Anda di halaman 1dari 8

Nama : Nurul Rizki Rahmania

NIM : 180151602140
Offering : B9 PGSD
Mata Kuliah : Filsafat dan Teori Pendidikan
Idealisme dan Pendidikan
1. Ontologi idealisme dan implikasinya terhadap pendidikan
Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)” Rodric (1972:
105). Ontologi itu merupakan bagian filsafat yang paling umum dan yang paling sulit untuk
difahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Bidang utama dalam ilmu
filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial,
kemudian disusunlah uraian ontologi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan
alam yang sebenarnya secara universal (teory of reality) Inu (2004 : 9). Bidang utama dalam
ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial,
kemudian disusunlah uraian ontologi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan
alam yang sebenarnya secara universal (teory of reality) Inu (2004 : 9).Idealisme merupakan
suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada pada ide
manusia. Realitas atau kebenaran yang berwujud sebenarnya muncul terlebih dahulu dalam
realitas ide dan pikiran, bukan pada hal‐hal yang bersifat materi. Meskipun demikian Idealisme
tidak mengingkari adanya materi. Karena, materi merupakan bagian luar dari apa yang disebut
hakekat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi merupakan bungkus luar dari hakekat,
pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan demikian Idealisme menggunakan cara yang meliputi
hal‐hal yang abstrak seperti ruh, akal, nilai, dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak
sesuatu objek adalah spiritual, non material dan idealistik. Dalam idealisme, tujuan pendidikan
adalah untuk menemukan dan mengembangkan kemampuan masing‐masing individu dan
keunggulan moral dalam rangka untuk lebih melayani penekanan kurikulum. Idealisme
merupakan suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada
pada tataran ide.
Implikasi ontologi Idealisme dalam Pendidikan yaitu :
1) Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta
kebaikan sosial.
2) Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis
untuk memperoleh pekerjaan.
3) Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain),
tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama
dengan alam.
2. Epistemologi idealisme dan implikasinya terhadap pendidikan
Secara etimologis, epistemologi merupakan gabungan kata dalam bahasa Yunani, yaitu
episteme dan logos. Epiteme artinya pengetahuan sedangkan logos berarti pengetahuan
sistematik atau ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran
mendasar dan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu,
epistemologi juga disebut dengan teori pengetahuan. Epistemologi adalah nama lain dari logika
material atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia, yaitu pengetahuan.
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan, bagaimana mengetahui benda-benda.
Pengetahuan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: cara manusia memperoleh
dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap
pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga
akhirnya diketahui manusia. Dengan demikian epistemologi ini membahas sumber, proses,
syarat, batas fasilitas, dan hakekat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi
guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.Idealisme mengemukakan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap karena dunia hanyalah
merupakan tiruan belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan
sebenarnya.Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui
berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal
pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat.
Implikasi epistemologi idealisme terhadap pendidikan
1) Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar.Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu.
2. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yaitu tercantum
dalam metode ilmiah.
3. Aksiologi idealisme dan implikasinya terhadap pendidikan
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori
tentang nilai (Salam, 1997). Sumantri (1996) menyatakan aksiologi adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus bahasa Indonesia,
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang menekankan
pembahasannya di sekitar nilai guna atau manfaat suatu ilmu pengetahuan. Di antara kegunaan
ilmu pengetahuan adalah memberikan kemaslahatan dan berbagai kemudahan bagi kelangsungan
hidup manusia itu sendiri. Aspek ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan ilmu
pengetahuan, sebab suatu cabang ilmu yang tidak memiliki nilai aksiologis, maka cenderung
mendatangkan kemudharatan bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan tidak menutup
kemungkinan ilmu yang bersangkutan menjadi ancaman yang sangat berbahaya, baik bagi
keberlangsungan kehidupan sosial maupun keseimbangan alam.Aksiologi merupakan cabang
filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana
manusia menggunakan ilmu tersebut. Jadi hakikat yang ingin dicapai aksiologi adalah hakikat
manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan. Objek kajian aksiologi adalah menyangkut
masalah nilai kegunaan ilmu karena ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat. Aksiologi disebut teori
tentang nilai yang menaruh perhatian baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tata cara dan tujuan (mean and end).Menurut idealisme, tujuan pendidikan untuk
menciptakan manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih
tinggi dan ideal serta memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai tersebut
dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk
menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah.
Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina
kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
4. Hubungan filsafat idealisme dengan kurikulum, sekolah, dan pembelajaran
Secara umum pendidikan idealisme merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian
manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih tinggi dan
ideal.Sedangkan kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme lebih
memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran
yang textbook, supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Beberapa tokoh
idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan
organisasi yang kuat. Semua yang ideal baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi dan
kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum.Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
mewadahi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan
menumbuhkan sikap spiritual dan sikap sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat.Sedangkan pembelajaran sebagai proses yang harus ditempuh peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya dan memperoleh pengalaman melalui berbagai macam sumber
belajar, media pembelajaran, metode pembelajaran dan komponen-komponen pembelajaran
lainnya.
Para Idealis memandang kurikulum sebagai manifestasi dari subyek materi intelektual
yang bersifat gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Aneka ragam sistem konsep ini menjelaskan
dan didasarkan pada manifestasi-manifestasi utama dari keabsolutan. Oleh karenanya, seluruh
sistem konsep berkulminasi dan tergabung dalam satu konsep, ide, dan kausa yang menyatu dan
integral. Sistem-sistem konsep yang lahir dari keabsolutan yang universal disingkap oleh
manusia dengan menyingkap sejarah dan warisan budayanya. Kurikulum Idealis dapat dilihat
sebagai suatu hirearki yang kebanyakan ditempati oleh disiplin-disiplin umum, seperti filsafat
dan teologi yang membahas tentang hubungan-hubungan yang paling mendasar dan utama
terhadap Tuhan dan Kosmos. Berdasarkan pada prinsip hirearki tersebut, keutamaan dari suatu
subyek dilihat dari segi (lebih-kurang) generalitas subyek tersebut. Subyek materi yang lebih
general adalah subyek materi yang bersifat lebih abstrak dan melampaui batasan-batasan ruang,
waktu, dan keadaan. Karena kegeneralan dan keabstrakannya, subyek-subyek tersebut memiliki
kemampuan untuk mentransfer pada ragam-ragam situasi yang luas.
Matematika, pada bentuk murninya, merupakan suatu disiplin yang sangat bermanfaat
karena berisi tentang metode-metode yang bersentuhan dengan keabstrakan. Sejarah dan sastra
juga menmpati posisi yang tinggi dalam hireark kurikulum tersebut. Di samping stimulus
kognitifnya, disiplin sejarah dan sastra terbungkus dalam nilai-nilai. Sejarah, biografi, dan
autobiografi dapat dikatakan sebagai sumber bagi teladan dan kepahlawanan moral dan budaya.
Dimensi sejarah dapat dipandang sebagai subuah rekaman atas penyingkapan keabsolutan
sepanjang waktu dan sejarah manusia, khususnya bagi orang-orang dengan dimensi
kepahlawanannya baik pria ataupun wanita. Yang menempati kedudukan rendah dalam hirearki
kurikulum Idealis adalah disiplin-disiplin sain yang hanya menaruh perhatian pada hubungan-
hubungan sebab-akibat tertentu. Karena perannya sebagai alat komunikasi, bahasa dianggap
sebagai skil yang penting yang diajarkan sejak level dasar. Kurikulum yang digunakan dalam
pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif.
Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya
pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Kurikulum pendidikan idealisme berisikan
pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk
pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral. Pendidikan vokasional
dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Sejak prinsip etika
masuk dan menyatu dalam warisan budaya, subyeksubyek materi seperti filsafat, teologi, sejarah,
sastra, dan kritik seni menjadi disiplin-disiplin yang kaya akan nilai. Subyek-subyek tersebut,
tempat berfusinya kognitif dan aksiologi, merepresentasikan generalisasi atas kesadaran etis dan
budaya. Subyek-subyek tersebut adalah yang melahirkan tradisi moral manusia. Subyek-subyek
humaniora dapat dikaji secara mendalam dan dijadikan sebagai sumber simulasi kognitif. Pada
saat yang sama, sumber-sumber sejarah dan sastra ini dapat diserap secara emosional dan
digunakan sebagai dasar bagi konstruksi keteladanan dan nilai. Edukasi nilai, berdasarkan
konsepsi Idealis, mensyaratkan agar pelajar diperkenalkan pada teladan dan contoh-contoh yang
pantas agar keteladan tersebut dapat ditiru dan dikembangkan olehnya. Oleh karenanya, pelajar
harus diperkenalkan dan memperhatikan seni dan sastra klasik.
5. Hubungan guru (termasuk konsep guru) dan siswa menurut idealisme
Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan serta
kemampuan-kemampuan para siswa; dan harus mendemonstrasikan keunggulan moral dalam
keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus juga melatih berpikir kreatif dalam mengembangkan
kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesa, dan
menciptakan aplikasi-aplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat. Karena itu guru hendaknya
bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa. Adapun siswa berperan
bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya. Guru harus menjadi contoh atau model
nilai moral dan budaya yang mewakili ekspresi tertinggi dan terbaik dari perkembangan pribadi
dan manusiawi.
Dalam hubungan pengajar pelajar, peran sentral dan krusial pengajar lebih dititik
beratkan. Sebagai pribadi yang dewasa, pengajar Idealis seharusnya adalah seseorang yang
mapan dalam perspektif budaya. Dia harus mampu untuk menjadi suatu pribadi yang integral
yang mampu menjalani berbagai macam peran dalam kehidupannya dalam suatu orkestrasi nilai-
nilai yang harmonis. Telah lebih dahulu menjadi jelas bahwasannya pelajar adalah pribadi yang
belum dewasa yang terus mencari perspektif yang disediakan oleh budaya. Hal ini bukan berarti
bahwa kepribadian pelajar adalah sesuatu yang harus dimanipulasi oleh pengajar. Telah jelas
bahwasannya pelajar berkembang menuju kedewasan, menuju suatu perspektif dalam
kepribadiannya sendiri. Seperti halnya dalam kasus seluruh kemanusiaan, alam bagi pengajar
adalah spiritual dan kebripabadiannya adalah keteladanannya. Pengajar harus menghormati
siswanya dan memahami perannya dalam membantu siswa merealisasikan keutuhan
kepribadiannya sendiri. Kepribadian-kepribadian pengajar dan pelajar adalah nilai yang sangat
luas. Karena perannya sebagai teladan dan representasi budaya, seleksi pada pengajar menjadi
sangat penting. Pengajar haruslah menerapkan nilai-nilai, mencintai para pelajar, menyenangkan
dan seorang pribadi yang antusias. J. Donald Butler dalam Idealism in Education menekankan
pentingnya peran pengajar dengan menyebutkan beberapa kualitas yang harus dimiliki oleh
seorang pengajar yang baik. Menurut Butler, seorang pengajar haruslah: (1)
mempersonifikasikan budaya dan realita pada pelajar; (2) seorang spesialis dalam kepribadian
manusia yang memahami siswa-siswanya; (3) sebagai seorang ahli dalam proses pembelajaran,
pengajar mampu menyatukan keahlian tersebut dengan antusiasme; (3) menjadi seorang teman
bagi siswasiswanya; (4) membangkitkan minat belajar siswa-siswanya; (5) sadar akan
signifikansi moral dalam pekerjaannya, karena pengajar adalah partner Tuhan dalam
menyempurnakan manusia; (7) menghidupkan kembali budaya dalam setiap generasi (Butler:
120). Meski yang disebutkan di atas hanya sebagian dari kualifikasi yang disebutkan oleh Butler,
namun hal tersebut sudah cukup menunjukkan banyaknya syarat yang harus dipenuhi untuk
menjadi seorang pengajar Idealis. Seorang pengajar harus memiliki skill sebagai edukator yang
profesional dan menjadi seorang pribadi yang hangat dan antusias. Berdasarkan konsep peran
seorang guru tersebut, mengajar adalah suatu kesatuan akan keahlian, kompetensi, budaya, dan
kepribadian. Mengajar adalah seni dan sain. Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang
tinggi dari para guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun intelektual.
Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain
menggabungkan manusia, bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para
siswa. Sedangkan siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakatAgar pendidikan
dapat berjalan dengan baik dalam upaya mencapai tujuannya peranan guru menempati posisi
yang sangat urgen. Didalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealism, guru berfungsi
sebagai berikut (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang
spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar
secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5)
Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu
membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8)
Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para
siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu
mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya
murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa
bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap demokratis dan
mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik (jagad kecil) yang becaming) yang lebih
mirip dengan Diri Absolut. Oleh karenanya peserta didik akan berjuang serius demi mencapai
kesempurnaan karena person ideal adalah sesuatu yang sempurna (George R. Knight, 2007: 77).
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk
spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang
mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman
pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat
dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham
idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak
melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
6. Pendidikan karakter
Pendidikan karakter adalah suatu usaha manusia secara sadar dan terencana untuk
mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya
sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungannya.Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai karakter tertentu kepada peserta didik yang di dalamnya terdapat
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai
tersebut.
Terdapat lima nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yang menjadi prioritas
pengembangan gerakan PPK; yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan
kegotongroyongan. Masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan
saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi.

Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang
diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut,
menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Implementasi
nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam sikap cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan
agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan
kepercayaan, anti perundungan dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan
kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.

Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya
bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta
tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku, dan
agama.

Adapun nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral.
Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam
kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran.
Seseorang yang berintegritas juga menghargai martabat individu (terutama penyandang
disabilitas), serta mampu menunjukkan keteladanan.

Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan
mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-
cita. Siswa yang mandiri memiliki etos kerja yang baik, tangguh, berdaya juang, profesional,
kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan
bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan,
memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Diharapkan siswa dapat
menunjukkan sikap menghargai sesama, dapat bekerja sama, inklusif, mampu berkomitmen atas
keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, memiliki empati dan rasa
solidaritas, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah
Konsep dasar pendidikan karakter di sekolah atau madrsah tentunya harus dilandaskan
pada visi, misi, dan tujuan sekolah atau madrasahnya masing-masing yang selanjutnya
diimplementasikan ke dalam: 1) kurikulum dan mata pelajaran, 2) budaya madrasah baik di
lingkungan guru maupun siswa, dan 3) pengembangan diri melalui program pembiasaan dan
pengembangan minat dan bakat siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip implementasi
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dirangcang oleh kemendiknas tahun
2010. 1. Kurikulum/Mata Pelajaran Adapun pengembangan kurikulum yang bisa dilakukan
adalah :
a. Memaksmimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter ke dalam semua mata
pelajaran, baik mata pelajaran yang secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter dan kebajikan
seperti halnya mata pelajaran PAI, maupun materi yang tidak secara konten mengajarkan nilai-
nilai karakter seperti Matematika dan lain sebagainya. Terlebih ketika kurikulum 2013
mengintegrasikan materi IPA-IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PKN untuk
tingkat SD/MI (baca Dokumen Kurikulum 2013), maka hal ini memberikan kesempatan lebih
kepada para guru yang bersangkutan untuk memaksimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai
karakter tersebut ke dalam materi yang diintegrasikan. Oleh karenanya desain RPP berkarakter
akan sangat membantu para guru dalam merefleksikan nilai-nilai karakter kedalam sebuah materi
pelajaran. Formulasi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis karakter
berfungsi sebagai pengingat para guru dalam mengembangkan tiga kompetensi pembelajaran
(kognitif, afektif, dan psikomotorik) secara seimbang sebagai salah satu dasar dalam
pembentukan karakter siswa. Sehingga pada akhirnya memberikan kesempatan kepada semua
guru dalam setiap mata pelajaran, baik mata pelajaran rumpun PAI maupun mata pelajaran
umum lainnya untuk tidak melupakan diri dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai
karakter (inculcation approach) yang ada di balik materi selama proses pembelajaran.
b. Memaksimalkan kembali program pembiasaan baik yang bersifat ritual maupun non ritual
selama proses pembelajaran. Kebaikan yang selalu diulang-ulang dan dibiasakan setiap hari,
akan jauh lebih membekas dalam hati serta jiwa para siswa dibanding kegiatan yang sekedar
insidental semata. Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti
dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai dengan penuh
pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan kelas misalnya tadarus bersama di
setiap awal pembelajaran, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan juga
memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang arti
penting dari apa yang mereka lakukan.
c. Memberikan penekanan kembali kepada para pengajar PAI dan PKN untuk tidak terjebak pada
materi-materi yang sifatnya kognitif dan hafalan semata, karena pada dasarnya materi pelajaran
PAI dan PKN secara subtantif lebih pada penanaman (inculcation approach) dan pengamalan
nilai-nilai karakter (action learning approach) sehingga jangan sampai ada siswa yang secara
kognitif nilai ulangan PAI dan PKNnya tinggi akan tetapi tidak diimbangi dengan perilaku dan
akhlak yang terpuji.Karakteristik sifat khas anak sekolah dasar seperti yang telah dijelaskan di
atas bahwa mereka lebih menganggap nilai rapor sebagai prestasi segala-galanya harus dikikis
secara bertahap dengan memberikan penekanan bahwa nilai berbentuk angka bukanlah segalanya
ketika tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji. Salah satu cara yang bisa
digunakan untuk memaksimalkan kembali mata pelajaran PAI dalam memberikan penanaman
nilai adalah dengan membuat program renungan/intropeksi diri (muhasabah) secara berkala.
Program sekolah atau kelas yang bisa dilakukan berkala ini sangatlah besar peranannya dalam
proses internalisasi nilai-nilai karakter, karena target utama dari program ini adalah mengasah
kepekaan bathin atau afeksi para siswa yang selama ini mungkin hampa karena dipenuhi dengan
muatan kognisi tanpa refleksi, dan ketika sisi ruang bathin siswa mulai terasah dengan mampu
menyadari akan kekurangan dan kealfaannya, maka lambat laun keterasahan bathin ini akan
membentuk sebuah karakter yang positif dikemudian harid. Memaksimalkan kembali proses
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) dalam setiap
mata pelajaran. Dengan pembelajaran seperti ini, harapannya akan memberikan kesan yang
mendalam, sehingga nilai-nilai karakter yang disampaikan dengan mudahnya terinternalisasi
menjadi sebuah sikap dan karakter yang kuat pada diri dan jiwa para siswa. Seperti yang telah
disampaikan Oskamp (1991) sebelumnya, bahwa salah satu hal yang secara khusus berpengaruh
dalam membentuk sikap seseorang, adalah adanya peristiwa yang memberikan kesan kuat pada
diri seseorang (salient incident).
e. Memaksimalkan kembali proses komunikasi antara guru dengan orangtua siswa untuk
memantau sejauh mana perkembangan siswa sekaligus putraputri mereka baik di lingkungan
sekolah dengan menggunakan buku anecdotal recard yaitu buku seluruh kejadian selama di kelas
atau di sekolah, maupun perkembangan siswa selama di rumah dengan menggunakan buku yaitu
buku evaluasi tentang sejumlah kegiatan siswa selama di rumah baik itu proses belajar, maupun
ibadah ritual keseharian siswa. Sehingga dari data ini bisa dijadikan salah satu bahan refleksi
sekolah/madrasah maupun para orangtua siswa tentang kemajuan perkembangan karakter putra-
putrinya selama ini, seperti apa yang telah disampaikan Doni Koesoema di atas tentang
metodologi pendidikan karakter yang terakhir.
f. Memaksimalkan kembali reward (hadiah) terhadap sejumlah prestasi siswa tidak hanya dalam
bidang akademik akan tetapi juga dalam bidang ibadah dan akhlak keseharian dengan cara
mengolah sejumlah data dari buku (evaluasi) siswa dan juga data dari hasil komunikasi aktif
dengan para orang tua tentang laporan ibadah dan akhlak keseharian siswa. Sehingga setiap
pertengahan semester atau akhir semester para siswa tidak hanya diberikan bintang prestasi
akademik bagi mereka yang mendapatkan nilai rapor tertinggi dalam satu kelas, akan tetapi juga
bintang prestasi akhlak mulia bagi mereka yang paling rajin melaksanakan shalat serta tidak
pernah tercatat dalam buku anecdotal record pada masing-masing kelas. Hal ini sesuai dengan
tahap perkembangan moral siswa yakni pra-konvensional dan konvensional seperti yang telah
dijelaskan di atas. Dan untuk meningkatkan menjadi pasca-konvensional, maka dalam
perjalanannya para guru harus mampu memberikan penyadaran diri terhadap para siswa bahwa
tujuan dari semua prestasi dan kebaikan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk
kebaikannya sendiri di mata Allah Swt, dan bukan karena sekedar mendapatkan materi dari
reward atau hadiah yang telah diterimanya.

Anda mungkin juga menyukai