19031121-Abeto-UAS Pendidikan Kewarganegaraan
19031121-Abeto-UAS Pendidikan Kewarganegaraan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH :
ABETO
19031121
DOSEN PENGAMPU :
RAHMULIANI FITHRIAH, S.Pd, M.Hum.
Dalam mewujudkan tujuan nasional banyak mengalami kendala, baik dalam tataran konsep
maupun implementasinya. Pada tataran konsep tidak adanya kata sepakat antara perkataan dan
perbuatan di antara para elit politik. Contoh kongkrit konsep ekonomi liberal, ekonomi
kerakyatan dan perwujudan Welfare State (negara kesejahteraan). Konsep ekonomi liberal
mengutamakan kepentingan pasar bebas dan merupakan salah satu varian dari kapitalisme yang
terdiri dari merkantilesme, liberaliseme, dan keynesianisme dan neoliberalisem yang merupakan
upaya untuk mengoreksi kelemahan dalam liberalisme (Revrisond Baswir, KR, 17 Mei 2009; 1).
Dalam paham ekonomi pasar liberal, diyakini bahwa pasar memiliki kemampuan dapat
mengurus sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus pasar tidak diperlukan sama
sekali. Tujuan konsep ini adalah kebebasan individu untuk bersaing secara sempurna di pasar,
kepemilikan pribadi terhadap faktor prodoksi, pembentukan harga pasar dilakukan oleh negara
melalui undang-undang. Namun konsep ini tersisih oleh negara kesejahteraan peranan negara
dalam ekonomi tidak dibatasi sebagai pembuat peraturan tetapi diperluas untuk membuat
kewenangan dan melakukan intervensi terhadap viskal maupun moneter.
Hal ini dilakukan untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan
menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, negara kesejahteraan
dengan tegas mengatakan "selama masih ada pengangguran campur tangan negara dalam
perekonomian dibenarkan". Paham yang berkembang di Indonesia masih ada ekonomi
kerakyatan yaitu ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat (Suharto, KR, 25 Mei
2009; 1).
Kepentingan rakyat di antara menghidupkan usaha kecil dan menengah, melindungi dan
menghidupkan pasar tradisional, dan mengusahakan dunia usaha dalam konteks sektor riil,
memberdayakan masyarakat kecil. Kebijakan pemerintah tidak liberalis-kapitalistik, mengurangi
kemiskinan, perlindungan terhadap sumber daya alam. Pembuatan undang-undang Penanaman
Modal, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), Badan Layanan Umum (BLU) yang perpihak
untuk kepentingan rakyat. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam penananman modal
asing harus berpihak untuk kepentingan rakyat kecil. Ketiga konsep tersebut di atas mewarnai
kebijakan pemerintah sekarang, Wawasan nusantara diharapkan mampu menyatukan pandangan-
pandangan yang berbeda dalam masyarakat dan memberikan solusi untuk mendasari Ketahanan
Nasional suatu bangsa, sehingga tujuan nasional dapat terialisir. Dalam Wawasan Nusantara dan
Ketahanan nasional sebagai konsep pemikiran bersifat inklusif menerima pembaharuan masukan
untuk kepentingan kemajuan bagsa. Menurut pemikiran Rizal Ramli bangsa ini akan cepat
makmur jika pemimpin-pemimpin kita melakukan transformasi seluruh hidupnya untuk
kepentingan rakyat; baik pemikirannya, seluruh hartanya, Waktu dan tenaganya, segalanya untuk
kepentingan rakyat dan bersedia tampil all aut untuk kepentingan rakyat (Metro TV Mei 2009). \
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh PM Mahatir dari Malaysia, PM Li Kwanyu dari
Singapura, sehingga negara tersebut lebih cepat makmur meninggalkan Indonesia. Sedang
menurt Amin rais dalam orasinya "Slamatkan Indonesia" untuk menyejahterakan rakyat perlu
penataan negara lebih terencana dan pemimpin-pemimpin bangsa tidak menjadi kakitangan asing
(komprador) untuk menguras kekayaan bangsa Indonesia (Amin Rais, Juni 2008).
Menurut Hussein Alatas dalam The Sociologi of Coroption (1968) di Indonesia koropsi
semakin menggurita yang kalau dibiarkan akan membunuh negara Indonesia sendiri (Sutjipto
Raharjo, Kompas, 18 Mei 2009; 6). Prabowo juga mengatakan perlu menihilkan pengangguran
dan kemiskinan untuk menyejehterakan rakyat (Metro TV 20 Mei 2009).
Berdasarkan uraian di atas apapun pemikirannya untuk mewujudkan Indonesia Dream
(mimpi bangsa Indonesia yang ideal) perlu kesamaan persepsi, kesamaan pandangan, dan
kesamaan dalam implementasinya. Konsep Wawasan Nusantara memberikan solusi untuk
menyamakan pandangan yang sama sehingga dapat mewujudkan Integrasi nasional seperti yang
diharapkan bangsa Indosnesia dan integrasi nasional dapat mewujudkan kesejahteraan. Wawasan
artinya pandangan, tinjauan, penglihatan atau tanggap indrawi. Selain menunjukkan kegiatan
untuk mengetahi serta arti pengaruh-pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
penglihatan atau tanggap indrawi, Wawasan juga mempunyai pengertian menggabarkan cara
pandang, cara tinjau, cara melihat atau cara tanggap incrawi. Nasional menunjukkan kata sifat,
ruang lingkup, bentuk kata yasng berasal dari istilah nation berarti bangsa yang telah
mengidentiikasikan diri ke dalam kehidupan bernegara atau secara singkat dapat dikatakan
sebagai bangsa yang telah menegara. Nusantara, istilah ini dipergunakan untuk menggambarkann
kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau yang terletak di atara Samudra Pasifik dan
Samudra Indonesia, serta di antara Benua Asia Benua Australia.
Wawasan Nasional merupakan "cara pandang" suatu bangsa tentang diri dan
lingkungannya. Wawasan merupakan penjabaran dari falsafat bangsa Indonesia sesaui dengan
keadaan geografis suatu bangsa, serta sejarah yang pernah dialaminya. Esensinya; bagaimana
bangsa itu memanfaatkan kondisi geografis, sejarahnya, serta kondisi sosial budayanya dalam
mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Bagaimana bangsa tersebut memandang diri dan
lingkungannya. Dengan demikian Waasan Nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang
bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi
Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa merdeka, berdaulat, bermartabat,
serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan nasional.
Wawasan Nusantara adalah cara pandang, cara memahami, cara menghayati, cara bersikap, cara
berfikir, cara bertindak, cara bertingkah laku, bangsa Indonesia sebagai interaksi prosees
psikologis, sosiokultural, dengan aspek ASTAGATRA (Kondisi geografis, kekayaan alam dan
kemampuan penduduk serta IPOLEKSOSBUD Hankam).
Wawasan Nusantara dan Integrasi Wilayah Wawasan nusantara sebagai "cara pandang"
bangsa Indonesia yang melihat Indonesia sebagai kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan
hankam merupakan landasan dan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menyelesaikan segala
masalah dan hekikat ancaman yang timbul baik dari luar maupun dari dalam segala aspek
kehidupan bangsa. Sebagai landasan kerja bagi penyelenggaraan dan pembinaaan hidup
kebangsaan serta hidup kenegaraan perlu didasari oleh GBHN sebagai produk MPR (pasal 3
UUD 1945) dan APBN sebagai produk legeslatif dan eksekutif (pasal 23 ayat 1 UUD 1945).
Salah satu manfaat yang paling nyata dari penerapan wawasan nusantara adalah di bidang
politik, khususnya di bidang wilayah.
Pertambahan luas ruang hidup tersebut di atas menghasilkan sumber daya alam yang cukup
besar bagi kesejahteraan bangsa, mengingat bahwa minyak, gas bumi, dan mineral lainnya
banyak yang berada di dasar laut, baik di lepas pantai (off shore) maupun di laut dalam.
Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional, termasuk tentangga
dekat kita, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India, Australia, dan Papua Nugini
yang dinyatakan dengan persetujuan yang menyangkut laut teritorial maupun landas kontinen.
Persetujuan tersebut dapat dicapai karena Indonesia dapat memberikan akomodasi kepada
kepentingan negara-negara tetangga antara lain bidang perikanan (traditional fishing right) dan
hak lintas dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur atau sebaliknya.
Penerapan wawasan nusantara di bidang komunikasi dan transportasi dapat dilihat dengan
adanya satelit Palapa dan Microwave System serta adanya lapangan terbang perintis dan
pelayaran perintis. Dengan adanya proyek tersebut laut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan
yang besar sehingga lalu lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat lancar jalannya.
Penerapan wawasan nusantara di bidang ekonomi juga lebih dapat dijamin mengingat kekayaan
alam yang ada lebih bisa dieksploitasi dan dinikmati serta pemerataannya dapat dilakukan karena
sarana dan prasarana menjadi lebih baik. Penerapan di bidang sosial budaya terlihat dari
dilanjutkannya kebijakan menjadikan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, sebangsa,
setanah air, senasib sepenanggung, dan berasaskan Pancasila. Tingkat kemajuan yang sama
merata dan seimbang terlihat dari tersedianya sekolah di seluruh tanah air dan adanya universitas
negeri di setiap provinsi. Politik Perbatasan Dalam Konteks Wawasan Nusantara Kebijakan
politik untuk mengamankan wilayah perbatasan belum seperti diharapkan, hal ini terbutkti
banyak wilayah yang tidak dirurus oleh Jakarta sehingga diklaim oleh negara tentangga seperti
diungkapkan oleh Siswono (2005: 4) "Tahun-tahun ini kita dirisaukan oleh berita tentang
rapuhnya batas-batas wilayah NKRI. Setelah Pulau Pasir di Wilayah Timor diakui milik
Austsralia dan kita menerimanya, Sipadan dan Ligitan diputuskan Mahkamah Internasional
menjadi milik Malaysia, tapal batas di Kalimantan digeser hingga 800 meter, pekerja pembuat
Mercusuar di Ambalat diintimidasi polisi perairan Malaysia. Lalu lintas batas yang bebas,
nelayan- nelayan asing yang mencuri ikan hingga merapat ke pantai-pantai Sumatra (pulau-
pulau Rondo di Aceh dan Sekatung di Riau). Semua itu menunjukkan betapa lemahnya negara
kita dalam menjaga batas luar wilayah NKRI" (Kompas, 20 April 2005: 4).
Pada tahun 2002 terpampang di surat kabar kapal ikan asing yang meledak terbakar
ditembak oleh kapal perang kita. Mengingat setiap hari ribuan kapal asing mencuri ikan di
wilayah RI ada baiknya jika setiap bulan 10 kapal pencuri ikan ditembak meriam kapal patroli
AL, agar jera. Jikalau yang terjadi penyelesaian damai di laut, maka pencurian ikan akan
semakin hebat, dan penghormatan bangsa dan negara lain akan merosot. Potensi desharmoni
dengan negara tetangga adalah masalah perbatasan, tentu tidak nyaman jika diperbatasan selalu
tegang. Oleh karena itu perlu penegasan batas wilayah agar saling menghormati wilayah masing-
masing negara. Suasana yang harmonis adalah kebutuhan hidup bertetanngga dengan bangsa
lain. Kondisi disepanjang perbatasan Kalimantan dengan kehidupan seberang perbatasan yang
lebih makmur dapat mengurangi kebanggaan warga di perbatasan pada negara kita. Pulau-pulau
di Kepulauan Riau yang ekonominya lebih berorientasi ke Singapura dengan menerima dolar
Singapura sebagai alat pembayaran juga dapat merapuhkan rasa kebangsaan Indonesia pada para
penghuni pulau tersebut.
Wilayah NKRI perlu dijaga dengan penegasan secara defakto dengan menghadirkan
penguasa local seperti lurah, camat seperti polisi dan tentara sebagai simbul kedaulatan negara.
Meskipun memiliki ribuan pulau tetapi tidak boleh meremehkan eksistensi salah satu pulau atau
perairan yang sekecil apapun pulau atau daratan, dan bila itu wilayah NKRI perlu dipertahankan
dengan jiwa dan raga seluruh bangsa ini. Kasus Ambalat; Bermula dengan lepasnya Timor
Timur 1999, kemudian kekalahan diplomasi kita di Mahkamah Internasional dengan kasus
Sipadan dan Ligitan, 2002 sehingga kedua pulau tersebut menjadi miliki Malaysia. Lepasnya
kedua pulau Sipadan dan Ligitan dengan waktu reltif singkat membuat rakyat Indonesia menjadi
trauma akan lepasnya blok Ambalat yang kaya minyak ke tangan Malaysia. Kontruksi bangunan
teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional begitu rapuh dalam beberapa tahun terakhir ini.
Sengketa dua blok wilayah Malaysia dan Indonesia kembali memanas. Masing-masing
mengklaim sebagai wilayah mereka. Malaysia memberi nama Wilayah ND6 dan ND7 dan
Indonesia memberi nama blok Ambalat dan Ambalat Timur (Rusman Ghazali, Kompas, 28 April
2005; 4).
Menurut Prof. Azmi Hasan, ahli strategi politik Malaysia, bantahan Indonesia sudah
diatisipasi bahkan pemerintah Malaysia sudah menyiapkan segala bantahan sengketa Ambalat.
Pemerintahan Malaysia tidak meragukan lagi kesahihan kepemilikan atas klaim ND6 dan ND7
sebagai bagian meilikinya atas dasar peta pantas benua 1979. Malaysia melakukan bantahan atas
konsesei ekplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan
oleh Pemerintah Indonesia. Bukan hanya itu, dalam tulisannya Prof. Azmi membuat kalkulasi
atas kekuatan militer Indonesia jika harus berhadapan dengan kekuatan militer Malaysia. Bahwa
TNI tidak berada dalam keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun yang
lalu. Sebagai contoh hanya 40% Jet tempur yang dimiliki TNI AU tidak dapat digunakan, karena
ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukoiw yang dimiliki
Indonesia hanya mempunyai kemampuam radar, tanpa dibantu kelengkapan persenjataan yang
lebih canggih lainnya. Pendek kata bahwa dalam sengketa ini kekuatan militer TNI juga telah
diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di Malaysia sebagai refrensi pemerintah
Malaysia dalam menentukan sikap terhadap sengketa di wilayah Ambalat (Rusman Gazali, 2005:
4).
Wawasan Nusantara dan Integrasi Nasional Dalam usaha mencapai tujuan nasional masih
banyak yang mempunyai pandangan berbeda atau persepsi berbeda. Untuk itu pemerintah
Indonesia telah mempunyai rumusan dalam konsep pandangan nasional yang komprehensif dan
integral dalam bentuk wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang sama
pada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan dan
persatuan, sehingga akan menghasilkan integrasi nasional. Secara teoretis integrasi dapat
dilukiskan sebagai pemilikan perasaan keterikatan pada suatu pranata dalam suatu lingkup
teritorial guna memenuhi harapan- harapan yang bergantung secara damai di antara penduduk.
Secara etimologis, integrasi berasal dari kata integrate, yang artinya memberi tempat bagi suatu
unsur demi suatu keseluruhan. Kata bendanya integritas berarti utuh. Integrasi mempunuyai
pengertian "to combine (part) into a whole" atau "to complate (something thet is imperfec or
incomplete) by adding parts" dan "to bring or come into equality by the mexing of group or
races".
Secara teoritis integrasi dapat dilukiskan sebagai pemilikan keterkaitan antar bagian yang
menjadi satu. Oleh karena itu, pengertian integrasi adalah membuat unsur-unsurnya menjadi satu
kesatuan dan utuh. Integrasi berarti menggabungkan seluruh bagian menjadi sebuah keseluruhan
dan tiap-tiap bagian diberi tempat, sehingga membentuk kesatuan yang harmonis dalam kesatuan
Negara Republik Indonesia (NKRI) yang bersemboyankan "Bhineka Tunggal Ika". Integrasi
nasional merupakan hal yang didambakan yang dapat mengatasi perbedaan suku, antargolongan,
ras, dan agama (SARA). Kebhinekaan ini merupakan aset bangsa Indonesia jika diterima secara
ikhlas untuk saling menerima dan menghormati dalam wadah NKRI. Menurut Sartono
Kartodirdjo, integrasi nasional berawal dari integrasi teritorial dan merupakan integrasi
geopolitik yang dibentuk oleh transportasi, navigasi, dan perdagangan, sehingga tercipta
komunikasi ekonomi, sosial, politik, kultural yang semakin luas dan intensif. Pada masa
prasejarah telah terbentuk jaringan navigasi yang kemudian berkembang dan sampai puncaknya
pada masa Sriwijaya dan Majapahit serta yang pada zaman Hindia Belanda diintesifkan melalui
ekspedisi militer. Pada masa NKRI diperkokoh dengan adanya sistem administrasi yang
sentralistik melalui sistem idukasi, militer, dan komunikasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 85).
Menurut Drake integrasi nasional adalah suatu konsep yang multidimensional, kompleks,
dan dinamis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam integrasi nasional antara lain sebagai
berikut. Pertama, pengalaman historis yang tampil sebagai kekuasaan yang kohesif, berawal dari
penderitaan yang menjadi bagian warisan bersama sebuah negara. Kedua, atribut sosio-kultural
bersama seperti bahasa, bendera, bangsa yang membedakan dengan bangsa lain dan yang
memungkinkan WNI memiliki rasa persatuan. Ketiga, interaksi berbagai pihak di dalam negara
kebangsaan dan adanya interdependensi ekonomi regional (Filip Litay, 1997; 10). Masyarakat
Indonesia sangat heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu, bagi integrasi sosial budaya unsur-
unsurnya memerlukan nilai-nilai sebagai orientasi tujuan kolektif bagi interaksi antarunsur.
Dalam hubungan ini ideologi bangsa, nilai nasionalisme, kebudayaan nasional mempunyai
fungsi strategis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menggantikan nilai-nilai
tradisonal dan primodial yang tidak relevan dengan masyarakat baru. Dengan demikian nilai
nasionalisme memiliki nilai ganda, yaitu selain meningkatkan integrasi nasional, juga berfungsi
menanggulangi dampak kapitalisme dan globalisasi serta dapat mengatasi segala hambatan
ikatan primordial. Apabila dipikirkan antara integrasi dan nasionalisme saling terkait. Integrasi
memberi sumbangan terhadap nasionalisme dan nasionalisme mendukung integrasi nasional.
Oleh karena itu, integrasi nasional harus terus dibina dan diperkuat dari waktu ke waktu.
Kelalaian terhadap pembinaan integrasi dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi bangsa.
Sebagai contoh, keinginan berpisah dari NKRI oleh sebagian masyarakat Papua, Aceh, dan
Maluku karena selama puluhan tahun mereka hanya sebagai objek dan bukan subjek. Mereka
hanya mendapat janji-janji kesejahteraan tanpa bukti dan menentang ketidakadilan di segala
bidang. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah pusat dapat mengakomodasikan setiap isu yang
timbul di daerah. Integrasi nasional biasanya dikaitkan dengan pembangunan nasional karena
masyarakat Indonesia yang majemuk sangat diperlukan untuk memupuk rasa kesatuan dan
persatuan agar pembangunan nasional tidak terkendala. Dalam hal ini kata- kata kunci yang
harus diperhatikan adalah mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis dan saling
membantu atau dalam koridor lintas SARA. Integrasi mengingatkan adanya kekuatan yang
menggerakkan setiap individu untuk hidup bersama sebagai bangsa. Dengan integrasi yang
tangguh yang tercermin dari rasa cinta, bangga, hormat, dan loyal kepada negara, cita-cita
nasionalisme dapat terwujud. Dalam integrasi nasional masyarakat termotivasi untuk loyal
kepada negara dan bangsa. Dalam integrasi terkandung cita-cita untuk menyatukan rakyat
mengatasi SARA melalui pembangunan integral. Integrasi nasional yang solid akan
memperlancar pembangunan nasional dan pembangunan yang berhasil akan memberikan
dampak positip terhadap negara dan bangsa sebagai perwujudan nasionalisme. Dengan
berhasilnya pembangunan sebagai wujud nasionalisme, konflik-konflik yang mengarah kepada
perpecahan atau disintegrasi dapat diatasi karena integrasi nasional memerlukan kesadaran untuk
hidup bersama dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis. Negara dan bangsa sebagai
institusi yang diakui, didukung, dan dibela oleh rakyat diharapkan mampu mengakomodasikan
seluruh kepentingan masyarakat dan memperjuangkan nasip seluruh warga bangsa. Dalam
mengatasi isu-isu disintegrasi, pemerintah perlu melegalkan tuntutan mereka sejauh masih dalam
koridor NKRI.
Selruh warga bangsa perlu berempati pada masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku. Perlu
dimengerti bahwa masyarakat Papua adalah Indonesia yang di dalamnya terdiri dari banyak
etnis, sebab tanpa Aceh dan Papua Indonesia bukan "Indonesia Raya" lagi. Dengan menaruh rasa
empati kepada mereka, serta disertai tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
yang menginginkan untuk berpisah tersebut dapat menyadari bahwa mereka dan "kita" adalah
satu untuk mewujudkan kepentingan bersama, kemakmuran bersama, rasa keadilan bersama,
dalam wadah NKRI. Namun bila isu-isu tidak pernah ditanggapi dan justru dengan pendekatan
keamanan (militer), hal ini akan menimbulkan kesulitan di masa yang akan datang. Tututan yang
wajar perlu diakomodasikan sehingga mungkin dapat meredakan keinginan berpisah dari NKRI.
Perlu dicatat bahwa pemerintah RI harus meningkatkan kesejahteraan seluruh warga bangsa
karena hal ini merupakan kunci terciptanya integrasi nasional demi terwujudnya cia-cita
nasionalisme. Dalam usaha mencapai tujuan nasional, masih banyak yang memiliki pandangan
berbeda. Untuk itu pemerintah telah merumuskan pandangan nasional yang komperhensif dan
integral yang dikenal dengan wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang
sama kepada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan
dan persatuan secara utuh, sehingga dapat mewujudkan integrasi nasional.
Adanya nilai-nilai nasionalisme, khususnya nilai kesatuan, sangat mendukung terwujudnya
integrasi nasional. Dengan demikian nilai-nilai wawasan nusantara, kususnya nilai kesatuan,
yaitu kesatuan sangat mendukung adanya integrasi nasional.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wawasan nusantara memiliki peranan
penting untuk mewujudkan persepsi yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia. Perbedaan
persepsi, perbedaan pendapat, dan freksi-freksi antar kelompok dalam konteks sosologis, politis
serta demokrasi dianggap hal yang wajar dan sah- sah saja. Hal di atas justru diharapkan dapat
menghasilkan masyarakat yang dinamis dan kreatif, sinergis, untuk saling menyesuaikan menuju
integrasi. Suatu pantangan yang harus dihindari adalah perbuatan, tindakan yang melanggar
norma-norma etika, moral, nilai agama atau tindakan anarkis menuju ke arah disintegrasi bangsa.
Namun demikian wawasan normatif, wawasan yang disepakati bersama perlu dimengerti,
dipahami di sosialisasikan bahwa Nusantara sebagai kesatuan kewilayahan, kesatuan tidak dapat
ditawar lagi, tidak dapat diganggu gugat sebagai harga mati yang normatif. Dengan persepsi
yang sama diharapkan dapat membawa bangsa menuju kesepahaman dan kesehatian dalam
mewujudkan cita-cita nasional. Suatu persepsi atau pandangan yang berbeda- beda dalam
mencapai tujuan bersama akan merugikan kesatuan, kebersamaan dan keserasian sehingga
menimbulkan gejolak sosial yang dapat merugikan bangsa keseluruhan sehingga dapat
menimbulkan disintegrasi bangsa. Perilaku koropsi, mementingkan diri sendiri, tidak
bertanggung jawab, tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas akan mengakibatkan
perilaku bunuh diri bersama-sama. Negara yang tidak bisa menyamakan persepsi atau pandangan
yang sama akan minimbulkan konflik yang berlarut-larut sehingga menghasilakan bangsa yang
gagal. Pembinaan dan sosialisasi Wawasan Nusantara sangat penting bagi negara bangsa karena
dapat menghasilkan Ketahanan Nasional. Daya tahan yang kuat bagi sauatu bangsa dan kerja
sama yang sinergis antar bidang yang diusahakan terus menurus dapat menghasilkan integrasi
nasional yang utuh menyeluruh.
REFERENSI
Adi Sumardiman, dkk. (1982). Wawasan Nusantara. Jakarta: Yayasan Harapan Nusantara.
Chaidir, Basrie. (2002). Pemantapan Wawasan Nusantara Menuju Ketahanan Nasional. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdiknas.
Dimyati, M. (1972). Hukum Laut Internasional. Jakarta: Penerbit Bharat Karya Aksara.
Ermaya Suradinata, dkk. (2001). Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional. Jakarta:
Paradigma Cipta Tatrigama.
Filip Litay. (1997). Integrasi Nasional. Jakarta.
Hasyim Djalal. (2000). Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Ditinjau Dari Segi
Hukum Latu dan Kelautan.
Lemhanas. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: Penerbit Ismujati.
John Piaris. (1988). Strategi Kelautan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Munanjat Danusaputro, S.t. (1983). Wawasan Dalam Hukum Laut PBB. Bandung: Penerbit
Sartono Kartodirdjo. (1993). Integrasi Nasional. Yogyakarta, UGM.
Sobana, An. (2002). Wawasan Nusantara. Jakarta: Dikti Depdiknas.
Sumarsono, dkk. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suwarsono. (1981). Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Penerbit Hakcipta.
UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia UU No. 5 Tahun 1983. Tentang Zone Ekonomi.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DENGAN PERSPEKTIF WAWASAN NUSANTARA UNTUK
PENGEMBANGAN KOMUNIKASI POLITIK BANGSA PADA ERA OTONOMI
Research Article
THE POLICY OF LOCAL GOVERNMENT ON SOCIETY EMPOWERMENT WITH THE
PERSPECTIVE OF ARCHIPELAGO INSIGHT (WAWASAN NUSANTARA) FOR DEVELOPING
THE COMMUNICATION OF NATION’S POLITIC IN AUTONOMY ERA
*Dr. Indra Muchlis Adnan, H.
Islamic University of Indragiri, Tembilahan - Riau
Article History: Community participation in the implementation of regional development is one absolute requirement
th
in this era of freedom and openness. Waiver of these factors, proved to have caused significant
Received 24 September, 2016 deviation towards the goal of development itself that the overall efforts to improve the welfare of
Received in revised form
society. Leadership is closely related to communication, the purpose of communication is to be equal
22nd October, 2016
Accepted 15th November, 2016 significance. Basically similarity of meaning is an attempt to influence because the intended meaning
Published online December, 30th 2016 is what is meant by the intended party on the other. The problem in this research is the Local
Government Policy in Community Empowerment With a Perspective Archipelago Nation to Increase
Keywords: Political Communication in the Age of Autonomy, Methods used are normative juridical , using the
primary legal materials are sourced from literature , while penerikan do deductive conclusion.
Government, Research shows that in regional development mechanisms developed in the concept of community
Policy, empowerment is based on Pancasila, the government as a public body has a major role, especially for
Archipelago Perspectives to Improve
Political,
developing nations perspective Indonesia (Wasantara) on regional development.
Autonomy.
Copyright©2016, Indra Muchlis Adnan. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted
use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
Furthermore, that belief needs to be embedded inside apparatus process and encouraging the creation of national defense.10
which functionally handles the process of forming program for Regional autonomy means to give an authority and discretion
district/city and the developed and socialized, afterwards the for territory in managing implementation of regional
most important and also the main challenge is how to transform government including the authority to help creating national
it into the real effort. The effort toward it can not be realized defense in territory. Many years of reformation, various
easily, the process of it is truly difficult and wasting a time and national element is like out of control. Longing to be free for
must be obtained by apparatus who has a integrity and good speaking that never had been, in this reformation era it can be
conscience. Because in its realization, it will take mutual benefit fully. It is not clear what they are singing or speeching,
mechanism of communication, listen and accommodate it is sometime like profanity.11 In the name of justice,
passionately, and be tolerance against the different viewpoint democracy and human right, various life marks have been
(community approach).5 Although the social empowerment is crossed. When the party is over, exhaustion, and conscience
not the concept of economy, from our viewpoint it implicitly and clear mind start to arise. We are flabbergasted when
means to maintain economical democracy. Literally, knowing many of this state has been lost. Trust among state
economical democracy is a social sovereignty in economy, element. Proud of friendly state. Nationality is getting
where the economic activity is from, by, and for society. This decreased. Feeling safe without brawling and bombing. And
includes technological mastery, capital holdings, access to the many other feellings that also decreased. Including respect for
market, the information sources and management skills. In state officials.12
order economical democracy dan be realized, the society
aspiration gathered must be transformed into real.6 State disintegration,13 in this nation can be arose from any
sources. Nationality regarded as a national wealth, such as
Indonesia as a big nation, not only the territory but also many various ethnics, cultures, languages, customs, religion and
its citizens. Its development is not to be centralized, but various beliefs, evidently has a disturbed side which it is
decentralized and by the territorial approach. With this potential for disunity and its implication is very deep and
approach, the regional development is regarded as inseparable dangerous. It means, a small gap can be used to break out the
dimension from dimension of macro and sectoral development. integrity of NKRI. Regional autonomy as mandated in UUD
Territory is time and space for sectoral development in order to 1945 is not regarded from two different sides. Autonomy can
achieve national macro targets. Regional and sectoral be benefited or not for state welfare is according to how the
development is the same development.7 Nowadays in way regional government in making policies that can engage
Indonesia particularly, viewpoints about territorial the smallest elements in developing its territory. Society fate in
development apparently has been crystalized. This regional much more depends on the leader. So that, study about
crystallization has thought out the same perception about its regional leader is important to do. One of the studies to do is
important mean of territorial development as a integral part of through the political communication approach. Political
national development. It shows our maturity as a state which communication is regarded as a blood circulation in the body.
embraces Archipelago Insight (Wawasan Nusantara).8 It is not the blood, but what inside this blood that becomes the
Archipelago insight as a Indonesian “perspective” which political system alive.14 Political communication flows the
observes Indonesia as a united politic, economy, sosio-culture, political messages such as demand, protest and support
and defense and security is the main base for Indonesia in (aspiration and interest) to the center of process of political
settling problems and threats not only inside but also outside system and the result is flown back by political
every aspects of state life in order to keep the communication communication. A regional head who has a capacity as a
of Indonesian politic. Implementation of regional autonomy political official and government leader in its regional, must
now entered a new phase after revision of UU No.22 Year have a principle in organization and leadership on social
1999 about Territorial Government became UU No. 23 Year matter. In organization matter, a regional leader has
2014 about Territorial Government and then shortened UU stakeholders who are responsible toward norms of formal
PEMDA. Fundamental change has been made for UU No. 23 organization. In social matter, a regional leader must have
Year 2014 in the implementation of regional government. personal capacity and quality in actuating his stakeholders.15 In
Outline, the most change is the constraint of government affair this case, social and political aspect is more dominant rather
among degree. The concept of extensive, real and responsible than administrative aspect. Leadership in social matter much
autonomy is made into main reference by putting the autonomy more acquired from political process which has brought him to
implementation in the regional level closest to society.9 The be regional leader.
aim for issuing settled autonomy as defined this time is to
empower territory, including its society, encouraging initiatives 10
Ibid
and social participation in the governmental and development 11
Brigjen TNI Agus Susarso dan Soefjan Tsauri, Peranan Otonomi Daerah
Dalam Mencegah Diistegrasi Bangsa, http//www.google.com, accessed on 10
5
Ginandjar Kartasasmita, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan May 2016, 21.00 Wib.
12
Yang Berakar Pada Masyarakat, Makalah ini diangkat dari bahan kuliah pada Ibid
13
Program Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Disintegration literally understood as a state disunity becomes separated
yaitu mata kuliah Pembangunan yang Bertumpu pada Masyarakat (SP 607), parts (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996), furthermore, look
1997. www.ginanjar.com, accessed on 10 May 2016, 21.00 Wib. Gumilar R Sumantri, Disintegrasi Bangsa, Arikel, Http//www.google.com.
6
Ibid accessed on 31 January 2012, 14.30 wib.
7 14
Ginandjar Kartasasmita, Mewujudkan Masyarakat Indonesia Masa Depan: Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Suatu Tinjauan Khusus Mengenai Pembangunan Daerah dan Peran Perguruan 1993.
15
Tinggi, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-15 Universitas Bengkulu, Bengkulu, Andi Corry Wardani, Komunikasi Pembangunan Daerah Berbasis Kearifan
30 Juli 1997, www.ginanjar.com accessed on 10 May 2016, 14.00 Wib. Lokal, Tulisan Makalah “ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal”
8
Ibid Fisip, Universitas Lampung,
9
Http//.www.google.com, Politik dan Strategi Nasional, accessed on 10 http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/06.ANDY%20CORRY-
January 2016, 20.00 wib. unila.pdf, accessed on 14 May 2016, Pukul 16.00 Wib.
3417 International Journal of Information Research and Review Vol. 03, Issue, 12, pp. 3415-3421, December, 2016
Leadership is more related to communication, the aim of 1.Finding out the regional government strategy on regional
communication is to achieve the same sense. Basically, this development through society participation in order state
same sense is the effort to influence because the sense is meant political communication in autonomy era.
required by one side for another side. The implementation of
regional government according to UUD 1945, the policy of RESEARCH METHODS
political law taken up by government toward regional
government that can manage government affairs according to According to the background and research problem in this
the principle of autonomy and duties, is directed to accelerate research, the appropriate research method is Normative
the realization of welfare through enhancing service, Juridical, that is a research which only employs primary law
empowering, and social participation and also increase regional material such as books and law regulation (undang-undang)
competitiveness by considerating the principle of democracy, related to the theme studied. Data analysis employed is
distribution, justice, peculiarity, particularity of a territory in deductive, that is based on theory or concept from general to
the system of United Nation of Republic Indonesia (NKRI).16 particular in order to show the relation between one data and
According to that policy of political law, the implementation of other data.
regional government can be realized with some strategies, there
are:17 First, improving the service. The service in government
RESULTS AND DISCUSSION
dan development matters is the essential ones in order to
encourage and support the dynamics of life interaction of
The Policy of Local Government in Regional Development
society either as a media to gain their right, or as media of
Based on Empowering Society with Perspective of
society responsibility as a good citizens. This kinds of
Archipelago Insight
government service include recommendation, permission,
dispensation, rights, citizen identity, and more. Second,
New paradigm of regional autonomy must be transformed by
empowerment and participation of society. This concept of
Regional Leader as an effort to manage the government
developing regional autonomy, that is society participation is
authority, so that it agrees with and focus to the demands of
more dominant and charged for their creativity like
society need, because regional autonomy is not a purpose but
businessmen, planner, business of development service, and
an instrumen to achieve that purpose. 18 Because of that, that
arranging the concept of strategy of regional development.
instrumen must be employed effectively by regional leader
Beside that, in the political life, national and state give a wide
without conflict between Central Government and Regional
chance for society particularly for political party to convey
Government, or between province and district/city, because if
political education to society in order to encourage their
happen, regional autonomy purpose will not achieve its target.
conscience about national and state for achieving the national 19
Regional autonomy must be defined as a autonomy for
purpose in NKRI.
regional society and not for “regional” autonomy in meaning of
one particular territorial at local level. If implementasi of
Third, improving the regional competitiveness. This regional autonomy directed as an regional authority, this
competitiveness is to achieve local superiority and if this power authority must be treated equitably, honestly and democratic. 20
encouraged nationally, it will result a superiority of national National development is the part of citizen will to do a series of
competitiveness. Beside that, national competitiveness will concerted effort for realizing welfare continually. The concept
support the national economical system rests on the strategy of of national development encouraged by Indonesian
democratic economy policy. From those three political law Government together with Legislative Assembly start from
policies uttered by Siwanto Sunarno and related to the concept of concentrated development across sectors and
background above, the writer is interested to examine deeper territory which implemented consciously by regional
concerning about political law policy in developing and government with whole citizen in territory (local development).
encouraging society participation on development by the title 21
of “The policy of local government in society empowerment
with the perspective of Archipelago insight (Wawasan Regional development aims to encourage standard of living
Nusantara) for developing the communication of nation’s and welfare in territory through congenial and integrated
politic in economic era”. development either between sectors or between sectoral
Research Problems development and development planning at efficient and
effective territory toward achieving regional autonomy and
How is the regional government policy on regional equal furtherance in whole Indonesia. 22 Regional development
development based on empowering society with perspective of as a integral part from national development directed to
Archipelago insight?. How is the regional government strategy encourage territory and integrate the growth between
on regional development through society participation in order
state political communication in autonomy era? 18
Awang Faroek Ishak, Kekuasaan Kepala Daerah Era Otonomi Dan Pilkada
Purposes of Research Langsung Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, 2010, Kalimantan Timur.
19
J. Kaloh, Kepala Daerah, Pola, Kegiatan, Kekuasaan dan Perilaku Kepala
Finding out regional government policy on regional Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 2003.
development based on empowering society with perspective of 20
Awang Faroek Ishak, Op.,Cit.
Archipelago insight. 21
Wrihatnolo Rendy R, Proyeksi Otonomi Daerah Prospek Ekonomi Global
dan Kabinet Baru, http//www.google.com, diakses tanggal 13 Mei 2016, Pukul
15.00 Wib.
16 22
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cetakan Ke Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan
Empat, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hal. 2. Pertumbuhan dan Pemerataan, www.ginanjar.com diakses tanggal 12 Mei
17
Ibid. 2016, 1997, Pukul 14.00 Wib.
3418 Indra Muchlis Adnan. The policy of local government on society empowerment with the perspective of archipelago insight
(wawasan nusantara) for developing the communication of nation’s politic in autonomy era
territories, cities, villages, city and village, between sectors as a. Conveying the information about regional government
well as opening and accelerating development of left territory, implementation to society;
remote area, critical territory, border territory, and others, that b. Encouraging institutionalization and mechanism of
is adjusted to priority and potential of territory in order to taking decision that makes possible for social group or
realize development which is the realization of Archipelago organization can participate effectively; and/or
insight. 23 One of the characteristic of autonomous region is the c. Other activity corresponding to the decision of
high participation of society in development. Society will be regulation of Undang-Undang.
more open, more educated and more conscience. Therefore, it 2. Social Participation as well as meant on article (1), that is:
will be more serious toward everything related to their life. In
the advanced and modern society, they will not be satisfied if a. Arranging Perda and Regional policy which regulate
only listen and do what they have to do, but they will and encumber society;
participate in determining their fate. Because of that, what b. Planning, budgeting, implementation, monitoring and
society will must be observed energetically, even they must be evaluating regional development;
motivated to participate in thinking the problems of c. Carrying out regional asset and/or resources; and
development faced and find the solution. d. Implementing public service.
An active participation of society will be more potential for 4.Social participation meant on article (3) is realized:
region, so that, it can accelerate the growth process in region.
Democracy will be more evolved, encouraged by society a. Public consultation;
participation and based on their conscience of right and duty as b. Discussion;
a citizen of state which is possible to grow the initiative and c. Partnership
understand the plurality. Granting an autonomy to district/city d. Conveying aspiration;
through decentralization is the long-term program regarded it e. Supervision; and/or
can advance the empowerment of society in region. This notion f. Other involvement corresponding to the decision of
based on a premise that decentralization and autonomy of regulation of Undang-Undang.
region will more create social, political, and business
conditions for decentralized society. They will be a community Regional development that only rests on social empowerment
which relative to directly take a wide initiative in business and improving social participation in development is not
world. In the smaller measurements like it, it is not only easier guaranteed for successing regional development automatically.
for society to take the initiative, but also they will be more It is impossible to happen. If democracy principle is not run
directed. For government, more rational program management properly, recurrence of bureaucratic behavior of leader in the
will be easier to do and to eliminate any obstacle in the society past. The problem related to society empowerment is not
rather than centralized system. Therefore, efficiency and alleged only to how society participation involves, the most
mobilization of resources will be easier to do. important thing is: first, government is able to improve the
political communication that takes effect toward national
After the regional autonomy, a regional leader will be easier to development, second, government is able to plan and analyze
urge and take side to empowerment of society and participation like what and why the strategic environment faced takes effect
of society on development. It is based on a thinking that society toward the effort of society participation involvement on
as a regional government elemen is an unity of law legal national development, third, what kind of concept of society
society, either gemeinschaft or gesselchaft which obviously has empowerment for improving political communication in the
a tradition, habit, and custom that participate in regional context of national development. So that, through that
government system, starting from way of thinking, acting, and empowerment concept, the government builds the strategy to
particular habit in their life. The kinds of participative society’s start improving society participation either in the process or
culture are mutual corporation, parley, way to convey opinion development implementation. This development policy
and thinking which support regional development to encourage embraces two basis philosophies, those are public touch and
welfare through government service. bringing the public in, it is a policy that absolutely touches
public need and also capable to bring society into policy spaces
The engaging social participation on regional development has or known as a participative development.
been regulated in UU No.23 Year 2014 about Regional
Government on article 354, that is:24 In order to analyze the government policies in developing
regional development by focusing on society empowerment,
In implementing regional government, regional government the regional government must implement a development. In
encourages society participation. order to agree with the will of society, government must able to
understand, experience, think, implement, and conduct, as a
1.In encouraging society participation as well as meant physiological interaction process, sosio-cultural, with the
article (1), Regional Government: aspect of ASTAGATRA (geographical, nature wealth and
society capability and also IPOLEKSOSBUD defense and
security), as well as the concept of Archipelago insight which
has been arranged when Indonesia declared as a sovereign
23
Lihat GBHN 1999. nation. Archipelago insight as a doctrine, value, and guide in
24 implementing system of government and regional autonomy as
See Pasal 354 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 its sub system must always be actualized on regional
tentang Pemerintahan Daerah development corresponding with the dynamic and paradigm
3419 International Journal of Information Research and Review Vol. 03, Issue, 12, pp. 3415-3421, December, 2016
with giving attention environment condition and characteristic Consideration between feeling united with decentralization is
of Indonesian plurality. By admitting Kebhineka Tunggal Ikaan embodied proportionally, by discerning the need and its
, Indonesia is not uniform but promotes unity, to achieve intensity as a consequence of taking up decentralized system in
welfare and security purposes which in turn reinforces regional United Nation of Republic Indonesia as well as mandated on
and national defense in the Ikatan Kesatuan Republik Article 19 UUD Republic Indonesia. This consideration is very
Indonesia. 25 important to do particularly on implementing communication
of development in autonomy era, where regional government
With the concept of Archipelago insight, regional development must revert to remember communication system in the past.
in empowering society is expected to be able to give Process of political communication previously autocratic and
understanding about society perspective toward regional centralized on the new order regime moved to democratic
development, so that every citizen has a determination and political communication, open and decentralized/autonomy. So
belief, (a) that roundness of the national territory with all its that substantively, there was very significant change on the
contents and wealth is a unity of territory, place, living space political communication of nation. Since reformation 1998
and united dimension of all nation, and also becomes the until now, political communication of Indonesia has a new
capital and belongs together with nation; (b) that Indonesia hope for better change. Because, renewal and improvement
which consists of many ethnics, languages, religion and belief have been made on any side of Indonesia particularly in the
to the God (Tuhan Yang Maha Esa) must be united as an context of freedom for conveying opinion, criticize, and
absolute nation; (c) psychologically, every citizen (society) of criticized. Government and all of other stakeholders are
Indonesia must be one, camaraderie, and compatriots; (d) charged to be always transparent and engage society to give
Pancasila is the only national philosophy and ideology service fairly and equitably. So that, the prospect of political
underlies, guides, and directs the nation to its purpose; (e) and communication of Indonesia among welfare nations is very
political life in whole Nusantara is united politic that possible, either in the context of politic, economy, social, and
implemented according to Pancasila and UUD 1945. defense and security. 27
Whereas the embodiment of society empowerment to the Political development is an effort for structuring political life
concept of region development should be always imbued by which directed to create and develop the political order
the spirit of Pancasila, so that it sues the government to according to Pancasila and UUD 1945. Political development
embody participation of society toward regional development is addressed to improving political ethic, moral, and culture on
which must agree with basic values of state implementation embodying a better political life by growing role and
based on Pancasila, because not all of the aspects of regional functioning of political superstructure and infrastructure
development privatized. In the mechanism of regional effectively. To encourage political order of democracy
development based on Pancasila, government as a public body Pancasila, the culture of politic upholds the spirit of
has a big role particularly to develop viewpoint of Indonesia togetherness, kinship, and openness that must be always kept
towars regional development. For it, bureaucracy that is improving, supported with moral and political ethic which
embodiment of operational mechanism to realize society sourced to values of Pancasila and also citizenship in political
interest: (1) must be able to build society participation; (2) behavior. Regional development based on society
should not tend to orientate to strong but to the weak and empowerment is expected to improve political communication
(netral is not enough); (3) apparatus role must have moved in Indonesia, whereas society participation is still weak on
from controlling to directing and from giving to empower; and developing either in national scale or regional.
(4) develop the openness and responsibility. According to
description above, any thought for embodying Indonesia It is caused by several things:
Dream (ideal dream of Indonesia) needs the same perception,
perspective, and implementation. The concept of Archipelago 1. Feudalism culture is still strong on Indonesian society,
insight give solution to equalize the same perspective so that it so it caused sacralization of central leader and regional
can embody national integration such what expected for by the strong paternalistic leadership.
Indonesia and national integration can embody welfare. 2. Indonesia society is still clumsy with the critic.
3. The culture of waiting and always expected to be given.
Strategy of Regional Government on Regional
Development Through Society Participation for Political After reformation, a significant change had occurred in the
Communication in Autonomy Era. concept of development in Indonesia from centralized to
As a united state with decentralized system on implementing otonom system with the concept of society empowerment in all
government affairs, its consequence is on implementing aspects of development either on center or regional. So,
principles of decentralization. It is expected not to give political communication or development automatically
implication and simplification that will cause the less positive underwent a significant change. Society empowerment has
effect toward national unity. Vice versa, under the cover of given a space to open political communication which confers
unity does not mean that all of activities controlled centrally significant influence toward development. Principally,
that can trigger practice of centralization too much, whereas Indonesia is still faced to many problems about equalized
there is heterogeneity in various aspects of society’s life. 26 development fairly and society empowerment. It is the cause
along new order regime which was not considered, so it causes
25 disintegrity.
Dwidharto Tunas, Sistem manajemen kelembagaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah Kabupaten Banyumas: suatu kajian ketahanan nasional,
27
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73587&lokasi=lokal, Abdussamad, Zuhri, Tantangan dan Prospek Komunikasi Politik Bangsa
diakses tanggal 12 Mei 2016, Pukul 21.00 Wib Indonesia Dalam Negara Kesejahteraan, Jurnal Inovasi, Volume 5, Nomor 3,
26
Siswanto Sunarno, Op., Cit, Hal. 98 ISSN 693-9034, 2008, Hal. 194-195.
3420 Indra Muchlis Adnan. The policy of local government on society empowerment with the perspective of archipelago insight
(wawasan nusantara) for developing the communication of nation’s politic in autonomy era
Because of that, pattern of political communication of and teach an useful skill. With provision of education and skill,
Indonesia previously on central government is shortened to society will be more critical and independent on understanding
regional government with the concept of decentralization and their position and environment. Through interaction,
autonomous. Political communication in principle of tied information, communication, and socialization in various
society empowerment between government and society now access, the process of development communication then
has a better prospect on implementing the process of regarded as a kind of enlightenment, reinforcement and
regional/local development.28 It is caused in every regional deliverance from dependence and backwardness, so that it
development the government always listen and accommodate eases to accept an innovation addressed to them. Third, as a
all claims and complaints which become society need. process of social engineering, development communication is
Society’s claim and complaint then arranged into various regarded as a kind of empowerment of systematic
program and developing strategy implemented with bottom-up communication behavior, planned and directed, on
way through discussion of developing plan (MUSREMBAG) implementing idea transformation or innovation through
which starts from society from village, sub district until information spreaded and accepted so induce a society
district/city.29 Regional government in its every agenda participation on implementing a change. In this level,
particularly on regional development in order to get support communication intervention on directing a kind of social
and legitimation from society, it is sued to open political engineering can be embodied interaction, participation, and
communication intensively, sorting the society’s aspiration and support for information they got. Fourth, as a process of
claim and giving the best service. Beside that, to encourage the changing behavior, development communication is regarded as
process of regional development, government concerns about psychological process, a process as a communication behavior
political education and society empowerment in the context of continuously, directional, and intended. This process is related
achieving civil society as visioned by the founder of Indonesia to the aspect of knowledge, skill, and mental, on implementing
(Soekarno), so that society is no longer used as developing a change. The credibility of resource, content of message and
object, but a subject empowered and participates on communication channel is very influential and determines
implementing regional development after regional autonomy. behavior change. Implementing of regional development with a
good political communication is absolutely required. Effective
Regional autonomy is the part of the political system as communication will have a meaning which able to direct for
expected which give opportunity for society to be more able to achieving the aim of regional development. It is required to
improve their creativity. Therefore, society is not only as a implement because the development process involves various
development object but also more a subject from that society elements. This development communication must
development itself. Society who becomes subject of uphold aspirational attitude, consultative and relationship.
development will be more capable to improve their selves, Because, development will not be implement optimally without
region as well as state. 30 Regional autonomy has a very close a synergistic relation between subject and object of
relation with democracy. Democracy regulates relation development. Even less, the development process forward
between government and its society. In a unitary state, it needs tends to further reducing the government role, as well as the
harmonization between authority of central government and greater the role of the society.
regional, between regional government and its society. This
harmonization will be only implemented by perspective that The concept of development communication very opens an
development is not only addressed to physical facilities, but opportunity to encourage intensive communication through
also capable to develop principles or values of local culture dialog with strategic groups in the context of building
which lives in the middle of society as a output from that partnership for influencing public policy before decided. A
development itself. One of the methods can be applied by variety of group required to be involved on partnership are:
regional leader in developing society participation is by University, Non Profit Organization (LSM), Pers and other
opening the way for good communication with society. It is various supporter element of development. In order
according to discourse of thinking that an expectation of development communication implemented effectively, it
political communication on implementing regional requires a central communication which becomes reference for
development after regional autonomy are: subjects of regional development or competent on
implementing development to find out the information and
First, as dissemination of information to the society, point of development coordination integrally. The success of
view of development communication focused to an effort of government organization is much more determined by the
conveying and sharing of idea and development innovation superiority of its leader. Leader superiority is determined by its
between government and society. At this process, an superiority in communicating with all of the organization
information is shared and benefitted together as well as for life. members and environment where he is. Because of that,
Second, as a process of education and skill for society, point of government communication is the main component for the
view of development communication focused to supplying the leaders of government organization. Development
model of public learning which is cheap and easy to educate, implemented by central government or regional will be
succeed, if government is able to communicate it with its
28
Ibid, Hal. 197 society. 31 Government communication based on local wisdom
29
Ibid. is a government communication underlay to way of life and
30
M. Saleh Soeaidy, Otonomi Daerah dan Resolusi Konflik Pusat – Daerah, any activities to be done by local society in answering some
makalah disampaikan pada Workshop tentang; “Desentralisasi, Demokratisasi problem on accomplishing their needs.
dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah” diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia pada Tanggal 25-27 Maret 2001, Lihat Syamsudin Haris
Editor Buku “Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Desentralisasi,
Demokrtatisasi dan Akuntabilitas Pmerintah Daerah”, LIPI Press, Jakarta,
31
2007. hlm. 325. Andi Corry Wardani, Op., Cit
3421 International Journal of Information Research and Review Vol. 03, Issue, 12, pp. 3415-3421, December, 2016
In other words, local wisdom is something related specifically Awang Faroek Ishak, Kekuasaan Kepala Daerah Era Otonomi
to particular culture (local culture). Dan Pilkada Langsung Menurut UU Nomor 32 Tahun
2004, 2010
Conclusion Clark, John, 1995 “The State, Popular Participation, and the
Voluntary Sector.” World Development 23, No. 4.
The embodiment of society empowerment in the concept of Dwidharto Tunas, Sistem manajemen kelembagaan dalam
regional development should be always imbued by the spirit of pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten Banyumas:
Pancasila, so it sues government to embody a participation of suatu kajian ketahanan nasional,
society toward regional development which must agree with http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=7358
the values of basic implementation of state based on Pancasila. 7&lokasi=lokal.
Because, not all of the aspects of regional development can be Friedmann, J. 1992. Empowerment—The Politics Alternative
privatized. In the mechanism of regional development Development, Cambridge: Blackwell Publishers. 1992.
embodied in the concept of society empowerment according to Kaloh, J. 2003. Kepala Daerah, Pola, Kegiatan, Kekuasaan
Pancasila, government as a public body has a big role dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan
particularly to embody perspective of Indonesia. (Wasantara) Otonomi Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
toward regional development. Regional government in its Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Pembangunan Untuk Rakyat
every agenda particularly on regional development in order to Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan,
get support and legitimation from society, it is sued to open www.ginanjar.com.
political communication intensively, sorting the society’s Saleh Soeaidy, M. 2001. Otonomi Daerah dan Resolusi Konflik
aspiration and claim and giving the best service. Beside that, to Pusat – Daerah, makalah disampaikan pada Workshop
encourage the process of regional development, government tentang; “Desentralisasi, Demokratisasi dan
concerns about political education and society empowerment in Akuntabilitas Pemerintah Daerah” diselenggarakan oleh
the context of achieving civil society as visioned by the Asosiasi Ilmu Politik Indonesia pada Tanggal 25-27
founder of Indonesia (Soekarno), so that society is no longer Maret 2001.
used as developing object, but a subject empowered and Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di
participates on implementing regional development after Indonesia, Cetakan Ke Empat, Sinar Grafika, Jakarta,
regional autonomy. 2012
Sumodiningrat, Gunawan, 1996, Pemberdayaan Masyarakat
REFERENCES Dan Jaring Pengaman Sosial, Gramedia Pustaka Utama,
Yogyakarta.
…………………..1997, Mewujudkan Masyarakat Indonesia Syamsudin Haris Editor Buku “Desentralisasi dan Otonomi
Masa Depan: Suatu Tinjauan Khusus Mengenai Daerah (Desentralisasi, Demokrtatisasi dan Akuntabilitas
Pembangunan Daerah dan Peran Perguruan Tinggi, Pmerintah Daerah”, LIPI Press, Jakarta, 2007.
Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-15 Universitas Wrihatnolo Rendy R, Proyeksi Otonomi Daerah Prospek
Bengkulu, Bengkulu, 30 Juli 1997, www.ginanjar.com. Ekonomi Global dan Kabinet Baru,
……………………..1997, Pemberdayaan Masyarakat: http//www.google.com.
Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat, Zuryawan Isvandiar Zoebir, 2008, Pemberdayaan Peran Serta
Makalah ini diangkat dari bahan kuliah pada Program Masyarakat dalam PembangunanDaerah,
Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi http://budiutomo79.blogspot.com/2007/09/pembangunan-
Bandung (ITB), yaitu mata kuliah Pembangunan yang wilayah-perbatasan.html.
Bertumpu pada Masyarakat (SP 607),
www.ginanjar.com.
Abdussamad, Zuhri, Tantangan dan Prospek Komunikasi
Politik Bangsa Indonesia Dalam Negara Kesejahteraan,
Jurnal Inovasi, Volume 5, Nomor 3, ISSN 693-9034.
2008.
*******
DR. INDRA MUCHLIS ADNAN, H.
30-12-2016
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
aandikaronggo@gmail.com
btofanprianandaadinata@gmail.com
(*) Corresponding Author
085704822352
How to Cite: Ronggo (2020). Title of article. Santhet, 4(1), 30-40 doi: 10.36526/js.v3i2.
Abstract
Received : 2 Desember 2019 The existence and prestorika glosnot that struck Eastern Europe result in
Revised : 9 Januari 2020 Unisoviet countries and Yogoslovakia disintegrating. Events over a
Accepted: 8 April 2020 significant impact on the Unitary Republic of Indonesia (NKRI), the regions
fery-fery (penggiran) began to flare, the suburbs have aspirations for
Keywords: independence such as East Timor is now independent, the Free Aceh
implementation Movement (GAM), Papua Organization Merdeka (OPM), the South Maluku
national integration, Republic (RMS). The seeds of disintegration of the more fertile when
archipelago insight. Suharto's authoritarian government with a military approach to evaluate
policy without political borders to prosper his people. The existence of
globalization, trade liberalization, and strengthening of new ethnicities
(awareness of the rights of tribal nationalities) increasingly stronger
demands of the suburbs of his rights to ask whether social, political and
economic welfare to accelerate. The factors and conditions above lead-
freksi freksi and regional upheaval that gave birth to the potential for
violence and bloody conflict. This is due to the absence of a shared
perception among citizens. Archipelago is the answer to the same
perception to live together in the corridor (the Republic of Indonesia) NKRI
and realizing national integration.
PENDAHULUAN
Dalam mewujudkan tujuan nasional Dalam paham ekonomi pasar
banyak mengalami kendala, baik dalam liberal, diyakini bahwa pasar memiliki
tataran konsep maupun implementasinya. kemampuan dapat mengurus sendiri, maka
Pada tataran konsep tidak adanya kata campur tangan negara dalam mengurus
sepakat antara perkataan dan perbuatan di pasar tidak diperlukan sama sekali. Tujuan
antara para elit politik. Contoh kongkrit konsep ini adalah kebebasan individu untuk
konsep ekonomi liberal, ekonomi bersaing secara sempurna di pasar,
kerakyatan dan perwujudan Welfare State kepemilikan pribadi terhadap faktor prodoksi,
(negara kesejahteraan). Konsep ekonomi pembentukan harga pasar dilakukan oleh
liberal mengutamakan kepentingan pasar negara melalui undang-undang. Namun
bebas dan merupakan salah satu varian dari konsep ini tersisih oleh negara
kapitalisme yang terdiri dari merkantilesme, kesejahteraan peranan negara dalam
liberaliseme, dan keynesianisme dan ekonomi tidak dibatasi sebagai pembuat
neoliberalisem yang merupakan upaya untuk peraturan tetapi diperluas untuk membuat
mengoreksi kelemahan dalam liberalisme kewenangan dan melakukan intervensi
(Revrisond Baswir, KR, 17 Mei 2009; 1). terhadap viskal maupun moneter. Hal ini
30
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
31
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
Pasifik dan Samodra Indonesia, serta di menjadi modal dan menjadi modal
antara Benua Asia Benua Australia. dan milik bersama bangsa.
Wawasan Nasional merupakan b. Bahwa Bangsa Indonesia yang
"cara pandang" suatu bangsa tentang diri terdiri dari berbagai suku dan
dan lingkungannya. Wawasan merupakan berbicara
penjabaran dari falsafat bangsa Indonesia dalam berbagai bahasa daerah,
sesaui dengan keadaan geografis suatu memeluk dan meyakini berbagai
bangsa, serta sejarah yang pernah agama dan kepercayaan terhadap
dialaminya. Esensinya; bagaimana bangsa Tuhan Yang Maha Esa harus
itu memanfaatkan kondisi geografis, merupakan satu
sejarahnya, serta kondisi sosial budayanya kesatuan bangsa yang bulat dalam
dalam mencapai cita-cita dan tujuan arti seluas-luasnya.
nasionalnya. Bagaimana bangsa tersebut c. Bahwa secara psikologis, bahwa
memandang diri dan lingkungannya. bangsa Indonesia harus merasa
Dengan demikian Waasan satu,
Nusantara dapat diartikan sebagai cara senasib sepenanggungan,
pandang bangsa Indonesia tentang diri dan sebangsa dan setanah air, serta
lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya mempunyai satu
yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, tekad di dalam mencapai cita-cita
yang merupakan aspirasi bangsa merdeka, bangsa.
berdaulat, bermartabat, serta menjiwai tata d. Bahwa Pancasila adalah adalah
hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam satu-satunya falsafah serta ideologi
mencapai tujuan nasional. Wawasan bangsa dan Negara, yang
Nusantara adalah cara pandang, cara melandasi, membimbing dan
memahami, cara menghayati, cara bersikap, mengarahkan
cara berfikir, cara bertindak, cara bertingkah bangsa menuju tujuannya.
laku, bangsa Indonesia sebagai interaksi e. Bahwa seluruh Kepulauan
prosees psikologis, sosiokultural, dengan Nusantara merupakan satu
aspek ASTAGATRA (Kondisi geografis, kesatuan hokum
kekayaan alam dan kemampuan penduduk dalam arti bahwa hanya ada satu
serta IPOLEKSOSBUD Hankam). hokum yang mengabdi kepada
kepentingan
Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan nasional.
Pembangunan Nasional 2. Perwujudan Kepulaun Nusantara
sebagai Kesatuan Sosial dan Budaya
Secara konstitusional, Wawasan dalam arti:
Nusantara dikukuhkan dengan Kepres MPR a. Bahwa masyarakat Indonesia
No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar adalah satu, perikehidupan bangsa
Haluan Negara Bab II Sub E, Pokok-pokok harus
Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai merupakan kaehidupan yang serasi
Wawasan dalam mencapai tujuan dengan terdapatnya tingkat
Pembangunan Nasional adalah Wawasan kemajuan masyarakat yang sama,
Nusantara mencakup: merata dan seimbang serta adanya
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara keselarasan kehidupan yang sesuai
sebagai satu Kesatuan Politik dalam dengan kemajuan bangsa.
arti: b. Bahwa budaya Indonesia pada
a. Bahwa kebutuhan wilayah nasional hakekatnya adalah satu, sedangkan
dengan segala isi dan kekayaannya corak
merupakan satu kesatuan wilayah, ragam budaya yang ada
wadah, ruang hidup dan kesatuan menggambarkan kekayaan budaya
matra seluruh bangsa, serta yang menjadi
32
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
33
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
34
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
35
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
semula nomor 17 di dunia menjadi nomor 17 walayah yang tidak dirurus oleh Jakarta
di dunia. sehingga diklaim oleh negara tentangga
Pertambahan luas ruang hidup seperti diungkapkan oleh Siswono (2005: 4)
tersebut di atas menghasilkan sumber daya " Tahun-tahun ini kita dirisaukan oleh berita
alam yang cukup besar bagi kesejahteraan tentang rapuhnya batas-batas wilayah NKRI.
bangsa, mengingat bahwa minyak, gas Setelah Pulau Pasir di Wilayah Timor diakui
bumi, dan mineral lainnya banyak yang milik Austsralia dan kita menerimanya,
berada di dasar laut, baik di lepas pantai (off Sipadan dan Ligitan diputuskan Mahkamah
shore) maupun di laut dalam. Pertambahan Internasional menjadi milik Malaysia, tapal
luas wilayah tersebut dapat diterima oleh batas di Kalimantan digeser hingga 800
dunia internasional, termasuk tentangga meter, pekerja pembuat Mercusuar di
dekat kita, yaitu Malaysia, Singapura, Ambalat diintimidasi polisi perairan Malaysia.
Thailand, Filipina, India, Australia, dan Lalu lintas batas yang bebas, nelayan-
Papua Nugini yang dinyatakan dengan nelayan asing yang mencuri ikan hingga
persetujuan yang menyangkut laut teritorial merapat ke pantai-pantai Sumatra (pulau-
maupun landas kontinen. Persetujuan pulau Rondo di Aceh dan Sekatung di Riau).
tersebut dapat dicapai karena Indonesia Semua itu menunjukkan betapa lemahnya
dapat memberikan akomodasi kepada negara kita dalam menjaga batas luar
kepentingan negara-negara tetangga antara wilayah NKRI" (Kompas, 20 April 2005: 4).
lain bidang perikanan (traditional fishing Pada tahun 2002 terpampang di
right) dan hak lintas dari Malaysia Barat ke surat kabar kapal ikan asing yang meledak
Malaysia Timur atau sebaliknya. terbakar ditembak oleh kapal perang kita.
Penerapan wawasan nusantara di Mengingat setiap hari ribuan kapal asing
bidang komunikasi dan transportasi dapat mencuri ikan di wilayah RI ada baiknya jika
dilihat dengan adanya satelit Palapa dan setiap bulan 10 kapal pencuri ikan ditembak
Microwave System serta adanya lapangan meriam kapal patroli AL, agar jera. Jikalau
terbang perintis dan pelayaran perintis. yang terjadi penyelesaian damai di laut,
Dengan adanya proyek tersebut laut dan maka pencurian ikan akan semakin hebat,
hutan tidak lagi menjadi hambatan yang dan penghormatan bangsa dan negara lain
besar sehingga lalu lintas perdagangan dan akan merosot.
integrasi budaya dapat lancar jalannya. Potensi desharmoni dengan negara
Penerapan wawasan nusantara di bidang tetangga adalah masalah perbatasan, tentu
ekonomi juga lebih dapat dijamin mengingat tidak nyaman jika diperbatasan selalu
kekayaan alam yang ada lebih bisa tegang. Oleh karena itu perlu penegasan
dieksploitasi dan dinikmati serta batas wilayah agar saling menghormati
pemerataannya dapat dilakukan karena wilayah masing-masing negara. Suasana
sarana dan prasarana menjadi lebih baik. yang harmonis adalah kebutuhan hidup
Penerapan di bidang sosial budaya terlihat bertetanngga dengan bangsa lain.
dari dilanjutkannya kebijakan menjadikan Kondisi disepanjang perbatasan
bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, Kalimantan dengan kehidupan seberang
sebangsa, setanah air, senasib perbatasan yang lebih makmur dapat
sepenanggung, dan berasaskan Pancasila. mengurangi kebanggaan warga di
Tingkat kemajuan yang sama merata dan perbatasan pada negara kita. Pulau-pulau di
seimbang terlihat dari tersedianya sekolah di Kepulauan Riau yang ekonominya lebih
seluruh tanah air dan adanya universitas berorientasi ke Singapura dengan menerima
negeri di setiap provinsi. dolar Singapura sebagai alat pembayaran
juga dapat merapuhkan rasa kebangsaan
Politik Perbatasan Dalam Konteks Indonesia pada para penghuni pulau
Wawasan Nusantara tersebut. Perekonomian di Pulau Mianggas
Kebijakan politik untuk dan Pulau Marampit lebih berorientasi ke
mengamankan wilayah perbatasan belum Filipina Selatan akan melemahkan semangat
seperti diharapkan, hal ini terbutkti banyak kebangsaan warganya.
36
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
37
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
antar bagian yang menjadi satu. Oleh karena memerlukan nilai-nilai sebagai orientasi
itu, pengertian integrasi adalah membuat tujuan kolektif bagi interaksi antarunsur.
unsur-unsurnya menjadi satu kesatuan dan Dalam hubungan ini ideologi bangsa, nilai
utuh. nasionalisme, kebudayaan nasional
Integrasi berarti menggabungkan mempunyai fungsi strategis. Nilai-nilai yang
seluruh bagian menjadi sebuah keseluruhan terkandung di dalamnya dapat menggantikan
dan tiap-tiap bagian diberi tempat, sehingga nilai-nilai tradisonal dan primodial yang tidak
membentuk kesatuan yang harmonis dalam relevan dengan masyarakat baru. Dengan
kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) demikian nilai nasionalisme memiliki nilai
yang bersemboyankan "Bhineka Tunggal ganda, yaitu selain meningkatkan integrasi
Ika". Integrasi nasional merupakan hal yang nasional, juga berfungsi menanggulangi
didambakan yang dapat mengatasi dampak kapitalisme dan globalisasi serta
perbedaan suku, antargolongan, ras, dan dapat mengatasi segala hambatan ikatan
agama (SARA). Kebhinekaan ini merupakan primordial.
aset bangsa Indonesia jika diterima secara Apabila dipikirkan antara integrasi
ikhlas untuk saling menerima dan dan nasionalisme saling terkait. Integrasi
menghormati dalam wadah NKRI. memberi sumbangan terhadap nasionalisme
Menurut Sartono Kartodirdjo, dan nasionalisme mendukung integrasi
integrasi nasional berawal dari integrasi nasional. Oleh karena itu, integrasi nasional
teritorial dan merupakan integrasi geopolitik harus terus dibina dan diperkuat dari waktu
yang dibentuk oleh transportasi, navigasi, ke waktu. Kelalaian terhadap pembinaan
dan perdagangan, sehingga tercipta integrasi dapat menimbulkan konflik dan
komunikasi ekonomi, sosial, politik, kultural disintegrasi bangsa. Sebagai contoh,
yang semakin luas dan intensif. Pada masa keinginan berpisah dari NKRI oleh sebagian
prasejarah telah terbentuk jaringan navigasi masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku
yang kemudian berkembang dan sampai karena selama puluhan tahun mereka hanya
puncaknya pada masa Sriwijaya dan sebagai objek dan bukan subjek. Mereka
Majapahit serta yang pada zaman Hindia hanya mendapat janji-janji kesejahteraan
Belanda diintesifkan melalui ekspedisi tanpa bukti dan menentang ketidakadilan di
militer. Pada masa NKRI diperkokoh dengan segala bidang. Oleh karena itu, diharapkan
adanya sistem administrasi yang sentralistik pemerintah pusat dapat mengakomodasikan
melalui sistem idukasi, militer, dan setiap isu yang timbul di daerah.
komunikasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 85). Integrasi nasional biasanya
Menurut Drake integrasi nasional dikaitkan dengan pembangunan nasional
adalah suatu konsep yang multidimensional, karena masyarakat Indonesia yang majemuk
kompleks, dan dinamis. Beberapa hal yang sangat diperlukan untuk memupuk rasa
perlu diperhatikan dalam integrasi nasional kesatuan dan persatuan agar pembangunan
antara lain sebagai berikut. Pertama, nasional tidak terkendala. Dalam hal ini kata-
pengalaman historis yang tampil sebagai kata kunci yang harus diperhatikan adalah
kekuasaan yang kohesif, berawal dari mempertahankan masyarakat dalam
penderitaan yang menjadi bagian warisan keadaan harmonis dan saling membantu
bersama sebuah negara. Kedua, atribut atau dalam koridor lintas SARA. Integrasi
sosio-kultural bersama seperti bahasa, mengingatkan adanya kekuatan yang
bendera, bangsa yang membedakan dengan menggerakkan setiap individu untuk hidup
bangsa lain dan yang memungkinkan WNI bersama sebagai bangsa. Dengan integrasi
memiliki rasa persatuan. Ketiga, interaksi yang tangguh yang tercermin dari rasa cinta,
berbagai pihak di dalam negara kebangsaan bangga, hormat, dan loyal kepada negara,
dan adanya interdependensi ekonomi cita-cita nasionalisme dapat terwujud.
regional (Filip Litay, 1997; 10). Dalam integrasi nasional
Masyarakat Indonesia sangat masyarakat termotivasi untuk loyal kepada
heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu, negara dan bangsa. Dalam integrasi
bagi integrasi sosial budaya unsur-unsurnya terkandung cita-cita untuk menyatukan
38
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
39
Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora
Vol. 4, No.1 pp. 10-18 April 2020
Available online at https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/santhet DOI: 10.36526/js.v3i2.
40
1
DISUSUN OLEH :
ABETO
19031121
DOSEN PENGAMPU :
RAHMULIANI FITHRIAH, S.Pd, M.Hum.
2021
2
Dalam paham ekonomi pasar liberal, diyakini bahwa pasar memiliki kemampuan
dapat mengurus sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus pasar tidak
diperlukan sama sekali. Tujuan konsep ini adalah kebebasan individu untuk bersaing
secara sempurna di pasar, kepemilikan pribadi terhadap faktor prodoksi, pembentukan
harga pasar dilakukan oleh negara melalui undang-undang. Namun konsep ini tersisih oleh
negara kesejahteraan peranan negara dalam ekonomi tidak dibatasi sebagai pembuat
peraturan tetapi diperluas untuk membuat kewenangan dan melakukan intervensi
terhadap viskal maupun moneter. Hal ini dilakukan untuk menggerakkan sektor riil,
menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan
lapangan kerja, negara kesejahteraan dengan tegas mengatakan ”selama masih ada
pengangguran campur tangan negara dalam perekonomian dibenarkan”.
Paham yang berkembang di Indonesia masih ada ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi
yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat (Suharto, KR, 25 Mei 2009; 1). Kepentingan
rakyat di antara menghidupkan usaha kecil dan menengah, melindungi dan menghidupkan
pasar tradisional, dan mengusahakan dunia usaha dalam konteks sektor riil,
memberdayakan masyarakat kecil. Kebijakan pemerintah tidak liberalis-kapitalistik,
mengurangi kemiskinan, perlindungan terhadap sumber daya alam. Pembuatan undang-
undang Penanaman Modal, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), Badan Layanan Umum
(BLU) yang perpihak untuk kepentingan rakyat. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah
dalam penananman modal asing harus berpihak untuk kepentingan rakyat kecil.
Ketiga konsep tersebut di atas mewarnai kebijakan pemerintah sekarang, Wawasan
nusantara diharapkan mampu menyatukan pandangan-pandangan yang berbeda dalam
masyarakat dan memberikan solusi untuk mendasari Ketahanan Nasional suatu bangsa,
sehingga tujuan nasional dapat terialisir.
Dalam Wawasan Nusantara dan Ketahanan nasional sebagai konsep pemikiran
bersifat inklusif menerima pembaharuan masukan untuk kepentingan kemajuan bagsa.
Menurut pemikiran Rizal Ramli bangsa ini akan cepat makmur jika pemimpin-
pemimpin kita melakukan transformasi seluruh hidupnya untuk kepentingan rakyat; baik
pemikirannya, seluruh hartanya, Waktu dan tenaganya, segalanya untuk kepentingan
rakyat dan bersedia tampil all aut untuk kepentingan rakyat (Metro TV Mei 2009).
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh PM Mahatir dari Malaysia, PM Li Kwanyu dari
3
Singapura dengan menerima dolar Singapura sebagai alat pembayaran juga dapat
merapuhkan rasa kebangsaan Indonesia pada para penghuni pulau tersebut.
Perekonomian di Pulau Mianggas dan Pulau Marampit lebih berorientasi ke Filipina
Selatan akan melemahkan semangat kebangsaan warganya.
Pengelolaan wilayah perbatasan perlu segera ditingkatkan dengan membentuk
“Kementriaan Perbatasan” yang mengelola kehidupan masyarakat perbatasan agar lebih
makmur dan mendapat kemudahan agar dapat mengakses ke daerah lain di wilayah
NKRI. Wilyan NKRI perlu dijaga dengan penegasan secara defakto dengan
menghadirkan penguasa local seperti lurah, camat seperti polisi dan tentara sebagai
simbul kedaulatan negara. Meskipun memiliki ribuan pulau tetapi tidak boleh
meremehkan eksistensi salah satu pulau atau perairan yang sekecil apapun pulau atau
daratan, dan bila itu wilayah NKRI perlu dipertahankan dengan jiwa dan raga seluruh
bangsa ini.
Kasus Ambalat; Bermula dengan lepasnya Timor Timur 1999, kemudian kekalahan
diplomasi kita di Mahkamah Internasional dengan kasus Sipadan dan Ligitan, 2002
sehingga kedua pulau tersebut menjadi miliki Malaysia. Lepasnya kedua pulau Sipadan
dan Ligitan dengan waktu reltif singkat membuat rakyat Indonesia menjadi trauma
akan lepasnya blok Ambalat yang kaya minyak ke tangan Malaysia. Kontruksi bangunan
teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional begitu rapuh dalam beberapa tahun
terakhir ini. Sengketa dua blok wilayah Malaysia dan Indonesia kembali memanas.
Masing-masing mengklaim sebagai wilayah mereka. Malaysia memberi nama Wilayah
ND6 dan ND7 dan Indonesia memberi nama blok Ambalat dan Ambalat Timur (Rusman
Ghazali, Kompas, 28 April 2005; 4).
Menurut Prof. Azmi Hasan, ahli strategi politik Malaysia, bantahan Indonesia
sudah diatisipasi bahkan pemerintah Malaysia sudah menyiapkan segala bantahan
sengketa Ambalat. Pemerintahan Malaysia tidak meragukan lagi kesahihan kepemilikan
atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian meilikinya atas dasar peta pantas benua 1979.
Malaysia melakukan bantahan atas konsesei ekplorasi minyak yang diberikan kepada
perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Bukan hanya
itu, dalam tulisannya Prof. Azmi membuat kalkulasi atas kekuatan militer Indonesia jika
harus berhadapan dengan kekuatan militer Malaysia. Bahwa TNI tidak berada dalam
keadaan optimal akibat embargo militer AS sejak beberapa tahun yang lalu. Sebagai
contoh hanya 40% Jet tempur yang dimiliki TNI AU tidak dapat digunakan, karena
ketiadaan suku cadang untuk mengoperasikan kekuatan secara penuh. Jet Sukoiw yang
7
kompleks, dan dinamis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam integrasi nasional
antara lain sebagai berikut. Pertama, pengalaman historis yang tampil sebagai kekuasaan
yang kohesif, berawal dari penderitaan yang menjadi bagian warisan bersama sebuah
negara. Kedua, atribut sosio-kultural bersama seperti bahasa, bendera, bangsa yang
membedakan dengan bangsa lain dan yang memungkinkan WNI memiliki rasa persatuan.
Ketiga, interaksi berbagai pihak di dalam negara kebangsaan dan adanya interdependensi
ekonomi regional (Filip Litay, 1997; 10).
Masyarakat Indonesia sangat heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu, bagi
integrasi sosial budaya unsur-unsurnya memerlukan nilai-nilai sebagai orientasi tujuan
kolektif bagi interaksi antarunsur. Dalam hubungan ini ideologi bangsa, nilai
nasionalisme, kebudayaan nasional mempunyai fungsi strategis. Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisonal dan primodial yang
tidak relevan dengan masyarakat baru. Dengan demikian nilai nasionalisme memiliki
nilai ganda, yaitu selain meningkatkan integrasi nasional, juga berfungsi menanggulangi
dampak kapitalisme dan globalisasi serta dapat mengatasi segala hambatan ikatan
primordial.
Apabila dipikirkan antara integrasi dan nasionalisme saling terkait. Integrasi
memberi sumbangan terhadap nasionalisme dan nasionalisme mendukung integrasi
nasional. Oleh karena itu, integrasi nasional harus terus dibina dan diperkuat dari waktu
ke waktu. Kelalaian terhadap pembinaan integrasi dapat menimbulkan konflik dan
disintegrasi bangsa. Sebagai contoh, keinginan berpisah dari NKRI oleh sebagian
masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku karena selama puluhan tahun mereka hanya
sebagai objek dan bukan subjek. Mereka hanya mendapat janji-janji kesejahteraan tanpa
bukti dan menentang ketidakadilan di segala bidang. Oleh karena itu, diharapkan
pemerintah pusat dapat mengakomodasikan setiap isu yang timbul di daerah.
Integrasi nasional biasanya dikaitkan dengan pembangunan nasional karena
masyarakat Indonesia yang majemuk sangat diperlukan untuk memupuk rasa kesatuan
dan persatuan agar pembangunan nasional tidak terkendala. Dalam hal ini kata-kata kunci
yang harus diperhatikan adalah mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis
dan saling membantu atau dalam koridor lintas SARA. Integrasi mengingatkan adanya
kekuatan yang menggerakkan setiap individu untuk hidup bersama sebagai bangsa.
Dengan integrasi yang tangguh yang tercermin dari rasa cinta, bangga, hormat, dan loyal
kepada negara, cita-cita nasionalisme dapat terwujud.
Dalam integrasi nasional masyarakat termotivasi untuk loyal kepada negara dan
bangsa. Dalam integrasi terkandung cita-cita untuk menyatukan rakyat mengatasi SARA
melalui pembangunan integral. Integrasi nasional yang solid akan memperlancar
pembangunan nasional dan pembangunan yang berhasil akan memberikan dampak
9
melanggar norma-norma etika, moral, nilai agama atau tindakan anarkis menuju ke arah
disintegrasi bangsa. Namun demikian wawasan normatif, wawasan yang disepakati
bersama perlu dimengerti, dipahami di sosialisasikan bahwa Nusantara sebagai kesatuan
kewilayahan, kesatuan IPOLEKSOSBUD-HANKAM tidak dapat ditawar lagi, tidak
dapat diganggu gugat sebagai harga mati yang normatif.
Dengan persepsi yang sama diharapkan dapat membawa bangsa menuju
kesepahaman dan kesehatian dalam mewujudkan cita-cita nasional. Suatu persepsi atau
pandangan yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan bersama akan merugikan kesatuan,
kebersamaan dan keserasian sehingga menimbulkan gejolak sosial yang dapat merugikan
bangsa keseluruhan sehingga dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Perilaku koropsi, mementingkan diri sendiri, tidak bertanggung jawab, tidak
sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas akan mengakibatkan perilaku bunuh diri
bersama-sama. Negara yang tidak bisa menyamakan persepsi atau pandangan yang sama
akan minimbulkan konflik yang berlarut-larut sehingga menghasilakan bangsa yang
gagal.
Pembinaan dan sosialisasi Wawasan Nusantara sangat penting bagi negara bangsa
karena dapat menghasilkan Ketahanan Nasional. Daya tahan yang kuat bagi sauatu
bangsa dan kerja sama yang sinergis antar bidang (IPOLEKSOSBUD-HANKAM) yang
diusahakan terus menurus dapat menghasilkan integrasi nasional yang utuh menyeluruh.
11
1
Abstrak
Adanya glosnot dan prestorika yang melanda Eropa Timur mengakibatkan
negara-negara Unisoviet dan Yogoslovakia mengalami disintegrasi. Peristiwa di atas
memberi dampak negatif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), daerah-
daerah fery-fery (penggiran) mulai bergejolak, daerah pinggiran memiliki aspirasi untuk
merdeka seperti Timor-timur yang telah merdeka, Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS). Benih-benih
disintegrasi semakin subur ketika Pemerintah Suharto bersifat otoriter dengan pendekatan
milter tanpa mengevalusi kebijakan politik perbatasan untuk memakmurkan rakyatnya.
Adanya globalisasi, liberalisasi perdagangan, dan menguatnya new etnisitas
(kesadaran hak-hak kesuku bangsaan) semakin menguatnya tuntutan daerah pinggiran
meminta hak-haknya baik sosial, politik dan ekonomi untuk mempercepat
kesejahteraannya. Faktor-faktor dan kondisi di atas mengakibatkan freksi-freksi dan
gejolak daerah yang melahirkan potensi kekerasan dan konflik berdarah. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya persepsi yang sama di antara warga negara. Wawasan
Nusantara merupakan jawaban untuk menyamakan persepsi untuk hidup bersama dalam
koridor (Negara Kesatuan Republik Indonesia) NKRI dan mewujudkan Integrasi
nasional.
Pendahuluan
Dalam mewujudkan tujuan nasional banyak mengalami kendala, baik dalam tataran
konsep maupun implementasinya. Pada tataran konsep tidak adanya kata sepakat antara
perkataan dan perbuatan di antara para elit politik. Contoh kongkrit konsep ekonomi
liberal, ekonomi kerakyatan dan perwujudan Welfare State (negara kesejahteraan).
Konsep ekonomi liberal mengutamakan kepentingan pasar bebas dan merupakan salah
satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilesme, liberaliseme, dan
keynesianisme dan neoliberalisem yang merupakan upaya untuk mengoreksi kelemahan
dalam liberalisme (Revrisond Baswir, KR, 17 Mei 2009; 1).
Dalam paham ekonomi pasar liberal, diyakini bahwa pasar memiliki kemampuan
dapat mengurus sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus pasar tidak
diperlukan sama sekali. Tujuan konsep ini adalah kebebasan individu untuk bersaing
secara sempurna di pasar, kepemilikan pribadi terhadap faktor prodoksi, pembentukan
harga pasar dilakukan oleh negara melalui undang-undang. Namun konsep ini tersisih
oleh negara kesejahteraan peranan negara dalam ekonomi tidak dibatasi sebagai
pembuat peraturan tetapi diperluas untuk membuat kewenangan dan melakukan
2
intervensi terhadap viskal maupun moneter. Hal ini dilakukan untuk menggerakkan
sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan
penciptaan lapangan kerja, negara kesejahteraan dengan tegas mengatakan ”selama
masih ada pengangguran campur tangan negara dalam perekonomian dibenarkan”.
Paham yang berkembang di Indonesia masih ada ekonomi kerakyatan yaitu
ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat (Suharto, KR, 25 Mei 2009; 1).
Kepentingan rakyat di antara menghidupkan usaha kecil dan menengah, melindungi dan
menghidupkan pasar tradisional, dan mengusahakan dunia usaha dalam konteks sektor
riil, memberdayakan masyarakat kecil. Kebijakan pemerintah tidak liberalis-kapitalistik,
mengurangi kemiskinan, perlindungan terhadap sumber daya alam. Pembuatan undang-
undang Penanaman Modal, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), Badan Layanan
Umum (BLU) yang perpihak untuk kepentingan rakyat. Kebijakan pemerintah pusat dan
daerah dalam penananman modal asing harus berpihak untuk kepentingan rakyat kecil.
Ketiga konsep tersebut di atas mewarnai kebijakan pemerintah sekarang,
Wawasan nusantara diharapkan mampu menyatukan pandangan-pandangan yang berbeda
dalam masyarakat dan memberikan solusi untuk mendasari Ketahanan Nasional suatu
bangsa, sehingga tujuan nasional dapat terialisir.
Dalam Wawasan Nusantara dan Ketahanan nasional sebagai konsep pemikiran
bersifat inklusif menerima pembaharuan masukan untuk kepentingan kemajuan bagsa.
Menurut pemikiran Rizal Ramli bangsa ini akan cepat makmur jika pemimpin-
pemimpin kita melakukan transformasi seluruh hidupnya untuk kepentingan rakyat; baik
pemikirannya, seluruh hartanya, Waktu dan tenaganya, segalanya untuk kepentingan
rakyat dan bersedia tampil all aut untuk kepentingan rakyat (Metro TV Mei 2009).
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh PM Mahatir dari Malaysia, PM Li Kwanyu dari
Singapura, sehingga negara tersebut lebih cepat makumur meninggalkan Indonesia.
Sedang menurt Amin rais dalam orasinya ”Slamatkan Indonesia” untuk
menyejahterakan rakyat perlu penataan negara lebih terencana dan pemimpin-pemimpin
bangsa tidak menjadi kakitangan asing (komprador) untuk menguras kekayaan bangsa
Indonesia (Amin Rais, Juni 2008). Menurut Hussein Alatas dalam The Sociologi of
Coroption (1968) di Indonesia koropsi semakin menggurita yang kalau dibiarkan akan
membunuh negara Indonesia sendiri (Sutjipto Raharjo, Kompas, 18 Mei 2009; 6).
3
dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa merdeka,
berdaulat, bermartabat, serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya
dalam mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara adalah cara pandang, cara
memahami, cara menghayati, cara bersikap, cara berfikir, cara bertindak, cara
bertingkah laku, bangsa Indonesia sebagai interaksi prosees psikologis,
sosiokultural, dengan aspek ASTAGATRA (Kondisi geografis, kekayaan alam
dan kemampuan penduduk serta IPOLEKSOSBUD Hankam).
integrasi teritorial kita, yaitu “Laut Nusantara, yang semula dianggap laut bebas”
menjadi bagian integral wilayah Indosia. Di samping itu pengakuan landas
kontinen Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) menghasilkan
pertumbuhan wilayah Indonesia yang cukup besar, sehingga menghasilkan luas
wilayah Indonesia yang semula nomor 17 di dunia menjadi nomor 17 di dunia.
Pertambahan luas ruang hidup tersebut di atas menghasilkan sumber
daya alam yang cukup besar bagi kesejahteraan bangsa, mengingat bahwa
minyak, gas bumi, dan mineral lainnya banyak yang berada di dasar laut, baik di
lepas pantai (off shore) maupun di laut dalam. Pertambahan luas wilayah tersebut
dapat diterima oleh dunia internasional, termasuk tentangga dekat kita, yaitu
Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India, Australia, dan Papua Nugini yang
dinyatakan dengan persetujuan yang menyangkut laut teritorial maupun landas
kontinen. Persetujuan tersebut dapat dicapai karena Indonesia dapat
memberikan akomodasi kepada kepentingan negara-negara tetangga antara lain
bidang perikanan (traditional fishing right) dan hak lintas dari Malaysia Barat ke
Malaysia Timur atau sebaliknya.
Penerapan wawasan nusantara di bidang komunikasi dan transportasi
dapat dilihat dengan adanya satelit Palapa dan Microwave System serta adanya
lapangan terbang perintis dan pelayaran perintis. Dengan adanya proyek
tersebut laut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan yang besar sehingga lalu
lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat lancar jalannya. Penerapan
wawasan nusantara di bidang ekonomi juga lebih dapat dijamin mengingat
kekayaan alam yang ada lebih bisa dieksploitasi dan dinikmati serta
pemerataannya dapat dilakukan karena sarana dan prasarana menjadi lebih baik.
Penerapan di bidang sosial budaya terlihat dari dilanjutkannya kebijakan
menjadikan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, sebangsa, setanah air,
senasib sepenanggung, dan berasaskan Pancasila. Tingkat kemajuan yang sama
merata dan seimbang terlihat dari tersedianya sekolah di seluruh tanah air dan
adanya universitas negeri di setiap provinsi.
7
persenjataan yang lebih canggih lainnya. Pendek kata bahwa dalam sengketa ini
kekuatan militer TNI juga telah diperhitungkan kekuatannya oleh para ahli strategi di
Malaysia sebagai refrensi pemerintah Malaysia dalam menentukan sikap terhadap
sengketa di wilayah Ambalat (Rusman Gazali, 2005: 4).
agama (SARA). Kebhinekaan ini merupakan aset bangsa Indonesia jika diterima
secara ikhlas untuk saling menerima dan menghormati dalam wadah NKRI.
Menurut Sartono Kartodirdjo, integrasi nasional berawal dari integrasi
teritorial dan merupakan integrasi geopolitik yang dibentuk oleh transportasi,
navigasi, dan perdagangan, sehingga tercipta komunikasi ekonomi, sosial,
politik, kultural yang semakin luas dan intensif. Pada masa prasejarah telah
terbentuk jaringan navigasi yang kemudian berkembang dan sampai puncaknya
pada masa Sriwijaya dan Majapahit serta yang pada zaman Hindia Belanda
diintesifkan melalui ekspedisi militer. Pada masa NKRI diperkokoh dengan
adanya sistem administrasi yang sentralistik melalui sistem idukasi, militer, dan
komunikasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 85).
Menurut Drake integrasi nasional adalah suatu konsep yang
multidimensional, kompleks, dan dinamis. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam integrasi nasional antara lain sebagai berikut. Pertama,
pengalaman historis yang tampil sebagai kekuasaan yang kohesif, berawal dari
penderitaan yang menjadi bagian warisan bersama sebuah negara. Kedua,
atribut sosio-kultural bersama seperti bahasa, bendera, bangsa yang
membedakan dengan bangsa lain dan yang memungkinkan WNI memiliki rasa
persatuan. Ketiga, interaksi berbagai pihak di dalam negara kebangsaan dan
adanya interdependensi ekonomi regional (Filip Litay, 1997; 10).
Masyarakat Indonesia sangat heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu,
bagi integrasi sosial budaya unsur-unsurnya memerlukan nilai-nilai sebagai
orientasi tujuan kolektif bagi interaksi antarunsur. Dalam hubungan ini ideologi
bangsa, nilai nasionalisme, kebudayaan nasional mempunyai fungsi strategis.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menggantikan nilai-nilai
tradisonal dan primodial yang tidak relevan dengan masyarakat baru. Dengan
demikian nilai nasionalisme memiliki nilai ganda, yaitu selain meningkatkan
integrasi nasional, juga berfungsi menanggulangi dampak kapitalisme dan
globalisasi serta dapat mengatasi segala hambatan ikatan primordial.
11
Penutup
WawasanNusantara memiliki peranan penting untuk mewujudkan persepsi yang
sama bagi seluruh warga negara Indonesia. Perbedaan persepsi, perbedaan pendapat, dan
freksi-freksi antar kelompok dalam konteks sosologis, politis serta demokrasi dianggap
hal yang wajar dan sah-sah saja. Hal di atas justru diharapkan dapat menghasilkan
masyarakat yang dinamis dan kreatif, sinergis, untuk saling menyesuaikan menuju
integrasi. Suatu pantangan yang harus dihindari adalah perbuatan, tindakan yang
melanggar norma-norma etika, moral, nilai agama atau tindakan anarkis menuju ke arah
disintegrasi bangsa. Namun demikian wawasan normatif, wawasan yang disepakati
bersama perlu dimengerti, dipahami di sosialisasikan bahwa Nusantara sebagai kesatuan
kewilayahan, kesatuan IPOLEKSOSBUD-HANKAM tidak dapat ditawar lagi, tidak
dapat diganggu gugat sebagai harga mati yang normatif.
Dengan persepsi yang sama diharapkan dapat membawa bangsa menuju
kesepahaman dan kesehatian dalam mewujudkan cita-cita nasional. Suatu persepsi atau
pandangan yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan bersama akan merugikan kesatuan,
kebersamaan dan keserasian sehingga menimbulkan gejolak sosial yang dapat merugikan
bangsa keseluruhan sehingga dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Perilaku koropsi, mementingkan diri sendiri, tidak bertanggung jawab, tidak
sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas akan mengakibatkan perilaku bunuh diri
bersama-sama. Negara yang tidak bisa menyamakan persepsi atau pandangan yang sama
akan minimbulkan konflik yang berlarut-larut sehingga menghasilakan bangsa yang
gagal.
Pembinaan dan sosialisasi Wawasan Nusantara sangat penting bagi negara bangsa
karena dapat menghasilkan Ketahanan Nasional. Daya tahan yang kuat bagi sauatu
bangsa dan kerja sama yang sinergis antar bidang (IPOLEKSOSBUD-HANKAM) yang
diusahakan terus menurus dapat menghasilkan integrasi nasional yang utuh menyeluruh.
Daftar Pustaka
Adi Sumardiman, dkk. 1982. Wawasan Nusantara, Jakarta: Yayasan Harapan Nusantara.
Chaidir Basrie, 2002. Pemantapan Wawasan Nusantara Menuju Ketahanan Nasional.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
14
Dimyati, M. 1972. Hukum Laut Internasional. Jakarta: Penerbit Bharat Karya Aksara.
Ermaya Suradinata, dkk. 2001. Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional. Jakarta:
Paradigma Cipta Tatrigama.
Filip Litay. 1997. Integrasi Nasional. Jakarta.
Hasyim Djalal. 2000. Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Ditinjau Dari
Segi Hukum Latu dan Kelautan. Tanpa Kota Penerbit dan Penerbit.
_____________.2002. Konsepsi Wawasan Nusantara Rumusan Setjen Wanhankamnas,
Jakarta: Dirjendikti Depdiknas.
Lemhanas. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Penerbit Ismujati.
John Piaris. 1988. Strategi Kelautan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
.
Munanjat Danusaputro, S.t. 1983. Wawasan Dalam Hukum Laut PBB. Bandung:
Penerbit Alumni.
_____________________. 1982. Indrajaya Seroja Dharma Mahasi Indonesia Raya
Dalam Jelang Silang Dunia, Jakarta: Penerbit Binacipta.
Berita Koran
Biodata Penulis:
Sigit Dwi Kusrahmadi, lahir di Yogyakarta, 27 Juni 1957, menyelesaikan S-1 di Fakultas
Sastra Jurusan Sejarah UGM, dan menyelesaikan S-2 Sospol Ketahanan Nasional UGM
Tahun 2001. S-2 kedua mengambil Theologia di Biwarawacana Tahun 2007. Sejak
tahun l987 mengajar di MKU dan tahun 2003 pindah mengajar di S-1 PGSD FIP UNY.
15
UJIAN AKHIR SEKOLAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH :
ABETO
19031121
DOSEN PENGAMPU :
RAHMULIANI FITHRIAH, S.Pd, M.Hum.
Gaffikin, M. (2007). Accounting Research and Theory: The age of neo-empiricism, Australasian
Accounting. Business and Finance Journal, vol. 1no. 1 pp. 1-19.
Guba, Egon G dan Yvonna S Lincoln. (2011). Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi, dan Arus
Jensen, Michael C. (1972). Capital Markets: Theory and Evidence, The Bell Journal of
Economics and Management Science, Vol. 3, Issue 2, pp. 357-398.
https://doi.org/10.2307/3003029 Jensen, Michael C and William H, Meckling, 1982,
Reflections the Corporatioan as a Social Invention, Controlling the Giant Corporation: A
Symposium, Center for Research in Government Policy and Business. Graduate School of
Management, University of Rochester.
Australasian Accounting, Business and Finance
Journal
Volume 12 | Issue 1 Article 7
Iwan Triyuwono
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
Gugus Irianto
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
Bambang Hariadi
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
Recommended Citation
Salampessy, Zulkarim; Triyuwono, Iwan; Irianto, Gugus; and Hariadi, Bambang, Pancasila Paradigm:
Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting of Pancasila, Australasian Accounting, Business
and Finance Journal, 12(1), 2018, 102-115. doi:10.14453/aabfj.v12i1.7
Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library:
research-pubs@uow.edu.au
Pancasila Paradigm: Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting
of Pancasila
Abstract
The purpose of this paper is to present the research methodology of the accounting paradigm “Pancasila”.
Pancasila is the basic view of life appropriate to the citizens of Indonesia's independence. In the paradigm of
Pancasila, there are contained elements of philosophical research or basic beliefs that underlie accounting
thought and research. These elements are based on the nature of Pancasila human beings, i.e. the first point of
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa (The Almighty God) contains elements of life, as a study of ontology;
the second point, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ( Just and Civilized Humanity), contains elements of
the senses, the mind, and rasa as the study of epistemology; the third point, Persatuan Indonesia (the Unity of
Indonesia), contains elements of Karsa (will) in concepts of Wawasan Nusantara as the study methodology,
i.e. the Methodology of Wawasan Nusantara (MWN); the fourth point, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan (Democracy Guided by the Inner Wisdom in
Deliberations and Representations), contains elements of deeds and inner wisdom as a method of research;
and fifth points, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Social Justice for all the People of Indonesia),
contains elements of purpose as the study of axiology, namely the research results in the form of the concept
and practice of accounting based on Pancasila.
Keywords
Pancasila, Paradigm, Accounting Research, Ontology, Epistemology, Methodology, Methods, Axiology.
This article is available in Australasian Accounting, Business and Finance Journal: http://ro.uow.edu.au/aabfj/vol12/iss1/7
Pancasila Paradigm:
Methodology of Wawasan Nusantara
for Accounting of Pancasila
Zulkarim Salampessy1, Iwan Triyuwono2, Gugus Irianto3 and Bambang Hariadi4
Abstract
The purpose of this paper is to present the research methodology of the accounting paradigm
“Pancasila”. Pancasila is the basic view of life appropriate to the citizens of Indonesia's
independence. In the paradigm of Pancasila, there are contained elements of philosophical
research or basic beliefs that underlie accounting thought and research. These elements are based
on the nature of Pancasila human beings, i.e. the first point of Pancasila, Ketuhanan Yang Maha
Esa (The Almighty God) contains elements of life, as a study of ontology; the second point,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Just and Civilized Humanity), contains elements of the
senses, the mind, and rasa as the study of epistemology; the third point, Persatuan Indonesia
(the Unity of Indonesia), contains elements of Karsa (will) in concepts of Wawasan Nusantara
as the study methodology, i.e. the Methodology of Wawasan Nusantara (MWN); the fourth
point, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan (Democracy Guided by the Inner Wisdom in Deliberations and Representations),
contains elements of deeds and inner wisdom as a method of research; and fifth points, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Social Justice for all the People of Indonesia), contains
elements of purpose as the study of axiology, namely the research results in the form of the
concept and practice of accounting based on Pancasila.
1
Politeknik Negeri Ambon, Indonesia
2
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
3
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
4
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
INTRODUCTION
The purpose of this paper is to present the Pancasila as a paradigm and methodology for
accounting research. The paradigm of Pancasila is not an alternative, but a logical consequence
of its choice of Pancasila as the view of life and the foundation of the state of Indonesia. Thus,
the accounting research in Indonesia must use the paradigm of Pancasila and adopt the
methodology of Wawasan Nusantara (MWN). This methodology is built from the concept of
Wawasan Nusantara derived from the third point of Pancasila. This paper begins with a
discussion of the paradigm of Pancasila and continues with a discussion, point by point of
Pancasila. In this discussion, Pancasila points will be elaborated in accordance with the nature of
man as universal and the philosophy of science. This paper is part of doctoral research that the
authors are working on.
PANCASILA AS A PARADIGM
Pancasila is a paradigm in the context of natural science as used by Kuhn (2012, p. 11)
associated with normal science. Normal science that, according to Kuhn, is based on one or more
scientific achievement by researchers in one paradigm that has been declared as the foundation
for further thought and research. Based on that opinion, in the context of social science there are
some paradigms, for example accounting thought and research within the paradigm of positivism
(the mainstream paradigm), and the interpretivist paradigm, the critical paradigm (Burrell and
Morgan 1979, p. 22-23; See also Chua 1986, p. 603), nor postmodernism as an alternative (see
Triyuwono, 2012, p. 235-236). This is, because the paradigms that are applied and the presenting
models for the continuity of accounting thought and research.
The Positivism paradigm or the mainstream paradigm has thus far managed to dominate
empirical accounting thought and research capital market-based and the economic concept of
"agency" (Jensen, 1972, p. 381; Watts and Zimmerman 1979, p. 151-152; See also Chua 1986, .p
602; Christenson 2003, p. 7; Gaffikin 2007, p. 1-2; Bisman 2010, p. 6). Therefore, not
surprisingly, when research projects in almost all countries are conducted by lecturers, students,
and practitioners whose work is in this paradigm, as well as joining in the nurturing and
encouraging the continuity of its dominance (Chua 1986, p. 602; See also 2007 Gaffikin, p. 14),
including in Indonesia (Hartono and Ratnaningsih 2007, p. 4). However, this positivist
dominance was not without criticism, namely, accounting research in the paradigm of positivism
is regarded by some as misleading, because it has ontological and epistemological weaknesses,
which has implications for its methodology, so it must be abandoned (Christenson 1983, p. 7;
Gaffikin 2007, p. 12; Greenwood and Levin, 2011, p. 57). The question is, does the dominant
paradigm of positivism have the ability to fix its deficiencies as expressed by Christenson (1983,
p. 20)? These deficiencies have not been amended thus so far. This means that researchers
(who wish to research in the dominant paradigm) can only perform accounting research in this
positivist paradigm, but either do not realize its deficiencies, or are unwilling to examine some
fundamental issues about this paradigm (Christenson, 1983; see also Gaffikin 2007, p. 12).
103
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
The fundamental things that made the paradigm are the basic series of beliefs that led the
researchers in conducting research (Denzin and Lincoln 2011, p. 197; Chua 1986, p. 604; Burrell
and Morgan 1979, p. 3). Denzin and Lincoln (2011, p. 197) revealed that the paradigm that
included axiology (ethics), epistemology, ontology, and methodology (see also Cresswell, 2014,
p. 25). Chua (1986, p. 604) groups them into three sets, i.e. epistemology and methodology;
Ontology, human purpose and rationality, and order/social conflict; and the relation between
theory and practice. While Burrell and Morgan (1979, p. 3), referred to them as the ontology,
epistemology, human nature, and the methodology described in conflicting (dichotomy).
The basic set of beliefs that is mentioned by Denzin and Lincoln (2011) is the same as
thosecontained in the Pancasila, which is different the structure. The philosophy of science that is
contained in the Pancasila has a structure, i.e., ontology, epistemology, methodology, method,
and axiology (see also Triyuwono, 2012, p. 187). It could be what it mentioned above by the
authors are different and not structured with the Pancasila, because their beliefs that pertaining
with the philosophy of science was not intact, as written at the footnotes by Chua (1986, p. 604),
that belief is still temporary (tentative), it can be change in accordance with its historical and
social context.
The first point of Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa (The Almighty God), contained the
elements of life as a study of the ontology. The second point, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab (Just and Civilized Humanity), contained the element of senses, the mind, and rasa as a
study of the epistemology. The third point, Persatuan Indonesia (the Unity of Indonesia),
contained in it the element of karsa /will, i.e. the legal system of natural and compliance that
becomes a principles or guidelines of research, as a study of the methodology. The fourth points,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
(Democracy Guided by the Inner Wisdom in the Deliberations and Representations), contained
the elements of deeds and inner wisdom as a study of the research method. The fifth point,
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Social Justice for all the People of Indonesia),
contained the elements of purpose as a study of the axiology.
One of the points to note about the Pancasila paradigm is that it is a unified whole. There is an
interdependent relationship between the various points of Pancasila that are mutually animated
and imbued. The first point of discussion will also explain the next four points. So will the
second, with the points in the discussion based on the first and third points and including the
fourth, and fifth points. So on until the last point. Thus, the nature of human beings contained in
the Pancasila will be discussed following this pattern.
104
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
(1964, p. 91-93), the God is there, even that God is reality. Furthermore Soekarno (1964, p. 81,
93) argues that, based on the results of his sociological research, the souls of Indonesian people
are already ancient times since they lived in the nature of God, as well as historically religious,
the Indonesian peoples is on the line the magnitude of believed in God.
It shows that Soekarno and Indonesian people in general, or Indonesian people who are aware of
the elements of life as the basic nature of human beings. The Indonesian people are aware and
empowering the life element firmly throughout the history of religious life in the motherland of
Indonesia, so they believe in God, as a study material of ontology. This was expressed by
Suhartono (2005, p. 111), that ontology is a branch of philosophy that studied the meaning of
“exist" and "existence", and also the status, as well as the layout and structure of, reality.
In the Ketuhanan Yang Maha Esa, God is there, because God created the earth and heaven, the
universe and all of its contents (Notonagoro 1971, p. 75-76; Darmodiharjo 1984, p. 52; Chodjim
2002, p. 64; 2011, p. 69-70). Humans, animals, plants, entire matter and everything in the
universe was God created and owned. Not only creating, God will always be with his creation,
i.e. participate with, maintain, educate, and cultivate the creation of perfect events, i.e. in order
to return to God (Chodjim, 2011, p. 69-70). To achieve this, God sets the legal system of nature
and compliance (Chodjim, 2011, p. 128) that isapplied to all his creation. Besides that, God also
gives instructions to mankind through the Prophet (Chodjim, 2011, p. 94-95). And all that God
has created, that is: human beings, animals, plants, objects and everything else in this universe as
a whole (Chodjim 2002, p. 89; 2013, p. 111).
All creatures in this world are systematically related with the process of causality (Suhartono
2005, p. 113), namely the existence of material substance precedes vegetation, the animal's
existence precedes human, and the existence of mankind as the pinnacle of creation and
manifestation of God on Earth. The existence of all creatures in the world is determined by one
cause, this is God, who is called causa prima.
That understanding produces divine realities that can be structurally organized and arranged as
follows: first, God the creator of earth and heaven and all of its contents. Therefore, God is the
absolute reality. Second, even if the mankind cannot see God, but can define a God with his
essential qualities, for example God is Creator, the Almighty, the Omnipotent maintains, is the
Educator, the Perfect, and so on. Third, the legal system of natural compliance is established by
God for all human beings in this universe as a spiritual reality. Fourth, God give and instructs
mankind through the prophets and the people God chooses as subjective reality. Fifth, humans,
animals, plants, and other entities that exist in the universe as objective reality and as a whole.
Although there are many different realities, but because it all comes from the God as the
Absolute Reality, then the diverse realities that is a one reality (the dependent and integral)
(Chodjim 2002, p. 89-90; Triyuwono 2012, p. 278).
105
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
2010, p. 5; Triyuwono 2012, p. 276). Because, both realism and nominalism ontology always be
in a position to opposite each other (dichotomy) (Burrell and Morgan 1979, p. 4; Chua 1986, p.
606; Bisman 2010, p. 5; Triyuwono 2012, p. 276).
It shows, as revealed by Triyuwono (2010, p. 276), both realism and nominalism have a partial
view of the whole reality. Because a realist or nominalist view are weak in realizing and
empowering elements of life as the basic nature of human beings. In the context of the economy,
as expressed by Weber (2006, p. 193), the growing passion for human wealth, material, along
with the declining of divine believes. In everyday life, God does exist, but the existence was
replaced by man (Abbas 2010, p. 29). In the context of research, can be found in the work, both
Burrell and Morgan (1979) and Chua (1986) which does not discuss about God as a absolute
reality (Kamayanti, 2016, p. 25). As a result, either a realist or nominalis viewpoint will have
difficulty in knowing and understanding God as the Supreme reality (Triyuwono, 2012, p. 278).
Although the reality of that structure intact, as expressed by Triyuwono (2012, p. 278), man was
created by God with two main reasons. First, so that people can know God. Second, that man
has always been close to God, because man is a creature that is relatively not able to see God.
By known, the human being is always under the grace and guidance of God, so easily and
smoothly in this life in order to traverse back to God.
In the first point, the humans comes from and return to, and as the ultimate existence of God on
earth, so humans make this divine realities as the fundamental and guidance to return to God. It
is like the description of Soekarno (1964, p. 73, 91) about "basic static or static table and Leitstar
(star-led) dynamic". Table static or static basis, i.e. as a base by being on it, all the elements of
the soul of the nation can be unite, and Leitstar (star-led) dynamic, i.e. lead dynamically move
the people, nation, and state of Indonesia towards social justice for all the people of Indonesia, or
inner happiness for the whole people of Indonesia.
Basic static or static table that shows the belief in God, so as to realize the divine realities, which
structurally from top-bottom, i.e. God as Absolute reality, then lowered the reality of the nature
of God, spiritual reality, the subjective reality and the very bottom is an objective reality.
Furthermore, the dynamic Leitstar that shows human guidance in knowing, understanding, and
realization of the divine realities, which structurally from the bottom-up, that is the objective
reality, the subjective reality, the spiritual reality; then the reality of the nature of God, towards
God as Absolute reality (see also Triyuwono 2012, p. 298), or social justice for all the people
(Indonesia). As such, static table and dynamic Leitstar shows relationship of reality as a whole.
Further, Soekarno (1964, p. 75-77) held that the Leitstar dynamic with regard to how to realize
the three guidance, namely, first, human (Pancasila) have ideals; social justice. Second, have the
believe or sense of being able to that will lead to what you want, so that humans can achieve a
karsa (the will). Third, movement or action. That is, ideals or goals; social justice for all the
people (Indonesia) can only be realized if human (Indonesia) can build up and have a sense of
being able to and that will lead what they wants, in the end they can reach the karsa (willpower)
that will encourage their actions.
106
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
That, in the context of research, as claimed by Triyuwono (2012, p. 402), that in producing
science, including accounting (Pancasila) for the realization of social justice, it is important for a
researcher to realize the true nature of themselves and view the ontology to reality. Because with
realized it, can affect the way a researcher views the reality that faced and which will be
constructed.
In line with that, according to Mangunpranoto (1981, p. 18-19; see also Mubyarto, 1987, p. 69),
Pancasila is the man of economic, social, and moral, that acting is not only based on economic
boost individually, but also boost social interaction between fellow human beings and their
surroundings, whether by land, sea, or air, as well as the moral impulse in relation to God. The
economic man reflecting the objective reality, the social man reflecting the subjective reality,
and the moral man reflecting the spiritual reality, namely the legal system of nature and
compliance.
As man is comprised of economic, social and moral aspects, researchers can understand the
subjective reality that will lead them to understand objective reality. Understanding subjective
reality, certainly based on instructions from God through the Prophet. Thereby generating the
true minds or knowledge, the knowledge of the true and proper (Chodjim, 2002, p. 69).
Epistemological understanding placing, the subject and object of research as a whole (see also
Triyuwono 2012, p. 242). Thus, the subjective and objective realities are two different things,
but both exist as a pair and a whole (Triyuwono 2012, p. 277).
Researchers who understand the subjective and objective reality as a whole can reach an
understanding on the level of spiritual reality. At this level, people can understand the legal
system of natural and compliance, generating a set of guidelines of the research operational and
wisdoms (research methodology). Methodology of research on the relationship between human
beings and their surroundings, whether by land, sea, and air as a single entity. This showed the
researchers will are in line to God (Chodjim 2011, p. 115). According to Chodjim (2011),
natural law applies in the world, physical and contains the seven laws, and the law of compliance
applied in the spiritual domain, which is it connect every single entity and as a whole. By
achieving a spiritual reality, characters physical and mental of the realities can be studied.
Another case with the ontology of realism, which humans perceive themselves as an economic
man (homo economicus) who act on impulse of economies (Chua, 1986, p. 604). As economic
man, researchers understand the objective reality, the material, thus producing empirical
knowledge (empirical epistemology) (Gaffikin 2007, p. 12). Understanding epistemology
placing the researchers as separate from the object of research. In doing so, the researchers
achieved a spiritual reality with partial understanding of the seven natural laws, even not
reaching the law of compliance. thereby, generating quantitative methodology (Bisman 2010, p.
5) as the guidelines of operational research non wisdom.
Also with the ontology of human nominalism, which perceives individuals as social man (homo
socialiscus) action is based on purely social compulsion. As social man, researchers understand
the reality of subjective, mental, forces, thus producing subjective knowledge (epistemology
subjectivism) (Bisman 2010, p. 4). Understanding epistemology is placing the researched with
researchers on the position of that near and on the same level as subjects (Burrell and Morgan
107
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
1979, p. 6). In doing so, the researchers reached a spiritual reality with partial understanding of
the seven natural laws, even not reaching the law of compliance, because the subjective reality
are separated from the instructions of the God through the Prophet. therefore, generating
qualitative methodology (Bisman 2010, p. 6), as the guidelines of the fellow research that limited
only on subjects, separated from God through the Prophet.
Furthermore, the understanding of spiritual reality as a force will encourage researchers to reach
for the level of God's attributes. In other words, researchers generating a set of guidelines of the
operational and wisdoms as a research methodology in describing the research methods. At this
level, researchers use research methods that correspond to the attributes of God in order to
collect data, process and generating results. With such methods, the results become the form of
science, including accounting (Pancasila), that contains the traits and circumstances in
accordance with the nature of God. Science like this was mentioned by Triyuwono (2012, p.
284) as sacred science, namely the science that can animate humans through everyday life, so
that they may return to God. Because, the science contains the physical reality, mental, spiritual,
the nature of God and the absolute reality /social justice.
The last section in the ontology point of view of reality, that is by understanding the reality of
God's attributes, researchers can achieve Absolute reality. In other words, science, including
accounting (Pancasila), which contains the traits and circumstances in accordance with the nature
of God in realizing the purpose of human life, namely, return to God as a absolute reality, social
justice for all the people (Indonesia). It shows the divine consciousness or ontological
consciousness (Triyuwono 2012, p. 189), Pancasila man that had totality of social and ecological
(ethical and religious) (Poespowardojo 1981, p. 124), a comprehensive and authentic human
beings, capable of building the theocentric civilization (Kuntowijoyo 2007, p. 5). Human live
with full of love, beauty, and the well preserve intact as the process of creating another mercy for
mankind, flora and fauna as well as its surroundings (Nataatmadja 1985, p. 3).
From this description, it can be inferred that: first, because the relationship of women-men is not
intermittent it is known, objectively, when and wherever human birth exists,reality they have the
same characteristics, but in subjective had the shape and size of which varies according to the
place where they were born (contextual). Second, the "man-woman relationship" indicates a
paired relationship into harmony. This means that different human forms, so they can be in a
108
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
high degree, the requirement (criteria), must use the physical-humanity (objective) aligned with
the inner-humanitarian (subjective). Thirdly, the words “non intermittent" shows a consistent
flow, regular, and systematic, mentioned by Chodjim (2002, p. 155) as human beings who think
logically. Fourth, the sentence "the physical-humanity" elements relating to the senses as the
nature of man, and the "inner-humanitarian" it is related to the element of the mind and rasa as
the nature of human beings.
This second point, in the context of the Maluku society, human consciousness (Indonesia) using
rasa that leads the senses in capturing the nature innate descry of Maluku society in everyday
work as farmers of cloves, nutmeg, sago and fishermen, and the relationship among these are
entwined as single entity. Then the lead senses to synthesize the empirical data that is in line
with the aposteriorical knowledge about the civilization of the Maluku people’s ancestors as the
farmers of cloves, nutmeg, sago, and fishermen, thus generating the true and proper knowledge.
The truth of knowledge of the Maluku society which work daily as farmers of cloves, nutmeg,
sago, and fishermen aligned with aposteriorical knowledge about the civilization of the Maluku
society ancestor’s as the farmers of clove, nutmeg, sago, and fishermen. This is the thinking of
objective-rational-logical. In other words, the civilization of the Maluku society’s ancestors as
farmers of clove,s nutmeg, sago, and fishermen, becomes the criteria of truth about the Maluku
society which work daily as the farmer of cloves, nutmeg, sago, and fishermen.
As revealed by Chodjim (2002, p. 56-61), in obtaining the knowledge, senses and the mind must
be guided by rasa (see also Yusufian and Sharifi 2011, p. 37, 253), because senses only be able
to capture the sensory things (phenomena) of an event or objects that exist around it. The senses
are not capable of conveying an impression of what it is, thus it’s too weak when used to
knowing the truth. While reasonable function synthesize the empirical and the apriorical
knowledge, not the knowledge that derived from experience, resulting in a rational mind. This
rational mind could be false, distorted, or the possibility of bias, so we can't use it as the
guidelines of life.
Man using rasa lead senses and the mind to obtaining the true and proper knowledge (Chodjim
2002, p. 69), the truth of knowledge aligned with the aesthetics (Suhartono 2005, p. 55-58).
Rasa has nothing to do with attempt, anticipation or possession, but regard to the existence of the
ancestral mind in ourselves (Chodjim 2007, p. 41), which was inherited by the ancestors, who
because of his ancestry, made as lead, criteria, or the guidelines to be followed (Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan (1978, p. 25).
Rasa makes human to be able to think objectively-rational-logical (Chodjim, 2002; 2007), as the
subject and object of research nor the relationship between the two. With the lead of rasa, as a
source of experience and knowledge of aposteriorical, used as the basic of truth. The subject and
object of research are associated in pairs and a single entity, therefore, the position of the truth of
knowledge are balanced on the subject that known and research object as a single entity.
It is different from modern man in obtaining the knowledge by simply using the senses and
mind, without rasa, because according to Chodjim (2007, p. 41), that has left the ancestral mind.
By leaving the ancestral mind, modern man life regardless of experience and rely on the views or
ideas as the work of mind that grows out of one self and become part of the senses, not to
109
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
mention being a tool of God that placed in man. The mind that grows out of one self is identical
with the desire (ego) (Chodjim 2002, p. 59) that placing man at the Center and decider of
everything (anthropocentrism), including the truth knowledge of accounting and not God (Abidin
2006, p. 45; Abbas 2010, p. 129).
A selfish self, on the other hand, lives apart from other people, and is trapped by the rational,
analytical mind as in epistemology positivism. In epistemology, positivism or empiricism of
epistemology, modern man uses the senses (sensory experience) to capture empirical data that is
sent to the nerve center. Then build a hypothetical reasoning (hypothetico-deductive,
hypothetico-positive) to be tested empirically statistics (Chua 1986, p. 608-609; Gaffikin 2007,
p. 13). This source of experience, because without the lead of rasa, is subjective and weak, if
used as the basis of truth. The relationship of subject and object are separate, therefore, the truth
of knowledge dominated by the knowing subject, rather than the known object, the unbalanced
truth. Thus being referred to by Smith (2011, p. 94) as the hegemony of the research, and are in
a narrative of colonialism related to Western colonialism.
On the other hand, living apart from nature and trapped by the shadows of the past and dreams of
the future, as in the epistemology of idealism. The same is the case with what Chua (1986, p.
603-604) says, that knowledge, include accounting, is being produced by, and for, the human and
physical environment and the social, and related mutual reciprocity on a consistent basis. What
is the criteria and assessment of the truth been determined by human who are separated from
God as the absolute truth?
The weakness of both positivist and idealist epistemologies is that they cannot be used as a
guideline for life (Chodjim 2002, 2007). These cannot be used as research methodology, as
already mentioned in the first point above, because, according to Triyuwono (2012), weaknesses
in quantitative research (positivism) are a high degree of structuralism and formalities, value-
free, and universality, which if enforced would cause malpractice. For example, the Corporation
as 'a legal fiction' that is separate from the essence of its social, that function only solely to
protect management and owners (Jensen and Meckling 1982, p. 6, Bratton 1989; 1484).
Management maximizing profits primarily to maximize the wealth of the owners (shareholders),
ignoring employees, consumers, suppliers, communities, and society (Estes 2005, p. 7).
On the other hand, the weakness of the qualitative research, as in the interpretative paradigm is
nothing more than the activities of "interpreting" (to interpret) (see Burrell and Morgan 1979, p.
28). Thus, it appears the impetus for combining quantitative and qualitative methodologies/mix-
method (Bisman 2010, p. 7), nonetheless contains a weakness, because of originally-dichotomy
and regardless of God as Absolute truth.
110
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
independently, interdependence between one another and also have life experience that was
colonized by foreign Nations.
Furthermore, Soekarno (1964, p. 114) argued that a unification of living wills can be achieved,
imbued by belief in God Almighty and rasa of nationality of all the people of Indonesia from
Sabang to Merauke. Withou tbeing imbued by that feeling, the living wills to unite will not be
achieved. Because of that living wills, we can form the State, the Government, as a means of
struggle in realizing a just and prosperous society, the happiness of the world and hereafter (see
also the Hatta 1978, p. 32-33).
It shows the people of Indonesia recognize the element of karsa, or the wills as part of the nature
of human beings. The people's awareness that Indonesia can live as a nation of Indonesia in
diversity. As the motto said "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana, Darma Mangwra”, meaning
unity in diversity, no two truths. This shows that the will to live united in the diversity can only
be achieved by the truth of God.
This is the will to live as one nation, in diversity, that is in line with God (Chodjim 2011, p.
Triyuwono, 2012). Thus, according to Hatta (1978, p. 33), made the Indonesia nation can live.
Within the context of the world, Indonesia as part of an intact world citizens, wished to live as a
citizen of the world in diversity of Nations and citizens of the countries of the world. Living
wills like this become a power for the society, nation and State in filling the independence of
Indonesia, work hard and works that have traits and circumstances that in line with the nature of
God in realizing social justice for all (Indonesia).
One who intends to follow the will of God according to the Chodjim (2011; 115), is following
the legal system of nature and compliance with that which God has set in nature. The law of
nature prevails in the natural world, and law of compliance that takes effect within inner nature.
Further, Chodjim (2011) argues that the system of natural laws that apply in the physical world,
there are seven of them, namely the law of Causality; the law of Certainty; the law of immutable;
Objective law; the law of Balance; Pairing law; and Diversity law. While what has happened in
the inner nature, the law of compliance. Between nature and compliance laws there are
interactions, the interaction within the natural world, as well as interactions in the inner nature
and the interaction between those two, that generates the relations of interdependence.
Wawasan nusantara is the viewpoints of the people, nation, and State of Indonesia for itself and
its territory either by land, sea, or air as a whole. Thus, this concept becomes a set of guidelines
of the operational and wisdom that requires the fields of religion, history, social, cultural, law,
security, defense, economic and politics as a whole in Nusantara (see Rahardjo 1981, p. 291).
111
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
The following will be placed in the set of guidelines of the operational and wisdom of research.
Firstly, researchers must have true and proper knowledge about the research object. Also with
the objective of research, they should have the mind, attitudes and actions that are consistent in
accordance with their profession, thus they can provide the true and proper data.
Researchers, as referred to above, are the ones that produce scientific papers, which is beneficial
to the happiness of society, such as indigenous scientists (Smith 2011, p. 103), not those working
solely to be beneficial to themselves and ignoring the interests of the wider society. For
example, in the context of College, Greenwood and Levin (2011, p. 45), reveal the behavior of
researchers or scientists that have methodological skills, also have a good political economic
behavior. Instead the researchers that didn’t have sufficient methodological skills, were likely to
have behavior that is destructive to themselves both in political and economic spheres.
Second, researchers who use rasa to lead their minds summarize the data with the other data (the
aposteriorical knowledge about the research object) that are interconnected and are fixed or
unchanging. Third, the researchers conducting the observation using the rasa that leads the
senses (sensory experience) in capturing the default properties on the object of research to
gathering empirical data. Then, researchers conduct interviews using rasa to lead senses to
synthesize data with aposteriorical knowledge on the object, to gather the proper data. Fourth,
the researcher doing the observations using rasa that leads the senses in capturing the default
properties on the object of research.
Fifth, the position of the truth of the research data obtained were balanced on the subject known
with the knowing object to pair it as a single entity. Different from the view of ideographic
research, which regards the subject of research as an important instrument by using various
methods in approaching the subject in a natural environment (subject-subject), but separate from
nature. Also, it is not the same as the nomothetic view, which requires a separate researcher of
the study, because the object is using filling in questionnaires and mail surveys in the gathering
of research data (Cresswell 2014, p. 60-61; Burrell and Morgan 1979, p. 6).
Sixth, the subject and object of research, knowing that they are always in pairs, as a single
entity. The data are analyzed and synthesized, always in pairs and as a single entity. Discussion
of inductive and deductive research, in pairs and as a whole, and the inner always exist in pairs
and one entity. Seventh, although the research object has common characteristics, each object
has its own distinctive features, or diverse features, in one or the same profession as a whole.
With the data obtained, they are diverse from one another. There are data about religion,
history, culture, social security and defense, law, political economy, although diverse, but also
as a single entity. Eighth, the researcher performs an analysis and synthesis of the data in
drawing up the discussion of research within reflexivity, or reflecting or contain the inner
nature.
The word "Kerakyatan" in the fourth point contains the sense of the entire society of Indonesia.
The society consists of Individuals, thus between individual and society there is a close
112
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
relationship. This fourth point, basically about “outer” and “inner” as a single entity, as already
mentioned above, that in this fourth point contained two elements, namely, human deeds and
inner wisdom. Thus, individuals and society in Indonesia, doing an act is usually implemented
in cooperation (gotong-royong), based on the principle of family and deliberation. Things like
this show good deeds. A good deed is always governed by Inner wisdom to realize the happiness
of the world and hereafter.
These good deeds do not just happen, but are driven by a great attitude also. A good attitude can
only be achieved by true and proper thinking. Think properly and truth can be obtained by
understanding our realities as one single entity, dependent and integral (as has been discussed in
the second point above). In the context of the social sciences, the good deeds led by inner
wisdom can only be translated into research by using proper methods, i.e., the research object,
methods of data collection, the techniques of analysis and synthesis of the data.
Objects of Research
The socio-political basis, in the fourth point, we choose representatives who will sit in the
Parliament. We will definitely choose representatives who are statesmen, so that (s)he is able to
bring the people's aspirations and implement them properly, correctly and with accountability.
The same logic we apply in the context of this research, we can choose the object of research in
the society where we conduct the research.
The criterion of the research object are the farmers in the villages, i.e. people who think, behave
and act in accordance with the values that are passed on by the elders and by their ancestors, that,
if we associate in the context of the state, the attitude and a way of life based on the philosophy
of Pancasila. People who are consistent in this life get a gift from God, that of always living in
simplicity and with the realization of self-productivity, work well done, and to be accountable for
the realization of societal happiness in the world and hereafter, and for scientific developments.
As expressed by Chodjim (2007, p. 38), man is a reflection of God. Therefore, people think,
behave and do well and have proper accountability to realize inner happiness and the hereafter
(afterlife), that is in line with God, in order to be called a perfect man. The perfect man is living
on this earth. Only a small portion of such people are recognized and known by human beings,
like the prophets, the Apostles and other envoys that are chosen by God. While most of them are
unknown and unnoticed by society, such as farmers, fishermen, workers, merchants, or other
professions. They are humans who are realizing the productivity itself to prosper the earth
without strings attached, living in the world, but not shackled by the pleasures of the world.
Technically, we use rasa to lead senses to capture the innate nature of the perceived self of the
research object. As a result, we confirm through interviews using a reasonable mind to know
values, to understand and live within the research object that is attached to thoughts, attitudes
113
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
and actions. Because rasa is used a guidance and criteria for the senses and mind, thus rasa
becomes the criteria of trustworthy, or a measure of the adequacy of data (see Triyuwono 2012,
p. 308).
In the context of research, mainly in accounting, thought and research, can nurture, educate, and
cultivate good researchers, students, lecturers or accounting practitioners (Indonesia) in the
paradigm of Pancasila and MWN, thus can consistently generate science, including concepts and
practices of accounting that contains the reality of physical, mental, spiritual, the attributes of
God, and Absolute Reality to realize the social justice. That way, we can ensure the sustainability
of the natural environment and avoid exploitation that tends to deplete natural resources and
damaging the natural environment. When a sustainable natural environment, not only can
guarantee the fulfillment of the needs of our lives today and in the days of old, but can guarantee
the needs of the young generation who are born to live and grow in the future.
It describes the purpose of the science, the concept and practice of accounting based on
Pancasila, referred to by the term axiology (Thoha 2005, p. 85), or values that become part of the
philosophical aspects of the basic proposal of paradigm (Guba and Lincoln 2011, p. 212, 215).
114
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
The term axiology has not been much discussed in the process of research to generate a social
science. For example, the work of Burrell and Morgan (1979) and Chua (1986), generally
discusses the process of with basic philosophical research, namely ontology, epistemology and
methodology (methods). Guba and Lincoln (2011) already discuss aspects of axiology, but is still
limited to allegations, so that axiology are classified as basic beliefs. In the reading of them both
(Guba and Lincoln) axiology is the part that converges in a research paradigm, not part of a
separate or be separated from the paradigm. The process of research takes place, as we have
discussed above, within a paradigm of Pancasila which includes ontology, epistemology,
methodology, methods, and the axiology of research as one single entity (dependent and
integral).
REFERENCES
Abbas, Anwar, 2010, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Abidin, Zainal, 2006, Filsafat Manusia; memahami manusia melalui filsafat, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Bisman, Jayne, 2010, Postpositivism and Accounting Research: A (Personal) Primer on Critical
Realism, Australasian Accounting, Business and Finance Journal, vol. 4, no. 4, pp. 3-25.
Bratton, William G, 1989, The New Economic Theory of the Firm: Critical Perspectives from
History, Stanford Law review Journal, vol. 4, no. , 1471-1527
Burrell, Gibson and Gareth Morgan, 1994, Sociological Paradigms and Organisational Analysis:
Elements of the Sociology of Corporate Life, Arena.
Chodjim, Achmad, 2013, Syekh Siti Jenar; Makna Kasunyatan, Serambi, Jakarta.
-----------, 2011, Al-Fatihah; Membuka mata batin dengan surah pembuka, Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta.
-----------, 2002, Syekh Siti Jenar; Makna Kematian, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
-----------, 2007, Syekh Siti Jenar; Makrifat dan Makna Kehidupan, Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta.
Christenson, Charles, 1983, The Metodology of Positive Accounting, The Accounting Review,
vol. 28, no. 1, pp. 1-22.
Chua, Wai Fong, 1986, Radical Developments in Accounting Thought, The Accounting Review,
vol. LXI, no. 4, pp. 601-632.
Creswell, Jhon W, 2014, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Edisi Ketiga, Edisi Bahasa
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Darmodiharjo, Darji, 1984, Pancasila; Suatu Orientasi Singkat, Aries Lima, Jakarta.
Denzin, Norman K dan Yvonna S Lincoln, 2011, The Sage Handbook of Qualitatif Reasesrch,
Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1961, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta.
Estes, Ralph, 2005, Tyranny of the Bottom Line, Edisi Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Gaffikin, M, 2007, Accounting Research and Theory: The age of neo-empiricism, Australasian
Accounting, Business and Finance Journal, vol. 1no. 1 pp. 1-19.
Guba, Egon G dan Yvonna S Lincoln, 2011, Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi, dan Arus
Perpaduan baru, The Sage Handbook of Qualitatif Reasesrch, Editor; Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
115
AABFJ | Volume 12, no. 1, 2018
Greenwood, David J dan Morten Levin, 2011, Reformasi Ilmu-ilmu Sosial dan Perguruan Tinggi
Melalui Penelitian Tindakan, The Sage Handbook of Qualitatif Reasesrch, Editor;
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Edisi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hartono, Jogiyanto dan Dewi, Ratnaningsih, 2007, Usulan Topik-topik
Riset Akuntansi Keuangan dan Pasar Modal, dipresentasikan di seminar nasional
di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hatta, Mohammad, 1978, Pengertian Pancasila, PT. Inti Idayu Press. Jakarta
---------, 1979, Ekonomi Terpimpin, Penerbit: Mutiara, Jakarta.
Jensen, Michael C, 1972, Capital Markets: Theory and Evidence, The Bell Journal of Economics
and Management Science, Vol. 3, Issue 2, pp. 357-398. https://doi.org/10.2307/3003029
Jensen, Michael C and William H, Meckling, 1982, Reflections the Corporatioan as a Social
Invention, Controlling the Giant Corporation: A Symposium, Center for Research in
Government Policy and Business, Graduate School of Management, University of
Rochester.
Kamayanti, Ari, 2016, Metodologi Penelitian Kualitiatif Akuntansi; Pengantar Religiositas
Keilmuan, Yayasan Rumah Peneleh, Malang.
Kuhn, Thomas S, 2012, The Structure of Scientific Revolutions, Edisi bahasa Indonesia, Remaja
Rosdakarya, Bandung. https://doi.org/10.7208/chicago/9780226458144.001.0001
Kuntowijoyo, 2007, Islam Sebagai Ilmu; epistemologi, metodologi, dan etika, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Mangunpranoto, Sarino, 1981, Dasar Filsafat Ekonomi Pancasila, Ekonomi Pancasila, BPFE;
UGM, Yogyakarta.
Mubyarto, 1987, Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta.
Nataatmadja, Hidayat, 1985, Siapakah Aku, Majalah Mawas Diri, Kumpulan karangan terpilih
1974-1997, Yogyakarta.
Notonagoro, 1971, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta.
Poespowardoyo, Soerjanto, 1981, Orientasi Kemanusiaan dalam Ekonomi Pancasila, Wawasan
Ekonomi Pancasila, UI-Press, Jakarta.
Rahardjo, M Dawam, 1981, Sistem Ekonomi Pancasila dan Wawasan Nusantara, Wawasan
Ekonomi Pancasila, UI-Press, Jakarta.
Smith, Linda T, 2011, Menapaki Jalan yang Licin; Meneliti Kaum Pribumi pada Zaman
Ketakpastian, The Sage Handbook of Qualitatif Reasesrch, Editor; Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, Edisi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soekarno, 1964, Camkan Pancasila!; Pancasila Dasar Falsafah Negara, Departemen
Penerangan RI, Jakarta.
Suhartono, Suparlan, 2005, Filsafat Ilmu Pengetahuan; persoalan eksistensi dan hakikat ilmu
pengetahuan, Ar-Ruzz Media Group, Yogyakarta.
Sunoto, 1982, Mengenal Filsafat Pancasila; Etika Pancasila, BPFE-UII, Yogyakarta.
---------, 1991, Mengenal Filsafat Pancasila I; Pendekatan Melalui Metafisika, Logika dan Etika,
Hanindita, Yogyakarta.
Thoha, Mahmud, 2004, Paradigma Baru Ilmu pengetahuan Sosial dan Humaniora, Teraju,
Jakarta.
Triyuwono, Iwan, 2012, Akuntansi Syariah; Perspektif, Metodologi dan Teori, Edisi Kedua, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
116
Salampessy, Triyuwono Irianto, & Hariadi | Pancasila Paradigm and Methodology of Wawasan Nusantara
Watts, Ross L and Jerold L Zimmerman, 1979, The Demand for and Supply of Accounting
Theories; The Market for Excuses, Journal of The Accounting Review, vol. 24, no. 2, pp.
300-301.
Weber, Max, 2006, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wilujeng, Sri Rahayu, 2006, Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche; Epistemologi Kiri, Ar-
Ruzz Media Group, Yogyakarta.
Yususfian, Hasan dan Ahmad H. Sharifi, 2011, Akal dan Wahyu; tentang Rasionalitas dalam
Ilmu, Agama dan Filsafat, Sadra Press. Jakarta.
117
KONTRIBUSI TINGKAT PEMAHAMAN KONSEPSI WAWASAN
NUSANTARA TERHADAP SIKAP NASIONALISME DAN KARAKTER
KEBANGSAAN
Ancaman dan tantangan dari luar pun tak kalah hebat, terutama tantangan
globalisme berupa semakin meluasnya sistem demokrasi liberal pada berbagai bidang
kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan- keamanan,
yang tak pelak membawa krisis multi-dimensional. Keseluruhan ancaman dan tantangan
tersebut, telah menimbulkan ketegangan dan tarik ulur kekuatan antara nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom) versus nilai-nilai global mondial.
Faktualitas di atas, menjadi dasar pemikiran dari para akademisi mengajak
revitalisasi nation and character building melalui medium pendidikan sebagai upaya
pembinaan dan pengembangan nilai-nilai nasionalisme dan karakter kebangsaan
(Suyatno, 2009: Puskur, 2010). Khusus pada lingkup pendidikan tinggi, telah ditetapkan
UU RI No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang secara eksplisit
menyebutkan bahwa kurikulum nasional setiap perguruan tinggi wajib memuat mata
kuliah Pancasila, Kewarganegaran, Agama dan Bahasa Indonesia. Tanpa bermaksud
mengabaikan urgensi tiga mata kuliah wajib lainnya, Pendidikan Kewarganegaraan
menjadi sangat urgen di tengah situasi kehidupan bangsa dan negara Indonesia saat ini.
Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman, perlu dikembangkan substansi kajian
yang memungkinkan pelaksanaan perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi berjalan efektif dan berfungsi sebagai medium pembinaan mahasiswa
sebagai generasi penerus bangsa yang peduli dengan keutuhan dan eksistensi
kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan ini,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(2013), dalam substansi materi Pendidikan Kewarganegaraan tetap menghadirkan
materi Wawasan Nusantara sebagai salah topik yang diharapkan dapat memperkuat
kesadaran mahasiswa akan pentingnya persatuan Indonesia dan keutuhan NKRI.
Ditinjau dari kronologis istilahnya, sebenarnya telah sejak lama pemikir- pemikir
bangsa Indonesia mengembangkan suatu konsep yang kini dikenal dengan nama
Wawasan Nusantara. Penggunaan istilah ini baru muncul dalam seminar Pertahanan
1
Keamanan pada tahun 1966. Namun Wawasan Nusantara yang dilahirkan dalam
seminar itu belum merupakan suatu konsepsi sebagaimana yang dikenal sekarang,
melainkan baru merupakan suatu wawasan bagi pengembangan kekuatan pertahanan
keamanan. Atas dasar perkembangan dari urgensi wawasan tersebut, kini
konsepsiWawasan Nusantara telah ditetapkan sebagai geopolitik Indonesia dengan
cirinya yang khas sebagai archipelago state. Lemhanas (1994), mengartikan Wawasan
Nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya
berdasaran ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia 1945, yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat
dan bermartabat, serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam
mencapai tujuan perjuangan nasional.
Pengertian di atas, sekaligus menggambarkan bahwa Wawasan Nusantara bukan
hanya konsepsi yang menekankan pada pengembangan kekuatan pertahanan keamanan,
melainkan sebagai petunjuk operasional tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kehidupan bangsa serta sekaligus merupakan faktor integrasi dalam
penyelenggaraan fungsi-fungsi politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan, sehingga daya dan dana di keempat bidang fungsi itu dapat dipacu secara
serentak dan didayagunakan secara terpadu dalam memberikan hasil yang maksimal
bagi pembangunan nasional. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Wahyono (1982: 22)
bahwa konsepsi geopolitik khas Indonesia yang kemudian dirumuskan menjadi doktrin
dasar yang diberi nama Wawasan Nusantara adalah untuk mewujudkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang dalam
kesemestaannya merupakan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan untuk mencapai tujuan nasional segenap potensi darat, laut dan
angkasa secara terpadu.
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi geopolitik, menekankan kesadaran bagi
warga negara akan pentingnya wilayah sebagai ruang hidup (living space), sekaligus
menumbuhkan sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Sikap nasionalisme ini mendorong
masyarakat untuk mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan
golongan, serta mendorong bangsa Indonesia untuk menunjukan harkat dan martabatnya
diantara bangsa-bangsa lain di dunia. Yudohusodo (1995:93) menjelaskan bahwa
2
semangat nasionalisme ini sangat diperlukan untuk tetap menjaga integritas dan
identitas bangsa Indonesia, semangat nasionalisme yang mendorong bangsa Indonesia
untuk siap bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya.
Selain itu, Wawasan Nusantara sebagai konsepsi juga dirumuskan sebagai salah
satu usaha dalam rangka menumbuhkan dan membentuk karakter kebangsaan generasi
muda. Setiawan dan Setiawan (2014:1), memaknai karakter sebagai cara berpikir dan
berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap
akibat dari keputusannya.
Dari paparan di atas, dapat diambil makna bahwa konsepsi Wawasan Nusantara
sangat penting untuk terus disosialisasikan dan diinternalisasikan di kalangan
masyarakat luas, terutama bagi mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang
menentukan kejayaan dan keunggulan bangsa Indonesia. Melalui pemahaman konsepsi
Wawasan Nusantara, sikap nasionalisme dikalangan mahasiswa
ditumbuhkankembangkan dalam menjaga integritas dan keutuhan bangsa serta dalam
membentuk karakter kebangsaan (Suseno,1995).
Melalui pendidikan formal, mahasiswa telah mengenal Indonesia dengan konsepsi
Wawasan Nusantaranya. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana nilai-
nilai nasionalisme dan semangat kebangsaan yang terkandung dalam konsepsi tersebut
dapat menginternalisasi ke dalam jiwa. Nilai yang ada pada jiwa sebagai sesuatu yang
berharga menjadi landasan dalam menentukan perbuatan baik-buruk benar- salah atau
yang biasa disebut dengan moral (Kirschenbaum,1995). Terlebih pada era modernisasi
dan globalisasi dewasa ini. Kemajuan teknologi dan komunikasi massa, selain
memberikan dampak positif juga telah membawa dampak negatif yang tidak sedikit,
seperti konsumerisme, individualisme, hedonisme dan westernisasi yang dapat merusak
moral karakter kebangsaan sekaligus mengikis semangat nasionalisme di kalangan
mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan pemahaman
mahasiswa terhadap konsepsi wawasan nusantara secara umum berada pada tingkat
sedang yakni 40,84 %, disusul kemudian dengan tingkat pemahaman yang rendah 31,67
3
% dan tingkat tinggi hanya 27,49 %; (b) kecenderungan sikap nasionalisme mahasiswa
secara umum berada pada tingkat sedang yakni 38,34 %, disusul kemudian dengan
sikap nasionalisme yang berada pada tingkat tinggi 31,66 % dan tingkat rendah 30,00
%; (c) kecenderungan karakter kebangsaan mahasiswa secara umum berada pada
tingkat rendah yakni 45,83 %, disusul kemudian dengan karakter kebangsaan yang
berada pada tingkat tinggi 27,50 % dan tingkat sedang 26,67 %; (d) pemahaman
mahasiswa mengenai konsepsi wawasan nusantara memiliki korelasi yang kuat dengan
sikap nasionalisme dengan rhitung sebesar 0,853. Hal ini menunjukkan, hipotesis yang
berbunyi: terdapat korelasi antara pemahaman konsepsi wawasan nusantara dengan
sikap nasionalisme mahasiswa, dapat diterima; (e) pemahaman mahasiswa mengenai
konsepsi wawasan nusantara memiliki korelasi yang sedang dengan karakter
kebangsaan dengan rhitung sebesar 0,683. Hal ini menunjukkan, hipotesis yang
berbunyi: terdapat korelasi antara pemahaman konsepsi wawasan nusantara dengan
karakter kebangsaan mahasiswa, dapat diterima. Data ini menjadi temuan, perlunya
rancangan pembelajaran yang inovatif dalam mata kuliah Kewarganegaraan, khususnya
dalam penyampaian materi wawasan nusantara melalui pembelajaran kontekstual
(contextual learning). Penyajian materi konsepsi wawasan nusantara dengan
mengangkat kasus-kasus faktual dapat menjadi stimulus bagi mahasiswa dalam
memahami konsepsi wawasan nusantara, penginternalisasian nilai-nilai nasionalisme
dan karakter kebangsaanya.
4
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, R. 1995. Pemantapan Jiwa Nasionalisme Menghadapi Era Globalisasi
dan Abad ke XXI, termuat dalam Siswono Yudohusodo, dkk., Nasionalisme
dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Yayasan Widya Patria.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina
Aksara.
Brist, A.H., 2012. The Effect of A Contextual Approach to Chemistry Instruction on
Students’ Attitudes, Confidence, and Achievement in Science. Montana:
Montana State University.
Buchori, M. 2007. Character Building dan Pendidikan Kita.
(http://www.kompas.co.id/kompas- cetak/0607/26/opini/2836169.htm).
Edward S.A.L 1957. Technique of Attitude Scale Construction. New York : Apleton-
Century-Crofts Inc.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
2013. Substansi Materi Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Kementerian P
dan K Dirjen Dikti.
Kirschenbaum, H. 1995. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and
Youth Settings. Massachusetts: Allys & Bacon.
Kusumaatmadja, M. 1978. Hukum Laut Internasional. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman.
Lamhanas. 1994. Kewiraan untuk Mahasiswa. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud dan
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukuranya. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Noor, J. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : Kencana.
Nurosis, J.M. 1986. SPSS/PC+ FOR
IMBPC/XT/AT/. Chicago. : SPSSInc.
PUSKUR. 2010. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: PUSKUR.
Setiawan, D. dan Fandi F. 2014. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif
Kewarganegaraan. Medan : Larispa.
5
Supranoto, H. 2016. Pengaruh Contextual Teaching and Learning Teknik Praktek Jual
Beli Terhadap Kemampuan Mahasiswa Memahami Akuntansi Prodi Pendidikan
Ekonomi UM Metro. Jurnal Promosi Jurnal Pendidikan Ekonomi UM Metro.
Vol. 4. No. 2 Hlm. 36-42.
Suseno, F.M. 1995. Persatuan Indonesia, Pancasila, Paham Kebangsaan, dan Integrasi
Nasional termuat dalam Alex Dinuth (Penyunting), Menanggapi Tantangan
Masa Depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suyatno. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter.
Jakarta: Depdiknas.
Sylker, T. dan Kiyoshi, T. 2014. Contextual Teaching and Learning Using A Card
Game Interface. International Journal of Asia Digital Art and Design.
6
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
Deny Setiawan*
Abstract
This study aimed to obtain factual understanding of the contribution rate of conception archipelago insight on the
attitudes of nationalism and national character of students, as well as the correlation between the variables of the
study. The method used is a method deskriprif to describe phenomena or realities which occurred. Population is
Medan State University students who are conducting lectures Citizenship as one of the Personality Development
Course (MKPK) FY 2015/2016 which amounted to 1,200 people. Samples were taken at random (random sampling)
and is set at 10%. Thus the sample is numbered 120 students. Data collection techniques in research using cognitive
tests, scale and symptoms attitude continuum. Data analysis technique using trend analysis and correlation analysis
were tested using Pearson correlation aided software SPSS 22.0 for windows in column analyze the significance level
of 1%. The results showed: (1) the tendency of students' understanding of the general conception of insight
archipelago is at a medium level ie 40.84%; (2) the tendency of nationalism students in general are at a moderate
level ie 38.34%; (3) the tendency of students in general national character is at a low level which is 45.83%; (4) the
student's understanding of the conception of insight archipelago has a strong correlation with the attitude of
nationalism, namely the count r of 0.853; and (5) the student's understanding of the conception of insight archipelago
24
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
has a moderate correlation with the national character, the count r of 0.683.
25
Deny Setiawan, Kontribusi Tingkat Pemahaman Konsepsi Wawasan Nusantara terhadap Sikap Nasionalisme
26
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
27
Deny Setiawan, Kontribusi Tingkat Pemahaman Konsepsi Wawasan Nusantara terhadap Sikap Nasionalisme
28
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
29
Deny Setiawan, Kontribusi Tingkat Pemahaman Konsepsi Wawasan Nusantara terhadap Sikap Nasionalisme
30
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
31
Deny Setiawan, Kontribusi Tingkat Pemahaman Konsepsi Wawasan Nusantara terhadap Sikap Nasionalisme
32
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9 (1) (2017): 24-33
Noor, J. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : Suyatno. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter.
Kencana. Jakarta: Depdiknas.
Nurosis, J.M. 1986. SPSS/PC+ FOR Sylker, T. dan Kiyoshi, T. 2014. Contextual
IMBPC/XT/AT/. Chicago. : SPSSInc. Teaching and Learning Using A Card
PUSKUR. 2010. Pendidikan Budaya dan Karakter Game Interface. International Journal of
Bangsa. Jakarta: PUSKUR. Asia Digital Art and Design. Vol. 18. Vol. 2.
Setiawan, D. dan Fandi F. 2014. Pendidikan P. 18-23.
Karakter Dalam Perspektif UPT MKU UNIMED. 2015. Mata Kuliah
Kewarganegaraan. Medan : Larispa. Pengembangan Kepribadian. Medan: UPT
Supranoto, H. 2016. Pengaruh Contextual MKU UNIMED.
Teaching and Learning Teknik Praktek Wahyono, S.K. dkk. 1982. Wawasan Nusantara.
Jual Beli Terhadap Kemampuan Jakarta : Surya Indah.
Mahasiswa Memahami Akuntansi Prodi Yudohusodo, S. 1995. Peningkatan Semangat
Pendidikan Ekonomi UM Metro. Jurnal Kebangsaan dan Pelestarian Bhineka
Promosi Jurnal Pendidikan Ekonomi UM Tunggal Ika termuat dalam Siswono
Metro. Vol. 4. No. 2 Hlm. 36-42. Yudohusodo, dkk., Nasionalisme
Suseno, F.M. 1995. Persatuan Indonesia, Indonesia dalam Era Globalisasi.
Pancasila, Paham Kebangsaan, dan Yogyakarta: Yayasan Widya Patria.
Integrasi Nasional termuat dalam Alex
Dinuth (Penyunting), Menanggapi
Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
33
UJIAN AKHIR SEKOLAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH :
ABETO
19031121
DOSEN PENGAMPU :
RAHMULIANI FITHRIAH, S.Pd, M.Hum.
2021
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN NUSANTARA
Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapaiNirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu:
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri.
3. Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah.
4. Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5. Jangan mjnum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5 Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila
yaitu:
1. Sosio Nasional : Nasionalisme dan Internasionalisme;
2. Sosio Demokrasi : Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat;
3. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila
atauSatusila yang intinya adalah Gotong Royong.
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapaiNirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu:
1) Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2) Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3) Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4) Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5) Jangan mjnum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi
Ekasila atau Satusila yang intinya adalah Gotong Royong. Secara etimologis, Wawasan
Nusantara berasal dari kata Wawasan danNusantara. Wawasan berasal dari kata Wawas
(bahasa jawa) yang berarti pandangan, tinjauan dan penglihatan indrawi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid Priyatna. Orbit Geostationer sebagai Wilayah Kepentingan Nasional
GunaKelangsungan Hidup Indonesia. LEMHANNAS. (1983).
Amal, Ichlasul dan Asmawi, Armaidy. Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi
KetahananNasional. Gajah Mada University Press. (1995).
Amudji, S. Demokrasi Pancasila dan Tannas Suatu Analisis di Bidang
Politik danPemerintah. Bina Aksara. (1985).
Bachtiar, Rifai. T.B. Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi.Gramedia.
(1986).
Barnet, Richard J. dan John Cavanagh. Global Dreams. New York: Simon And
Schuster. (1995).
Barzelay, M. Breaking Trough Bureaucracy: an New Vision for Managing in
Government. LA:University of California Press. (1992).
Danusaputro Munadjat. ST. Wawasan Nusantara (dalam Ilmu Politik dan
Hukum) Buku
I. Alumni Bandung. . (1978).
Lopa, Baharuddin. Pola Implementasi Wawasan Nusantara (dengan Kata Sambutan
Menteri Dalam Negeri). Ujung Pandang Intisari. Kartasasmita, Ginandjar.
Jakarta. Media Indonesia: (1985)
Moeljarto,T. Seminar Pembangunan Sosial dan Politik Menuju ke Arah Peningkatan
KetahananNasional. Fakultas Sosial dan Politik UGM. (1981)
Pandoyo, Toto S. Wawasan Nusantara dan Implementasi dalam UUD 1945 serta
PembangunanNasional. Bina Aksara. (1981).
Sumardiman, Adi. Wawasan Nusantara. Cetakan 1. Surya Indah. (1982).
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN NUSANTARA
Oleh: Rodi Aminullah dan Muslihul Umam
ABSTRAK
Pembahasan tentang Wawasan Kebangsaan merupakan suatu hal yang penting dan mutlak
harus selalu dilakukan secara terus menerus sejalan dengan dinamika proses kehidupan
berbangsa dan bernegara. Wawasan kebangsaan dapat dianggap sebagai ruh atau jiwa atau
semangat dari kehidupan berbangsa yang tentu saja akan mewarnai dan bahkan ikut
menentukan eksistensi dan maju mundurnya suatu negara. Negara yang antara lain ditandai
oleh kesatuan teritori boleh susut atau hancur tetapi dengan jiwa dan semangat kebangsaan
yang tetap berkobar dengan daya juang tinggi maka eksistensi suatu bangsa tetap dapat
dipertahankan dan diakui oleh bangsa-bangsa lain. Sebaliknya jika jiwa dan semangat
kebangsaan dari suatu bangsa telah luntur atau apalagi telah hilang, maka pada hakikatnya
eksistensi dari bangsa dan negara yang bersangkutan telah tidak ada lagi, walaupun
barangkali secara fisik administratif bangsa dan negara tersebut masih berdiri.
Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus juga sebagai falsafah atau pandangan hidup
bangsa Indonesia pada dasarnya dapat merupakan instrument utama dalam
menumbuhkembangkan zvawasan kebangsaan Indonesia. Sebagai instrumen Pancasila akan
selalu melekat sepanjang masa sejalan dengan keberadaan dan gerak pasang naik dan pasang
turunnya kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
A. Latar Belakang
Setiap bangsa mempunyai wawasan kebangsaan yang merupakan visi bangsa yang
bersangkutan menuju ke masa depan. Kehidupan berbangsa dalam suatu negara memerlukan
suatu konsep cara pandangan atau wawasan kebangsaan yang bertujuan untuk menjamin
kelangsungan kehidupan dan keutuhan bangsa dan wilayahnya serta jati diri bangsa itu.
Bangsa yang dimaksudkan adalah bangsa yang bernegara. Perkembangan pemikiran bangsa
Indonesia mengenai wawasan yang akan dianut dalam kehidupan bernegara dapat diikuti
dalam sejarah pergerakkan kemedekaan sejak tahun 1908, yaitu sejak kita sadar akan rasa
kebangsaan. Inti dari wawasan nasional yang disebut wawasan nusantara adalah tekad untuk
bersatu yang didasarkan pada cita-cita dan tujuan nasional.
Konsep wawasan nusantara (dalam Rahayu, A.S, 2014, hlm. 117) merupakan cara
pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD
Tahun 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa
dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
1
Dengan demikian, wawasan nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia
dalam penyelenggaraan kehidupannya serta sebagai ramburambu dalam perjuangan mengisi
kemerdekaannya. Wawasan nusantara sebagai cara pandangan juga mengajarkan bagaimana
pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan
negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Secara keadaanya pun, isi nilai-nilai
wawasan nusantara telah tertuang dalam dasar negara yaitu Pancasila dan pembukaan UUD
tahun 1945.
Derasnya pengaruh globalisasi, bukan mustahil akan mempengaruhi adat budaya yang
menjadi jati diri kita sebagai suatu bangsa dan akan melemahkan paham nasionalisme. Paham
nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa loyalitas tertinggi terhadap
masalah duniawi dari setiap warga bangsa ditunjukan kepada negara dan bangsa. Meskipun
dalam awal pertumbuhan nasionalisme diwarnai oleh slogan yang sangat terkenal, yaitu:
liberty, equality, fraternality yang merupakan pangkal tolak nasionalisme yang demokratis,
namun dalam perkembangannya nasionalisme pada setiap bangsa sangat diwarnai oleh nilai-
nilai dasar yang berkembang dalam masyarakatnya masing-masing, sehingga memberikan
ciri khas bagi masing-masing bangsa.
Wawasan kebangsaan Indonesia memberi peran bagi bangsa Indonesia untuk proaktif
mengantisipasi perkembangan lingkungan dengan memberi contoh bagi bangsa lain dalam
membina identitas, kemandirian dan menghadapi tantangan dari luar tanpa konfrontasi
dengan meyakinkan bangsa lain bahwa eksistensi bangsa merupakan aset yang diperlukan
dalam mengembangkan nilai kemanusiaan yang beradab Sumitro (dalam Suhady, I. dan
Sinaga, 2006).
Adapun nilai wawasan kebangsaan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan
bangsa memiliki enam dimensi manusia yang bersifat mendasar dan fundamental yaitu:
2. Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka dan bersatu;
5. Kesetiakawanan sosial;
6. Masyarakat adil dan makmur. Maka bagi bangsa Indonesia, untuk memahami bagaimana
wawasan kebangsaan, perlu memahami secara mendalam falsafah Pancasila yang
mengandung nilai-nilai dasar yang akhirnya dijadikan pedoman dalam bersikap dan
bertingkah laku yang bermuara pada terbentuknya karakter bangsa.
Menurut Modul Pendidikan Dan Pelatihan Prajabatan Golongan III (2006, hlm. 109)
Apabila disimak esensi wawasan kebangsaan tersebut, maka yang paling mendasar dituntut
kepada orang per orang, kelompok dan atau masyarakat adalah :
1. Adanya komitmen yang benar-benar dilandasi dengan semangat kebersamaan, senasib dan
sepenanggungan;
2. Adanya semangat persatuan dan kesatuan untuk menghadapi berbagai tantangan baik
lokal, regional maupun internasional yang senantiasa dilandasi cita-cita bersama yang terkait
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) harkat kemandirian bangsa. Generasi muda mempunyai peran yang semakin
konkrit dalam dinamika pembangunan bangsa. Aktualisasinya sudah menjangkau ke
segala bidang, baik politik, sosial, dan budaya, maupun ekonomi.
Para kaum muda adalah penerus cita-cita dan perjuangan bangsa yang harus
mampu menjadi penggerak dari progress pembangunan nasional. Karena kaum muda
Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai
Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
- Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai rumusan Pancasila
sebagai Dasar Negara.
- Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, kemudian
keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 termasuk Pembukaannya
dimana didalamnya terdapat rumusan 5 Prinsip sebagai Dasar Negara yang duberi nama
Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi
walaupun pada Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang
dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini didaarkan interprestasi
(penjabaran) historis terutama dalam rangka pembentukan Rumusan Dasar Negara.
1. Hirarkis (berjenjang);
2. Piramid.
adalah yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai
berikut:
1. Prikebangsaan;
2. Prikemanusiaan;
3. Priketuhanan;
4. Prikerakyatan;
yang disampaikan pada tangal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, sebagai berikut:
1. Nasionalisme/Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme/Prikemanusiaan;
3. Mufakat/Demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial;
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5 Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila yaitu:
3. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila atau
Satusila yang intinya adalah Gotong Royong.
3. Persatuan Indonesia;
Jadi Nusantara adalah kesatuan kepulauan yang terletak antara dua benua, ian yaitu
benua Asia dan Australia, dan dua samudra, yaitu samudra Hindia dan Pasifik. Berdasarkan
pengertian modern, kata “nusantara” digunakan sebagai pengganti nama Indonesia.
Sedangkan terminologis, Wawasan menurut beberapa pendapat sebagai berikut :
a. Menurut prof. Wan Usman, “Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa
Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauan dengan semua
aspek kehidupan yang beragam.”
b. Menurut GBHN 1998, Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c. Menurut kelompok kerja Wawasan Nusantara untuk diusulkan menjadi tap. MPR,
yang dibuat Lemhannas tahun 1999, yaitu “cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam
penyelenggaraan kehipan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai
tujuan nasional”.
Kita memandang bangsa Indonesia dengan Nusantara merupakan satu kesatuan. Jadi,
hakikat Wawasan Nusantara adalah keutuhan dan kesatuan wilayah nasional. Dengan kata
lain, hakikat Wawasan Nusantara adalah “persatuan bangsa dan kesatuan wilayah. Dalam
GBHN disebutkan bahwa hakikat Wawasan Nusantara diwujudkan dengan menyatakan
kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, social budaya, dan pertahanan
keamanan.
Untuk menjamin persatuan dan kesatuan Dalam kebhinekaan tersebut merupakan cara
pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang dikenal dengan istilah
Wawasan Kebangsaan yang diberi nama Wawasan Nusantara.Ada dua landasan yang
mengenai dasar wawasan nusantara :
1. Landasan Idiil Pancasila Pancasila diakui sebagai ideology dan dasar Negara yang
dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Yang telah mencerminkan nilai-nilai
keseimbangan, keserasian, keselarasan, persatuan dan kesatuan, kekeluargaa,
kebersamaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional.
2. Landasan Konstitusional : UUD 1945 UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang
menjadi pedoman pokok dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terdapa Tiga Unsur Dasar yaitu : Wadah(Contour), isi ( Content), dan tata laku (Conduct)
2. Isi Isi adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta
tujuan nasional yang etrdapat dalam pembukaan UUD 1945.
3. Tata Laku Tata laku merupakan interaksi antara wadah dan isi yang terdiri dari,
tata laku batiniah dan tata laku lahiriah.
Selain itu, terdapat berbagai fungsi wawasan nusantara yang baik secara
umum, menurut pendapat para ahli dan pembagiannya antara lain sebagai berikut.
- Fungsi Wawasan Nusantara Menurut Cristine S.T. Kansil, S.H., MHDKK yang
mengutarakan pendapatnya dalam bukunya pendidikan kewarganegaraan di
perguruan tinggi antara lain sebagai berikut.
a. Membentuk dan membina persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia
- Fungsi wawasan nusantara sebagai pertahanan dan keamanan adalah pandangan geopolitik
Indonesia sebagai satu kesatuan pada seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.
- Fungsi wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan adalah pembatasan negara untuk
menghindari adanya sengketa antarnegara tetangga.
2. Keadilan.
3. Kejujuran.
Yang berarti keberanian berpikir,berkata dan bertindak sesuai realita serta ketentuan yang
benar biarpun realita atau ketentuan itu pahit an kurang enak didengarnya.
4. Solidaritas.
Yang berarti diperlukannya rasa seti kawan,mau memberi dan berkorban bagi orang lain
tanpa meniggalkan ciri dan karakter budaya masing-masing.
5. Kerja sama.
Berarti adanya koordinasi,saling pengertian yang didasarka atas kesetaraan sehingga kerja
kelompok,baik kelompok yang kecil maupun kelompok yang lebih besar dapat tercapai demi
terciptanya sinergi yang lebih baik.
6. Kesetiaan.
Kesetiaan terhadap kesepakatan bersama ini sangatlah penting dan menjadi tonggak utama
terciptanya persatuan dan kesatuan dalam keBhinekaan.Jika kesetiaan terhadap kesepakatan
bersama ini goyah apalagi ambruk,dapat dipastikan bahwa persatuan dan kesatuan dalam
keBhinekaan bangsa Indonesia akan hancur berantakan.Ini berarti hilangnya negara kesatuan
Indonesia.
7. Arah Pandang.
A. Arah pandang ke dalam, mengandung arti bahwa bangsa Indonesia harus peka
sertaberusaha untuk menahan dan mengatasi sedini mungkin hal-hal yang
- Mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras,
segenap aspek kehidupan nasional.
Pengertian istilah wajah adalah roman muka. Wajah manusia hanya satu, tetapi wajah
itu memiliki beberapa roman muka dan tiap roman muka berbeda satu dengan yang lain
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dalam hubungan itu dapat dikatakan bahwa
geopolitik Indonesia hanya satu yaitu Wawasan Nusantara (Wasantara). Tetapi wajahnya
lebih dari satu yaitu ada 4 wajah meliputi :
Kesimpulan
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai
Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
yang disampaikan pada tangal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, sebagai berikut:
6. Nasionalisme/Kebangsaan Indonesia;
7. Internasionalisme/Prikemanusiaan;
8. Mufakat/Demokrasi;
9. Kesejahteraan Sosial;
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5 Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila yaitu:
6. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila atau
Satusila yang intinya adalah Gotong Royong.
Secara etimologis, Wawasan Nusantara berasal dari kata Wawasan danNusantara. Wawasan
berasal dari kata Wawas (bahasa jawa) yang berarti pandangan, tinjauan dan penglihatan
indrawi.
1. Landasan Idiil Pancasila Pancasila diakui sebagai ideology dan dasar Negara yang
dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Yang telah mencerminkan nilai-nilai
keseimbangan, keserasian, keselarasan, persatuan dan kesatuan, kekeluargaa,
kebersamaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional.
2. Landasan Konstitusional : UUD 1945 UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang
menjadi pedoman pokok dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Amal, Ichlasul dan Asmawi, Armaidy. Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan
Nasional. Gajah Mada University Press. (1995).
Amudji, S. Demokrasi Pancasila dan Tannas Suatu Analisis di Bidang Politik dan
Pemerintah. Bina Aksara. (1985).
Bachtiar, Rifai. T.B. Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi.Gramedia. (1986).
Barnet, Richard J. dan John Cavanagh. Global Dreams. New York: Simon And Schuster.
(1995).
Barzelay, M. Breaking Trough Bureaucracy: an New Vision for Managing in Government. LA:
University of California Press. (1992).
Danusaputro Munadjat. ST. Wawasan Nusantara (dalam Ilmu Politik dan Hukum) Buku
I. Alumni Bandung. . (1978).
Lopa, Baharuddin. Pola Implementasi Wawasan Nusantara (dengan Kata Sambutan Menteri
Dalam Negeri). Ujung Pandang Intisari. Kartasasmita, Ginandjar. Jakarta. Media Indonesia:
(1985)
Moeljarto,T. Seminar Pembangunan Sosial dan Politik Menuju ke Arah Peningkatan Ketahanan
Nasional. Fakultas Sosial dan Politik UGM. (1981)
Pandoyo, Toto S. Wawasan Nusantara dan Implementasi dalam UUD 1945 serta Pembangunan
Nasional. Bina Aksara. (1981).
16