Anda di halaman 1dari 9

INFLAMASI AURIKULA

Gol Penyakit SKDI : 3A


Yuli dwiharyani
0907101010142
yulidwiharyani91@gmail.com

1. DEFINISI
Inflamasi aurikula merupakan suatu reaksi tubuh terhadap bahan infeksi, antigen ataupun
karena cedera fisik pada cartilago, serta lapisan jaringan ikat sekitarnya atau perikondrium
aurikula.

2. ETIOLOGI
2.1 Impetigo
Impetigo merupakan infeksi kontagiosa yang mengenai lapisan epidermis superfisial.
Sering disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus, atau yang lebih jarang Streptococcus
pyogenes. Impetigo canalis aurikularis umumnya ditemukan pada anak-anak, dan sering juga
pada bagian lain seperti sudut mulut. Walaupun infeksi ini sering terjadi pada anak-anak terlantar
tetapi dapat juga terjadi pada setiap orang (Lewis, 2005).

2.2 Erysipelas
Erysipelas merupakan selulitis akut yang terlokalisasi namun meluas secara superfisial
pada aurikula, erysipelas disebabkan oleh Streptococcus β hemolitikus grup A (Underbrink,
2001), ini dapat diakibatkan karena menggaruk atau self-inoculation oleh pasien yang mencoba
untuk membersihkan telinganya. Tidak seperti pada swimmer’s ear dan impetigo yang
merupakan infeksi epidermal, erysipelas menginfeksi dermis dan dengan bertambahnya waktu
akan mengenai jaringan yang lebih dalam (Jahn dan Hawke, 1990).

2.3 Herpes Zooster Otikus


Herpes zoster otikus merupakan infeksi virus pada telinga yang disebabkan oleh virus
varicella zoster. Virus tersebut menyebabkan infeksi sepanjang dermatome satu atau lebih nervus
cranialis (Underbrink, 2001).

2.4 Eczema
Eczema atau dermatitis pada telinga merupakan suatu peradangan kulit (epidermis dan
dermis) yang melibatkan liang telinga, meatus dan concha di dekatnya (Boies, 1997) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen seperti bahan kimia (detergen, asam, basa, oli,
semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur) dan atau faktor endogen, misalnya
dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti (Sularsito dan Djuanda,
2007).

2.5 Ot Hematoma
Ot Hematoma merupakan hematoma daun telinga akibat suatu rudapaksa yang
menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruangan antara perikondrium dan kartilago. Keadaan ini
biasanya terdapat pada remaja atau orang dewasa yang mempunyai kegiatan memerlukan
kekerasan, namun bisa saja dijumpai pada usia lanjut dan anak-anak.

2.6 Perikondritis
Infeksi bacterial pada perikondrium atau kartilago umumnya disebabkan oleh trauma dan
kecelakaan pada aurikula (Underbrink, 2001). Bakteri yang sering menyebabkan perikondritis
adalah Pseudomonas aeruginosa (Lee, 2006). Selain itu, bakteri mikrokokus jenis virulen seperti
Stafilococcus, Streptococcus juga dilaporkan sebagai penyebab perikondritis (Boies, 1997). Pada
kasus-kasus dimana perikondritis muncul secara spontan, kecurigaan paling tinggi harus
ditingkatkan pada pasien dengan diabetes melitus (Underbrink, 2001).

3. PATOFISIOLOGI INFLAMASI
Inflamasi adalah reaksi tubuh yang kompleks terhadap invasi bahan infeksi, tantangan
antigen atau bahkan hanya cedera fisik (Gina, 2004). Inflamasi meliputi ikut sertanya aktifitas
banyak tipe sel dan mediator. Secara normal cedera jaringan atau adanya bahan asing menjadi
pemicu kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari enzim, mediator, cairan ekstravasasi,
migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda
inflamasi berupa : kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi (Subagyo,
2002).
Terjadi 3 proses utama selama reaksi inflamasi ini yaitu, aliran darah ke daerah itu
meningkat, permeabilitas kapiler meningkat, leukosit, mula-mula neutrofil dan makrofag, lalu
limfosit keluar dari kapiler menuju ke jaringan sekitarnya.selanjutnya bergerak ke tempat yang
cedera dibawah pengaruh stimulus-stimulus kemotaktik (Subagyo, 2002).
Bila ada antigen menyerang, maka rentetan respon imun nonspesifik dan spesifik diaktivasi
untuk menangkis antigen tersebut. Mula-mula, respons imun nonspesifik bekerja untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Bila ini berhasil, inflamasi akut berhenti. Apabila respons imun
nonspesifik tidak berhasil, maka respons imun spesifik diaktivasi untuk menangkis antigen
tersebut. Inflamasi berhenti apabila usaha ini berhasil, bila tidak maka inflamasi ini menjadi
kronik dan seringkali menyebabkan destruksi yang ireversibel pada jaringan (Gina, 2004).

4. MANIFESTASI KLINIS
4.1 Impetigo
Impetigo tidak disertai gejala umum, lebih sering terjadi pada anak-anak (Djuanda, 2007).
Impetigo umumnya ditularkan ke telinga melalui jari yang kotor. Untuk alasan ini, bentuk lesi
awal ditemukan pada pintu masuk kanalis eksterna. Tidak seperti furunkulosis, impetigo
merupakan infeksi yang menyebar pada daerah superficial yang mana dapat meluas sampai ke
choncha bahkan seluruh aurikula. Lesi awal terbentuk suatu bula kecil yang bila ruptur atau
pecah akan mengeluarkan eksudat infektif berwarna kekuningan. Eksudat mengering menjadi
krusta keemasan. Seiring dengan penyebaran infeksi, daerah yang terkena meluas dan terlihat
krusta (Jahn dan Hawke, 1990).

4.2 Erysipelas
Bentuk klinis erysipelas adalah nyeri dan pembengkakan. Lesi berupa penyebaran selulitis
yang berwarna merah dengan suatu perimeter iregular yang meninggi dan berbatas jelas dari
kulit normal disekitarnya. Bila erysipelas mulai pada MAE atau pada aurikula, lesi secara khusus
menyebar pada anterior wajah tanpa terpengaruh batasan-batasan anatomis (Jahn dan Hawke,
1990). Erysipelas disertai gejala konstitusi seperti pasien merasa sakit, menggigil, demam dan
malaise (Djuanda, 2007). Keterlibatan sistemik tidak terlihat pada banyak infeksi superfisial
(Jahn dan Hawke, 1990).

4.3 Herpes Zoster Otikus


Gejala awal berupa nyeri terbakar pada salah satu telinga, yang mungkin disertai sakit
kepala, malaise dan demam selama 2 hari. Vesikel umumnya muncul pada hari ke 3 sampai hari
ke 7 setelah onset nyeri, dan biasanya timbul pada antiheliks, concha dan posterior lateral MAE.
Infeksi pada ganglion genikulatum juga dapat muncul disertai parese facialis atau paralisis
komplit (Underbrink, 2001).

4.4 Eczema
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Pada stadium akut kelainan kulit
berupa eritema, edema, vesikel atau bula erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans).
Stadium subakut, edema dan eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada
stadium kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul dan likenifikasi, mungkin
juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan,
biasanya suatu dermatitis sejak awal memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium
kronis (Sularsito dan Djuanda, 2007).

4.4 Ot hemathoma
Pada ot hemathoma aurikula dapat terbentuk penumpukan bekuan darah diantara
perikondrium dan tulang rawan. Bila bekuan darah ini tidak segera dikeluarkan maka dapat
terjadi organisasi dari hemathoma, sehingga tonjolan menjadi padat dan permanen (Sosialisman
dan Helmi, 2004).

4.4 Perichondritis
Tampak daun telinga membengkak, merah, panas, dirasakan nyeri, dan nyeri tekan.
Pembengkakan ini dapat menjalar ke bagian belakang daun telinga, sehingga sangat menonjol.
Terdapat demam, pembesaran kelenjar linfe regional dan leukositosis. Serum yang terkumpul
dilapisan subperikondrial menjadi purulen, sehingga terdapat fluktuasi diffuse atau terlokalisasi
(Mansjoer et al, 2000).

5. DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, dimana penderita akan mengeluhkan
adanya gejala konstitusi seperti demam, sakit, malaise dll. Apakah pasien mengeluh rasa gatal,
nyeri atau tidak pada daun telinga. Dan keluhan-keluhan khusus yang mengarah ke diagnosa
impetigo, erysipelas, herpes zoster otikus, eczema, ot hematoma dan perikondritis. Kedua
berdasarkan inspeksi, dimana akan kita dapatkan adanya effloresensi yang spesifik seperti
eritematous, edema, krusta, nodula, vesikel, bula dan sebagainya yang mengarah ke diagnosa
etiologi inflamasi aurikula. Ketiga yaitu dengan palpasi untuk menemukan adanya fluktuasi dan
untuk memastikan tidak adanya nyeri tekan. Terakhir kita lakukan tindakan pengambilan sekret
untuk dilakukan kultur dan sensitivitas kuman pada kecurigaan infeksi dan aspirasi untuk
mendapatkan adanya cairan serohemoragis pada ot hematoma.

6. DIAGNOSA BANDING
Impetigo dapat didiagnosa banding dengan furunkulosis, vesikula eksem, otomikosis,
herpes zoster otikus dan varicella (Cole dan Gazewood, 2007). Erysipelas didiagnosa banding
dengan ot hematoma, perikondritis, erisypeloid, dermatitis kontak, polychondritis, tuberculoid
leprosy. Ot Hematoma dapat didiagnosa banding dengan perichondritis dan erysipelas. Untuk
perikondritis dapat didiagnosa banding dengan erysipelas, ot hematoma, relapsing polykondritis,
frosbite, furunkulosis, leprosi daun telinga dan dermatitis daun telinga (Subagio, 2006). Eczema
didiagnosa banding dengan psoriasis dan infeksi pada kulit. Suatu reaksi kulit akibat kepekaan
terhadap neomisin dapat tampil dengan pola yang mirip dengan eczematosa (Boies, 1997).
Beberapa diagnosa banding dari herpes zoster otikus antara lain adalah furunkulosis, vesikula
eksem dan impetigo (Deepak, 2005).

7. KOMPLIKASI
Impetigo umumnya tidak berbahaya, namun kadang-kadang dapat memberikan komplikasi
Poststreptococcal glomerulonephritis (PSGN), Cellulitis, dan infeksi Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (Cole dan Gazewood, 2007).
Komplikasi erysipelas yang paling sering adalah limfangitis yang lebih sering muncul
daripada keadaan patologis yang lain. Komplikasi erysipelas yang lain yaitu abses, flegmon,
tropic ulcer dan nekrosis kulit (Liviu, 2008).
Infeksi virus varisella zoster pada ganglion genikulatum dapat muncul disertai parese
facialis atau paralisis komplit (Underbrink, 2001). Pada eczema bila stadium akut tidak diatasi,
maka dapat terjadi perubahan-perubahan kronik yang ditandai dengan penebalan kulit dan
bahkan stenosis pada MAE. Pada kasus demikian, mungkin ada baiknya berkonsultasi dengan
ahli kulit (Boies, 1997). Komplikasi infeksi daun telinga sangat ditakuti karena dapat
menyebabkan seluruh daun telinga terkena infeksi dan mengubah bentuk daun telinga menjadi
Cauliflower ear.

8. PENATALAKSANAAN
8.1 Impetigo
Impetigo pada telinga sebaiknya dirawat dengan debridement pada daerah yang terkena.
Hal ini dapat dikerjakan dengan menggunakan lidi kapas yang sudah dibasahi dengan cairan
antiseptik atau hidrogen peroksidase. Daerah yang terinfeksi kemudian ditutup dengan salep
antibiotik. Salep yang mengandung neomycin sangat berguna, juga mucopirin (bactroban), suatu
salep single-agent dengan aktifitas anti-Stafilokokkus. Antibiotik sistemik umumnya tidak
diperlukan, walaupun daerah yang terinfeksi meluas. Bila impetigo gagal diatasi dengan terapi
lokal, perlu dikonsulkan pada bagian dermatologi (Jahn dan Hawke, 1990).

8.2 Erysipelas
Terapi erysipelas meliputi antibiotik topikal dan sistemik. Obat anti-streptokokkal dosis
tinggi dapat dicoba, tapi bila pasien gagal menunjukkan respon yang signifikan dalam 48 jam,
harus disadari pemberian antibiotik intravena yang efektif melawan β sterptokokkus (Jahn dan
Hawke, 1990).

8.3 Herpes Zoster otikus


Oral steroid secara umum diberikan dan di tappering off bila diberikan diatas 10-14 hari.
Pengobatan dengan acyclovir, famcyclovir dan valacyclovir telah ditunjukkan keevektifannya
dalam memperpendek fase penyebaran virus dan mengurangi otalgia (Underbrink, 2001).

8.4 Eczema
Pengobatan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi,
karena eczema disebabkan oleh multi faktorial, kadang juga tidak diketahui dengan pasti. Jadi
pengobatan bersifat simptomatis yaitu dengan mengurangi atau menghilangkan gejala dan
keluhan, dan menekan keradangan (Sularsito dan Djuanda, 2007). Bila aurikula terlibat cukup
luas dan lesi tampaknya meluas, maka dapat dianjurkan kompres basah larutan solusio Burowi
selama 24-48 jam, setelah itu gunakan salep dan solusio steroid fluorinasi. Dengan sendirinya
bila infeksi dicurigai, dapat diberikan antibiotik topikal (Boies, 1997).

8.5 Ot Hematoma
Mengeluarkan isi hematoma yaitu bisa secara aspirasi atau insisi. Aspirasi dilakukan
dengan jarum aspirasi nomor 18 untuk mencegah reakumulasi dari hematoma. Prinsip
selanjutnya setelah dilakukan aspirasi atau insisi dilakukan penekanan untuk mencegah
reakumulasi antara lain dengan cara: pembalutan seperti pemasangan perban, penekanan paksa
mastoidektomi, penekanan lokal dengan bloster yang dijahit. Menggunakan penekanan gips yang
dipasang di depan dan dibelakang. Menggunakan perban gipsona yang melingkari daun telinga.
Disamping kedua tahap ini, juga penting pemberian antibiotik yang adekuat.

8.6 Perikondritis
Kasus mild perikondritis dapat diterapi dengan debridement dan antibiotik topikal atau
oral (Underbrink, 2001). Tetapi pengobatan dengan antibiotik sering gagal karena kuman yang
dituju yaitu, Pseudomonas aeruginosa sering resisten terhadap sebagian besar antibiotik. Yang
paling efektif adalah Tobramisin diberikan bersama-sama Tikarsilin secara sistemik, selama 2
minggu, dengan memantau fungsi ginjal (Mansjoer et al., 2000) Bila infeksi menyebar mengenai
jaringan ikat dan jaringan linfe regional, pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik parenteral.
Bila terjadi infeksi subakut atau kronis pada perikondrium atau kartilago dan tetap berlanjut
walaupun sudah diberi perawatan, intervensi surgical dibawah kontrol dapat diindikasikan.
Pembedahan meliputi eksisi jaringan nekrotik, kemudian dilakukan lokal skin flap. Irigasi
dengan drain kecil sebaiknya ditempatkan dibawah flaps dan diirigasi dengan cairan antibiotik
tiga kali sehari. Drain dapat diteruskan sesuai perbaikan kondisi (Underbrink, 2001).

9. PROGNOSA
Pada umumnya prognosis inflamasi aurikula ini baik bila diagnosa ditegakkan secara
tepat dan penatalaksanaan diberikan secara dini.
DAFTAR PUSTAKA

Alford, B.R. 2006. Cor Curriculum Syllabus: Review of Anatomy-Temporal Bone and Ear.
Available at: http://www.bcm.edu/oto/studs. [Diakses 14 April 2013].
Boies, Lawrence R. 1997. Penyakit Telinga Luar. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
EGC. Jakarta. 81-2.
Cole, C dan Gazewood, J. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo. Available at:
http://www.aafp.org. [Diakses 14 April 2013].
Deepak, A. 2005. Ramsay Hunt Syndrome: Departemens of Neurology, Pediatrics and
Pathology. University of Chicago Hospital and Clinic. http://www.emedicine.com.
Diakses 25 Maret 2008.
Djuanda, A. 2007. Pioderma. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 57-63.
Gina, S.H. 2004. Inflamasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. Hal. 12-5.
Hanif et al., 2000. Lesson of the Week: ”High” Ear Piercing and the Rising Insidence of
Perichondritis of the Pinna. Available at: http://www.bmj.com/cgi. [Diakses 14 April
2013].
Hutchinson dan Atlanta. 1995. Otitis Externa: A Pesonal Pespective. Available at:
http://www.utmb.edu/oto. [Diakses 29 Februari 2008].
Lee. 2006. Perichindritis. Medical Encyclopedia. Available at: http://.www.nlm.nih.gov.
[Diakses 14 April 2013].
Lewis, L. 2005. Impetigo. Available at: http://www.education.com/reference/article. [Diakses
14 April 2013].
Liviu, I. 2008. Clinical, Immunological, Characteristics and Optimization of Erysipelas.
Available at: http://www.cnaa.acad.md. [Diakses 14 April 2013].
Mansjoer, A et al. 2000. Perikondritis. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Media
Aesculapius. FKUI. 94-5.
Nurcahyo. 2007. Kelainan Pada Telinga Luar. Available at: http://www.medicastore.com.
[Diakses 14 April 2013].
Sosialisman dan Helmi, 2004. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 5.
Balai Penerbit FKUI. Hal. 44-5.
Subagyo, Retno L. 2002. Pemilihan NSAID Untuk Berbagai Situasi Klinik. Available at:
http://www.pogi-online.org. [ Diakses pada 14 April 2013].
Sularsito, S.A dan Djuanda, S. 2007. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5.
FKUI. Jakarta. Hal. 129-30.
Underbrink, Michael. 2001. Infection of External Ear. Available at: http://wwwutmb.edu/otore.
[Diakses 14 April 2013].

Anda mungkin juga menyukai