1. Definisi
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada permukaan
jaringan lunak dan bersifat difus (Neville, 2004). Selulitis dapat terjadi pada semua tempat
dimana terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena
biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna. Selulitis mengenai
jaringan subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan,
ukurannya besar, spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri.
Tidak terdapat fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu
lokalisasi cairan (Peterson, 2002). Penyebaran infeksi selulitis progressif mengenai daerah
sekitar, bisa melewati median line, kadang-kadang turun mengenai leher (Pedlar, 2001).
2. Perbedaan abses dan selulitis
KARAKTERISTIK SELULITIS ABSES
Durasi Akut Kronis
Sakit Berat dan merata Terlokalisasi
Ukuran Besar kecil
Palpasi Indurasi jelas Fluktuasi
Lokasi Difus Berbatas jelas
Kehadiran pus Tidak ada Ada
Tingkat keparahan Lebih berbahaya Tidak darurat
Bakteri Aerob (streptococcus) Anaerob (staphylococcus)
Enzim yang dihasilkan Streptokinase / fibrinolisin Coagulase
Hyaluronidase
Streptodornase
Sifat Difuse Terlokalisir
Seorang pria berusia 29 tahun yang datang dengan massa leher submandibular yang teraba,
demam dan bintik-bintik merah di sisi kanan leher. CT scan heliks kontras ditingkatkan pada
tingkat mandibula menunjukkan abses besar dalam ruang submandibular kanan (panah);
pembengkakan dan peningkatan kepadatan yang terdiri dari selulitis dari ruang parapharyngeal
kanan (tanda bintang). Saluran udara dipindahkan secara kontrol
GAMBAR 1 A: tonjolan lidah memuncak pada obstruksi jalan nafas yang cepat dan progresif. B:
Melenturkan jaringan lunak di hemiface kiri, bergerak di luar otot masseter; pembengkakan
jaringan lunak di daerah servikal anterior bilateral, dengan area hypodense dan kontras
impregnasi yang tepat dan inferior terhadap kelenjar submandibular, mencatat gambar densitas
udara; reduksi orofaring pada daerah supraglotis.
Di ICU, pasien mengalami insufisiensi ventilasi berat, edema serviks, dan tonjolan lidah
(Gambar 1A) selain edema glotis, stridor laring, dan trismus. Karena secara klinis tidak mungkin
untuk melakukan intubasi orotrakeal, pasien menjalani tracheostomy darurat. Perawatan
termasuk dukungan hemodinamik dan ventilasi, terapi antibiotik intravena menggunakan
piperacillin / tazobactam, hidrokortison intravena, dan transfusi trombosit. Selanjutnya,
dilakukan CT scan serviks (Gambar 1B).
DAFTAR PUSTAKA
Berini, et al, 1997, Medica Oral: Buccal and Cervicofacial Cellulitis. Volume 4, (p337-50).
Dimitroulis, G, 1997, A Synopsis of Minor Oral Surgery, Wright, Oxford (71-81)
Falace, DA, 1995, Emergency Dental Care. A Lea & Febiger Book. Baltimore (p 214-26)
Milloro, M., 2004, Peterson’s of Principles Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd edition, Canada:
BC Decker Inc.
Neville, et al, 2004, Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders, Philadephia Pedlar, et al,
2001, Oral Maxillofacial Surgery. WB Saunders, Spanyotl (p90-100)
Peterson, et al, 2002, Oral and Maxillofacial Surgery. Mosby, St. Louis Topazian, R.G &
Golberg, M H, 2002, Oral and Maxillofacial Infection, WB Saunders, Philadelphia