Anda di halaman 1dari 2

1.

Perlu diketahui semua pemberian antibiotik profilaksis mempunyai efek toksisitas,


Efek toksik dapat berupa idiosinkrasi, seperti alergi, atau kerusakan organ atau
jaringan seperti ginjal, sehingga diperlukan kriteria dalam pemberian antibiotik
profilaksis yang tepat meliputi tepat indikasi, tepat jenis antibiotik, tepat dosis, tepat
rute, tepat waktu, dan durasi pemberian antibiotik. Menurut penilitian johar tahun
2019 Bukti ilmiah tidak cukup mendukung profilaksis untuk pembedahan minor atau
pemasangan AKDR dan profilaksis dalam praktik kedokteran umum biasanya tidak
diperlukan kecuali jika pasien memiliki infeksi terkait. Sehingga selama pemasangan
AKDR dilakukan dengan aseptik atau prosedur dilakukan dengan baik dan alat yang
digunakan steril maka antibiotik profilaksis rutin tidak diperlukan mengingat efek
samping toksik yang dapat ditimbulkan
2. Menurut Emergency nurses association tahun 2017, antibiotik tidak di indikasikan
pada pasien yang sehat dengan luka terbuka sederhana karena jarang terjadi infeksi
pada luka. Namun, antibiotik diindikasikan untuk luka dengan jaringan mati,
kontaminasi dengan tanah atau feces, kontak air liur (gigitan), atau pasien dengan
limfoma. Sebagaimana luka yang di sebabkan akibat penjepitan tenakulum pada
portio termasuk luka yang sederhana dan juga steril atau tidak terkontaminasi apapun
3. Berdasarkan salah satu kriteria pemberian antibiotic profilaksis yaitu tepat dosis maka
pemakaian obat antibiotik yang tidak tepat (yang dimaksud adalah jika pasien tidak
mengkonsumsi antibiotik sesuai anjuran) akan merugikan karena selain kuman tidak
terbunuh juga terdapat kemungkinan resisten terhadap antibiotik jenis tersebut. (Apin
Dewanity, 2015).
4. Dari hasil penelitian John Wiley tahun 2012 penggunaan doksisiklin 200 mg atau
azitromisin 500 mg per oral sebagai pencegahan infeksi pasca pemasangan IUD
hanya memberikan sedikit manfaat yaitu kelompok yang diberikan antibiotic
profilaksis maupun yang tidak diberikan menunjukkan angka kejadian PID rendah
disemua kelompok, sementara efektifitas biaya masih dipertanyakan, sehingga
pengobatan tidak memiliki pengaruh yang besar. Karena efek samping yang paling
sering dari pemasangan IUD adalah nyeri, kram perut, perdarahan uterus abnormal,
dan ekspulsi. Sehingga yg paling dibutuhkan pasien setelah pemasangan IUD adalah
obat anti nyeri.
5. Menurut UU No 4 Tahun 2019 tentang kebidanan bahwa bidan tidak mempunyai
wewenang dalam pemberian antibiotik profilaksis.
6. Hasil Penelitian dari Alice tahun 2019 menunjukkan kejadian candida meningkat
pasca pemasangan IUD, sehingga pemberian antibiotik profilaksis rutin pemasangan
IUD kurang tepat karena tidak sesuai indikasi, karena seharusnya pemberian obat
disesuaikan keluhan atau indikasi contohnya pada penelitian ini lebih cocok jika
diberikan anti fungi.

Referensi :
1. Alice, dkk. 2012. Screening for Bacterial Vaginosis at The Time of Intrauterine
Contraceptive Device Insertion. J Obsstet Gynaecol Can, 179-185
2. Apin, Dewanitya. 2015. Hubungan Penggunaan Alat Kontrasepsi Iud Dengan
Fluor Albus Pada Ibu Usia 25-44 Tahun. Kebidanan Dharma Husada Vol. 4, No.
1.
3. Emergency nurses association. 2017. Sheehy’s Emergency and Disaster Nursing.
Elsevier Health Sciences
4. Johan Indra Lukito. 2019. Antibiotik Prolaksis pada Tindakan Bedah Johan Indra
Lukito Medical Department, PT. Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia Vol.46
No.14.
5. John Wiley. Antibiotic prophylaxis for intrauterine contraceptive device
insertion. Cochrane Collaboration. Published in Issue 5, 2012.
6. Undang-Undang tentang Kebidanan, UU Nomor 4 Tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai