Anda di halaman 1dari 4

Perempuan Tua di Rumah Panggung

Deretan kebaya rumahan tergantung di belakang pintu kamarnya yang tak berkunci. Ada

putih gading, merah muda, abu-abu, dan lain-lain -semua berkesan kusam. Sebagian kecil

dari pakaian itu masih digunakannya dan sebagian lainnya sudah tergantung entah sejak

kapan. Bila anaknya ingin merapikan, ia selalu menolak, “Yang itu jangan dicuci, belum kotor.

Aku masih ingin memakainya.” Selalu begitu yang dikatakannya.

Suatu kali anaknya geregetan lalu diambilnya pakaian-pakaian itu saat sang ibu sedang tidur.

“Ke mana semua yang ada di belakang pintu?” tanya sang ibu agak kesal ketika bangun dan

didapatinya gantungan di balik pintu sudah kosong melompong.

“Aku cuci semua. Bisa jadi sarang nyamuk kalau kelamaan digantung, sarang penyakit.” Si ibu

diam saja dan selama tiga hari kemudian tidak menyapa anaknya.

Di dalam kamarnya memang banyak benda-benda. Di bawah dipan besi yang selalu berderit

ada beberapa kardus berisi barang-barang yang sudah tak terpakai dan beras dengan buah-

buahan diperam di dalamnya: sawo, srikaya, atau mangga yang semuanya dipetik dari

pekarangan. Buah-buah itu tidak dimakannya seorang diri melainkan ia bagikan pada Eni dan

anak-anak kecil yang biasa lewat atau bermain di depan rumah. Bila tak ada buah yang bisa

dibagi atau ketika buah-buah itu masih mentah ia akan bersedih dan hanya bisa menatap

bocah-bocah dari jendela kayu ruang tamu.

Di dalam kamar juga ada sebuah lemari kayu dengan pintu kaca. Di sana ia banyak menaruh

cendera mata: celak mata yang wadahnya terbuat dari kuningan tebal, sajadah, mukenah,

dan tasbih yang semuanya oleh-oleh dari Arab yang khusus dipakai ketika hari raya. Selain

itu, ada kain-kain, kebaya, dan semua pakaian yang tidak muat disimpan di lemarinya. Ada

juga alat-alat yang biasanya diletakkan di dapur tetapi lebih suka ditaruhnya di lemari itu,

seperti piring keramik, sendok, garpu, panci besar yang biasa dipakai bila ada acara di

rumahnya atau rumah tetangga, dan lain-lain.


Dari banyak benda dalam kamarnya ada yang sudah tidak dipakai dalam sepuluh tahun

terakhir dan mungkin nanti hingga akhir hayatnya. Tetapi ia suka memandanginya,

mengembalikan ingatan pada saat benda itu dibeli, oleh siapa saja pernah dipakai, dan

peristiwa-peristiwa yang dilalui bersama benda itu. Terkadang keponakan-keponakan yang

sekampung dengannya mengatakan bahwa ia adalah seorang yang pelit, tak suka berbagi

walau sekadar benda-benda tua dan hampir rusak. “Bila punya uang beli saja pakai uang

mereka! Mereka masih punya kaki dan tangan yang kuat kan, pakailah kaki tangan itu, jangan

bisanya tangan di bawah saja,” begitu katanya bila mendapat kabar dari Eni bahwa ia

dibicarakan orang-orang.

Beberapa tahun belakangan rumah itu lebih mirip cangkang. Ia semakin jarang keluar karena

mesti susah payah menggunakan kedua kakinya untuk berjalan. Apalagi rumah panggung itu

tidak begitu ramah pada orang yang sudah tua. Bila ia ingin melihat-lihat pekarangan, untuk

menuruni tangga kayu saja butuh beberapa menit bahkan tidak jarang perlu diawasi dan

dibantu anaknya. Sesekali ia akan terduduk di salah satu anak tangga untuk mengambil

napas padahal tangga itu hanya memiliki delapan anak.

“Tolong pungut dan petik asam di belakang rumah, aku ingin kirim lewat Jibril untuk ibu dan

bibinya,” katanya di dapur suatu kali.

“Jibril masih akan lama kembali ke kota, lagi pula sebulan lalu kita sudah mengirim banyak

asam lewat Yuval,” jawab Eni.

“Orang kita tidak bisa kalau tidak makan asam. Apalagi Mina dan Ria pasti banyak pakai.

Belum lagi kalau diminta tetangga atau mereka ingin memberi tetangga.”

“Tetangga di kota tidak saling kenal. Paling-paling nanti asamnya berjamur. Lagi pula suami

mereka kan orang Lombok, mereka jarang makan asam. ”

“Kalau bagus caranya menyimpan, tidak akan berjamur. Ini bukan tentang suami mereka, ini

tentang aku dan anak-anakku.”  Bila ibunya sudah berkata begitu, Eni akan langsung

menunaikan perintah. Kalau tidak dituruti sering kali ibunya “berdemonstrasi” dengan jalan

hanya makan sedikit dan mengurung diri dalam kamar.


Dengan dibantu anak-anak yang biasa bermain di pekarangan, sebaskom asam pun terkumpul.

Eni dan ibunya mengupas asam satu-persatu, itu membosankan bagi Eni. Pertama-tama kulit

asam harus diremukkan dengan cara membenturkannya ke lantai kayu. Lalu dikupas,

disingkirkan bijinya, dan disatukan sebesar kepalan tangan untuk tiap porsinya. Pekerjaan

itu bisa memakan waktu berjam-jam dan tentu saja ibunya tidak akan mampu. jadilah

pekerjaan itu dilanjutkan oleh Eni.

“Tidakkah kita perlu ke rumah Paman Risyad menanyakan madu? Sepertinya dia masih

punya.”

“Setelah membersihkan asam aku akan ke sana,” jawab Eni yang masih sibuk mengurus asam.

Tak ada tanggapan. Tak lama kemudian yang terdengar cuma suara mengorok ibunya.

Dua minggu lagi Jibril akan kembali ke kota. Neneknya kadang-kadang datang padanya atau

memanggilnya dari kamar. Neneknya mengerti bahwa sebagai seorang tua ia mesti tahu diri.

Keberadaannya saja mungkin sudah merupakan gangguan bagi orang muda, apalagi bila ia

menasihati cucunya itu.

Di zaman Jepang dulu, ia terpaksa menikah cepat karena setiap perawan di kampung akan

dibawa pasukan Jepang. Keperawanan akan membuatnya susah, jadi ia lebih memilih menjadi

istri ketiga. Lagi pula istri pertama suaminya lebih tua lima belas tahun dari sang suami dan

mereka tidak memiliki anak, sedang istri kedua sudah meninggal. Jadi alih-alih dipandang

sebagai perebut suami orang, ia lebih dianggap sebagai adik atau bahkan anak.

Di tahun-tahun awal pernikahannya ia sering mendapat kiriman masin, madu, terasi, ikan

asin, atau beras dari istri pertama suaminya. Bila bertemu di pasar -ketika ia pergi menjual

kelapa, telur, atau ayam- ia akan disapa lebih dahulu oleh sang istri pertama. Sebagai orang

yang lebih muda sapaan saja sudah membuat ia ketakutan.

Sekarang ketika ia memiliki kesempatan menjadi orang tua ia tidak ingin terlalu ikut campur

dalam kehidupan orang muda mana pun. Namun rupanya ia sendiri punya batas dari apa yang

dianggapnya ideal. Eni, salah satu anak perempuannya, memilih tinggal di kampung -dan tidak

merantau- karena melihat kondisi ibunya yang memang mulai lebih membutuhkan banyak

bantuan. Dulu ketika hampir menikah, Eni ragu-ragu melihat calon suaminya yang rupanya
tidak ingin tinggal di kampung, apalagi di rumah mertua. Calon suaminya itu ingin merantau.

Jadilah Eni tidak menikah sampai sekarang. Kadang-kadang perempuan tua itu ingin ajal

menjemputnya cepat-cepat agar Eni punya kesempatan menikmati hidupnya sendiri, tidak

seperti dirinya yang harus mengurus banyak hal sepanjang hidupnya.

“Nanta ga..,” katanya setiap kali ia ingat pada anaknya sekaligus pada dirinya sendiri.

***

Belencong, 2 Desember 2020 – 9 Februari 2021

Catatan:

1. Masin: sambal khas Sumbawa berbahan dasar udang kecil

2. Nanta ga/Nanta: kasihan

Anda mungkin juga menyukai