Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIK KEPERWATAN MEDIKAL BEDAH

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien Selulitis

Oleh:
Nama : Pande Made Dwi Ayu Purnama
NIM : 1602521052

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019
1. Pengertian selulitis
Selulitis merupakan infeksi bakteri akut yang terjadi pada dermis dan jaringan
subkutan ditandai dengan adanya lesi kemerahan dengan batas tidak jelas dan
disertai adanya tanda-tanda radang (Savendra et al, 2012). Selulitis yang
mengenai jaringan subkutan bersifat difus, dan biasanya konsistensinya lunak
maupun keras seperti papan, serta ukurannya besar, dan tidak disertai dengan
adanya pus. Meskipun infeksinya membentuk suatu lokalisasi caira, namun tidak
terdapat fluktuasi seperti abses (PedersEn, 2002).
2. Epidemiologi
Selama lebih dari dua dekade terakhir infeksi kulit dan jaringan lunak menempati
7-10% pasien yang masuk rumah sakit di Amerika Utara. Suatu studi
epidemiologi di Clinical Center of University of Sarajevo selama 3 tahun
didapatkan 123 pasien menderita infeksi kulit dan jaringan lunak, dimana
71,55% diantaranya menderita selulitis dan sisanya 28,45% dengan erisipelas.
Semua kasus selulitis tersebut, jenis kelamin laki-laki yang mendominasi
(56,09%), dengan rerata usia 50,22 tahun, lama masa perawatan di rumah sakit
selama rata-rata 13,33 hari, dan faktor-faktor risiko selulitis ditemukan pada
71,54% kasus. Ekstremitas bawah merupakan lokasi tersering terjadinya selulitis
yaitu 71,56% diikuti kepala dan leher (13,08%), ekstremitas atas (12,19%) dan
badan (3,25%). Data yang didapatkan di RSUP Sanglah Denpasar pada periode
2009 – 2011 terdapat 78 pasien dengan infeksi jaringan lunak yang dirawat inap,
yang terdiri dari 35 pasien selulitis dan 43 pasien erisipelas. Berdasarkan jenis
kelamin didapatkan perempuan sebanyak 40 orang (51,3%) dan laki-laki 38
orang (48,7%) dengan lokasi tersering adalah kruris pada 44 pasien (56,4%).
3. Etilogi
Penyebab dari terjadinya selulitis yakni Staphylococcus aureus dan
Streptococcus group A, Escherichia coli serta Staphylococcus epidermidis
(Saavendra et al, 2012). Bakteri ini menyerang jaringan subkutis dan daerah
superfisial (dermis dan epidermis) (Rositawati & Sawitri, 2016). Staphylococcus
epidermidis merupakan salah satu bakteri flora normal yang menetap di kulit
bahkan jarang menyebabkan infeksi (Adhi et al, 2010)
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi pada selulitis yang paling sering adalah adanya edema
tungkai pada orang tua yang berasal dari masalah yang terjadi di jantung, vena
dan limfe (Graham-Brown & Burns, 2005). Faktor predisposisi lainnya yang
berhubungan dengan implikasi prognostik yakni status gizi yang buruk, higiene
perorangan yang kurang, penurunan daya tahan tubuh, usia lanjut, dan
penurunan fungsi imunologik (antara lain akibat HIV/AIDS), serta adanya luka
terbakar pada kulit. Faktor predisposisi berdasarkan etiologi terjadinya cedera
(trauma) atau eksposur daripada trauma tertentu juga meningkatkan
kemungkinan terjadi infeksi penyebab mikroba tertentu (Moran et al, 2008)
5. Patofiologi
Adanya invasi bakteri dan melakukan infeksi ke lapisan dermis atau
subkutan biasanya dapat terjadi setelah terdapat luka atau gigitan di kulit (apabila
terdapat 100.000 organisme per ml esudat atau per gram jaringan). Kondisi
invasi ini kemudian berlanjut menimbulkan respon inflamasi berupa lesi
kemerahan dan pembengkakak di kulit serta terasa hangat bila disentuh. Pada
pemeriksaan fisik pada fase awal ditemukan adanya kemerahan dan nyeri tekan
yang terasa di suatu daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi
panas dan bengkak serta tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas.
Berlanjutnya penyakit, status lokalis didapatkan terdapat lesi kulit berupa eritema
lokal yang nyeri dengan semakin merah, meluas, namun batasnya tidak jelas dan
tepinya meninggi. Bagian tengah terkadang menjadi nodulan dan bagian atasnya
terdapat vesikula yang pecah dan mengeluarkan pus (nanah) serta jaringan
nekrotik.
Infeksi kemudian menyebar ke area yang lebih luas, makan kelenjar getah
bening di dekatnya dapat membengkak dan teraba lunak. Pada bagian paha
dapat membesar akibat infeksi di tungkai. Penderita dapat mengalami demam,
menggigl, takipnea, sakit kepala dan tekanan darah menjadi rendah (Muttaqin, A
& Sari, K, 2011). Meskipun jarang terjadi, apabila terjadi pembentukan abses
akibat selulitis menimbulkan komplikasi berupa penyebaran infeksi di bawah
kulit yang menyebabkan kematian jaringan dan penyebaran infeksi melalui
aliran darah (bakterimia) ke bagian tubuh lainnya dan jika selulitis kembali
menyerang ke sisi atau bagian yang sama maka pembuluh limfe didekatnya
dapat mengalami kerusakan dan menyebabkan pembengkakan jaringan yang
bersifat menetap, septikemia hingga meninggal (Grace & Borley, 2006)
6. Klasifikasi
Klasifikasi selulitis menurut Berini et al (1999), digolongkan menjadi :
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial
yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri yang mengandung seous, serta
konsistensinya sangat kunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang
anatomi atau spasia yang terlibat
b. Selulitis Sirkumskripta Supuratif Akut
Prosesnya hampir sama dengan Selulitis Sirkumskripta Serous Akut, hanya
infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen.
Penamaannya berdasarkan spasia yang terlibat. Apabila berbentuk eksudat
yang purulen, mengindikasikan tubuh bertedensi membatasi penyebaran
infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi
c. Selulitis Difus Akut
Selulitis Difus akut dibagi menjadi beberapa kelasi, yaitu:
1) Ludwig’s Angina
2) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
3) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
4) Selulitis Fasialosis Difus
5) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
6) Selulitis kronis
Selulitis kronis merupakn infeksi yang berjalan lambat akibat keterbatasan
virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya infeksi ini terjadi
pada pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan
perawatan yang adekuat atau tanpa drainase
7) Selulitis Difus yang sering dijumpai
Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Phlegmone/Angina Ludwig’s.
Angina Ludwig’s merupakan selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental, dan submandibular bilateral, terkadang sampai
mengenai spasia pharingeal (Topazian, 2002)
7. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari selulitis pada mulanya terdapat pembengkakan pada
daerah tertentu yakni pada satu atau dua ruang fasial yang tidak jelas batasnya,
Gejala lokal lain yang muncul selain pembengkakan yakni rasa sakit atau nyeri,
adanya trimus, dan kemerahan. Gejala sistemik seperti nadi cepat dan tidak
teratur, malaise, lymphadenitis, peningkatan jumlah leukosit, pernafasan cepat,
wajah kemerah-merahan, lidah kering, delirium terutama malam hari, disfagia
dan dispnoe, serta stridor (Pedersen, 1996).
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
− Tingkat kesadaran : Composmentis
− Berat badan : Normal
− Tinggi badan : Normal
b. Tanda-tanda vital
− Tekanan darah : Menurun (<120/80 mmHg)
− Heart Rate : Menurun (<90x/menit)
− Respiration Rate : Normal (18-24x/menit)
− Suhu : Meningkat (>37,5°C)
c. Pemeriksaan Head to Toe
− Kepala
Inspeksi : bentuk, karakteristik, rambut, serta kebersihan kepala
Palpasi : adanya massa, benjolan, ataupun lesi
− Mata
Inspeksi : Sklera, conjungtiva, iris, kornea, serta reflek pupil dan tanda-
tanda iritasi
− Telinga
Inspeksi : lihat membran tymphani, adanya serumen serta pendarahan
− Hidung
Inspeksi : Lihat kesimetrisan hidung, membran mukosa, serta cek alergi
terhadap sesuatu
− Mulut
Inspeksi : Kebersihan mulut, mukosa mulut, lidah, gigi, dan tonsil
− Leher
Inspeksi : Kesimetrisan leher, adanya pembesaran kelenjar tiroid, dan
Jvp
Palpasi : Arteri karotis, vena jungularis, kelenjar tiroid, dan adanya
masa atau benjolan
− Thorax/paru
Inspeksi : Bentuk thorax, pola nafas, dan otot bantu nafas,
Palpasi : Periksa vocal remitus
Auskultasi : Suara nafas
− Kadiovaskuler
Palpasi : Denyut jantung normal, meningkat, atau melemah
− Abdomen
Inspeksi : terdapat asites atau tidak
Palpasi : adanya massa atau nyeri tekan
Perkusi : tympani
Auskultasi : Adanya bising usus
− Kulit
Inspeksi : warna kulit, turgor kulit, adanya jaringan parut atau lesi dan
CRT. Gejala awal berupa kemerahan. Kulit yang terinfeksi
menjadi panas dan bengkak dan tampak seperti kulit jeruk
yang mengelupas dan ditemukan lepuhan kecil berisi cairan
(vesikel) atau lepuhan besar bersi cairan (bula) yang bisa
pecah
Palpasi : adanya nyeri tekan pada bagian kemerahan
− Ekstremitas
Kaji nyeri, kekuatan otot dan tonus otot
9. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium yang daoat dilakukan yakni :
− Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) menunjukkan peningkatan
jumlah sel darah putih, eosinofil, dan peningkatan laju sedimentasi
eritrosit untuk mngidikasikan adanya infeksi bakteri
− Pemeriksaan kultur dan apusan gram, dilakukan secara terbatas pada
daerah penampakan luka, namum membantu pada daerah abses atau
terdapat bula
− Pemeriksaan kultur darah apabila telah menunjukkan infeksi
tergeneralisasi
b. Pemeriksaan radiologi seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Computed Tomography Scan (CT-Scan) dan USG. Pemeriksaaan USG
menunjukkan adanya penebalan kulit edema subkutan, dan cairan septum
lobulus, dan juga digunakan untuk mengeksklusi deep vein trombosis
(DVT) atau abses jaringan lunak. namun pemeriksaan ini jarang digunakan
dalam kasus ini.
c. Pemeriksaan hispatologi dilakukan setelah eksplorasi terbuka, yang
dilakukan apabila menemukan tanda-tanda infeksi sistemik
10. Diagnosis/kriteria diagnosis
Menentukan diagnosis Selulitis dengan melihat adanya tanda dan gejala dari
selulitis tersebut. Minimum kriteria adalah adanya lesi kulit dengan inflamasi
tetrad khas, nyeri, eritema, edema dan kehangatan. Disfungsi juga dapat terjadi
pada daerah yang terkena seperti tangan atau kaki. Tanda dan gejala lain,
termasuk krepitus, adanya bula, anestesi dan perdarahan, serta terjadinya reaksi
tubuh sistemik seperti demam (Vincent et al, 2009). Selain itu kultur darah dan
swab jaringan, aspirasi jarum, x-ray, USG, Computed Tomography (CT) Scan
atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga mengarahkan hasil terdapat
infeksi bakteri. Kultur darah juga menentukan nilai bakteremia saat dalam
keadaan demam dan hipotensi. Kultur darah akan menghasilkan hasil yang
rendah yakni kurang dari 5% apabila positif terjadi infeksi (Vincent et al, 2009)
11. Terapi/tindakan penanganan
Apabila selulitis disebabkan oleh streptokokus yang hanya dapat diobati dengan
penisilin, dapat diberikan penangana mulai dari pemberian benzilpenisilin
intravena. Apabila tungkai terserang, istrirahat di tepat tidur. Namun, jika
berkembang menjadi nekrosis jaringan yang luas, maka perlu dilakuka tindakan
untuk mengangkat jaringan nekrotik (debridement). Keadaan yang parah dimana
terjadi selulitis yang dalam yang melibatkan fascia dan otot perlu dilakukan
tindakan yang tepat yakni eksisi jaringan yang terkena. Pada kasus selulitis yang
sering kambuh dan merusak saluran limfe yang kemudian menyebabkan edea,
dapat diatasi dengan memberikan penisilin V oral untuk penegahan atau
eritromisin mencegah terjadinya serangan lebih lanjut (Graham-Brown & Burns,
2005)
12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi termasuk limfadenitis, myositis atau necrotizing
fasciitis, gangren, osteomyelitis, bakteremia, endokarditis, septikemia, atau
sepsis. Keterlambatan dalam diagnosis atau perawatan berhubungan dengan hasil
yang buruk yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis serta kegagagalan
multiple organ (Santo et al, 2010).
Pathway

Luka atau gigitan serangga

Rusaknya barier epidermal

Invasi Bakteri patogen : Streptococus piogenes,


stresptococus grup A, Stapilococus aureus Risiko infeksi

Sistem imun berespon Infeksi jaringan subkutan Sistem imun berespon

Reaksi Ag-Ab Selulitis Reaksi Ag-Ab

Eritema loka pada kulit Proses fagositosis


Meluas ke jaringan yang
lebih dalam
Adanya lesi Hipertermi
Menyebar secara sistemik

Kerusakan integritas kulit


Terjadinya
mekanisme radang

Kalor Dolor Tumor Rubor Fungsiolesa 4

Proses Adanya reaksi Hiperplasia


Hiperemi Penurunan
fagositosis antigen dan jaringan ikat
kekuatan otot
antibodi
Eritema lokal
Hipertermi Edema lemah
Pelepasan jaringan ikat
mediator kimia
Mencerminkan
perubahan pandangan Hambatan
tentang tubuh mobilitas fisik
2
1

3
3
1 2 4
Akselerasi atau Adanya Menyembunyi
deselerasi penekanan kan bagian
Perubahan
jaringan saraf jaringan saraf tubuh
status
sekitar kesehatan
Gangguan citra
Nyeri otot tubuh
Gelisah

Ansietas
Gangguan rasa Nyeri Akut
nyaman
DAFTAR PUSTAKA

Saavedra A, Weinberg, A. N., Swartz, M. N., & Johnson, R. A. (2012). Soft tissue
infections: Erysipelas, cellulitis, gangrenous cellulitis, and myonecrosis. Eight
Edition. New York: McGraw Hill; 1720- 31.
Rositawati, A & Sawitri. (2016). Studi Retrospektif: Profil Pasien Erisipelas dan
Selulitis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of
Dermatology and Venereology. 28(2); 59-67
Pedersen, G.W. (1996). Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC
Graham-Brown, R & Burns, T. (2005). Dermatologi. Ed 8. Jakarta: Erlangga
Grace, P.A & Borley, N.R. (2006). At a Glance: Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: Erlangga
Vincent, J.L., Rello,J., Marshall, J., Silva, E., Anzueto,A., Martin, C.D., & et al.
(2009). International Study of The Prevalence and Outcomes of Infection in
Intensive Care Units. JAMA. 302(21); 2323-9.
Santos, M. M., Amaral, S., Harmen, S.P., Joseph, H.M., Fernandes, J.L., &
Counahan, M. L. (2010). The Prevalence of Common Skin Infections in Four
Districts in Timor-Leste: a Cross Sectional Survey. BMC Infectious Diseases
Journal. 61:1-6.
Adhi, D & Mochtar, H. (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed ke-5. Jakarta:
FKUI
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba medika.
Berini, et al. (1999). Medica Oral: Buccal and Cervicofacial Cellulitis. Volume 4.
337-50
Topazian, R.G & Golberg, M.H. (2002). Oral and Maxillofacial Infection.
Philadelphia: WB Saunders
Moran, G.P., Coleman, D.C., & Sullivan, D.J. (2012). Review Article: Candida
albicans versus Candida dublinensis : Why Is Cabicans More Pathogenic?.
International Journal of Microbiology. Volume 2012.

Anda mungkin juga menyukai