Anda di halaman 1dari 13

“PEMBAGIAN HADITS (RAGAM HADITS)

MAKALAH

ULUMUL HADITS

DOSEN: Drs. HASRI, M.A.

OLEH: KELOMPOK 3

DIVA APRILIANTI (2004020006) DITA NATASYAH PUTRI (2004020002)

MIRANDA SYAM (2004020024) NURHIKMA (2004020015)

ANISA JASMAN (2004020019) RESKI R (2004020007)

RAHMAWATI (2004020005)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya bisa
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “PEMBAGIAN HADITS (RAGAM HADITS)”
Shalawat dan salam penulis hantarkan keharibaan junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW,
yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terutama kepada teman-teman yang
sudah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari titik kesempurnaan.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini
Akhir kata penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama
masalah ilmu hadits. Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang
banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari
segi kualitas sanad dan matan. Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka
pada bahasan ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi
kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian hadits dari segi kuantitas perawi?
2. Bagaimana pembagian hadits dari segi kualitas?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitas perawi.
2. Mengetahui pembagian hadits dari segi kualitas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan
bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi‟ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan,
mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus
menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah : ِّ ‫ع ٍْ َي ْحسُ ْٕ ٍط أ َ ْخ َث َش ِت‬ َ ٌَ‫يـَا َكا‬
‫ب‬ َ ‫ ُم اْن َعادَج َ ذ ََٕاطُ ُإُْ ْى‬ْٛ ِ‫عحً َتهـَغُ ْٕا فِٗ اْنكـَثْ َشجِ َي ْثهَغـًا ذُح‬
ِ ِ‫عهـَٗ اْنكـَـز‬ َ ‫َجًــَا‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta‟akhirin
tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat
bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-
hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,
diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits
mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat Hadits Mutawatir
1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan
dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-
Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-
kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang,
karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak
70 orang.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan
salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera.
Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath
dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz
dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
ِ َُّ‫َرَثَ َّٕأْ َي ْقعَذَُِ يٍَِ ان‬ٛ‫ فـ َ ْه‬ٙ
‫اس‬ َّ َ‫عه‬ َ َ ‫سهَّ َى َي ٍْ َكز‬
َ ‫ب‬ َ َٔ ِّ ْٛ َ‫عه‬
َ ‫قـَا َل َسسُ ْٕ ُل هللا‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di
atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200
orang sahabat.
2. Hadits Mutawatir Ma‟nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari
berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda,
tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya
tidak.
Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo‟a. ٗ‫قال اتٕ يسٗ و سفع سسٕل هللا صه‬
ٖ‫اض اتطّ فٗ شئ يٍ دعائّ ئال فٗ اإلسرسقاء (سٔاِ انثخاس‬ٛ‫ّ حرٗ سؤ٘ ت‬ٚ‫ذ‬ٚ ‫ّ ٔسهى‬ٛ‫عه‬
‫)ٔيسهى‬
Abu Musa Al-Asy‟ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak
pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo‟a hingga nampak
putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do‟a dalam sholat
istisqo‟ (HR. Bukhori dan Muslim).
3. Hadits Mutawatir „Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para
sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi‟in, dan seterusnya, diikuti
oleh generasi sampai sekarang.
Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya,
shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang
sudah menjadi ijma‟ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits
mutawatir „amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir


lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak
mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits
mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk
mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan
dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk
sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya. Kitab-kitab yang secara khusus
memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :

1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.


Muhammad „Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh
Muhammad bin Ja‟far Al-Kattani (w. 1345 H).
2. Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi,
kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah
hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.

Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.

A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain : ٌ ‫عذَد‬ َ ِّ َ‫ص َحات‬
َّ ‫اس َٔاُِ يٍَِ ان‬
َ َ ‫يـ‬
ْ ُ ُ
َّ ‫َ ْثهغ َحذَّ ذ ََـٕاذِش تَ ْعذَ ان‬ٚ ‫ال‬
‫ص َحاتَ ِّ َٔيٍِ تَ ْع ِذ ِْ ْى‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur
yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik
sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar. ‫َ ْغس ِْم‬ٛ‫اِرَا َجا َءكُ ُى اْن ُج ًْ َعُّ فَ ْه‬
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia
mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi: ‫اس‬ َ ‫ض َش َس َٔالَ ضـــ ِ َش‬ َ َ‫ال‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya,
seperti hadits : ٍّ ‫ كُ ِّم ُي ْسه ٍِى َٔ ُي ْس ِه ًَــــ‬َٙ‫ضــٌّ عــَـه‬ َ ْٚ ‫ة اْنع ِْه ِى فَ ِش‬ُ َ‫طه‬ َ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan
kedalam:
1. Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do‟a qunut sesudah rukuk selama satu bulan
penuh berdo‟a atas golongan Ri‟il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim,
dll).
2. Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang
keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti : ‫ســـــه َِى‬ َ ٍْ ‫َاْن ًُ ْس ِه ُى َي‬
ْ ٌَْٕ ًُ ‫اْن ًُ ْس ِه‬
ِِ ‫ ِذ‬َٚٔ ِّ َِ ‫يٍِ نِســـ َـا‬
3. Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti : ٍْ ‫ع‬ َ ‫سهَّ َى‬
َ َٔ ِّ ‫ْــــ‬َٛ‫عه‬ ِ َّٙ‫صه‬
َ ‫هللا‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫س ْٕ َل‬ ُ ‫ َس‬َٙٓ ََ
‫ ِْع اْنغ ََش ِس‬ٛ‫“ َت‬Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat
tipu daya.”
4. Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti : ‫اب‬ َ ‫ص‬ َ َ ‫اِرَا َحك ََى اْن َحا ِك ُى ث ُ َّى ا ْجر َ َٓذَ فَـــأ‬
‫طأ َ فَهـَُّ أ َ ْج ٌش‬ َ ‫َــــى فَاجْ ر َ َٓذَ ث ُ َّى أَخَــــ‬
َ ‫اٌ َٔاِرَا َحك‬ ِ ‫“ فَهـَــُّ أَج َْش‬Apabila seorang hakim
memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan
pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh
satu pahala (pahala Ijtihad).
5. Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti : ُ‫ف فَخَهـ َ ْقد‬ َ ‫ًّا فَأَحْ ثَثْدُ أ َ ٌْ أُع ِْش‬ٛ‫كُ ُْدُ َك ُْ ًضا َي ْخ ِف‬
َِْٕٙ ُ‫ع َشف‬ َ ٙ‫“ اْنخ َْهقَ فَ ِث‬Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi,
kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui
merekapun mengenal-Ku.
6. Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang
Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan
Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz
dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit
atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak
kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat
terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian
thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh
karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits „azaz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan
hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya,
tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits „aziz :
ٍَْٛ‫ـاط أَجْ ًَ ِع‬
ِ َّ ‫ ِّ ي ٍِْ َٔانِـ ِذ ِِ َٔ َٔنــ ِ ِذ ِِ َٔانُـ‬ْٛ َ‫ أَكُ ٌَْٕ أ َ َحةَّ ئِن‬َّٙ‫ُإْ ِي ٍُ أ َ َحذُكُ ْى َحر‬ٚ َ‫ال‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari
pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri).
Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu
imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut,
atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan
perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga
meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi
pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian
yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau
menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber
yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya
sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa
perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad
yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah
atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
 Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada
kejanggalan dan tidak ber‟illat”.
 Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith,
tidak syaz, dan tidak ber‟illat.”

Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah:

1) sanadnya bersambung
2) perawinya bersifat adil
3) perawinya bersifat dhabith
4) matannya tidak syaz, dan
5) matannya tidak mengandung „illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (ٍ‫ ) انحس‬bermakna al-jamal
(‫ )انجًال‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana
yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu : ‫َٔ َخثَ ُش‬
ُ ‫ض ْث‬
‫ظ‬ َ ‫َ َّ ان‬ َّ ‫ فَاءِ ٌْ خ‬.ِِّ‫ْح ِنزَاذ‬ ِ ٛ ِ‫ ُْش ُيعَهَّ ٍم َٔالَ شَا ٍرّ ْ َُٕ انصَّح‬ٛ‫غ‬ َ ‫سَُ ِذ‬َّ ‫ص ُم ان‬ ِ َّ ‫ضثْظِ ُير‬ َ ‫ َحادَ تَُِ ْق ِم‬ْٜ‫ا‬
َّ ‫عذْ ِل ذ َا ُّو ان‬
ِّ ِ‫فَ ْه ُح ْس ٍُ ِنزَاذ‬
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syaz
dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan
Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
ِّ َّ‫شز ُ ْٔ ِر َٔاْنعِه‬ َ ‫سَُذُُِ تَُِ ْق ِم اْنعَذ ِْل انّزِ٘ قَ َّم‬
ُّ ‫ض ْثطُُّ َٔ َخالَّ يٍَِ ان‬ َ ‫ص َم‬َ َّ ‫ْ َُٕ َيا اذ‬
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan
tidak „illat.
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh
perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang
sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.
b. Contoh hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu
Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari
Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda : ٍَْٛ‫ َيا َت‬ِٙ‫اس ا ُ َّير‬ ُ ًَ ‫أ َ ْع‬
َ‫َ ُج ْٕ ُص رَانِك‬ٚ ٍْ ‫ٍَْ َٔأَقَهُّ ُٓ ْى َي‬ٛ‫س ْث ِع‬ َ ‫ٍَْ ا‬ّٛ ‫س ِر‬
َّ ‫ ان‬ٙ‫ِن‬ ّ ِ ‫ان‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits
hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan
lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan
lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya
adalah : ُ ُّْ ِ‫ق أ ُ ْخ َش٘ يِثْهُُّ أ َ ْٔ أ َ ْق َٕ٘ ي‬ ِ ْٚ ‫ط ِش‬ َ ٍِْ ‫٘ ي‬
َ ِٔ ‫ْ َّ اِرَا ُس‬
ُ ٛ‫ض ِع‬ َّ ‫ْث ان‬ ُ ٚ‫ْ َُٕ اْن َح ِذ‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang
sama atau lebih kuat.
ُ ُّ‫انشا ِٔ٘ أ َ ْٔ ِكزْت‬
َّ ‫ض ْع ِف ِّ فِ ْس َق‬ َ ‫ة‬ ُ َ‫سث‬َ ٍْ ُ‫َك‬ٚ ‫خ طُ ُشقُُّ َٔنـ َ ْى‬ْ َ‫ْ َّ اِرَا ذَعَذَّد‬
ُ ٛ‫ض ِع‬َّ ‫ْ َُٕ ان‬
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan
bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik
manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih
kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi
ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits
shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam
mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (َّ ٛ‫)انضع‬
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (ٕ٘‫ )انق‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits
dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang
diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : Hadits yang
tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan
baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi
(„Illat) pada sanad atau matan.
b. Contoh hadits dhaif
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-
Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda : barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid)
atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia
telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram
yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At-
Tahzib memberikan komentar: padanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu‟ (hadits palsu).
Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu
parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan
hadits mawdhu‟ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan
dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2) Tidak menjelaskan hokum syara‟ yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui‟zhah, targhib wa tarhib
(hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya
tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma‟lum) yang meyakinkan
(jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk
pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : diriwayatkan,
dipindahkan, pada sesuatu yang diriwayatkan datang. Periwayatan dhaif
dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu
dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al a‟mal) atau dalam hokum sebagaimana
yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma‟in.
pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-
a‟mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan
Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari
pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a‟mal, mau‟izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
 Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta
(hadits mawdhu‟) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang
yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq
dan bid‟ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits
mungkar).
 Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma‟mul bih)
seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah
(hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
 Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi,
tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah
tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu
buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a‟mal.
Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu‟‟,
matruk, mu‟allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi
3 bagian yaitu : mutawatir ma‟nawi dan mutawatir „amali. Sedangkan hadits ahad dibagi
menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur
dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua
macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits
mardud adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya
timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan
keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan
nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

Anda mungkin juga menyukai