Anda di halaman 1dari 16

Materi 3 Psikologi Komunikasi

Subjek, Diri dan Konsep


Memahami Manusia
Oleh: Dr. St. Tri Guntur Narwaya
_____________

“Penanda mewakili subjek bagi


penanda yang lain”

(Jacques Lacan)

Barangkali satu persoalan yang terus-menerus menjadi lokus kajian ilmu sosial adalah
tentang ‘subjek’, atau dalam lanskap lebih besar adalah ‘manusia’. Bahkan bisa dikatakan,
sejarah pengetahuan manusia sendiri adalah sejarah tentang keberadaan hidup manuisa itu
sendiri. Meskipun begitu, dinamika pembahasan tentang siapa subjek, siapa diri dan siapa
manusia masih selalu berada dalam dinamika perumusan yang tidak pernah usai. Membahas
tentang manusia tidak bisa jelas (terang) dengan sendirinya. Seperti juga realitas hidup yang
memiliki kompleksitas persdoalan, dunia subjek manusia juga merupakan bentangan realitas
yang sangat luas dan bahkan penuh dengan berbagai misteri pertanyaan yang belum selesai
dijawab.
Secara umum kadang pemahaman tentang siapa diri kita terbatas pada asumsi-asumsi
umum yang kita anggap benar adanya. Jika kita ditanya: Siapa kita? Barangkali secara umum
kita akan menjawab ‘kita adalah mahluk hidup yang Bernama manusia’. Namun jika dikejar,
sispakah manusia, maka kita akan mencari jawaban dengan mengumpulkan berbagai karakter
yang bisa menjelaskan apa dan sispa itu manusia. Ada yang berusaha menjelaskan dengan
mencari hakikat pengertian yang bisa dimngerti secara stabil. Perkembagan awal tentang
filsafat manusia berusaha membagi subjek manusia dalam dua hal : manusia secara tubuh
fisik (dengan karakter-kaarakter biologisnya) dan manusia sebagai ‘jiwa’ atau aspek
‘kerohanian’ yang ada dalam dirinya.
Manusia dipahami dalam pandangan pembelahan sekaligus kesatuan antara ‘tubuh’
dan ‘jiwa’. Namun tentu pandangan ini terus berkembang karena kita selalu terus berusaha
merumuskan siapa yang dipahami sebagai ‘manusia’.Tentang pertanyaan ‘siapakah manusia
itu?’ bisa dikatakan sebagai sebuah pertanyaan paling mendasar dan paling utama dalam

1
sejarah manusia berlangsung (Sihotang, 2009: 16). Pada era Pra-Sokratik, jauh sebelum
perkembangan ilmu modern, gagasan tentang siapa manusia selalu dilekatkan dengan
perpektif kosmologis, yakni menyangkut relasinya dengan dunia luar (alam). Pandangan
tentang manusia belum berusaha mencari hakikat pada dirinya sendiri. Baru ketika proses
modernisasi pengetahuan, terutama babak modern, pertanyaan tentang manusia lebih terarah
pada dirinya sendiri. Pergeseran dari ‘kosmossentris kea rah antroposentris telah menunjukan
bahwa manusia menjadi mahluk yang dianggap paling utama (tinggi) derajat kualitasnya
dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya. Bisa dikatakan bahwa tentang siapa manusia
tidak tergantung dari aspek nilai-nilai luar yang mendominasinya, namun terletak pada nilai-
nilai yang melekat pada dirinya sendiri. Upaya terus menerus untuk menjawab pertanyaan
‘siapakah manusia’ dalam praktiknya selalu jatuh dalam pengembaraan pengetahuan yang
tidak berujung. Bahkan bisa dikatakan, membicarakan masalah m,anusia adalah sebuah
‘persoalan; yang tidak pernah berujung.
Bagaimana manusia harus dipahami, bagaimana arti menjadi manusia dan apakah
sebenarnya menjadi makhluk manusia telah lama menjadi bagian kajian filsafat dalam
dinamika sejarah yang panjang. Tentang hal kajian manusia ini, dalam sejarah yang panjang,
dimensi psikologis menjadi satu bidang kajian khusus. Pada kurun waktu lama, kajian ilmu
ini sering disebut sebagai ‘psikologis filosofis’ untuk membedakan dengan dimensi psikologi
yang lebih ilmiah (Leahy, 1989: 1). Dalam sejarah perkembangan pengetahuan, semakin
banyak muncul kajian-kajian yang mencoba memahami dan mendalami persoalan msnusia
ini. Tak sedikit berbagai kajian itu menawarkan sudut pandang yang beragam, berbeda dan
bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Ada upaya dan kecenderungan untuk
mendefinisikan dan memahami manusia dalam corak, watak dan karakteristik yang pasti
(tetap) namun di sisi lain juga memahaminya dalam kategorisasi-kategorisasi dan pengertian-
pengertian yang dinamis dan terus bergerak.

Pandangan tentang Subjek: Pra-Modern, Modern hingga Pasca-Modern

Harus disebutkan, kurun waktu yang membuat lokus subjek manusia menjadi pusat
perhatian penting dari sejarah pengetahuan adalah ketika fajar cerah abad modern telah hadir
dan menggantikan peradaban pengetahuan lama yang belum menghargai sepenuhnya posisi
‘sibjek’ manusia ini. Sebelum datangnya abad penderahan modern, konsepsi-konsepi tentang
ap aitu subjek manusia masih berada dan tenggelam dalam pandangan-pandangan lama

2
(mitos) dan terpusat pada aotoritas-otoritas tertentu seperi raja atau institusi-institusi
primodial lainnya seperti agama.
Babak baru modern tidak hanya telah menempatkan persoalan manusia menjadi
sangat penting untuk dikaji, namun persoalan ‘subjek’ bahkan telah menjadi pusat
pengetahuan itu sendiri. Era modern adalah awal dari sebuah era kebebasan manusia untuk
mengekspresikan akal budi pikirannya dalam menjawab persoalan realitas termasuk problem
yang ada dalam dirinya sendiri. Para pemikir modern menegaskan bahwa manusia menjadi
ukurtan bagi dirinya sendiri dan juga ukuran dari segala hal. Manusia bernilai karena manusia
itu sendiri (Russel, 1972: 491-569). Antroposentrisme abad modern telah melahirkan ‘subjek’
yang otonom dan keluar dari determinasi mitos (kosmos) yang selama ini membelenggunya.
Pengertian bahwa kesadaran atas ‘subjek’ dan ‘subjektivitas’ itu ditemukan pada abad
modern bukan mengartikan bahwa sebelum itu (abad Pra-Modern) subjek tidak ada. Yang
ingin digambarkan dalam perbedaan waktu itu adalah bahwa kesadaran pada waktu itu belum
terarah pada kesadaran bahwa manusia subjek) telah memiliki kekuatan akal budi yang luar
biasa yang mampu mendorong berbagai kualitas dan kuantitas perubahan yang ada. Tentu
sajam sebelum abad modern, kesadaran ini belum begitu Nampak. Maka bisa dikatakan satu
karakter penting dalam kesadaran modern adalah posisi ‘subjektivitas’. Subjektivitas
dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai ‘subjectum”, yaitu sebagai pusat
realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Manusia dalam karakteritik kesadaran modern
adalah manusia yang memiliki kapasitas rasional berpikir, kebebasan dan otonomi untuk
menentukan segala sesuatu (Hardiman, 2004: 3). Berbeda dengan kondisi modern,
karakteritik ‘subjek‘ pada era sebelum modern, karakteritik dan konsep manusia selalu
diidentikan dengan berbagai ciri-ciri primodial berupa identitas-identitas sosial yang melekat
dalam dirinya seperti identitas kolektif, keluarga, politik ataun karakter-karakter posisi sosial
lainnya.
Satu matra atau pernyataan filsafat yang cukup penting yang memberi karakteritik
khas abad modern adalah yang dinyatakan oleh Fescrates dengan pernyataan termasyhurnya
yakni “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan itu menunjukan sebuah
poisisi kuat dari sebuah kesadaran subjek modern. Rasio akal budi dan pikiran manusia lalu
sangat dipercaya menjadi pusat dalam membentuk berbagai pengetahuan dan sekaligus
perkembangan dunia modern. Dengan demikian manusia dipercaya bisa memngetahui
realitas dunia kenyataan yang luas ini dengan rasio dirinya sendiri. Pengetahuan ataupun
kesadaran tak lagi digantungkan oleh otoritas tertentu tapi bisa hadir dalam akal rasio dirinya
sendiri. Inilah kondisi yang dimaksudkan sebagai hadirnya ‘subjektivitas’ yang memberi

3
peranan sangat penting pada abad modern. Di sisi lain, fakta ini sendiri sebenarnya mau
menunjukan bahwa kehadiran subjek dan berbagai perkembangan konseptual tentang siapa
diri manusia itu sendiri selalu terikat oleh konteks historisnya. Atau bisa dikatakan, sebagai
sebuah pemahaman, konsep tentang subjek manusia tidak datang begitu saja dan kita fahami
sebagai sesuatu yang sudah jadi (given) dan kita terima begitu saja.
Kita juga tahu, dalam perkembangan kemudian, dan terutama dalam perkembangan
lebih kontemporer, pemahaman tentang subjek ala abad modern ini lalu juga mendapat
banyak gugatan, kritik dan juga sanggahan. Kritik kontemporer terhadap posisi pemahaman
subjek (subjektivitas) terletak pada dasar ontologis subjek berkesadaran itu sendiri. Subjek
kesadaran sebagai yang dianggap sentral dan menentukan dari proses pembentukan diri
merupakan gagasan yang masih memiliki problematic. Subjektivitas ternyata bukan
merupakan hasil pembentukan diri secara rasional melainkan sebuah proses pembentukan
terus-menerus melalui medium besarnya aykni bahasa yang pada akhirnya membentuk posisi
subjek semacam apa. Subjektivitas bisa dideskripsikan sebagai kondisi menjadi seorang
pribadi dan/atau proses yang membuat kita menjadi pribadi, atau, dengan kata lain,
bagaimana diri kita dibentuk sebagai subjek dan mengalami diri sendiri. Bertanya tentang
subjektivitas berarti mengajukan pertanyaan “ap aitu pribadi?” dan menjawabnya berarti siap
membentuk narasi atau cerita tentang “diri” (the self) (Barker, 2014: 281-282).
Jika subjektivitas dalam nalar pemikiran modern lebih melatakkan subjek sebagai
entitas sadar diri dan rasional dan memiliki sepenuhnya kuasa untuk menentukan identitas
dirinya, pandangan pascamodern dan terutama yang banyak dikembangkan oleh pemikiran
‘pasca-strukturalis’ memiliki posisi yang berlawanan. Pandangan pasca-strukturalis, salah
satunya yang cukup terkenal dikembangkan oleh pemikir Michel Foucault memahami subjek
sebagai dampak atau efek dari wacana karena subjektivitas dibentuk oleh posisi-posisi subjek
yang “diwajibkan’ oleh wacana yang kita ambil (Barker, 2014: 281).Subejk lalu diartikan
sepenuhnya sebagai produk dari sejarah, dimana wacana-wacana yang berkuasa telah
membentuk diri dan posisi subjek. Tatanan simbolik (symbolic order) itu tentu saja
merupakan artikulasi kekuasaan yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan diri. Pada
akhirnya subjek bisa diposisikan sebagai produk kekuasaan.
Sebagai produk kekuasaan tentu saja ia tidak berarti pasif sama sekali namun juga
memiliki kapasitas bertindak sebagai agen (Agency). Bagaimana pembentukan (produksi)
subjektivitas itu terjadi? Produksi subjektivitas dicapai dengan mengkatagorikan, menamakan
dan menetapkan subjek dalam tulisan, narasi atau wacana-wacana tertentu. Misal dalam
lingkungan dunia kesehatan, wacana medis yang ada akan mendefinisikan berbagai posisi

4
subjek, missal subjek sebagai pasien, subjek sebagai penderita sakit tertentu. Karena produksi
subjektivitas tersebut, maka kemudian subjek juga akan terkenai oleh aturan-aturan yang ada
dalam wacana medis tersebut. Bagaimana ia disebut sakit, atau subjek dengan karakteristik
penyakit kejiwaan tertentu akan sangat ditentukan oleh bagaimana wacana medis itu
diproduksi dan diaerikulasikan. Pandangan Foucault tentang subjek dan subjektivitas
memang dianggap memberlakukan posisi subjek sebagai agen (actor) yang pasif di mana
model yang diajukan oleh Foucault nampaknya meninggalkan subjek dari kebebasan dan
kemampuan penentuan diri
Sebenarnya kritik terhadap konsepsi pandangan Foucault ini juga berasal dari sebuah
pertanyaan mendasar: Jika subjek dipahami sebagai “tubuh-tubuh yang patuh” (docile body)
yang dihasilkan oleh praktik-praktik diskursif,1 maka bagaimana mungkin kita bisa
memikirkan pribadi sebagai sosok yang mampu bertindak mengingat subjek diperlakukan
sebagai “produk” dasn bukan sebagai “produsen” (Barker, 2014: 282). Gugatan pertanyaan
ini tentu saja membuka satu perspektif yang menggenapi apa yang kemudian berkembang
dalam kajian budaya tentang pemahaman tentang subjek itu sendiri. Beberapa pemikir seperti
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe melihat bahwa kaitan pembentukan dan posisi subjek
bukan sebagai determinasi atau pengaruh yang mematikan aspek kemam[uan diri subjek.
Agensi pada akhirnya bisa dipahami sebagai posisi subjek dalam wacana dan bukan semata
subjek yang dibentuk oleh wacana.
Posisi subjek dalam wacana (subject position within discourse) yang mengartikan
bahwa kapasitas egensi itu ditentukan secara diskursif dan karenannya (agensi) paling baik
dipahami sebagai kapasitas untuk bertindak yang dikonstruksi secara sosial (Barker, 2014:
282). Karena selalu terkait dengan yang sosial, maka sebuah subjek selalu identitasnya
tersusun dalam berbagai relasi identitas yang majemuk dan tidak tunggal. Taka da posisi
subjek yang bisa dipahami sevara tunggal. Subjek selalu ada dalam bingkai identitas yang
majemuk, terfragmentasi dan selalu bergeser yang dikosntruksi secara diskurif. Chris Barker
menjelaskan secara lebih lengkap bahwa:

“Sosok ‘pribadi’ (person) tersusun bukan dari satu identitas saja, melainkan beragam
identitas yang terkadang saling bertolak belakang, karena meeka terbentuk sebagai
subjek yang terbentuk dari pelbagai wacana yang terbentuk dari berbagai ruang sosial.
1
Apa yang dipahami sebagai persoalan diskursif tentu saja tidak semata menunjuk pada praktik
berbahasa semata. Dalam beberapa kajian tentang bahasa yang dikembangkan oleh pemikiran ‘pasca-
strukturalis’, apa yang dismengerti sebagai wacana (diskursus) adalah seluruh artikulasi wacana yang
menyatukan bahasa dan praktikdan merujuk dalam sejumlah cara dengan aturan-aturan tertentu untuk berbicara
tentang subjek yang lewatnya berbagai objek dan praktik mendapoatkan makna

5
Jika kita berpikir hanya mempunyai satu identitas saja ini karena kita sudah
mengonstruksi narasi tentang diri yang bersifat menyatukan.” (Barker, 2014: 282).

Gagasan subjek yang berkembang dalam perspektif pasca-strukturalis berusaha


memberikan dekonstruksi terhadap konsepsi-konsepsi lama yang selama ini kita gunakan
untuk menjelaskan tentang manusia. Sekali lagi, pandangan terminology ‘subjek’ yang
diajukan oleh pra pemikir pasca-strukturalis seperti Foucault, Zizek, LKaclau ataupun Lacan
adalah memahami realitas manusia sebagai hasil dari konstruksi, produk aktivitas penandaan
yang secara kultural spesifik dan pada umumnya tidak disadari (Sarup, 2011: xvi). Pandangan
ini jelas-jelas secara mendasar mendekonstruksi dan mempersoalkan pandangan modern
tentang subjek ataupun konsep diri yang sinonim dengan kesadaran. Dengan begitu, katagori
yang ditawarkan oleh kalangan pasca-strukturalis adalah ‘mendesentralisasi’ kesadaran.
Puncak yang paling mendalam dan menjadi dasar dalam pandangan yang
dikembangkan dalam kajian-kajian sosial adalah sumbangan pemikiran dari perspektif
Jacques Kacan. Dalam pandangan Lacan bahkan jauh meletakkan gagasan tentang subjek
yang sangat berelasi erat dengan strukut. Keduanya merupakan hubungan erat yang tidak
terpisahkan. Dalam pandangan Lacan pula – melanjutkan konsepsi dasar subjek yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud – bahwa penentu dari proses pembentukan subjek justru
lebih berpusat dari ‘ketidaksadaran’ daripada ‘kesadaran’ yang selama ini diyakini sebagai
perihal yang menentukan. Tesis pandangan Lacan yang mendekonstruksi pemikiran lama
adalah ketidaksadaran adalah struktur tersembunyi yang mirip dengan bahasa (Sarup, 2011:
5). Bagi Lacan, bahasa merupakan prakondisi tindak menjadi sadar bahwa kita adalah entitas
yang berbeda. Posisi subjek atau pengertian subjek tidak bisa datang dari dirinya sendiri,
melainkan selalu terhubung relasinya dengan kehadiran makna yang lain.
Posisi dialeketika antara ‘diri’ dan ‘kehadiran yang lain’ pada akhirnya akan
membentuk; subjek; dan sekaligus; subjektivitas; seseorang. Ketika kita akan mendefinisikan
‘siapa kita’, maka kita akan selkalu terhubung dengan keberadaan makna dan definisi orang
lain/ Proses pembentukan diri ini tidak pernah selesai dalam rumusan yang fixed dan final,
namun terus menerus berproses dan ‘menjadi’. Secara lebih ekstrim kita tidak bisa
merumuskan subjek itu sendiri secara valid dan kokoh, apa yang sebenarnya kita maknai
bukan subjek itu sendiri melainkan proses pembentukann subjek (subjektivasi). Oleh
karenannya subjek selalu terkait dengan momen ruang dan sekaligus waktu. Posisi subjek dan
sekaligus pandangan subjek akan selalu kemungkinan memngalami perubahan ditentukan
oleh keseluruhan momen interaksi ndan relasi berbagai praktik diskursif yang ada. Sebagai

6
identitas, subjek tidak pernah stabil, tetap atau abadi. Tentu pandangan ini telaah mengoreksi
pandangan esensialis tentang subjek yang melihat keberadaan subjek sebagai sesuatu yang
esensial dan tetap.
Mengapa seseorang bisa disebut sebagai ‘dosen’ atau ‘mahasiswa’ tidak karena ada
semacam substansi dan isi (esensi) kemahasiswaan atau kedosenan yang ada dalam diri
seseorang. Seseorang disebut ‘mahasiswa atau ‘dosen’karena seseorang (yang kemudian
disebut sebagai dosen atau mahasiswa) itu berada dalam sebuah ruang atau medan tatanan
diskursus tertentu – seperti diskursus dunia pendidikan kampus – yang pada akhirnya
membentuk dan mendefinisikan seseorang apakah kedudukannya sebagai subjek dosen atau
mahasiswa. Dalam momen, ruang atau konteks yang berbeda, seseorang (yang tadinya
memiliki identitas subjek sebagai dosen) bisa berubah menjadi identitas subjek lain. Misal
saat di lingkungan kampung ia bisa disebut sebagai ‘Pak RT” atau di lingkungan keluarga
(rumah tangga) ia bisa disebut identitasnya sebagai seorang ‘bapak’ atau ‘ayah’. Oleh
karenanya tatanan dan praktik diskursif pada momen-momen yang spesifiklah yang akan
membentuk identitas subjek.
Dengan situasi inhern inilah, maka posisi identitas subjek sendiri akan selalu
berpotensi tiak akan pernah penuh. Ia akan selalu mengalami perubahan dan keretakan dan
bahkan bisa berubah sama sekali ke perubahan identitas yang lain. Bisa dikatakan juga bahwa
pembentukan diri subjek akan selalu mengalami kekuarangan (lack) dan sekaligus juga
kegagalan. Pandangan atas subjek inilah yang secara radikal pernah diutarakan dalam
pemikiran Jacques Lacan (1901-1981). Lacan bisa dikatakan sebagai filsuf dan sekaligus
psikolog yang cukup terkenal setlah Sigmund Freud. Posisi psikoanalisisnya memberi
sumbangan dalam meruntuhkan beberapa mainstream dan kecenderungan umum dalam
memandang subjek dan persoalan-persoalan yang melingkupi manusia.
Bagi Lacan sendiri, posisi subjek ini menjadi sangat utama dan sangat penting.
Namun persoalan tentang subjek tidak bisa dijelaskan dengan konsep Cogitonya Cartesian
yang melihat subjek secara otonom, rasional dan sekaligus tgransparan. Jikma sebelumnya
(era modern) mencoba dan berusaha ingin memberikan konsepsi subjek yang utuh dan seolah
jelas transparan. Lacan justru memberikan dekonstruksi atas pemaknaan subjek. Subjek
hanya bisa dipahami justru dari sudut-sudut kondisi apa yang menyebabkan kegagalan
menjadi subjek (Fink, 1995: xi). Tak hanya bahwa usaha untuk mendefinisikan subjek akan
selalu mengalami kegagalan, Lacan bahkan menjelaskan bahwa sejak awal subjek dimulai
dalam ‘kegagalan’. Bagaimana menjelaskan pandangan ini? Tentu saja kita terlebih dahulu

7
harus menjelaskan posisi Lacan dan terutama ilustrasi penejlasnnya tentang tahap fase
perkembangan manusia.
Tentang pandangan pembentukan subjek, Lacan dengan sangat dalam
menjelaskannya dalam proses pengenalan diri subjek yang disebut ‘Tahap Cermin” (mirror
stage). Melalui ‘cermin’ manusia menghenali dirinya/ Untuk mengenal siapa dirinya,
manusia lalu berusaha melihat cermin. Subjek lalu terkoneksi dengan cermin yang bisa
menunjukkan siapa dirinya. Tentui saja ‘cermin’ yang dimaksud Lacan adalah bisa berarti
fisik; cermin sesungguhnya’, dan bisa berarti metafora lebih luas yakni konfirmasi ‘yang lain’
(the other) atas dirinya. Apa yang diterima oleh Subjek atas konsep diri yang dianggap utuh
tersebut berasal dari pantulan keberadaan ‘the other’. Apa yang dilihat pada dirinya tersebut
sebenarnya sebuah pandangan subjek yang sudah terdistorsi dasn bahkan teralienasi, karena
ia hanya dibentuk dari pantulan keberadaan orang lain. Relasi pembentukan konsep diri
dengan pantulan the other ini lebih luasnya juga terjado dalam lingkup yang lebih luas. Sejak
awal bisa dikatakan, Subjek selalu bersandar pada gambaran diri (image) yang datang di luar
dirinya, dan pada akhirnya mempengaruhi konsepsi tentang dirinya. Bahkan Lacan
memperluas pandangan pembentukan Subjek ini dengan mengatakan bahwa konsepsi dan
posisi subjek pada akhirnya terhubung dengan bagaimana tatanan simbolik (bahasa)
membentuk diri subjek melalui diskursus bahasa.
Diri selalu akan ditentukan dengan relasinya dengan keberadaan pantulan-pantulan
cermin yang membentuk subjektivitas. Dengan begitu dalam pandangan Lacan, diri (subjek)
tak berasal dari sebuah konsep yang esensial dalam dirinya sendiri. Diri yang kemudian
terbentuk bisa dikatakan merupakan gambaran “hasrat untuk mengkonfirmasi hasrat dari the
other” (Rabate (ed), 2003: 130). Artikulasi keberadaan the other secara luas hidup dalam
semesta bahasa. Arena saat manusia sudah memasuki medan tatanan bahasa ini yang
kemudian disebut sebagai “yang simbolik”, sementara Lacan menyebut ‘yang riil’ sebagai
arena di mana manusia beleum memasuki tatanan bahasa (symbolic order). Juga bisa
dikatakan bahwa tatanan bahasa merupakan manifestasi dari artikulasi subjek dan apa yang
disebut ‘yang riil’ adalah sesuatu yang laten. Dia ada namun kita tidak atau belum
membahasakannya dalam artikulasi yang manifes. Subjek dalam pandangan pemikiran Lacan
bisa dikatakan sebagai ketegangan yang tak berkesudahan antara ‘yang simbolik’ dan ‘yang
riil’. Lebih lanjut juga bisa dikatakan bahwa subjek dalam pengertian Lacan adalah kegagalan
atau penundaan menjadi subjek (Robert dalam Lukman, 2011: 16).
Mengapa bisa dikatakan bahwa pembentukan subjek selalu akan tertunda dan gagal
(atau tidak bisa penuh atau fixed)? Penjelasan tentang pandangan ini harus memerlukan

8
penjelasan posisi pandangan Lacan terhadap bahasa (yang simbolik). Apa yang dimaknai
bahasa oleh Lacan tentu saja konsepsi bahasa yang ada dalam posisi anti-esensialisme dan
anti-fondasionalisme bahasa. Bahasa bukan merupakan entitas objek materi atau himpunan
konsep-konsep yang esensialis. Bahasa adalah bersifat arbiter dan relasional. Makna sebuah
teks bahasa akan selalu terhubung dengan relasinya dengan makna di luar dirinya. Prinsip
pandangan bahasa yang dipakai Lacan ini sejatinya prinsip besar yang juga banyak dipakai
oleh pandangan-pandangan Pasca-Strukturalisme yang melatakkan makna bahasa terbentuk
karena relasi-relasi perbedaan tersebut. Keberadaan makna yang lain akan selalu menentukan
dan bahkan merusak stabilitas makna sebelumnya. Karena semesta makna itu sangatlah luas
sepert sebuah rantai jaringan yang terus berkait, maka amat mustahil bisa menentukan makna
bahasa secara final atau fixed. Maka bagi Lacan, karena ‘yang simbolik’ juga merupakan
medan arena yang tifdak fixed, maka tentu saja upaya untuk mengkonsepsi subjek akan selalu
mengalami kegagalan. Jikapun seolah kita bersepakat akan sebuah konsepsi (yang kita
anggap fixed dan disepakati), sejatinya ia hanya selalu akan bersifat sementara dan akan
selalu jatuh pada pergeseran, perubahan ataupun keretakan-keretakan. Dalam pandangan
Psikoanalisis dan terutama dalam rangka memahami Subjek, betapa posisi bahasa ini adalah
sesuatu yang sangat penting untuk dilihat (Fink, 1995).
Pengaruh pemikiran strukturalisme bahasa sangat besar dalam pandangan Lacan.
Pemikiran besar Ferdinand de Saussure (1857-1913) tentu saja sangat berpengaruh terhadap
pandangan pemikiran Lacan, terutama pandangan Saussure yang memandang bahwa makna
sebuah teks bahasa tidaklah bisa tetap karena tergantung dari bagaimana relasi yang dibangun
dengan terks-teks yang lain. Pengg8unaan analisis yang sangat berfokus pada relasi dengan
bahasa inilah yang menyebabkan posisi Psikoanalisis yangatlah berbeda dengan pendekatan
psikologi yang berkembang sebelumnya. Psikoanalisis sendiri dalam kerjanya selalu
membutuhkan bahasa. Oleh karenanya menurut Lacan, psikoanalisis selalu membutuhkan
teori bahasa dan makna (Hill, 2002: 25). Bahkan pendalaman mengenai struktur bawah sadar
dyang menjadi titik tolak analisis Lacan juga selalu membutuhkan peran bahasa. Jejak upaya
untuk memahawi ketidaksadaran itu bekerja selalu membutuhkan artikulasi bahasa. Struktur
bawah sadar hanya bisa dilihat melalui manifestasi simbolik baik image ataupun bahasa.

Sekilas Konsep Subjek (Manusia) dalam Telaah Psikologis.

Setelah sekilas melihat perjalanan dinamika pemahaman mengenai siapakah subjek


manusia dalam lintasan sejarah pemikiran, maka saatnya untuk memfokuskan diri pada

9
perspektif psikologis sendiri. Sebagaimana sudah sekilas dijelaskan sebelumnya terutama
perkembangan perspektif psikoana,isis, terlihat bahwa relasi antara psikologi dan kajian
bahasa sangatlah erat. Namun tentu, perkembangan perspektif ini hanyalah salah satu bagian
dari lanskap psikologi yang lebih luas. Keragaman sudut pandang dalam memandang
siapakah subjek dan berbagai persoalannya tentu juga sangat dipengaruhi oleh posisi
perspektif psikologi yang dikembangkan oleh masing-masing aliran pemikiran.
Awal usaha untuk mencari basis pengetahuan dan juga teori tentang ‘siapakah’
manusia dan bagaimana manusia bisa dipahami jauh waktu sebenranya sudah dilakukan di
era sebelum pengetahuan modern. Temuan-temuan awal tentang bagaimana misteri manusia
bisa terjawab, dalam beberapa hal merupakan basis penting dari perkembangan psikologi
awal. Dalam awal-awal gagasan tentang manusia, terdapat dualism pandangan yang sama-
sama menentukan dalam perkembangan psikologi kemudian. Dualisme ini merentang dari
kutub pandangan yang mengorientasikan pada (1) Pandangan Metafisika dan (2) Pandangan
Empiris. Pendulum pandangan ini juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
sebelumnya yang tentu saja terlibat dalam pembentukan serta perkembangan psikologi.
Sebagaimana diketahui, pandangan filsafat, misalnya telah cukup mempengaruhi
lahirnya perkembangan Psikologi. Selama berabad-abad tidak lebih dari sekedar
mencerminkan prasangka dan kesimpulan filsafat (Klemm, 2017: 2). Pandangan dunia
metafisik atas fenomena manusia lalu bersanding dengan pandangan empiris yang mencoba
menjelaskan berbagai gejala manifestasi dari jiwa yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Dalam
perjalanannya pandangan klasik dualisme manusia tentang ‘badan (tubuh fisik) dengan jiwa
(psikis) juga ikut berpengaruh mendorong dua pendekatan awal dan sekaligus berkmebang
hingga hari ini yakni psikologi dengan (1) Pendekatan Spiritualistik yang menganggap bahwa
gejala fisik atau proses fisik dianggap identik dengan proses psikis (jiwa). Gejala fisik
hanyalah cerminan dari apa yang dipikirikan dan dibatinkan dalam ruang psikis manusia.
Satu sisi lain ada (2) Pendekatan Psikologis Materialistis yang melihat bahwa proses psikis
hanyalah menjadi mode atau manifestasi materi (Klemm, 2017: 3).
Pandangan klasik (primitive) tentang manusia berada dalam dualism kutub yakni jiwa
dan badan. Dalam ranah pandangan lain, basis pembedaan inilah yang lalu jugamendor0ong
dua pandangan kalsik yang terus menerus masih selalu diperdebatkan hingga hari ini tentang
kutub dualism antara (1) Dunia Ide (pikiran) dan (2) Dunia Materi. Tidak sedikit para pemikir
juga berusaha memecahkan problem kutub dualisme ini dengan mengkombinasikan atau
memberi perspektif lebih maju. Salah satu contoh misalnya yang dicoba dikembangkan oleh
Plato yang mendudukkan posisi ‘Jiwa’ ada diantara pendulum ‘ide’ dan ‘Materi’. Kita bisa

10
tengok teori Plato tentang Ide, bahwa ‘jiwa’ diletakkan dalam posisi menengah antara dunia
ide dan dunia materi, karena jiwa mengetahui ide. Tapi jiwa sendiri terbelenggu pada tubuh
(Klemm, 2017: 6). Titik pesan atas persoalan ini adalah bahwa konsepsi klasik tentang
manusia berabad-abad sebenarnya tiudak jauh ingin mempersoalkan berbagai kutub
pandangan dualism ini dengan segala titik pijak pendulum masing-masing. Jejak kalisk ini
dalam perkembangan modern, dalam beberapa aspek juga masih tertinggal mempengaruhi
aspek perkembangan psikologi modern dan bahkan juga berpengaruh pada perkembangan
teori-teori komunikasi yang sejak awal juga sangat dipengaruhi oleh perspektif psikologi.
Setidaknya dari gambaran di atas kita bisa ketahui bahwa pengaruh psikologi tentang
konsep manusia pada akhirnya juga mempengaruhi aspek-aspek penting dalam kajian ilmu
komunikasi. Bahkan jika kita lihat lebih jauh, dimensi relasi keilmuwan ini sangat terasa.
Kita bisa ambilkan contoh missal dalam posisi pandangan Psikologi Behaviorisme yang
meletakkan pusat pandangannya pada bagaimana msnuia berhadapan dengan lingkungannya
dengan membentuk respon-respon yang berulang. Bagaimana manusia terbentuk dan
memiliki karakteritik tertentu berbeda dengan mahluk lainnya ditentukan bukan oleh
keyakinan bawaan sejak awa, namun dibangun dasri ipaya manusia sendiri dalam melakukan
respon atas lingkungan ekternalnya. Dalam interkasi berulang atas respon lingkungan itu
maka lalu membentuk berbagai nilai, keyakinan dan bahkan pengetahuuan. Dalam interaksi
respon itu, pandangan behaviorisme bahkan meletakkan lahirnya aspek bahasa (komunikasi)
sebagai aspek yang dimunculkan dalam interaksi manusia dan lingkungan.
Respon stimulus manusia atas lingkungan (baik lingkungan eksternal alam ataupun
respon dengan manusia lainnya) lalu akan membentuk respon makna secara kolektif dan
mempengaruhi stimulus interaksi sosial yang lebih luas. Hasil dari stimulus respon yang
berulang itu bisa dicontohkan dalam persoalan bahasa. Respon stimulus yang terjadi dalam
tindakan kolektif yang meluas pada akhirnya membentuk sifat khas manusia. Kehadirsan
bahasa atau komunikasi yang bisa dipahami dan dimaknai bersama oleh komunitas bahasa
tertentu merupakan contoh kongkrit dari pandangan behaviorisme ini. Pengalaman atas
lingkungan membentuk berbagai makna atas realitas dan hasil dari itu makna akan bisa
diterima secara umum (universal). Tanpa proses itu maka tidak aka nada dan bahkan setiap
manusia tidak akan bisa berkomunikasi. Maka bagi pandangan Behaviorisme, komunikasi
yang berhasil adalah komunikasi yang bisa membangkitkan stimulus respon bersama atas
sebuah makna komunikasi tertentu. Apa yang kita sedang ucapkan adalah memang apa yang
juga bisa dimaknai bersama. Tanpa itu komunikasi akan selalu gagal. George Herbert Mead

11
menjelaskan secara ringkas hubungan stimulus atas respon komunikasi dengan bagaimana
komunikasi itu bisa berjalan dengan baik.

“Apa yang penting bagi komunikasi adalah simbol yang ada harus bisa
membangkitkan pada diri seseorang apa yang dibangkitkan pada individu lain.
Komunikasi harus memiliki universa;itas bagi setiap orang yang mendapati dirinya
pada situasi yang sama. Terdapat kemungkinan sebuah bahasa saat sebuah stimulus
bisa mempengaruhi individu dan mempengaruhi orang lain (Mead, 2018: 271).

Apa yang ingin difahami oleh Behavoirisme ini adalah bahwa aspek interaksi, respon,
atau stimulus atas sebuah simbol tertentu akan menentukan sejauh mana makna bisa
didapatkan dan pada akhirnya makna inilah yang akan menjadi factor penting dalam
berkomunikasi. Jika seseorang komunikator tidak memperhatikan basis penting ini, maka
sudah bisa dipastikan ia akan gagal. Contoh sangat sederhana, semisal seorang dewasa
sedang akan berbicara pada sekumpulan anak kecil yang sedang bermain. Saat komunikator
yang lebih dewasa tidak memahami aspek psikis pengalaman makna dari anak-anak dan lalu
menggunakan bahasa-bahasa yang hanya bisa dipahami oleh pengalaman orang dewasa,
maka ia sudah dipastikan akan menghalami kegagalan. Untuk tidak gagal dan komunikasi
yang diberikan bisa diterima dalam penghayatan anak-anak, tentu saja seorang dewasa harus
masuk dalam pengalaman psikis anak terutama bahasa-bahasa yang bisa membangkitkan
stimulus respon anak-anak. Maka kita bisa sering saksikan, seorang dewasa yang berhasil
berbicara berhadapan dengan anak-anak harus menggunakan gaya dan bahkan gestur mimik
seperti seorang anak-anak berbicara.
Apa yang juga ingin ditampilkan dalam prinsip pandangan Psikologi Behaviorisme
adalah bahwa pandangan ini sejatinya juga sangat dipengaruhi oleh tradisi Empirisme dimana
factor ekternal pengalaman berhadapan dengan lingkungan mataerial (dunia) itulah yang
mempengaruhi dan membentuk psikis manusia. Manusia awalnya adalah ‘tabula rasa’ yang
kosong dan tidak memiliki sesuatu dalam pikirannya. Faktor belajar dengan
lingkungannyalah yang pada akhirnya membentuk diri dan bahkan konsep tentang manusia.
Maka dahulu perspektif ini sering dekat disebut sebagai ‘teori belajar’. Dalam pandangan
besar kaum Behaviorisme, seluruh perilaku manusia – kecuali instingnya – adalah hasil
belajar (Rakhmat, 2021: 26). Oleh karenanya itu pengalaman adalah bentuk paling
berpengaruh dalam mempengaruhi sikap dan pembentukan diri manusia, termasuk
pengalaman interaksi berkomunikasi dan berbahasa.

12
Ilustrasi yang lain untuk memberikan contoh relasi kuat kebutuhan memahami basis
perpektif psikologi bagi kajian ilmu komunikasi bisa kita lihat misal dalam pendekatan
Psikoanalisis untuk memahami sebuah aspek komunikasi. Perpektif yang dikembangkan oleh
psikoanalisis lebih menakankan pada bukan aspek rasionalitas kesadaran subjek atau juga
bukan pada bentuk-bentuk pengalaman tindakan manusia, namun justru pada aspek ‘bawah
sadar’ manusia. Dalam pandangan Psikoanalisis, hampir sebagaian besar tindakan manusia
dan bahkan cara berkomunikasi manusia ditentukan oleh struktur bawah sadar yang bisa
berbentuk hasrat (desire) keoinginan-keinginan yang tersembunyi namun membentuk
manifestasi manusia dalam berperilaku, bertindak dan berbahasa. Tendensi naluriah psikis ini
ada namun tidak cukup mudah diterjemahkan jika tidak menggunakan satu metode khusus
untuk membacanya.
Psikoanalisis meruopakan bentuk usaha untuk menjawab berbagai tendensi-tendensi
bawah sadar manusia. Psikoanalisis sendiri awalnya adalah sebuah metode untuk meneliti
terhadap proses psikis dan terutama kepada para pasien yang mengalami ganguan-ganguan
psikis (kejiwaan). Psikoanalisis lebih dekat dengan metode pengobatan dengan mekanisme
cara yang berbeda (Bertens, 2006). Meskipun sebelumnya Teknik ini berkembang, namun di
tangan Sigmund Freudlah, perspektif pendekatan ini mulai sangat dikenal. Setelah Freud,
perspektif psikoanalisis masih banyak dikembangkan dan bahkan menjadi salah satu pusat
penting dalam kajian-kajian lebih luas seperti kebudayaan dan politik.
Namun untuk meringkas apa yang penting dalam prinsip psikoanalisis agar kita bisa
memahami relasinya dengan kebutuhan belajar psikologi komunikasi, maka akan saya
berikan salah satu penerapannya. Misalnya dalam sebuah kasus kita diminta untuk meneliti
sebuah fenomena sosial seperti kasus seseorang yang sensitive dan mudah temperamen ketika
berkomunikasi. Lalu kita diminta menjawab problem itu. Bagaimana jika perspektif yang
ditawarkan adalah Psikoanalisis? Bagi seorang yang menggunakan perspektif psikoanalisis
adalah tentu saja tidak mempersoalan tenatng aspek-aspek rasional dan penjelasan yang
empiris soal kasus itu. Namun ia akan berangkat dari pertanyaan mendasar yang sering
diambil olerh psikoanalisis, yakni mengkaji strukutr cara bekerja bawah sadar psikis manusia
yang mampu melahirkan simpton khusus semisal kemarahan, emosi atau sikap temperamen.
Struktur bawah sadar psikis manusia itu lalu bisa menyangkut aspek hasrat dalam diri
manusia yang mengalami persoalan untuk bisa terungkap secara bebas.
Emosi dan kemarahan bisa jadi bukan persoalan faktor luar, namun bisa menyangkut
aspek histeris atas trauma masa lalu yang tidak teratasi. Trauma-trauma pengalaman masa
lalu yang belum bisa teratasi itu lalu memunvulkan banyak simptonnya dengan ekspresi

13
histeria kemarahan, bentakan atau respon reaksioner lainnya. Cara penjelasan psikoanalisis
ini tentu berbeda dengan aspek behaviorisme yang sama sekali tidak menyentuh aspek bawah
sadar spikis manusia. Dalam menjelaskan apa yang dimaskud struktur bawah sadar itu, Freud
dan juga beberapa kajian psikoanalisis lainnya menyentuh dimensi penting dalam spikis
manusia yang lebih dikenal dengan Id, Ego dan Super Ego. Tiga dimensi struktur psikis
manusia ini lalu menjadi pijakan awal dalam memasuki berbagai aspek lainnya. Misal kita
bisa temukan dalam tangkapan Jacques Lacan yang melihat struktur Super Ego itu pada
dasarnya berkait sangat erta denga napa yang dsiebut sebagai tatanan bahasa (symbolic
order). Dalam kaca mata Lacan dan juga psikoanalisis secara umum, subjek tidak dibentuk
secara alamiah dalam dirinya sendiri. Subjek dengan demikian juga bukan entitas otonom dan
rasional bisa menentukan dirinya sendiri. Pembentukan subjek dan makna subjek itu sendiri
sangat ditentukan relasinya dengan kehadiran denga napa yang disebut dengan tatanan
simbolik bahasa. Sudah diutarakan di atas, bahkan pembentukan subjek (ssiapa hakikat
subjek) tidak akan pernah bisa tercapai dan akan selalu mengalami keretakan-keretakan
akibat dasar inhern yang ada dalam relasi diantara id, ego dan super ego yang tidak akan
pernah ada dalam puncak pemenuhannya.
Untuk lebih lengkapnya soal pemikiran Jacques Lacan tentang psikoanalisis, akan
saya jelaskan dalam bagian materi berikutnya. Bagian materi ini membantu secara sekilas
untuk melihat betapa konsep-konsep tentang subjek dan tentang manusia secara keseluruhan
sangat ditentukan oleh berbagai perspektif yang bisa kita pinjam. Masing-masing perspektif
akan memberi tawaran yang beragam dan bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya.
Maka oleh karenanya cukup beralasan bahwa titik pijak untuk memandang siapakah subjek
tak akan pernah tunggal. Konsekuensinya, jika anda akan menuliskan sebuah kajian tentang
subjek, maka posisi perspektif anda akan sangat menentukan bagaimana subjek ini lebih awal
harus difahami dengan jelas. Semesta memberkati.

______________

Daftar Pustaka:

Barker, Christ. (2014). Kamus Kajian Budaya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


Fink, Bruce. (1995). The Lacanian Subject: Brtwen Language and Jouissance, Pricenton
New Jersey: Pricenton University Press.

14
Hardiman, F. Budi. (2004). Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Yogyakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Hill, Philip. (2002). Lacan untuk Pemula (Penerjemah: A. Widyamantara), Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Klemm, Otto. (2017). A History of Psychology (Sejarah Psikologi) (Penerjemah: Supriyanto
Abdullah), Yogyakarta, Penerbit Indoliterasi.
Leahy, Louis. (1989). Manusia sebuah Misteri: Sintesa Filosofistentang Mahluk Paradoksal,
Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka.
Lisa, Lukman. (2011). Proses Pembentukan Subjek: Antropologis Filosofis Jacques Lacan,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ravate, Michel (ed). (2003). The Cambridge Companion to Lacan, Csmbridge: Cambridge
University Press.
Rakhmat, Jalaluddin. (2021). Psikologi Komunikasi, Bandung: Penerbit Rosdakarya.
Sarup, Madam. (2011). Panduann Pengantar untuk Memahami Post-Strukturalisme dan
Post-Modernisme (Penerjemah: Medhy Aginta Hidayat), Yogyakarta: Penerbit
Jalasutra.
Sugiharto, I. Bambang. (1996). Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.

TUGAS FORUM

Setelah membaca makalah ini, coba berikaan pendapat singkat anda masing-masing apa
relasinya kita harus memahami aspek psikologi untuk mempelajari ilmu komunikasi?

TUGAS ASSESSMENT PERTAMA

Dalam tugas awal dahulu anda semua sudah diminta untuk mencari referensi atau bahan
bacaan yang terkait dengan ilmu psikologi kmunikasi. Pertanyaan ujian untuk assessment
pertama ini adalah : Sebutkan minimal 3 (tiga) manfaat praktis ketika anda belajar psikologi
komunikasi yang bisa anda terapkan dalam kehidupan lingkungan relasi sosial anda masing-
masing. Berikan argumntasi jawaban anda dengan mendalam.

ATURAN

15
Jawablah pertanyaan Forum ke kolom Forum yang tersedia di web elearning dan jawablah
pertanyaan Kuis Assessment pertama ini di link Google Drive di bawah ini. Batas waktu
jawaban adalah 5 (lima) hari setelah materi ini diunggah di web. Format jawaban dalam
assessment berbentuk word document. Dengan menyertakan nama, NIM dan Kode Kelas.

16

Anda mungkin juga menyukai