Anda di halaman 1dari 5

DEFINISI ,ETIOLOGI, DAN PATOFISIOLOGI

1. Definisi
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada permukaan
jaringan lunak dan bersifat difus (Neville, 2004). Selulitis dapat terjadi pada semua tempat
dimana terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena
biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna. Selulitis mengenai
jaringan subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan,
ukurannya besar, spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri.
Tidak terdapat fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu
lokalisasi cairan (Peterson, 2002). Penyebaran infeksi selulitis progressif mengenai daerah
sekitar, bisa melewati median line, kadang-kadang turun mengenai leher (Pedlar, 2001).
2. Perbedaan abses dan selulitis
KARAKTERISTIK SELULITIS ABSES
Durasi Akut Kronis
Sakit Berat dan merata Terlokalisasi
Ukuran Besar kecil
Palpasi Indurasi jelas Fluktuasi
Lokasi Difus Berbatas jelas
Kehadiran pus Tidak ada Ada
Tingkat keparahan Lebih berbahaya Tidak darurat
Bakteri Aerob (streptococcus) Anaerob (staphylococcus)
Enzim yang dihasilkan Streptokinase / fibrinolisin Coagulase
Hyaluronidase
Streptodornase
Sifat Difuse Terlokalisir

3. ETIOLOGI: Streptococcus sp.


Mikroorganisme lainnya negatif anaerob seperti Prevotella, Porphyromona dan
Fusobacterium (Berini, et al, 1999). Infeksi odontogenik pada umumnya merupakan infeksi
campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob maupun anaerob mempunyai fungsi
yang sinergis (Peterson,2002).
Infeksi Primer selulitis dapat berupa: perluasan infeksi/abses periapikal, osteomyielitis
dan perikoronitis yang dihubungkan dengan erupsi gigi molar tiga rahang bawah, ekstraksi gigi
yang mengalami nfeksi periapikal/perikoronal, penyuntikan dengan menggunakan jarum yang
tidak steril, infeksi kelenjar ludah (Sialodenitis), fraktur compound maksila / mand ibula, laserasi
mukosa lunak mulut serta infeksi sekunder dari oral malignancy.
4. PATOFISIOLOGIS
Pada 88,4 % kasus selulitis fasialis disebabkan infeksi odontogenik yang berasal dari
pulpa dan periodontal. Periodontitis apikalis akut atau kelanjutan dari infeksi/abses periapikal,
menyebar ke segala arah waktu mencari jalan keluar. Ketika itu biasanya periosteum ruptur dan
infeksi menyebar ke sekitar jaringan lunak intra dan/atau extra oral, menyebabkan selulitis.
Penyebab utama selulitis adalah proses penyebaran infeksi melalui ruangan subkutaneus
sellular / jaringan ikat longgar yang biasanya disebabkan dari infeksi odontogenik. Penyebaran
ini 5 dipengaruhi oleh struktur anatomi lokal yang bertindak sebagai barrier pencegah
penyebaran, hal tersebut dapat dijadikan acuan penyebaran infeksi pada proses septik. Barrier
tersebut dibentuk oleh tulang rahang dan otot-otot yang berinsersi pada tulang tersebut (Berini, et
al,1999). Gambar 2. Perlekatan otot-otot pada tulang fasial (Topazian, 2004).
Menurut Dimitroulis (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dari infeksi
adalah mikroorganisme (Virulensi mikroorganisme, jumlah mikroorganisme, asal infeksi (pulpa,
periodontal, luka jaringan) dan toksisitas yang dihasilkan dan dikeluarkan dari mikroorganisme)
dan host (keadaan Umum (status kesehatan, sistem imun, umur) dan faktor lokal (suplai darah,
efektivitas sistem pertahanan)). Peterson (2002) menguraikan mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi dengan lebih jelas lag sebagai berikut: mekanisme pertahanan lokal, (barrier
anatomi tubuh yang intak dan populasi bakteri normal dalam tubuh ), mekanisme pertahanan
hurmoral (imunoglobulin dan komplemen) serta mekanisme selular (fagosit, granulosit, monosit
dan limfosit).
5. SELULITIS FASIALIS
5.1 Klasifikasi
Menurut Berini, et al (1999) selulitis dapat digolongkan menjadi:
5.1.1 Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasi a fasial, yang
ti ak d jelas batasnya. Infeksi ba kteri mengandung serous, konsistensinya sangat
lunak da spongius. Penamaannya berdasarkan ruang n anatomi atau spasia yang
terlibat. Gambar 5. Penamaan Selulitis Berdasarkan Spasia Yang Terlibat
(Peterson, 2002)
5.1.2 Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan
spasia yang dikena inya. Jika terbentuk eksudat yang pu rulen, mengindikasikan
tubuh bertende nsi membatasi penyebaran infeki s dan mekanisme resistensi lokal
tubuh dalam mengontrol infeksi. Peterson (2002) 9 beranggapan bahwa selulitis
dan abses sulit dibedakan, karena pada beberapa pasien dengan indurasi selulitis
mempunyai daerah pembentukan abses.
a. Nama lain Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
1) Ludwig’s Angina
2) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
3) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
4) Selulitis Fasialis Difus
5) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
b. Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi
pada pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan
perawatan yang adekuat atau tanpa drainase.
5.1.3 Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s .
Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharingeal (Berini, Bresco & Gray, 1999 ; Topazian, 2002).
Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai
satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.
Biasanya infeksi primer dari selulitis berasal dari gigi molar kedua dan ketiga
bawah, penyebab lainnya (Topazian, 2002): sialodenitis kelenjar submandibula,
fraktur mandibula compund, laserasi mukosa lunak mulut, luka yang menusuk
dasar mulut dan infeksi sekunder dari keganasan oral.
Gejala klinis dari Phlegmon (Pedlar, 2001), seperti oedema pada kedua sisi dasar
mulut, berjalan cepat menyebar ke leher hanya dalam beberapa jam, lidah
terangkat, trismus progressif, konsistensi kenyal – kaku seperti papan,
pembengkakan warna kemerahan, leher kehilangan anatomi normalnya, seringkali
disertai demam/kenaikkan temperatur tubuh, sakit dan sulit m enelan, kadang
sampai sulit bicara dan bernafas serta stridor.
Angina Ludwig’s memerlukan penangganan sesegera mungki , berupa: n rujukan
untuk mendapatkan perawatan rumah sakit, antibiotik intravenous dosis tinggi,
biasanya untuk terapi awal digunakan Ampisillin dikombinasikan dengan
metronidazole, penggantian cairan melalui infus, drainase through and through,
serta penangganan saluran nafas, seperti endotracheal intubasi atau tracheostomi
jika diperlukan.
6 GAMBARAN KLINIS DAN RADIOGRAFI
6.1 Klinis
Selulitis pada mulanya pembengkakan yang terjadi terbatas pada area tertentu yaitu satu
atau dua ruangan fasial yag tidak jelas batasnya. Palpasi pada region tersebut
mengungkapkan konsistensinya sangat lunak dan spongios. Pasien juga menunjukkan
gejala demam malaise, rasa sakit, pembengkakan, trismus disfagia dan limfadenitis. Pada
tahap ini akan terjadi leukositosis dan meningkatnnya laju endap darah (ESR). Apabila
perdarahan tubuh efektif, maka akan terjadi pembentukan infiltrate regional dan
konsistensi pembengkakan menjadi keras atau bahka seperti papan (board like). Pada saat
ini terjadi purulensi dan difus (tidak terlokalisir). Pada tahap ini potensi untuk menyebar
kejaringan sekitarnya sagat tinggi. Gambaran umum dari selulitis meliputi:
a. Edema
b. Sakit kepala
c. Kulit kemerahan
d. Edema yang difusi muncul pada daerah wajah tergantung gigi yang terinfeksi.
6.2 Radiografis

Seorang pria berusia 29 tahun yang datang dengan massa leher submandibular yang teraba,
demam dan bintik-bintik merah di sisi kanan leher. CT scan heliks kontras ditingkatkan pada
tingkat mandibula menunjukkan abses besar dalam ruang submandibular kanan (panah);
pembengkakan dan peningkatan kepadatan yang terdiri dari selulitis dari ruang parapharyngeal
kanan (tanda bintang). Saluran udara dipindahkan secara kontrol

GAMBAR 1 A: tonjolan lidah memuncak pada obstruksi jalan nafas yang cepat dan progresif. B:
Melenturkan jaringan lunak di hemiface kiri, bergerak di luar otot masseter; pembengkakan
jaringan lunak di daerah servikal anterior bilateral, dengan area hypodense dan kontras
impregnasi yang tepat dan inferior terhadap kelenjar submandibular, mencatat gambar densitas
udara; reduksi orofaring pada daerah supraglotis.
Di ICU, pasien mengalami insufisiensi ventilasi berat, edema serviks, dan tonjolan lidah
(Gambar 1A) selain edema glotis, stridor laring, dan trismus. Karena secara klinis tidak mungkin
untuk melakukan intubasi orotrakeal, pasien menjalani tracheostomy darurat. Perawatan
termasuk dukungan hemodinamik dan ventilasi, terapi antibiotik intravena menggunakan
piperacillin / tazobactam, hidrokortison intravena, dan transfusi trombosit. Selanjutnya,
dilakukan CT scan serviks (Gambar 1B).

DAFTAR PUSTAKA
Berini, et al, 1997, Medica Oral: Buccal and Cervicofacial Cellulitis. Volume 4, (p337-50).
Dimitroulis, G, 1997, A Synopsis of Minor Oral Surgery, Wright, Oxford (71-81)
Falace, DA, 1995, Emergency Dental Care. A Lea & Febiger Book. Baltimore (p 214-26)
Milloro, M., 2004, Peterson’s of Principles Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd edition, Canada:
BC Decker Inc.
Neville, et al, 2004, Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders, Philadephia Pedlar, et al,
2001, Oral Maxillofacial Surgery. WB Saunders, Spanyotl (p90-100)
Peterson, et al, 2002, Oral and Maxillofacial Surgery. Mosby, St. Louis Topazian, R.G &
Golberg, M H, 2002, Oral and Maxillofacial Infection, WB Saunders, Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai