Anda di halaman 1dari 59

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURATAN

PADA PASIEN DENGAN TRAUMA

MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:


MUH AMIN SIDIQ
NUR ANA
HUSNUL KHATIMAH
RIA SAFITRI
ANNISA AULIA TENRY
NUR WARDANI
M. RUDI WIJAYA

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah Keperawtan Medikal Bedah
Kegawatdaruratan dengan judul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan
Trauma Muskuloskeletal”

Dalam makalah ini dijabarkan mengenai Konsep Dasar Medik, Konsep Dasar
Keperawatan, Manajemen Gawat Darurat, serta Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat pada
pasien dengan Trauma Muskuloskeletal.

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok mendapatkan banyak pengarahan, bimbingan,


dan bantuan dari berbagai pihak khususnya dari dosen pengampuh. Oleh karena itu, kelompok
mengucapkan terima kasih kepada narasumber, dosen pengampuh, dan semua pihak yang terlibat
dalam penyusunan makalah ini.

Dalam menyelesaikan tugas ini, kelompok menyadari bahwa masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kelompok mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak.

Makassar,06 Oktober 2021

Kelompok 5

i
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................ i

Daftar Isi....................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan........................................................................ 2

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Teori Kajian ............................................................ 3

B. Fungsi Teori Kajian .................................................................. 3

C. Kajian Teori Mencankup .......................................................... 3

D. Langkah-langkah membuat Kajian Teori .................................. 4

E. Mengapa Diperlukan Kajian Teori dalam KTI........................... 4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 5

B. Saran.................................................................................... 5

DAFTAR PUSTAKA................................................................... 6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan kehidupan dimasyarakat telah banyak mengalami perubahan, salah
satunya pada bidang transportasi. Banyak perusahaan transportasi yang menawarkan
produk-produk kendaraan bermotor kepada masyarakat. Di Indonesia, dimana penduduk
golongan menengah kebawah berjumlah lebih banyak disbanding penduduk golongan
ekonomi menengah keatas, lebih memilih atau menyukai kendaraan pribadi jenis sepeda
motor. Hal ini membuat jumlah kendaraan bermotor yang melintas dijalan kian banyak.
Banyaknya jumlah kendaraan bermotor ini menurut data kepolisian juga berdampak pada
banyaknya kasus kecelakaan yang terjadi. Kecelakaan merupakan pembunuh nomor 3 di
Indonesia (Dephub, 2010). Selain kematian, kecelakaan dapat meninmbulkan dampak
lain yaitu fraktur yang dapat menjadi kecacatan apabila tidak ditangani secara tepat dan
cepat.
Ropyanto (2011) menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir
1,3 juta jiwa di seluruh dunia, atau 3000 kematian setiap hari dan menyebabkan cedera
sekitar 6 juta orang setiap tahunnya (Depkes, 2007 dan WHO, 2011). Hasil tim survey
Depkes RI (2007) didaptkan 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45%
mengalami cacat fisik dan 15% mengalami stress psikologis bahkan depresi, serta 10%
mengalami kesembuhan dengan baik.
Menurut Sjamsuhidajat (2010), Trauma adalah kata lain untuk cedera atau
rudapaksa yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Akibat trauma musculoskeletal
yang paling sering terjadi adalah Fraktur (Muttaqin, 2008). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak,
kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsobsi (Smeltzer, 2011).
Trauma pada tulang skeletal dapat menyebabkan nyeri, mempengaruhi aktivitas
seseorang untuk beraktivitas sehari-hari, dan pada beberapa kasus dapat mengancam jiwa

1
atau menyebabkan kecacatan. Tujuan perawatan pada pasien trauma adalah untuk
menyelamatkan kehidupan, mempertahankan fungsi dan mencegah disability jangka
panjang. Semua pasien harus mendapat pengkajian primer untuk menyingkirkan masalah
pada airway, breathing, circulation dan disability sebelum terfokus pada kondisi cedera
specific. (Lumbantoruan, dkk. 2017)
Peran perawat dalam melakukan tindakan keperawatan pada kasus fraktur adalah
melalui tindakan keperawatan yang telah direncanakan secara cepat dan tepat mengingat
kasus fraktur dapat menjadi berat dan berujung pada perdarahan apabila tidak segera
ditangani. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain baik dalam tindakan pemberian obat-
obatan untuk mengatasi masalah sekunder yang muncul akibat fraktur, dan juga
perencanaan untuk proses rehabilitasi dapat dilakuakan, agar perawatan yang diberikan
dapat berjalan dengan komprehensif dan maksimal demi kesembuhan klien yang dirawat.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusah masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana Konsep Dasar Medik pada kasus Fraktur?
1.2.2 Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan pada kasus Fraktur?
1.2.3 Apa saja Manajemen Gawat Darurat pada kasus Fraktur?
1.2.4 Apa saja Peran dan Fungsi Perawat pada kasus Fraktur?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.3.1 Mampu mengetahui Konsep Dasar Medik pada kasus Fraktur
1.3.2 Mampu mengetahui Konsep Dasar Keperawatan pada kasus Fraktur
1.3.3 Mampu mengetahui apa saja Manajemen Gawat Darurat pada kasus Fraktur
1.3.4 Mampu mengetahui apa saja Peran dan Fungsi Perawat pada kasus Fraktur

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medik

1. Definisi
a. Definisi Fraktur
Menurut Sjamsuhidajat (2010), Trauma adalah kata lain untuk cedera atau
rudapaksa yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Akibat trauma
muskuloskeletal yang paling sering terjadi adalah Fraktur (Muttaqin, 2008).
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumya
disebabkan oleh rudapaksa. Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai
hilangnya atau adanya gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada
sumsum tulang, periosteum, dan jaringan yang ada disekitarnya. Fraktur
ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi
ekstremitas atas (radius, ulna, carpal) dan ekstremitas bawah (pelvis, femur, tibia,
fibula, metatarsal, dan lain-lain).
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh
keadaan trauma atau patologis. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Vithiya Sagaran,
dkk. 2017)
b. Dislokasi
Dislokasi adalah sendi tulang yang keluar dari lokasi yang seharusnya
berada. Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Dislokasi mudah
didiagnosa karena perubahan anatominya biasanya jelas. Dislokasi pada sendi-
sendi besar, walaupun bukan cedera yang mengancam jiwa, merupakan gawat
darurat karena adanya resiko kerusakan neurovaskuler yang jika tidak ditangani
dengan segera dapat berakhir dengan amputasi. Sulit untuk mengetahui apakah
fraktur disertai dengan dislokasi atau tidak. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengetahui denyut nadi, gerakan, dan adanya gangguan persarafan distal dari
dislokasi. Tanda dan gejala dari dislokasi adalah asimetris dari sendi, nyeri,
bengkak dan kehilangan fungsi. Terai yang dapat dilakukan dilapangan adalah
memasang bidai dan imobilisasi dengan bantalan lunak sehingga pasien berada
dalam posisi yang paling nyaman menurut pasien. Tidak diperbolehkan untuk
melakukan reposisi. Selanjutnya pasien dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas ahli
bedah ortopedi. (Lumbantoruan, dkk. 2017)
c. Sprain
Sprain adalah cedera ligamen akibat tarikan dan peregangan berlebihan.
Bagian luar tampak seperti patah tulang. penderita akan merasa sangat kesakitan.
Bagian yang terkena tampak bengkak dan kemungkinan akan memar sehingga
menyebabkan tidak berfungsinya bagian tubuh yang terkena dan adanya
keterbatasan gerak dalam 2-3 jam. Untuk dapat membedakan fraktur dengan
sprain hanya dengan pemeriksaan rontgen. (Lumbantoruan, dkk. 2017)
d. Strain
Strain adalah peregangan pada otot dan tendon yang berlebihan. Dapat terjadi
pada otot mana saja. Tanda dan gejalanya adalah nyeri yang sangat berat saat
bergerak walaupun sedikit, adanya pembengkakan, ekimosis sesudah beberapa
hari. Perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat ada atau tidaknya
fraktur. (Lumbantoruan, dkk. 2017)

2. Etiologi Fraktur
Penyebab fraktur menurut Brunner dan Suddarth (2008) dapat dibedakan
menjadi :
a. Cidera traumatik
Cidera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cidera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan
2) Cidera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang prgresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

3. Klasifikasi
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), jenis-jenis fraktur terbagi atas:
a. Fraktur Tertutup (Closed fracture), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila ujung tulang yang patah menembus
keluar dari kulit sehingga berhubungan dengan dunia luar. Menurut R.
Gustillo, fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat, yaitu:
1) Derajat I : luka lebih kecil dari 1cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen
tulang yang menembus kulit
2) Derajat II : Ukuran luka antara 1-10cm, tidak terkontaminasi dan tanpa
cedera jaringan lunak yang mayor
3) Derajat III : luka lebih besar dari 10cm dengan kerusakan jaringan lunak
yang signifikan. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
struktur kulit, otot dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/flap/avulsi; atau fraktur segmental/ sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat
besarnya ukuran luka.
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif
- Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.

Gambar 3.1 Klasifikasi dari fraktur terbuka


Sumber: https://link.springer.com/book/trauma.and.orthopaedic.classification

Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal-hal yang perlu dideskripsikan


adalah:
a. Komplet / tidak komplet
1) Fraktur komplet, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang
2) Fraktur tidak komplet, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti :
a) Hair line frkatur (patah retak rambut)
b) Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang sponglosa di bawahnya
c) Green stick fraktur, mengenal satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
b. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah obliuk : trauma angulasi juga.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan/traksi otot pada insersinya pada tulang.
misalnya fraktur patella
c. Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan.
Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal
3) Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur
tulang belakang.
d. Bergeser/tidak bergeser
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
e. Terbuka-Tertutup (lihat halaman 4)
f. Komplikasi-tanpa komplikasi
Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, local atau sistemik,
oleh trauma atau akibat pengobatan. Dalam rangka menegakkan diagnosis
fraktur harus disebut jenis tulang atau bagian tulang yang mempunyai nama
sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang (proksimal, tengah atau
distal), komplit atau tidak, bentuk garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka
atau tertutup dan komplikasi bila ada. Sebagai contoh :
Fraktur femur proksimal kanan garis patah oblik, displace, dislokasi ad latus
terbuka derajat I, neurovascular distal baik.
Table 3.1 Tipe fraktur menurut Kristanty, dkk (2016)

Tipe fraktur Penyebab


Transversal Hantaman langsung, tajam
Oblique Kekuatan memutar
Spiral Sebuah gaya secara langsungmengenai sepanjang sumbu
anggota tubuh atau pada bagian poros, misalnya gaya
memutar dengan kaki tertahan dengan kuat.
Comminuted Trauma berat secara langsung dapat menyebabkan lebih
dari dua fragmen tulang.
Impacted Trauma berat menyebabkan tulang terdorong menyatu
dengan tulang lainnya.
Compressed Kekuatan yang berat pada atas kepala, sacrum, atau tulang
yang mengalami pengapuran (pergerakan axial), menekan
vertebra secara bersamaan.
Greenstick Gaya menekan; biasanya terjadi pada anak dibawah 10
Avulsi tahun
Massa otot berkontraksi dengan sangat kuat, menyebabkan
fragmen tulang terlepas dari tempat insersi otot, ligament
Depressed juga dapat merobek fragmen tulang
Trauma timbul pada tulang yang datar, biasanya
melibatkan kerusakan jaringan lunak yang luas.
Sumber: Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat tahun 2016
Gambar 3.2 sudut patah dari fraktur / tipe-tipe fraktur
Sumber: http://www.rssiagaraya.com/artikel/fraktur-patah-tulang/

4. Patofisiologi (Black dan Hawks, 2014)

Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.


Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrim, seperti tabrakan mobil,
maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat
pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot dapat meciptakan spasme yang kuat
bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat
bergeser karena factor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.
Fragmen fraktur dapat bergeser kesamping pada suatu sudut (membentuk sudut),
atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cidera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cidera jaringan lunak atau cidera
pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medulla), hematoma terjadi
diantara fragmen-frangmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang
disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat
sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi
plasma dan leukosit. Respon patologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.
2.1.5 Pathway

Trauma Langsung Trauma tidak langsung Kondisi Patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas tulang

Perubahan jaringan sekitar Pergeseran fragmen tulang


Perubahan fragmen Hematoma Laserasi kulit
tulang
Peradangan NYERI AKUT
Deformitas (dolor, kalor, rubor, tumor) KERUSAKAN Rusaknya pembuluh darah Port de entry kuman
INTEGRITAS KULIT
Gangguan fungsi Perdarahan
RESIKO
INFEKSI
Kekurangan volume
HAMBATAN cairan
MOBILITAS
FISIK
RESIKO
SYOK
6. Manifestasi Klinis (Mansjoer, Arif. 2014)
Tanda dan gelaja terjadinya fraktur antara lain :
a. Deformitas merupakan perubahan struktur dan bentuk yang disebabkan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
b. Nyeri, terjadi karena adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.
c. Pembengkakan atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan disekitar tulang
d. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yangs sering disebabkan
karena tulang menekan otot.
e. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,
nyeri atau spasme otot.
f. Pergerakan abnormal
g. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitar

7. Komplikasi
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai
klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan
nyeri yang meningkat. (Black dan Hawks, 2014)

b. Sindroma kompartemen
Setelah terjadi fraktur terdapat pembengkakan yang hebat disekitar
fraktur yang mengakibatkan penekanan pada saraf dan pembuluh darah yang
berakibat tidak cukup suplai darah ke otot dan jaringan sakitart fraktur. Bila
berlangsung lebih dari enam jam, dapat menimbulkan kematian pada bagian
distel. Tanda dan gejala sindrom kompartemen adalah gejala awal pain dan

12
paresthesia. Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif
yang meregangkan otot yang bersangkutan. Parestesia daerah distribusi saraf
perifer yang terkena, menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf
yang melewati kompartemen tersebut. Gejala 5 P (pain, pallor, pulseless,
paresthesia, paralisis), asimetris pada daerah kompartemen. Pengelolaan
sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan yang menekan,
gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30-60 menit. Jika
tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi. Sindroma kompartemen
dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau
lengan. (Lumbantoruan, dkk. 2017)

c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah
fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan
mengalami deformasi. (Black dan Hawks, 2014)
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang
seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul. (Black dan Hawks,
2014)

Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:


a. Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi dapat
terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen, atau
atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan semampunya klien.
Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan resiko kekauan sendi. (Black dan
Hawks, 2014)
b. Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di
proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan
pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.
(Black dan Hawks, 2014)

c. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak
tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal
ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit dan
menyalahi instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan sebelum
penyembuhan yang baik pada lokasi fraktur. (Black dan Hawks, 2014)

d. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak
benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur
atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi. (Black dan Hawks, 2014)

e. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah
cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi.
Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang
tidak terkontrol pada lokasi fraktur. (Black dan Hawks, 2014)

f. Sindroma nyeri regional kompleks


Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma disfungsi
dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan pembengkakan tungkai
yang sakit. (Black dan Hawks, 2014)
8. Penatalaksanaan

a. Diagnosis dan penilainan fraktur


Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakuakan untuk mengetahui
dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan tekhnik yang sesuai untuk pengobatan
(Istianah, 2017)

b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimum. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis (Brunner, 2001).
1) Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non bedah atau
manipulasi unutk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan tetap
memerlukan local anastesi ataupun umum. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, bidai, dan alat lain dipasang
oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
2) Reduksi terbuka (open reduction) adalah tindakan pembedahan dengan
tujuan perbaikan bentuk tulang. sering dilakukan dengan internal fiksasi
yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods
atau nail digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakan disisi tulang atau langsung kerongga sumsum tulang. Alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
(Istianah, 2017)
3) Metode Traksi (lihat halaman 17)
c. Retensi / Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Setelah dilakukan reposisi secara reduksi atau
traksi pada fragmen tulang yang patah, dilakukan imobilisasi dan hendaknya
anggota badan yang mengalami fraktur tersebut diminimalisir gerakannya
untuk mencegah tulang berubah posisi kembali. (Istianah, 2017)
d. Rehabilitasi
1) Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011), latihan rehabilitasi dibagi menjadi 3
kategori yaitu: Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien
mempertahankan rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan
atau kontraktur jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot
yang diperbaiki post bedah
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, seringkali dibantu dengan tangan yang sehat,
katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami
gangguan ekstremitas atas.
(Istianah, 2017)

e. Pembidaian
Menurut Pirton, dkk (2017), Pembidaian adalah memasang alat untuk
mempertahankan kedudukan tulang. indikasi pembidaian adalah fraktur
terbuka dan tertutup. Tujuannya untuk mencegah pergerakan tulang yang
patah, mengurangi nyeri, mencegah cedera lebih lanjut, mengistirahatkan
daerah yang mengalami patah tulang, dan mengurangi perdarahan.
Jenis dan tekhnik pembidaian:
1) Bidai kaku (Rigid splint)
Bidai ini terbuat dari cardboard, kayu, metal, plastic kaku. Pada bidai ini
harus diberi padding sebelum dipasang agar terasa nyaman saat dipasang
pada korban.
2) Bidai lembut/lunak (soft splint)
Bidai jenis ini bagus untuk tungkai dan lengan bawah, PASG (Pneumatic
Anti-Shock Garment) adalah bidai udara yang baik. Bidai ini memiliki
keuntungan karena efek kompresinya sehingga perdarahan dapat
dikurangi. Namun, kerugiannya tekanan ini dapat meningkat bila
temperature naik atau ditempat ketinggian. Bidai ini jangan dipakai pada
fraktur yang mengalami angulasi karena dapat mengakibatkan tekanan
yang akan meluruskan fraktur secara otomatis. Kerugian lain pada nbidai
ini adalah bahwa denyut nadi pada ekstremitas tidak dapat dimonitor bila
terpasang bidai, juga seringkali bidai melekat pada kulit dan timbul nyeri
bila dilepas. Bantal merupakan bidai yang baik untuk cedera pada kaki.
Bidai dari kain seperti mitella atau elastic bandage sangat baik untuk
cedera pada klavikula, sendi bahu, lengan atas dan siku dengan
menggunakan dinding dada sebagai penyangga yang kuat dan membidai
lengan pada dinding dada.
3) Bidai tarik (traction splint)
Dibuat untuk fraktur ekstremitas inferior. Alat ini mengimobilisasi fraktur
dengan cara menarik ekstremitas penderita secara terus menerus. Traksi
mencegah gerakan dari ujung tulang yang dapat merusak struktur
neurovaskuler. Traksi dapat dilakukan melalui kulit atau tulang. kulit
hanya mampu menanggung beban traksi sekitar 5kg pada orang dewasa.
Jika dibutuhkan lebih dari ini, dilakukan traksi melalui tulang. traksi
tulang sebaiknya dihindari pada anak-anak karena growth plate dapat
dengan mudah rusak akibat pin tulang. Indikasi traksi kulit diantaranya
untuk anak-anak yang memerlukan reduksi tertutup, traksi sementara
sebelum operasi, traksi yang memerlukan beban <5kg untuk menjaga
reduksi. Traksi kulit sebaiknya dipilih bahan yang hipoalergenik untuk
pasien yang alergi dengan bahan yang biasa atau pada orang tua dimana
kulitnya telah rapuh. Kontraindikasi traksi kulit yaitu bila terdapat luka
atau kerusakan kulit serta traksi yang memerlukan beban >5kg. Traksi
tulang dilakukan pada dewasa yang memerlukan beban >5kg, terdapat
kerusakan kulit atau untuk pengguna jangka waktu lama.

Adapun prinsip – prinsip pembidaian yang perlu diperhatikan


adalah sebagai berikut:
- pastikan ABC aman
- Kontrol perdarahan
- Pasien sadar; menginformasikan adanya nyeri
- Buka daerah yang akan dibidai atau lepaskan pakaian pasien sehingga
bagian ekstremitas yang menglami cedera tampak seluruhnya.
- Periksa dan catat PMS (pulse, motor, sensasi) bagian distal dari tempat
fraktur sebelum dan sesudah pemasangan splint/bidai. Bila
memungkinkan, periksa gerakan ekstremitas distal dari fraktur atau amati
gerakan pada pasien yang tidak sadar.
- Ada angulasi yang besar atau jika ekstremitas tampak sangat membengkok
dan pulsasi hilang. Coba lakukan traksi ringan dan jika ada tahanan,
jangan diteruskan dan pasang bidai pada posisi tersebut.
- Luka terbuka harus ditutup dulu dengan kasa steril/alat steril dan
perdarahan dikontrol dulu baru kemudian dipasang bidai.
- Pasang bidai dengan mencakup sendi atas dan bawah dari tulang yang
fraktur
- Pasang padding/bantalan yang lunak secukupnya terutama pada tulang
yang menonjol
- Pada fraktur terbuka jangan memasukkan ujung tulang yang patah ke
dalam lagi. Tutup bagain tulang yang keluar dengan kasa steril baru
kemudian dipasang bidai
- Bila ada cedera lain yang lebih serius dan mengancam nyawa, bidai
dipasang setelah pasien distebilkan. Bila cederanya ringan tetapi korban
harus dirujuk, sebelum dirujuk bidai dipasang terlebih dahulu.
- Bila ragu-ragu apakah ada fraktur atau tidak, sebaiknya laukan bidai untuk
pencegahan pada daerah ekstremitas yang dicurigai ada cedera.

f. Tourniquet
Sebagai alternative terakhir untuk mengontrol perdarahan ketika semua
cara gagal karena tourniquet dapat menghentikan seluruh aliran darah pada
anggota gerak. Gunakan tourniquet hanya pada ujung dari sebuah anggota
gerak yang sudah hancur atau sudah teramputasi (terpotong). Penggunaan
tourniquet dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada saraf, otot dan
pembuluh darah serta mungkin berakibat hilangnya fungsi dari anggota gerak
tersebut. Selalu coba dulu dengan tekanan langsung. (Pirton, dkk. 2017)

Berikut adalah beberapa penangan pada trauma musculoskeletal menurut


Kurniati , dkk (2018) :
Tabel 8.1 Penanganan Fraktur yang umum

Tulang Mekanisme Cedera yang Biasa Temuan Klinis yang Khas Penanganan
Clavicula 80% dari fraktur terjadi dari - Kulit menutupi seluruh area Fraktur tengah proksikmal
bagian sepertiga tengah; biasanya fraktur. dilakukan pemasangan sling
karena kekuatan yang langsung - Ketidakmampuan untuk dan diistirahatkan
ke bahu (mis: jatuh, olah raga, menaikan lengan.
tabrakan bermotor). - Cedera neurovascular yang Atlet harus menghindari
Umumnya terjadi pada pasien berhubungan dengan fraktur olahraga sampai kekuatan dan
yang lebih muda jarang kecuali pada fraktur rentang gerak kembali seperti
15% melibatkan 1/3 distal atau proksimal atau medial. sebelum terjadi cedera.
lateral; biasanya karena kekuatan - Tulang kosta pertama dan tulang
dari atas bahu; umumnya terjadi servikal dapat terluka dengan
pada orang tua. mekanisme yang sama.
>5% melibatkan 1/3 proksimal
atau medial; karena kekuatan
pada dada anterior yang dapat
menyebabkan trauma
intrathoracal

Scapula Fraktur jarang terjadi dan - Cedera serius yang umumnya Pemasangan sling dilakukan
biasanya berhubungan dengan berhubungan meliputi fraktur selama merasakan keluhan
cedera ketinggian atau akibat iga, humeri, tulang
kekuatan yang signifikan. tengkorak,;jaringan lunak pada
paru-paru, limpa, SSP dan
perifer.
- Cedera pulmonaris, plexus
brachialis dan cedera vascular
dapat terjadi dengan mekanisme
yang sama

Humeri – Usia muda: Atlet yang terlibat - Ketidakmampuan untuk Imobilisasi dengan sling pada
Kepala dan akibat energi yang tinggi atau menggunakan bahu fraktur yang tidak bergeser.
leher terlibat dalam olahraga yang
- Kehilangan rentang gerak lebih
menggunakan lemparan diatas Pembedahan mungkin
dari 1 tahun
kepala (menyebabkan epifisis menjadi pilihan penanganan
terbuka di humerus proksimal) pada sekitar 20% dari
Lansia: Osteoporosis, jatuh keseluruhan kasus.
dengan tumpuan bahu.

Kaki:
Metatarsal Kekuatan kompresi Displaced- penyangga kaki
pendek mungkin
Falang Trauma langsung, menendang, membutuhkan ORIF
ibu jari kaki tersandung, cedera Undisplaced- balut dengan
atletik, trauma remuk. bantalan lunak pada jari yang
terkena
Displaced- Reduksi di IGD
Cari adanya cedera lumbalis,
Calcaneus Jatuh dari ketinggian tungkai kaaki ynag lain, nyeri Balut tekan, kruk
yang meningkat dengan hiperfleksi
Sumber: Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat tahun 2018

Tabel 8.2 Cedera Sendi Umum

Sendi Mekanisme Umum Temuan Klinis Intervensi Klinis


Bahu
AC terpisah Pukulan langsung atau jatuh pada - Nyeri tekan, edema pada sendi Sling, jika diperlukan untu
tangan terentang keatas bahu, AC nyeri, akan tetapi rentang
menyebabkan pecahnya ligament - Ketidakmampuan untuk gerak aktif harus didorong
menaikan lengan atau arah dada sesuai toleransi.
- Perhatikan kulit diatas fraktur Pembedahan jarang
diindikasikan

Dislokasi Anterior: cedera atletik, jatuh - Deformitas pada sendi yang Bidai pada posisi yang
glenohumera pada lengan yang terentang terlihat dengan abduksi dan nyaman; reduksi yang
l rotasi eksternal lengan. Pasien dilakukan di IGD, mungkin
akan dapat membawa lengan perlu sedasi untuk mengatasi
cukup tingi untuk menyentuh kejang otot
telinga disisi berlawanan dari
dislokasi
Posterior: jarang terjadi, lengan - Lengan adduksi dengan rotasi
mendapat pukulan pada saat internal dengan deformitas yang
ekstensi, mungkin juga dapat terlihat diatas sendi
dilihat setelah kejang grand mal

Siku Posterior: Jatuh pada tangan yang - Perlu untuk menyingkirkan Reduksi dilakukan di IGD,
Dislokasi terengang dengan siku ekstensi fraktur yang terkait periksa stabilitas siku, rentang
- Nilai fungsi neurovascular secara gerak.
hati-hati pada tangan yang Jika setelah reduksi stabil,
terkena istirahatkan dengan sling akan
tetapi tingkatkan rentang
gerak sesegera mungkin.
Jangan pernah memaksa
gerak.

Pergelangan
tangan Jatuh dengan tangan terengang, - Sensasi clicking (mengetuk), Bidai untuk evaluasi awal,
Dislokasi tekanan berulang pada ligament kekuatan memegang menurun, imobilisasi selama 10 – 14
karpal, atlet yang terlibat dalam nyeri terlokalisasi yang hari
kegiatan olahraga dengan bertambah buruk dengan
kecepatan tinggi, jatuh dari dorsofleksi
ketinggian. - Tes ballottement positif

Jatuh pada tangan terentang Radiografi untuk


Sprain menyingkirkan fraktur atau
subluksasi

Tangan dan
jari tangan Langka, kecuali terjadi pada atlet Deformitas ibu jari pada sendi MP Reduksi, balut dengan
Ibu jari bantalan lunak selama 2-3
minggu
Dislokasi sendi PIP posterior Deformitas sendi PIP Dislokasi sendi DIP dorsal
Jari lebih umum daripada volar dapat direduksi dengan traksi
Dislokasi sensi DIP lebih jarang. tertutup. Sering menggunakan
blok pada digiti.
Dislokasi sendi PIP volar
harus dirujuk keahli bedah

Panggul Posterior: Membutuhkan Posterior: Panggul fleksi, adduksi, Reduksi segera diperlukan
Dislokasi kekuatan yang signifikan; lutut rotasi internal untuk mencegah suplai darah
terkena sementara pinggul dan Anterior: Panggul fleksi, abduksi, bagian kepala femur
lutut fleksi, gaya yang mengenai rotasi eksternal terganggu untuk kedua jenis
sepanjang femur menyebabkan dislokasi.
kepala femur keluar dari sendi
posterior (*sindrom lutut
dashboard)

Lutut Pukulan langsung kebagian Patella bergeser ke lateral, lutut Reduksi di IGD, imobilisasi
Dislokasi medial atau regangan valgus fleksi lutut dengan kruk selama 3-4
patella secara tiba-tiba (bagian distal minggu
terangulasi menjauh dari garis
tengah)

Trauma mayor, paling sering Sendi mungkin dapat kembali Bidai untuk kenyamanan;
Dislokasi dislokasi anterior secara spontan, gejala cedera reduksi darurat diperlukan
lutut menurun untuk mencegah cedera
Dicurigai jika terdapat cedera neurovascular; angiografi
ligament parah, gangguan untuk menentukan status
neurovascular terutama hilangnya vascular; perbaikan cedera
saraf peroneal atau arteri popliteal. ligament.

Ankle Gaya dalam jumlah besar - Cedera terkait yang umum: Reduksi segera bagian
Dislokasi dibutuhkan, ankle plantar fleksi fraktur ankle, cedera ligament dislokasi atau fraktur; bidai
dan kaki tertekuk atau terputar - Gangguan neurovascular pada posisi netral
dibawah tekanan; terjadi lebih mungkin terjadi
sering dengan anak-anak dan - Evaluasi cedera lain pada kaki,
remaja. pinggul, atau tulang belakang
Dislokasi posterior yang paling jika gaya mengenai secara
umum, tetapi juga dapat terjadi langsung bagian atas atau bawah
dislokasi anterior, lateral, atau kaki.
superior.
Cedera yang paling umum pada - Bisa melaporkan rasa seperti: Bidai untuk kenyamanan,
Sprain ankle, biasanya akibat aktivitas “meledak”, edema yang tergantung stabilitas sendi.
olahraga. signifikasn, ekimosis, Rest, Ice, Compression,
ketidakmampuan untuk Elevation pada ekstremitas,
menyanggah beban tubuh. gunakan kruk jika perlu.
Rujuk pada fisioterapi jika
dibutuhkan.
Gerakan plantar fleksi kuat secara Pasien merasakan nyeri yang Pasien harus menggunakan
Ruptur tendo tiba-tiba, gerakan dorsofleksi kaki tajam atau terasa bengkak pada kruk untuk ambulasi
Achilles yang tidak diperkirakan, tumit, berjalan dengan kaki lurus, Pembedahan perbaikan
dorsofleksi pada kaki plantar tidak dapat berdiri pada tumit. sesegera mungkin.
fleksi. Tidak dapat melakukan plantar
Mekanisme lain termasuk trauma fleksi.
langsung, melompat, mendorong.
Insiden juga tnggi pada
penggunaan obat fluorokuinolon
dan suntikan langsung steroid
kedalam tendon.

Kaki Hiperekstensi Deformitas yang jelas terlihat Reduksi tertutup dengan blok
Dislokasi ibu diatas sendi digiti; bebat dengan bantalan
jari lunak selama 4 minggu.
Sumber: Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat tahun 2018
9. Proses Penyembuhan Fraktur

Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), proses penyembuhan fraktur pada


tulang kortikal terdiri atas lima fase :
a. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem haversian mengalami robekan dalam daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat
terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya
yang terletak beberapa millimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah
dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskular tulang yang
mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma. Waktu terjadinya proses ini
dimulai saat fraktur terjadi sampai 2-3 pekan.
b. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur karena adanya sel-sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta
pada daerah endosteum memberntuk kalus interna sebagai aktivitas seluler
dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum,
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang
berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan
fraktur ini terjadi penambahan jumlah sel-sel osteogenik yang sifatnya lebih
cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi
pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa pekan, kalus
dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik.
Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radioluscen.
Fase ini dimulai pada pekan ke 2-3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada pekan ke 4-8.

28
c. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen
sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast di duduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium
pembentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut woven bone.
Pada pemeriksaan radiologis kalus atau woven bone sudah terlihat merupakan
indikasi radiologis pertama terjadi penyembuhan fraktur.
d. Fase konsolidasi (fase union secara radiologi)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblast yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
e. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, tulang yang baru akan membentuk
bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik,
tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-
lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak
dan berisi sistem haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan untuk membentuk sumsum.
Pada fase terakhir ini dimulai dari pekan ke 8-12 dan berakhir sampai
beberapa tahun dari terjadinya fraktur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia
pasien, banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan
darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya.

11. Pemeriksaan Diagnostik (Istianah, 2017)


a. Pemeriksaan rontgen
Untuk menentukan lokasi/luasnya trauma dan garis fraktur secara langsung
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodic
b. Scan Tulang (Fomogram, CT scan, MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple), Hb,
leukosit, LED, golongan darah, dll.
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma

B. Konsep Dasar Keperawatan

TRIASE

1. Pengkajian
a. Anamnesis
Penting untuk mengetahui bagaimana penderita mengalami
cedera/biomekanik yang menyebabkan penderita mengalami cedera ekstremitas.
Anamnesa dilakukan bila korban dalam keadaan sadar atau dari pengantar korban.
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Jika penolong cukup
banyak, anamnesa dapat dilakukan bersamaan dengan survey primer. Jika
penolong terbatas jangan lakuakan anamnesa sebelum memeriksa adanya
gangguan pada A,B, dan C dan mengatasinya. Trauma harus diperinci kapan
terjadinya, dimanana terjadinya, jenisnya, berat ringan trauma, arah trauma dan
posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan
lupa untuk meneliti kembali trauma ditempat lain secara sistemik dari kepala,
muka, leher, dada dan perut. Anamnesa ini penting dilakukan karena beberapa
jenis mekanisme trauma dapat menyebabkan cedera ekstremitas yang mungkin
tampak tidak jelas pada pemeriksaan awal. Cedera pada kaki akibat jatuh dari
ketinggian sering disertai dengan fraktur lumbal. Setiap cedera pada lutut
penderita yang sedang dalam posisi duduk dapat juga disertai dengan cedera pada
sendi panggul. Sebaliknya, cedera pada panggul dapat menimbulkan nyeri pada
lutut. Setiap cedera di daerah bahu harus diperiksa dengan cermat karena dapat
juga menyebabkan cedera pada leher atau dada. Pada fraktur pelvis biasanya
penderita akan kehilangan banyak darah. Jika fraktur pelvis dapat didiagnosa, ia
harus dipikirkan kemungkinan terjadinya syok, dan terapi yang sesua harus
diberikan. (Pirton, dkk. 2017)
b. Pemeriksaan Umum
1) Pengkajian Primer (primary survey)
Pada survey primer, perhatian kita harus tertuju apakah ada fraktur pada
tulang pelvis dan tulang besar lainnya karena kita juga harus mengontrol
perdarahan.
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah
aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A= Airway dengan kontrol servikal

Kaji :

 Bersihan jalan nafas


 Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
 Distress pernafasan
 Tanda-tanda perdarahan dijalan nafas, muntahan, edema laring
B= Breathing dan ventilasi
Kaji :
 Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
 Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C= Circulation
Kaji :
 Denyut nadi karotis
 Tekanan darah
 Warna kulit, kelembapan kulit
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D= Disability
Kaji :
 Tingkat kesadaran
 Gerakan ekstremitas
 GCS atau pada anak tentukan respon A = alert, V = verbal, P =
pain/respon nyeri, U = unresponsive
 Ukuran pupi dan respon pupil terhadap cahaya
E= Eksposure
Kaji :
 Tanda-tanda trauma yang ada

2) Pengkajian Sekunder (secondary survey)


Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan
pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian
objektif dan subjektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan
pengkajian dari kepala sampai kaki.
a) Pengkajian Riwayat Penyakit
Komponen yang perlu dikaji :
 Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
 Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah sakit
 Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
 Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
 Waktu makan terakhir
 Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang
 Imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien
Metode pengkajian :
S (Signs and symptons) : tanda dan gejala yang diobserasi dan
dirasakan klien
A (Allergis) : alergi yang dipunyai kllien
M (Medications) : tanyakan obat yang telah diminum klien untuk
mengatasi nyeri
P (Pertinent past medical hystori) : riwayat penyakit yang diderita
klien
L (last oral intake solid or liquid) : makan/minum terakhir, jenis
makanan, ada penurunan atau peningkatan kualitas makan
E (event leading to injury or ilnes) : pencetus/kejadian penyebab
keluhan

Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri :

P (provoked) : pencetus nyeri, tanyakan hal yang menimbulkan dan


mengurangi nyeri
Q (quality) : kualitas nyeri
R (radian) : arah perjalanan nyeri
S (severity) : skala nyeri (1-10)
T (time) : lamanya nyeri sudah dialami klien

b) Tanda-tanda vital dengan mengukur :


 Tekanan darah
 Irama dan kekuatan nadi
 Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernapasan
 Suhu tubuh
c) Pengkajian Fisik, meliputi :

- Pengkajian kepala, leher dan wajah


 Periksa rambut, kulit kepala dan wajah
Adakah luka, perubahan tulang kepala, wajah dan jaringan lunak,
adakah perdarahan serta benda asing
 Periksa mata, telinga, hidung, mulut dan bibir
Adakah perdarahan, benda asing, kelainan bentuk, perlukaan atau
keluaran lain seperti cairan otak
 Periksa leher
Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, trachea miring atau
tidak, distensi vena leher, perdarahan, edema dan kesulitan
menelan.
- Pengkajian dada
Hal-hal yang perlu dikaji dari rongga thoraks :
 Kelainan bentu dada
 Pergerakan dinding dada
 Amati penggunaan otot bantu nafas
 Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera, petekiae, perdarahan,
sianosis, abrasi dan laserasi
- Pengkajian abdomen dan pelvis
Hal-hal yang perlu dikaji :
 Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
 Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, alserasi, abrasi,
distensi abdomen dan jejas
 Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas
 Nadi fermoralis
 Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
 Distensi abdomen
- Pengkajian Ekstremitas
Hal-hal yang perlu dikaji :
 Tanda-tanda injuri eksternal

 Nyeri
 Pergerakan
 Sensasi keempat anggota gerak
 Warna kulit
 Denyut nadi perifer
- Pengkajian tulang belakang :
Bila tidak terdapat fraktur, klien dapat dimiringkan untuk mengkaji :
 Deformitas
 Tanda-tanda jejas perdarahan
 Jejas
 Laserasi
 Luka
- Pengkajian Psikososial
 Kaji reaksi emosional : cemas, kehilangan
 Kaji riwayat serangan panic akibat adanya factor pencetus seperti
sakit tiba-tiba, kecelakaan, kehilangan anggota tubuh ataupun
anggota keluarga
 Kaji adanya tanda-tanda gangguan psikosial yang dimanifestasikan
dengan takikardia, tekanan darah meningkat dan hiperventilasi.

Menurut Pirton, dkk (2017), pada survey sekunder yang dilakukan adalah:
a) Inspeksi (Look) : raut wajah penderita, cara berjalan, duduk, tidur, lihat kulit,
jaringan lunak, tulang dan sendi. Mencari deformitas, luka terbuka, memar, dan
pembengkakan.
b) Palpasi (feel) : suhu kulit panas atau dingin, denyutan arteri teraba atau tidak,
adakah spasme otot. Rasakan area yang cedera untuk memeriksa adakah
deformitas dan nyeri tekan saat disentuh.
c) Kekuatan otot (Power) : Grade 0, 1, 2, 3, 4, 5 (lumpuh s/d normal)
d) Pergerakan (Move) : penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (range of
motion) pergeraknan sendi,: abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, dan lain-lain.
Jangan lakukan bila jelas ada fraktur sampai dilakukan fiksasi yang tepat.
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti shock pada fraktur multiple,
fraktur pelvis, fraktur terbuka; tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami
infeksi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
b. Resiko infeksi
c. Resiko Syok
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (tekanan, imobilisasi
fisik)

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan NOC NIC


Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri:
dengan agen cedera fisik keperawatan, diharapkan - Lakukan pengkajian nyeri
kontrol nyeri teratasi dengan yang komprehensif yang
kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik,
- Mampu mengontrol nyeri
onset/durasi, frekuensi,
- Melaporkan nyeri yang
kualitas, intensitas atau
terkontrol
beratnya nyeri dan faktor
- Menyatakan rasa nyaman
pencetus.
setelah nyeri berkurang
- Pastikan perawatan analgetsik
bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
- Pilih dan implementasikan
tindakan yang beragam
(misalnya farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal)
untuk memfasilitasi penurunan
nyeri, sesuai dengan
kebutuhan.
- Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
- Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
- Pertimbangkan tipe dan
sumber nyeri ketika memilih
strategi penurunan nyeri
- Kolaborasi dengan pasien,
orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk
memilih dan
mengimplementasikan
tindakan penurunan nyeri
nonfarmakologi, sesuai
kebutuhan.
Pemberian Analgetik
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien
- Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesic yang
diresepkan
- Cek adanya riwayat alergi obat
- Tentukan pilihan obat
analgesic (narkotik, non
narkotik, atau NSAID)
berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
- Pilih rute intravena daripada
rute intramuskular untuk
injeksi pengobatan nyeri yang
sering, jika memungkinkan.
- Monitor tanda vital sebelum
dan sesudah memberikan
analgesic narkotik pada
pemberian dosis pertama kali
atau jika ditemukan tanda-
tanda yang tidak biasa
- Berikan analgesic sesuai
paruhnya, terutama pada nyeri
yang berat.
- Kolaborasikan dengan dokter
apakah obat, dosis dan rute
pemberian atau perubahan
interval dibutuhkan. Buat
rekomendasi khusus
berdasarkan prinsip analgesik
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Perlindungan infeksi
keperawatan, diharapkan - Monitor adanya tanda dan
masalah resiko infeksi dapat gejala infeksi sistemik dan
ditangani dengan kriteria hasil: local
- Mengidentifikasi tanda dan - Monitor kerentanan terhadap
gejala infeksi infeksi
- Mempertahankan Kontrol infeksi:
lingkungan yang bersih - Pastikan tekhnik perawatan
- Memonitor perubahan luka yang tepat
status kesehatan - Dorong intake cairan yang
- Melakukan tindakan segera sesuai
untuk mengurangi faktor - Berikan terapi antibiotic yang
resiko sesuai
- Mempraktekan dan - Monitor hitung mutlak
menyesuaikan strategi granulosit, WBC, dan hasil-
untuk mengontrol infeksi hasil diferensial
- Pertahankan asepsis untuk
pasien beresiko
Perawatan Luka:
- Monitor karakteristik luka,
termasuk drainase, warna,
ukuran dan bau
- Bersihkan dengan normal
saline atau pembersih yang
tidak beracun dengan tepat
- Pertahankan tekhnit balutan
steril ketika melakukan
perawatan luka dengan tepat
- Dorong cairan yang sesuai
Resiko Syok Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Syok:
keperawatan, diharapkan tidak - Monitor terhadap adanya
terjadi syok, dengan kriteria kompenssasi awal syok
hasil: (misalnya TD normal, tekanan
- Tidak terjadi penurunan nadi melemah, hipotensi
TD sistol ortostatik ringan 15-25mmHg,
- Tidak terjadi penurunan perlambatan pengisian kapiler,
TD diastole pucat/dingin pada kulit atau
- Tekanan nadi dalam batas kulit kemerahan, takipnea
normal ringan, mual dan muntah,
peningkatan rasa haus, dan
kelemahan)
- Monitor status sirkulasi (TD,
warna kulit, temperature,
bunyi jantung, nadi dan irama,
kekuatan dan kualitas nadi
perifer, dan pengisian kapiler)
- Monitor suhu dan status
respirasi
- Berikan cairan melalui IV dan
atau oral sesuai kebutuhan
- Pasang dan pertahankan akses
IV yang besar, sesuai
kebutuhan
- Berikan oksigen dan/atau
ventilasi mekanik sesuai
kebutuhan
Pengurangan Perdarahan: Luka
- Monitor TTV
- Monitor intake output secara
akurat
- Tempatkan area yang
mengalami perdarahan pada
posisi yang lebih tinggi
- Monitor nadi dibagian distal
lokasi perdarahan
Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Pembidaian
fisik berhubungan keperawatan, diharapkan Perawatan Traksi/Imobilisasi
masalah hambatan mobilitas - Posisikan kesejajaran tubuh
dengan gangguan fisik klien dapat teratasi dengan yang sesuai
muskuloskeletal kriteria hasil: - Monitor kemampuanmandiri
- Mampu mengatur ketika terpasang traksi
keseimbangan - Monitor sirkulasi, gerakan dan
- Dapat bergerak dengan sensai ekstremitas yang sakit
mudah - Monitor tonjolan tulang dan
- Kinerja pengaturan tubuh kulit terkait adanya tanda-
baik tanda terkelupasnya kulit
- Instruksikan perawatan
penahan (traksi)
- Instruksikan pentingnya nutrisi
adekuat untuk penyembuhan
tulang
Terapi Latihan : Ambulasi
- Beri pasien pakaian yang tidak
mengekang
- Bantu pasien untuk
menggunakan alas kaki yang
memfasilitasi pasien untuk
berjalan dan mencegah cedera.
- Bantu pasien untuk disisi
tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian
sikap tubuh
- Konsultasikan pada ahli terapi
fisik mengenai rencana
ambulasi sesuai kebutuhan
- Terapkan atau sediakan alat
bantu untuk ambulasi, jika
pasien tidak stabil
- Bantu pasien untuk
membangun pencapaian yang
realistis untuk ambulasi jarak
- Dorong ambulasi independen
dalam natas aman
- Dorong pasien untuk “bangkit
sebanyak dan sesering yang
diinginkan” (up ad lib), jika
sesuai
Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan Luka:
keperawtan, diharapkan - Monitor karakteristik luka,
kulit berhubungan
masalah kerusakan integritas termasuk drainase, warna,
dengan faktor kulit pasien dapat teratasi ukuran dan bau
dengan kriteria hasil: - Bersihkan dengan normal
mekanik (tekanan)
- Suhu kulit dalam batas saline atau pembersih yang
normal tidak beracun dengan tepat
- Lesi pada kulit membaik - Pertahankan tekhnit balutan
- Integritas kulit steril ketika melakukan
perawatan luka dengan tepat
- Dorong cairan yang sesuai
- Oleskan salep yang sesuai
dengan kulit/lesi
- Periksa luka setiap kali
perubahan balutan
- Dokumentasi lokasi luka,
ukuran dan tampilan

C. Manajemen Gawat Darurat


1. Pengelolahan Klien Fraktur

Persiapan klien meliputi 2 keadaan berbeda; yang pertama tahap pra RS (Pra
hospital), dimana seluruh kejadian idealnya berlangsung dalam koordinasi dengan
dokter di RS. Fase kedua adalah fase RS (In hospital), dimana dilakukan persiapan
untuk menerima klien sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat.
a. Tahap Pra-RS
Koordinasi yang baik antara dokter di RS dengan petugas lapangan akan
menguntungkan klien. Sebaiknya RS adah diberitahukan sebelum klien diangkat
dari tempat kejadian. Yang harus diperhatikan adalah menjaga airway, breating,
kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi klien dan pengiriman ke RS terdekat
yang cocok, sebaiknya ke pusat trauma. Harus diusahakan untuk mengurangi
waktu tanggap (respons time). Jangan sampai terjadi bahwa semakin tinggi
tingkatan paramedik semakin lama klien berada di TKP. Saat klien dibawa ke RS
harus ada data tentang waktu kejadian, sebab kejadian, riwayat klien dari
mekanisme kejadian dapat menerang- kan jenis perlukaan dan beratnya perlukaan.

b. Fase RS
Saat klien berada di RS segera dilakukan survai primer dan selanjutnya
lakukan resusitasi dengan cepat dan tepat.

2. Primary Survey (Survey primer)


a. Airway (A)
Penilai kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur, meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal karena
kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh mengakibatkan hiperektensi leher.
Cara melakukan chin lift dengan menggunakan jari-jari satu tangan yang
diletakkan dibawah mandibula, kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari
tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika
diperlukan ibu jari dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk
mengangkat daga. Jaw thrust juga merupakan tehnik untuk membebaskan jalan
nafas Tindakan ini dilakukan menggunakan dua tangan masing-masing satu
tangan dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila
tindakan ini dilakukan memakai face-mitsk akan dicapai penutupan sempurna dari
mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang bila kesadaran klien menurun
pembebasan jalan nafas dapat dipasang guedel (oro-pharyngeal airway)
dimasukkan kedalam mulut dan diletakkan dibelakang lidah. Cara terbaik adalah
dengan menekan lidah memakai tong spat dan memasukkan alat ke arah posterior.
Alat ini tidak bolt mendorong lidah ke belakang, karena dapat menyumbu fariks.
Pada klien sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan muntah
dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan guedel secara
terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180 dan letakkan
dibelakang lidah. Naso-plaryngeal airway juga merupakan salah satu alat untuk
membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang hidung
yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di
farinks. Jika pada saat pemasangan mengalami hambatan berhenti dan pindah ke
lubang hidung yang satunya. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.

b. Breathing (B)

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untukpertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dan paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka untuk
melihat pernafasan yang baik. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya
udara ke dalem paru perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding
dada yang, mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan pernafasan karena
edema pada kien cedera wajah dan leher. Perlukaan yang mengakibatkan
gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan
kontusio paru, open pneumothorAx dan hematothorax masif. Jika terjadi hal yang
demikian siapkan klien untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai indikasi.
c. Circulation (C)

Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan


bersamaan dengAn tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area perdarahan.
Curigai hemoragi internal (pleural, pericardial, atau nhdomen) paida kejadian
syok lanjut dan adanya cedera pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana klien
dengan fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu
penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus. Harus tetap diingat
bahwa banyaknya darah yang hilang berkaitan dengan fraktur fémur dan pelvis.
Pertahankan tekanan darah dengan infus IV, plasma atau plasma ekspander sesuai
indikasi. Berikan tranfusi darah untuk terapi komponen darah sesuai ketentuan
setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena obstruksi jantung paru
menyebabkan penurunan suplai oksigen pada jaringan dan menyebabkan kolaps
sirkulasi. Berikan analgesik sesuai ketentuan untuk mengontrol nyeri. Pembebatan
ekstremitas dan pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai
fraktur.

d. Disability (D)

Menjelang akhir survai primer dievaluasi keadaan helogis secara cepat


yang dinilai adalah tingkat kesadaran akuran dan reaksi pupil. GCS (Glangone
Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal tingkat
kesadaran klien penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen atau
dan penururan perfusi ke otak , atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan
keadaan menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi Perfusi
dan oksigenasi. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran
klien, jika hal sebut dapat disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hivolemia
sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trrauma dianggap sebagai
penyebabnya, sampai terbuig sebaliknya
e. Exposur (E)

Expoe dilakukan di RS, tetapi jika perlu dapat membuka pakaian,


misalnya membuka baju untuk melakukan pemerikasan fisik toraks. Di RS klien
harus dibuka keseluruhan pakaiannya, untuk evaluasi klien. Setelah pakaian
dibuka penting agar klien tidak kedinginan. Harus diberikan selumut hangat,
ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.

3. Penataaksanaan Kedaruratan
a. Inspeksi bagian tubuh yang fraktur
1) Inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
2) Observasi angulast, pemendekan dan rotasi.
3) Palpasi nadi distal untuk frakture dan pulsasi semua perifer
4) Kaji suhu dingin, pemucatan, penurunan sensasi atau tidak adanya pulsasi, hal
tersebut menandakan cidera pada saraf atau suplai darah terganggu
5) Tangani bagian tubuh dengan lembut dan sesedit mungkin gerakan yang
kemungkinan dapat menyebabkan gerakan pada tulang yang fraktur
b. Berikan bebat sebelum klien dipindahkan, bebat dapat mengurangi nyeri,
memperbaiki sirkulasi, mencegah cidera lebih lanjut, dan mencegah fraktur
tertutup menjadi fraktur terbuka.
1) Imobilisasi sendi diatas dan dibawah daerah fraktur. Tempatkan satu tangan
distal terhadap fraktur dan berikan status penarikan ketika menenpatkan
tangan lain diatas fraktur untuk menyokong
2) Pembebatan diberikan meluas sampai sendi dekat fraktur
3) Periksa status vaskuler ekstremitas setelah pembebatan periksa warna, suhu,
nadi dan pemucatan kuku
4) Kaji untuk adanya deficit neurologi yang disebabkan oleh fraktur
5) Berikan balutan steril pada fraktur terbuka
c. Kaji adanya keluhan nyeri atau tekanan pada area yang mengalami cidera
d. Pindahkan klies secara hati-hati dan lebut, untuk meminilisasi gerakan yang dapat
menyebabkan gerakan pada patahan tulang.
e. Lakukan penanganan pada trauma yang spesifik
1) Trauma tulang belakang
Jika terjadi trauma pada tulang belakang, imobilisasi haru selalu
dilakukan untuk mencegah peralisis seumur hidup bahkan kematian.
Mempersiapkan klien dalam papan spinal harus adekuat, harus diingat
beberapa mekanisme dari luka seperti : jatuh dari ketinggian dan mendarat
dengan kedua kaki dapat menyebabkan fraktur lumbal karena semua beban
terlokalisir didaerah tulang belakang
2) Trauma pelvis
Trauma pelvis dimasukkan dalam trauma ekstremitas karena keduanya
sangat berhubungan. Trauma pelvis biasanya terjadi karena kecelakaan lalu
lintas atau trauma seperti jatuh dari ketinggian. Pada pemeriksaan klie
didapatkan tekanan keras pada tulang iliaka, tulang panggul dan pubis.selalu
ada petensi perdarahan serius pada fraktur pelvis, maka syok harus selalu
difikirkan dan pasien harus segera dikirim dengan papan spinal.
3) Trauma femur
Femur biasnya patah sepertiga tengah walaupun pada orang tua selalu
dipikirkan patah pangkal tulang paha (collum femoris). Fraktur ini dapat
menjadi fraktur terbuka dan kalau hal ini terjadi harus ditangani sebagai
fraktur terbuka. Banyak obat disekeliling femur dan perdarahan masih dapat
terjadi pada paha. Fraktur femur bilateral dapat menyebabkan kehilangan
sampai dari 50% volume sirkulasi darah.
4) Trauma pangkal paha dan sendi panggul ‘
Harus dipertimbangkan fraktur pangkal paha pada orang tua yang telah
jatuh dan sakit pada lutut, panggul atau daerah pelvis. Bila ada nyeri harus
dianggap sebagai fraktur sampai hasil rontgen membuktikan sebaliknya.
Pada fraktur jenis ini, rasa sakit dapat ditolelir dan kadang-kadang
diabaikan/disangkal. Secara umum jaringan pada klien yang lebih tua lebih
rentan dan kurang tenaga. Selalu diingat bahwa rasa nyeri pada lutut dapat
timbul dari rusaknya panggu pada masa kanak-kanak dan pada usia tua.
5) Dislokasi panggul

Dislokasi panggul adalah hal yang berbeda, banyak dislokasi panggul


sebagai akibat berbentuknya batuk pada dashboard, desakan kuat pada
lututn dan dislokasi pada kaput di pelvis. Dislokasi panggul adalah kasus
emergency ortopedi dan harus dilakukan reproduksi secepatnya untuk
emcegah trauma nervus inchiadikus atau nekrosisi pada kaput femur akibat
terganggunya peredarah darah. Dislokasi ini memerlukan reposisi yang
kadang-kadang sulit. Dilakukan karena membutuhkan kekuatan yang cukup
besar dan teknik tepat
6) Trauma lutut
Fraktur dan dislokasi didaerah ini sangat serius karena arteri berada
dibawah dan diatas dari persendian lutut dan bisa terjadi laserasi apabila
persendian tersebut tidak dalam keadaan normal. Tidak ada cara untuk
mengetahui apakah ada fraktur atau tidak dalam keadaan posisi yang
abnormal tersebut pada keadaan ini diagnostic harus berdasarkan
pemeriksaan NVD (neuro vaskuler distal)
7) Trauma tibia dan fibula
Fraktur tungkai bawah sering membuat luka dan sering mengakibatkan
perdarahan baik eksternal dan internal perdarahan internal daerah ini akan
dapat menyebabkan terjadinya compartement syndrome fraktur tibia dan
fibula bagian bawah dapat dilakukan fiksasi dengan mempergunakan : rigid
splint, air splint atau bantal
8) Trauma klavikula
Trauma klavikula sering terjadi fraktur tulang tetapi tidak banya
memyebabkan problem imobilisasi terbaik dapat dilakukan dengan
mempergunakan sling juga jarang terjadi kerusakan pada vena subklavia
atau arteri dan saraf dari tangan.
9) Trauma bahu
Trauma bahu kebanyakan dari kerusakan bahu tidak mengancam jiwa
tetapi dapat disertai kerusakan yang parah dari dada dan leher. Juga dapat
disertai dengan dislokasi dari persendian bahu. Dislokasi bahu menyebabkan
rasa yang sangat nyeri karena itu sering digunakan bantal antara lengan dan
badan untuk mempertahankan tangan atas dalam posisi yang menyenangkan
klien. Selain itu dapat juga terjadi patah tulang humerus. Bagian atas yang
dapat menyebabkan kerusakan N radialis, gejala yang timbul yaitu
ketidakmampuan klien untuk mengangkat tangan.
10) Trauma siku
Kadang-kadang sulit mengenal adanya fraktur atau dislokasi pada siku
padahal kedaunya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah dan saraf (yang berjalan sepanjang permukaan fleksor dari
siku).kerusakan pada siku harus difiksasi dalam posisi yang menyenangkan
bagi klien dan bagian distal harus dievaluasi secara benar jangan mencoba
untuk meluruskan atau melakukan traksi pada kerusakan siku.
11) Trauma tangan dan pergelangan tangan
Fraktur yang terjadi biasanya akibat jatuh/penarikan yang terlalu kuat.
Biasanya untuk imobilisasi dilakukan dengan memeprgunakan rigid
splint/spint udara
12) Trauma kaki dan tangan
Kecelakaan kerja dapat mengakibatkan fraktur multiple yang terbuka
dan avulse trauma ini sering tampak berat tapi jarang mengakibatkan
perdarahan yang mengancam jiwa. Untuk memeprtahankan kaki dan tangan
dalam posisi normal sering digunakan bantal. Metode alternative untuk
membalut tangan

4. Secondary Survey (Survey sekunder)


a. Kaji riwayat trauma
Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka
terkadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada saksi seseorang dapat
menceritakan kejadiannya sementara petugas melakukan penelitian seluruh badan
klien. Pada klien yang gelisah usahakan mendapatkan data riwayat trauma, karena
riwayat trauma ini menjadi sangat penting pada trauma ekstremitas, pada
beberapa mekanisme yang menyebabkan penting pada trauma ekstremitas tidak
terlihat pada pemeriksaan awal.
b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki seccara
sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:
- Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian,sering disertai dengan
trauma pada lumbal
- Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai dengan
trauma panggul.
- Trauma pada lengan sering menyebabkan trauma pada siku, sehingga lengan
dan siku harus dievaluasi bersamaan.
- Trauma pada lutut dak proksimal fibula sering menyebabkan trauma pada
tungkai bawah, maka lutut dan tungkai bawah harus dilakukakn evaluasi
bersamaan.
- Trauma apapun yang mengenai bahu harus diperhatikan secara seksama
karena dapat melibatkan leher, dada atau bahu.
d. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur femur dan pelvis
g. Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka atau tertutup, atau kompresi,
dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup
sehingga menyebabkan penekanan pada syaraf, pembuluh darah dan kegagalan
sirkulasi. Gelaja yang dapat dilihat: nyeri, edema, denyut nadi hilang, perestesi,
dan kelumpuhan,
h. Kaji tanda-tanda vital secara kontinu
D. Peran dan Fungsi Perawat

1. Peran Perawat

Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989, peran perawat terdiri dari:

a. Sebagai pemeberi asuhan keperawatan


Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan
kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang
sederhana sampai dengan kompleks
b. Sebagai Advokat klien
Peran ini dilakuakan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya
dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga
berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien meliputi:
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
- Hak atas informasi tentang penyakitnya
- Hak atas privacy
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian
c. Sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan
kesehatan.
d. Sebagai Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien
e. Sebagai Kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupayah
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan
f. Sebagai Konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsulatasi dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan
g. Sebagai Pembaharu
Perawat megadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis
dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

2.4.2 Fungsi Perawat


a. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia.
b. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan
atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang
diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum,
atau dari perawat primer ke perawat pelaksana
c. Fungsi Interdependen
Merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat
saling ketergantungan diantara tim satu dengan tim lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam
pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasai dengan tim perawata
saja melainkan juga dari dokter ataupun spesialis lainnya.
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR TERTUTUP PADA RUANG IGD

Nama : Tn. O
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk : 10-10-2021
Jam masuk : 15.25 wita

A. Pengkajian Triage

Keluhan utama : klien mengatakan nyeri


Anamnesa : klien mengatakan nyeri di bagian paha karena adanya patah tulang di bagian paha akibat
kecelakaan . klien juga mengatakan sulit untuk menggerakkan bagian kakinya.
Riwayat penyakit dahulu : klien mengatakan tidak memiliki penyakit yang di derita
Alergi : klien tidak memiliki alergi apapun
1. Airway

Klien tidak memiliki masalah pada jalan nafasnya


2. Breathing

Pola nafas, suara nafas dan irama nafas klien semunya teratur dan normal
3. Circulation
- Akral hangat
- Nadi teraba cepat
- TD : 140/90 mmHg
- Tidak terjadi sianosis
- Suara jantung normal
- Tidak terjadi pendarahan
- Turgot kulit baik
- Tidak terdapat pendarahan

Tingkat kegawatan : kuning


4. Disability
- Kesadaran : composmentis
- GCS : 15
- Pupil : normal
- Respon cahaya : normal
- Resiko jatuh : ya
5. Eksposure
- Terdapat nyeri akibat patah tulang
- Nyeri terasa dengan skala : 7 NRS
- Nyeri terasa di bagian paha dengan dengan frekeunsi terus menerus dan menjalar kebagain sekitar
paha, nyeri semakin berat jika banyak bergerak dan berkurang pada saat pasien banyak istirahat
6. Suhu

Suhu klien 37.5 C


7. Pemeriksaan penunjang

Radiologi : terdapat fraktur tertutup didaerah paha


B. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kondisi musculoskeletal
b. Gangguan mobilitias fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
c. Resiko Jatuh
C. Intervensi
1. Nyeri akut
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Berikan tehnik nonfarmakologis
e. Kolaborasi pemberian analgetik
2. Gangguan mobilitas fisik
a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
c. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu, missal pagar tempat tidur
d. Libatkan keluarga dalam membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
3. Resiko jatuh
a. Identifikasi factor resiko jatoh
b. Hitung resiko jatuh menggunakan skala
c. Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya
d. Pasang handrail tempat tidur
e. Dekatkan bell pemanggil dalam jangkauan pasien
D. Implementasi
1. Nyeri akut
a. Mengindentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b. Mengidentifikasi skala nyeri
c. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
d. Memberikan tehnik nonfarmakologis
e. Berkolaborasi pemberian analgetik
2. Gangguan mobilitas fisik
a. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
c. Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu, missal pagar tempat tidur
d. Meliibatkan keluarga dalam membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
3. Resiko Jatuh
a. Mengidentifikasi factor resiko jatoh
b. Memonitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya
c. Memasang handrail tempat tidur
d. Mendekatkan bell pemanggil dalam jangkauan pasien
E. Evaluasi
1. Nyeri akut

Nyeri berkurang sedikit setelah dilakukan intervensi kolaborasi pemberian analgetik


2. Ganggaun mobilitas fisik

Pasien merasa terbantu dengan adanya keluarga


3. Resiko jatuh

Resiko jatuh berkurang setelah dilakukan intervensi


B
AB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumya disebabkan oleh
rudapaksa. Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya
gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan
jaringan yang ada disekitarnya. Penyebab fraktur dapat berupa trauma langsung, trauma
tidak langsung, maupun secara patoligis. Fraktur terbagi atas beberapa klasifikasi yaitu
Berdasarkan sifat fraktur berdasarkan komplit atau ketidakkompitan fraktur, berdasarkan
bentuk garis patah, berdasarkan jumlah garis patah, berdasarkan pergeseran fragmen
tulang, berdasarkan posisi fraktur, Fraktur kelelahan, dan Fraktur patologis. Adapun
tanda dan gejala dari fraktur adalah adanya nyeri, Deformitas, Pembengkakan, Memar,
Spasme otot, Ketengangan, Kehilangan fungsi, Gerakan abnormal dan kerpitasi,
perubahan neurovaskuler, Syok. Ada beberapa komplikasi dari fraktur, salah satunya
yang paling sering adalah Sindroma kompartemen
Pada penatalaksanaan medic, masalah kegawat-daruratanlah harus diselesaikan
terlebih dahulu dilihat dari kondisi dari pasien tersebut. Hal ini juga menjadi bagian dari
manajemen kegawat-daruratan. Yang pertama dilakukan adalah tindakan triase dan
diikuti dengan Pengkajian Primer (primary survey) berupa ABCDE lalu dilanjutkan
dengan pengkajian sekunder. Namun, pasien fraktur akibat kecelakaan sering disertai
kegawatdaruratan mengancam nyawa yang lebih membutuhkan pertolongan daripada
cedera patah tulangnya. Tata laksana fraktur dilakukan pada secondary survey setelah
ABCD stabil.
Pada proses penyembuhan tulang terdapat 5 fase yaitu fase hematoma, fase
proliferasi, fase kallus, fase konsolidasi dan fase remodeling. Namun, faktor usia juga
sangat mempengaruhi dalam proses penyembuhan tulang. Pada lansia, proses
penyembuhan tulang akan sangat lambat dibandingkan pada mereka yang berusia muda.
Dalam pemberian pelayanan keperawatan pada kasus gawat darurat, peran dan fungsi
perawat sangatlah penting untuk diperhatikan. Salah satu peran perawat gawat darurat
yang harus diaplikasikan adalah sebagai pelayan eperawatan, sebagai advokasi, dan
kolaborator dengan tim kesehatan lainnya seperti dokter. Selain itu juga, perawat harus
mampu menempatkan diri dalam situasi gaawat darurat dimana ia mampu melakukan
tindakan secara independent, dependent, maupun interdependent.

3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, kelompok mengharapkan agar para pembaca
khususnya para tenaga kesehatan, mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dalam
memberikan asuhan keperawatan gawat darurat dengan sebaik-baiknya, dan juga mampu
mempraktekan peran dan fungsi perawat secara komprehensif untuk menigkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan demi kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain itu, semoga makalah ini juga dapat membantu para mahasiswa
keperawatan dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dibidang asuhan keperawatan gawat
darurat trauma musculoskeletal : fraktur.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th Indonesian edition.
Singapore : Elsevier Mocomedia

Ciptaning, Maria Diah. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan

Heardman, Heather. 2015. NANDA – I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta:EGC

Kristanty, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Trans Info Media

Kurniati Amelia, Trisyani Yanni dkk. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheely.
Singapore : Elsevier

Lumbantoruan, dkk. 2017. BTCLS AND DISASTER MANAGEMENT Edisi III. Jakarta :
Medhatama Restyan

Mahartha, G. R. A., Maliawan, S., Kawiyana, K. S., & Sanglah, S. U. P. (2013). Manajemen
Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Bali Fak Kedokt Univ Udayana.

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian edition.
Singapore : Elsevier Mocomedia

Putu Sukma Parahita. Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada Cedera Fraktur Ekstremitas.


Diakses di https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6300/4790 . Diakses
tanggal 22 Juni 2016

Sudarmanto, Eko. 2018. Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Open Fraktur Manus IV Distal
di RS Tk. Ii Dr. Soedjono Magelang [Skripsi]. Yogyakarta (ID): UGM

Anda mungkin juga menyukai