Anda di halaman 1dari 9

Nama : Tjokorda Istri Novyani Surya Dewi

NIM : 041868511

TUGAS 1

Soal 1: Era orde lama merupakan era kebebasan berserikat. Hal ini sejalan dengan kebebasan
berpolitik di bawah Presiden Soekarno. Sementara, instrumentasi hukum perburuhan di era
orde lama cukup memberikan jaminan pemenuhan HAM terhadap kaum buruh. Sifat
pemerintah yang otoriter di era orde baru berubah saat memasuki era reformasi.

Pertanyaan: Dengan kondisi seperti ini coba Anda jelaskan perbedaan Hukum
Ketenagakerjaan Era Reformasi dengan Era Orde Baru !

Soal 2: Irma adalah seorang Karyawan pada Perusahaan Manufaktur pada PT. Prima. Saat ini
Irma sedang dalam keadaan Hamil 3 Bulan. Jika anda sebagai seorang HRD pada PT. Prima,
Uraikan apa yang menjadi Hak dan Kewajiban Irma!

Soal 3: Liputan6.com, Palembang- Postingan salah satu pengguna akun media sosial
(medsos) Facebook di grup info lowongan kerja (lowker) Palembang, Sumatera Selatan
(Sumsel) tentang pengalaman kerjanya, kini menjadi viral.

Akun medsos Facebook dengan nama Marasya tersebut, menuliskan kisahnya yang menjadi
karyawan magang selama dua hari di salah satu stand cemilan di mal Palembang, pada hari
Selasa, 3 Maret 2020.

Namun dia dirumahkan oleh pemilik usaha tersebut, dengan alasan tertentu. Pemilik akun itu
mengeluhkan tindakan pemilik usaha itu, yang hanya memberinya upah bekerja 2 hari
sebesar Rp10.000.

Tak ayal, para warganet langsung meramaikan kolom komentar postingan tersebut. Banyak
komentar yang menyalahkan tindakan pemilik usaha tersebut, dengan upah magang yang
sangat rendah.

Beberapa warganet juga turut mengirimkan pesan ke pemilik akun usaha tersebut, dan
menanyakan tentang kebenaran pemberian upah itu.

Kepala Seksi (Kasi) Pengupahan dan Jaminan Sosial (Jamsos) Dinas Ketenagakerjaan
(Disnaker) Palembang Nofiar Marlena pun, menanggapi viralnya postingan ini.

Menurutnya, aturan pekerja magang memang ada di Disnaker. Perusahaan dan pemilik usaha
juga boleh melatih calon pekerja dalam status magang. Namun, label magang diakuinya
belum ada ikatan resmi ke perusahaan maupun pemilik usaha.

“Perusahaan harus memberikan ilmu ke calon pekerja yang belum ada hubungan kerja. Dalam
permagangan, memang tidak ada upah, tapi tergantung kebijakan perusahaan. Jika mau
memberi uang transpor, itu diatur oleh perusahaan atau pemilik usaha sendiri sesuai
kemampuan,” ucapnya, kepada Liputan6.com, Rabu (4/3/2020).
Untuk calon pekerja yang masih magang, perusahaan dan pemilik usaha wajib mendaftarkan
ke Disnaker Palembang, di bidang pelatihan. Bisa dalam satu bulan atau satu tahun, untuk
mengetahui data secara lengkap.

Sumber: https://www.liputan6.com/regional/read/4194050/viral-pekerja-magang-cemilan-
diupah-rp10000-begini-tanggapan-disnaker-palembang

Pertanyaan: Sejauh mana anda memahami status magang ? Uraikan jawaban Anda berdasar
aturan hukum yang berlaku!

JAWABAN :

1. Era orde lama merupakan era kebebasan berserikat. Hal ini sejalan dengan kebebasan
berpolitik di bawah presiden Soekarno.Instrumen-instrumen hukum perburuhan di era
rezim orde lama, antara UU No. 1 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU No 12
tahun 1948 tentang Kerja, yang mengatur tentang larangan mempekerjakan anak,
pembatasan waktu kerja 7 jam sehari, 40 jam dalam seminggu, waktu istirahat bagi buruh.
Serta larangan mempekerjakan buruh pada hari libur, hak cuti haid, hak cuti
melahirkan/keguguran serta sanksi pidana pelanggaran terhadap UU ini. Lalu terbit UU No.
2 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU No 33 tahun 1947 tentang Kecelakaan
Kerja. UU ini mengatur tengang jaminan atas keselamatan kerja, hak pegawai pengawas
untuk menjamin untuk menjamin pelaksanaan keselamatan kerja serta sanksi pidana
dalam pelanggaran terhadap UU ini. Kemudian terbit UU No. 3 tahun 1951 tentang
pernyataan berlakunya UU No 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan. Materi UU
ini mengatur kewajiban negara untuk melakukan pengawasan pelaksanaan UU dan
peraturan perburuhan, hak pegawai pengawas memasuki dan memeriksa tempat usaha
serta kewajiban majikan untuk memberikan keterangan lisan dantertulis kepada pegawai
pengawas serta sanksi pidana dalam pelanggaran terhadap UU ini. Kemudian,terbit UU No
21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat buruh dan majikan.
Selanjutnya terbit UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No 98
mengenai berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersama. Lalu UU No 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Tahunberikutnya,lalu lahir UU No. 3 tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing dan
kemudian terbit UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta.

Instrumentasi hukum perburuhan di era orde lama cukup memberikan jaminan


pemenuhan HAM terhadap kaum buruh. Negara sangat melindungi kaum buruh ketika
menghadapi berbagai konflik dengan perusahaan. Serikat buruh diberikan peran strategis
untuk menyelesaikan dengan baik kasus-kasus buruh dan pengusaha. Negara sebagaimana
aturan-aturan di atastelah mengikatkan dirinya untuk mengawasi pelaksanaan aturan
perburuhan di perusahaan-perusahaan. Sebagai komitmen terhadap pemenuhan HAM di
era orde lama, beberapa konvensi ILO telah diratifikasi.Serikat buruh yang ketika orde lama
bergerak pada ranah politik, distigmakan rezim Orde Baru sebagai organisasi yang menjadi
basis gerakan komunisme di Indonesia. Karena itu, buruh dan organisasinya harus diawasi,
dirombak dan diganti dengan organisasi baru.Di awal orde baru, dibentuklah Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI)yang menyatukanseluruh organisasi buruh di
Indonesia. Pada Februari 1973,MPBI berubah nama menjadi Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui pemerintah.Kemudian
berubah lagi tahun 1985 menjadiKonfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI),
dimana seluruh serikat buruh di Indonesia harus berafiliasi dengan KSPSI. Untuk
mengendalikan KSPSI, pemerintah merumuskan sistem Hubungan Industrial Pancasila
(HIP), berupa larangan berserikat selain organisasi bentukan pemerintah dan larangan aksi
mogok karena bertentangan dengan pancasila.Sifat pemerintah yang otoriter di era orde
baru berubah saat memasuki era reformasi. Pekerja/buruh mulai bebas berserikat dan
dilindungi undang-undang. Pekerja/buruh memiliki kebebasan untuk berekspresi.
Pengaturan tentang perburuhan erareformasi berbeda sama sekali. Misalnya terbitUU No.
21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh mengatur adanya kebebasan untuk
berserikat. Lalu terbit UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Instrumen hukum
ketiga ialah UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI). Instrumen hukum terbaru ini selain melalui media penyelesaian bipartit, mediasi,
konsiliasi,dan arbitrase juga menghendaki penyelesaian kasus lewat pengadilan hubungan
industrial yang dibentuk di PN menggantikan kewenangan P4D/P4P.Penyelesaian jalur
Pengadilan Hubungan Industrial ialah puncak penyelesaian konflik buruh, serikat buruh
dan majikan.
Penjabaran Hukum ketenagakerjaan dari masing – masing orde :

 Orde Lama

Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami
perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja.
Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:

1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja


2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan
5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai
Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

 Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan
tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan
Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini
dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

 Masa Reformasi

Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami


perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang
singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.

Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83


Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi
aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan
ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.

Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan
terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan
peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya
perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.

Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti
dari 15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.

Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan


perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat
dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

perbedaan Hukum Ketenagakerjaan Era Reformasi dengan Era Orde Baru

Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan
tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan
Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini
dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

Masa Reformasi

Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami


perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang
singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.

Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83


Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi
aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan
ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.

Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan
terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan
peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya
perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.

Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti
dari 15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.

Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan


perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat
dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

2. Perusahaan yang mempekerjakan karyawan perempuan perlu mengetahui bahwa mereka


memiliki hak-hak yang berbeda dengan karyawan laki-laki.

Beberapa Hak tersebut meliputi :

1. Hak atas Cuti Haid/Menstruasi

Mengetahui bahwa siklus bulanan perempuan ini sampai diberi hak cuti, mungkin
mengagetkan untuk Anda. Namun kenyataannya, pemerintah telah mengatur hak cuti
menstruasi dalam perundang-undangan.

Pasal 81 (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan “Pekerja/buruh perempuan


yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Yang sering menjadi polemik adalah bagaimana prosedur untuk “memberitahukan kepada
pengusaha” itu. Dalam hal ini, sering terjadi karyawan perempuan merasa haknya dipersulit
karena perusahaan menuntut adanya surat keterangan dokter. Padahal, jarang sekali seorang
perempuan pergi ke dokter hanya karena mengalami mentruasi. Rasa tidak nyaman dan sakit
di hari-hari awal menstruasi dialami sebagian besar wanita, sehingga hal tersebut dianggap
normal.
Tuntutan perusahaan itu sebenarnya sah-sah saja, jika ketentuan tersebut memang
tercantum dan disetujui bersama karyawan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama, sesuai pasal 81 ayat 2 UU Ketenagakerjaan.

2. Hak atas Cuti Hamil dan Melahirkan

Pada pasal 82 ayat 1 UU Ketenagakerjaan No. 13/ 2003 diatur tentang hak karyawan
perempuan mendapatkan hak cuti hamil dalam masa kehamilan dan hak cuti melahirkan /
cuti bersalin dalam masa persalinan:

“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”

Meskipun didalam undang-undang tenaga kerja wanita yang hamil telah diatur pembagian
waktunya demikian, namun beberapa perusahaan memberi kebebasan karyawannya untuk
menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk cuti. Biasanya karyawan perempuan
akan memilih mengambil cuti mendekati hari kelahiran. Alasannya agar setelah melahirkan
dapat lebih lama merawat bayinya di rumah. Yang perlu diperhatikan oleh HR adalah
kesamaan persepsi waktu “3 bulan” antara perusahaan dengan karyawan. Beberapa
perusahaan memperinci artinya menjadi 90 hari kalender dalam peraturan perusahaan agar
tidak terjadi kesalahpahaman.

3. Hak Cuti Menyusui

Seiring maraknya kampanye dan kesadaran pemberian ASI ekslusif, sangat penting bagi
perusahaan melihat urgensi pemenuhan hak karyawan perempuan untuk menyusui bayinya
saat ini. Perusahaan perlu menyediakan tempat laktasi dan memberi kesempatan setidaknya
untuk memerah ASI bagi karyawan perempuan pada waktu kerja.

UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah mengatur hal ini, sebagai berikut:

“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan


sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.”

Penjelasan pasal 83: Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah
lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya
dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

4. Hak atas Cuti Keguguran

Apabila keguguran kandungan dialami karyawan perempuan, karyawan tersebut berhak


untuk beristirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan/
bidan. Ketentuan ini tercantum dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/ 2003 pasal 82 ayat 2, dan
hendaknya ditaati oleh perusahaan.
Istilah keguguran sendiri dalam dunia kedokteran, merupakan kondisi kehilangan janin
sebelum janin itu dapat bertahan hidup di luar kandungan, yang diartikan usia janin kurang
dari 20 minggu.

Dari Penjabaran Hak Pekerja wanita di atas jelas bahwa Pekerja perempuan berhak atas
istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun bagi
hak ini, keluarga pekerja wajib memberi kabar ke perusahaan mengenai kelahiran anaknya
dalam tujuh hari setelah melahirkan serta wajib memberikan bukti kelahiran atau akta
kelahiran kepada perusahaan dalam enam bulan setelah melahirkan.

3. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja dengan bekerja secara langsung di
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman.

Jadi, karyawan yang mengikuti pemagangan itu dikategorikan telah bekerja. Ia bekerja dalam
proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan
atau keahlian tertentu.

Pemagangan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU


Ketenagakerjaan”) dimaksudkan untuk pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi kerja,
bukan untuk tujuan akademis atau pemenuhan kurikulum/persyaratan suatu profesi
tertentu. Pemagangan mahasiswa S2 untuk memenuhi tuntutan akademis (tugas akhir)
adalah magang yang dilakukan untuk tujuan akademis atau pemenuhan kurikulum dan bukan
pemagangan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Jika yang Anda maksud adalah peserta magang dalam konteks pemagangan dalam UU
Ketenagakerjaan, peserta magang berhak atas hak-hak antara lain memperoleh uang saku
dan/atau uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat
apabila lulus di akhir program.

Adapun sanksi jika perusahaan selain penyelenggara negara tidak melaksanakan kewajiban
mendaftarkan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS adalah sanksi administratif.

Di Indonesia, dikenal berbagai macam bentuk pemagangan (magang) yakni pemagangan


dalam rangka pelatihan kerja, pemagangan untuk tujuan akademis, dan magang untuk
pemenuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu.

Hak dan Kewajiban dari pemagang :

a. Hak karyawan magang; Karyawan magang memiliki hak untuk memperoleh fasilitas
keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti pemagangan; memperoleh uang saku
dan/atau uang transport yang besarnya tergantung pada kemampuan perusahaan yang
dituangkan dalam perjanjian magang; memperoleh perlindungan berupa jaminan kecelakaan
kerja dan jaminan kematian yang pengelolaannya diserahkan pada penyelenggara
pemagangan; serta memperoleh sertifikat pemagangan apabila dinyatakan lulus; karyawan
juga berhak untuk mengulang magang apabila belum lulus.
b. Kewajiban karyawan magang; Karyawan magang memiliki kewajiban yang harus
dikerjakan, yaitu mentaati perjanjian pemagangan; mengikuti program pemagangan
sampai selesai jadi tidak ada ketentuan mengundurkan diri kecuali yang sudah diatur dalam
perjanjian pemagangan; mentaati tata tertib atau peraturan perusahaan tempat ia magang;
serta menjaga nama baik perusahaan penyelenggara kegiatan magang meskipun statusnya
belum karyawan tetap.

Mengenai Upah / uang saku pemagang sesuai dengan bahasan wacana di atas ,

Upah, menurut UU Ketenagakerjaan, adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Di PP Pengupahan No 78 Tahun 2015, disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan


waktu (harian, mingguan, atau bulanan) dan satuan hasil. Upah dapat terdiri atas:

1. Komponen upah tanpa tunjangan;


2. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
3. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.

Komponen upah pokok minimal 75 persen dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Pembayaran upah juga diatur tidak boleh rendah dari upah minimum.

Sementara, uang saku tidak diatur, bahkan tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan maupun
PP Pengupahan. Uang saku juga bukan imbalan dasar atas pekerjaan yang dibayarkan atas
satuan waktu maupun satuan hasil, melainkan diberikan atas dasar kemampuan perusahaan.

Karena itu, uang saku bukanlah upah karyawan, tetapi dapat dianggap sebagai tunjangan.
Apabila jumlah yang dibayarkan setiap bulan besarannya tetap, maka termasuk tunjangan
tetap. Tetapi jika besarannya dikaitkan dengan kehadiran peserta magang, maka termasuk
tunjangan tidak tetap, misalnya uang transport.

Pedoman Penentuan Besaran Uang Saku Karyawan Magang Versi NACE

Jika masih belum bisa meraba-raba berapa uang saku yang ideal untuk karyawan magang,
mungkin pedoman dari NACE ini bisa membantu. NACE membagi dalam empat langkah yang
bisa kamu coba, antara lain:

1. Memahami klasifikasi karyawan magang — Pekerja magang biasanya masuk dalam


kategori “tidak dikecualikan” karena sifat dari posisi mereka. Kamu bisa menghitung
uang saku berdasarkan hari mereka masuk atau per hari selama masa magang mereka.
2. Memiliki dasar untuk gaji — Banyak perusahaan yang menggunakan upah yang
mereka berikan untuk karyawan lulusan baru sebagai acuan untuk uang saku
karyawan magang. Tarifnya juga bervariasi, tiap jurusan punya besaran yang berbeda
dan tentu saja lokasi juga menentukan besarnya uang saku.
3. Membuat penyesuaian berdasarkan lokasi — Jika perusahaan kamu di perkotaan
dengan biaya hidup yang tinggi. Ini juga bisa jadi acuan kamu untuk memikirkan
besaran uang saku yang layak bagi pemagang.
4. Menetapkannya tiap tahun — Tiap awal tahun, perusahaan akan memulai pembukuan
baru untuk pengeluaran perusahaan, kamu dapat memasukan uang saku pemagang
sebagai pengeluaran tahunan yang sudah ditentukan di awal.

Namun , program magang kerja rawan diselewengkan oleh pengusaha nakal, yang ingin
mendapatkan ‘tenaga kerja’ berkualifikasi trainee setiap tahun tanpa perlu membayar upah
minimum, dengan mengakali peraturan.

Anda mungkin juga menyukai