Which
Channel, To Whom, With What Effect? Dengan model komunikasi ini, hingga dapat
diturunkanlah unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu : sumber
(source), pengirim (sender), penyandi (decoder), komunikator (communicator), pembicara
(speaker) atau originator. (Mulyana Deddy, 2007). Barulah muncul pengertian Sistem
Komunikasi, Sistem Komunikasi adalah sekelompok orang, pedoman, dan media yang
melakukan sesuatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol,
lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan
saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi
(Nurudin, 2004).

Berbicara mengenai Sistem Komunikasi Indonesia, maka juga akan melibatkan media
dan sistem pers yang terjadi pada saat ini. Dalam hal ini, antara pers dan Sistem Komunikasi
memang tak bisa dipisahkan. Pers yang semestinya bebas namun bertanggungjawab, kini
sepertinya telah kehilangan arah. Media cetak maupun media sosial yang kini menjadi senjata
mereka, yang merupakan salah satu bentuk Sistem Komunikasi Indonesia modern, telah
nampak ketidaknetralannya.

Keberpihakan Media

Melihat fakta yang terjadi pada saat ini, pers rupanya kembali kepada Sistem
Komunikasi Desa yang masih tradisional, dimana opinion leader mereka lah yang menjadi
acuan untuk berita mereka. Kini bukan hanya pedesaan lagi yang menggunakan opinion
leader sebagai acuan mereka, namun demikian halnya dengan pers di Indonesia. Kemana
arah leader mereka, mereka akan mengikuti pemikiran sang leader, tanpa menyaring terlebih
dahulu apakah pemikiran tersebut benar dan cocok bagi mereka. Parahnya, pemikiran yang
mereka ambil dari leader mereka, sebenarnya juga akan turun kepada publik sang penikmat
hasil mereka. Publik bisa saja juga mengikuti apa yang media katakan tanpa adanya
perdebatan pikiran di kepala mereka. Dengan sistem yang salah ini, bisa disimpulkan rute
informasi media memang masih tradisional dengan menggunakan pemikiran sang empunya
media yang mereka jadikan leader, kemudian pihak pers mengikutinya, dan menyalurkan
melalui media yang dikonsumsi publik. Sehingga mau tidak mau, publik akan disuguhi berita
yang nantinya bisa saja merubah pandangan mereka.

Jika diamati, pada era ini, Opinion Leader sang empunya media, nampak sekali
memang sedang tertunggangi oleh sistem politik. Mari kita amati pada tahun pemilu 2014
kemarin, media tanpa ragu-ragu menunjukkan kepada siapa mereka berpihak. MNC Group,
TV ONE dan Metro TV dengan niatnya mempromosikan partai dan capres mereka kepada
khalayak publik. MNC Group, yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo dan TV ONE yang
dimiliki oleh Aburizal Bakrie, dengan terang-terangan mengekspos pasangan capres-
cawapres Prabowo-Hatta secara berlebihan. Tak hanya TV ONE, Metro TV yang dimiliki
oleh Surya Paloh juga turut membela Jokowi-Jusuf Kala mati-matian. Baik kedunya selalu
menanyangkan hal-hal yang positif bagi capres yang didukungnya, dan juga turut menyajikan
hal-hal negatif bagi lawan capres.

Berdasarkan catatan KPI, untuk pasangan Prabowo-Hatta banyak diwartawakan oleh


TV One, yakni sebanyak 35.561 detik, MNC TV sebanyak 5.116 detik, ANTV sebanyak
3.223 detik, RCTI sebanyak 4.714 detik, dan Global TV sebanyak 2.690 detik. Sedangkan
pemberitaan Jokowi –JK di Metro TV terdapat 187 item. Diantaranya, 184 item positif dan 3
item lainnya negatif. Sementara Prabowo-Hatta di Metro TV berisi 90 item dimana sebanyak
86 item diantaranya positif dan 4 item negatif. (Kompas, Rabu 4 Juni 2014)

Setiap hari masyarakat harus menyaksikan pertarungan yang sebenarnya tidak


langsung antara para calonnya, namun terasa langsung karena televisi yang melakukannya
sepanjang hari. Tak ada kata lelah dan menyerah untuk dapat memenangkan hati pemirsa
agar memilih pasangan calon yang didukung oleh pihak televisi tersebut. Melebih-lebihkan
berita yang ada, memberikan berita yang tak lagi sesuai dengan fakta yang ada, hanya demi
kemenangan poltitik semata. Seharusnya media televisi berfungsi sebagai agen penyelesaian
konflik serta komunikasi politik. Bukan malah sebagai pemicu atau pemantik kekisruhan
politik.
Beginikah Sistem Pers Indonesia ? Memang, setiap media memang memiliki sistem
persnya sendiri-sendiri dikarenakan perbedaan dalam tujuan, fungsi, dan latar belakang sosial
politik, namun perlukah kita kembali kepada sistem opinion leader ? Sistem Komunikasi
yang sejatinya berjalan di tengah masyarakat tradisional, malah juga terjadi pada masyarakat
modern berpendidikan. Pers semestinya sadar dan mampu bertindak, tak hanya membuntuti
keinginan sang opinion leader. Persa yang baik, bisa menghentikan ke’overdosisan’ berita
yang semestinya tak patut dikonsumsi oleh publik secara terus-menerus.
Sayangnya, tak banyak publik yang bisa melihat keadaan ini. Dimana ketika pikiran
mereka dipermainkan, mencoba menanamkan pemikiran sang empunya media. Mereka hanya
duduk, diam, mendengarkan, tanpa ada pertanyaan dan perlawanan di benak mereka.
Penanaman sang empunya media bisa dianggap berhasil. Liat saja, pada kasus pemilihan
presiden kemarin. Publik yang mendukung Prabowo-Hatta dengan setianya selalu memilih
TV One sebagai channel andalan mereka, tak ada keinginan untuk menekan tombol lain di
remote tv mereka. Hal senada juga terjadi kepada masyarakat yang mendukung Jokowi-JK.
Metro TV seakan-akan menjadi satu-satunya channel tv di Indonesia, sehingga tak ada
pergantian channel di televisi mereka.
Tak hanya pada proses kampanye yang membingungkan masyarakat mengenai mana
yang baik dan mana yang buruk. Namun pada hasil quickcount pun masyarakat masih
dibingungkan dengan hasil perolehan suara sementara yang pada dua televisi terlihat begitu
berbeda. Perbedaan yang terjadi begitu signifikan. Pada TV One yang memang dari awal
telah mendukung pasangan Prabowo-Hatta, hasil quickcountnya begitu berbeda dari semua
stasiun tv yang ada. Hanya TV One lah yang hasil quickcountnya menyimpulkan bahwa
Prabowo-Hatta lah pemenang hasil quickcount. Sedangkan televisi lain menyatakan bahwa
angka Jokowo-JK lebih unggul daripada Prabowo-Hatta.
Hal ini adalah salah satu contoh bahwa opinion leader di kalangan pers turut
mengakibatkan timbulnya kecurigaan masyarakat akan berita-berita maupun informasi-
informasi yang entah itu fakta atau malah sebatas kepalsuan belaka. Andai saja pers tidak
ditunggangi oleh kepentingan politik, mungkin takkan terjadi opinion leader untuk membela
calon presiden pilihannya, hingga harus membuat suatu kebohongan publik.

Opinion Leader Era Modern

Pada zaman dahulu opinion leader hanya berlaku pada masyarakat pedesaan, yang
begitu percaya dengan pemikiran orang di wilayah mereka yang diagungkan. Istilah opinion
leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960-an. Kata
opinion leader kemudian lebih lekat pada kondisi masyarakat di pedesaan, sebab tingkat
media exposure nya yang masih rendah dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih belum
menggembirakan. Pihak yang sering terkena media exposure di masyarakat desa kadang
diperankan oleh opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya disamping juga menjadi
panutan, tempat bertanya dan meminta nasihat bagi anggota masyarakatnya (Nurudin, 2004).
Dalam kehidupan pedesaan, masyarakat begitu mengkhususkan sang opinion leader.
Opinion leader lah yang menjadi jawaban atas segala permasalahan yang terjadi pada
lingkungan masyarakat. Mereka inilah yang nantinya menentukan baik buruknya sesuatu,
patut atau tidaknya sesuatu untuk dilakukan, dan sebagainya. Setiap pendapat yang
dikemukan oleh opinion leader ini dianggap benar, dan langsung teramini oleh masyarakat.
Adapun ciri-ciri yang melekat pada opinion leader adalah ; lebih tinggi pendidikan
formalnya, lebih tinggi status ekonomi, dan lebih tinggi status sosialnya. Namun, pada
masyarakat pedesaan unsur-unsur lainnya juga bisa masuk dikategorikan sebagaai opinion
leader. Misalnya seorang dukun desa yang ahli menangani upacara panen. Segala hal yang
berkaitan panen, masyarakat akan menomersatukan dia.Tak hanya dukun, opinion leader
dalam masyarakat juga bisa terdiri dari Kiai, Tetua Kampung, Ketua Adat, Kepala Suku, dan
lain sebagainya. Mereka inilah yang nantinya berpengaruh besar terhadap proses penyebaran
informasi, mereka bisa mempercepat diterimanya inovasi oleh anggota masyarakat tetapi bisa
pula mereka menghambat tersebarnya sesuatu inovasi ke dalama sistem masyarakat (Rogers
dan Shoemaker, 1987:31)
Adanya tunggangan politik dalam media ini, yang menimbulkan kecondongan media
dalam berpihak, bisa dikategorikan sebagai opinion leader. Jika dilihat dari komunikasi
media yang dilakukan, opinion leader telah tercampur dalam sistem pers kita. Sang empunya
media yang memiliki posisi tertinggi, dengan kekuasaannya memaksakan pikirannya untuk
menjadi pikiran dasar medianya sehingga dapat memasuki pikiran masyarakat selaku
penikmat media. Contoh yang memang paling terlihat bahwa opinion leader masuk dalam
pers adalah pada tahun 2014 ketika Indonesia memilih. Terlihat jelas bagaimana TV One
membela Prabowo-Hatta, dan bagaimana Metro TV juga tak mau kalah dengan sajian
Jokowi-Jknya.
Berhasilkah opinion leader dalam media ini ? Kalau memang tak berhasil, mengapa
masyarakat pendukung Prabowo tetap setia dengan menonton TV One nya begitu pula
sebaliknya pendukung Jokowo-JK turut anteng di depan televisi berchannel MetroTV. Tak
berhenti disini, hasil penghitungan quickcount yang berbeda juga turut menjadi bukti, betapa
suksesnya opinion leader sang empunya media. Pendukung Jokowi-JK percaya bahwa capres
pilihan mereka telah menang. Sedangkan lain halnya dengan pendukung Prabowo-Hatta yang
melihat hasil quikcount di TV One, tentunya percaya bahwa capres pilihannyalah yang
memenangkan pemilu ini.
Inilah perbedaan antara opinion leader di masyarakat desa dengan opinion leader di
masayarakarat modern. Jika masyarakat pedesaan sadar bahwa mereka memang sengaja
meminta opinion leader dari tetua adat, kepala desa, dukun, dan lain-lain, beda halnya
dengan masyarakat modern yang tak sadar, dengan apa yang telah mereka yakini. Mereka
yakin dengn pemberitaan media, dan langsung menjadikan hal tersebut sebagai pemikiran
dasar mereka. Terlepas dari mereka lupa atau tak tahu, bahwasanya ada seorang creator
opinion dalam sebuah media tersebut.
Masalah atau tidak bila opinion leader masuk ke dalam pers ? Tentu masalah. Karena
opinion leader sang empunya publik telah sukses tertanam di publik penikmat media.
Masalah yang terjadi bukan sesederhana itu. Bayangkan saja, ini menyangkut nasib Indonesia
lima tahun kedepan. Dan jika masyarakat termakan dengan opinion leader sang empunya
media, tanpa memfilter terlebih dahulu, tentunya ini akan menjadi permasalahan yang rumit,
karena telah menyangkut nasib hidup orang banyak. Lantas, siapa yang sebenarnya patut
disalahkan ? Sang empunya media kah yang telah menjadi opinion leader ? Atau pers yang
hanya diam dan menurut ? Ataukah masyarakat yang dengan mudah menerima opini tersebut
untuk menjadi pemikiran mereka ?
Adanya opinion leader pada masyarakat modern, bisa saja disebabkan karena sang
empunya media ini memang benar-benar berkuasa di berbagai sektor. Aburizal Bakrie
misalnya, dia tak hanya memiliki media, dia juga memiliki berbagai usaha di sektor lain,
pertambangan, kontrajtor, dan sebagainya. Tak hanya itu, beliau juga menjabat sebagai Ketua
Umum Partai Golkar. Mungkin inilah yang turut menjadikan dirinya sebagai opinion leader.
Dan dengan media yang beliau miliki, semakin mempermulus opininya untuk mendukung
Prabowo-Hatta pada saat itu. Sehingga masyarakat bisa langsung terpedaya dengan hal
seperti ini.

Media Literasi Menjadi Solusi

Jika opinion leader masih ada di masyarakat modern hingga menimbulkan kepalsuan
informasi, lantas apa yang semestinya masyarakat lakukan ? Media literasi atau “melek
media” jawabannya. Media literasi adalah salah satu bentuk jawaban untuk masyarakat
modern yang pemikirannya sedang dipermainkan. Melek media merupakan aktifitas
masyarakat modern kritis, yang tak hanya meyakini satu sumber media itu benar, namun juga
“melek” terhadap media lain akan bahasan yang sama. Sehingga pola pikir kita tak hanya
secara gamblang menerima pernyataan A maupun pernyataan B. Tak secara cepat menuduh
sesuatu itu buruk hanya karena salah satu media berkata demikian. Inilah yang harus
masyarakat lakukan, kritis pernuh tanda tanya untuk mengetahui kebenaran yang ada.
Perlu diingatkan kembali, bahwasanya masyarakat modern memang berbeda dengan
masyarakat desa. Mereka harus memiliki pemikiran sendiri sekalipun media membuat
pernyataan A maupun pernyataan B yang membingungkan publik. Mereka harus sadar,
bahwasanya mereka adalah masyarakat yang telah mengenyam pendidikan, mereka bisa
berpikir sendiri tanpa harus mengikuti opinion leader sang empunya media. Sekalipun media
mempermainkan pemikiran masyarakat, masyarakat modern harus cerdas mengambil
langkah. Harus bisa memanfaatkan media yang ada, bukan malah sebaliknya yang
termanfaatkan oleh media.
Sejatinya opinion leader sepertinya akan selalu ada dalam Sistem Komunikasi
Indonesia. Jika dilihat dari perkembangan yang ada, opinion leader masih dianggap benar
oleh publik. Jika pada masyarakat tradisional, opinion leader terjadi karena masyarakat desa
masih belum memiliki pengetahuan ataupun pendidikan yang baik. Sedangkan pada kasus-
kasus saat ini, opinion leader bisa terjadi pada masyarakat modern yang notabennya telah
mendapatkan pendidikan yang bagus. Parahnya, mereka inilah yang terkadang malah
mengambil opinion leader yang sudah berbentuk berita menjadi pemikiran mereka.
Seharusnya mereka bisa berpikir lebih kritis terhadap hal yang terjadi. Bukan malah melahap
bulat-bulat hal yang memang semestinya patut dipertanyakan kebenarannya.
Jika seperti ini, tolak ukur masyarakat bisa jadi bukan berdasarkan pendidikan, namun
juga berdasarkan seberapa percaya mereka terhadap media. Mengapa media ? Karena fakta
yang terjadi setelah kasus-kasus pemilu, bisa disimpulkan bahwa media kita memang telah
berpihak karena adanya opinion leader. Masyarakat yang bisa memfilter berita di media bisa
dikatakan masyarakat yang cerdas, karena masyarakat dengan tipe demikian tak langsung
menyantap informasi yang disajikan media, namun mereka turut berpikir kritis, sehingga tak
menjadikan satu media sebagai pedoman mereka berfikir. Lain halnya dengan masyarakat
yang mungkin telah berpendidikan bagus, namun terlalu percaya dengan informasi yang
disuguhkan media. Seakan-akan tak memiliki pendapat sendiri. Atau bahkan mereka
memiliki pendapat namun terkikis dengan satu media yang selalu menerpa pendapat mereka.
Inilah kesuksesan opinion leader di era modern.

Tamu Baru di Sistem Komunikasi Indonesia

Kehadiran opinion leader dalam media ini turut berpengaruh dalam Sistem
Komunikasi Indonesia. Opinion leader yang dulunya hanya terjadi pada masyarakat pedesaan
kini muncul di zaman modern melalui cara modern pula. Tak hanya dapat memaksakan
berita, memalksukan berita, mengoverdosiskan berita, namun opinion leader melalui media
dapat berakhir dengan kesuksesan pemikiran publik yang senada dengan opinion leader sang
empunya media.
Hal ini menciptakan tiga tipe masyarakat yakni, masyarakat dengan tipe menelan
mentah-mentah sajian media, masyarakat cerdas yang menyaring segala hal yang
diterimanya, dan masyarakat yang bahkan tak lagi percaya dengan pemberitaan media.
Opinion Leader melalui media menjadi hal yang baru bagi Sistem Komunikasi Indonesia.
Kini media tak hanya berfungsi sebagai saran hiburan, saran informasi, namun juga turut
dapat membentuk opini masyarakat layaknya opinion leader di masyarakat desa.
Dengan memanfaatkan senjata modern pula yakni media, opinion leader telah sukses
merasuki pemikiran masyarakat modern yang apatis masa kini. Media memang alat yang
tepat pada zaman modern kali ini. Siapa sangka masyarakat modern yang bahkan
berpendidikan tinggi bisa dibungkam pemikirannya melalui media ? Entah mereka ini tak
tahu atau lupa, bahwasanya mereka selaku masyarakat modern harus terbersit pemikiran
‘siapa dibelakang’ ini semua ?

DAFTAR PUSTAKA

Nurudin. 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers

Kompas. Rabu 4 Juni, 2014. “Data KPI Pusat Tak Ada Berita Negatif Prabowo-Hatta di
TV ONE”

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
BIODATA

Bernama sama dengan 1001 Nabila lainnya, namun mungkin


tak banyak yang bernama Nabila Firdausiyah. Probolinggo menjadi
tempat lahir, tempat tumbuh dan hunian tetap bersama keluarga.
Bertanggal lahir 02 Juni 1995 menjadikan saya sebagai anak kedua
dari empat bersaudara. Alumni dari SDN Gending 1, SMPN 2
Probolinggo, dan SMAN 1 Probolinggo. Dari sekolah dasar hingga
SMA suka menyibukkan diri dengan dunia organisasi, seperti
Pramuka, PMR, OSIS dan kegiatan lainya. Hingga sejak menjadi
bagian dari Jurusan Ilmu Komunikasi 2013, masih menyibukkan diri
dengan mengikuti organisasi lembaga internal, Himakom
(Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi). Pada tahun 2013 sebagai anggota muda divisi
Humas Himakom, dan pada periode 2014-2015 sebagai Sekretaris Umum. Sedang mencari
gairah menulis kembali, mencoba ‘balikan’ kepada teman lama : blog, wordpress, maupun
tumblr yang sudah lama usang karna tak terawat. Temukan satu diantara seribu Nabila di :

Twitter : nyabilafir

Facebook : Nabila Firdausiyah

Instagram : nyabilafir

Anda mungkin juga menyukai