Anda di halaman 1dari 19

Cut Desy Diana Sari

170610007
Modul 6

FITOFARMAKA DAN UJI FARMAKOLOGI OBAT

SKENARIO 6 : Cari Tau Fitofarmaka!

Feri merasakan sakit perut sejak tadi pagi. Lalu ibunya memberikan jamu kemasan yang
biasa diminum saat sakit perut dan mengoleskan minyak angin pada perut Feri. Beberapa jam
kemudian sakit perutnya sudah berkurang dan perutnya terasa lebih nyaman. Nenek Feri adalah
seorang penjual jamu, keluargaFeri jarang minum obat dokter jika sedang sakit. Ibu Feri lebih
memilih untuk meminum air rebusan tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah. Feri merupakan
mahasiswa FK tahun kedua, ia sedang mengerjakan tugas mengenai klasifikasi, taksonomi dan
nama zat aktif yang terkandung didalam tumbuhan. Selain itu, ia juga harus mencari informasi
mengenai logo produk sebagai berikut : Setelah banyak membaca, Feri menemukan informasi
bahwa sebelum dikonsumsi ternyata obat harus menjalani serangkaian uji preklinik termasuk uji
pada hewan coba seperti galur tertentu pada mencit, kelinci, dan lain-lain serta menghitung dosis
hewan coba ke manusia sehingga diperlukan konsep dasar dan persiapan uji preklinik secara in
vivo dan in vitro.Selanjutnya obat memasuki tahap uji klinik yang harus memenuhi aspek etika
antara lain adanya protokol yang telah mendapatkan ethical clearance dari komisi etik penelitian.
Bagaimana Anda menjelaskan kasus di atas?

JUMP 1 : Terminologi

1. Fito farmaka : obat tradisional yang telah diuji khasiat nya, telah teruji pada pra knilis
(hewan coba) dan uji klinis (pada manusia) kemudian bahan baku dan produk sudah
terstandarisasi.

2. In vivo : yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan). Hewan yang digunakan adalah
hewan yang diketahui genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu dari mencit, tikus,
kelinci, marmut, babi, anjing.

3. In vitro : pengujian kandidat obat diluar tubuh maklhuk hidup. Pengujian ini dilakukan
pada kultur bakteri, sel terisiolasi atau organ terisolasi

4. Ethical clearance : keterangan tertulis dari komisi etik penilaian untuk mengukur
keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses penelitian.

5. Jamu : bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan, serial generic atau
campuran yang sesuai norma dan dapat diterapkan dimasyarkat.

JUMP 2 : Rumusan Masalah

1. Mengapa saat diolesi minyak angin perut feri sakitnya berkurang dan terasa lebih nyaman
2. Apa saja tumbuhan dan rempah-rempah yang dapat digunakan sebagai obat jamu / obat
tradisional?

3. Mengapa keluarga feri tidak minum obat dokter jika sedang sakit, dan ibu feri lebih memilih u
minum air rebusan tumbuh2an dah rempah2??

4. mengapa sebelum obat dikonsumsi harus menjalani serangkaian uji preklinik dan uji klinik?

5. mengapa harus mendapatkan ethical clearance pada saat memasuki tahap uji klinik obat?

6. bagaimana interpretasi logo ?

7. Bagaimana menghitung dosis hewan coba ke manusia sehingga diperlukan konsep dasar dan
persiapan uji preklinik secara in vivo dan in vitro?

Jump 3 : Rumusan Masalah

1. Pada minyak angina ada bahan kimia yaitu fenol yang membuat sensasi hangat dan
nyaman.

Jamu : bahan alami yang dapat meredakan gejala, mengurangi sakit perut dan gangguan
pencernaan.

Tetap memperhatikan dosisnya.

2. Jahe, lengkuas, bawang merah dan bawang putih, lada, lengkuas,

Sebagai minuman : wedang jahe, bandrek.

a. Jahe : mengatasi gangguan pencernaan dan nyeri haid

b. Kunyit : antiradang dan antioksidan, mengurangi gula darah dan kolesterol

c. Temulawak : mengatasi gangguan pencernaan, seperti perut kembung

3. Kelebihan Obat herba yang diyakini : mudah dijumpai dan harga terjangkau serta dari
tradisi keluarga turun temurun.

4. Uji preklinik(toksisitas dan efektifitas) :

 sebulan sebelum uji klinik

 mencegah produk bahaya atau racun sebelum disebar

 dapat memakai hewan maupun uji in vitro

 uji toksisitas tetap dilakukan pada hewan


 mempelajari sifat farmakodinamik obat, jika cocok  uji klinik

Uji klinik :

 disetujui jika tidak terdapat bahaya pada uji preklinis

 dilakukan pada manusia

 memiliki 4 fase, yaitu :

1) sukarewalan sehat (45-50 pasien), ditentukan dosis dan efek serta profil
farmakologi obat pada manusia. Manfaat : mengetahui efek samping seperti
keracunan. Percobaan dilakukan secara terbuka.

2) pasien tertentu (100-200 pasien), diharapkan apa yang mempunyai efek


potensial, toksik dengan penyakit. Dilakukan pada pusat klinis.

3) 300-3000 pasien,

4) Setelah obat di fase ke 3 dipasarkan. Diamati dengan berbabagai tipe pasien


dengan ruang lingkup lebih besar. Kalo bahaya  tarik perdagangan.

5. Untuk mengurangi potensi kerugian dan melindungi subjek dalam penelitian. Dengan
adanya EC didapatkan bahwa penelitian tersebut layak diteliti.

6. Gambar 1: Logo jamu, gambar 2 : Obat herbal tersandar (berdasarkan uji farmakologi
dan toksisitas pada hewan), gambar 3 : fitofarmaka (uji farmakologi, uji toktisitas pada
hewan dan uji klinis pada manusia)

7. Menghitung dosis : uji preklinis


Syarat hewan uji : hampir sama dengan manusia, hewan tidak punah
Jump 4 : Skema

Fitofarmaka dan Uji


ETIK
Farmakologi Obat

Klasifikasi dan Taksonomi Tumbuhan di Indonesia


serta Aceh

Jenis Uji Obat

Jamum OHT Fitofarma Uji Pre Uji hewan Uji


u makaAKA Klinik coba dan Klinik
menghitung
dosis
kemanusiaa
IN VIVO IN VITRO

JUMP 5 : Learning Objectives

1. Klasifikasi dan toksonomi serta zat aktif tumbuhan obat di Aceh dan Indonesia

2. Jamu dan OHT

3. Fitofarmaka

4. Uji preklinik (in vivo, in vitro)

5. Uji Klinik (termasuk EC)

6. Hewan coba dan menghitung dosis hewan coba pada manusia


JUMP 7 : Sharing Information

1. Klasifikasi Dan Toksonomi Serta Zat Aktif Tumbuhan Obat Di Aceh Dan
Indonesia

Taksonomi
Taksonomi tumbuhan adalah ilmu yang mempelajari penelusuran, penyimpanan contoh,
pemerian, pemahaman (identifikasi), pengelompokan (klasifikasi), serta penamaan tumbuhan.
Ilmu indonesia merupakan cabang dari taksonomi. Taksonomi tumbuhan (juga hewan) sering
kali dikacaukan dengan sistematika tumbuhan dan klasifikasi tumbuhan. Klasifikasi tumbuhan
merupakan bagian dari taksonomi tumbuhan. Sistematika tumbuhan adalah ilmu yang berkaitan
sangat erat dengan taksonomi tumbuhan. Tetapi, sistematika tumbuhan lebih tidak sedikit
mempelajari hubungan tumbuhan dengan proses evolusinya. Dalam sistematika bantuan ilmu
seperti filogeni dan kladistika banyak berperan. Di sisi lain, taksonomi tumbuhan lebih banyak
mempelajari aspek penanganan sampel-sampel (spesimen) tumbuhan dan pengelompokan
(klasifikasi) berdasarkan contoh-contoh ini. Ilmu taksonomi tumbuhan mengalami melimpah
perubahan cepat semenjak digunakannya berbagai teknik biologi molekular dalam berbagai
kajiannya. Pengelompokan spesies ke dalam banyak takson sering kali berubah-ubah tergantung
dari sistem klasifikasinya. Taksonomi tumbuhan adalah ilmu yang mempelajari penelusuran,
penyimpanan contoh, pemerian, pengenalan (identifikasi), pengelompokan (klasifikasi), dan
penamaan tumbuhan. Ilmu ini merupakan cabang dari taksonomi.
Berdasarkan Kalsifiksainya dibagi menjadi :
 Kingdom
 Divisi
 Kelas
 Ordo
 Family
 Genus
Species Dalam plant kingdom, divisi yang paling penting adalah
 Thallophites
 Bryophytes
 Pteriophytes
 Spermatophytes
Produksi Jahe
Jahe atau ginger merupakan tanaman salah satu jenis tanaman rempah rempahan yang
telah dikenal lama manfaat dan khasiatnya di Indonesia. Jahe merupakan tanaman yang banyak
memiliki manfaat antara lain sebagai jamu atau obat-obatan, bahan baku industri makanan dan
minuman, bumbu masakan, minyak wangi, dan kosmetik (Kementerian Pertanian, 2002). Jahe
banyak digunakan dalam ramuan obat tradisional karena manfaatnya seperti mengurangi
gangguan pencernaan, menyembuhkan mabuk ketika berpergian menggunakan kendaraan,
mengurangi peradangan dan nyeri, migrain, mencegah kanker, dan meningkatkan system
kekebalan tubuh.
Rimpang jahe (ginger) merupakan akar tanaman herbal yang termasuk dalam keluarga
zingiber of icinale roscoe berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau yang menyengat.
Rimpang jahe merupakan bahan alami mengandung phenolic aktif, seperti shogaol dan gingerol.
Rimpang jahe juga bersifat atau memiliki efek antioksidan dan antikanker.

Produksi Kunyit
Kunyit atau Curcuma Domestica Val merupakan tanaman obat yang berupa semak dan
bersifat tahunan. Kunyit pada umumnya dikonsumsi orang Asia baik sebagai bumbu dapur,
jamu, sebagai obat, maupun kecantikan. Kunyit sangat bermanfaat untuk kesehatan karena
fungsinya sebagai anti oksidan, anti inflamasi, anti tumor, anti mikroba, pencegah kanker, dan
menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah.

Produksi Laos/Lengkuas
Lengkuas atau laos adalah salah satu tumbuhan rempah yang termasuk keluarga
Zingiberaceae. Sebagai tanaman obat lengkuas mempunyai banyak kasiat antara lain sebagai
immunomodulator atau peningkat daya tahan tubuh, penurun tekanan darah tinggi, dan
meningkatkan kesuburan pada pria. Ketersediaan tanaman lengkuas sangat banyak di Indonesia.

Produksi Kencur
Kencur adalah jenis tanaman yang berasal dari India dan tumbuh di dataran rendah atau
pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak banyak mengandung air. Sebagai tanaman obat,
kencur mempunyai banyak manfaat seperti penambah nafsu makan, influenza, masuk angin,
diare, batuk, kencing batu, keseleo, radang lambung, sakit kepala, menghilangkan darah kotor
dan memperlancar haid .
JAMU, OHT dan FITOFARMAKA

Indonesia terdapat 3 macam obat herbal yang diumumkan oleh Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) yaitu : Obat tradisional (jamu, obat tradisional impor, obat tradisional lisensi),
obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Sesuai keputusan Kepala BPOM No
HK.00.05.4.2411 tertanggal 17 Mei 2004 tentang Ketentuan pokok pengelompokan dan
penandaan obat bahan alam Indonesia terdapat logo 3 macam serta kriteria masing-masing jenis.

Kriteria obat tradisional, OHT dan fitofarmaka adalah sebagai berikut:

A. Obat Tradisional (Jamu)

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan Jamu adalah salah satu bentuk obat
tradisional.

Jamu harus memenuhi kriteria :

 aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.


 klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
 memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
 jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata- kata: ” Secara tradisional
digunakan untuk …”.

Contoh jamu bermerek adalah Kuku bima, Pegal linu, Gemuk sehat, Tolak angin, Tuntas, Rapet
wangi, Kuldon, Strong pas, Tolak Angin, Antangin Mint, Antangin Jahe merah, Darsi, Enkasari,
Batugin elixir, ESHA, Buyung upik, Susut perut, Selangking singset, Herbakof, Curmino.

Logo Jamu
Pada jamu tidak boleh ada klaim khasiat menggunakan istilah farmakologi/medis seperti
jamu untuk hipertensi, jamu untuk diabetes, jamu untuk hiperlipidemia, jamu untuk TBC, jamu
untuk asma, jamu untuk infeksi jamur candida, jamu untuk impotensi dll.

Pemerintah Indonesia melaksanakan Program Saintifikasi Jamu atau Scientific Based Jamu
Development , yaitu penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan Tanaman
Obat menjadi Jamu Saintifik, meliputi tahap-tahap :

1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat
secara tradisional.

2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/ komplementer.

3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.

4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan
formal. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program digunakan untuk terapi komplementer di
fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat jika mereka menginginkan untuk
mengonsumsi Jamu saja sebagai subyek dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif
dan paliatif.

B. Obat Herbal Terstandarisasi (OHT)

Obat Herbal Terstandarisasi (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan bahan
bakunya telah distandarisasi.

OHT harus memenuhi kriteria :


 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
 Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan percobaan).
 Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Contoh OHT yang beredar di Indonesia adalah Antangin JRG, OB Herbal, Mastin, Lelap,
Diapet.

Tolak Angin
Komposisi: Foeniculi Fructus 10% Kayu Ules (Isorae Fructus) 10% Daun cengkeh (Caryophilili
Folium) 10% Jahe (Zingiberis Rhizoma) 10% Daun Mint (Menthae arvensitis Herba) 10% Madu
Bahan lain hingga 18,9 gram
C. Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia), bahan baku
dan produk jadinya sudah distandarisasi.

Fitofarmaka memenuhi kriteria :

 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.


 Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan) dan klinik (pada manusia).
 Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
 Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.

Contoh fitofarmaka: Stimuno, Tensigard, Xgra, Nodiar, Inlacin, VipAlbumin plus,


Rheumaneer.

Memang fitofarmaka merupakan obat herbal yang diresepkan oleh para dokter mengingat sudah
teruji baik pada hewan maupun manusia.

Sesuai peraturan BPOM No. 32 tahun 2019 tanggal 23 Oktober 2019 tentang Persyaratan
Keamanan dan Mutu Obat Tradisional maka apa pun bentuk sediaan yang dibuat dan didaftarkan
sebagai obat tradisional, OHT atau fitofarmaka harus memenuhi parameter uji persyaratan
keamanan dan mutu obat jadi yaitu : organoleptik, kadar air, cemaran mikroba (E.coli,
Clostridia, Salmonella, Shigella), aflatoksin total, cemaran logam berat (Arsen, Timbal,
Kadmium dan Merkuri), ditambah dengan keseragaman bobot, waktu hancur, volume
terpindahkan serta kadar alkohol/pH tergantung bentuk sediaannya. Selain itu untuk OHT dan
fitofarmaka harus memenuhi uji kualitatif dan kuantitatif dalam hal bahan baku (bagi OHT) dan
bahan aktif (bagi fitofarmaka), serta residu pelarut (jika digunakan pelarut selain
etanol). Pengujian semua parameter harus dilakukan di laboratorium terakreditasi atau
laboratorium internal industri/usaha obat tradisional yang diakui oleh BPOM. Pada
ketentuan peralihan dinyatakan bahwa izin edar obat tradisional yang telah ada sebelum
berlakunya Peraturan Badan ini, tetap berlaku dan harus menyesuaikan dengan Peraturan Badan
ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Badan ini diundangkan. Jadi memang
bukan BPOM yang melakukan pengujian tersebut.
UJI PREKLINIK

Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-klinik,atau uji efek
farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu
produk yang baru.
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi
tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya
yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur
sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada
hewan.

 Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Penelitian dengan
hewan dapat diketahui apakah obat aman atau menimbulkan efek toksik pada dosis
pengobatan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi:
Toksisitas akut atau kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas),
pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) atau teratogenisitas

Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk
menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell
line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-
lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan, Tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan,
belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia,
untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.

Uji in Vivo dan In Vitro

Uji praklinik dibagi menjadi 2 jenis yakni uji invitro dan in vivo. Uji in vitro adalah
pengujian “kandidat” obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian ini dilakukan pada kultur
bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi.
 Jika hasilnya positif, kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada
makhluk hidup (hewan). Hewan yang digunakan adalah hewan yang diketahui
genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmut,
babi, anjing atau primata. Melalui pengujian ini akan bisa diprediksi efek
penggunaan obat pada manusia terutama terkait efek toksik yang dihasilkan.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi efek samping
obat akibat konsumsi jangka pendek dan jangka panjang, kerusakan atau mutase
genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas), pertumbuhan sel kanker
(karsinogenisitas) dan kecacatan pada janin (teratogenisitas).

 Pengujian pada hewan juga dilakukan untuk mempelajari nasib obat dalam tubuh
(farmakokinetik) “kandidat” obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi obat. Semua hasil pengujian pada hewan tersebut menjadi bahan
evaluasi untuk menentukan apakah “kandidat” obat tersebut dapat dilanjutkan
dengan uji pada manusia atau tidak

 Senyawa atau molekul “kandidat” obat yang lolos uji praklinik, maka disebut IND
(Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian selanjutnya akan diuji
pada manusia (uji klinik).

Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo adalah:

1. Pemilihan spesies hewan uji  Tikus/kelinci/kucing


2. Galur dan jumlah hewan  Tikus Wistar/Sprague Dawley
3.Cara pemberian sediaan uji  IV, PO, IM
4. Pemilihan dosis uji
5. Efek samping sediaan uji
6. Teknik dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama
percobaan
UJI KLINIK

Uji klinik merupakan penelitian yang dilakukan pada obat baru yang bertujuan
untuk mengevaluasi dampaknya pada Kesehatan manusia. Uji klinik dirancang,
dilaksanakan dan dievaluasi secara ketat untuk memastikan keamanan subjek
uji. Pengujian ini baru dapat dilalsanakan setelah melewati uji dulu kelayakan oleh
komite etik sesuai Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

1. Fase 0, Fase ini merupakan fase pendahuluan yang dilakukan pada sukarelawan sehat.
Fase ini merupakan pendahuluan sebelum fase sebenarnya. Fase ini dilakukan dengan
pemberian obat pada dosis yang sangat kecil yang tidak memiliki efek terapi untuk
mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia
(4).

2. Fase I, Fase ini merupakan fase pengujian yang sesungguhnya. Fase ini berfokus pada
aspek keamanan dari obat baru. Fase ini dilakukan pada sukarelawan sehat dalam jumlah
kecil berkisar antara 20 – 100 orang (5) untuk mengamati efek samping yang paling
sering muncul dan yang paling berbahaya dari obat baru serta untuk mengamati profil
farmakokinetik obat pada manusia (4).

3. Fase II, Fase ini difokuskan untuk mengamati efektivitas obat baru. Obat baru diuji pada
pasien dengan kondisi/penyakit tertentu, kemudian diamati efek yang timbul pada
penyakit yang diobati. Hal yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pengujian pada fase ini
kelompok pasien yang diterapi dengan obat baru biasanya akan dibandingkan dengan
kelompok pasien yang diterapi dengan obat lain atau obat tanpa bahan aktif (plasebo) (4).
Fase ini juga mengevaluasi keamanan dan efek samping jangka pendek serta mulai
dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat (3).

4. Fase III, Fase ini merupakan fase yang berfokus untuk mengamati keamanan dan
efektivitas obat baru pada populasi yang berbeda, dosis yang berbeda dan menggunakan
obat baru yang dikombinasikan dengan obat lain dengan melibatkan kelompok besar
pasien. Fase ini menilai variabilitas efektivitas obat pada popolasi yang beragam. Setelah
melewati uji klinis fase III inilah umumnya banyak obat baru yang ditolak atau tidak
layak digunakan. Hingga akhirnya mungkin hanya 1 : 10.000 obat baru yang lolos untuk
dipasarkan karena memiliki kelebihan dalam hal efikasi dan keamanan maupun efek
samping dan resiko yang lebih kecil dibandingkan obat yang ada. Keputusan untuk
menyetujui obat baru untuk dipasarkan dilakukan oleh badan khusus, seperti Badan
Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia, FDA (Food and Drug Administration) di
Amerika Serikat, MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency) di
Inggris, EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) di negara
Eropa lain dan TGA (Therapeutics Good Administration) di Australia. Selanjutnya obat
baru yang lolos uji klinis fase III diizinkan untuk diproduksi dan dipasarkan dengan nama
dagang tertentu oleh industri farmasi sebagai legal drug serta dapat diresepkan oleh
dokter (3).

5. Fase IV, Fase ini sebenarnya bukan pengujian yang sesungguhnya, melainkan studi
pasca pemasaran (post marketing surveillance) setelah obat disetujui untuk dipasarkan.
Fase ini mengamati penggunaan obat pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia
dan ras yang bertujuan untuk mengevaluasi lebih lanjut tingkat keamanan, efikasi dan
kodisi penggunaan yang optimal (6). Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih
memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh
dekstroksipropoksifen suatu obat penghilang nyeri yang bahkan sudah digunakan selama
40 ditarik dari perdagangan karena efek kematian akibat overdosi

ETHICAL CLEARANCE

Etik merupakan seperangkat prinsip yang harus dipatuhi agar pelaksanaan


suatu kegiatan oleh seseorang atau profesi dapat berjalan secara benar (the right conduct), atau
suatu filosofi yang mendasari prinsip tersebut. Penelitian bidang kesehatan pada
awalnya merupakan penelitian bidang kedokteran, umumnya dilakukan oleh para dokter pada
diri sendiri atau anggota keluarganya serta orang-orang yang terdekat. Pada waktu dulu hal ini
dilakukan tanpa terjadi masalah mengganggu. Etik penelitian kedokteran mulai menjadi
perhatian karena mulai menimbulkan masalah antara lain akibat adanya pelanggaran hak
individu atau subyek manusia dan kesadaran masyarakat yang makin meningkat.

Kode etik peneliti terdiri dari 3 aspek, yaitu :

1. Etika Penelitian  kegiatan penelitian yang dilakukan dalam rambu yang etis dan dengan
metode yang benar.
2. Etika Perilaku  sikap pribadi peneliti yang dijaga untuk selalu etis
3. Etika Publikasi  melakukan publikasi penelitian dengan cara yang etis

Hewan Coba Dan Menghitung Dosis Hewan Coba Pada Manusia

Hewan Uji Dipertimbangkan berdasarkan :

(1) Sensitivitas
(2) Cara metabolisme sediaan sediaanuji yang serupa dengan manusia
(3) Kecepatan kecepatan kecepatan kecepatantumbuh tumbuh
 Dosis uji harus harus mencakup dosis setara dengan dengan dosis yang lazim pada
manusia.
 Dosis lain meliputi dosis dengan faktor faktor perkalian tetap yang mencakup dosis yang
setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia sampai mencapai dosis yang yang
dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atausampai batas dosis tertinggi yang masih dapat
yang masih dapat diberikan pada hewan uji .

Kondisi ruangan dan penandaan hewan uji


Cara mengorbankan hewan uji

Euthanasia : Hewan dibius(anastesi) terlebihdahulu, kemudian dipisahkan dengan hewan lainnya.

Teknik mengorbankan hewan uji 

 Cara dislokasi leher untuk hewan kecil sepertimencit, tikus


 Cara anastesi  ruteinhalasiataupenyuntikan
 Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis/ arterikarotid

Cara Penandaan Hewan Uji

Anda mungkin juga menyukai