Anda di halaman 1dari 6

Nama : Anggun Setiana

NPM : 2023041003
MK : Kajian Prosa dan Drama
Prodi : MPBSI, Universitas Lampung

Jurnal Perkuliahan Sabtu, 5 Juni 2021

RESUME KELOMPOK 3: KAJIAN SEMIOTIK ROLAND BARTHES NOVEL BUKAN


PASAR MALAM KARYA PRAMUDIA ANANTA TOER

Nama Kelompok: Dedi Febriyanto, Miftahul Jannah, Sinta Larasati, Anggun Setiana

Novel Bukan Pasar Malam karya Pramudia Ananta Toer merupakan novel yang kaya
akan kode-kode bahasa. Kode-kode bahasa tersebut mengandung makna-makna
khusus yang secara keseluruhan mampu menciptakan sebuah cerita yang estetik.
Kodekode bahasa tersebut perlu dikaji lebih dalam untuk memahami secara lebih
komprehensif mengenai makna kode-kode tersebut kaitannya dengan konteks novel
secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kode-kode semiotik
Roland Barthes dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramudia Ananta Toer.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan semiotic
yang dikemukan oleh Roland Barthes. Sumber data penelitian adalah novel Bukan
Pasar Malam karya Pramudia Ananta Toer.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak-catat. Mula-mula peneliti melakukan
pembacaan novel secara cermat, selanjutnya peneliti melakukan pencatatan terhadap
data-data yang mengandung kritik sosial. Analisis data dilakukan berdasarkan teori
Miles dan Huberman,yaitu: (1) melakukan identifikasi terhadap novel, (2) melakukan
reduksi data, (3) menyajikan data, (4) menginter-pretasikan data, (5) menyimpulkan
hasil interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Bukan Pasar Malam karya
Pramudia Ananta Toer mengandung lima kode semiotik yang dikemukakan oleh Roland
Barthes.
Penanya 1 (Aji Marhaban): Bagaimana tahapan interpretasi yang dilakukan kelompok?

Jawaban kelompok: Interpretasi dilakukan dengan melakukan penafsiran terhadap data


penelitian yang telah dikumpulkan. Penafsiran itu didasarkan pada pendekatan semiotik
Roland Barthes tentang tanda-tanda bahasa.

Penanya 2 (Yulina Winda): Apa perbedaan kode simbolik dan kode semantik?

Jawaban Kelompok: Kode semantik merupakan kode bahasa yang berkaitan erat
dengan simbol-simbol yang sifatnya disepakati oleh masyarakat. Sedangkan kode
semantik lebih kepada tanda-tanda bahasa yang maknanya berbeda dengan kontruksi
leksikal yang menyusunnya.

RESUME KELOMPOK 1: DAMPAK DEHUMANISASI BUDAYA DAN AGAMA DALAM


KARYA SASTRA (KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP CERPEN “ROBOHNYA
SURAU KAMI” KARYA A. A NAVIS)

Nama Kelompok: Yerli Agilia Putri, Arini Wastiti, Heni Arifa M. Kiki Nurjana, Aji
Marhaban Zikrillah MSK

Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis merupakan kumpulan-kumpulan dari
cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami. Cerpen tersebut terdiri atas Robohnya
Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasehat-nasehat, Topi Helm, Datang dan Perginya,
Pada Pembotakan Takdir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari
Masa ke Masa. Pada cerpen ini, penulis membahas tentang cerita Robohnya Surau
Kami dari kumpulan cerpen itu . Cerpen tersebut menceritakan pergulatan batin tokok
Kakek (seorang garin (penjaga surau)) yang taat beribadah. Pergulatan batin tokok
Kakek ini muncul akibat cerita Ajo Sidi tentang kisah dari Haji Saleh yang menunggu
perhitungan dari Tuhan di Akhirat. Dalam cerpen ini pengarang merombak nilai atau
sistem tersebut melalui prinsip-prinsip umum dalam tingkah laku masyarakat, seperti
nilai-nilai kebaikan, benaran, dan patutan.
Hal-hal ini dapat dilihat pada pembahasan di bawah ini.
a) Hilangnya Nilai-nilai Adat (Kebudayaan).
Surau merupakan khasanah filosofi kebudayaan Minangkabau, surau memiliki peran
yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat. Dia tidak hanya dianggap
sebagai sebuah lembaga keagamaan, tetapi memiliki fungsi sebagai transformasi nilai-
nilai budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau (Firdaus Marbun, 2017).
Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan adat dan agama tergambar dalam lambing
kelengkapan sebuah nagari. Suatu nagari tidak lengkap dan sempurna apabila tidak
memiliki dua institusi yang menjadi lambang nagari di Minangkabau, yaitu balai adat
dan mesjid. Balai adat adalah lembaga kebudayaan, sedangkan mesjid merupakan
lembaga agama (Natsir, 2011:1).
Selain, balai adat dan mesjid terdapat juga surau. Surau menurut Sidi Gazalba (dalam
Natsir, 2011:9) adalah bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat Minangkabau
sebelum datangnya Islam. Surau dalam pengertian yang mendalam sangat erat
kaitannya dengan keberlangsungan agama, adat, budaya, dan pengetahuan.
Disamping itu, surau berfungsi sebagai tempat ibadah (sholat), tempat mengajarkan Al
Qur’an dan Hadis, serta ilmu lainnya. Di surau digunakan untuk bermusyawarah,
tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat minang), dan juga sebagai
tempat tidur bagi pemuda yang mulai remaja dan bagi laki-laki tua yang sudah bercerai.
Di era modern ini, sejarah surau tenggelam dalam arus modernisasi dan globalisasi.
Nilai luhur yang ditabur, tumbuh, dan berkembang, melalui peran surau kini telah
mundur, bergeser, dan hilang. Di sinilah dampak dehumanisasi budaya dalam cerpen
“Robohnya Surau Kami” karya A. A Navis, tergambar dalam kutipan berikut.

“... Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam
ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi (Navis, 2010:1). “...
Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya.Hingga anak-anak menggunakan surau itu
sebagai tempat bermain.
Memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar,
sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari (Navis, 2010:2).

b)Hilangnya Nilai-nilai Kesucian (Agama)


Dampak dehumanisasi agama, yaitu hilangnya nilai-nilai luhur dari kesucian dalam
menjalankan agama karena seseorang merasa lebih mementingkan ablul minallah
(hubungan kepada Allah SWT) daripada Ablul minannas (hubungan manusia dengan
manusia). Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“... Takku pikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin,kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala” (Navis, 2010:9).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh (kakek) telah menjalankan tuntutan agama,
tetapi dia lupa dengan hubungannya dengan manusia, yaitu tanggung jawab sosialnya.
Menurut Thaib (2007:6), yaitu “Navis mengajak pembaca menilai kembali cara kita
memahami tuntutan agama. Adakah tuntutan agama sekadar melaksanakan ibadah-
ibadah khusus saja, seperti solat, puasa, berhaji dan berzakat? Di dalam pola pemikiran
tradisional ibadah-ibadah khusus ini sering ditekankan sementara bidang-bidang lain
kehidupan lainnya diabaikan...”.

Penanya
1. Eka Anista:
Berikan alasan mengapa kelompok memilih judul cerpen “ Robohnya Surau Kami”
untuk menjadi bahan kajian serta contoh kajian mengenai nilai budaya dan nilai agama
yang ada dalam cerpen.
2. Rosidah
Bagaimana batasan- batasan dalam mengkaji suatu karya sastra berdasarkan kajian
hermeneutika sehingga tetap didapatkan hasil kajian dan penafsiran yang objektif dan
rasional sesuai dengan isi karya sastra yang dikaji?
Jawaban Kelompok: Alasan utama pemilihan cerpen adalah karena isinya
membangkitkan gairah dalam beragama dan berbudaya. Cerpen tersebut memuat
banyak nilai budaya dan agama, sekaligus dehumanisasi di dalamnya.

RESUME 3: ANALISIS HERMENEUTIK DALAM NASKAH DRAMA


PEWAYANGAN “SUMPAH RAMAPARASU”

Nama Kelompok: Rosidah, Eka Anista, Yulina Winda Rahma, Zakky Pratama

Naskah drama yang berjudul “Sumpah Ramaparasu” sangat sarat dengan nilai-nilai
pendidikan karakter. Naskah drama ini sangat mudah diapresiasi oleh pembaca karena
bahasa yang dipakai oleh pengarang sangat komunikatif. Pembaca lebih mudah
memahami makna yang terkandung dalam naskah drama tersebut. Nilainilai pendidikan
karakter apa saja yang terkandung dalam naskah drama “Sumpah Ramaparasu” dan
bagaimana hubungan nilai-nilai pendidikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Untuk memecahkan masalah tersebut dipandang perlu dilakukan
penelitian. Pembahasan ini dilakukan dengan tujuan utama menemukan nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam naskah drama pewayangan “Sumpah
Ramaparasu.” Data dikumpulkan dengan metode pencatatan dokumen dan
wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara hermeneutik dan diberi makna. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam
naskah drama “Sumpah Ramaparasu”adalah demokratis, kejujuran, kehati-hatian,
disiplin diri, membantu dengan tulus, bekerjasama, keteguhan hati, rasa haru, dan
toleransi. Nilainilai tersebut masih bersifat aktual dan kontekstual.

Penanya 1 (Dedi Febriyanto): Jelaskan tahapan analisis data yang digunakan kelompok
untuk menginterpretasikan data-data penelitian yang diperoleh?

Jawaban Kelompok: Interpretasi data dilakukan menggunakan tiga tahapan. Ketiga


tahapan dilakukan untuk mendapatkan penafsiran terhadap data-data penelitian secara
maksimal.

Penanya 2 (Miftahul Jannah): Jelaskan analisis nilai religius kaitannya dengan data
penelitian yang diangkat. Karena saya masih belum melihat di mana sisi religiusnya dari
data penelitian tersebut?

Jawaban Kelompok: Letak religius dari data yang ditampilkan ada pada penyebutan
dewata yang merupakan tuhan yang diyakininya.

Tanggapan Ibu Zamzanah secara Umum: Kajian yang dilakukan harus lebih mendalam.
Cara menyimpulkan hasil penelitian harus tepat. Diharapkan untuk tugas individu
hasilnya dapat lebih maksimal.

Anda mungkin juga menyukai