Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA TENTANG

IJTIHAD DAN PERANANNYA DALAM SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama


Dosen Pengampu : Hidayat Aji Pambudi S.Ag. M.A.

Disusun oleh :
1. Asrori Latif (195503641)
2. Aziz Kurniawan (195503646)
3. Inza Wahyu Wardana (195503879)
4. Hisbus Syawaludin Ikhwan (195503876)
5. Selviana (195503933)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA BANGSA
KEBUMEN 2019

i
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta Inayah–Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Pendidikan Agama berupa makalah tentang IJTIHAD DAN
PERANANNYA DALAM SUMBER HUKUM ISLAM
.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak: Hidayat Aji Pambudi S.Ag.
M.A. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan serta pihak–pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan


menambah wawasan bagi para pembaca mengenai materi IJTIHAD DAN
PERANANNYA DALAM SUMBER HUKUM ISLAM, serta menambah
kompetensi mahasiswa dalam pembuatan makalah.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak hal
yang tidak dapat kami susun, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca yang dapat membangun dalam penyempurnaan makalah ini.

Pejagoan, Oktober 2019

Penyusun

ii
COVER ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang masalah.................................................................... 1
BAB II PERMASALAHAN ......................................................................... 2
BAB III PEMBAHASAN
A. Devinisi Ijtihad ................................................................................ 3
B. Sejarah Ijtihad .................................................................................... 4
C. Objek Ijtihad ....................................................................................... 10
D. Manfaat dan Hukum Ijtihad ................................................................ 11
E. Ijtihad dan Peranan dalam Hukum Islam ............................................ 12
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... 14
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 15
Daftar Pustaka.................................................................................................... 16

iii
1
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Secara istilah ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang
sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang
ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid,
ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan
atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri,
ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang
semakin kompleks. Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad
yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad
yang lama. Bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah
status ijtihad yang lama. Hal itu seiring dengan kaidah ijtihad yang tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad pula. Berdasarkan pelaksanaan ijtihad bahwa sumber
hukum Islam menuntun umat Islam untuk memahaminya. Adapun sumber hukum
Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, hadis, ijma dan qiyas.
.

1
BAB II
PERMASALAHAN

A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijtihad ?
2. Darimana Sejarah Ijtihad ?
3. Apa saja Objek Ijtihad ?
4. Apa Manfaat dan Hikmah Ijtihad ?
5. Bagaiman Peranan Ijtihad dalam Hukum Islam ?

2
BAB III
PEMBAHASAN

A. Devinisi Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa arab berasal dari kata jahada artinya bersungguh-
sungguh atau mencurakan segala daya dalam berusaha. Dalam hubunganya
dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang ahli hokum
yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau
tidak ada ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulloh. Orang yang
berijtihad disebut Mujtahid. Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengem bangan
hukum islam. Ia adalah kewajiban umat islam yang memenuhi syarat karena
pengetahuan dan pengalamannya untuk menunaikannya. Kewajiban itu tercermin
dalam Sunnah Nabi Muhammad yang mendorong Mujtahid untuk berijtihad. (Ali,
2004: 114-116)
Nicolas P. Aghnides dalam Nasrudin Razak menyebut ijtihad sebagai “the
exercise off independent thought” (penggunaan pendapat bebas). (Nasruddin
Razak, 2006; 106). Menurut para ahli ushul fiqhi antara lain Imam asy-Syaukani
dan Imam asy-Zarkasy, ijtihad adalah mencurakan kemampuan untuk
mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan istinbath
(mengambil kesimpulan hukum).
Menurut Imam Al-Amidi dalam bukunya al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam
(penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad mencurakan semua
kemampuan untuk mencari syara’ yang bersifat dzanni (dugaan) sampai merasa
dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuan itu. Secara terminologis
berarti suatu pekerjaan yang mempergunakan segala
kesanggupan daya rohaniya untuk mengeluarkan hukum syara ‘, menyusun
suatu pendapat dari suatu masalah hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

3
B. Sejarah Ijtihad
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejaka zaman Rasulullah, saat Rasulullah di
hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah meminta pendapat para sahabat,
hukuman apa yang pantas di ganjar pada mereka.
Muncul beberapa pendapat dari sahabat, Abu Bakar sebagai sahabat yang
paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di bebani
pajak keamanan. Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga dapat
menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran.
Umar berpandangan bahwa para tawanan adalah orang-orang yang
memusuhi islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di
bunuh. Lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka seharusnya di bakar
dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri ampun.
Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para sahabat itu.
Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat siapakah yang di
setujui Rasulullah.
Kemudian Rasulullah datang dan bersabda: Hari ini, kalian dalam keadaan
miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan kecuali
telah membayar tebusan atau di potong lehernya.
Keesokan harinya sahabat Umar mengunjunyi Rasulullah yang saat itu
bersama Abu Bakar. Umar meliat butir-butir air mata mengalir membasahi pipi
mereka berdua.
Saat Umar bertanya penyebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku
menangis para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari
para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab turun pada
mereka.’’
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali dengan
membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah mempertimbangkan
keadaan para sahabat yang kala itu mengalami kemiskinan. Oleh karnanya Allah
menegor Rasulullah atas keputusan yang telah di ambilnya, firman Allah: ‫َما َكانَ لِنَبِ ٍّي‬
ِ ‫ض ال[ ُّد ْنيَا َوهَّللا ُ ي ُِري[ ُد اآْل َ ِخ[ َرةَ َوهَّللا ُ ع‬
)67( ‫َزي[ ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ْ‫أَ ْن يَ ُكونَ لَهُ أَس َْرى َحتَّى ي ُْث ِخنَ فِي اأْل َر‬
َ ‫ض تُ ِري[ ُدونَ َع[ َر‬

4
َ ‫طيِّبً[[ا َواتَّقُ[[وا هَّللا َ إِ َّن هَّللا‬ ْ [‫ق لَ َم َّس ُك ْم فِي َم[[ا أَ َخ‬
َ ‫) فَ ُكلُ[[وا ِم َّما َغنِ ْمتُ ْم َحاَل اًل‬68( ‫[ذتُ ْم َع[ َذابٌ َع ِظي ٌم‬ َ َ‫لَوْ اَل ِكتَابٌ ِمنَ هَّللا ِ َسب‬
‫َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

Artinya :Tidak patut bagi se orang nabi mempunyai tawanan sebelum ia


dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini.Kamu menghendaki harta benda
duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu Allah maha
perkasa lagi bijak sana. Kalau sekiranya tidak ada ke tetapan yang telah terdahulu
dari Allah, niscaya kamu di timpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu
ambil.(Al-Anfal:67-68)
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga ber ijtihad ketika ada
suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tapi meskipun
demikian ulama’ masi berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad.
Menurut jumhurul ulama’ ushul di antaranya Ibnu Hajib Al-Amady dan sebagian
golongan hanafiah dan begitu juga golongan syafi’iyah di antaranya Fathu Al rozi
dan Baidowi ber pendapat bahwa boleh nabi ber ijtihad dalam urusan agama dan
dunya.
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi ber ijtihad secara
mothlaq bahkan dia berkata: Sesungguhnya orang yang mengangkat nabi
berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para
nabi dalam masalah yang terjadi di masanya maka orang itu kafir dan cukup untuk
menolak pendapat bolehnya ijtihad pada para nabi dengan firman Allah 
‫َظ ٍيم‬ َ ‫ْت َربِّي َع َذ‬
ِ ‫اب يَوْ ٍم ع‬ َ ‫ي إِنِّي أَ َخافُ إِ ْن َع‬
ُ ‫صي‬ َّ َ‫إِ ْن أَتَّبِ ُع إِاَّل َما يُو َحى إِل‬
Aku hanya ikut pada apa yang di wahyukan kepadaku sesengguhnya akau
takut bila saya berma’siat pada pada azhab allah di hari kiamat (Yunus :15)
Ijtihad di masa sahabat.
Dalam periode ini, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran
terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasus-kasus baru yang
belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Dan untuk memberi kan kejelasan
hukum, para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber tetap adalah Al-
Qur’an dan Hadist.

5
Jika dalam realitas sosial terjadi kasus yang ketentuan hukumnya tidak di
temukan di dalam kedua sumber hukum tersebut,mereka mengadakan
musyawarah. Jika di peroleh kesepakatan pendapat, maka terjadilah Ijma’ sahabat,
sekalipun hanya bisa belaku pada masa Abu Bakar.Jika kesepakatan itu tidak
mungkin di capai, mereka melakukan ijtihad dengan beberapa teori. Seperti teori
qiyas,istislah,sadz zari’ah,yang ruang lingkupnya pembahasannya di batasi pada
kasus-kasus yang benar terjadi.
Ijtihad di masa tabi’in. Pada masa tabi’in ini (generasi sepeninggalan
sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negri yang berada
dibawah kekuasaan dinasti Amamiyah. Guru-Guru mereka adalah para sahabat
nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid Ibnu Tsabit
di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr bin Ash
di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat islam pecah menjadi tiga
kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Perpecahan ini membawa dampak
pada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam.
Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari sahabat tertentu dan
menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur bisa menerima setiap hadist
shahih yang di riwayatkan oleh perowi yang tsiqah dengan tanpa membeda
bedakan antara para sahabat yang ada. Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini
maka muncullah fatwa-fatwa yang berbeda di antara masing masing kelompok.
Ciri lain yang menandai priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi
dan Ahlu Hadist yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan
hukum islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam
menetapkan suatu hkum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak
mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-Nukha’iy)dan
ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-Musayyab), berpengaruh
besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad dalam ber istinbatkan hukum
Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem penerapan metode ijtihad masing- masing
yaitu.

6
1.) Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan pengelesaiyan kasus-kasus riel yang sedang
terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan problem yang belum
perna terjadi untuk di carikan status hukumnya, sehingga dengan metode
ini,mereka tidak sampai keluar dari pemahaman nash secara tekstual.
2.) Kalangan Ahli Al Rya’yi
Dalam metode ijtihad mereka, mereka selalu menggunakan teori istishlah
dan tiori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja belum
sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu ushul- fiqih
maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih. Mereka para ahli Al Rakyi berijtihad
tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi saja, tetapi melangkah
sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal terjadi.
Pada periode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli Ra’yi,
antara sesama kelompok ahli al rakyi sendiri sangat luas dibandingkan dengan
perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga banyak bermunculan para
mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara islam, baik dari kalangan ahlu Al
Rakyi maupun ahli Al Hadist, seperti di Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir
dan lain-lainnya.Para mujtahid tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan
meriwayatkan hadist dari Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sengat mudah
bertanya langsung kepada para mufti tentang berbagai masalah.
Ijtihad pasca imam imam mazhab. Pada periode ini di sebut periode taqlid,
karena para ulama’ telah lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada
hukum tasyri’ yang asasi guna guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al
Sunnah dan lemah semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada
nashnya, dengan salah satu dalil syara’. Para ulama’ pada periode ini terbiasa
mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada masa
lampau beserta ushul fiqihnya.
Periode taqlid ini di mulai sejak pertengahan abad ke empat hijriyah,
bersamaan dengan muncul berbagai faktor yang menimpa umat islam.
Pengebab terhentinya gerakan ijtihad, setidaknya ada empat faktor yang
menyebabkannya:

7
1. Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para
rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2. Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3. Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan
perundang undangan.
4. Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi
mereka untuk menjadi mujtahid.

Meskipun terdapat beberapa faktor yang menghalangi mereka untuk


melakukan ijtihad mutlaq, dan mengeluarkan hukum syara’ dari sumbernya yang
pertama, namun semangat ulama’ untuk menekuni bidang tasyri’ di wilayah
mereka yang terbatas, masih berlangsung.
Contoh Al Gazali dan pemikirannya:
1.) Biografi Al Gazali
Beliau adalah seorang pemikir Islam terbesar , tidaka hanya di kenal di
dunia islam, tetapi juga di luar islam, maka sangat wajar jika banyak penulis
tertarik untuk menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al Gazali, baik dari
kalangan muslim, maupun dari kalangan orientalis. Al Gazali i (1058/1111M.)
merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak
kemajuan islam. Sebagai pemikir besar isalam, maka hasil pemikiran Al Gazali
masih tetap menjadi warisan umat islam, meskipun sepuluh abad berlalu.
Kebesaran pengaruh Al Gazali tersebut dapat dilihat dari gelar ‘’hujjah al-
islamiyah yang di sandangnya.Berbagai pujian dan cercaan yang di lontarkan ng
oleh orang yang tidak senang kepadanya karena kebesaran nama Al-Gazali.
2.) Pemikiran Al Gazali
Adapun landasan pemikiran Al Gazali,bahwa sebagai seorang muslim tetap
mendasri pemikiran-pemikiran kepada pokok ajaran islam, yaitu Al Qur’an dan
Hadist. Disamping itu juga ia mempergunakan akal (Al Ma’kul) sebagai landasan
berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan
kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan

8
akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu. Ketika Al-Gazli membahas
dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut:
a. Berpegang pada Al Qur’an
b. Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan
bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
c. Berpegang teguh pada ma’nawi.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya
Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadits juga
tidak lagi bertambah. Sementara itu masalah-masalah yang dihadapi ummat islam
semakin bertambah dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar
ketika menghadapi persoalan dan tidak menemukan nash nya dalam Al-Qur’an
dan Hadits, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan
menentukan hukum dari masalah itu.
Demikian pula pada masa Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak
didapati mashnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Akan tetapi dari ke empat khalifah itu, hanya Umar yang diketahui paling
banyak memakai ijtihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-
hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad.
Setelah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan
munculnya mujtahid-mujtahid besar seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu
Syihad Al-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar
bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr dan Wahbah bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua
sampai dengan abad keempat hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukaan
sunnah serta fiqih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian
dikenal sebagai imam-imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Setelah abad keempat Hijriyah, perkembangan ijtihad mengalami
kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini
disebabkan antara lain karena umat Islam memandang bahwa semua masalah

9
telah ditetapkan hukumnya oleh para fuqaha (ahli hukum islam), sehingga mereka
hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati
oleh fuqaha terdahulu.
Pada masa itu tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki
kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya
sehingga tida ada lagi muncul mujtahid mutlak.
Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan
ijtihad. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi
ummat Islam akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat.
Contoh ijtihad tentang persoalan masa kini zakat profesi, operasi jenis
kelamin, perbankan syari’ah, transplantasi organ tubuh, bayi tabung dan kloning,
penggunaan internet, facebook, rebonding, shalat di luar angkasa, infotaimen di
televisi, masalah rokok, operasi plastic, pakai behel, tindik bagi laki-laki, donor
darah, mengecat rambut, KB, menindik yang tidak pada tempatnya, nyambung
rambut, olahraga tinju, pegadaian Syari’ah, pernikahan (ijab melalui media
televisi), perdagangan on line, membonceng ngangkang bagi perempuan.

C. Objek Ijtihad
Menurut Marzuki dalam buku Din al-Islam (halaman 62 63) Ijtihad dapat
dilakuan terhadap masalah - masalah yang tidak jelas ketentuannya dalam Al-
Quran dan sunnah. Dengan demikian, secara sederhana dapat diketahui bahwa
lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang ketentuan hukumnya tidak
dijelaskan al-Quran dan sunnah.
Jika diperinci lebih lanjut, masalah- masalah yang dapat di ijtihadkan adalah
sebagai berikut:
 Masalah masalah yang ditunjuk oleh nash yang zanniy (tidak pasti), baik dari
segi keberadaannya (wujud) maupun dari segi penunjukanya terhadap hukum
(dalalah). Masalah masalah yang ditunjuk itulah yang menjadi lapangan
ijtihad. Sedangkan masalah masalah yang ditunjuk oleh nash yang qath’iy
tidak boleh dijadikan lapanga ijtihad.
 Masalah masalah yang belum ditegaskan hukumnya dalam nash.

10
 Masalah masalah baru yang belum di-ijima’-kan. Masalah masalah baru yang
sudah di-ijma’-kan tidak boleh dijadikan sasaran kegiatan ijtihad, karena
keputusan ijima’ tidak bias dibatalkan.
 Masalah masalah yang diketahui illat (alasan) hukumnya. Hanya masalah
masalah yang diketahui illat hukumnya saja yang dapat dijadikan lapangan
ijtihad, seperti dalam masalah muamalah. Masalah masalah yang tidak
diketahui illat hukumnya tidak boleh dijadikan sasaran ijtihad, seperti
ketentuan ketentua dalam beribadah.
Sehubungan dengan beratnya lapangan ijtihad, Al-Ghazali menekankan
bahwa, ijtihad hanya berlaku pada upaya upaya yang sulit dilakukan, sedangkan
pekerjaan yang ringan tidak dapat dikatakan ijtihad. Demikian juga Al-Saukany
mengatakan bahwa ijtihad yaitu pengarahan kemampuan dalam aktifitas aktifitas
yang berat atau sukar (Deden Makbuloh, 2011 : 208)

 Ijtihad berlaku pada hal hal atau hokum hokum yang belum ditetapkan dalam
Al-Qur’an secara terperinci.
 Apabila syariah tidak menentukan suatu hokum yang terperinci, melainkan
asas umum belaka atau tidak hendak melakukan suatu perundang undangan
hokum, misalnya ; soal pemerintah, teknologi, social, budaya, politik dan
sebagainya.
 Objek ijtihad haruslah maslah syariah. Objek ijtihad tidak boleh mengenai hal
hal yang telah mendapat dalil dalil positif semisal ketuhanan, kenabian, dan
hal hal yang termasuk dalam rukun iman.

D. Manfaat Ijtihad
Pada dasarnya Ijtihad memiliki fungsi untuk membantu manusia dalam
menemukan solusi hukum atas suatu masalah yang belum ada dalilnya di dalam
Al-quran dan hadits. Sedangkan tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan
umat Islam dalam beribadah kepada Allah pada waktu dan tempat tertentu.

11
Dalam hal ini, Ijtihad dianggap telah memiliki kedudukan dan legalitas
dalam Islam. Namun, Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu saja
yang telah memenuhi syarat.
Adapun beberapa manfaat Ijtihad adalah sebagai berikut ini:
Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui hukumnya.
 Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan keadaan,
waktu, dan perkembangan zaman.
 Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang tidak
berhubungan dengan halal-haram.
 Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada
hukumnya dalam Islam.

E. Ijtihad dan Peranan dalam Hukum Islam


Al Qur’an dan sunnah keduanya adalah cahaya yang menerangi kegelapan
dan melenyapkan kebingungan. Ijtuhat adalah kegiatan pemikiran yang
dicurahkan untuk menarik dan menyimpulkan hukum syariat dari kedua sumber
hukum yaitu Al Qur’an dan Hadits guna menetapkan peraturan hidup
bermasyarakat dan pekerjaan ijtihad tidak dapat dilakukan bagi setiap orang,
karena memerlukan keahlian dan ilmu pengetahuan agama yang tinggi.
Secara garis besar, ada dua bentuk karakteristik hukum syara dilihat dari
penunjukannya terhadap hukum, yakni (Amir Syarifuddin, 2014: 253-255):
Pertama, diantara hukum syara ada yang dapat dipahami dengan mudah karena
titah Allah itu cukup jelas artinya dan pasti tujuannya, contohnya:
 Larangan berkata kasar kepada kedua orang tuanya dapat dengan mudah
dipahami. Dalam firman Allah Al Qur’an Surat Al Isra’ (17):23,
“Janganlah kamu ucapkan kepada keduanya kata ‘ah’ dan jangan kamu
hardik keduanya”.
 Wudhu, mengucapkan prasyarat yang harus dilakukan sebelum melakukan
shalat, dengan mudah dipahami dari firman Allah dalam Al Maidah (5):6,
“Hay orang-orang yang beriman, bila kamu hendak mendirikan shalat,
cucilah mukamu dan kedua tanganmu sampai siku”.

12
 Yang melakukan perbuatan zina dikenai sanksi dera seratus kali. Dengan
mudah dapat dipahami dari firman Allah dalam surat An Nur (24):2,
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-masing seratus
kali”.
Dalam beberapa contoh diatas, tampak bahwa hukum itu dapat dipahami dengan
mudah dari firman Allah, karena memang penunjukannya cukup jelas.
Kedua, kadangkala hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang tersurat
dalam firman Allah secara jelas, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan
maksud sebuah lafadz, oleh karena itu hukum itu tersirat dibalik lafadz tersebut,
umpamanya:
 Hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Al Qur’an, namun dapat
dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang
tua sebagaimana tersebut dalam ayat diatas. Alasannya berkata kasar saja
dilarang apalagi memukul.
 Hukum meminum beralkohol tidak disebut dalam Al Qur’an, namun dapat
diketahui melalui pemahaman kita akan haramnya minuman khamar yang
disebut secara jelas di dalam Al Qur’an Surat Al Maidah (5):90, “Hay
oran-orang yang beriman sesungguhnya khamar dan judi, berhala dan
bertenung itu adalah perbuatan keji dari perbuatan syetan, oleh karena
itu jauhilah”. Kita dapat memahami hukum haramnya meminum
minuman beralkohol itu sama dengan khamar dalam sifat memabukan.

13
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa,


ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu 
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-
Sunnah.Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber
hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Tujuan ijtihad dilakukan adalah
upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia se,akin
hari semakin kompleks, dimana membutuhkan hukum islam sebagai solusi
terhadap problematika tersebut.

14
BAB V
PENUTUP

Demikian yang dapat penulis paparkan, mengenai materi yang menjadi


pokok bahasan dalam makalah ini, yang tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahanya. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubunganya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis untuk kesempurnaan makalah
ini, dalam penulisan makalah pada kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman pada
umumnya.

Penulis

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud (2004). Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Deden Makbuloh (2011). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Hal
208.
Rahman, Asjmuni A (2004). Metode Penetapan Hukum Islam (2nd ed). Jakarta:
PT. Bulan Bintang.
Razak, Nasruddin (2006). Dienul Islam. Bandung: PT Al-Ma’aarif.
Syarifuddin, Amir (2014). Ushul Fiqh II. Jakarta: Prenamedia Group.
Usman, Muchlis (2002). Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta:
Rajawali Press.

16

Anda mungkin juga menyukai